Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN TRAUMA

CAPITIS

OLEH:

SUTRI ARININGSIH, S.Kep

PROGRAM STUDI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN

WIDYA NUSANTARA PALU

2020
BAB I

KONSEP DASAR PENYAKIT

A. Definisi
Trauma kepala merupakan kejadian cedera akibat trauma pada otak,
yang menimbulkan perubahan fisik, intelektual, emosional, social maupun
vokasional (Jennifer P, et al., 2012).

Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera


kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

Trauma Capitis berat merupakan cidera kepala yang mengakibatkan


penurunan kesadaran dengan skor GCS 3 sampai 8, mengalami amnesia > 24
jam (Haddad, 2012 dalam (Hariyani, 2012)).

B. Anatomi Fisiologi
Rata-rata otak manusia dewasa terdiri dari 2% berat badan tubuh,
dengan kisaran 1,2-1,4 kg. Otak merupakan organ yang sangat vital, dan
sangat penting untuk kehidupan dan fungsi tubuh kita. Oleh karena itu, otak
mengkonsumsi jumlah besar dari volume darah yang beredar. Seperenam dari
semua keluaran jantung melewati otak dalam satu waktu, dan sekitar
seperlima dari seluruh oksigen tubuh digunakan oleh otak ketika sedang
beristirahat.

Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang


dibentuk oleh mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria dan
dura mater disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater kranialis dan
pia mater kranialis terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks serebri. Sulkus
dan fisura korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi daerah lebih
kecil yang disebut lobus (Moore, et al., 2007).

Gambar 2.1 Bagian-Bagian Otak Sumber: Centers for Disease Control and
Prevention (CDC), 2004. Dalam Yuvinitasari, 2016)

Seperti terlihat pada gambar di atas, otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1. Serebrum (Otak Besar)
Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer.
Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan
hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kanan.
Masing- masing hemisfer terdiri dari empat lobus. Bagian lobus yang
menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut
sulkus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalah lobus frontal, lobus
parietal, lobus oksipital dan lobus temporal

a. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum.


Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan bagian
belakang oleh garis yang ditarik dari sulkus parieto-oksipital ke ujung
posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah ini berfungsi untuk menerima
impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan dengan segala
bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatik.

b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan
dari serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral
dari Rolando. Pada daerah ini terdapat area motorik untuk mengontrol
gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca sebagai pusat bicara; dan
area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual

c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus


oksipital oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas
sulkus lateral. Lobus temporal berperan penting dalam kemampuan
pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.

d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal.


Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan
manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap
oleh retina mata

2. Cerebellum (Otak Kecil)


Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak. Serebelum
terletak di bagian bawah belakang kepala, berada dibelakang batang otak
dan di bawah lobus oksipital, dekat dengan ujung leher bagian atas.
Serebelum adalah pusat tubuh dalam mengontrol kualitas gerakan.Serebelum
juga mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap
atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan
tubuh. Selain itu, serebelum berfungsi menyimpan dan melaksanakan
serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai
mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.

(Ellis, 2006 dalam Yuvinitasari, 2016).


3. Batang Otak
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian
dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak bertugas untuk
mengontrol tekanan darah, denyut jantung, pernafasan, kesadaran, serta pola
makan dan tidur. Bila terdapat massa pada batang otak maka gejala yang
sering timbul berupa muntah, kelemahan otat wajah baik satu maupun dua
sisi, kesulitan menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun.

Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:


a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian
teratas dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum.
Saraf kranial III dan IV diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah
berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan
mata,pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.

b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain
dan medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf
Kranial (CN) V diasosiasikan dengan pons.

c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak
yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata terletak
juga di fossa kranial posterior. CN IX, X, dan XII disosiasikan dengan
medulla, sedangkan CN VI dan VIII berada pada perhubungan dari pons
dan medulla.

(Moore, et al., 2007).

C. Klasifikasi
Trauma kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai dari Glasgow Coma Scale
( GCS ) nya, yaitu :

1. Ringan
a. GCS = 13 – 15
b. Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit.

c. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.


2. Sedang
a. GCS = 9 – 12
b. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam.

c. Dapat mengalami fraktur tengkorak.


3. Berat
a. GCS = 3 – 8
b. Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
c. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
(Nurarif, et al., 2015).
Menurut, (Brunner, et al., 2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:
1. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya
tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini
ditentukan oleh massa dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga
dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk kedalam jaringan
otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda
tajam/tembakan, cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen
memiliki abses langsung ke otak.

2. Cedera kepala tertutup


Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah
goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak
cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera
kepala tertutup meliputi: kombusio gagar otak. Menurut (Nurarif, et al., 2015)
ada beberapa kondisi cedera kepala yang dapat terjadi yaitu :

1. Komosio serebri
Tidak ada jaringan otak yang rusak, tetapi haya kehilangan fungsi otak
(pingsan < 10 menit) atau amnesia pasca cedera kepala.

2. Kontusio serebri
Adanya kerusakan jaringan otak dan fungsi otak (pingsan > 10 menit)
atau terdapat lesi neurologic yang jelas. Kontusio serebri sering terjadi
dan sebagian besar terjadi dilobus frontal dan lobus temporal, walaupun
dapat juga terjadi pada sebagian dari otak. Kontusio serebri dalam waktu
beberapa jam atau hari , dapat berubah menjadi perdarahan intraserebral
yag membutuhkan tindakan operasi.
3. Laserasi serebri
Kerusakan otak yang luas disertai robekan durameter serta fraktur terbuka
pada cranium.

4. Epidural Hematom (EDH)


Hematom antara durameter dan tulang, biasanya sumber perdarahannya
adalah robeknya arteri meningea media. Ditandai dengan penurunana
kesadaran dengan ketidaksamman neutrologis sisi kri dan kanan
(Hemiparese/plegi, pupil anishokor, reflex patologis satu sisi). Gambaran
CT Scan area hiperdens dengan bentuk biokonvek atau lentikuler diantara
2 sutura. Jika perdarahan > 20 cc atau < 1 cm midline shift > 5 mm
dilakukan operasi untuk menghentikan perdarahan.

5. Subdural Hematom (SDH)


Hematom dibawah lapisan durameter denga sumber perdarahan dapat
berasal dari Bridging Vein , a/v cortical, sinus venous. Subdural hematom
adalah terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak, dapat
terjadi akut atau kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena,
perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam-2
hari, 2 minggu atau beberapa bulan. Gejala-gejalanya adalah nyeri kepala,
bingung, mengatuk, berfikir lambat, kejang dan udem pupil, dan secara
klinis ditandai dengan penuruna kesadaran, disertai adanya laserasi yang
paling sering berupa hemiparese/plegi. Pada pemeriksaan CT Scan
didapatkan gambar hiperdens yang berupa bulan sabit (Cresent). Indikasi
operasi jika perdaraha tebalnya >1 cm dan terjadi pergeseran garis tengah
> 5 mm.

6. Subarachnoid Hematom (SAH)


Merupakan perdarahan fokal di dareah subarachnoid gejala klinisnya
menyerupai kontusio serebri. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan lesi
hiperdens yang mengikuti area gyrus-gyrus serebri didaerah yang
berdekatan dengan hematom. Haya diberikan terapi konservatif, tidak
memerlukan terapi operatif.
7. Intracerebral Hematom (ICH)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadai pada jaringan
otak biasaya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan ota.
Pada pemeriksaan CT Scan didapatka lesi perdarahan diantara neuron
otak yang relative normal. Indikasi dilakukan operasi adanya daerah
hiperdens, diameter > 3cm, perifer, adanya pergeseran garis tengah.

8. Fraktur basii crania


Fraktur dari dasar tengkorak, biasanya melibatkan tulang temporal,
oksipital, sphenoid, ethmoid. Terbagi menjadi basis cranii anterior dan
posterior. Pada fraktur anterior melibatakan tulang ethmoid dan sphenoid,
sedangkan pada fraktur posterior melibatka tulang temporal, oksipital,
dan beberapa bagian tulang sphenoid, tanda terdapat fraktur basis crania
antara lain :

a. Ekimosisi periorbital (Rocoon’s eyes)


b. Ekimosis mastoid (Battle’Sign)
c. Keluar darah beserta cairan cerebrospinal dari hidung atau telinga
(Rinore atau Otore)
d. Kelumpuhan nervus cranial.
(Nurarif, et al., 2015)

D. Etiologi
Menurut Nanda (2015) mekanisme cedera kepala meliputi:
1. Cedera Akselerasi, yaitu ketika objek bergerak menghantam kepala yang
tidak bergerak

2. Cedera Deselerasi, yaitu ketika kepala yang bergerak membentur objek


yang diam

3. Cedera akselerasi-deselerasi, sering dijumpai dalam kasus kecelakaan


bermotor dan kekerasan fisik
4. Cedera Coup-countre coup, yaitu ketika kepala terbentur dan
menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat
mengenai area tulang tengkorak

5. Cedera Rotasional, yaitu benturan/pukulan yang menyebabkan otak


berputar dalam tengkorak, sehingga terjadi peregangan atau robeknya
neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang
memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.
Menurut Yasmara dkk (2006) Cidera kepala secara umum disebabkan oleh
beberapa faktor seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi,
pukulan pada kepala, tertimpa benda berat, kecelakaan kerja, luka tembak,
atau cidera saat lahir.

Arifin dkk (2013) menambahkan bahwa hipoksia dan hipoperfusi


merupakan faktor penyebab utama. Penyebab lainnya adalah eksititixisitas,
kerusakan akibat radikal bebas, gangguan regulasi ion, mediator inflamasi,
tekanan tinggi intrakranial dan hipertermia.

E. Patofisiologi
Cedera memang peranan yang sangat besar dalam menentukan
berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu kepala. Cedera
percepatan aselerasi terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur
kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena
kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan deselerasi adalah bila
kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan
mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila
terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi
bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa
dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang
otak.

Berdasarkan patofisiologinya, kita mengenal dua macam cedera


otak, yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer
adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan
merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen.
Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga
sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar
pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi
karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa
mengakibatkan terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.
Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang
berkelanjutan sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik sebagai a`kibat, cedera sekunder dapat
terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada
area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma
ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala
selanjutnya bisa perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena
perdarahan yang terjadi terus- menerus dapat menyebabkan hipoksia,
hiperemi peningkatan volume darah pada area peningkatan permeabilitas
kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi
intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun,
hipotensi (Soetomo, 2002).

Namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkan


robekan dan terjadi perdarahan juga. Cidera kepala intra kranial dapat
mengakibatkan laserasi, perdarahan dan kerusakan jaringan otak bahkan bisa
terjadi kerusakan susunan syaraf kranial tertama
motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas
(Brain, 2009).
F. Pathway
G. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi
cedera otak.

1. Cedera kepala ringan menurut Sylvia A (2005).


a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah
cedera.

b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.


c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah
laku.

Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa


minggu atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma
ringan.

2. Cedera kepala sedang, Diane C (2002)


a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan
atau bahkan koma.

b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit


neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan
pergerakan.

3. Cedera kepala berat, Diane C (2002)


a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.

b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera


terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.

c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.


d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. CT Scan (dengan atau tanpa kontras ) : mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Cat :
untuk me ngetahui adanya infark/ iskemia, jangan dilakukan pada 24-72
jam setelah injury.

2. MRI : digunakan sama seperti CT Scan dengan atau tanpa kontras


radioaktif.

3. Cerebral angiografi : menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti :


perubahan jaringan otak menjadi udema, perdarahan dan trauma.

4. Serial EEG : dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis


5. X ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan /edema), fragmen tulang.

6. BAER : mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil


7. PET : mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF : lumbal punkis dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.

9. ABGs : mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan


(oksigenasi) jika terjadi peningkatan TIK

10. Kadar elektrolit : untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai


akibat peningkatan tekanan TIK

11. Screen toxicologi : untuk mendeteksi pengaruh obat, sehingga


menyebabkan penurunan kesadaran.

I. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala
adalah sebagai berikut:

1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
Penatalaksanaan pada pasien cedera kepala juga dapat dilakukan
dengan cara :

a. Obliteri sisterna : Pada semua pasien dengan cedera kepala / leher,


lakukan foto tulang belakang servikal kolar servikal baru dilepas
setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal c1-c7 normal.

b. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang berat, lakukan


prosedur berikut : pasang infuse dengan larutan normal salin (nacl
0,9
%)/ larutan ringer rl dan larutan ini tidak menambah edema cerebri.

c. Lakukan CT Scan, pasien dengan cedera kepala ringan, sedang dan


berat harus dievaluasi adanya:Hematoma epidural, Darah dalam
subraknoid dan infra ventrikel, Kontusio dan perdarahan jaringan
otak, Edema serebri,

d. Elevasi kepala 30o


e. Hiperventilasi : intubasi dan berikan ventilasi mandotorik
intermitten dengan kecepatan 16-20 kali /menit dengan volume tidal

10-12 ml/kg
f. Berikan manitol 20 % 19/kg intravena dalam 20-30 menit
g. Pasang kateter foley
h. Konsul bedah syaraf bila terdapat indikasi operasi

J. Komplikasi
(Rosjidi, 2007) mengatakan kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari
perluasan hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak,
komplikasi dari cedera kepala adalah:
1. Edema pulmonal
Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi
mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress
pernafasan dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks
cushing/perlindungan yang berusaha mempertahankan tekanan perfusi
dalam keadaan konstan. Saat tekanan intrakranial meningkat tekanan
darah sistematik meningkat untuk memcoba mempertahankan aliran
darah keotak, bila keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun
bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi berkurang, tekanan darah
semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk keadan, harus
dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang
membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala.
Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih
banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah
paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan
difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan
peningkatan TIK lebih lanjut.

2. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15
mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan
darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral.
yang merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal
pernafasan dan gagal jantung serta kematian.

3. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut.
Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan
menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral
disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang,
perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas
paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk
mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang
paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena.
Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian
diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.

4. Kebocoran cairan serebrospinalis


Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari
fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan
merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh
dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah
hidung atau telinga.

5. Infeksi
BAB II
KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas : identitas adalah tanda pengenal bagi klien, identitas dibagi
menjadi 2 yaitu identitas pribadi dan identitas sosial. Identitas pribadi
yaitu identitas yang melekat pada pribadi pasien ( termasuk ciricirinya)
misalnya Nama,Tanggal Lahir/Umur,Jenis Kelamin,Alamat, Status
Perkawinan dan lain-lain termasuk.Sedangkan identitas sosial meliputi
identitas yang menjelaskan tentang sosial,ekonomi dan budaya pasien
misalnya, agama, pendidikan,pekerjaan,identitas orang tua,identitas
penanggung jawab pembayaran dan lain-lain.

2. Pengkajian Primer (Primary Survey)


a. Airway (Jalan napas)
dengan control cervical -
Kaji ada tidaknya
sumbatan jalan napas
Sumbatan jalan napas
total :

• Pasien sadar : memegang leher, gelisah, sianosis


• Pasien tidak sadar : tidak terdengar suara napas, mendengkur

Sumbatan jalan napas parsial :


• Tampak kesulitan bernapas
• Retraksi supra sterna
• Masih terdengar suara sursling, snoring, atau stridor
- Distress pernapasan
- Kemungkinan fraktur cervical
b. Breathing ( Pernapasan)
- Kaji frekuensi
napas
- Suara napas
- Adanya udara keluar dari jalan napas
Cara pengkajian : look (lihat pergerakan dada, kedalaman,
simetris atau tidak), listen (suara napas dengan atau tanpa
stetoskop), feel (rasakan hembusan napas, atau dengan perkusi
dan palpasi)

c. Circulation (Sirkulasi)
- ada tidaknya denyut nadi karotis
- Ada tidaknya tanda-tanda syok
- Ada tidaknya perdarahan eksternal
d. Disability (Tingkat Kesadaran)
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon
seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran
dibedakan menjadi :

• Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar


sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang
keadaan sekelilingnya.

• Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk


berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.

• Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),


memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang
berhayal.

• Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun,


respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun
kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan)
tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.

• Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap,


tetapi ada respon terhadap nyeri.
• Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada
respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea
maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil
terhadap cahaya).

Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign. GCS
(Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat
kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai
respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.

Tabel 2.1 Tingkat Kesadaran Glasglow Coma Scale

e. Exposure ( control pada kasus trauma, dengan membuka


pakaian pasien tetapi cegah hipotermi) (HIPGABI.Sulsel, 2014).

3. Pengkajian Sekunder (Secondary Survey)


Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang
dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary
survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian
tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa


didapat dari pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalanI pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat.
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obatobatan
herbal)

L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk
dalam komponen ini)

E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian


yang menyebabkan adanya keluhan utama)

Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien
yang meliputi :

• Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat


nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa
yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda
terbangun saat tidur?

• Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti


diiris, tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas?
(biarkan pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.

• Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah


nyeri terlokalisasi di satu titik atau bergerak?

• Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0


tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat

• Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat?
Berapa lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang
timbul?apakah pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah
nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?
Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah
pemeriksaan tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi,
frekuensi nafas, saturasi oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala
nyeri.

B. Diagnosa Keperawatan
Menurut (Wahyu Widagdo, 2008) disesuaikan dengan (Herdman, 2017)
Dalam NANDA Internasional.

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d gangguan neuromuscular,


ketidakmampuan mengelurkan secret

2. Pola napas tidak efektif b.d Gangguan neurologis (Trauma Kepala)


3. Ketidakfektifan perfusi jaringan otak b.d gangguan aliran darah ke
otak (Iskemia)

4. Nyeri Akut b.d Agen cedera fisik (trauma), peningkatan TIK


5. Resiko Infeksi
6. Resiko perdarahan
C. Intervensi Keperawatan

Tabel 2.2 Intervensi Keperawatan Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas


Diagnosa Keperawatan Kriteria Hasil Intervensi

(NANDA) (NOC) (NIC)


Ketidakefektifan bersihan NOC: Pastikan
jalan napas • Respiratory status : • kebutuhan oral /
tracheal
Ventilation suctioning.
Nanda Hal: 406 • Respiratory status : Airway Berikan O2…
Domain : patency l/mnt,
Kemanan/Perlindungan • Aspiration Control Setelah
• metode………
Kelas : 2 Cedera dilakukan tindakan
Anjurkan
Fisik Kode : 00031 keperawatan selama
pasien
Defenisi : …………..pasien menunjukkan untuk istirahat dan
Ketidak mampuan keefektifan jalan nafas

membersihkan sekresi atau napas dalam


dibuktikan dengan kriteria hasil : Posisikan
obstruksi dari saluran napas • Mendemonstrasikan batuk pasien

untuk memperthanakan efektif dan suara nafas yang untuk
bersihan jalan napas bersih, tidak ada sianosis dan memaksimalkan
dyspneu (mampu ventilasi Lakukan
Batasan Karakteristik : mengeluarkan sputum, fisioterapi
• Batuk yang tidak efektif bernafas dengan • dada
• Dispneu mudah, tidak ada pursed lips) jika perlu
• Gelisah • Menunjukkan jalan nafas Keluarkan
• Kesulitan verbalisasi yang paten (klien tidak • sekret
merasa tercekik, irama nafas, dengan batuk atau
• Mata terbuka lebar
frekuensi pernafasan dalam suction
• Ortopnea Auskultasi
rentang normal, tidak ada •
suara
• Penurunan bunyi napas suara nafas abnormal)
• Perubahnan frekuensi napas nafas, catat adanya
• Mampu mengidentifikasikan
• Perubahan pola napas suara tambahan
dan mencegah faktor yang Berikan
• Sianosis penyebab.

• Sputum dalam jumlah yang bronkodilator :


• Saturasi O2 dalam batas Monitor status
berlebihan normal

hemodinamik
• Suara napas tambahan • Foto thorak dalam batas • Berikan pelembab
• Tidak ada batuk udara Kassa basah
normal NaCl Lembab
Faktor yang berhubungan : Berikan
Lingkungan : • antibiotik :
• Perokok Atur intake untuk
• Perokok pasif • cairan
mengoptimalkan
• Terpajan asap
keseimbangan.
Monitor respirasi
Obstruksi Jalan napas • dan status O2
Pertahankan
• Adanya jalan napas buatan
hidrasi yang
• Benda asing dalam jalan
• adekuat untuk
napas
mengencerkan
• Eksudat dalam alveoli sekret
• Hyperplasia pada dinding Jelaskan
bronchus
pada
• Mucus berlebihan
• Penyakit paru obstruksi pasien dan
kronis
• sekresi yang tertahan
• spasme jalan napas • keluarga
tentang
penggunaan
Fisiologi : peralatan : O2, Suction,
• Asma Inhalasi.
• Disfungsi neuromuscular
• Infeksi
• Jalan napas alergik
Tabel 2.3 Intervensi Keperawatan Ketidakefektifan Pola Napas
Diagnosa Keperawatan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi
(NANDA)
(NIC)
Ketidakefektifan pola NOC: NIC:
napas - Respiratory status: Airway Management
ventilation 1. Buka jalan nafas, gunakan teknik
Nanda Hal.243 Domain - Respiratory status: chin lift atau jaw thrust bila perlu
: airway patency - 2. Posisikan pasien untuk
Aktivitas/Istirahat Kelas Vital sign status memaksimalkan ventilasi
: 4 Respons Kriteria Hasil: 3. Identifikasi pasien perlunya
kardiovaskuler/Pulmonal 1. Mendemonstrasikan pemasangan alat jalan nafas buatan
Code : 00032 batuk efektif dan 4. Pasang mayo bila perlu
suara nafas yang 5. Lakukan fisoterapi dada jika perlu
Definisi: inspirasi dan/ bersih , tidak ada 6. Keluarkan secret dengan batuk atau
atau ekspirasi yang tidak sianosis dan dyspneu suction
member ventilasi (mampu 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya
Batasan Karakteristik: mengeluarkan suara tambahan
• Perubahan kedalaman sputum, mampu 8. Lakukan suction pada mayo
pernapasan bernafas dengan 9. Berikan bronkodilator bila perlu
• Perubahan ekskursi mudah, tidak ada 10. Berikan pelembab udara kassa basah
dada pursed lips) NaCl lembab
• Mengambil posisi tiga 2. Menunjukkan jalan 11. Atur intake untuk cairan
titik nafas yang paten mengoptimalkan keseimbanagn
3. Tanda – tanda vital 12. Monitor respirasi dan status O2
• Bradipneu
dalam rentang Oxygen Therapy
• Penurunan tekanan
normal 1. Bersihkan mulut, hidung dan secret
ekspirasi
trakea
• Penurunan ventilasi 2. Pertahankan jalan nafas yang paten
semenit 3. Atur peralatan oksigenasi
• Penurunan kapasitas 4. Monitol aliran oksigen
vital 5. Pertahankan posisi pasien
• Dispneu 6. Observasi adanya tanda – tanda
• Peningkatan diameter hipoventilasi
anterior-posterior 7. Monitor adanya kecemasan pasien
• Pernapasan cuping terhadap oksigenasi
hidung
• Ortopneu Vital sign monitoring
• Fase ekspirasi 1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
memenjang 2. Catat adanya fluktuasi tekanan
• Pernapasan bibir  darah
Takipneu 3. Monitor VS saat pasien berbaring,
• Penggunaan otot duduk atau berdiri
aksesorius untuk 4. Auskultasi TD pada kedua lengan
bernapas dan bandingkan
5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum,
Faktor yang selama, dan setelah aktifitas
berhubungan : 6. Monitor kualitas dari nadi
• Gangguan neurologis 7. Monitor frekuensi dan irama
(Trauma, kejang) pernapasan
• Nyeri 8. Monitor suara paru
• Cedera medulla spinalis 9. Monitor pola pernapasan abnormal
• Disfungsi 10. Monitor suhu, waran dan kelmbaban
neuromuscular kulit
• Keltihan otot 11. Monitor sianosis perifer
12. Monitor adanya cushing triad
pernafasan
13. Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign

Tabel 2.4 Intervensi Keperawatan Ketidakefektifan Pola Napas


Diagnosa Keperawatan Kriteria Hasil Intervensi
(NANDA) (NOC)
(NIC)
Ketidakefektifan perfusis NOC : NIC :
jaringan otak • Circulation status • Monitor TTV
• Neurologic status • Monitor AGD,
Nanda Hal.252 • Tissue Prefusion : cerebral ukuran pupil,
Domain : Aktivitas/Istirahat Setelah dilakukan asuhan ketajaman,
Kelas : 4 Respons selama………ketidakefektifan kesimetrisan dan
kardiovaskuler/Pulmonal perfusi jaringan cerebral teratasi reaksi
Code : 00201 dengan kriteria hasil: • Monitor adanya
• Tekanan systole dan diastole diplopia,
Defenisi : dalam rentang yang diharapkan pandangan kabur,
Penurunan sirkulasi jaringan • Tidak ada ortostatikhipertensi nyeri kepala
otak yag dapat menganggu • Komunikasi jelas • Monitor level
kesehatan • Menunjukkan konsentrasi dan kebingungan dan
orientasi orientasi
Batasan Karakteristik : • Pupil seimbang dan reaktif • Monitor tonus
(Nanda 2014) • Bebas dari aktivitas kejang otot pergerakan
• Gangguan status mental • Tidak mengalami nyeri kepala • Monitor tekanan
• Perubahan perilaku intrkranial dan
• Perubahan respon motorik respon nerologis
• Perubahan reaksi pupil • Catat perubahan
• Kesulitan menelan pasien dalam
• Kelemahan atau paralisis merespon
ekstrermitas stimulus
• Abnormalitas bicara • Monitor status
cairan
• Pertahankan
parameter
hemodinamik
• Tinggikan kepala
0-45o tergantung
pada konsisi
pasien dan order
medis
Tabel 2.5 Nyeri Akut
Diagnosa Keperawatan Kriteria Hasil Intervensi

(NANDA) (NOC) (NIC)


Nyeri akut NOC : NIC :
• Pain Level, • Lakukan pengkajian
Nanda hal: 469 • pain control, nyeri secara
Domain 12 : Kenyamanan • comfort level komprehensif termasuk
Kelas 1 : Kenyamanan fisik Setelah dilakukan lokasi, karakteristik,
Code : 00132 tinfakan durasi, frekuensi,
keperawatan kualitas dan faktor
Defenisi : selama …. Pasien tidak presipitasi
Pengalaman sensori dan emosional mengalami nyeri, dengan • Observasi reaksi
tidak menyenangkan yang muncul kriteria hasil: nonverbal dari
akibat kerusakan jaringan actual atau • Mampu mengontrol ketidaknyamanan
potensial atau yang digambarkan nyeri (tahu penyebab • Bantu pasien dan
sebagai kerusakan, awitan yang nyeri, mampu keluarga untuk mencari
tibatiba atau lambat, dari intensitas menggunakan tehnik dan menemukan
ringan sampai berat dengan akhir yang nonfarmakologi untuk dukungan
dapat mengurangi nyeri, • Kontrol lingkungan
diantisipasi atau diprediksi mencari bantuan) yang dapat
• Melaporkan bahwa mempengaruhi nyeri
Batasan Karakteristik : nyeri berkurang seperti suhu ruangan,
dengan menggunakan pencahayaan dan
• Diaphoresis manajemen nyeri kebisingan
• Dilatasi pupil • Mampu mengenali • Kurangi faktor
• Ekspresi wajah nyeri nyeri (skala, intensitas, presipitasi nyeri
• Focus menyempit frekuensi dan tanda • Kaji tipe dan sumber
nyeri) nyeri untuk
• Keluhan tentang intensitas standar
• Menyatakan rasa menentukan intervensi
skala nyeri
nyaman setelah nyeri • Ajarkan tentang teknik
• Keluhan tentang karakteristik
berkurang non farmakologi: napas
nyeri
• Tanda vital dala, relaksasi, distraksi,
• Laporan tentang perilaku nyeri
dalam kompres hangat/ dingin
• Perilaku distraksi
rentang normal • Berikan analgetik
• Tidak untuk
Faktor yang berhubungan : mengurangi nyeri:
mengalami
• Agen cedera biologis ……...
• Agen cedera fisik gangguan tidur
• Tingkatkan istirahat
• Agen cedera kimiawi • Berikan informasi
tentang nyeri seperti
penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan
berkurang dan
antisipasi
ketidaknyamanan dari
prosedur
• Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
pertama kali
Tabel 2.6 Intervensi Risiko Perdarahan
Diagnosa Keperawatan Kriteria Hasil Intervensi

(NANDA) (NOC) (NIC)


Risiko Perdarahan • TTV dalam batas • Mengawasi adanya perubahan
normal warna kulit
Nanda hal: 408 Domain • Mengawasi adanya perbahan
11 : • Tidak ada kesadaran mengukur tanda – tanda
Keamanan/perlindungan vital
tandatanda syok (
Kelas 2 : Cedera fisik • Memonitor perubahan turgor,
akral dingin,TD mukosa dan capillary refiil time
Code : 00206
dalam batas • Mengobservasi adanya tanda-tanda
Defenisi : normal, edema paru : dispneu dan ronkhi.
Rentan mengalami penurunan CRT<2detik) • Mengkaji kekuatan nadi prifer
volume darah, yang dapat • Mengkaji tanda-tanda dehidrasi
mengganggu kesehatan. • Memonitor intake-output
cairan setiap jam : pasang
Faktor risko : kateter dll.
• Mengoservasi balance cairan
• Aneurisme • Mengawasi adanya edema perifer
• Gangguan fungsi hati • Mengobservasi adanya urine output
• Gangguan GI < 30 ml/jam dan peningkatan BJ
• Koagulopati inheren urine
• Komplikasi kehamilan • Meninggikan daerah yang cedera
• Riwayat jatuh jika tidak ada kontra indikasi
• Sirkumsisi • Memberikan cairan peroral jika
• Trauma masih memungkinkan hingga
2000-2500 cc/hr.
• Mengontrol perdarahan dengan
balut tekan
• Mengobservasi tanda-tanda adanya
sindrom konpartemen ( nyeri lokal
daerah cederah, pucat, penurunan
tekanan nadi, nyeri bertambah berat
saat digerakkan, pertubahan
sensori/baal dan kesemutan )
• Menyiapkan alat-alat untuk
pemasangan CVP jika di perlukan
• Memonitor CVP jika di perlukan
• Memonitor CVP dan perubahan
nilai elektrolit tubuh Kolaborasi
• Melakukan infus dengan jarum
yang besar 2 line
• Menyiapkan pemberian transfusi
darah jika penyebabnya
perdarahan, koloid jika
darah transpuse susah
didapat
• Pemberian atau maintenance cairan
IV
• Tindakan RJP
• kolaborasi pemberian obat-obatan
Tabel 2.7 Intervensi Risiko Infeksi
Diagnosa Keperawatan Kriteria Hasil Intervensi

(NANDA) (NOC) (NIC)


Risiko Infeksi NOC : NIC :
• Immune Status • Pertahankan teknik aseptif
Nanda hal: 405 Domain • Knowledge : • Batasi pengunjung bila perlu
11 : Infection control • Cuci tangan setiap sebelum
Keamanan/perlindungan • Risk control dan sesudah tindakan
Kelas 1 : Infeksi Setelah dilakukan keperawatan
Code : 00004 tindakan keperawatan • Gunakan baju, sarung tangan
selama…… pasien tidak sebagai alat pelindung
Defenisi : mengalami infeksi • Ganti letak IV perifer dan
Rentan mengalami invasi dan dengan kriteria hasil: dressing sesuai dengan
multiplikasi organism patogenik • Klien bebas petunjuk umum
yang dapat mengganggu dari tanda • Gunakan kateter intermiten
kesehatan dan gejala untuk menurunkan infeksi
infeksi kandung kencing
Faktor Risiko : • Menunjukkan • Tingkatkan intake nutrisi
kemampuan untuk • Berikan terapi
• Gangguan Integritas kulit mencegah timbulnya antibiotik:................................
• Penurunan kerja siliaris infeksi .
• Penyakit kronis • Jumlah • Monitor tanda dan gejala
• Prosedur invasive leukosit infeksi sistemik dan lokal
• Malnutrisi dalam batas normal • Pertahankan teknik isolasi k/p
• Pecah ketuba dini • Menunjukkan • Inspeksi kulit dan membran
• Imunosupresi perilaku hidup sehat mukosa terhadap kemerahan,
• Leukemia • Status imun, panas, drainase
• Merokok gastrointestinal, • Monitor adanya luka
• Stasis cairan tubuh genitourinaria • Dorong masukan cairan
dalam batas • Dorong istirahat
normal • Ajarkan pasien dan keluarga
tanda dan gejala infeksi
• Kaji suhu badan pada pasien
neutropenia setiap 4 jam
DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, S. C., Bare, B. G. 2001. Keperawatan Medical Bedah ed 8. Jakarta;


EGC

Jennifer P, Kowalak, Weish, William, Brenna, Mayer. 2012. Buku Ajar


Patofisiologi. Jakarta; EGC

Hariyani, Vitri. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Ny C dengan Cidera Kepala


Berat (CKB) Di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr Moewardi
Surakarta. Surakarta.

Nurarif, Amin Huda, Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis Dan Nanda NIC NOC. Yogyakarta;
Mediactron.

Moore, Keith, Apgur, Anne, M.R. 2007. Anatomi Dan Fisiologi Dasar. Jakarta;
EGC.

Anda mungkin juga menyukai