Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

TN.M DENGAN DIAGNOSA TETANUS DI RUANG DAHLIA

RSUD MARDI WALUYO KOTA BLITAR

DEPARTEMEN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

Oleh :

NOVIRDA LILA NUR KHAMIDAH

NIM. 40220023

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA

KEDIRI

2021
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

TN.M DENGAN DIAGNOSA TETANUS DI RUANG DAHLIA

RSUD MARDI WALUYO KOTA BLITAR

DEPARTEMEN KEPEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

NAMA : NOVIRDA LILA NUR KHAMIDAH

NIM : 40220023

PRODI : PENDIDIKAN PROFESI NERS

Pembimbing Institusi Pembimbing Lahan (CI)

(…………………………………….) (…………………………………….)
BAB I
PENDAHULULUAN
A. Pengertian Tetanus
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat.
Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan
tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium
tetani. Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease". Dan pada tahun 1890,
diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang
diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi
derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus. Spora Clostridium tetani
biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong, tertusuk
ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Smeltzer, 2010).
Tetanus adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh eksotoxin yang
dihasilkan oleh clostridium tetani yang ditandai dengan peningkatan kekakuan umum
dan kejang-kejang otot rangka (Mahadewa, 2009).
Tetanus merupakan penyakit akut yang menyerang susunan saraf pusat yang
disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani. Penyakit
ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga,
infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali pusat. Dalam tubuh
kuman ini akan berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin antara lain
tetanospasmin yang secara umum menyebabkan kekakuan, spasme dari otot bergaris.

B. Klasifikasi
Tetanus diklasifikasikan berdasarkan pada menjadi:
1. Tetanus local
2. Tetanus cephalic
3. Tetanus umum
4. Tetanus neonatal
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali pusat sewaktu
proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh proses pertolongan
persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora
C. tetani, maupun penggunaan obat-obatan untuk tali pusat yang telah terkontaminasi.
Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak
steril, merupakan faktor yang utama dalam terjadinya neonatal tetanus.
C. Etiologi
Kuman penyebab penyakit tetanus yang dikenal sebagai Clostridium tetani;
berbentuk batang yang langsing dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um,
termasuk gram positif dan bersifat anaerob. Bakteri ini berspora, dijumpai pada tinja
binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan juga pada tanah yang terkontaminasi
dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa
tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau
bakteri lain, ia akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang
bernama tetanospasmin.
Clostridium tetani dapat dibedakan dari tipe lain berdasarkan flagella antigen.
Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan ujung yang butat,
khas seperti batang korek api (drum stick) Sifat spora ini tahan dalam air mendidih
selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila dipanaskan selama 15–20
menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya, maka spora dapat hidup di tanah
berbulan–bulan bahkan sampai tahunan. Juga dapat merupakanflora usus normal dari
kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing, tikus, ayam dan manusia. Spora akan berubah
menjadi bentuk vegetatif dalam anaerob dan kemudian berkembang biak. Bentuk
vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptic.
Kuman tetanus tumbuh subur pada suhu 17°C dalam media kaldu daging dan
media agar darah. Demikian pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus tidak
dapat mengfermentasikan glukosa. Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini
memproduksi 2 macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis
merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air labil pada
panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. tetapi stabil dalam bentuk murni dan
kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui beberapa jalan
dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala berupa kekakuan
(rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang. Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel–sel
darah merah.
D. Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejala dari penyakit tetanus, antara lain:
1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5-7 hari.
2. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya
3. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
4. Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.
Kemudian timbul kesukaran membuka mulut (trismus, lockjaw) karena spasme otot
masetter.
5. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk (opistotonus, nuchal rigidity)
6. Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik keatas,
sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat.
7. Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai
dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap baik.
8. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis, retensi
urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis (pada anak).
Sebagai tanda-tanda permulaan timbul kejang otot sekitar luka, gelisah, lemah,
cemas, mudah tersinggung dan sakit kepala. Kemudian diikuti nyeri dan kaku rahang,
perut dan punggung yang mengeras dan kesukaran untuk menelan. Gambaran yang
spesifik adalah kekakuan dan kejang otot. Kekakuan mengenai 3 group utama yaitu:
masseter, otot-otot perut dan otot-otot punggung. Penderita selalu sadar penuh. Gejala-
gejala sistemik dapat timbul, seperti panas akibat sepsis dan ini memberi prognosa yang
jelek. Tekanan darah menunjukkan fluktuasi, juga sering takhikardi dan keringat banyak.
Untuk menilai gradasi banyak cara bisa digunakan seperti Phillip`s score dan klasfikasi
menurut Owen Smith, MS (Emergency Surgery, 2012).
Tanda-gejala tetanus berdasarkan klasifikasi penyakit tetanus adalah sebagai berikut:
a. Localized tetanus
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah
tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah merupakan
tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan
dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap.
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk
yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai
sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama
dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
b. Cephallic tetanus
Cephallic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1-
2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India), luka pada
daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka mengenai
daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, leper, otitis media kronis dan jarang akibat
tonsilectomi. Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara lain: N. III, IV, VII, IX, X,
XI, dapat berupa gangguan sendiri-sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam
beberapa hari bahkan berbulan-bulan. Tetanus cephalic dapat berkembang menjadi
tetanus umum. Pada umumnya prognosa bentuk tetanus cephalic jelek.
c. Generalized tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang tidak
dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus
merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50 %), yang disebabkan oleh
kekakuan otot-otot masseter, bersamaan dengan kekakuan otot leher yang
menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan.
Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka,
opistotonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring
dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose
asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine, kompressi fraktur dan pendarahan
didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi begitupun bisa
mencapai 40oC. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak
stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan
hanya berdasarkan gejala klinis.
Menurut berat ringannya tetanus umum dapat dibagi atas:
1) Tetanus ringan: trismus positif dan lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum
walaupun dirangsang, masa inkubasi lebih dari 14 hari, period of onset >6 hari,
sukar makan dan minum tetapi disfagia tidak ada, dan lokalisasi kekakuan dekat
dengan luka berupa spasme disekitar luka dan kekakuan umum terjadi beberapa
jam atau hari.
2) Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila
dirangsang, masa inkubasi 10-14 hari, period of onset 3 hari atau kurang, trismus
ada dan disfagia ada, serta kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi
dispnoe dan sianosis tidak ada
3) Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum yang spontan,
masa inkubasi <10 hari, period of onset 3 hari atau kurang, trismus berat, disfagia
berat, dan kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan,
keringat banyak dan takikardia.
E. Patofisiologi
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya spora ini
melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk (oleh besi: kaleng), luka bakar,
luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat, kadang–
kadang luka tersebut hampir tak terlihat. Pandi dkk (2010) melaporkan bahwa 70% pada
telinga sebagai port d’entree, sedangkan beberapa peneliti melaporkan bahwa porte
d'entree melalui telinga hanya 6,5%. Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka
tersebut menjadi hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, lekosit
yang mati, benda–benda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian
berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka dilepaskan
eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa
level dari susunan syaraf pusat, dengan cara:
1. Tobin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat pelepasan
acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
2. Karakteristik spasme dari tetanus (seperti strichmine) terjadi karena toksin
mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
3. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
4. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS)
dengan gejala: berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia
jantung, peninggian cathecholamine dalam urine. (Smeltzer, 2010)
Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi
fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi
terhadap batang otak. Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang
menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter sehingga
terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin
tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat,
tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot
yang khas.
Tetanospasmin sangat mudah mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai saraf
melalui dua cara.
a. Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujung-ujung saraf perifer atau
motorik melalui axis silindrik kecornu anterior susunan saraf pusat dan susunan saraf
perifer.
b. Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk seterusnya
susunan saraf pusat.
Aktivitas tetanospamin pada motor end plate akan menghambat pelepasan asetilkolin,
tetapi tidak menghambat alfa dan gamma motor neuron sehingga tonus otot meningkat dan
terjadi kontraksi otot berupa spasme otot. Tetanospamin juga mempengaruhi sistem saraf
simpatis pada kasus yang berat, sehingga terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi
yang labil, takikardi, keringat yang berlebihan dan meningkatnya ekskresi katekolamin
dalam urine. Tetanospamin yang terikat pada jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir
lagi oleh antitoksin tetanus.
Tetanospasmin yang merupakan zincdependent endopeptidase memecah
vesicleassociated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan
peptida tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga
pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps.
Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan γ-
amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga
terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks motorik sehingga muncul
aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot
berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik
tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-
neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada
tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol
otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan
neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal saraf
yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini.
Manisfestasi klinis tetanus yang timbul adalah sebagai akibat pengaruh toksin pada
susunan saraf pusat, toksin menghambat synapsis cholinergik perifer, menurunkan
pengeluaran acetilcholin dan mengganggu saraf syimpatis. Bila sembuh tetanus tidak
meninggalkan kelainan neurologis (Mahadewa, 2009).

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosis. Pada pemeriksaan
darah rutin tidak ditemukan nilai-nilai yang spesifik; lekosit dapat normal atau dapat
meningkat.
2. Pemeriksaan mikrobiologi
Bahan diambil dari luka berupa pus atau jaringan nekrotis kemudian dibiakkan pada
kultur agar darah atau kaldu daging. Tetapi pemeriksaan mikrobiologi hanya pada
30% kasus ditemukan Clostridium tetani.
3. Pemeriksaan cairan serebrospinalis dalam batas normal, walaupun kadang-kadang
didapatkan tekanan meningkat akibat kontraksi otot.
4. Pemeriksaan elektroensefalogram adalah normal dan pada pemeriksaan
elektromiografi hasilnya tidak spesifik

G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Farmakologis
a. Pengobatan Umum
1) Isolasi penderita untuk menghindari rangsangan dan ruangan perawatan harus
tenang.
2) Perawatan luka dengan Rivanol, Betadin, H202.
3) Bila perlu diberikan oksigen dan kadang-kadang diperlukan tindakan trakeostomi
untuk menghindari obstruksi jalan napas.
4) Jika banyak sekresi pada mulut akibat kejang atau penumpukan saliva maka
dibersihkan dengan pengisap lendir
5) Makanan dan minuman melalui sonde lambung. Bahan makanan yang mudah
dicerna dan cukup mengandung protein dan kalori
b. Pengobatan Khusus
1) Anti-tetanus toksin
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:
a) Toksin bebas dalam darah
b) Toksin yang bergabung dengan jaringan saraf.
Yang dapat dinetralisir oleh antitoksin adalah toksin yang bebas dalam darah.
Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisir oleh
antitoksin. Sebelum pemberian antitoksin harus dilakukan:
a) Anamnesa apakah ada riwayat alergi
b) Tes kulit dan mata
c) Harus selalu sedia Adrenalin 1:1.000
Ini dilakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda, yang bersifat heterolog
sehingga mungkin terjadi syok anafilaksis.
Tes mata
Pada konjungtiva bagian bawah diteteskan 1 tetes larutan antitoksin tetanus 1:10
dalam larutan garam faali, sedang pada mata yang lain hanya ditetesi garam faali.
Positif bila dalam 20 menit, tampak kemerahan dan bengkak pada konjungtiva.
Tes kulit
Suntikan 0,1 cc larutan 1/1000 antitoksin tetanus dalam larutan faali secara
intrakutan. Reaksi positif bila dalam 20 menit pada tempat suntikan terjadi kemerahan
dan indurasi lebih dari 10 mm.
Bila tes mata dan kulit keduanya positif, maka antitoksin diberikan secara
bertahap. Dosis ATS yang diberikan 50.000–100.000u yang diberikan setengah lewat
intravena dan setengahnya intramuskuler. Pemberian lewat intravena diberikan
dengan cara melarutkannya dalam 100-200 cc glukosa 5% dan diberikan selama 1-2
jam.
2) Antikonvulsan atau sedatif
Obat–obat ini digunakan untuk merelaksasi otot dan mengurangi kepekaan
jaringan saraf terhadap rangsangan. Obat yang ideal dalam penanganan tetanus ialah
obat yang dapat mengontrol kejang dan menurunkan spastisitas tanpa mengganggu
pernapasan, gerakan–gerakan volunter atau kesadaran.
Obat-obat yang lazim digunakan ialah diazepam. Bila penderita datang dalam
keadaan kejang maka diberikan dosis 0,5 mg/kg.bb/kali i.v. perlahan-lahan dengan
dosis optimum 10 mg/kali diulangi setiap kali kejang.
3) Antibiotik
- Penisilin Prokain
Digunakan untuk membasmi bentuk vegetatif Clostridium Tetani. Dosis: 50.000
u/kg.BB/hari i.m selama 10 hari atau 3 hari setelah panas turun. Dosis optimal
600.000 u/hari.
- Tetrasiklin dan Eritromisin Diberikan terutama bila penderita alergi terhadap
penisilin.
Tetrasiklin: 30–50 mg/kg.BB/hari dalam 4 dosis.
Eritromisin: 50 mg/kg.BB/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.
4) Oksigen bila terjadi sianosis
5) Trakeostomi
Dilakukan pada penderita tetanus jika terjadi: spasme berkepanjangan dari otot
respirasi, tidak ada kesanggupan batuk atau menelan, obstruksi larings, dan koma.
2. Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Hila ada trismus, makanan dapat diberikan personde
atau parenteral.
H. Pencegahan
1. Perawatan luka terutama pada luka tusuk, kotor atau luka yang tercemar dengan
spora tetanus. Perawatan luka dapat dialkukan dengan cara irigasi luka, debridement
luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang benda asing dalam luka serta kompres
dengan H202, dalam hal ini penata laksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1-2
jam setelah daerah sekitar luka disuntik ATS dan pemberian antibiotika.
2. Imunisasi pasif dengan cara diberikan antitoksin, pemberian antitoksin ada 2 bentuk,
yaitu:
a. ATS dari serum kuda
b. Tetanus Immunoglobulin Human (TIGH). Pemberian ini sebaiknya didahului
dengan tes kulit dan mata. Dosis TIGH: 250–500 u i.m
3. Imunisasi aktif
Di Indonesia dengan adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI) selain
menurunkan angka kesakitan juga mengurangi angka kematian tetanus. Imunisasi tetanus
biasanya dapat diberikan dalam bentuk DPT; DT dan TT. DPT diberikan untuk imunisasi
dasar, DT diberikan untuk booster pada usia 5 tahun, dan pada anak dengan riwayat
demam dan kejang, TT diberikan pada: ibu hamil dan anak usia 13 tahun keatas.
Sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi (PPI), imunisasi dilakukan pada
usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan booster dilakukan pada usia 1,5-2 tahun dan usia 5
tahun. Dosis yang diberikan adalah 0,5 cc tiap kali pemberian secara intramuskuler (IM).
I. Komplikasi
Pada keadaan yang berat akan timbul komplikasi seperti:
a. Respirasi: henti napas pada saat kejang-kejang terutama akibat rangsangan pada
waktu memasukkan pipa lambung, aspirasi sekret pada saat atau setelah kejang, yang
dapat menimbulkan aspirasi pneumoni, atelektase, atau abses paru.
b. Cardioivaskuler: hipertensi, takhikardi dan aritmia oleh karena rangsangan syampatis
yang lama.
c. Tulang/otot:fraktur atau kompresi tulang belakang, robekan otot perut dan
quardriceps femoris. Pernah juga dilaporkan terjadi myostis ossifican.
d. Metabolisme: hiperpireksi.
A. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan keluarga membawa klien untuk meminta
pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat
kesadaran.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting di ketahui karena untuk mengetahui
predisposisi penyebab sumber luka. Disini harus di tanya dengan jelas tentang gejala
yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Keluhan
kejang perlu mendapat perhatian untuk di lakukan pengkajian lebih mendalam,
bagaimana sifat timbulnya kejang, stimulus apa yang sering menimbulkan kejang, dan
tindakan apa yang telah di berikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran di hubungkan dengan toksin
tetanus yang mengimplamasi jaringan otak. Keluhan perubahan perilaku juga umum
terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsip, dan
koma.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah di alami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau  menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernah kah klien
mengalami tubuh terluka dan luka tusuk yang dalam misalnya tertusuk paku, pecahan
kaca, terkenaa kaleng, atau luka yang menjadi kotor; karena terjatuh di tempat yang
kotor dan terluka atau kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu/kotoran juga
luka bakar dan patah tulang terbuka. Adakah porte d’entree lainnya seperti luka gores
yang ringan kemudian menjadi bernanah dan gigi berlubang di koreng dengan benda
yang kotor.
d. Pemeriksaan Fisik Body System
1) B1 (Breath)
Inspeksi : klien batuk, produksi sputum bagaimana, pengembangan dada
simetris, penggunaan otot bantu pernafasan (+), pernafasan cuping
hidung (-), irama nafas cepat (takipnea), RR di atas batas normal
(>16-20x/menit). Klien dengan tetanus akan mengalami peningkatan
RR akibat suplai O2 ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan tubuh
tidak adekuat, sehingga klien akan melakukan upaya kompensasi
dengan meningkatkan frekuensi pernafasan untuk memenuhi
kebutuhan oksigen tubuh.
Palpasi : tidak teraba massa atau benjolah di daerah dada, vocal fremitus
teraba jelas di lapang paru kanan-kiri
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru: ICS ke-1 hingga ICS ke-6 di seluruh
lobus paru
Auskultasi :  Ada bunyi nafas tambahan ronchi di akhir pernapasan sebagai
komplikasi dari tetanus akibat kemampuan batuk klien menurun
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan syok hipovelemik yang sering
terjadi pada klien tetanus. TD biasnya normal, peningkatan heart rate, adanya
anemis karena adanya hancurnya eritrosit.
3) B3 (Brain)
a) Kesadaran klien biasanya kompos mentis. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran
klien tetanus mengalami penurunan pada tingkat letargi, stupor, dan
semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS
sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk
monitoring pemberian asuhan.
b) Status mental: obsevasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara
klien dan observasi ekspresi wajah dan aktifitas motorik yang pada klien tetanus
tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.
c) Pemeriksaan saraf kranial
- Saraf I. Biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan dan fungsi penciuman
tidak ada kelainan.
- Saraf II. Tes ketajaman pengelihatan pada kondisi normal
- Saraf III,IV,VI. Dengan alasan yang tidak di ketahui, klien tetanus mengeluh
mengalami fotophobia atau sensitif yang berlebihan terhadap cahaya. Respons
kejang umum akibat stimulus rangsang cahaya perlu di perhatikan perawat
untuk memberikan intervensi menurunkan stimulus cahaya tersebut.
- Saraf V. Refleks masester menigkat. Mulut mencucu seperti mulut ikan (ini
adalah gejala khas pada tetanus).
- Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
- Saraf VIII. Tidak di temukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
- Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut
(trismus).
- Saraf  XI. Di dapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang dan leher
(mendadak)
- Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
pasikulasi. Indra pengecapan normal.
d) Kekuatan otot
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan kordinasi pada tetanus tahap
lanjut mengalami perubahan.
e) Pemeriksaan reflek
Pemeriksaan reflek dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periusteum derajat reflek pada respon normal.
f) Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, Tic dan distonia. Pada keadaan tertentu klien
mengalami kejang umum, terutama pada anak yang tetanus disertai peningkatan
suhu tubuh yang tinggi. Kejang berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal
yang peka.
g) Sistem sensori
Pemeriksaan sensorik pada tetanus biasanya di dapatkan perasaan raba normal,
perasaan nyeri normal. Perasaan suhu normal. Tidak ada perasaan abnormal di
permukaan tubuh. Perasaan proprioseftif normal dan perasaan diskriminatif
normal.
4) B4 (Bladder)
Penurunan volume haluaran urin berhubungan dengan penurunan perpusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal. Adanya retensi urin karena kejang umum. Pada
klien yang sering kejang sebaiknya pengeluaran urine dengan menggunakan
kateter.
5) B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien tetanus menurun karena anoreksia dan adanya
kejang, kaku dinding perut (perut papan) merupakan tanda khas dari tetanus.
Adanya spasme otot menyebabkan kesulitan BAB.

6) B6 (Bone)
Adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan menurunkan
aktivitas sehari-hari. Perlu dikaji apabila klien mengalami patah tulang terbuka
yang memungkinkan menjadi port de entrée kuman Clostridium tetani, sehingga
memerlukan perawatan luka yang optimal. Adanya kejang memberikan resiko
raktur pertibra pada bayi, ketegangan, dan spasme otot pada abdomen.
B. Masalah Keperawatan
1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan suplai oksigen
ke otak menurun
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
akibat peningkatan sekresi mucus
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
4. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan suplai oksigen ke
perifer inadekuat
5. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
inadekuat
6. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen
dan kebutuhan
7. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
8. Gangguan komunikasi bverbal berhubungan dengan spasme otot rahang
9. Risiko infeksi berhubungan dengan proses penyakit
10. Risiko aspirasi berhubungan dengan penurunan reflek menelan
11. Risiko cidera berhubungan dengan penurunan kesadaran
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek G.M., Butcher H.K., Dochterman J.M., Wagner C. 2013. Nursing Interventions
Classifications (NIC). 6th edition. Mosby: Elsevier Inc.

Gleadle, J. 2007. At a Glance: Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Herdman, T. H. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi 2015-2017. Jakarta:


EGC.

Capernito, Lynda Juall. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Arif, Mansjoer, dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3. Jakarta. Medica Aesculpalus,
FKUI.

Moorhead S., Johnson M., Maas M.L., Swanson E. 2013. Nursing Outcomes Classifications
(NOC): Measurement of Health Outcomes. 5th edition. Mosby: Elsevier Inc.

Price & Wilson. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC

Smeltzer, S. Bare, B. Hinkle, J. & Cheever, K. 2010. Brunner & Suddarth’s Textbook of
Medical Surgical Nursing. 11th edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Sukandar, E., 2006. Neurologi Klinik. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah (PII)
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD.

Waugh, A., Grant A. 2014. Ross and Wilson Anatomy & Physiology in Health and Illness.
12th edition. Churchill Livingstone: Elseiver (China) Ltd.
INTERVENSI KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI


KRITERIA HASIL
1. Pola napas tidak Setelah dilakukan asuhan Observasi :
efektif keperawatan 2x24 jam
- Monitor pola napas
maka pola napas
membaik (frekuensi, kedalaman,
usaha napas)
Dengan kriteria hasil : - Monitor bunyi napas
- Dispnea (5) tambahan (mis.gurgling,
- Penggunaan otot mengi, wheezing, ronkhi
bantu napas (5) kering)
- Pemanjangan fase - Monitor sputum (jumlah,
ekspirasi (5) warna, aroma)
- Frekuensi napas (5)
Terapeutik :
Kedalaman napas (5)
- Pertahankan kepatenan
jalan napas dengan head-
tilt dan chin-lift (jaw-thrust
jika curiga trauma servikal)
- Posisikan semi-Fowler atau
fowler
- Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15 detik
- Lakukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan
endotrakeal
- Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi :
- Ajarkan teknik batuk
efektif

Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.
2. Defisit nutrisi Setelah dilakukan Observasi :
tindakan keperawatan 1x a. identifikasi status nutrisi
24 jam maka b. identifikasi dan
ketidakmampuan intoleransi makanan
mencerna makanan c. monitor asupan
membaik dengan criteria makanan
hasil : d. monitor BB
1. Porsi makan yang di e. monitor pemeriksaan
habiskan meningkat laboratorium
(5) Terapeutik :
2. Nyeri abdomen a. Lakukan oral hygiene
menurun (5) sebelum makan
3. Frekuensi makan b. Fasilitasi menentukan
membaik (5) pedoman diet
Nafsu makan membaik c. Sajikan makanan secara
(5) menarik dan suhu yang
sesuai
d. Berikab makanan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi
Edukasi :
a. Anjurkan posisi duduk
jika mampu
b. Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi :
a. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum
makan
b. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutien yang
dibutuhkan

WOC

kesulitan Luka tusuk, luka bakarotitis media, pemotongan


membuka mulut tali pusat dan perawatan tidak aseptic
(trismus), kaku
kejang tonik umum,
kuduk
suasana kejang
yang rangsang
memungkinkan
(episiotonus),
asupan (visual,
organism suara,Colostridium
anaerob gerak),
kaku dinding colostridiumkejang
Gangguan tetani spontan,
mengeluarkan toksin
Bersihan penurunan
nutrisi yang perubahan
tetani
Perubahan proses inflamasi di
perut, dan kaku
Defisit yang di absorsi
Eliminasi ujung sarafdan
motorik
Jalandan
Napas Risiko
tingkat
tidak
susah Tetanospasmin
Defisit
perubahan beredar
kejang melalui aliran
Gangguan
abdomen,
mobilitas darah limpa
↓Reflek Peningkatan
jaringanPola
otak,Napas
penekanan
tulang area
belakang melalui mobilitas
perubahan
sumbu intracranial
silindrik ke SSP Cidera
Nutrisi
adekuat Urine
Perawatan
eliminasi dan masuk ke
Mobilitas
retensi urine Fisik Tidak
intracranial Efektif kesadaran
Hipertermia
permeabilitas
Tidak darah otak
Efektif
menelan
fokal kortikal fisik
fisik Batuk peningkatan suhu tubuh

Anda mungkin juga menyukai