Anda di halaman 1dari 11

Nama : Ni Putu Risma Sintya Jayanti

NIM : P07124218005
Prodi :Sarjana Terapan/semester V
Tetanus

Sumber : https://www.alodokter.com/
A. Pengertian
Tetanus adalah penyakit infeksi sporadis yang melibatkan sistem saraf disebabkan oleh
eksotoksin, tetanospasmin yang diproduksi oleh Clostridium tetani. (Novita dan Priambodo,
2015)
Menurut (Surya, 2016) Tetanus merupakan penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh
eksotoksin (tetanospasmin) bakteri Clostridium tetani. Bakteri gram positif ini berbentuk batang
anaerob, sporanya dapat bertahan di tanah dan menginfeksi luka yang terkontaminasi.1,4 C.
tetani dapat menghasilkan dua jenis eksotoksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Efek
tetanolisin masih belum diketahui pasti. Tetanospasmin merupakan neurotoksin penyebab
manifestasi klinis infeksi tetanus.
Menurut (Novita dan Priambodo, 2015) Ada tiga manifestasi klinis dari infeksi tetanus yaitu
tetanus generalisata adalah bentuk tetanus yang paling umum ditandai dengan peningkatan tonus
otot dan spasme otot generalisata. Tetanus neonatorum adalah jenis tetanus yang generalisata dan
berakibat fatal apabila tidak ditangani dengan adekuat. Sedangkan tipe tetanus lokal adalah
infeksi tetanus dimana manifestasi klinisnya terbatas pada otot-otot dekat luka yang menjadi
sumber inokulasi kuman.
Tetanus neonatorum (TN) disebabkan masuknya basil Clostridium tetani ke tubuh melalui
luka. Penyakit ini menginfeksi bayi baru lahir yang berusia kurang dari 28 hari. Salah satu
penyebab TN adalah apabila pemotongan tali pusat tidak menggunakan alat yang steril. Kasus
tetanus neonatorum banyak ditemukan di negara berkembang terutama negara dengan cakupan
persalinan oleh tenaga kesehatan yang rendah. (Sari, 2017)
B. Patofisiologi
C. tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora berkembang pada keadaan
anaerobik (oksigen rendah). Toksin yang dihasilkan dapat menyebar melalui pembuluh darah
dan saluran limfatik.5 Selain itu, toksin dapat diabsorpsi di tautan saraf otot yang kemudian
bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat (SSP). Toksin tetanus merupakan
metalloproteinase tergantung seng yang menarget protein (sinaptobrevin/ vesicle-associated
membrane protein – VAMP) untuk melepaskan neurotransmitter dari ujung saraf melalui fusi
vesikel sinaps dengan membran plasma saraf. Gejala awal infeksi lokal tetanus ialah paralisis
flaksid akibat gangguan pelepasan asetilkolin di tautan saraf otot. Toksin tetanus dapat menyebar
secara retrograde di akson lower motor neuron (LMN) dan akhirnya mencapai medula spinalis
atau batang otak. Di tempat ini, toksin ditransportasikan menyeberangi sinaps dan diambil oleh
ujung saraf inhibitor GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan/atau saraf glisinergik yang
mengontrol aktivitas LMN. Sesampainya toksin pada terminal saraf inhibitor, toksin tetanus
akan memecah VAMP, sehingga menghambat pelepasan GABA dan glisin. Hal ini
mengakibatkan denervasi fungsional dan parsial LMN menyebabkan hiperaktivitas dan
peningkatan aktivitas otot dalam bentuk rigiditas dan spasme. (Surya, 2016)
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang terkontaminasi
dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya spora ini melalui luka yang
terkontaminasi antara lain luka tusuk oleh besi, luka bakar, luka lecet, otitis media, infeksi gigi,
ulkus kulit yang kronis, abortus, tali pusat, kadang–kadang luka tersebut hampir tak terlihat. Bila
keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi hipaerob sampai anaerob disertai
terdapatnya jaringan nekrotis, leukosit yang mati, benda–benda asing maka spora berubah
menjadi vegetatif yang kemudian berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman
lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin, tidak
berhubungan dengan pathogenesis penyakit. Tetanospasmin, atau secara umum disebut toksin
tetanus, adalah neurotoksin yang mengakibatkan manifestasi dari penyakit tersebut.
Tetanospasmin masuk ke susunan saraf pusat melalui otot dimana terdapat suasana
anaerobik yang memungkinkan Clostridium tetani untuk hidup dan memproduksi toksin. Lalu
setelah masuk ke susunan saraf perifer, toksin akan ditransportasikan secara retrograde menuju
saraf presinaptik, dimana toksin tersebut bekerja. Toksin tersebut akan menghambat pelepasan
neurotransmitter inhibisi dan secara efektif menghambat inhibisi sinyal interneuron. Tetapi
khususnya toksin tersebut menghambat pengeluaran Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang
spesifik menginhibisi neuron motorik. Hal tersebut akan mengakibatkan aktivitas tidak teregulasi
dari sistem saraf motorik.
Tetanospamin juga mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus yang berat, sehingga
terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi, keringat yang berlebihan
dan meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urin. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi
kardiovaskuler. Tetanospamin yang terikat pada jaringan saraf sudah tidak dapat dinetralisir lagi
oleh antitoksin tetanus.
C. Gambaran Klinis Tetanus
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 7-10 hari, namun dapat lebih singkat atau dapat lebih
lama. Makin pendek masa inkubasi makin jelek prognosisnya. Terdapat hubungan antara jarak
tempat invasi C. tetani dengan susunan saraf pusat dan interval antara luka dan permulaan
penyakit, dimana makin jauh tempat invasi maka inkubasi makin panjang. Secara klinis tetanus
ada 4 macam, yaitu tetanus umum, tetanus local, cephalic tetanus, dan tetanus neonatal
1. Tetanus Umum
Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai. Terjadinya bentuk ini
berhubungan dengan jalan masuk kuman. Biasanya dimulai dengan trismus dan risus
sardonikus, lalu berproses ke spasme umum dan opistotonus. Dalam 24 – 48 jam dari kekakuan
otot menjadi menyeluruh sampai ke ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter
menyebabkan mulut sukar dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut lock jaw. Selain kekakuan
otot masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai muka
meringis kesakitan yang disebut risus sardonikus (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke
luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otot–otot leher bagian
belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan
gejala kuduk kaku sampai opisthotonus. Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang
umum tonik baik secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan
bunyi).20 Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat dan kaki
dalam posisi ekstensi. Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan
yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang. Spasme otot–otot
laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan menelan, asfiksia dan
sianosis.25Retensi urine sering terjadi karena spasme sfincter kandung kemih. Kenaikan
temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai panas yang tinggi sehingga harus
hati–hati terhadap komplikasi atau toksin menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu
tubuh. Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa takikardi, hipertensi
yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan aritmia jantung
2. Tetanus Lokal
Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena gambaran klinis
tidak khas. Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot–otot pada bagian proksimal dari
tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka kematian 1%, kadang–kadang
bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum.
3. Cephalic Tetanus
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka mengenai daerah
mata, kulit kepala, muka, telinga, otitis media kronis dan jarang akibat tonsilektomi. Gejala
berupa disfungsi saraf loanial antara lain n. III, IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan
sendiri–sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan–bulan.
Cephalic Tetanus dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya prognosis bentuk
cephalic tetanus jelek.
4. Tetanus Neonatal
Tetanus neonatal didefinisikan sebagai suatu penyakit yang terjadi pada anak yang memiliki
kemampuan normal untuk menyusu dan menangis pada 2 hari pertama kehidupannya, tetapi
kehilangan kemampuan ini antara hari ke-3 sampai hari ke-28 serta menjadi kaku dan spasme.
Tetanus neonatal, biasa terjadi karena proses melahirkan yang tidak bersih. Gejala klinisnya
biasa terjadi pada minggu kedua kehidupan, ditandai dengan kelemahan dan ketidakmampuan
menyusu, kadang disertai opistotonus.
Pada tetanus neonatorum, gejala biasanya muncul mulai dari hari ke-4 hingga 14 setelah
melahirkan dengan rerata 7 hari.5 Toksin tetanus menyebabkan hiperaktivitas otot rangka dalam
bentuk rigiditas dan spasme. Rigiditas merupakan kontraksi otot involunter tonik, sedangkan
spasme merupakan kontraksi otot yang berlangsung lebih singkat, dapat dirangsang oleh
peregangan otot atau stimulasi sensorik sehingga disebut sebagai efleks spasme. (Surya, 2016)
Sumber : https://herrysetyayudha.wordpress.com/2011/11/02/tetanus/
D. Diagnosis
Menurut (Novita dan Priambodo, 2015) Diagnosis tetanus berdasarkan temuan klinis pada
pasien, tidak tergantung konfirmasi bakteriologis. Tidak ada tes laboratorium yang spesifik untuk
menegakkan diagnosis tetanus. Tetanus jarang terjadi jika riwayat imunisasi primer lengkap dan
mendapat dosis tambahan (booster). Kultur luka dilakukan pada kasus yang dicurigai tetanus.
Clostridium tetani dapat diisolasi dari luka pasien tanpa tetanus dan sering kuman tidak
ditemukan pada luka pasien tetanus. Angka lekosit dapat meningkat. Pemeriksaan cairan
serebrospinal normal. Elektromiogram menunjukkan unit-unit motor tampak kontinyu, dan
pemendekan atau tidak tampak interval yang hilang, seperti gambaran keadaan normal setelah
suatu potensial aksi. Perubahan non spesifik mungkin terjadi pada elektrokardiogram (EKG).
Kadar enzim otot kadang meningkat. Kadar antitoksin serum ≥ 0,15 u/ml menunjukkan protektif
terhadap tetanus, meskipun pernah dilaporkan kasus tetanus terjadi pada kadar antitoksin
protektif.
Prosedur lain untuk membantu diagnosis tetanus dengan tes spatula, tes sederhana dengan
oropharynx swab menggunakan spatula. Tes ini menimbulkan gag reflex, pasien berusaha
menggigit spatula. Pada pasien tetanus terjadi refleks spasme otot-otot masseter dan menggigit
spatula. Tes ini pada 400 pasien mempunyai sensitivitas 94% dan spesifikasi 100%. Tidak ada
laporan efek samping yang merugikan seperti spasme laring dari prosedur ini.
Menurut (Surya, 2016) Diagnosis ditegakkan sepenuhnya dari tanda dan gejala klinis
tanpa konfirmasi tes laboratorium. Definisi WHO untuk tetanus dewasa membutuhkan
penemuan salah satu tanda klinis, yaitu trismus atau risus sardonikus atau kontraksi otot yang
nyeri. Hanya sekitar 30% kasus tetanus dapat mengisolasi C. tetani pada pemeriksaan
bakteriologik; C. tetani dapat ditemukan dari pasien yang tidak tetanus.
E. Komplikasi Tetanus
Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada jalan napas sehingga pada
tetanus yang berat , terkadang memerlukan bantuan ventilator. Sekitar kurang lebih 78%
kematian tetanus disebabkan karena komplikasinya. Kejang yang berlangsung terus menerus
dapat mengakibatkan fraktur dari tulang spinal dan tulang panjang, serta rabdomiolisis yang
sering diikuti oleh gagal ginjal akut. Infeksi nosokomial umum sering terjadi karena rawat inap
yang berkepanjangan. Infeksi sekunder termasuk sepsis dari kateter, pneumonia yang didapat di
rumah sakit, dan ulkus dekubitus. Emboli paru sangat bermasalah pada pengguna narkoba dan
pasien usia lanjut. Aspirasi pneumonia merupakan komplikasi akhir yang umum dari tetanus,
ditemukan pada 50% -70% dari kasus diotopsi. Salah satu komplikasi yang sulit ditangani
adalah gangguan otonom karena pelepasan katekolamin yang tidak terkontrol. Gangguan otonom
ini meliputi hipertensi dan takikardi yang kadang berubah menjadi hipotensi dan bradikardi.
Walaupun demikian, pemberian magnesium sulfat saat gejala tersebut sangat bisa diandalkan.
Magnesium sulfat dapat mengontrol gejala spasme otot dan disfungsi otonom.
F. Penatalaksanaan
1. Umum
Pasien sebaiknya ditempatkan di ruang perawatan yang sunyi dan dihindarkan dari
stimulasi taktil ataupun auditorik.
2. Imunoterapi
Antitoksin tetanus intramuskuler (IM) dengan dosis human tetanus immunoglobulin
(TIG) 3.000-10.000 U dibagi tiga dosis yang sama, diinjeksikan di tiga tempat berbeda.
Rekomendasi British National Formulary ialah 5.000-10.000 unit intravena. Bila human
TIG tidak tersedia, dapat digunakan ATS dengan dosis 100.000-200.000 unit, diberikan
50.000 unit intravena dan 50.000 unit IM. Antitoksin diberikan untuk menginaktivasi
toksin tetanus bebas, sedangkan toksin yang sudah berada di saraf terminal tidak dapat
ditangani dengan antitoksin. Oleh karena itu, gejala otot dapat tetap berkembang karena
toksin tetanus berjalan melalui akson dan trans-sinaps serta memecah VAMP. Selain itu,
dapat ditambahkan vaksin tetanus toksoid (TT) 0,5 ml. IM. Pasien yang tidak memiliki
riwayat vaksinasi sebaiknya mendapat dosis kedua 1-2 bulan setelah dosis pertama dan
dosis ketiga 6-12 bulan setelahnya.
3. Antibiotik
Beberapa antibiotik pilihan di antaranya metronidazol 500 mg setiap 6 jam intravena
atau per oral, penisilin G 100.000-200.000 IU/kgBB/hari intravena dibagi 2-4 dosis.
Pasien alergi golongan penisilin, dapat diberi tetrasiklin, makrolid, klindamisin,
sefalosporin, atau kloramfenikol.
4. Kontrol Spasme Otot
Golongan benzodiazepin menjadi pilihan utama. Diazepam intravena dengan dosis
mulai dari 5 mg atau lorazepam dengan dosis mulai dari 2 mg dapat dititrasi hingga
tercapai kontrol spasme tanpa sedasi dan hipoventilasi berlebihan. Magnesium sulfat
dapat digunakan tunggal atau kombinasi dengan benzodiazepin untuk mengontrol spasme
dan disfungsi otonom dengan dosis loading 5 mg intravena diikuti 2-3 gram/jam hingga
tercapai kontrol spasme.
5. Kontrol Disfungsi Otonom
Dapat menggunakan magnesium sulfat atau morfin.
6. Kontrol Saluran Napas
Obat yang digunakan untuk mengontrol spasme dan memberikan efek sedasi dapat
menyebabkan depresi saluran napas. Ventilasi mekanik diberikan sesegera mungkin.
Trakeostomi lebih dipilih dibandingkan intubasi endotrakeal yang dapat memprovokasi
spasme dan memperburuk napas.
7. Cairan dan Nutrisi yang Adekuat
Diperlukan cairan serta nutrisi yang adekuat mengingat tetanus meningkatkan status
metabolik dan katabolik. (Surya, 2016)
G. Studi Kasus Neonatorum
Seorang bayi laki-laki umur 10 hari, lahir ditolong dukun, talipusat dipotong dengan
bambu dan diberi bubuk berwarna hitam. Bayi dibawa ayahnya dengan keluhan tidak
mau menetek dan menangis terus menerus sejak kemarin. Ibu tidak pernah mendapat
imunisasi tetanus toksoid
1. Penilaian
a. Apa penilaian saudara terhadap keadaan anak tersebut?
b. Apa yang harus segera dilakukan berdasarkan penilaian saudara?
2. Diagnosis (identifikasi masalah dan kebutuhan
a. Deteksi kegawatan berdasarkan keadaan umum pasien
1) kesadaran, pernafasan, sirkulasi.
2) Mendeteksi beratnya spasme otot.
b. Deteksi gangguan metabolik lain
1) dehidrasi
2) asidosis
3) hipoglikemia
c. Deteksi adanya penyulit
1) sepsis
2) bronkopneumonia
3) spasme larings
4) aspirasi
5) fraktur kompresi
d. Pemeriksaan penunjang
1) darah tepi lengkap
2) analisa gas darah
3) gula darah dan elektrolit
4) pungsi lumbal
3. Hasil Penilaian yang Ditemukan
- Kesadaran apatis, suhu 37,60C, pernafasan normal, nadi agak cepat, dan isi cukup
dan tekanan darah 80/60 mmHg
- Mulut mencucu, kuduk kaku, perut teraba keras, tidak ditemukan kejang
- Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan leukosit 15.600/ul, analisa gas darah
dalam batas normal, gula darah 80 mg/dl, elektrolit dalam batas normal, analisis
cairan serebrospinal dalam batas normal.
4. Berdasarkan pada hasil temuan, apakah diagnosis kedua pasien tersebut?
Jawaban : Tetanus neonatorum, Tidak ada komplikasi
5. Pelayanan (perencanaan dan intervensi)
Berdasarkan diagnosis tersebut bagaimana tata laksana pasien?
a. Umum:
1) mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi dengan pemberian ASI atau susu
formula melalui sonde lambung, atau pemberian cairan intra vena bila terdapat
kekakuan otot baik spontan maupun bila dirangsang.
2) dirawat dalam suasana yang tenang
3) menjaga saluran nafas tetap bebas
4) memberikan O2 dengan sungkup atau masker bila perlu
b. Khusus:
1) medikamentosa :
- ATS pada tetanus neonatorum 10.000 IU (setengahnya diberikan im, bila toleransi
baik sisanya diberikan iv pelan-pelan) atau TIG (tetanus immune globin) 550 IU
dosis tunggal im.
- ATS pada tetanus anak 100.000 IU (setengahnya diberikan im, bila toleransi baik
sisanya diberikan iv pelan-pelan) atau TIG (tetanus immune globin) 3000 - 6000
IU dosis tunggal im.
- Sebelum pemberian ATS harus dilakukan tes sensitifitas.
- Antibiotika Metronidazole 30 mg/kg BB/hari setiap 6 jam oral atau IV selama 7
10 hari atau Penicillin G 100.000 U/kg BB/hari IV setiap 6 jam selama 10 hari.
- antikonvulsan pada tetanus neonatorum diazepam 45-60 mg/24 jam dengan
pompa semprit (syringe pump) atau dibagi dalam 12 dosis
- antikonvulsan pada tetanus anak diberikan (diazepam180-200mg/24 jam atau
terbagi dalam 12 dosisi) diazepam 0,1-0,3 mg/kgBB perkali IV tiap 2-4 jam dalam
keadaan berat 20 mg/kgBB perhari drip, dosis rumatan 8mg/kgBB/hr dibagi 6-8
dosisi
2) Tindakan bedah :
debridemen luka akan membersihkan kuman sehingga mengeliminir pembentukan
tetanospasmin.
6. Penilaian ulang
Apakah yang harus dipantau dalam tindak lanjut pasien selanjutnya ?
Jawaban
- Pastikan jalan nafas bebas sumbatan dengan melakukan penyedotan sekret secara
berkala.
- Membatasi manipulasi terhadap pasien dengan tindakan terencana, untuk
mengurangi terjadinya kejang rangsang.
- Melaksanakan standard precaution dalam setiap tindakan keperawatan terhadap
pasien untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial.
- Penyuluhan kepada orang tua tentang perjalanan penyakit tetanus dan pencegahan
terjadinya tetanus neonatorum dengan imunisasi prenatal tetanus toksoid.
Daftar Pustaka

Surya. R., 2016. Skoring Prognosis Tetanus Generalista Pada Pasien Dewasa. CDK 43(3) : 199-
203
Novita, I., D. Priambodo., 2015. Cephalic Tetanus A Rare Local Tetanus. Biomedika 7(2) : 13-
19.
Sari. S. N., 2017 Analisis Faktor Resiko Kematian Bayi Penderita Tetanus Neonatorum di
Provinsi Jawa Timur. Jurnal Berkala Epidemiologi 5(2) : 195-206

Sumber gambar :
https://www.alodokter.com/ (diakses pada tanggal 30 Oktober 2020 pukul 15.38)
https://herrysetyayudha.wordpress.com/2011/11/02/tetanus/ (diakses pada tanggal 30 Oktober
2020 pukul 14.50)

Anda mungkin juga menyukai