Anda di halaman 1dari 24

Lab/Smf Ilmu Kesehatan Anak

Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman


Divisi Infeksi Tropis

TETANUS

Disusun oleh:
Desy Ekamadayani Ahmad (NIM. 1610029017)
Rima Khairunnisa Jamal (NIM. 1610029030)
Pembimbing:
dr. William S. Tjeng, Sp. A
LAB/SMF ILMU KESEHATAN ANAK
PROGRAM PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
RSUD A.W. SJAHRANIE
SAMARINDA 2016

Tutorial Klinik

TETANUS

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Anak

Menyetujui,

dr. William S. Tjeng, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
DESEMBER 2016
2

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, hidayat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan yang berjudul Tetanus
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan laporan ini tidak lepas dari bantuan
dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan
terima kasih kepada :
1

dr. William S. Tjeng, Sp. A sebagai dosen pembimbing klinik selama divisi Infeksi Tropis
Stase Anak.

Dosen-dosen klinik dan preklinik FK UNMUL khususnya staf pengajar Lab/SMF Ilmu
Kesehatan Anak, terima kasih atas ilmu yang telah diajarkan kepada kami.

Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK UNMUL
dan semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, Tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, penulis membuka diri

untuk berbagai saran dan kritik yang membangun. Akhir kata penulis menyadari bahwa
penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari para pembaca untuk perbaikan kepenulisan di masa
mendatang. Terakhir, semoga Tutorial Kasus yang sederhana ini dapat membawa berkah dan
memberikan manfaat bagi seluruh pihak serta turut berperan demi kemajuan ilmu
pengetahuan.
Samarinda, 2 Desember 2016

Penulis

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.......................................................................................................................4
BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................................5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................6
BAB 3 KESIMPULAN....................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................23

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti
menegang. Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa disertai
gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai
dampak eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion
sambungan sumsum tulang belakang, neuro muscular junction, dan saraf otonom.
Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah
mendapatkan imunasi tetanus (DPT). Dan pada umumnya terdapat pada anak dari keluarga
yang belum mengerti pentingnya imunasi dan pemeliharaan kesehatan, seperti kebersihan
lingkungan dan perorangan. Penyebab penyakit seperti pada tetanus neonatorum, yaitu
Clostridium tetani yang hidup anaerob, berbentuk spora selama di luar tubuh manusia,
tersebar luas di tanah, juga terdapat di tempat yang kotor, besi berkarat sampai pada tusuk
sate bekas. Basil ini bila kondisinya baik (di dalam tubuh manusia) akan mengeluarkan
toksin. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit, dan merupakan
tetanospasmi, yaitu neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah agar dokter muda mampu memahami definisi,
epidemiologi, etiologi, faktor risiko, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan tetanus.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan
spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan
oleh Clostridium tetani, tanpa gangguan kesadaran. Tetanus ini biasanya akut dan
menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan tetanospasmin (IDAI, 2010).
2.2 Epidemiologi
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masih terjadi di seluruh dunia
dengan angka kejadian tergantung jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat
pencemaran biologi lingkungan, peternakan/pertanian dan adanya luka pada kulit atau
mukosa. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat
mortalitas yang berkisar 6% hingga 60% angka kejadian ini lebih tinggi pada anak laki laki,
akibat perbedaan aktivitas fisik. Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus menurun seiring
dengan peningkatan cakupan imunisasi. Namun demikian, hampir semua negara tidak
memiliki kebijakan bagi orang yang telah divaksinasi yang lahir sebelum program imunisasi
diberlakukan ataupun penyediaan booster yang diperlukan untuk perlindungan jangka lama,
serta pada orang-orang yang lupa melakukan jadwal imunisasi saat infrastruktur pelayanan
kesehatan yang rusak. Tetanus pada anak terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan
imunisasi DPT yang rendah.
Resevoir utama bakteri C.tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan
hewan peliharaan dan serta di daerah pertanian sehingga risiko penyakit ini di daerah
peternakan sangat besar (IDAI, 2010).
2.3 Etiologi
Clostridium tetani termasuk kuman yang hidup tanpa oksigen (anaerob), dan
membentuk spora. Spora ini mampu bertahan hidup terhadap lingkungan panas, antiseptic,
dan jaringan tubuh, sampai berbulan-bulan. Kuman yang berbentuk batang ini sering terdapat
dalam kotoran hewan dan manusia, dan bisa menyebar lewat debu atau tanah yang kotor, dan
mengenai luka (Tami, 2005).Clostridium tetani merupakan kuman gram positif yang
menghasilkan eksotoksin yang neurotoksik, dapat larut dan O2 labil (Suraatmaja dan
Soetjiningsih, 2000).
6

Kuman yang menghasilkan toksin adalah C.tetani , kuman berbentuk batang dengan sifat
(IDAI, 2010):

Basil gram positif dengan spora pada ujungnya sehingga secara mikroskopis tampak
seperti pukulan gendering atau raket tenis

Obligat anaerob ( berbentuk vegetative apabila berada dalam lingkungan anaerob dan
dapat bergerak dengan menggunakan flagella)

Menghasilkan eksostoksin yang kuat

Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi,
kekeringan, spora dapat bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama
betahun tahun dalam lingkungan anaerob tetapi sel vegetative terbunuh oleh
antibiotic, panas dan desinfektan baku.
Tidak seperti kebanyakan klostridia C.tetani

bukan organime yang menginvasi

jaringan, justru menyebabkan penyakit melalui pengaruh toksin tunggal, tetanospasmin yang
lebih sering disebut toksin tetanus. Toksin tetanus adalah bahan kedua yang paling beracun,
hanya diungguli kekuatannya oleh toksin botulinum, dosis letal toksin tetanus diperkirakan
10-6 mg/kg (Arnon, 2000).
Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga melalui
(Suraatmaja dan Soetjiningsih, 2000 dan IDAI, 2010). :
1. Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar.
2. Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik.
3. OMP, caries gigi.
4. Persalinan, Pemotongan tali pusat yang tidak steril.
5. Pembedahan, Penjahitan luka robek yang tidak steril
6. Infeksi telinga tengah
7. Pemakaian obat obatan intravena atau subkutan
8. Tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah
9. Lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah
10. Trauma pada jari tangan dan jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari
2.4 Patogenesis
Spora kuman tetanus yang ada di lingkungan dapat berubah menjadi bentuk vegetatif
bila ada dalam lingkungan anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah. Kuman ini
dapat membentuk metalo-exotosin tetanus, yang terpenting untuk manusia adalah
7

tetanospasmin. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal
dan neuromuscular junction serta syaraf otonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor
endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaksonal kedalam sel
saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang, akhirnya menyebar ke SSP.
Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat dan
kemudian melalui proses perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut kearah sel secara ekstra
aksional dan menimbulkan perubahan potensial membrane dan gangguan enzim yang
menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi
pada sinaps yang terkena. Toksin menyebabkan blockade pada simpul yang menyalurkan
impuls pada tonus otot , sehigga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan (IDAI,
2010).
Manifestasi klinis terutama disebabkan oleh pengaruh eksotoksin terhadap susunan
saraf tepi dan pusat. Pengaruh tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi presinaptik
sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi yaitu GABA dan glisin, sehingga
terjadi eksitasi terus-menerus dan spasme. Kekakuan dimulai pada tempat masuk kuman atau
pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sungsum belakang terjadi kekakuan
yang makin berat, pada ekstremitas, otot-otot bergaris pada dada, perut dan mulai timbul
kejang. Apabila toksin mencapai korteks cerebri, penderita akan mulai mengalami kejang
umum yang spontan. Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga
terjadi gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran cerna,
saluran kemih, dan neuromuskular. Spame laring, hipertensi, gangguan irama jantung,
hiperpireksi, hiperhidrosis, merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu
jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan
penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernafasan mekanik, kejang dapat diatasi namun
gangguan saraf otonom harus dikenali dan dikelola dengan teliti (Ismoedijanto dan
Darmowandowo, 2006).
Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang
terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation. Keadaan
ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi
kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena makin berat kejang
yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba, dan cahaya dapat menjadi pencetus kejang
karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti
retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin karena

tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten terhadap toksin
(Hinfey, 2013).
Dampak toksin bagi tubuh adalah:
1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan oleh karena
eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan
koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada cerebral
gangliosides diduga menyebabkan kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus.
3. Dampak pada saraf autonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan
gaya keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart
block atau takikardia (IDAI, 2010).

Terpapar kuman Clostridium


Eksotoksin
Pengangkutan toksin melewati saraf motorik

Ganglion Sumsum
Tulang Belakang

Otak

Saraf Otonom

Tonus otot

Menempel pada Cerebral


Gangliosides

Mengenai Saraf Simpatis

Menjadi kaku

Kekakuan dan kejang khas


pada tetanus

-Keringat berlebihan
-Hipertermi
-Hipotermi
-Aritmia
-Takikardi

Hilangnya keseimbangan tonus otot


Kekakuan otot

Hipoksia berat
O2 di otak

Sistem

-Ggn. Eliminasi
-Ggn. Nutrisi

Sistem Pernafasan

-Ketidakefektifan
jalan nafas
-Gangguan Komunikasi
Verbal

Kesadaran
-PK. Hipoksemia
-Ggn. Perfusi Jaringan
-Ggn. Pertukaran Gas

2.5 Gejala Klinis

Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar antara 5 -14 hari. Makin lama
masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat penyakit selain berdasarkan
gejala klinis tampak juga dapat diramalkan dari lama masa inkubasi atau lama period of
onset, kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh
tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua
lengan dan ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada telapak kaki, tubuh kaku melengkung bagai
busur (IDAI,2010).
Tetanus tak segera dapat terdeteksi karena masa inkubasi penyakit ini dapat
berlangsung hingga 21 hari setelah masuknya kuman tetanus ke dalam tubuh. Pada masa
inkubasi inilah baru timbul gejala awalnya. Gejala penyakit tetanus bisa dibagi dalam tiga
tahap, yaitu (Tami, 2005) :
-Tahap awal
Rasa nyeri punggung dan perasaan tidak nyaman di seluruh tubuh merupakan gejala
awal penyakit ini. Satu hari kemudian baru terjadi kekakuan otot. Beberapa penderita juga
mengalami kesulitan menelan. Gangguan terus dialami penderita selama infeksi tetanus
masih berlangsung.
-Tahap kedua
Gejala awal berlanjut dengan kejang yang disertai nyeri otot pengunyah (Trismus).
Gejala tahap kedua ini disertai sedikit rasa kaku di rahang, yang meningkat sampai gigi
mengatup dengan ketat, dan mulut tidak bisa dibuka sama sekali. Kekakuan ini bisa menjalar
ke otot-otot wajah, sehingga wajah penderita akan terlihat menyeringai (Risus Sardonisus),
karena tarikan dari otot-otot di sudut mulut.
Selain itu, otot-otot perut pun menjadi kaku tanpa disertai rasa nyeri. Kekakuan
tersebut akan semakin meningkat hingga kepala penderita akan t bvertarik ke belakang.
(Ophistotonus). Keadaan ini dapat terjadi 48 jam setelah mengalami luka.
Pada tahap ini, gejala lain yang sering timbul yaitu penderita menjadi lambat dan sulit
bergerak, termasuk bernafas dan menelan makanan. Penderita mengalami tekanan di daerah
dada, suara berubah karena berbicara melalui mulut atau gigi yang terkatub erat, dan gerakan
dari langit-langit mulut menjadi terbatas.
-Tahap ketiga
Daya rangsang dari sel-sel saraf otot semakin meningkat, maka terjadilah kejang
refleks. Biasanya hal ini terjasi beberapa jam setelah adanya kekakuan otot. Kejang otot ini
bisa terjadi spontan tanpa rangsangan dari luar, bisa pula karena adanya rangsangan dari luar.
Misalnya cahaya, sentuhan, bunyi-bunyian dan sebagainya. Pada awalnya, kejang ini hanya
10

berlangsung singkat, tapi semakin lama akan berlangsung lebih lama dan dengan frekuensi
yang lebih sering.
Selain dapat menyebabkan radang otot jantung (mycarditis), tetanus dapat
menyebabkan sulit buang air kecil dan sembelit. Pelukaan lidah, bahkan patah tulang
belakang dapat terjadi akibat adanya kejang otot hebat. Pernafasan pun juga dapat terhenti
karena kejang otot ini, sehingga beresiko kematian. Hal ini disebabkan karena sumbatan
saluran nafas, akibat kolapsnya saluran nafas, sehingga refleks batuk tidak memadai, dan
penderita tidak dapat menelan.
Ada 4 bentuk klinik dari tetanus, yaitu:
1. Localized tetanus
Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah
tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fiksator). Hal ini merupakan tanda
dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam
beberapa bulan tanpa progres dan biasanya menghilang secara bertahap.
Tetanus lokal ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam
bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini
dijumpai sebagai prodromal dari tetanus klasik atau dijumpai secara terpisah. Hal ini
terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
2. Chepalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1-2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India),
luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga
hidung. Tetanus sefalik dicirikan oleh lumpuhnya saraf kranial VII yang paling sering
terlibat. Tetanus Ophthalmoplegic ialah tetanus yang berkembang setelah menembus
luka mata dan luka dalam dengan kelumpuhan dari saraf kranial III dan adanya ptosis.
Selain itu bisa juga kelumpuhan dari N. IV, IX, X, XI, dapat sendiri-sendiri maupun
kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan-bulan.
Tetanus sefalik dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya
prognosisnya buruk.

3. Generalized tetanus
11

Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi yang
tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam.
Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50 %), bersamaan dengan
kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan.
Gejala lain berupa risus sardonicus (Sardonic grin), opistotonus, dan kejang dinding
perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan
saluran nafas, sianosis, dan asfiksia.
Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi dapat mencapai 40o C. Bila
dijumpai hipertermi atau hipotermi, tekanan darah tidak stabil, dan dijumpai
takikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan
gejala klinis.
Klasifikasi tetanus umum berdasarkan derajat panyakit menurut modifikasi
dari klasifikasi Abletts dapat dibagi menjadi 4 tingkatan, yaitu:

4. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat,
umumnya karena teknik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak
mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan

12

untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh
klasik: trismus, opistotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan
ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan
fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada
pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas,
hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi, dan kegagalan jantung paru (Pai, 2005).
2.6 Diagnosis
Anamnesis

apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/ patah tulang terbuka, luka dengan
nanah atau gigitan binatang?

Apakah pernah keluar nanah dari telinga?

Apakah pernah menderita gigi berlubang?

Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi terakhir ?

Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme local)
dengan spasme yang pertama (period of onset)?
(IDAI, 2010)

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :

Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot masseter) sehingga sukar untuk
membuka mulut. Pada neonates keadaan ini menyebabkan mulut mencucu seperti
mulutt ikan sehingga bayi tidak dapat menetek. Secata klinis untuk menilai kemajuan
kesembuhan , dengan lebar bukaan mulut diukur setiap hari.

Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimic tertarik keluar dan
kebawah.

Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh, seperti : otot punggung,
otot leher, dan otot badan dan trunk muscle. Kekuan yang sangat berat dapat
menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.

Otot dinding perut lalu sehingga dinding perut seperti papan.

Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya terjadi
setelah dirangsang, misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena sinar yang

13

kuat. Lambat lau massa istirahat spasme makin pendek sehingga anak jatuh dalam
status konvulsi.

Pada tetanus neonaturum awalnya bayi akan tampak sulit untuk menghisap dan
cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi tidak bisa
menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya, badan menjadi kaku serta
terdapat spasme intermitten.

Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan sebagai akibat spasme yang
terus menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan
anoksia dan kematian.

Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan


menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril . hasil test postif, jika terjadi
kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negative berupa reflex
muntah.
(IDAI, 2010)

Pem. Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus :

Pemeriksaan biakan pada luka , perlu dilakukan pada kasus susp. Tetanus. Biakan
kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobic. Selain mahal, hasil
biakan yang postif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya sekitar 30 % yang
menujukkan hasil biakan dan gejala klinis yang postif.

Nilai hitug leukosit dapat sangat tinggi

Pemeriksaan cairan serebrospial dapat menunjukkan hasil yang normal

Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai imunisasi
dan bukan tetanus.

Kadar enzim otot (kratinin kinase, adolase) di dalam darah dapat meningkat

Dapat ditemukan perubahan tidak spesifik pada EKG.

14

2.7 Diagnosis Banding


PENYAKIT
INFEKSI

GAMBARAN DIFFERENTIAL

Meningoencephalitis

Demam, trismus tidak ada, sensorium depresi, abnormal CSF

Polio

Trismus tidak ada, paralisa tipe flasid, abnormal CSF

Rabies

Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya oropharingeal spasm

Lesi oropharyngeal

Hanya lokal, rigiditas seluruh tubuh atau spasme tidak ada

Peritonitis

Trismus atau spasme seluruh tubuh tidak ada

KELAINAN METABOLIK
Tetani

Hanya carpopedal dan laryngeal spasm, hipokalsemia

Keracunan strihnin

Relaksasi komplit diantara spasme

Relaksasi phenothiazine
PENYAKIT CNS

Distonia, respons dengan diphenhydramine

Stastus epilepticus
Hemorrhage atau tumor

Sensorium depressi
Trismus tidak ada, sensorium depressi

KELAINAN PSIKIATRIK
Hysteria
KELAINAN

Trismus inkonstan, relaksasi komplet diantara spasme

MUSKULOSKLETAL
Trauma

Hanya lokal

2.8 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada:
-

Sistem saluran pernafasan


Oleh arena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya kejang
menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta sukar menelan
air liur, makanan, dan minuman sehingga sering terjadi pneumonia aspirasi dan
atelektasis akibat obstruksi oleh sekret. Pneumotoraks dan emfisema mediastinal
biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.

Sistem kardiovaskular
Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa takikardia, hipertensi,
vasokonstriksi perifer, dan ransangan miokardium.

15

Sistem muskuloskeletal
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot. Pada
tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat kejang yang terus menerus
terutama pada anak dan orang dewasa, beberapa peneliti melaporkan dapat terjadi
miositis ossifikans sirkumskripta.

Komplikasi yang lain :

Laserasi lidah akibat kejang

Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja

Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan
mengganggu pusat pengatur suhu.
(Alvarez, 2013)
Penyebab kematian pada tetanus ialah akibat komplikasi berupa bronkopneumonia,

cardiac arrest, septicemia, dan pneumotoraks.


2.9 Penatalaksanaan
Pengobatan pada tetanus terdiri dari penatalaksanaan umum yang terdiri dari
kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi, mengatasi kejang,
perawatan luka atau portd entre lain. Sedangkan penatalaksanaan khusus terdiri dari
pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.
Penatalaksanaan umum
-

Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit
perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal.

Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena, sekaligus memberikan
obat-obatan dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya
dipertimbangkan pemberian secara parenteral. Setelah kejang mereda dapat dipasang
sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada
kemungkinan terjadinya aspirasi.

Menjaga saluran nafas tetap bebas, kalau berat perlu trakeostomi


16

Memberikan tambahan oksigen dengan sungkup

Mengurangi spasme dan mengatasi kejang


Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini
mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat tanpa
menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3
mg/kgBB dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang
direkomendasikan untuk usia < 2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari diberikan oral dalam
dosis 2-3 mg/3 jam. Kejang harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5
mg per rektal untuk BB < 10 kg dan 10 mg untuk BB > 10 kg, atau dosis diazepam
intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah kejang berhenti, pemberian diazepam
dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan klinis pasien. Alternatif lain untuk
bayi diberikan dosis inisial 0,1-0,2 mg/kgBB/hari untuk menghilangkan spasme akut,
diikuti infuse kontinu 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam
diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui OGT. Tanda klinis
membaik bila tidak dijumpai kejang spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik,
tidak dijumpai gangguan nafas. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun
anak masih kejang atau mengalami spasme laringm sebaiknya dipertimbangkan untuk
dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat
bantuan pernafasan mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis
rumatan telah memberikan respon klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan 3-5
hari. Selanjutnya pengurangan dosis secara bertahap (sekitar 20 % dari dosis setiap 2
hari)
Penatalaksanaan khusus

Antibiotik
Antibiotik ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk
toksin yang dihasilkannya. Antibiotik lini pertama yang diberikan adalah
metronidazole IV/oral dengan dosis awal secara loading dose 15 mg/kgBB dalam 1
jam dilanjutkan 30 mg/kgBB/hari selama 1 jam perinfus setiap 6 jam selama 7-10
hari. Lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000/kgBB/hari selama
7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50
mg/kgBB/hari (untuk anak usia > 8 tahun). Penyulit yang ada diberikan antibiotik
yang sesuai.

Anti serum
17

Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU IM dan 50.000 IU
IV. Pemberian ATS harus berhati-hati akan terjadinya reaksi anafilaksis. Pada tetanus
anak pemberian anti serum dapat disertai imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari
rumah sakit. Bila fasilitas tersedia dapat diberikan HTIG (Human Tetanus Immune
Globulin) 3.000-6000 IU IM (IDAI, 2010).
2.10 Pencegahan
Mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal maka untuk pencegahan, perlu
dilakukan:

Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka
yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Luka dibersihkan atau dilakukan
debridement. Terutama perawatan luka guna mencegah timbulnya jaringan anaerob.

Pemberian ATS dan Toksoid Tetanus pada luka


Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (kurang dari 6 jam)
dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif.

Imunisasi aktif
Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, dT, atau Toksoid Tetanus. Jenis imunisasi
tergantung dari jumlah golongan umur dan jenis kelamin. Vaksin DPT diberikan
sebagai imunisasi dasar sebanyak 3 kali, DPT IV pada usia 18 bulan dan DPT V pada
usia 5 tahun, dan saat usia 12 tahun diberikan dT. Toksoid tetanus diberikan pada
wanita usia subur, perempuan usia 12 tahun, dan ibu hamil. DPT/dT diberikan setelah
pasien sembuh dilanjutkan imunisasi ulangan diberikan sesuai jadwal, oleh karena
tetanus tidak menimbulkan kekebalan yang berlangsung lama.

Khusus untuk mencegah tetanus neonatorum perlu diperhatikan kebersihan pada


waktu persalinan terutama alas tempat tidur, alat pemotong tali pusat, dan cara
perawatan tali pusat.

18

Pencegahan pada luka

Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang

Luka ringan dan bersih

Imunisasi lengkap : tidak perlu ATS atau tetanus imunoglobulin

Imunisasi tidak lengkap : imunisasi aktif DPT/DT.

Luka sedang/berat dan kotor


-

Imunisasi (-)/tidak jelas : ATS 3000-5000 U, atau tetanus imunoglobulin 250500 U. Toksoid tetanus pada sisi lain.

Imunisasi (+), lamanya sudah > 5 tahun : ulangan toksoid, ATS 3000-5000 U,
tetanus imunoglobulin 250-500 U (Ismoedijanto dan Darmowandowo, 2006).

2.11 Monitoring
I. Sekuele

Spasme berkurang setelah 2-3 minggu, namun kekakuan dapat terus berlangsung
lebih lama.

Kekakuan dapat tetap berlangsung sampai 6-8 minggu pada kasus yang berat.

Gangguan otonom biasanya dimulai beberapa hari setelah kejang dan berlangsung
selama 1-2 minggu.

II. Tumbuh Kembang

Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak
mengganggu tumbuh kembang anak.

Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi gangguan tumbuh kembang oleh
karena hipoksia yang berat.

2.12 Prognosis
Prognosis tetanus pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Jika masa inkubasi
pendek (kurang dari 7 hari), usia yang sangat muda (neonatus), period of onset yang pendek
(jarak antara trismus dan timbulnya kejang kurang dari 48 jam), frekuensi kejang yang tinggi,
pengobatan terlambat, adanya komplikasi terutama spasme otot pernapasan dan obstruksi
jalan napas, semua ini prognosisnya buruk (IDAI, 2010). Pemberian profilaksis
meningkatkan angka kelangsungan hidup meskipun terjadi tetanus (Depkes, 2008).

19

Phillips Score

Interpretasi:

20

<9

: severitas ringan

9-18

: severitas sedang

>18

: severitas berat

Dakar Score

Interpretasi:
0-1

: severitas ringan dengan mortalitas 10%

2-3

: severitas sedang dengan mortalitas 10-20%

: severitas berat dengan mortalitas 20-40%

5-6

: severitas sangat berat dengan mortalitas >50%

21

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot
dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani.
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, jika dinding sel kuman lisis maka
dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Secara klinis tetanus ada 3 macam: tetanus umum, tetanus lokal dan tetanus sefalik.
Strategi terapi tetanus melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan: organisme yang
terdapat dalam tubuh hendaknya dieliminasi untuk mencegah pelepasan toksin lebih lanjut,
toksin yang terdapat dalam tubuh, diluar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisasi dan efek
dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat dieliminasi.
Prognosis dipengaruhi oleh beberapa faktor: masa inkubasi, umur, period of onset,
pengobatan, ada tidaknya komplikasi, frekuensi kejang.

3.2 Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari makalah tutorial ini, baik dari segi
diskusi, penulisan dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari dosendosen yang mengajar, dari rekan-rekan sesama dokter muda dan dari berbagai pihak demi
kesempurnaan laporan ini.

22

23

DAFTAR PUSTAKA
Suraatmaja, S., and Soetjiningsih, 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak RSUP Sanglah. Fakultas Kedokteran Udayana. Denpasar.
Soedarmo, S. S., Garna, H., hadinegoro, S. R., & Satari, H. I. (2010). Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI.
Depkes RI. Penatalaksanaan Tetanus Pada Anak (2008). Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia
Hinfey

PB.

Tetanus.

[Cited

2013

February

23].

Available

from:

23].

Available

from:

http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview.
Alvarez

N.

Tetanus.

[Cited

2013

February

http://www.emedicinehealth.com/tetanus/article_em.htm.
Pai PN. Tetanus in children: Treatment and prognostic factors. British Homoeopathic
Journal. 2005. Vol.54, Issue 3:190-9.

24

Anda mungkin juga menyukai