Anda di halaman 1dari 22

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kepala

2.1.1 Tengkorak

Tulang tengkorak atau kalvaria merupakan struktur tulang yang menutupi dan
melindungi otak, terdiri dari tulang kranium dan tulang muka (Pearce, 2008). Kranium
membungkus dan melindungi otak. Terdiri atas os frontal, os parietal, os temporal, os oksipital,
os etmoid, serta os sfenoid (Moore dan Agur, 2002).

Gambar 2.1
Anatomi Tengkorak Penampang Anterior
(Paulsen dan Waschke, 2012)

2.1.2 Meningen

Otak dan sumsum tulang belakang deselimuti selaput meningen yang melindungi
struktur saraf. Meningen terdiri dari tiga lapisan, yaitu dura mater, arachnoid mater, dan pia
mater (Pearce, 2008).
1. Dura Mater
Terdiri atas dua lapisan, yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Dura
mater merupakan selaput yang terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat
dalam cranium. Terdapat ruang subdural yang terletak antara dura mater dan
arachnoid karena dura mater tidak melekat pada selaput arakhnoid di bawahnya.
Pada cidera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut bridging veins, dapat
menglami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
menglirkan darah vena ke sinus tranversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari
sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat (Pearce, 2008).
Arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari cranium
ruang epidural. Jika terdapat fraktur pada tulang kepala maka dapat menyebabkan
laserasi pada arteri-arteri ini sehingga akan menyebabkan perdarahan epidural.
Arteri meningea media merupakan arteri yang paling sering mengalami cidera.
Arteri ini terletak pada fosa media dari fosa temporalis (Pearce, 2008).
2. Arachnoid Mater
Arachnoid mater terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah
luar yang meliputi otak. Arachnoid mater dipisahkan dari dura mater oleh sebuah
ruang yang disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarachnoid
yang terisi oleh cairan serebrospinal. Perdarahan sub arachnoid umumnya
disebabkan oleh adanya cisera kepala (Pearce, 2008).
3. Pia Mater
Pia mater merupakan membrane vaskular yang dengan erat membungkus otak,
meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling dalam. Membrane ini
membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang
masuk ke dalam substansi otaj juga diliputi oleh pia mater (Pearce, 2008).
Gambar 2.2
Lapisan Meningen
(Paulsen dan Waschke, 2012)

2.1.3 Otak

Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk oleh mesensefalon,

pons, dan medula oblongata. Dibawah lapisan pia mater terlihat gyrus, sulkus, dan fisura

korteks serebri.Sulkus dan fisura korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi daerah

lebih kecil yang disebut lobus (Moore dan Argur, 2007).

1. Serebrum

Serebrum terdiri dari dua bagian yaitu hemisfer kanan dan hemisfer kiri (Ganong,

2002). Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan

hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kanan. Masing-masing

hemisfer terdiri dari empat lobus. Keempat lobus tersebut adalah lobus frontal, lobus

parietal, lobus oksipital, dan lobus temporal (CDC, 2004).


Gambar 2.3
Serebrum Tampak Lateral
(Paulsen dan Waschke, 2012)

a. Lobus Frontalis

Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan dari

serebrum. Lobus ini terdapat area motorik untuk mengontrol gerakan otot-otot dan

gerakan bola mata, area broca sebagai pusat bicara, dan area prefrontal (area

asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual (Ellis, 2006).

b. Lobus Parietal

Merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum. Lobus parietal bagian

depan dibatasi oleh sulkus parieto-oksipital ke ujung posterior sulkus lateralis

(sylvian). Daerah ini berfungsi untuk menerima impuls dari serabut saraf sensorik

tha;amus yang berkaitan dengan segala bentuk sensasi dan mengenali segala jenis

rangsangan somatik (Ellis, 2006).

c. Lobus Temporal

Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipidahkan dari lobus oksipital

oleh garis yang ditarik secara vertical ke bawah dari ujung atas sulkus lateral. Lobus
temporal berperan penting dalam kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi

dan bahsa dalam bentuk suara (Ellis, 2006).

d. Lobus Oksipital

Lobus ini berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal. Lobus ini

berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu

melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata (Ellis,

2006).

Gambar 2.4
Serebrum Tampak Superior
(Paulsen dan Waschke, 2012)

2. Serebelum

Serebrum terletak di bagian bawah belakang kepala, berada di belakang batang

otak dan di bawah lobus oksipital, dekat dengan ujung leher bagian atas. Serebrum

bertangggung jawab dalam koordinasi dan gerakan halus, keseimbangan posisi, serta

intergrasi input sensori (Ganong, 2002).


Gambar 2.5
Serebelum
(Physiology, 2016)

3. Batang Otak

Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian desar

dan memanjang sampai medula spinalis. Batang otak bertanggung jawab dalam

mengontrol tekanan darah, denyut jantung, pernafasan, kesadaran, serta pola makna dan

tidur (CDC, 2004).


Gambar 2.6
Batang Otak
(Pearce, 2008)

Batang otak terdiri atas mesensefalon, pons, dan medula oblongata.

Mesensefalon atau disebut juga otak tengah (mid brain) adalah bagian teratas dari

batang otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum. Saraf cranial III dan IV

diasosiasikan dengan otak tengah. Bagian ini berfungsi mengontrol respon penglihatan,

gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran

(Moore dan Argur, 2007).

Di bawah mesensefalon terdapat pons. Pons terletak di fossa cranial posterior.

Saraf cranial V diasosiasikan dengan pons (Moore dan Argur, 2007). Medula oblongata

merupakan bagian paling bawah belakang dari batang otak yang akan berlanjut menjadi

medula spinalis. Medula oblongata terletak juga di fossa cranial posterior. Saraf

kranialis IX, X, dan XII diasosiasikan dengan medula oblongata, sedangkan saraf
kranialis VI dan VIII berada pada perhubungan dari pons dan medula oblongata (Moore

dan Argur, 2007).

2.1.4 Vaskularisasi

Arteri yang memvaskularisasi otak berasal dari dua pasang pembuluh darah terbesar

yang berada pada leher, yaitu sepasang arteri karotis interna dan sepasang arteri vertebralis.

Arteri karotis interna masuk melalui kanalis karotis. Arteri ini melingkari sinus kavernosus

(carotis syphon) yang mengeluarkan arteri oftalmika. Setelah keluar, arteri ini bercabang

menjadi arteri serebri medial dan arteri serebri anterior. Arteri vertebralis memasuki otak

melalui foramen magnum. Setelah melalui dura mater, arteri-arteri tersebut berada dalam

jaringan ikat yang berasal dari pia mater dan arachnoid mater. Arteri serebri medial

memvaskularisasi lengkungan hemisfer dan arteri serebri anterior memvaskularisasi daerah

anterior dan setengah atas bagian medial dari hemisfer sampai precuneus. Arteri vertebralis

menyatu dengan arteri basilaris pada daerah ventral dari medula oblongata. Cabang terminal

dari arteri tersebut adalah bagian kanan dan kiri dari arteri serebralis posterior yang mensuplai

daerah posterior, medial, dan basal dari hemisfer. Arteri vertebra-basilar juga

memvaskularisasi batang otak dan serebelum. Arteri ini akan menjadi arteri cereberi inferior,

medial, dan superior (Nieuwenhuys et al, 2008).


Gambar 2.7
Sirkulasi Kolateral pada Sistem Arteri pada Otak
47:arteri karotis eksterna, 48:arteri karotis interna
(Nieuwenhuys et al, 2008)

Sistem komunikasi arteri dikenal sebagai circulus willis, dimana circulus ini

menghubungkan arteri-arteri serebri anterior pada kedua sisinya dengan sistem vertebra-

basilar. Circulus willis ini terletak di dasar otak dan mengelilingi infundibulum dan kiasma

optikus. Termasuk juga di dalamnya arteri komunikans anterior yang menghubungkan arteri

serebri anterior tepat di depan kiasma optikus dan dua arteri komunikans posterior, dimana

membentuk anastomosis antara bagian paling distal dari arteri karotis interna dan arteri serebri

posterior dekat dengan arteri basilaris berasal (Nieuwenhuys et al, 2008).

Arteri vertebralis memasuki otak melalui foramen magnum. Arteri ini bercabang

menjadi arteri spinalis anterior dan turun bercabang menjadi arteri cerebri anterior posterior.

Arteri vertebralis bergabung dengan arteri basilaris. Arteri serebri posterior memvaskularisasi

bagian medial dari lobus temporal dan oksipital. Arteri vertebralis, basilaris, dan arteri serebri
posterior membentuk cabang-cabang yang kecil yang akan memasuki batang otak

(Nieuwenhuys et al, 2008).

Gambar 2.8
Arteri pada Otak Penampang Basal
27:arteri vertebralis, 22:arteri temporalis anterior
(Nieuwenhuys et al, 2008)

2.1.5 Gambaran Radiologis

Gambaran otak pada neonatus, akibat proses myelinasi subtantia alba belum sempurna
terlihat sinyal intensitas rendah pada T1 dan sinyal intensitas tinggi pada T2. Proses myelinasi
bermula pada usia 20 minggu kehamilan dan berlanjut sampai usia 2 tahun. Cairan
serebrospinal terlihat gambaran hipointens pada T1 dan hiperintens pada T2. Seiring dengan
perkembangan proses myelinasi, kandungan air pada subtantia alba berkurang sehingga telihat
penurunan gambaran sinyal intensitas pada T2 (Counsell & Rutherford, 2002).

Korteks serebri gambarannya terlihat sebagai sinyal intensitas tinggi pada T1 dan
rendah pada T2. Pada MRI T2 weighted yang dilakukan pada bayi usia 30 minggu, terlihat
gambaran sinyal intensitas rendah didalam subtantia alba disekitar ventrikel lateral yang
menunjukkan migrsi glia dari matriks germinal menuju perkembangan korteks serebri
(Counsell & Rutherford, 2002).
Gambar 2.9
Gambaran MRI otak normal pada bayi cukup bulan. (a) terdapat gambaran sinyal intensitas
tinggi pada bagian posterior kapsula interna (panah panjang) dan regio nuklei ventrikolateral
dari thalamus (panah pendek); (b) pada T2 weighted, selubung myelin pada kapsula internal
menunjukkan sinyal intensitas rendah (panah panjang). Terlihat juga sinyal intensitas rendah
pada regio nuklei ventrikolateral dari thalamus (panah pendek).
(Counsell & Rutherford, 2002)

Gambar 2.10
(f) gambaran MRI sagittal T1 pada neonatus cukup bulan dan (g) saat bayi berusia 1 tahun
terlihat perkembangan otak, myelinasi dari corpus callosum (panah).
(Barnes, 2009)

Gambar 2.11
Gambaran MRI T2 pada (h) fetus berusia 20 minggu, (i) neonatus, dan (j) saat sudah berusia
2 tahun menunjukkan proses maturasi seperti berkurangnya kadar air, myelinasi, dan
kortifikasi.
(Barnes, 2009)
2.2 Kejang pada Anak

1. Definisi

Kejang merupakan kejadian paroksismal yang disebabkan oleh aliran hipersinkronus


dari sekumpulan neuron. Kejang pada neonatus merupakan manifestasi yang paling sering
ditemukan pada disfungsi neurologis pada bayi baru lahir. Beberapa penyakit dan kejadian
dapat menjadi penyebab dari timbulnya serangan kejang, seperti gangguan kardiovaskuler dan
asupan nutrisi. Gangguan tersebut dapat menyebabkan jejas pada otak yang kemudian
memberikan manifestasi klinis berupa kejang.

2. Diagnosis

Tipe kejang Terjadi pada Gejala klinis

Subtle Preterm dan term Deviasi mata (term), berkedip/pandangan


kosong (preterm), pergerakan mulut dan lidah
yang repetitif, apnea, serta postur tonic pada
ekstremitas

Tonic Preterm Dapat berupa fokal atau umum, extremitas


ekstensi atau fleksi tonik (biasanya tanda ICH
berat pada bayi preterm)

Clonic Term Dapat berupa fokal atau multifokal, gerakan


klonik ekstremitas (sinkron atau asinkron),
dapat disertai gangguan kesadaran (biasanya
tanda jejas fokal serebri)

Myoclonic Jarang Fokal, multifokal, atau umum. Gerakan


ekstremitas (superior>inferior) lightning-like
jerk

Penegakan diagnosis selain secara anamnesis dan klini, perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang. Untuk mengetahui jenis kejang diperlukan pemeriksaan elektoensefalogram
(EEG), namun untuk mengetahui penyebab utama dari kejang perlu dilakukan neuroimaging
seperti MRI dan CT Scan. Kelainan anatomis seperti tumor dan perdarahan otak sangat susah
untuk ditemukan dengan menggunakan EEG, karena itu pemeriksaan neuroimaging
diperlukan.

3. Penyebab

Secara garis besar penyebab kejang pada anak dibagi menjadi penyakit degeneratif,
tumor, infeksi, perdarahan dan metabolik. Setiap penyebab dari kejang tersebut memiliki gejala
klinis dan temuan radiologis yang berbeda. Oleh karena itu perlunya mengetahui penyebab
yang mendasari kejang sehingga penanganan yang diberikan akan adekuat.

2.2.1 Penyakit Degeneratif

Penyakit degeneratif atau lesi otak destruktif pada awal perkembangan mencakup
banyak hal mengenai neuropatologis yang didapatkan dari kongenital, perinatal, dan postnatal
yang memiliki kesamaan berupa nekrosis jaringan otak yang sebelumnya telah terbentuk. Hal
ini akan menyebabkan morbiditas neurologis pada anak. Perbedaan topografi dan morfologi
dari otak ditentukan berdasarkan jejas yang terjadi, keparahannya, dan periode perkembangan
otak saat kejadian (Cendes, 2016).

Klasifikasi penyakit neurodegeneratif otak pada bayi dibagi menjadi dua garis besar
yaitu genetik dan didapat. Kelainan genetik meliputi kelainan pada subtantia nigra, subtantia
alba, dan manifestasi fokal. Sedangkan yang termasuk kelainan yang didapat berasal dari
infeksi dan metabolik. Contoh penyakit yang paling sering ditemukan pada kejang anak adalah
leukodistrofi, demyelinating disease, dan periventricular leukomalacia (Cendes, 2016).

2.2.1.1 Leukodistrofi

1. Definisi

Leukodistrofi merupakan kelainan subtantia alba yang disebabkan oleh genetik dan
merupakan penyebab utama dari disabilitas neurologis yang progresif. Penyakit ini sering
diketahui dengan pemeriksaan MRI, namun untuk mengidentifikasi keterlibatan faktor lain
dibutuhkan pemeriksaan laboratorium lainnya. Penegakan diagnosis yang tepat, terutama dari
gejala klinis dan temuan MRI, sangat membantu prognosis, perawatan paliatif, dan tentunya
terapi (Kohlschutter & Eichler, 2011).

Kelainan yang ditemukan berupa degenerasi selubung myelin pada sistem saraf pusat
maupun sistem saraf perifer. Defek utama terjadi pada proses sintesis membran. Umumnya
manifestasi leukodistrofi yang baru diketahui saat masa kanak-kanak ataupun remaja, sudah
tidak dapat disembuhkan, progresif, dan seringkali mengarah pada kematian. Oleh karena itu,
diagnosis dini dan pemberian terapi yang tepat saat bayi seringkali memberikan hasil yang baik
(Kohlschutter & Eichler, 2011).

2. Diagnosis

Umumnya pasien dengan leukodistrofi tidak memiliki abnormalitas fisik, namun pada
beberapa kasus bisa ditemukan pembesaran kepala atau abnormalitas gigi. Gejala yang menojol
pada leukodistrofi berupa gejala neurologis seperti spastisitas motorik dan perubahan kognitif
serta bahasa. Kejang berat juga terkadang didapatkan pada neonatus (Kohlschutter & Eichler,
2011).

Gambar 2.9
Abnormalitas gigi pada hipomyelinisasi
(Kohlschutter & Eichler, 2011)

Pemeriksaan menggunakan MRI sangat penting selain temuan fisik untuk mengetahui
dengan pasti penyebab kelainan yang terjadi pada anak apakah disebabkan oleh proses
inflamasi, tumor, ataupun kelainan vaskular. Pendekatan evaluasi MRI yang komprehensif
sangat dibutuhkan untuk menentukan bentukan lesi yang terlihat. Oleh karena itu dibutuhkan
beberapa langkah untuk menganalisis foto yaitu:

1. Apakah ada hipomyelinasi atau proses patologis lainnya? Pada bayi deposisi dari
myelin dapat terlihat dengan baik dengan T1-weighted. Bila sudah berusisa 1.5
tahun myelin sudah terbentuk dengan penuh dan sudah dapat memberikan
gambaran gelap pada subtantia alba dengan T2-wieghted, sehingga apabila ada
gambaran sinyal tinggi pada usia ini dapat disimpulkan sebagai abnormalitas.
Untuk membedakan apakah ini keterlambatan myelinisasi atau permanen
demyelinasi, dapat dilakukan MRI dengan dua waktu yang berbeda.
2. Bagaimana bentukan abnormalitas dari subtantia alba? Apakah simetris dan
bilateral seperti pada kelainan genetik atau multifokal dan asimetrik seperti pada
kelainan yang didapat?
3. Bila lesi yang didapatkan bilateral, dimanakah letak lokasi utama lesi tersebut?
Apakah pada frontal, parieto-oksipital, periventricular, subkortikal, difus atau fossa
posterior.

Bentukan gambar yang sering didapatkan dari MRI bisa berupa lesi confluent,
bentukan kavitas, hipomyelinasi, dan kalsifikasi. Beberapa gambaran MRI tipikal lainnya
dapat berupa bentukan bergaris-garis (tigroid) di tengah subtantia alba pada leukodistrofi
sel globoid dan metachromatic leukodystrofi (MLD). Bentukan ini disebabkan oleh
akumulasi cairan disekitar vaskular yang menumpuk pada ruang Virchow-Robin di dalam
otak. Selain itu dapat juga terlihatn gambaran penipisan serat U subkortikal pada
adrenoleukodistrofi X-linked dan MLD (Kohlschutter & Eichler, 2011).

Gambar 2.10
MRI pada MLD juvenil, (A) di tengah subtantia alba terlihat gambaran
hiperintensitas bergaris-garis, serta penipisan serat U subkortikal; (B) keterlibatan dari
corpus callosum dan ekstremitas posterior dari kapsula internal
(Kohlschutter & Eichler, 2011)

Gambaran lain MRI lain yang bisa ditemukan adalah bentukan kista dan edema nervus
optikus yang ditemukan pada leukodistrofi sel globoid infantil. Pada nervus perifer dapat
terlihat edema dan serabut spinal menunjukkan peningkatan kontras (Kohlschutter & Eichler,
2011).
Gambar 2.11
MRI pada leudistrofi dengan kista

Gambar 2.12
MRI pada leukodistrofi sel globoid
(A) perubahan gambaran sinyal pada thalamus bilateral, (B) pembengkakan nervus optikus

2.2.1.2 Demyelinating Disease

1. Definisi

Demyelinasi dari sistem saraf pusat pada anak seringnya disebabkan oleh proses
inflamasi dari sistem imun yang menyerang pembentukan myelin otak. Untuk mengetahui lesi
yang terjadi sangat dibutuhkan pemeriksaan neuroimaging, sehingga dapat diketahui apakah
lesi tunggal atau multiple, apakah mengenai nervus optikus atau spinal cord. Beberapa kasus
bisa didapatkan gambaran edema perilesi atau massa, sehingga perlu dibedakan dengan proses
malignansi (Yiu, Laughlin, Verhey, et al, 2013).

Hampir sepertiga dari penyakit demyelinasi pada anak, merupakan multiple sclerosis
(MS). Sebagian besar pasien anak-anak maupun remaja yang memiliki riwayat infeksi dan lesi
polifokal diketahui sebagai MS. Sedangkan penyakit lain yang termasuk penyakit demyelinasi
adalah acute disseminated encephalomyelitis (ADEM) dan neuromyelitis optica (Hintzen,
Dale, Neuteboom, et al, 2016).

2. Diagnosis

Defisit neurologis polifokal dan gejala lesi CNS di beberapa tempat menunjukkan
gejala dari MS. Misalnya ataxia, dysmetria, atau defisit motorik dan sensorik. Pada
neuromyelitis optica bisa didapatkan gejala berupa penurunan visus, nyeri gerak okular, atau
penyempitan lapangan pandang. Hal ini dapat diikuti dengan ensefalopati atau penurunan
kesadaran yang ditandai dengan iritabilitas, kejang, dan terkadang disertai demam yang
kemudian menjadi kriteria dari ADEM (Hintzen, Dale, Neuteboom, et al, 2016).

Selain gejala klinis, sangat dibutuhkan pemeriksaan MRI untuk melihat dimana
tepatnya letak lesi serta kelainan apa yang terbentuk. Temuan umum dari pemeriksaan MRI
dari MS adalah lesi periventricular yang bersinggungan dengan ventrikel, terlibatnya corpus
callosum, lesi jukstakortikal (serat U) yang menyentuh koteks, terdapat lesi pada lobus
temporal dan infratentorial, serta lesi pada spinal cord.

Gambar 2.13
Abnormalitas otak dan spinal cord pada anak laki-laki usia 6 tahun dengan
inkontinensia tubuh bagian kanan
(Lequin, 2015)

Bila disertai dengan ensefalopati, maka termasuk ke dalam ADEM. Temuan MRI pada
ADEM dapat berupa lesi hiperintens berbatas tidak tegas dan luas. Pada beberapa kasus dapat
disertai dengan terlibatnya korteks dan deep grey nuclei. Sama seperti MS, ADEM juga
menunjukkan lesi pada spinal cord (Lequin, 2015).
Gambar 2.14
MRI pada bayi perempuan usia 21 bulan
Tampak lesi hiperintens berbatas tidak tegas dan luas (Lequin, 2015).

2.2.1.3 Periventricular Leukomalacia

1. Definisi

Periventricular leukomalacia (PVL) adalah penyebab tersering dari kerusakan otak


pada bayi prematur yang mempengaruhi perkembangan neurologis. Diketahui bahwa PVL
merupakan akibat dari proses nekrosis yang multifokal, dapat membentuk kista di dalam
subtantia alba, seringkali simetris, dan ditemukan di daerah dekat ventrikel. Lesi nekrotik
tersebut menyebabkan terjadinya serebral palsy pada bayi berat lahir rendah (BBLR) atau bayi
prematur. Lesi tersebut menyebabkan demyelinasi dan ventrikulomegali. Patofisiologi utama
dari PVL adalah jejas iskemi pada arteri yang mengelilingi daerah periventricular serta
chorioamnionitis atau vasculitis maternal yang kemudian akan meningkatkan sitokin
infamatori sehingga mengganggu perkembangan otak janin (Neves & Araujo, 2015).

2. Diagnosis

Temuan utama dan mudah dari PVL adalah periventrikular echodensitas atau
echoluscens yang menunjukkan gambaran kista yang terdeteksi dari pemeriksaan USG
transfontanellar. Selain USG, hasil yang lebih spesifik bisa didapatkan dengan pemeriksaan
MRI, hal ini disebabkan karena USG sangat terbatas untuk melihat jejas difus pada subtantia
alba dan proses yang menuju ensefalopati. Derajat keparahan dapat ditentukan dengan MRI
menjadi derajat 1, 2, dan 3. (1) gambaran hiperintensitas abnormal pada subtantia alba
periventrikular ; (2) hilangnya sebagian regio subtantia alba periventrikular yang ditandai
dengan hiperintensitas dan perluasan ventrikel; (3) perubahan subtantia alba menjadi gambaran
kista yang fokal dan ekstensif (Imamura, Ariga, Kaneko, et al, 2013). Diagnosis dini dari bayi
prematur yang memiliki temuan klinis dengan keterlambatan perkembangan kognitif, serebral
palsy, dan lesi sensori neural dapat membantu menentukan penanganan yang cepat (Neves &
Araujo, 2015).

Gambar 2.15
Gambaran MRI pada PVL (A) derajat 1 menunjukkan hiperintensitas subtantia alba
periventricular, (B) derajat 2 menunjukkan perluasan ventrikel, dan (C) derajat 3
menunjukkan bentukan kista periventrikular sinistra dan dilatasi ventrikel
(Imamura, Ariga, Kaneko, et al, 2013)

Gambar 2.16
Gambaran USG pada neonatus menunjukkan gambaran periventricular echogenik, mengarah
pada leukomalacia derajat 1
(Joo, Jeong, Lee, et al, 2012)

2.2.2 Infeksi

Penyakit infeksi yang utama terjadi pada sistem saraf pusat adalah meningitis dan
ensefalitis. Walaupun terapi modern begitu berkembang saat ini, tingkat mortalitas masih tinggi
dengan mencapai 25%. Luasnya penyebab infeksi menjadi suatu penyulit karena pemberian
terapi harus sesua dengan organisme penyebab seperti virus, fungi atau bakteri. Infeksi virus
yang banyak menjadi penyebab adalah herpes simplex, enterovirus, dan citomegalovirus.
Sedangkan infeksi bakteri sangatlah luas mengikuti perkembangan usia bayi. Namun infeksi
fungal sangat jarang terjadi kecuali pada individu dengan immunokompromais (Jan, 2012).

2.2.2.1 Infeksi Bakteri

Bakteri dapat menginfeksi lapisan meningen ataupun sel otak. Bila mengenai lapisan
meningen (pia, arachnoid, dan subarachnoid space) maka mediator inflamasi akan dengan
mudah menumpuk didalam cairan cerebro-spinal dan memberikan efek yang cepat hingga ke
spinal cord. Bakteri penyebab dari meningitis yang sering adalah mycobacterium tuberculosis,
streptococcus pneumoniae dan neisseria meningitidis. Gejala meningitis ditandai dengan trias
meningitis yaitu meningeal sign positif, terdapat panas, dan sakit kepala yang disertai mual
ataupun muntah. Apabila didapatkan trias tersebut dapat dilakukan pemeriksaan neuroimaging
untuk mengetahui bentukan lesi (Kim, 2010).

Gambar 2.16
Gambaran CT Scan dari meningitis tuberkulosa yang menunjukkan proses inflamasi
perivaskuler dan infark temporal akibat vasculitis
(Kastrup, Wanke, Maschke, 2005)

Gambar 2.17
Scan otak dari meningitis pneumococcal menunjukkan gambaran pembesaran subarachnoid
space, sisterna dan ventrikel yang menyatu. Serta berkurangnya volume dari subtantia alba
(Davidson & Steiner, 1985)
2.2.2.2 Infeksi Virus

Beberapa infeksi virus pada sistem saraf pusat memiliki kriteria gambaran yang khas,
sehingga selain pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan neuroimaging juga ikut menjadi
penanda jenis virus yang menginfeksi. Virus yang sering menginfeksi sistem saraf pusat adalah
herpes simplex, cytomegalovirus, varicella zoster, serta HIV (Gilden & Denver, 2008).

Gejala klinis pada infeksi virus sering tidak spesifik dan cenderung mirip satu sama
lain. Seperti pada infeksi herpes simplex dan cytomegalovirus yang terkadang memiliki gejala
sama yaitu defisit neurologis progresif dan kejang. Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan
neuroimaging. Gambaran yang bisa didapatkan dari infeksi herpes simplex adalah lesi pada
inferomedial lobus temporal yang berupa edema, hemoragik, maupun nekrotik (Baskin &
Hedlund, 2007).

Gambar 2.18
Gambaran ensefalitis herpes simplex yang menunjukkan sinyal abnormal dan edema
pada lobus temporal kiri, insula, dan gyrus cingulata. Terlihat juga bentukan massa pada
nukleus dalam yang mendesak ventrikel kiri dan menyebabkan herniasi uncal (Gilden &
Denver, 2008).

Berbeda dengan temuan radiologis dari infeksi herpes simplex, pada infeksi
cytomegalovirus gambaran radiologis yang sering ditemukan berupa kalsifikasi, pembesaran
ventrikel, serta abnormalitas subtantia alba. Infeksi cytomegalovirus biasanya didapatkan
secara kongenital pada neonatus (Oda, Kitajima, Konishi, et al, 2011).
Gambar 2.19
CT Scan axial pada infeksi cytomegalovirus neonatus menunjukkan (A) kalsifikasi
periventricular yang ekstensif, (B) ventriculomegaly, (C) berkurangnya gambaran sulcus
korteks, dan (D) hipoplasia cerebellar (Dhamija & Keating, 2011).

Anda mungkin juga menyukai