CAPITIS
OLEH:
2020
BAB I
A. Definisi
Trauma kepala merupakan kejadian cedera akibat trauma pada otak,
yang menimbulkan perubahan fisik, intelektual, emosional, social maupun
vokasional (Jennifer P, et al., 2012).
B. Anatomi Fisiologi
Rata-rata otak manusia dewasa terdiri dari 2% berat badan tubuh,
dengan kisaran 1,2-1,4 kg. Otak merupakan organ yang sangat vital, dan
sangat penting untuk kehidupan dan fungsi tubuh kita. Oleh karena itu, otak
mengkonsumsi jumlah besar dari volume darah yang beredar. Seperenam dari
semua keluaran jantung melewati otak dalam satu waktu, dan sekitar
seperlima dari seluruh oksigen tubuh digunakan oleh otak ketika sedang
beristirahat.
Gambar 2.1 Bagian-Bagian Otak Sumber: Centers for Disease Control and
Prevention (CDC), 2004. Dalam Yuvinitasari, 2016)
Seperti terlihat pada gambar di atas, otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1. Serebrum (Otak Besar)
Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer.
Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan
hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kanan.
Masing- masing hemisfer terdiri dari empat lobus. Bagian lobus yang
menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut
sulkus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalah lobus frontal, lobus
parietal, lobus oksipital dan lobus temporal
b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan
dari serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral
dari Rolando. Pada daerah ini terdapat area motorik untuk mengontrol
gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca sebagai pusat bicara; dan
area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual
b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain
dan medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf
Kranial (CN) V diasosiasikan dengan pons.
c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak
yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata terletak
juga di fossa kranial posterior. CN IX, X, dan XII disosiasikan dengan
medulla, sedangkan CN VI dan VIII berada pada perhubungan dari pons
dan medulla.
C. Klasifikasi
Trauma kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale
( GCS ) nya, yaitu :
1. Ringan
a. GCS = 13 – 15
b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.
1. Komosio serebri
Tidak ada jaringan otak yang rusak, tetapi haya kehilangan fungsi otak
(pingsan < 10 menit) atau amnesia pasca cedera kepala.
2. Kontusio serebri
Adanya kerusakan jaringan otak dan fungsi otak (pingsan > 10 menit)
atau terdapat lesi neurologic yang jelas. Kontusio serebri sering terjadi
dan sebagian besar terjadi dilobus frontal dan lobus temporal, walaupun
dapat juga terjadi pada sebagian dari otak. Kontusio serebri dalam waktu
beberapa jam atau hari , dapat berubah menjadi perdarahan intraserebral
yag membutuhkan tindakan operasi.
3. Laserasi serebri
Kerusakan otak yang luas disertai robekan durameter serta fraktur terbuka
pada cranium.
D. Etiologi
Menurut Nanda (2015) mekanisme cedera kepala meliputi:
1. Cedera Akselerasi, yaitu ketika objek bergerak menghantam kepala yang
tidak bergerak
E. Patofisiologi
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan
berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera
percepatan aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur
kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena
kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila
kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan
mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila
terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi
bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa
dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang
otak.
I. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala
adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
Penatalaksanaan pada pasien cedera kepala juga dapat dilakukan
dengan cara :
10-12 ml/kg
f. Berikan manitol 20 % 19/kg intravena dalam 20-30 menit
g. Pasang kateter foley
h. Konsul bedah syaraf bila terdapat indikasi operasi
J. Komplikasi
(Rosjidi, 2007) mengatakan kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari
perluasan hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak,
komplikasi dari cedera kepala adalah:
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi
mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress
pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks
cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi
dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan
darah sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran
darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun
bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah
semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus
dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang
membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala.
Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih
banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah
paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan
difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan
peningkatan TIK lebih lanjut.
2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15
mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan
darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral.
yang merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal
pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut.
Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral
disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas
paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk
mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang
paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena.
Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian
diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.
5. Infeksi
BAB II
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas : identitas adalah tanda pengenal bagi klien, identitas dibagi
menjadi 2 yaitu identitas pribadi dan identitas sosial. Identitas pribadi
yaitu identitas yang melekat pada pribadi pasien ( termasuk ciricirinya)
misalnya Nama,Tanggal Lahir/Umur,Jenis Kelamin,Alamat, Status
Perkawinan dan lain-lain termasuk.Sedangkan identitas sosial meliputi
identitas yang menjelaskan tentang sosial,ekonomi dan budaya pasien
misalnya, agama, pendidikan,pekerjaan,identitas orang tua,identitas
penanggung jawab pembayaran dan lain-lain.
c. Circulation (Sirkulasi)
- ada tidaknya denyut nadi karotis
- Ada tidaknya tanda-tanda syok
- Ada tidaknya perdarahan eksternal
d. Disability (Tingkat Kesadaran)
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon
seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran
dibedakan menjadi :
Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign. GCS
(Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat
kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai
respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk
dalam komponen ini)
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien
yang meliputi :
• Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat?
Berapa lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang
timbul?apakah pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah
nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah
pemeriksaan tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi,
frekuensi nafas, saturasi oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala
nyeri.
B. Diagnosa Keperawatan
Menurut (Wahyu Widagdo, 2008) disesuaikan dengan (Herdman, 2017)
Dalam NANDA Internasional.
Moore, Keith, Apgur, Anne, M.R. 2007. Anatomi Dan Fisiologi Dasar. Jakarta;
EGC.