Anda di halaman 1dari 29

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Definisi
Menurut Hastriati, 2019 memberi penjelasan bahwa fraktur tulang ialah suatu
kondisi dimana terputusnya kontinuitas struktur dari tulang sehingga menyebabkan
hilangnya integritas atau keutuhan dari tulang tersebut. Hal ini dikarenakan oleh
trauma akibat dari paparan stress fisik yang melebihi ambang batas absorbs dari
tulang tersebut yang seperti pukulan, benturan dengan benda tumpul, meremuk,
kontaksi otot ekstern dan kesalahan saat gerak reflek tubuh yang terlalu mendadak.
Selain itu, faktor resiko terjadinya fraktur dapat berupa penyakit degeneratif seperti
osteoporosis dan keadaan patologis lainnya (Ramadhani, 2019)
Secara umum fraktur terbagi berdasarkan hubungan tulang dengan jaringan
sekitarnya yang meliputi fraktur terbuka maupun tertutup. Selain itu untuk
menentukan cara penatalaksanaannya, fraktur juga dibagi berdasarkan lokasi dimana
bagian tubuh yang terdampak salah satunya yang sering terjadi yaitu fraktur
ekstermitas bawah yang meliputi femur, tibia serta fibula (Ramadhani, 2019).
Berdasarkan hal tersebut fraktur ekstermitas bawah menduduki angka kejadian
fraktur tertinggi yang dijumpai dibidang orthopedi dengan prosentase sebanyak
46,2% (Martiana, 2019).

1.2 Epidemiologi
Berdasarkan data di dalam penelitian (Humaryanto, 2019), angka terjadinya
fraktur yang diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas dengan presentase sebanyak 1,3
juta kasus dari penyebab kematian di dunia dengan fraktur ekstremitas bawah
merupakan prevalensi paling tinggi dari kejadian fraktur tersebut yaitu sebanyak
46,2%. Provinsi Bali merupakan daerah yang terus menerus mengalami peningkatan
kecelakaan lalu lintas sepanjang tahun 2009 sampai dengan tahun 2011, kasus fraktur
femur merupakan yang paling tinggi angka kejadiannya dengan presentase sebanyak
39% kemudian fraktur humerus dengan presentase sebanyak 15%, disusul dengan
fraktur tibia dan fibula sebanyak 11% (Desiartama, 2017).
1.3 Etiologi
Fraktur diakibatkan oleh adanya trauma/cedera fisik maupun kondisi patologis
lainnya yang dapat memicu terjadinya kecacatan hingga kematian pada individu yang
terdampak. Penyebab trauma fisik pada pasien fraktur dapat dikelopokkan sebagai
kecelakaan lalu lintas (37,5%) dan kecelakaan non lalu lintas (62,5%). Penyebab
fraktur dari kecelakaan non lalu lintas dapat berupa tusukan benda tajam, pukulan
benda tumpul, kecelakaan kerja, kecelakaan olahraga, terjatuh dan kecelakaan rumah
tangga lainnya. Selain itu penyebab degeneratif atau patologis pada pasien fraktur
yang paling sering terjadi adalah osteoporosis. Berikut merupakan klasifikasi frakur
berdasarkan penyebabnya:
1. Trauma Langsung
Trauma terjadi secara langsung pada tulang mengenai kaki seperti
pukulan, benturan, dll
2. Trauma Tidak Langsung
Misalnya peristiwa jatuh ketika kaki pada keadaan ekstensi
3. Kekerasan akibat trauma otot
Beberapa kejadian yang menyebabkan pemuntiran, penekukan dan
penekanan.
4. Trauma Patologis
Secara patologis merupakan suatu kerusakan tulang yang terjadi akibat
proses penyakit dimana dengan trauma dapat mengakibatkan fraktur, hal
ini dapat terjadi pada berbagai keadaan(Ramadhani, 2019
1.4 Klasifikasi
Menurut Smeltzer (2013), fraktur dibagi menjadi beberapa tipe, antara lain:
a. Fraktur Komplet
Fraktur komplet merupakan patah diseluruh penampang lintang tulang
yang sering kali tergeser.
b. Inkomplet (Fraktur greenstick)
Fraktur Inkomplet merupakan patah yang terjadi hanya pada sebagain dari
penampang lintang tulang.
c. Fraktur Remuk (comminuted)
Fraktur Remuk merupakan patah dengan beberapa fragmen tulang.
d. Fraktur Tertutup
Fraktur Tertutup merupakan fraktur sederhana dan tidak menyebabkan
infeksi
e. Fraktur Terbuka
Fraktur Terbuka atau fraktur campuran/kompleks merupakan patah dengan
luka pada kulit atau membran mukosa meluas ke tulang yang fraktur.
Fraktur terbuka dikelasifikasikan menjadi tiga derajat, yaitu:
1) Derajat I: Luka bersih, panjang < 1 cm
2) Derajat II: Luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang luas
3) Derajat III: Luka sangat terkontaminasi dan menyebabkan kerusakan
jaringan lunak yang luas (tipe paling berat).
1.5 Patofisiologis
Pada kejadian fraktur atau patah tulang, terdapat cedera pada periosteum,dan
pembuluh darah di bagian korteks, sumsum tulang dan jaringan lunak di dekatnya.
Keadaan tersebut merupakan indikasi pembedahan karena dapat mengakibatkan syok
hipovolemik. Perdarahan yang terakumulasi menimbulkan pembengkakan jaringan
sekitar daerah cidera yang apabila ditekan atau digerakkan dapat timbul rasa nyeri
yang hebat sehingga mengakibatkan syok neurogenik (Arafah dan Martiana, 2019).
Sedangkan kerusakan pada sistem persarafan akan menimbulkan kehilangan
sensasi yang dapat berakibat paralysis yang menetap pada fraktur hingga terjadi
keterbatasan gerak pada area yang terdampak. Akibat patah tulang tersebut
perdarahan dapat terjadi pada jaringan disekitar area cedera sehingga menyebabkan
kerusakan (Arafah dan Martiana, 2019). Sel darah putih dan sel mast akan
terakumulasi sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut.
Fagositosis dan pembersihan sel – sel mati dimulai. Pada area yang patah terdapat
fibrin hematoma fraktur dan berfungsi sebagai jala – jala untuk pembentukan sel – sel
baru yang disebut callus. Bekuan fibrin di reabsorbsi dan sel – sel tulang baru
mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati (Arafah dan Martiana, 2019).
Tulang bersifat rapuh namun memiliki kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan. Tapi apabila tekanan eksternl yang datang lebih besar dari yang dapat
diseraptulang maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan usak hingga
terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur,maka terjadilah kerusakan
periosteum dan pembuluh darah serta saraf daam korteks dan jaringan lunak yang
membungkus tulang. Akibat dari perdarahan maka terjadilah hematoma di rogga
medulla tulang. Jaringan tulang segera berdekaan ke bagian tulang yang patah.
Jaringan yang mengalami nekrosis menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai dengan vasodilatasi , eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah
putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
(Arafah dan Martiana, 2019).

1.6 Manifestasi Klinis


Menurut (Hastriati, 2019) terdapat beberapa tanda gejala klinis dari kasus fraktur
femur yang sudah di temukan, diantaranya:
1. Nyeri hebat pada area fraktur dan meningkat ketika ditekan/disentuh
2. Tidak dapat digerakkan
3. Spasme otot
4. Terjadi perubahan bentuk atau posisi (dislokasi) dari kondisi normal
5. Ada tidaknya luka pada daerah fraktur
6. Kehilangan sensasi pada bagian distal karena terjadi jepitan syaraf oleh
fragmen tulang
7. Krepitasi jika digerakkan
8. Pendarahan
9. Hematoma
10. Syok
11. Keterbtasan mobilisasi

1.7 Pemeriksaan Penunjang


Adapun beberapa pemeriksaan pennjang untuk kasus fraktur femur menurut
(Humaryanto, 2019), antara lain :
1. X-Ray untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cidera
2. Bone scanes, Tomogram atau MRI scanes
3. Arteriogram, apabila terjadi kerusakan vascular
4. CCT jika terdapat kerusakan otot
5. Pemeriksaan kreatinin, dikarenakan trauma otot meningkatkan beban
kretinin untuk klien ginjal
1.7 Penatalaksanaan Medis
Berikut beberapa penatalaksanaan medis menurut (Humaryanto, 2019) untuk
kasus fraktur femur, diantaranya:
1. Penatalaksanaan Farmakologi
a. Antrain
Dosis 500 mg melalui IV atau IM. Antrain merupakan obat nyeri atau anti
demam. Tidak digunakan untuk obat sakit otot atau flu. Jangan dinguakan
dalam jangka panjang dapat menimbulkan agranulositosis. Dapat menimbulkan
kulit ruam. Gangguan hati bila di gunakan jangka panjang.
b. Ketorolac
Dosis 10 mg melalui IV, biasa digunakan untuk penatalaksanaan nyeri akut
yang berat jangka pendek (<5 hari), kontra indikasinya : Hipersensitif terhadap
ketrolak tromethamine  dan pernah menunjukan reaksi alergi terhadap aspirin
atau obat AINS lainnya, Penderita gangguan ginjal berat atau berisiko
menderita gagal ginjal. Ibu menyusui. Dapat menyebabkan Ulkus, perdarahan
saluran cerna dan perforasi, hemoragis pasca bedah, gagal ginjal akut, reaksi
anafilaktoid, dan gagal hati.
c. Pranza Pantoprazole
Dosis 40 mg vial diinjeksikan via IV, Diindikasikan pada pengobatan ulkus
lambung, ulkus duodeni, refluks eaofagitis derajat sedang dan  berat serta
kondisi hepersekresi patologis seperti pada sindrom Zollinger-Ellison atau
keganasan lainnya. Kontra indikasinya : Pada pasien yang diketahui
hipersensitif terhadap salah komponen. Efek sampingnya umum dan lokal pada
tempat pemberian ; sangat jarang: tromboflebitis, edama perifer. Darah dan
sitem limfatik: sangat jarang : leukopenia, trombositopenia. Gastrointestinal:
nyeri perut bagian atas, diare, konstipasi, flulensi; jarang mual, muntah, mulut
kering.
d. Dexketoprofen
Dosis 2ml (25 mg) Amp injeksi via IV, digunakan untuk pengobatan nyeri akut
bila pemberian per oral tidak memungkinkan, seperti nyeri setelah operasi, dan
seperti nyeri akut muskulooskeletal, dismenoria, sakit gigi. Jangan digunakan
pada penderita yang pernah mengalami serangan asma, brokospasme, rinitis
akut, atau polip nasl, urtikaria atau edema angioneurotik yang dicetuskan oleh
obat lain dengan cara kerja yang serupa (misalnya aspirin, atau NSAID
lainnya), Bisa terjadi : mual, muntah, nyeri pada tempat injeksi, nyeri perut,
diare, dispepsia.
e. Fosmicin
Dosis 1g vial injeksi via IV, digunakan untuk pencegahan infeksi pada operasi
abdomen, jangan digunakan pada klien hipersensitifitas terhadp fosfomycin
dapat menyebabkan sakit kepala, mual kering, vertigo, rasa tidak nyaman pada
dada.
2. Penatalaksanaan Non Farmakologi
a. Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.
b. Pemasangan gips
Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang patah. Gips
yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh.
Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah:
1) Immobilisasi dan penyangga fraktur
2) Istirahatkan dan stabilisasi
3) Koreksi deformitas
4) Mengurangi aktifitas
5) Membuat cetakan tubuh orthotic
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips ialah :

1) Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan


2) Gips patah tidak bisa digunakan
3) Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan klien
4) Jangan merusak / menekan gips
5) Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips / menggaruk
6) Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama
c. Penarikan (traksi) :
Traksi digunakan dengan tujuan untuk mengurangi nyeri karena
spasme otot, memperbaiki dan mencegah deformitas, dan imobilisasi. Secara
umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada
ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga
arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah. Metode
pemasangan traksi antara lain :
1) Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada
keadaan darurat
2) Traksi mekanik, terdiri dari dua macam :
a. Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal
otot. Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
b. Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan
balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi
dengan kawat metal / penjepit melalui tulang / jaringan metal.
d. Fiksasi Interna
Intramedullary nail ideal untuk fraktur transversal, tetapi untuk fraktur
lainnya kurang cocok. Fraktur dapat dipertahankan lurus dan terhadap
panjangnya dengan nail, tetapi fiksasi mungkin tidak cukup kuat untuk
mengontrol rotasi. Nailing diindikasikan jika hasil pemeriksaan radiologi
memberi kesan bahwa jaringan lunak mengalami interposisi di antara ujung
tulang karena hal ini hampir selalu menyebabkan non-union.
Keuntungan intramedullary nailing adalah dapat memberikan
stabilitas longitudinal serta kesejajaran (alignment) serta membuat penderita
dápat dimobilisasi cukup cepat untuk meninggalkan rumah sakit dalam
waktu 2 minggu setelah fraktur. Kerugian meliput anestesi, trauma bedah
tambahan dan risiko infeksi. Closed nailing memungkinkan mobilisasi yang
tercepat dengan trauma yang minimal, tetapi paling sesuai untuk fraktur
transversal tanpa pemendekan. Comminuted fracture paling baik dirawat
dengan locking nail yang dapat mempertahankan panjang dan rotasi.
1) ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi)
ORIF merupakan suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal
fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. ORIF merupakan suatu
tindakan pembedahan untuk memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang
patah/fraktur sedapat mungkin kembali seperti letak asalnya. Internal
fiksasi biasanya melibatkan penggunaan plat, sekrup, paku maupun suatu
intramedulary (IM) untuk mempertahankan fragmen tulang dalam
posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. ORIF adalah
alat bantu jalan dan mobilisasi yaitu alat yang di gunakan untuk
membantu klien supaya dapat berjalan dan bergerak.
2) OREF (Open Reduksi Eksternal Fiksasi)
OREF merupakan reduksi terbuka dengan fiksasi internal di mana
prinsipnya tulang ditransfiiksasikan diatas dan di bawah fraktur, sekrup
atau kawat ditransfiksi di bagian proksimal dan distal kemudian
dihubungkan satu sama lain dengan suatu batang lain. Fiksasi eksternal
digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan
lunak. Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif
(hancur atau remuk). Pin yang telah terpasang dijaga agar tetap terjaga
posisinya, kemudian dikaitkan pada kerangkanya. Fiksasi ini memberikan
rasa nyaman bagi pasien yang mengalami kerusakan fragmen tulang.
BAB 3. CLINICAL PATHWAY

Trauma tidak
Trauma Langsung Trauma Patologis
Langsung

Fraktur

Kerusakan
Kerusakan Pergeseran Nyeri
integritas Laserasi Kulit Spasme otot
fragmen tulang fragmen tulang Akut
Kulit

Peningkatan tek. Tek. Sumsum tlg >


Putus vena/arteri kapiler Deformitas
kapiler

Perdarahan Pelepasan histamin Emboli Ggg fungsi

Protein plasma Perfusi perifer Menyumbat Ggg. Mobilitas


Cairan turun
turun tidak efektif pembuluh darah fisik

Penekanan
hipovolemia Edema
pembuluh darah
BAB 3. KOSNSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian Keperawatan


3.1.1 Identitas klien
Berisi nama, umur, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, golongan darah,
pekerjaan, pendidikan terakhir, agama, suku, alamat, tanggal MRS.
3.1.2 Riwayat kesehatan
1. Diagosa Medik fraktur femur
2. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
b. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
c. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat kesehatan sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap
klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga
nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana
yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
4. Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s
yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang
5. Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
3.1.3 Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih
mendalam.
a. Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
1. Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat
dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
2. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
3. Sistem Integumen
Terdapat eritema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
4. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo chepalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
5. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
6. Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tidak ada lesi, simetris, tidak oedema.
7. Mata
8. Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi
perdarahan
9. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan.
10. Hidung
Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung
11. Mulut dan Faring
Tidak ada tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.
12. Thoraks
Tidak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
13. Paru
Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
Perkusi : Suara ketok sonor, tidak ditemukan suara redup atau
suara tambahan lainnya.
Auskultasi : Suara nafas normal, tidak ditemukan suara tambahan
wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
14. Jantung
Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung.
Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
Auskultasi : Suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-mur.
15. Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba.
Perkusi : Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
16. Inguinal-Genetalia-Anus
Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran lymphe, tida ada kesulitan
BAB.
b. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain,
Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem
muskuloskeletal adalah:
1. Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
b) Cape au lait spot (birth mark).
c) Fistulae.
d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak
biasa (abnormal).
f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2. Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki
mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan
pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa
maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time Normal > 3 detik
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak,
dan ukurannya.
3. Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan
menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri
pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat
mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat
dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0
(posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan
apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang
dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
3.1.4 Pengkajian Pola Gordon
1. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang
dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol
yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan
olahraga atau tidak
2. Pola nutrisi dan metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari
yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
3. Pola eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna
serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah.
Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
4. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal
ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
5. Pola aktivitas dan latihan
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibandingkan pekerjaan
yang lain
6. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap
7. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya
yang salah (gangguan body image)
8. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. Begitu
juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga,
timbul rasa nyeri akibat fraktur
9. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
10. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
11. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien

3.2 Diagnosa Keperawatan

1. Pre-Operasi
a. Nyeri akut b.d pergeseran fragmen tulang
b. Hipovolemia b.d terputusnya vena/arteri
c. Perfusi perifer tidak efektif b.d trombosis arteri
d. Kerusakan integritas kulit b.d trauma
e. Ansietas b.d persiapan operasi
2. Post-Operasi
a. Nyeri akut b.d pergeseran fragmen tulang
b. Gangguan mobilitas fisik b.d imobilisasi area fraktur
c. Gangguan citra tubuh b.d perubahan fungsi tubuh
d. Defisiensi pengetahuan b.d ketidaktahuan terkait perawatan post
3.3 Intervensi keperawatan
1. Pre Operasi

No Diagnosa Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)


1 Nyeri Akut Setelah dilakukan
Manajemen Nyeri
pergeseran tindakan keperawatan
(I.08238)
fragmen tulang selama 3x24 jam
Observasi :
(D.0019) tingkat nyeri menurun
dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyeri
2. Identifikasi respons nyeri
menurun
non verbal
2. Gelisah menurun
Terapeutik :
3. Kesulitan tidur menurun
1. Berikan teknik
nonfarmakologi

2. Fasilitasi istirahat tidur

Edukasi :

1. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
2. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat

Kolaborasi :

1. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
2. Hipovolemia b.d Setelah dilakukan Manajemen Perdarahan
terputusnya tindakan keperawatan (I.02040)
vena/arteri 1x24 jam keutuhan O :
(D.0023) kulit dermis/epidermis - Monitor terjadinya
dan jaringan otot perdarahan (sifat dan
tendon meningkat jumlah)
dengan kriteria hasil: - Monitor nilai hb dan
-Elastisitas kulit hematocrit sebelum dan
meningkat setelah kehilangan darah
- Perfusi jaringan - Monitor tekanan darah dan
meningkat premeter hemodinamik
- Perdarahan menurun -Monitor intake dan output
- Kerusakan jaringan cairan
menurun T:
- Berikan kompres dingin,
jika perlu
- Lakukan penekanan/balut
tekan
- Pertahankan akses IV
E:
-Anjurkan membatasi
aktivitas
- Anjurkan melapor jika ada
tanda-tanda perdarahan
K:
-Pemberian tranfusi darah,
jika perlu
Balut Tekan (I.02028)
O:
-Monitor perban untuk
memantau drainase luka
- Monitor jumlah dan warna
cairan drainase dari luka
T:
-Pasang sarung tangan
- Tutup luka dengan kassa
tebal
- Fiksasi kassa dengan
plester setelah perdarahan
berhenti
E:
-Jelaskan tujuan dan
prosedur balut tekan
- Anjurkan membatasi gerak
pada area yang cedera
-
:3. Perfusi perifer Setelah dilakukan Perawatan sirkulasi
tidak efktif b.d tindakan keperawatan (I.02079)
trombosis arteri 2x24 jam tingkat O:
(D.0009) keparahan dari cidera -Periksa sirkulasi perifer
dapat menurun dengan secara menyeluruh (pulsasi
kriteria hasil: perifer,edema, pengisian
-Toleransi aktivitas kapiler)
meningkat - Monitor ekstermitas yang
-Ketegangan otot panas, kemerahan, nyeri
menurun atau bengkak
- Fraktur menurun T:
-Gangguan mobilitas -Hindari memasang infus
menurun dan mengambil darah pada
area yang cidera
- Hindari pengukuran
tekanan darah pada
ekstermitas dengan
keterbatasan perfusi
- Lakukan pencegahan
infeksi
- Lakukan perawatan kaki
E:
-Anjurkan minum obat
pengontrol tekanan darah.
Jika perlu
-

2. Post Operasi

No Diagnosa Tujuan (SLKI) Intervensi (SIKI)


1 Nyeri Akut Setelah dilakukan
Manajemen Nyeri
pergeseran tindakan keperawatan
(I.08238)
fragmen tulang selama 3x24 jam
Observasi :
(D.0019) tingkat nyeri menurun
dengan kriteria hasil : 3. Identifikasi skala nyeri
4. Keluhan nyeri
4. Identifikasi respons nyeri
menurun
non verbal
5. Gelisah menurun
Terapeutik :
6. Kesulitan tidur menurun
3. Berikan teknik
nonfarmakologi

4. Fasilitasi istirahat tidur

Edukasi :

3. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
4. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
Kolaborasi :

1. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
2. Gangguan Setelah dilakukannya Pengaturan posisi (I.01019)
mobilitas fisik b.d asuhan keperawatan 1. Monitor status
imobilisasi area diharapkan gangguan oksigenasi sebelum dan
fraktur (D.0054) mobilitas pasien sesudah mengubah posisi
menurun dengan 2. Monitor alat traksi agar
kriteria hasil: selalu tetap
Mobilitas fisik 3. Tempatkan pada posisi
(L.05042) terapeutik
1. Pergerakan 4. Atur posisi tidur yang
ekstremitas yang disukai
tidak terdampak 5. Tinggikan tempat tidur
fraktur meningkat bagian kepala
2. Kekuatan otot Perawatan tirah baring (I.
meningkat 14572)
3. Rentang gerak 1. Monitor kondisi kulit
(ROM) meningkat 2. Posisikan senyaman
4. Kaku sendi menurun mungkin
3. Pertahankan seprai tetap
kering, bersih, dan tidak
kusut
4. Berikan latihan gerak
aktfi dan pasif
5. Pertahankan kebersihan
pasien
3. Gangguan citra Setelah dilakukan Manajemen stress
tubuh b.d tindakan keperawatan (I.09293)
perubahan fungsi 2x24 jam persepsi O:
tubuh (D.0083) tentang penampilan, -Identifikasi tingkat stress
struktur dan fungsi fisik - Identifikasi stressor
meningkat dengan T:
kriteria hasil: -Lakukan manajemen
-Verbalisasi perasaan pengendalian marah, jika
negative menurun perlu
-Verbalisasi - Bicarakan perasaan marah
kekhawatiran pada - Berikan kesempatan untuk
penolakan/reaksi orang menenangkan diri
lain menurun - Berikan waktu istirahat
- dan tidur yang cukup
E:
Abjurkan mengatur waktu
untuk mengurangi kejadian
stress
- Anjurkan mengendalikan
tuntutan orang lain dengan
negosiasi
- Anjurkan teknik dalam
menurunkan stress (latihan
pernafasan, relaksasi
progresif)

1.4 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah


pasien diberi intervensi berdasarkan pengkajian, diagnosa keperawatan,
intervensi keperawatan dan implementasi. Evaluasi keperawatan ditulis
dengan format SOAP yaitu :
a. S (Subjektif) : bagaimana respon pasien setelah dilakukan
tindakan keperawatan
b. O (Objektif) : data pasien yang diperoleh dari perawat setelah
dilakukan tindakan keperawatan
c. A (Analisis) : masalah keperawatan pada pasien, apakah sudah
teratasi, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
d. P (Planning) : rencana intervensi dihentikan , dilanjutkan,
ditambah, atau dimodifikasi.
BAB 4. DISCHARGE PLANNING

A. Pertimbangan Pulang Pasien Fraktur Femur

1 Perawatan evaluasi

2 Modifikasi diet

3 Program latihan terencana

B. Penatalaksanaan Fraktur Femur

1. Cara merawat gips


a) Jangan membasahai gips
b) Jangan memotong atau membuang bagian manapun dari gips
c) Jika kulit di bawah gips gatal, hilangkan gatal dengan :
1) Menaruh kantung es di as gips
2) Kipas angina atau pengering rambut
3) Jangan menaruh apapun di bawah gips untuk menghilangkan gatal
d) Jangan menaruh bedak, benda-benda asing seperti kancing, koin, dan
lain-lain ke dalam gips
e) Untuk mengurangi bengkak, posisikan bagian yang di gips lenih tinggi
dari dada
f) Gerak-gerakkan jari-jari pada bagian yang di gips
g) Hindari beban berat pada gips baru selama 48 jam
2. Cara perawatan setelah gips dilepas
b) Latihan gerak bertahap untuk membantu menghilangkan nyeri kaku
c) Bersihkan kulit setiap hari dengan perlahan, menggunakan air hangat
dan sabun ringan diikuti denga lotion
d) Hindari menggosok kulit untuk mengeringkannya, untuk
mengeringkan kulit sebaiknya menggunakan kertas hisap
e) Jangan menggaruk kulit yang di gips
f) Tinggikan ekstremitas yang terkenan fraktur di atas dada bila bengkak
3. Edukasi : edukasi dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan
merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan fraktur femur
secara holistik.

4. Terapi Nutrisi Medis : terapi ini merupakan bagian dari penatalaksanaan


fraktur femur secara total. Kunci keberhasilan dari terapi ini yaitu
keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas
kesehatan yang lain serta pasien juga keluarganya). Setiap penyandang
fraktur femur sebaiknya mendapatkan terapi nutrisi medis sesuai dengan
kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan
pada penyandang fraktur femur hampir sama dengan anjuran pada
umumnya yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masing – masing individu. Pada penyandang fraktur
femur perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal
makan, jenis makanan dan jumlah makanan.

5. Komposisi makanan yang dianjurkan :

a. Karbohidrat :

1) Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi

2) Pembatasan karbohidrat total <130 gr/hari tidak dianjurkan

3) Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat

tinggi

b. Lemak :

1) Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori

2) Tidak diperkenankan >30% total asupan energi

3) Lemak jenuh <7% kebutuhan kalori

4) Lemak tidak jenuh ganda <10% selebihnya dari lemak tidak jenuh
tunggal
5) Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans, seperti daging berlemak

dan susu penuh (whole milk)

6) Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari

c. Protein :

1) Dibutuhkan sebsar 10-20% total asupan energi

2) Sumber protein yang baik ialah seafood, daging tanpa lemak, ayam
tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang – kacangan, tahu

dan tempe
DAFTAR PUSTAKA

Arafah, M. dan Martiana. 2019. Fraktur Tibial Plateau Posterior ; Klaifikasi Three
Column Concept dan Tantangan Approach Operasi. Jurnal Saintika
Medika. 15(1): 41 – 49.
Desiartama, A., I.G.N.W.Aryana. 2017. Gambaran Karakteristik Pasien Fraktur
Femur Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Pada Orang Dewasa Di Rumah
Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Tahun 2013. E-Jurnal Medika. 6(5):
1 – 4.
Humaryanto., O, Firmansyah. 2019. Pengaruh Faktor Status Sosioekonomi Terhadap
Pemilihan Penanganan Pasien Patah Tulang Tertutup Komplit di RSUD
Raden Matteher Jambi. JMJ . 7(2): 215 – 224.
Hastriati, A.Y. 2019. Tingkat Pengetahuan Keluarga Tentang Cara Perawatan Pasien
Fraktur Di RSUD Arifin Achmad. Jurnal Keperawatan Abdurrab. 3(1): 25
– 33.
Ramadhani, R.P., N. Romadhona., M.A. Djojosugito., Dyana., D. Rukanta. 2019.
Jurnal Integrasi Kesehatan dan Sains. 1(1): 32 – 35.
Sembiring, S. 2018. Diagnosis Diferensial Nyeri Otot. Medan : Samuel Karta
Smeltzer., dan Bare. 2013. Buku Ajaran Keperawatan Medikal Bedah Bruner dan
Suddarth Edisi 8. Jakarta : EGC.
Wahyuningsih, S. P., dan Kusmiyati Y. 2017. Buku ajar Kebidanan Anatomi
Fisiologi. Jakarta : BPPSDM Kemenkes RI

Anda mungkin juga menyukai