Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

TETANUS

Pembimbing:
dr. Herwanto, Sp.A

Penyusun:
Prematellie Jaya Leslie
406182038

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT SUMBER WARAS
PERIODE 5 AGUSTUS 2019 – 13 OKOTOBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA
BAB I

PENDAHULUAN

Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti
menegang. Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa disertai
gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai
dampak eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion
sambungan sumsum tulang belakang, neuro muscular junction, dan saraf otonom.1,2

Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah


mendapatkan imunasi tetanus (DPT). Dan pada umumnya terdapat pada anak dari keluarga
yang belum mengerti pentingnya imunasi dan pemeliharaan kesehatan, seperti kebersihan
lingkungan dan perorangan. Penyebab penyakit seperti pada tetanus neonatorum, yaitu
Clostridium tetani yang hidup anaerob, berbentuk spora selama di luar tubuh manusia,
tersebar luas di tanah, juga terdapat di tempat yang kotor, besi berkarat sampai pada tusuk
sate bekas. Basil ini bila kondisinya baik (di dalam tubuh manusia) akan mengeluarkan
toksin. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit, dan merupakan
tetanospasmin, yaitu neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot.1,3

Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme otot tonik dan hiperrefleksia
menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya punggung
(opistotonus), spasme glotal, kejang, dan paralisis pernapasan. Spora Clostridium tetani
biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong, tertusuk
ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum).2,4,5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot
dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani, tanpa gangguan kesadaran. Tetanus ini biasanya akut dan
menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan oleh tetanospasmin. Manifestasi klinis terjadi
sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction, serta
saraf otonom 1

2.2 ETIOLOGI

Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman berbentuk batang
dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um memiliki sifat : 1,2,3

 Basil Gram-positif dengan spora pada salah satu ujungnya sehingga berbentuk seperti
pemukul genderang.

 Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan
dapat bergerak dengan menggunakan flagella

 Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi
(dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 10–15 menit), kekeringan dan desinfektans (fenol
dan lainnya). Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan
biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-
tahun.

 Kuman hidup di tanah, debu, dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di
daerah pertanian/peternakan.

Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran ternak, kuda dan
sebagainya, sehingga risiko penyakit ini di daerah peternakan sangat besar. Spora kuman
Clostridium tetani yang tahan terhadap kekeringan dapat bertebaran di mana-mana; misalnya
dalam debu jalanan, lampu operasi, bubuk antiseptik (dermatol), ataupun pada alat suntik dan
operasi.1
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit akibat penyakit pencemaran lingkungan oleh
bahan biologis (spora), sehingga upaya kausal menurunkan attack rate berupa cara mengubah
lingkungan fisik atau biologis. Port d’entre tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun
diduga melalui :1,2

1. Luka tusuk, patah tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang
luas
2. Luka operasi, luka yang tak dibersihkan (debridement) dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, abses gigi, luka kronik (ulkus kronik), gangren
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan punting tali pusat dengan
kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan merupakan penyebab
utama masuknya spora pada punting tali pusat yang menyebabkan terjadinya kasus
tetanus neonatorum.

Gambar 1. Mikroskopis Clostridium tetani

2.3 EPIDEMIOLOGI

Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah
populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat pencemaran biologi lingkungan peternakan/
pertanian, dan adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh
dunia, terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang rendah angka
kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaaan aktivitas fisiknya.1

Penyakit ini umum terjadi di daerah pertanian, di daerah pedesaan dan pada daerah
dengan iklim hangat. Riwayat imunisasi dengan higiene dan sanitasi yang kurang baik
memudahkan mereka terkontaminasi dan terinfeksi. Perawatan luka yang kurang mendapat
perhatian dan kesadaran masyarakat yang kurang akan imunisasi juga merupakan suatu
penyebab insidens tetanus pada anak masih tinggi. 1,3

2.4 PATOGENESIS

Biasanya penyakit ini terjadi setelah luka yang dalam misalnya luka yang disebabkan
tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka tersebut menimbulkan
keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang kotor, luka bakar dan patah tulang
juga akan mengakibatkan keadaan anaerob yang ideal untuk pertumbuhan C. tetani ini.
Walaupun demikian luka-luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, telinga, atau tonsil
dan traktus digestivus serta gigitan serangga dapat pula merupakan port d’entré (tempat
masuk) dari C. tetani.

Spora yang masuk ke dalam tubuh dan berada dalam lingkungan anerobik, berubah
menjadi vegetatif dan berbiak cepat sambil menghasilkan toksin. Dalam jaringan yang
anaerobik ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan
oksigen jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, atau akibat adanya benda asing,
seperti bambu, pecahan kaca dan sebagainya.1,2

Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor end
plate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum belakang dan menyebar ke
seluruh susunan saraf pusat, lebih banyak dianut daripada lewat pembuluh limfe dan darah.
Pengangkutan toksin ini melewati saraf motoric, terutama serabut motor. Reseptor khusus
pada ganglion menyebebkan fragmen C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui
proses perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ekstra aksional dan
menimbulkan perubahan potensial membran dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-
esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang
terkena.

Toksin menyebabkan blockade pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus
otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin
meningkat akan timbul kejang, terutama pada otot yang besar.

Dampak Toksin
1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan oleh karena eksotoksin
memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga
tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.

2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada cerebral gangliosides
diduga menyebabkan kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus.

3. Dampak pada saraf autonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gaya
keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block atau
takikardia.

Gambar 2. Patogenesis dan Temuan Klinis Tetanus

2.5 MANIFESTASI KLINIS

Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar anatara 5-14 hari. Makin lama
masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat penyakit selain berdasarkan
gejala klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama masa inkubasi atau lama period of
onset. Kekakuan dimulai pada otot setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh
tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua
lengan dan ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai
busur. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan sering
merupakan gejala dini.1,2,4-7

Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah
terutama pada rahang dan leher.1

a. Trismus
Adalah kekakuan otot maseter sehingga sukar membuka mulut. Pada neonates
kekakuan ini menyebabkan mulut mencucu seperti mulut ikan sehingga bayi tidak
dapat menetek. Secara klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan
mulut diukur setiap hari.

b. Risus sardonikus
Terjadi sebagai akibat spasme otot muka, sehingga tampak dahi mengkerut, alis
tertarik ke atas, mata agak tertutup, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir
tertekan kuat pada gigi.

c. Opistotonus
Adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti otot punggung, otot leher, otot
badan, dan trunk muscles. Kekakuan yang sangat berat dapat menyebabkan tubuh
melengkung seperti busur.

d. Kejang umum
Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya hanya terjadi
setelah dirangsang (karena toksin terdapat di kornu anterior), misalnya dicubit,
digerakkan dengan kasar, atau terkena sinar yang kuat. Lambat laun “masa istirahat”
kejang semakin pendek sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.

e. Asfiksia dan sianosis


Terjadi akibat kejang yang terus menerus atau serangan pada otot pernapasan dan
laring (spasme laring). Retensi urin dapat terjadi karena spasme otot sfingter uretra.
Fraktur tulang panjang dan kolumna vertebralis dapat pula terjadi karena kontraksi
otot yang sangat kuat.

f. Gangguan saraf autonom


Pengaruh toksin terhadap saraf autonom menyebabkan gangguan irama jantung atau
kelainan pembuluh darah, suhu tubuh yang tinggi (febris) atau keringat banyak.
Gambar 3. Opistotonus

Ada 4 bentuk klinik dari tetanus, yaitu:

1. Localized tetanus

Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah tempat
dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fiksator).Hal ini merupakan tanda dari
tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa
bulan tanpa progres dan biasanya menghilang secara bertahap.

Tetanus lokal ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang
ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini dijumpai sebagai
prodromal dari tetanus klasik atau dijumpai secara terpisah. Hal ini terutama dijumpai
sesudah pemberian profilaksis antitoksin.

2. Cephalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi berkisar 1-2
hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di India), luka pada
daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam rongga hidung.Tetanus
sefalik dicirikan oleh lumpuhnya saraf kranial VII yang paling sering terlibat.Tetanus
Ophthalmoplegic ialah tetanus yang berkembang setelah menembus luka mata dan
luka dalam dengan kelumpuhan dari saraf kranial III dan adanya ptosis. Selain itu bisa
juga kelumpuhan dari N. IV, IX, X, XI, dapat sendiri-sendiri maupun kombinasi dan
menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan-bulan. Tetanus sefalik dapat
berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya prognosisnya buruk.

3. Generalized tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal.Sering menyebabkan komplikasi yang tidak
dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-diam. Trismus
merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50 %), bersamaan dengan kekakuan
otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala
lain berupa risus sardonicus (Sardonic grin), opistotonus, dan kejang dinding perut.
Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas,
sianosis, dan asfiksia.

Berdasarkan skor Ablett, derajat penyakit dapat dibagi menjadi 4 yaitu tetanus ringan,
sedang, berat dan stadium terminal.

a. Derajat I (tetanus ringan)


- Trismus ringan sampai sedang
- Kekakuan umum : kaku kuduk, opistotonus, perut papan
- Tidak dijumpai disfagia atau ringan
- Tidak dijumpai kejang
- Tidak dijumpai gangguan respirasi
b. Derajat II (tetanus sedang)
- Trismus sedang
- Kekakuan jelas
- Dijumpai kejang rangsang, tidak terdapat kejang spontan
- Takipnea
- Disfagia ringan
c. Derajat III (tetanus berat)
- Trismus berat
- otot spastis, kejang spontan
- takipnea, takikardia
- serangan apnea (apneic spell)
- disfagia berat
- aktivitas system autonom meningkat
d. Derajat IV (stadium terminal) : derajat III ditambah dengan
- Gangguan autonom berat
- Hipertensi berat atau takikardia
- Hipotensi dan bradikardia
- Hipertensi berat atau hipotensi berat

4. Tetanus Neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat,
umumnya karena teknik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak
mendapat imunisasi yang adekuat.
1. Anamnesa
 persalinan yang kurang higienis terutama yang ditolong oleh tenaga
nonmedis yang tidak terlatih
 Perawatan tali pusat yang tidak higienis, pemberian dan penambahan suatu
zat pada tali pusat.
 Bayi sadar, sering mengalami kekakuan (spasme), terutama bila terangsang
atau tersentuh.
 Bayi malas minum
2. Pemeriksaan fisik
 Bayi sadar, terjadi spasme otot berulang.
 Mulut mencucu seperti mulut ikan
 Trimus (mulut sukar dibuka).
 Perut teraba keras (perut papan).
 Opistotonus (ada sela antara punggung bayi dengan alas, saat bayi ditidurkan).
 Tali pusat biasanya kotor dan berbau.
 Anggota gerak spastik - (boxing position).
3. Pemeriksaan penunjang
Anamnesis dan gejala cukup khas sehingga sering tidak diperlukan pemeriksaan
penunjang, kecuali dalam keadaan meragukan untuk membuat diagnosis banding.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membedakan antara tetanus neonatorum
dengan sepsis neonatal atau meningitis adalah : Pungsi lumbal, pemeriksaan darah
rutin, preparat darah atau kultur darah.

4. Tatalaksana
Medikamentosa
- Pasang jalur IV dan beri cairan dengan dosis rumatan.
- Berikan diazepam 10 mg/kg/hari secara IV dalam 24 jam atau dengan bolus IV
setiap 3-6 jam (dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg per kali pemberian), maksimum 40
mg/kg/hari.
o Bila jalur IV tidak terpasang, pasang pipa lambung dan berikan diazepam
melalui pipa atau melalui rektum (dosis sama dengan IV).
o Bila perlu, beri tambahan dosis 10 mg/kg tiap 6 jam. Bila frekuensi napas
kurang dari 30 kali/menit dan tidak tersedia fasilitas tunjangan napas
dengan ventilator, obat dihentikan meskipun bayi masih mengalami
spasme.
o Bila bayi mengalami henti napas selama spasme atau sianosis sentral
setelah spasme, berikan oksigen dengan kecepatan aliran sedang, bila
belum bernapas lakukan resusitasi, bila tidak berhasil dirujuk ke rumah
sakit yang mempunyai fasilitas NICU.
o Setelah 5-7 hari, dosis diazepam dapat dikurangi secara bertahap 5-10
mg/hari dan diberikan melalui rute orogastrik.
o Pada kondisi tertentu, mungkin diperlukan vencuronium dengan ventilasi
mekanik untuk mengontrol spasme.
- Berikan bayi :
o Human tetanus immunoglobulin 500 U IM atau antitoksin tetanus (equine
serum) 5000 U IM. Pada pemberian antitoksin tetanus, sebelumnya
dilakukan tes kulit. Tetanus toksoid 0,5 mL IM pada tempat yang berbeda
dengan pemberian antitoksin.
o Lini 1 : Metronidazol 30 mg/kg /hari dengan interval setiap enam jam
(oral/parenteral) selama 7-10 hari
o Lini 2 : Penisilin procain 100.000 U/kg IV dosis tunggal selama 7-10 hari.
Jika hipersensitif terhadap penisilin, berikan tetrasiklin 50 mg/kg/hr (utk
anak >8 th). Jika terdapat sepsis/bronkopneuminia, berikan antibiotik yang
sesuai.
o Bila terjadi kemerahan dan/atau pembengkakan pada kulit sekitar pangkal
tali pusat, atau keluar nanah dari permukaan tali pusat, atau bau busuk dari
area tali pusat, berikan pengobatan untuk infeksi lokal tali pusat.
- Berikan ibunya imunisasi tetanus toksoid 0,5 mL (untuk melindungi ibu dan bayi
yang dikandung berikutnya) dan minta datang kembali satu bulan kemudian
untuk pemberian dosis kedua

2.6 DIAGNOSIS
Biasanya tidak sukar. Anamnesis terdapat luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada
rahang sangat membantu. Anamnesis yang teliti dan terarah selain membantu menjelaskan
gejala klinis yang kita hadapi juga mempunyai arti diagnostik dan prognostik.

Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:1

 Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan
nanah atau gigitan binatang
 Apakah pernah keluar nanah dari telinga
 Apakah menderita gigi berlobang
 Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang terakhir
 Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme lokal)
dengan kejang yang pertama (period of onset)

Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Temuan laboratorium:1

 Leukosit normal atau leukositosis ringan


 Glukosa dan kalsium darah normal
 Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
 Enzim otot serum, SGOT, serum aldolase mungkin meningkat
 EKG dan EEG biasanya normal
 Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat
membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif
berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.
 Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

2.7 DIAGNOSIS BANDING1

 Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak


dijumpai trismus, risus sardonikus, dijumpai gangguan kesadaran dan kelainan likuor
serebrospinal
 Tetani, disebabkan oleh karena hipokalsemia, secara klinis dijumpai adanya spasme
karpopedal
 Rabies, dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada
anamnesis diketahui digigit binatang pada waktu epidemic
 Trismus oleh karena proses local, seperti mastoiditis, OMSK, abses tonsilar, biasanya
asimetris.

2.8 KOMPLIKASI

Komplikasi dapat terjadi pada :4,5

1. Saluran pernapasan
Dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret,
pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya
trakeostomi.
2. Kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa takikardia,
hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
3. Tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot. Pada
tulang dapat terjadi fraktura kolumna vertebralis akibat kejang yang terus-menerus
terutama pada anak dan orang dewasa.
4. Komplikasi yang lain
Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja,
panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas dan
mengganggu pusat pengatur suhu.

Penyebab kematian pada tetanus ialah akibat komplikasi berupa bronkopneumonia, cardiac
arrest, septicemia, dan pneumotoraks.

2.9 PENATALAKSANAAN

Pengobatan pada tetanus terdiri dari penatalaksanaan umum yang terdiri dari
kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi, mengatasi kejang,
perawatan luka atau port’d entre lain. Sedangkan penatalaksanaan khusus terdiri dari
pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.1

I. Perawatan Umum
1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi
Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena, sekaligus memberikan
obat-obatan dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya
dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah kejang mereda dapat
dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus
pada kemungkinan terjadinya aspirasi.
2. Menjaga saluran nafas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi
3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker)
4. Mengurangi spasme dan mengatasi kejang
Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat
kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB dengan
interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk usia
<2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam.
Kejang harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg per rectal untuk
BB <10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan BB > 10 kg, atau dosis
diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali.

Setelah kejang berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatam


sesuai dengan keadaan klinis pasien. Alternatif lain, untuk bayi diberikan dosis
inisial 0,1-0,2 mg/kgBB IV untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus
kontinue 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan
bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik.

Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai lagi kejang spontan, badan masih kaku,
kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernafasan. Bila dosis
diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih kejang atau mengalami
spasme laring, sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan
intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernafasan
mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah
memberikan respons klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan selama 3-5 hari.
Selanjutnya pengurangan dosis dilakukan bertahap (berkisan antara 20% dari
dosis setiap dua hari)
5. Fenobarbital dan morfin dapat digunakan sebagai terapi tambahan jika pasien
dirawat di seting intensive care unit karena risiko terjadi depresi pernapasan.

II. Perawatan Khusus


1. Antibiotik
a. Metronidazole efektif untuk mengurangi jumlah kuman C.tetani bentuk
vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-
100.000/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitifif terhadap
penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur >
8 tahun)
b. Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia, diberikan antibiotik yang
sesuai
2. Antitoksin
a. Antitoksin human tetanus immunoglobulin (HTIG) 3000-6000 IU IM dapat
diberikan
b. Alternatif antitoksin adalah antitetanus serum dengan dosis 50.000 – 100.000
IU, setengah dosis diberikan IM dan setengahnya intravena. Lakukan uji kulit
terlebih dahulu, hati-hati reaksi syok anafilaksis.
Pada tetanus anak pemberian antitoksin dapat disertai dengan imunisasi aktif
DT setelah anak pulang dari rumah sakit.

2.11 PROGNOSIS

Prognosis tetanus pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Jika masa inkubasi
pendek (kurang dari 7 hari), usia yang sangat muda (neonatus), period of onset yang pendek
(jarak antara trismus dan timbulnya kejang kurang dari 48 jam), frekuensi kejang yang tinggi,
pengobatan terlambat, adanya komplikasi terutama spasme otot pernapasan dan obstruksi
jalan napas, semua ini prognosisnya buruk.1,8,9

Mortalitas tetanus masih tinggi, di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta
didapatkan angka 80 % untuk tetanus neonatorum dan 30 % untuk tetanus anak.1

2.12 PENCEGAHAN

Mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal maka untuk pencegahan, perlu
dilakukan : 1,2,4
 Perawatan luka

Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka
yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Luka dibersihkan atau dilakukan
debridement. Terutama perawatan luka guna mencegah timbulnya jaringan anaerob.

 Pemberian ATS dan Toksoid Tetanus pada luka

Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (kurang dari 6 jam)
dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif.

 Imunisasi aktif

- Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, dT, atau Toksoid Tetanus. Jenis
imunisasi tergantung dari jumlah golongan umur dan jenis kelamin.
- Toksoid tetanus diberikan pada setiap wanita subur, gadis mulai usia 12 tahun
dan ibu hamil
- Imunisasi dasar DPT diberikan tiga kali sejak usia 2 bulan (usia 2,4, dan 6 bulan)
dengan interval 4-6 minggu serta ulangan pada usia 18 bulan dan 5 tahun yang
diberikan sesuai jadwal.
- Tetanus tidak menimbulkan kekebalan yang berlangsung lama sehingga diberikan
setiap 10 tahun.
 Untuk tetanus neonatorum, perlu diperhatikan mengenai kebersihan pada waktu
persalinan. Di Indonesia dikenal program eliminasi tetanus neonatprum 3 bersih, yaitu
minimal bersih tangan, alas tempat bersalin, dan alat pemotong tali pusat. Paling utama
bersih alas tempat tidur, alat pemotong tali pusat serta cara perswatan tali pusat
sebelum dan sesudah punting tali pusat tanggal.

Imunisasi DPT (Diphteri Pertussis Tetanus)10

Vaksin DPT adalah vaksin 3-in-1 yang bisa diberikan kepada anak yang berumur
kurang dari 7 tahun. Biasanya vaksin DPT terdapat dalam bentuk suntikan, yang disuntikkan
pada otot lengan atau paha. Imunisasi DPT diberikan sebanyak 3 kali, yaitu pada saat anak
berumur 2 bulan (DPT I), 3 bulan (DPT II) dan 4 bulan (DPT III); selang waktu tidak kurang
dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulang diberikan 1 tahun setelah DPT III dan pada usia
prasekolah (5-6 tahun).

DPT merupakan salah satu jenis vaksin combo. Terdapat 2 jenis vaksin DPT, yaitu
DTwP dan DTaP. DTwP adalah vaksin yang mengandung seluruh sel kuman pertusis,
sedangkan DTap mengandung komponen spesifik toksin dari kuman pertusis. Keuntungan
DTaP adalah angka kejadian komplikasi yang kecil dibandingkan DTwP. Kerugiannya DTaP
lebih mahal.

DPT sering menyebakan efek samping yang ringan, seperti demam ringan atau nyeri
di tempat penyuntikan (42,9 % kasus) selama beberapa hari. Efek samping tersebut terjadi
karena adanya komponen pertusis di dalam vaksin. Pada kurang dari 1% penyuntikan, DPT
menyebabkan komplikasi berikut:

 Reaksi lokal kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi pada separuh
(42,9%) penerima DTP

 Proporsi demam ringan dengan reaksi local sama dan 2,2% diantaranya dapat
mengalami hiperpireksia

 Anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam pasca suntikan
(inconsolable crying)

 Anak lemas setelah suntikan (hpotonic-hyperresponsive syndrome)

 Kejang demam (0,06%) sesudah vaksinasi yang dihubungkan dengan demam yang
terjadi

 Kejadian ikutan yang paling serius adalah terjadinnya ensefalopati akut atau reaksi
anafilaksis dan terbukti disebabkan oleh vaksin pertusis.
BAB III

KESIMPULAN

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa disertai
gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai
dampak eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion
sambungan sumsum tulang belakang, neuro muscular junction, dan saraf otonom.

Secara klinis tetanus dapat dibagi menjadi 4 macam yaitu generalized tetanus,
localized tetanus, cephalic tetanus dan tetanus neonatorum.

Penatalaksanaan tetanus dapat dibagi menjadi perawatan umum dan khusus,


perawatan umum antara lain dengan mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga
saluran napas tetap bebas, memberikan oksigen tambahan, dan mengatasi kejang. Sedangkan
untuk perawatan khusus dengan memberikan antibiotk dan anti serum.

Pencegahan dapat dilakukan dengan cara perawatan luka, pemberian ATS, tetanus
toksoid pada luka dan melakukan imunisasi aktif. Prognosis dari tetanus dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti masa inkubasi, umur, period of onset, pengobatan, ada tidaknya
komplikasi, dan frekuensi kejang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Tetanus. Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis. Edisi Ke-2.Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010; hal.322-9.
2. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Tetanus. Nelson Textbook of Pediatrics.
17th ed. Jenson Publisher: Saunders. 2007; p. 951-3.
3. Todar K.Pathogenic Clostridia, including Botulism and Tetanus. [Cited 2013
February 23]. Available from: http://textbookofbacteriology.net/clostridia.html.
4. Hinfey PB. Tetanus. [Cited 2019 September 9]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview.
5. Alvarez N. Tetanus. [Cited 2019 September 12]. Available from:
http://www.emedicinehealth.com/tetanus/article_em.htm.
6. Tolan Jr. RW. Pediatric Tetanus. [Cited 2019 September 5]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/972901-overview.
7. Grunau BE, Olson J. An Interesting Presentation of Pediatric Tetanus. CJEM
2010;12(1):69-72.
8. Pai PN. Tetanus in children: Treatment and prognostic factors.British Homoeopathic
Journal. 2005. Vol.54, Issue 3:190-9.
9. Chalya PL, Mabula JB, Dass RM, Mblenge N, Mshana SE, Glyoma JM. Tetanus.
WJES. 2007. Vol. 34, No. 12: 1021-1025.
10. Tim IDAI. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ke-6. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI. 2017; hal. 280-91.
11. Labrie C, Fowler A, Schweitzer C, Vaughan S. Tetanus : pathogenesis and clinical
findings. Cited [10 september 2019]. Available from :
http://calgaryguide.ucalgary.ca/wpcontent/uploads/image.php?
img=2017/10/Tetanus.png

Anda mungkin juga menyukai