Anda di halaman 1dari 42

TETANUS

DEFINISI

Tetanus, berasal dari bahasa Yunani “Tetanos”


artinya “ stretch” atau meregang.

Menurut Aru W (2007)


Gangguan neurologi yang ditandai dengan
meningkatnya tonus otot dan spasme yang
disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani
Banyak ditemukan di
EPIDEMIOLOGI negara berkembang
pada:
Insidensi - Populasi neonatus
tahunan di - Terjadi setelah luka
dunia: tusuk yang tidak
0,5-1 juta kasus disengaja (misalnya
dengan tingkat saat bertani atau
mortalitas ± berkebun, kemudian
45% tidak mendapatkan
Negara perawatan luka yang
WHO (2016) berkembang
: adekuat)
Iklim
522 kasus hangat,
tetanus lembab, tanah
yang terjadi banyak
di mengandung
Indonesia organik
FAKTOR RISIKO
Luka yang dalam-terkontaminasi
 Adanya jaringan yang nekrotik (seperti pada luka bakar)
 Gigi berlubang  tusuk gigi
 Otitis media
 Gigitan binatang yang nekrosis
 Septic abortion
 Status imunisasi tetanus yang tidak lengkap
 Praktik obstetrik dan injeksi obat yang tidak aseptik
 Tindik telinga
ETIOLOGI

Bakteri Clostridium
tetani

Vegetatif Transformasi terjadi akibat Spora


penurunan lokal kadar oksigen
• Basil akibat: (a) terdapat jaringan mati, Menghasilkan 2 macam toksin:
• Gram positif (b) crushed injury, dan (c) infeksi tetanolisin dan
• Ukuran 0,5-1,7 ί supuratif tetanospasmin
m x 2,1-18,1 ί m • Tetanolisin  perusakan jaringan
• Tidak berkapsul secara lokal di jaringan sekitar
• Motil infeksi, optimalisasi kondisi untuk
• Obligat anaerob pertumbuhan dan perkembangan
• Ditemukan di bakteri
tanah dan
kotoran binatang •Tetanospasmin  mengahambat
pelepasan neurotransmitter inhibisi
GABA di junction sinaps saraf
inhibisi  gejala klinis tetanus
PATOGENESIS
• Spora Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh melalui
luka trauma, jaringan nekrosis, dan jaringan yang kurang
vaskularisasi.
• Pada 15-25% kasus tidak didapatkan riwayat adanya luka.
Kemungkinan lain port of entry bakteri ini yaitu akupuntur,
tumor nekrotik, otitis media, suntikan intramuskuler dan
intravena, aborsi septik dan perawatan tali pusat yang
buruk.
• Bakteri ini sangat baik berkembang biak pada suhu 37°
dan suasana anaerob akan berubah menjadi endospora
dan menghasilkan toksin.
PATOGENESIS
• Clostridium tetani menghasilkan dua jenis toksin, yaitu
tetanolysin dan tetanospasmin.
Tetanolysin merupakan suatu hemolisin dan bersifat oxygen
labile (mudah diinaktivasi oleh oksigen); berperan dalam
perusakan jaringan secara local di jaringan sekitar infeksi
dan mengoptimasi kondisi untuk pertumbuhan dan
multiplikasi bakteri,
Tetanospasmin merupakan suatu neurotoxin yang bersifat
heat labile (tidak tahan panas); disebut juga toksin tetanus
berperan dalam memunculkan sindroma klinis tetanus.
PATOGENESIS
• Penyebaran tetanospasmin dapat melalui hematogen ataupun
limfogen yang kemudian mencapai targetnya di ujung saraf
motorik. Toxin ini memiliki 2 subunit dan 3 domain, subunit A
(light chain) dan subunit B (heavy chain). Begitu toxin
disekresikan, suatu protease endogen akan memecah
tetanospasmin mejadi 2 subunit. Reseptor untuk toxin ini
adalah gangliosida pada neuron motoris.
• Domain pengikat karbohidrat (Carbohydrate-binding Domain)
pada ujung carboxy-terminal subunit B berikatan dengan
reseptor asam sialat yang spesifik dan glikoprotein pada
membrane presinaptik sel saraf motoric alfa. Kemudian toxin
akan diinternalisasi oleh vesikel endosome. Asidifikasi
endosome akan menyebabkan perubahan konformasi ujung N-
terminus subunit B, kemudian terjadi insersi subunit B kedalam
membrane endosome, sehingga memungkinkan subunit A
keluar menembus membrane endosome menuju ke sitosol.
Toxin lalu mengalami retrograde axonal.
PATOGENESIS
• Subunit A merupaan suatu zinc-dependent metalloprotease
yang memecah vesicle-associated membrane protein-2,
VAMP-2 (atau sinaptobrevin). Protein ini merupakan
komponen utama SNARE-complex yang berperan dalam
endositosis dan pelepasan neurotransmitter. Toxin ini
menghambat pelepasan inhibitory neurotransmitter, yaitu
glycine dan GABA (gamma-amino butyric acid). Sehingga
aktifitas motor neuron menjadi tidak terinhibisi dan
memberikan gambaran kekakuan otot dan spasme.
• Proses ini terjadi di semua sinaps, termasuk neuromuscular
junction (NMJ). Otot-otot yang memiliki jaras persarafan
terpendek akan terkena lebih dahulu, seperti otot-otot
mastikasi. Sehingga pada awal gejala timbul trismus (kaku
rahang) dan disfagia.
MANIFESTASI KLINIS
MANIFESTASI KLINIS
1. Spasme otot
Disebabkan karena hilangnya inhibisi saraf motorik eferen di medula
dan batang otak.
Menyebabkan nyeri yang intens dan dapat berakibat terjadinya fraktur
dan ruptur tendon.
Spasme dapat berupa:
• Trismus atau lockjaw: akibat kontraksi berat dari otot masseter
• Rigiditas abdomen ( “Perut papan” )
• Risus sardonicus
• Retraksi kepala karena kontraksi otot rahang, wajah dan leher.
Dapat terpengaruh karena jaras aksonalnya lebih pendek.
• Spasme otot menelan menyebabkan disfagi
• Opistotonus, dapat menyebabkan kesulitan nafas akibat kurangnya
komplians otot dinding dada
• Otot ekstrimitas terpengaruh terkhir, tungkai ekstensi dan lengan
fleksi
MANIFESTASI KLINIS

2. Laringospasme menyebabkan gangguan pernapasan


3. Efek toksin pada jantung  Miokarditis ditandai demam,
rash, eosinofilia perifer dan peningkatan biomarker nekrosis.
Gambaran EKG : infark miokarditis dengan ST elevasi
4. Pada neonatus biasanya ditandai bayi tidak mau menyusu,
muntah dan kejang. Penyebab tersering adalah perawatan
umbilikal yang buruk
MANIFESTASI KLINIS
5. Tanda – tanda disotonomi terjadi beberapa hari setelah
spasme dan menetap selama 1-2 minggu :
• Instabilitas tekanan darah (hipertensi diselingi hipotensi)
• Takikardia diselingi bradikardia
• Cardiac arrest atau asistol berulang karena peningkatan
tonus dan aktivitas vagus
• Vasokonstriksi dan pireksia
• Hipersalivasi dan peningkatan sekresi bronkial
• Stasis gaster, ileus, diare
• Diaforesis
• Hipermetabolisme ditandai dengan kenaikan kadar
katekolamin hingga 10x lipat pada pemeriksaan plasma basal
MANIFESTASI KLINIS
• Pada tetanus lokal, gejala terbatas pada kelompok otot
tertentu. Diawali kaku dan sakit pada otot disekitar luka,
berlanjut dengan twitchings dan spasme singkat.
Biasanya pada luka di daerah tangan atau lengan bawah
• Pada tetanus sefalik, dapat terjadi blepharospasm,
ophthalmoparesis, dysarthria, disfonia dan disfagia Untuk
membedakan dengan penyakit lain yang menyebabkan
paresis saraf otak lakukan “Spatula test”. Dilakukan
stimulasi pada dinding posterior faring, respon positif
berupa gerakan menggigit karena terprovokasinya otot
masseter sehingga mengalami spasme,
KRITERIA PATEL JOAG
•Kriteria 1 : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan
kekakuan otot tulang belakang
•Kriteria 2 : spasme saja tanpa melihat frekuensi dan
derajatnya
•Kriteria 3 : inkubasi antara 7 hari atau kurang
•Kriteria 4 : waktu onset adalah 48 jam atau kurang
•Kriteria 5 : kenaikan suhu rektal sampai 100oF dan
aksila sampai 99oF (37.6oC)
GRADING
•Tingkat I : Ringan, minimal 1 kriteria ( K1 / K2 ) mortalitas 0%
•Tingkat II : Sedang, minimal 2 kriteria ( K1& K2) dengan masa
inkubasi lebih dari 7 Hari dan onset lebih dari 2 hari, mortalitas
10%
•Tingkat III : Berat, minimal 3 kriteria dengan masa inkubasi
kurang
dari 7 hari dan onset kurang dari 2 hari, mortalitas 32%
•Tingkat IV: Sangat berat, minimal ada 4 kriteria dengan
mortalitas
60%
•Tingkat V: Biasanya mortalitas 80 % dengan 5 kriteria, termasuk
di dalamnya adalah tetanus neonatorum maupun puerpurium
GRADING ABBLET’S
•Grade I (ringan): trismus ringan sampai sedang, spastisitas umum, tidak ada
gangguan respirasi, tidak ada spasme, tidak ada/ sedikit ada disfagia
•Grade II (moderate): trismus sedang, rigiditas terlihat jelas, spasme ringan
sampai sedang namun singkat, gangguan respirasi sedang dengan takipneu
lebih dari 30-35x/ menit, deisfagia ringan
•Grade III (berat): trismus berat, spastisitas umum, spasme spontan yang lama
dan sering, gangguan respirasi dengan takipneu lebih dari 40x/m menit,
serangan apneu, disfagia berat, takikardi biasanya lebih dari 120x/ menit,
aktivitas sistem saraf otonom sedang yang terus meningkat
•Grade IV (sangat berat): seperti grade III ditambah gangguan otonom yang
berat yang sering menyebabkan badai otonom (autonomic storm) yang
melibatkan sistem kardiovaskuler termasuk hipertensi berat dan takikardi
yang silih berganti dengan hipotensi relatif dan bradikardi
KLASIFIKASI
Berdasarkan manifestasi klinis, tetanus dapat diklasifikasikan
menjadi:
1. Tetanus generalisata
2. Tetanus lokal
3. Tetanus sefalik
TETANUS
GENERALISATA
Merupakan bentuk yang paling sering dijumpai.
•Tetanus lokal —> berkembang luas
•Gejala yang muncul:
Hipertonus otot
Spasme
Trismus
Kaku leher, bahu, ekstremitas
Abdomen papan
Risus sardonicus
Opistotonus
Spasme otot pernafasan
TETANUS LOKAL
• Imunitas lokal terhadap tetanospasmin
• Gejala biasanya berupa kaku, kencang, dan nyeri pada
otot disekitar luka. Spasme dan twitching dari otot yang
terkena.
TETANUS SEFALIK
• Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa
inkubasi 1-2 hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah
kepala atau otitis media kronis.
• Fenomena motorik pada saraf yang terkena saja.
• Gejalanya berupa trismus, disfagia, dan disfungsi otot-
otot yang dipersarafi nervus cranial.
TETANUS
NEONATORUM
• Tetanus yang terjadi pada neonatus karena lahir tanpa
pasif imunitas dari ibu yang tidak immune.
• Biasanya terjadi dari infeksi pada umbilikus yang
dipotong dengan alat yang tidak steril.
KOMPLIKASI
• Laringospasme dan atau spasme otot-otot pernapasan yang
mengakibatkan gangguan bernapas
• Fraktur vertebra atau tulang panjang yang mdiakibatkan kontraksi yang
berlebih ataupun kejang yang kuat
• Dislokasi sendi glenohumerale dan temporomandibular
• Hiperaktivitas sistem saraf otonom yang dapat menyebabkan hipertensi
dan atau denyut jantung yang tidak normal
• Infeksi nosokomial, sering terjadi karena perawatan di rumah sakit yang
lama. Infeksi sekunder dapat berupa sepsis, akibat pemasangan kateter,
Hospital Acquired Pneumonia dan ulkus dekubitus
• Emboli paru, terutama merupakan masalah pada pasien dengan
penggunaan obat-obatan dan orang tua.
• Aspirasi pneumonia, merupakan komplikasi lanjut tetanus yang paling
sering, ditemukan pada 50%-70% kasus
• Ileus paralitik, luka akibat tekanan dan retensi urine
• Malnutrisi dan stress ulcers
PENCEGAHAN
(PRINSIP UMUM PROPHYLAXIS)
• Pertimbangan Individual Penderita
Pada setiap penderita luka harus ditentukan apakah perlu tindakan
profilaksis terhadap tetanus dengan mempertimbangkan keadaan / jenis
luka dan riwayat imunisasi.
• Debridemen
Tanpa memperhatikan status imunisasi. Eksisi jaringan yang nekrotik
dan benda asing harus dikerjakan untuk semua jenis luka.
• Imunisasi Aktif
Tetanus toksoid (TFT = VST = vaksin serap tetanus) diberikan dengan
dosis sebanyak 0, 5 cc IM, diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan
berturut – turut.
DPT (Diptheri Pertusis Tetanus) terutama diberikan pada anak.
Diberikan pada usia 2 – 6 bulan dengan dosis sebesar 0, 5 cc IM, 1 x
sebulan selama 3 bulan berturut – turut. Booster diberikan pada usia 12
bulan, 1 x 0,5 cc IM dan antara umur 5 – 6 tahun 1 x 0,5 cc IM.
• Tetanus Toksoid
Imunisasi dasar dengan dosis 0,5 cc IM, yang diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan
berturut – turut. Booster (penguat) diberikan 10 tahun kemudian setelah suntikan ketiga
imunisasi dasar, selanjutnya setiap 10 tahun setelah pemberian booster di atas.
Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat cedera, baik
sebagai imunisasi dasar maupun sebagai booster, kecuali bila penderita telah
mendapatkan booster atau menyelesaikan imunisasi dasar dalam 5 tahun terakhir.
• Imunisasi Pasif
ATS (Anti Tetanus Serum), dapat merupakan antitoksin bovine (asal lembu) maupun
antitoksin equine (asal kuda). Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 1500 IU
per IM dan untuk anak adalah 750 IU per IM.
Human Tetanus Immunoglobuline (asal manusa), terkenal di pasaran dengan nama
Hypertet. Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 250 IU per IM (setara
dengan 1500 IU ATS), sedang untuk anak – anak adalah 125 IU per IM. Hypertet
diberikan bila penderita alergi terhadap ATS yang diolah dari hewan.
Pemberian imunisasi pasif tergantung dari sifat luka, kondisi penderita dan status
imunisasi. Pasien yang belum pernah mendapat imunisasi aktif maupun pasif,
merupakan keharusan untuk di imunisasi. Pemberian imunisasi secara IM, jangan sekali
– kali secara IV.
Kerugian hypertet adalah harganya yang mahal, sedangkan keuntungannya
pemberiannya tanpa didahului tes sensitivitas.
Belum IA Mendapat IA Yang Lengkap

Jenis Luka atau


Keterangan :
1 – 5 tahun 5 – 10 tahun > 10 tahun
Sebagian ATS 1500 IU setara dengan HTIG
(Humane Tetanus
Ringan, Mulai atau - Toks 0,5 cc Toks 0,5 cc Immunoglobuline) 250 IU
Pada anak – anak dosis ATS =
bersih melengkapi dosis dewasa
IA Toks. 0,5
IA:Imunisasi Aktif (dengan toksoid)
cc hingga Toks: Toksoid (vaksin serap
tetanus)
lengkap ABT: Antibiotka dosis tinggi yang
sesuai dengan Clostridium tetani
Berat, ATS 1500 IU Toks 0,5 cc Toks 0,5 cc ATS 1500 IU

bersih atau Toks. 0,5 cc Toks 0,5 cc


cenderung

tetanus

Cenderung ATS 1500 IU Toks 0,5 cc Toks 0,5 cc ATS 1500 IU

tetanus, Toks. 0,5 cc ABT Toks 0,5 cc


debrimen hingga
ABT
terlambat lengkap ABT

atau tidak

bersih
TERAPI UMUM
• Semua pasien disarankan untuk menjalani perawatan di ruang ICU
yang tenang supaya bisa dimonitor terus-menerus fungsi vitalnya.
Pasien dengan tetanus tingkat II, III, IV sebaiknya dirawat di ruang
khusus dengan peralatan intensif yang memadai serta perawat yang
terlatih untuk memantau fungsi vital dan mengenali tanda aritmia.
Hendaknya pasien berada di ruangan yang tenang dengan maksud
untuk meminimalisasi stimulus yang dapat memicu terjadinya
spasme.
• Berikan cairan infus D5 untuk mencegah dehidrasi dan hipoglikemi
• Debridement luka. Semua luka harus dibersihkan. Jaringan nekrotik
dan benda-benda asing harus dikeluarkan. Semua luka yang
berpotensial harus didebridement, abses harus diinsisi dan
didrainase. Selama dilakukannya manipulasi terhadap luka yang
diduga menjadi sumber inkubasi tetanus ini, harus diberikan hTIG
dan terapi antibiotika. Juga penting diberikan obat-obatan
pengontrol spasme otot selama manipulasi luka.
TERAPI KHUSUS
1. ANTI TETANUS TOKSIN
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:
• Toksin bebas dalam darah;
• Toksin yang bergabung dengan jaringan saraf.
Yang dapat dinetralisir oleh antitoksin adalah toksin yang bebas dalam darah. Sedangkan yang telah
bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Sebelum pemberian
antitoksin harus dilakukan:
• Anamnesa apakah ada riwayat alergi;
• Tes kulit dan mata; dan
• Harus selalu sedia Adrenalin 1:1.000.
Ini dilakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda, yang bersifat heterolog sehingga mungkin
terjadi syok anafilaksis.
Tes mata
Pada konjungtiva bagian bawah diteteskan 1 tetes larutan antitoksin tetanus 1:10 dalam larutan garam
faali, sedang pada mata yang lain hanya ditetesi garam faali. Positif bila dalam 20 menit, tampak
kemerahan dan bengkak pada konjungtiva.
Tes kulit
Suntikan 0,1 cc larutan 1/1000 antitoksin tetanus dalam larutan faali secara intrakutan. Reaksi positif
bila dalam 20 menit pada tempat suntikan terjadi kemerahan dan indurasi lebih dari 10 mm.
Bila tes mata dan kulit keduanya positif, maka antitoksin diberikan secara bertahap (Besredka).

Dosis
Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Behrman (1987) dan Grossman (1987)
menganjurkan dosis 50.000–100.000 u yang diberikan setengah lewat intravena dan setengahnya
intramuskuler. Pemberian lewat intravena diberikan dengan cara melarutkannya dalam 100–200 cc
glukosa 5% dan diberikan selama 1–2 jam.
Di FKUI, ATS diberikan dengan dosis 20.000 u selama 2 hari. Di Manado, ATS diberikan dengan dosis
10.000 i.m, sekali pemberian.
2. ANTIBIOTIKA
• Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10
hari, IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan
Peniciline dosis 50.000 Unit / KgBB/ 12 jam secafa IM
diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap
peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti
tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak
melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4
dosis ). Metronidazol loading dose 15 mg/kg BB/jam,
selanjutnya 7,5 mg/kg BB tiap 6 jamBila tersedia Peniciline
intravena, dapat digunakan dengan dosis 200.000 unit
/kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
• Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk
vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin yang
dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian
antibiotika broad spektrum dapat dilakukan
3. ANTI KONVULSAN / ANTI SEDATIF
• Obat–obat ini digunakan untuk merelaksasi otot dan
mengurangi kepekaan jaringan saraf terhadap rangsangan.
Obat yang ideal dalam penanganan tetanus ialah obat yang
dapat mengontrol kejang dan menurunkan spastisitas tanpa
mengganggu pernapasan, gerakan–gerakan volunter atau
kesadaran.
• Obat–obat yang lazim digunakan ialah:
• Diazepam
Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan
dosis 0,5 mg/kg.bb/kali i.v. perlahan–lahan dengan dosis opti-
mum 10 mg/kali diulangi setiap kali kejang. Kemudian diikuti
pemberian diazepam peroral–(sonde lambung) dengan dosis 0,5
mg/kg.bb/kali sehari diberikan 6 kali.
• Fenobarbital
Dosis awal: 1 tahun 50 mg intramuskuler; 1 tahun 75 mg
intramuskuler. Dilanjutkan dengan dosis oral 5–9 mg/kg.bb/hari
dibagi dalam 3 dosis.
• Largactil
Dosis yang dianjurkan 4 mg/kg.bb/hari dibagi dalam 6 dosis.
JENIS ANTI KONVULSAN
4. TETANUS TOXOID
• Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan
bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi
yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda.
Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus
dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus
selesai.
PENGOBATAN
MENURUT GILROY
- Kasus ringan :
Penderita tanpa cyanose : 90 - 180 begitu juga promazine 6 jam dan barbiturat
secukupnyanya untuk mengurangi spasme.
- Kasus berat :
• Semua penderita dirawat di ICU (satu team )
• Dilakukan tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal harus dibersihkan setiap
satu jam dan setiap 3 hari ETT harus diganti dengan yang baru.
• Curare diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam.
• Pernafasan dijaga dengan respirator oleh tenaga yang berpengalaman
• Penderita rubah posisi/ miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan tiap 2 jam mencegah
conjuntivitis
• Pasang NGT, diet tinggi, cairan cukup tinggi, jika perlu 6 1./hari
• Urine pasang kateter, beri antibiotika.
• Kontrol serum elektrolit, ureum dan AGDA
• Rontgen foto thorax
• Pemakaian curare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat dihentikan
pemakaiannya. Jika KU membaik, NGT dihentikan. Tracheostomy dipertahankan
beberapa hari, kemudian dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat dengan baik.
MONITORING
I. Sekuele
· Spasme berkurang setelah 2-3 minggu, namun kekakuan dapat
terus berlangsung
lebih lama.
· Kekakuan dapat tetap berlangsung sampai 6-8 minggu pada
kasus yang berat.
· Gangguan otonom biasanya dimulai beberapa hari setelah
kejang dan
berlangsung selama 1-2 minggu.
II. Tumbuh Kembang
· Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut
sehingga relatif tidak
mengganggu tumbuh kembang anak.
PROGNOSIS
• Prognosis tergantung pada masa inkubasi, waktu dari
inokulasi spora sampai timbul gejala awal dan waktu dari
timbulnya gejala awal sampai spasme tetanik awal.
• Secara umum, interval yang lebih pendek menunjukkan
tetanus yang lebih berat dan prognosis yang lebih buruk.
Kebanyakan pasienyang bertahan dari tetanus ini
biasanya akan kembali pada kondisi kesehatan
sebelumnya walau pun perbaikan berjalan secara lambat
(sekitar 2 hingga 4 bulan) dan pasien seringkali tetap
menjadi hipotonus.
• Pasien yang sembuh harus mendapatkan imunisasi aktif
dengan tetanus toksoid untuk mengelakkan dari terjadinya
rekurensi.
• Selain itu, prognosis dan angka kematian pasien dengan
tetanus juga dipengaruhi oleh factor usia, gizi yang buruk
serta penangan terhadap komplikasi yang mungkin terjadi.
• Dari data terkini yang diperolehi, kadar kematian pada
penderita tetanus ringan dan sedang adalah 6% dan pada
penderita tetanus berat bisa mencapai 60%.
• Meningkatnya kadar kematian pada penderita tetanus adalah
berhubung dengan faktor – faktor berikut:
1. Masa inkubasi yang pendek
2. Onset kejang yang dini (early onset)
3. Penanganan yang lambat
4. Apabila terdapat lesi di kepala dan muka yang terkontaminasi
5. Tetanus neonatorum

Anda mungkin juga menyukai