Disusun Oleh :
Kelompok Kasus
1. Anda Maratus S (201701003)
2. Anggita Rachma P (201701004)
3. Auliya Alfatika Widodo (201701007)
4. Duwitayati Latifah (201701013)
5. Frida Ferinia K (201701020)
6. Galih Ekky Sapta P (201701021)
7. Ila ‘izzatil Karimah (201701025)
8. Junaidi Mahendra (201701036)
9. Mutiarani Ragil A.P (201701027)
10. Riko Priyandana (201701028)
11. Yoga Deris P (201701038)
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya
maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan pada Pasien Tetanus dengan Gangguan Mobilitas Fisik”.
Kelompok Kasus
ii
DAFTAR ISI
Cover ................................................................................ i
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
Kasus ................................................................................ 10
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
5
Tetanus adalah (rahang terkunci / lockjaw) penyakit akut,
paralitik spastik yang disebabkan oleh tetanospasmi, neurotoksin,
yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani. (Berhman 2000)
Tetanus adalah manifestasi sistemik yang disebabkan oleh
absorbsi eksotoksin sangat kuat yang dilepaskan oleh Clostridium
Tetani ada masa pertumbuhan aktif dalam tubuh manusia.
(Abdoerachman 1985)
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh toksin
kuman Clostridium Tetani, bermanifestasi dengan kejang otot secara
proksial dan diikuti kekuatan otot masseter dan otot-otot rangka.
2.1.2 Etiologi
Clostridium Tetani adalah kuman berbentuk batang, ramping,
berukuran 2-5 x 0,4-0,5 milimikron yang berspora termasuk golongan
gram positif dan hidupnya anaerob. Kuman mengeluarkan toksin yang
bersifat neurotoksik. Toksin ini (Tetanuspamin) mula-mula akan
menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Toksin ini labil
pada pemanasan, pada suhu 65˚C akan hancur dalam lima menit.
Disamping itu dikenal pula tetanolysin yang bersifat hemolisis, yang
perananya kurang berarti dalam proses penyakit (Anastasia, 2011).
2.1.3 Patofisiologi
Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti
luka tertusuk paku, pecahan kaca, atau kaleng, luka tembak, luka
bakar, luka yang kotor dan pada bayi dapat melalui tali pusat.
Organisme multiple membentuk 2 toksin yaitu tetanuspamin yang
merupakan toksin kuat dan atau neurotropik yang dapat menyebab
ketegangan dan spasme otot, dan mempengaruhi system saraf pusat
(M.H, 2009).
Eksotoksin yang dihasilkan akan mencapai pada system saraf
pusat dengan melewati akson neuron ataunsistem vaskuler. Kuman ini
menjadi terikat pada satu saraf atau jaringan saraf dan tidak dapat lagi
dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun toksin yang bebas dalam
peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh antitoksin. Hipotesa
cara absorbsi dan bekerjanya toksin adalah pertama toksin diabsorbsi
pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik di bawah ke
korno anterior susunan saraf pusat. Kedua, toksin diabsorbsi oleh
6
susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian
masuk ke dalam susunan saraf pusat. Toksin bereaksi pada myoneural
junction yang menghasilkan otot-otot menjadi kejang dan mudah
sekali terangsang. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata
10 hari (M.H, 2009).
2.1.4 Manifetasi klinis
Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma, kontaminasi luka
dengan nanah, kotoran binatang atau logam berkarat dapat
menyebabkan tetanus. Tetanus juga dapat terjadi sebagai komplikasi
dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan ular yang mengalami
nekrosis, infeksi telinga tengah, absorbsi septik, persalinan, injeksi
intramuscular, dan pembedahan. Masa tunas biasnaya 5-14 hari, tetapi
kadang-kadang sampai beberapa minggu pada infeksi ringan atau
kalau terjadi modifikasi penyakit oleh anti serum. Penyakit ini
biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin
bertambah terutama pada rahang dan leher.
Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan:
1) Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot
mastikatoris
2) Kaku kuduk sampai opistotonus (karena ketegangan otot-otot
erector trunki)
3) Ketegangan otot dinding perut (harus dibedakan dengan
abdomen akut)
4) Kejang tonik apabila dirangsang karena toksin yang terdapat di
kornus anterior
5) Rikus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik ke
atas), sudut mulut tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan
kuat pada gigi
6) Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri kepala,
nyeri anggota badan sering merupakan gejala dini
7) Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan opistotonus,
ekstremitas inferior dalam keadaan ekstensi, lengan kaku dan
mengepal kuat. Anak tetap sadar. Spasme mula-mula
intermitten diselingi dengan periode relaksasi. Kemudian tidak
jelas lagi dan serangan tersebut disertai dengan rasa nyeri.
7
Kadang-kadang disertai perdarah intramuscular karena
kontraksi yang kuat.
8) Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot
pernafasan dan laring. Retensi urine dapat terjadi karena
spasme otot uretra. Fraktur kolumna vetebralis dapat pula
terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
9) Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir
10) Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang
terjadi tekanan cairan di otak (Herman & Wijaya, 2011)
2.1.5 Komplikasi
Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada
jalan nafas sehingga pada tetanus yang berat, terkadang memerlukan
bantuan ventilator. Sekitar kurang lebih 78% kematian tetanus
disebabkan karena komplikasinya. Kejang yang berlangsung terus-
menerus dapat mengakibatkan fraktur dari tulang spinal dan tulang
panjang, serta rabdomiolisis yang sering diikuti oleh gagal ginjal akut
(M.H, 2009).
Infeksi nosokomial umum terjadi karena rawat inap yang
berkepanjangan. Infeksi sekunder termasuk sepsis dari kateter,
pneumonia yang didapat di rumah sakit, dan ulkus dekubitus. Emboli
paru sangat bermasalah pada pengguna narkoba dan pasien usia lanjut.
Aspirasi pneumonia merupakan komplikasi akhir yang umum dari
tetanus, ditemukan pada 50-70% dari kasus diotopsi (M.H, 2009).
Salah satu komplikasi yang sulit ditangani adalah gangguan
otonom karena pelepasan katekolamin yang tidak terkontrol.
Gangguan otonom ini meliputi hipertensi dan takikardi yang kadang
berubah menjadi hipertensi dan bradikardi. Walaupun demikian,
pemberian magnesium sulfat saat gejala tersebut sangat bisa
diandalkan. Magnesium sulfat dapat mengontrol gejala spasme otot
dan disfungsi otonom (Azka & Mahendra, 2010).
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium :
a. Liquor Cerebri normal
b. Hitung leukosit normal atau sedikit meningkat
c. Pemeriksaan kadar elektrolit darah terutama kalsium dan
magnesium
d. Analisa gas darah dan gula darah sewaktu
8
2) Pemeriksaan radiologi : Foto rontgen thorax setelah hari ke 5
2.1.7 Penatalaksanaan Medis
Empat pokok dasar penatalaksana medic : debridement,
pemberian antibiotic, menghentikan kejang, serta imunisasi pasif dan
aktif, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
1) Diberikan cairan intrvena dengan larutan glukosa 5% dan NaCl
fisiologis dalam perbandingan 4 : 1 selama 48-72 jam selanjutnya
IVFD hanya untuk memasukkan obat. Jika pasien telah dirawat
lebih dari 24 jam atau pasien sering kejang atau apnea, diberikan
larutan glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5% dalam
perbandingan 4 : 1 (jika fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas
darah dahulu). Bila setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi
minum peroral/sonde, melalui infus diberikan tambahan protein
dan kalium.
2) Diazepam dosis awal 2,5 mg intravena perlahan-lahan selama 2-3
menit, kemudian diberikan dosis rumat 8-10 mg/kgBB/hari
melalui IVFD (diazepam dimasukkan ke dalam cairan infus dan
diganti setiap 6 jam). Bila kejang masih sering timbul, boleh
ditambah diazepam lagi 2,5 mg secara perlahan-lahan dan dalam
24 jam berikutnya boleh diberikan tambahan diazepam g
mg/kgBB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhannya menjadi
15 mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinis membaik, diazepam
diberikan peroral dan diturunkan secara bertahap. Ppada pasien
dengan hiperbilirubinemia berat atau bila makin berat, diazepam
diberikan per oral dan setelah dibirubin turun boleh diberikan
secara intravena.
3) ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan
IM. Perinfus diberikan 20.000 U sekaligus.
4) Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, intravena
selama 10 hari.
5) Perhatikan jalan napas, dieresis, dan tanda vital. Lendir sering
dihisap (M.H, 2009).
2.2 ASUHAN KEPERAWATAN TETANUS
2.2.1 Pengkajian
Menurut (Muttaqin 008) Pengkajian adalah meliputi anamnesis,
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan diagnostik.
9
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus
pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
1) B1 (Breathing)
Inspeksi : apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot bantu nafas dan peningkatan frekuensi
pernafasan.
Palpasi : taktil premitus seimbang kanan dan kiri
Auskultasi : bunyi nafas tambahan seperti ronchi karena peningkatan
produksi secret.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskuler didapatkan syok
hipovolemik. Tekanan darah normal, peningkatan heart rate, adanya
anemis karena hancurnya eritrosit.
3) B3 (Brain)
a) Tingkat kesadaran
Composmentis, pada keadaan lanjut mengalami penurunan
menjadi letargi, stupor dan semikomatosa.
b) Fungsi serebri
Mengalami perubahan pada gaya bicara, ekspresi wajah dan
aktivitas motorik.
c) Pemeriksaan saraf cranial
(1) Saraf I : tidak ada kelainan, fungsi
penciuman normal.
(2) Saraf II : ketajaman penglihatan normal
(3) Saraf III, IV, dan VI : dengan alasan yang tidak
diketahui, klien mengalami fotofobia atau sensitive berlebih
pada cahaya.
(4) Saraf V : reflek masester meningkat. Mulut
mecucu seperti mulut ikan (gejala khas tetanus
(5) Saraf VII : pengecapan normal, wajah simetris
(6) Saraf VIII : tidak ditemukan tuli konduktif dan
persepsi.
(7) Saraf IX dan X : kemampuan menelan kurang baik,
kesukaran membuka mulut (trismus)
(8) Saraf XI : didapatkan kaku kuduk.
Ketegangan otot
rahang dan leher (mendadak)
(9) Saraf XII : lidah simetris, indra pengecap
normal
10
(a) System motorik
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan
koordinasi mengalami perubahan.
(b) Pemeriksaan reflex
Refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periosteum derajat reflex pada respon normal.
(c) Gerakan involunter
Tidak ditemukan tremor, Tic, dan distonia. Namun dalam
keadaan tertentu terjadi kejang umum, yang berhubungan
sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.
4) B4 (Bladder)
Penurunan volume haluaran urine berhubungan dengan penurunan
perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
5) B5 (Bowel)
Mual muntah karena peningkatan asam lambung, nutrisi kurang
karena anoreksia dan adanya kejang (kaku dinding perut / perut
papan). Sulit BAB karena spasme otot.
6) B6 (Bone)
Gangguan mobilitas dan aktivitas sehari-hari karena adanya kejang
umum.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan (Nursalam 2008) adalah respon individu
terhadap rangsangan yang timbul dari diri sendiri maupun luar
(lingkungan). Sifat diagnosis keperawatan adalah berorientasi pada
kebutuhan dasar manusia, menggambarkan respon individu terhadap
proses, kondisi sakit, dan berubah bila respon individu juga berubah.
Unsur dalam diagnosia keperawatan meliputi problem (P), etiologi (E),
dan sign/symptom (S).
Dalam buku diagnosa keperawatan (Nanda 2020), salah satu
diagnosa yang dapat diangkat yaitu: adalah resiko infeksi dan
resikojatuh.
a.Resiko infeksi
Mengalami peningkatan resiko terserang organism patogenik
Factor resiko
1) Penyakit kronis
2) Ketidakadekuat pertahanan sekunder
3) Vaksin yang tidak adekuat
4) Lingkungan meningkat
5) Prosedur invasif
6) Malnutrisi
11
b. Resiko jatuh
1) Definisi
Peningkatan Kerentanan untuk jatuh yang dapat menyebabkan
bahaya fisik.
1) Batasan karakteristik
Dewasa
a) Usia 65 tahun atau lebih
b) Riwayat jatuh
c) Tinggal sendiri
d) Penggunaan Kursi roda
Anak
a) Usia 2 tahun atau kurang
b) Tempat tidur yang terletak didepan jendela
c) Kurangnya penahanan atau pengekangan kereta dorong
d) Kurangnya atau longarnya pagar atau tangga
e) Kurangnya penghalang atau tali pada candela
f) Kurangnya penggawasan pada orang tua
g) Jenis kelamin laki-laki yang berusia satu tahun
Kognitif : Penurunan status mental, Lingkungan, Tidak
terorganisasi, Rungan yang memiliki pencahayaan yang redur
Pengekangan , Karpet yang tidak rata, Ruang yang tidak dikenal,
Kondisi cuaca misalnya lantai basah
Medikasi : Duretik, obat penenang, fisiologi,sakit akut,anemia
diare , vertigo,ganguan mobilitas fisik.
a) Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah suatu perencanaan dengan tujuan
merubah atau memanipulasi stimulus fokal, kontekstual, dan residual.
Pelaksanaanya juga ditujukan kepada kemampuan klien dalam
menggunakan koping secara luas, supaya stimulus secara keseluruhan
dapat terjadi pada klien. (Bulechek et al. 2016)
Tujuan intervensi keperawatan adalah mencapai kondisi yang
optimal dengan menggunakan koping yang konstruktif. Tujuan jangka
panjang harus dapat menggambarkan penyelesaian masalah adaptif dan
ketersediaan energy untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Tujuan jangka
pendek mengidentifikasi harapan perilaku klien setelah manipulasi
stimulus fokal, kontekstual, dan residual.(Nursalam 2008)
1) Nursing Outcome Classification (NOC)
Nursing Outcome Classification (NOC) adalah pelengkap
NANDA international dan nursing intervention classification
(NIC). Menyediakan bahasa untuk identifikasi outcome dan
langkah-langkah evaluasi proses keperawatan. Mengidentifikasi
12
outcome pasien sebagai respon terhadap asuhan keperawatan
adalah pekerjaan penting dimana perawat menghadapi tantangan
dalam mengimplementasikan catatan kesehatan dan terus berfokus
pada keamanan dan efektivitas pelayanan dalam perubahan system
perawatan kesehatan.
Penggunaan standar outcome memberikan data yang
diperlukan untuk menjelaskan pengetahuan, meningkatkan
pengembangan teori, menentukan efektivitas asuhan keperawatan,
dan menunjukkan kontribusi keperawatan kepada pasien, keluarga,
dan masyarakat (Moorhead et al. 2016).
Resiko Infeksi
a) NOC : Pencegahan infeksi
Definisi : Kemampuan individu aatu kelompok untuk
mencegah infeksi (Moorhead et al. 2016).
b) Nursing Intervention Classification (NIC)
The Nursing Intervention Classification (NIC) adalah suatu
standar klasifikasi intervensi yang komprehensif yang dilakukan
oleh perawat.
1. Membersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
2. Mertahankan teknik isolasi
3. Meatasi pengunjung bila perlu
4. Instruksikan pada pengunjung bila mau berkunjung untuk cuci
tangan, saat berkunjung dan setelah berkunjung
5. Mengunakan sabun anti mikroba untuk cuci tangan
6. Mengunakan APD (Masker + handscoen)
7. Mempertahankan lingkungan aseptic selama pemasangan alat
8. Meningkatkan intake nutrisi
9. Kolaborasi pemberian antibiotic.
Resiko jatuh
13
3. Memasang restrain tempat tidur
4. Membawa pengunjung
5. Mengatur tempat tidur pasien llebih rendah
2.2.3 Implementasi
Implementasi adalah melaksanakan tindakan keperawatan yang
dilakukan perawat dalam mengaplikasikan rencana asuhan
keperawatan guna membantu klien dalam mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Kemampuan yang harus dimiliki perawat pada
tahap implementasi adalah bagaimana berkomunikasi dengan cara
yang efektif, saling bantu, kemampuan melakukan psikomotor,
kemampuan melakukan observasi sistematis, kemampuan
memberikan pendidikan kesehatan, kemampuan advokasi, dan
kemampuan evaluasi. (Asih Yusari 2016).
Kasus
14
Tn .K usia 37 tahun terkena serpihan kaca pada jumat 29 oktober 2019
saat beraktivitas pada daerah betis kurang lebih luka panjangnya 3 cm dengan
kedalaman 1 mm, kemudian langsung dibawa ke bidan mendapatkan
perawatan luka, dijahit dan diberi saleb. Kemudian pada tanggal 4 November
2019 Tn.K mengeluh kaku seluruh tubuh terutama didaerah leher dan
kesulitan untuk berbicara dan dibawa ke IGD RSSa Pada tanggal minggu 5
November 2019 Tn.K dan didiagnosa tetanus, TTV: TD : 121/85 mm/Hg N :
91 X/mntRR : 20 x/mnt S : 36,9 C Spo2: 98 % Laboratorium 5-11-19
Urerum : 34,1 mg/dL (N: 16,6-48,5) Kreatinin :0,87 mg/dL(N: <1,2)
Hematologi : Abnormal WBC : 13,19 (N: 4.-10.3) Meningkat
PDW \ : 13,9 (N : 9-13 ) MPL 11,7 (N: 7,2-11,1) Monosit 9,2 % (N: 2-5)
Kemudian pasien dipindahkan ke rungan R6 (Non stabil ) pada tanggal 5
November 2019.
15
FORMAT PENGKAJIAN
KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
Riwayat penyakit: Tn .K usia terkena serpihan kaca pada jumat 29 oktober 2019 pada saat
beraktivitas pada daerah betis kurang lebih luka panjangnya 3 cm dengan kedalaman 1 mm, kemudian
langsung dibawa ke bidan mendapatkan perawatan luka, dijahit dan diberi saleb. Kemudian pada
tanggal 4 November 2019 Tn.K mengeluh kaku seluruh tubuh terutama didaerah leher dan kesulitan
untuk berbicara dan dibawa ke IGD RSSA Pada tanggal minggu 5 November 2019 Tn.K dan
didiagnosa tetanus
Masalah/Diagnosa
Pengkajian Keperawatan Tindakan keperawatan
Keperawatan
16
A. Airway Aktual Risiko Membersihkan jalan napas
Bersihan jalan napas Memasang collar neck
Bebas
tidak efektif Melakukan pengisapan/suction
Tidak bebas :
Melakukan head tilt - chin lift
Pangkal lidah jatuh
Melakukan jaw thrust
Sputum
Memasang oro/naso faringeal
Darah
airway
Spasme
Melakukan Heimlick Manuveur
Benda Asing
Memberikan posisi nyaman
Suara napas: fowler / semi fowler
Normal Mengajarkan teknik batuk efektif
Stridor
Tidak ada suara napas Lain-lain : ……………........................
Lain-lain………………................. ...........................................................
..........................................................
17
B. Breathing Aktual Risiko Mengobservasi frekuensi, irama,
Pola napas tidak efektif kedalaman pernapasan
1. Pola napas:
Mengobservasi tanda-tanda
Apnea Sesak distres pernapasan: penggunaan
Aktual Resiko
Bradipnea Takipnea otot bantu, retraksi interkosta,
Gangguan pertukaran napas cuping hidung
Orthopnea
gas
2. Frekuensi napas: 21 x/mnt Memberikan posisi semi fowler
3. Bunyi napas: jika tidak ada kontra indikasi
Vesikuler Whezing Melakukan fisioterapi dada jika
tidak ada kontra indikasi
Stridor Ronchi
Kolaborasi:
4. Irama napas
o Memberi oksigen.......ltr/mnt
Teratur Tidak teratur via .......................................
5. Tanda distres pernapasan o Pemeriksaan AGD
Penggunaan otot bantu
Retraksi dada/interkosta Lain-lain: ………................................
Cuping hidung ..........................................................
6. Jenis pernapasan: ...........................................................
Pernapasan dada
Pernapasan perut
7. Lain-lain………………................
18
D. Disability Aktual Risiko Mengobservasi perubahan
Perfusi jaringan tingkat kesadaran
1. Tingkat kesadaran : Coposmetis
serebral tidak efektif Mengkaji pupil: isokor, diameter
2. Nilai GCS dan repon cahaya
E: 4 M : 5 V: 6 =15 Mengukur kekuatan otot
3. Pupil Mengkaji karakteristik nyeri
Isokor Anisokor Meninggikan kepala15-30o jika
Respon Cahaya : + / - tidak ada kontraindikasi.
Diameter : 1 mm 2 mm Kolaborasi;
3 mm 4 mm Memberikan terapi sesuai
4. Ekstremitas indikasi: ............................
Sensorik Ya Tidak Lain-lain :
Motorik Ya Tidak .......………………………...................
5. Kekuatan otot : ...........................................................
2 2 ...........................................................
2 2
E. Exposure Nyeri Mengkaji karakteristik nyeri
Hambatan Mobilitas dengan PQRST.
1. Adanya trauma pada daerah :
Fisik Mengajarkan teknik relaksasi.
...................................................
Resiko infeksi Membatasi aktivitas yang
................................................... meningkatkan intensitas nyeri
Resiko jatuh
2. Adanya jejas/luka pada daerah : Mengobservasi tanda-tanda
Ada luka robek pada telapak adanya sindrom kompartemen
kaki. (nyeri lokal daerah cedera,
3. Ukuran luka pucat, penurunan mobilitas,
Kurang lebih 3 cm penurunan tekanan nadi, nyeri
4. Kedalaman luka: bertambah saat digerakkan,
Kurang lebih 2 mm perubahan sensori / baal &
kesemutan)
5. Lain-lain : luka bersih dan sudah
mulai menutup Melakukan pembalutan
. Melakukan pembidaian
Kolaborasi :
o Analgetik
Lain-lain:
…………............................
...........................................................
Initial assisment
Airway
Paten
Breating
Spontan
RR : 21 x/mnt
Spo2 : 98 %
19
Circulation
Akral hangat
Disability:
AVPU sadar penuh, gcs 456, pupil isokor, reaksi cahaya +/+
Exposure:
Pemeriksaan fisik
Kepala :
Mata :
Hidung :
Mulut :
Leher :
Inspeksi : tidak ada DCAPBLS, Tidak ada peningkatan JVP dan bronkus tidak bergeser
Dada :
Palpasi : tidak ada nyeri tekan dan icus cardis tidak melebar
Perkusi :Hipersonor
Askultrasi : vesikuler
Abdomen :
Pelvis :
20
Inspeksi : tidak ada DCAPBLS
Extermitas atas
Extermitas bawah
Laboratorium 5-11-19
Hematologi : Abnormal
Terapi
Santagesik 1 amp
Lazoprazol 30 mg
Diazepam 0,8U/jam
Tetrajam 3000 Iu
21
TINDAKAN KEPERAWATAN DAN EVALUASI
Nama Pasien : Tn.K
No. Medical Record : 11461337
Tanggal :selasa 4/11/19
22
mempunyai
riwayat
keturunan
seperti diabetes
dan hipertensi
Pasien
mengatakan
tidak
mempunyai
riwayat alergi
Kesadaran
compos mentis
GCS 456
Keadaan umum
lemah
Airway paten
Breating spontan
CRT kurang dari
2 detik
Nadi teraba kuat
Pupil isokor 3
mm 3 MM
Kelurga pasien
dapat melakukan
cuci tangan 6
langkah
TTV
TD : 121/85
mm/Hg
N : 91 X/mnt
RR : 20 x/mnt
S : 36,9 C
Spo2: 98 %
Pasien memakai
pengaman
Pasien memakai
tanda resiko
23
jatuh
Masalah belum
teratasi
Lanjutkan
intervensi
Resiko jatuh
1. Meindentifikasi
kebutuhan keamanan
pasien di fisik, fungsi
kognitif dan
fisik,fungsi kognitif
dan kebiasaan prilaku
pasien
2. Mesedian lingkungan
yang aman untuk
pasien
3. Memasang restrain
tempat tidur
4. Membawa
pengunjung
5. Mengatur tempat tidur
pasien llebih rendah
24
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
a. Bagi penulis
Mengingat penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan isi
makalah di atas. Mengingat pula referensi untuk intervensi yang penulis
angkat masih sangat minim bahkan belum ada, penulis berharap kedepannya
aka nada penelitian terkait terapi aktivitas yang cocok untuk pasien tetanus.
b. Bagi Pembaca
Semoga makalah ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan
baru bagi para pembaca sehingga dapat membuka wawasan pembaca terkait
dengan asuhan keperawatan pada pasien tetanus.
25
DAFTAR PUSTAKA
Abdoerachman, M.H. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. 3rd ed. Jakarta:
Infomedika.
Asih Yusari, Risneni. 2016. Buku Ajar Kebidanan Nifas Dan Menyusui. Jakarta:
TIM.
Mubarak, I, W, Cahyatin N. 2008. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. Teori &
Aplikasi Dalam Praktik. Jakarta: EGC.
26
Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Kien Dengan Gangguann
Sistem Persarafan. jakarta: Salemba Medika.
27