TETANUS
Disusun oleh:
1102013231
Pembimbing
2017
DAFTAR ISI
I. Tetanus
A. Definisi ....... 4
B. Etiologi ... 4
C. Patogenesis ... 6
D. Manifestasi Klinisi dan Klasifikasi ... 9
E. Diagnosis ... 11
F. Tatalaksana ... 12
G. Komplikasi ... 19
H. Prognosis ... 20
I. Profilaksis ... 20
DAFTAR PUSAKA .. 23
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Tetanus
A. Definisi
B. Etiologi
4
dapat mengandung sejumlah besar spora. Spora tumbuh menjadi bentuk
vegetatif dalam suasana anaerob. Bentuk vegetatif ini yang menghasilkan dua
jenis eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Toksin tetanospasmin
inilah yang menyebabkan tetanus. Toksin ini bekerja pada ujung saraf otot
dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang, sedangkan
toksin tetanolisin belum diketahui kepentingan nya dalam kejadian tetanus,
namun toksin tetanolisin ini dapat menyebabkan hemolisis in vitro.
5
g) Bekas irisan umbilicus pada bayi
i) Abses gigi
j) Mastoiditis kronis
k) Ruptur apendiks
C. Patogenesis
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui
luka dalam bentuk spora. Penyakit yang akan muncul bila spora tumbuh
menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan eksotoksin berupa
tetanospasmin pada keadaan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau
berkurangnya potensi oksigen.
Penyebaran Toksin
6
2. Penyebaran melalui sistem limfatik
Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam
nodus limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke dalam
peredaran darah sistemik.
3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah
Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui siistem
limfatik, namun dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka.
Penyabaran melalui pembuluh darah merupakan cara yang penting
sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada manusia sebagian
besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga
memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian
antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena.
Toksin tidak dapat masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui
peredaran darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal
yang sangat penting adalah toksin dapat menyebar ke otot-otot lain
bahkan ke organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak
langsung meningkatkan transport ke dalam susunan saraf pusat.
4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)
Toksin masuk ke dalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf
secara retrograd. Toksin mencapau SSP melalui sistem saraf motorik,
sensorik, dan autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medulla
spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian bergabung dengan
reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.
1. Jenis toksin
Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospasmin.
Tetanolisin mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis
7
tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai saat ini peran
tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti.
Tetanospasmin menmpunyai efek neurotoksik, penelitian
mengenai patogenesis penyakit tetanus dihubungkan dengan
dengan toksin tersebut.
2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf
Toksin tetanus berkaitan dengan ganglionsid ujung membran
presinaptik, baik pada neuromuskular junction, maupun pada
susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk transport toksin
melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan
toksisitas belum diketahui secara jelas.
Normal: Inhibitory interneuron Glycine blocks excitation
& acetylcholine release muscle relaxation
Tetanus toxin: blocks Glycine release no inhibition at
acethylcholine release irreversible contraction spastic
paralysis
3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter
Tempat kerja utama toksin tetanus adalah pada sinaps inhibisi dari
susunan saraf pusat, yatitu dengan cara mencegah pelepasan
neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino Butyric
acid (GABA), dopamin, dan noradrenalin. GABA adalah
neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang
berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif, toksin
tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun
GABA namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua
neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dengan cara
mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses
eksositosis.
8
Gambar 2. Patogenesis Tetanus
a. Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan
dengan angka kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi
kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada
otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapet
berkembang menjadi tetanus umum.
9
b. Tetanus sefal
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah oleh karena luka
pada daerah kepala atau otitis media kronis disebut dengan
tetanus sefal. Masa inkubasi nya 1-2 hari. Gejala klinis tetanus
sefal dapat berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan
disfungsi nervus kranial. Ettanus sefal jarang terjadi, dapat
berkembang menjaid tetanus umum dengan prognosis yang
jelek.
c. Tetanus umum
Tetanus umum adalah bentuk tetanus yang paling sering
dijumpai. Gejala klinis nya berupa trismus, iritable, kekakuan
leher, susah menelan, kekakuan dada, dan perut (opisthotonus),
fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa sakit dan
kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi
dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara, dan sentuhan
dengan kesadaran yang tetap baik. Gejala pertama yang terlihat
dan dirasakan pasien adalah kaku otot maseter yang
mengakibatkan gangguan membuka mulit (trismus).
Selanjutnya timbul opistotonus yang disebabkan oleh kaku
kuduk, kaku leher, dan kaku punggung. Selain dinding perut
yang menjadi keras seperti papan, tampak risus sardonikus
karena kaku otot wajah dan keadaan kekuan ekstremitas.
Penderita sangat terganggu oleh gangguan menelan.. Kejang
dapat sering terjadi dan berlangsung selama beberapa menit.
Kejang berlanjut hingga 3-4 minggu. Masa pemulihan bisa
memakan waktu beberapa bulan.
d. Tetanus neonatorum
Tetanus neonatorum merupakan tetanus yang terjadi pada bayi
baru lahir. Tetanus ini disebabkan karena adanya infeksi tali
10
pusat, umunya karena teknik pemotongan tali pusat yang
aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat.
Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk
menetek, kelemahan, iritable diikuti oleh kekakuan dan
spasme. Posisi tubuh klasik; trismus, kekakuan pada otot
punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan
lordosis lumbal. Bayi emmepertahankan ekstremitas atas
fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan
dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.
Kematian biasanya disebbakan oleh henti nafas, hipoksia,
pneumonia, kolaps sirkulasi, dan kegagalan jantung dan paru.
E. Diagnosis
Diagnosis cukup ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan riwayat
imunisasi, karena pemeriksaan kuman C.tetani belum tentu berhasil.
Anamnesis tentang riwayat terluka yang terkontaminasi namun 20% dapat
tanpa riwayat luka, adanya riwayat imunisasi yang tidak lengkap, luka adanya
kelainan yang dapat menjadi tempat masuknya kuman tetanus, trismus, risus
sardonikus, kaku kuduk, opistotonus, perut keras seperti papan atau kejang
tanpa gangguan kesadaran, cukup untuk menegakkan diagnosis tetanus.
11
dari luka sangat sulit (hanya 30% positif ), dan hasil kultur positif mendukung
diagnosis, bukan konfirmasi.
F. Tatalaksana
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: (1) membuang
sumber tetanospasmin, (2) menetralisasi toksin yang tidak terikat, (3)
perawatan penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan
jaringan telah habis dimetabolisme.
12
Tabel 1. Phillips Score
13
Tabel 3. Klasifikasi Derajat Tetanus Menurut Albett
14
bahwa penicillin mungkin berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin
dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).
15
Pengobatan suportif
16
diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme
akut, diikuti infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis
diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa
orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik
bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik
(tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan. Tambahan efek sedasi
bisa didapat dari barbiturate khususnya phenobarbital dan phenotiazine
seperti chlorpromazine, penggunaannya dapat menguntungkan pasien dengan
gangguan otonom. Phenobarbital diberikan dengan dosis 120-200 mg
intravena, dan diazepam dapat ditambahkan terpisah dengan dosis sampai 120
mg/hari. Chlorpromazine diberikan setiap 4-8 jam dengan dosis dari 4-12 mg
bagi bayi sampai 50-150 mg bagi dewasa. Morphine bisa memiliki efek sama
dan biasanya digunakan sebagai tambahan sedasi benzodiazepine.
17
gangguan kardiovaskular seperti disritmia dan infark miokard serta kolaps
sirkulasi sering menyebabkan kematian. Tanda overaktivitas simpatis yaitu
takikardia fluktuatif, hipertensi yang kadang diikuti hipotensi, pucat dan
berkeringat sering tampak beberapa hari setelah onset spasme otot. Henti
jantung tiba-tiba umum terjadi dan dikatakan dapat dipresipitasi oleh
kombinasi kadar katekolamin yang tinggi dan kerja langsung toksin tetanus
pada miokardium. Aktivitas simpatis yang memanjang dapat berakhir dengan
hipotensi dan bradikardi. Aktivitas parasimpatis berlebihan dapat
menyebabkan sinus arrest, dikatakan karena kerusakan langsung nukleus
vagus oleh toksin tetanus.
18
prognosis.. Nutrisi parenteral total mengandung glukosa hipertonis dan insulin
dalam jumlah cukup untuk mengendalikan kadar gula darah, dapat menekan
katabolisme protein. Formula asam amino sangat membantu membatasi
katabolisme protein. Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara
intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus
belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara
parenteral. Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk
makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada risiko aspirasi.
G. Komplikasi
Infeksi nosokomial dapat terjadi karena rawat inap yang lama. Infeksi
sekunder yang bisa terjadi adalah sepsis akibat tertinggalnya kateter, hospital-
acquired pneumonia, dan ulkus dekubitus. Emboli paru terutama pada
pengguna obat dan pasien yang lebih tua. Aspirasi penumonia adalah
komplikasi lanjut dari tetanus, ditemukan pada 50%-70% dari kasus yang
diautopsi. Dalam beberapa tahun terkahir tetanus telah menjadi penyakit yang
fatal pada 11% penyakit yang dilaporkan. Kasus terfatal adalah yang terjadi
pada penderita berusia 60 tahun keatas (18%) dan orang-orang yang tidak
19
divaksin (22%). Sekitar 20% dari kematian tetanus, tidak ada patologi yang
teridentifikasi dan kematian dikaitkan dengan efek langsung dari racun
tetanus.
H. Prognosis
I. Profilaksis
20
imunitas dan jenis luka, baru ditentukan pemberian antitetanus serum atau
toksoid.
Ada keraguan untuk memberikan serum antitetanus bersamaan dengan
toksoid karena ditakutkan terjadi netralisasi toksoid oleh ATS. Hal ini dapat
dicegah dengan memberikannya secara terpisah pada tempat penyuntikan
yang berjauhan, misalnya lengan atas dan paha kiri.
21
BAB III
KESIMPULAN
Tetanus adalah penyakit akut yang disebabkan oleh toksin dari Clostridium
tetani. Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif,
dan memiliki spora. Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya
melalui luka dalam bentuk spora. Penyakit yang akan muncul bila spora tumbuh
menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan eksotoksin berupa tetanospasmin pada
keadaan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen. Gejala
klinis tetanus bervariasi dimulai dari kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang
yang hebat. Diagnosis cukup ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan riwayat
imunisasi, karena pemeriksaan kuman C.tetani belum tentu berhasil. Ada tiga sasaran
penatalaksanaan tetanus, yakni membuang sumber tetanospasmin, menetralisasi
toksin yang tidak terikat, perawatan penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang
berikatan dengan jaringan telah habis dimetabolisme.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Azhali MS, et al. 2005. Penyakit Infeksi dan Tropis Dalam: Pedoman
Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan anak Edisi 3, 209-213. Bandung:
FKUP/RSHS.
2. WHO. 2010. Current recommendations for treatment of tetanus during
humanitarian emergencies. WHO Technical Note.
http://www.who.int/diseasecontrol_emergencies/who_hse_gar_dce_2010_en.
pdf
3. De Jong, Sjamsuhidajat. 2013. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC.
4. Behrman, Richard E, et al. 2004. Nelson Textbook of Pediatric Vol 1, 17th
Edition. Saunders Company.
5. Centers for Disease Control and Prevention. 2015. Epidemiology and
Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. Hamborsky J, Kroger A, Wolfe
S, eds. 13th ed. Washington D.C. Public Health Foundation.
6. Edlich RF, Hill LC, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Horowitz JH, et al.
2003. Management and prevention of tetanus. Niger J Paed, 13(3):139-54.
7. Soedarmo, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi, dan Penyakit
Tropis Edisi 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
8. Swash M, Oxbury J. 1991. Clinical Neurology, 865-871. Edinburg: Churchill
Livingstone.
9. Udwadia FE. 1993. Tetanus. Bombay: Oxford University Press.
10. WHO news and activities. 1994. The Global Elimination of neonatal tetanus:
progress to date, Bull WHO 72; 155-157.
23