Anda di halaman 1dari 7

Penyakit tetanus neonatorum mengancam

sikecil
July 28, 2012 By nursewian Leave a Comment

Tetanus neonatorum merupakan penyakit tetanus


yang terjadi pada bayi yang berusia dibawah 28 hari, dengan gejala klinik yang khas dimana
timbul kekakuan seluruh tubuh yang ditandai dengan kesulitan membuka mulut dan menetek,
serta kejang-kejang pada saat beberapa hari setelah lahir. Penyakit tetanus neonatorum
merupakan suatu penyakit yang berbahaya dan memiliki tingkat morbiditas yang tinggi. Maka
dari itu penyakit tetanus neonatorum harus segera ditangani.

Apa sih penyebab penyakit tetanus neonatorum?


Penyakit tetanus neonatorum disebabkan oleh bakteri closiridium tetani, yang merupakan
organisme ibligat anacrob (tidak membutuhkan oksigen). Biasanya datangnya bakteri disebabkan
infeksi selama masa neonatan, yang antara lain terjadi akibat pemotongan tali pusat atau
perawatan tidak aseptik, dan proses partus yang kurang steril.

Faktor Penyebab penyakit tetanus neonatorum

 Penggunaan alat yang tidak steril untuk memotong tali pusat juga seringkali
meningkatkan risiko penularan penyakit tetanus neonatorum. Kejadian ini masih lagi
berlaku di negara-negara berkembang dimana bidan-bidan yang melakukan pertolongan
persalinan masih menggunakan peralatan seperti pisau dapur atau sembilu untuk
memotong tali bayi baru lahir.
 Cara perawatan tali pusat dengan teknik tradisional seperti menggunakan ramuan untuk
menutup luka tali pusat dengan kunyit dan abu dapur, kemudian tali pusat tersebut dibalut
dengan menggunakan kain pembalut yang tidak steril, serta tempat pelayanan persalinan
yang tidak bersih dan steril.
 Kekebalan ibu terhadap tetanus, merupakan faktor-faktor yang berperan untuk
meningkatkan risiko terjadinya neonatus neonatorum.

Patofisiologi penyakit tetanus neonatorum


Kuman tetanus masuk kedalam tubuh bayi, melalui tali pusat yang dipotong dengan
menggunakan alat yang tidak steril atau pada tali pusat yang dirawat tidak steril. Awalnya kuman
masuk dalam bentuk spora. Kemudian bila didaerah potongan tali pusat tidak mengandung
oksigen yang cukup, maka spora akan berkembang menjadi bentuk vegetatif yang dapat
menghasilkan racun (toksin).

Toksin tersebut dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukasit, menyerang sistem
saraf dan merupakan tetanospasmin, yaitu toksin yang bersifat neurotropik yang dapat
menyebabkan kekakuan / ketegangan dan spasme otot. Kekakuan dimulai pada tempat masuknya
kuman atau pada otot yang kecil seperti otot pipi/ masseter disebut: trismus).

Jika toksin masuk ke sum-sum tulang belakang, maka terjadi kekakuan yang makin berat pada
anggota gerak, otot-otot bergaris di dada, perut dan timbul kejang seluruh tubuh, jika toksin
mencapai sistem saraf pusat. Toksin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga terjadi
gangguan pada pernafasan, metabolisme, hemodonamika, hormonal, saluran cerna, saluran
kemih, dan neuromuskular, penyempitan jalan nafas, hipertensi, gangguan irama jantung, demam
tinggi, merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom, yang dulu jarang dilaporkan karena
penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul.

Bagaimana gejala penyakit tetanus neonatorum?


Penyakit tetanus neonatorum biasanya baru memperlihatkan gejala-gejala tetanus pada hari
ketiga setelah kelahiran. Hal ini disebabkan karena adanya masa inkubasi tetanus yang umumnya
antara 3 – 12 hari. Penyakit tetanus neonatorum terjadi mendadak dengan otot yang makin
bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam 48 jam penyakit menjadi nyata dengan adanya
trismus. Tanda dan gejala sebagai berikut:

1. Bayi tiba-tiba panas dan tidak mau minum ( karena tidak dapat menghisap)
2. Mulut mencucut seperti mulut ikan
3. Mudah terangsang dan sering kejang disertai sianosis
4. Kaku kuduk sampai opistotonus
5. Dinding Abdomen kaku, mengeras, dan kadang-kadang terjadi kejang
6. Dari berkerut, alis mata terangkat, sudut mulut tertarik kebawah, muka thisus sardunikus.
7. Ekstermitas biasanya terulur atau kaku
8. Tiba-tiba bayi sensitive terhadap rangsangan, gelisah dan kadang-kadang menangis
lemah.
9. Terjadi penurunan kesadaran

Penanganan penyakit tetanus neonatoum


Dalam penanganan penyakit tetanus neonatorum harus dilakukan perawatan intensif. Prinsip
penanganan yang dilakukan pada penderita penyakit tetanus neonatorum adalah mencegah
terjadinya kejang kekakuan otot, menetralisasi racun dan membunuh kuman tetanus yang ada
pada tubuh. Untuk mencegah kejang/ kekakuan otot, diberikan obat golongan benzodiazepin.

Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat. Efek
samping dapat berupa depresi pernafasam, terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar.
Untuk menetralisasir racun didalam tubuh, diberikan obat anti tetanus serum atau Human
Tetanus Immunuglobulin (HTIG). Terapi antibiotik diberikan bertujuan untuk memberantas
kuman tetanus, kuman ini peka terhadap penisilin grup beta laktam termasuk penisilin G,
ampisilin, karbenisilin, dan tikarsilin. Selain itu kuman ini juga peka terhadap obat
klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga. Tindakan bedah
yang diperlukan untuk memberantas kuman tersebut adalah dengan perawatan luka. Luka bekas
potongan tali pusat dibersihkan dari benda asing dengan menggunakan betadine dan hidorgen
peroksida. Kemudian luka dibiarkan terbuka agar oksigen dapat bersirkulasi baik kedalam luka.

TETANUS NEONATORUM
1.  PENDAHULUAN

Tetanus neonatorum merupakan penyebab kejang yang sering dijumpai pada bayi baru lahir,
yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia tetapi disebabkan oleh infeksi selama neonatal,
yang antara lain terjadi sebagai pemotongan tali pusat atau perawatan yang tidak aseptik.

Perjalanan penyakit seperti pada tetanus anak, tetapi lebih cepat dan berat. Dimana tetanus ini
merupakan penyakit infeksi akut yang menunjukan gangguan neuromuskuler akut. Tetanus
neonatorum juga tidak dibagi menjadi 3 stadium seperti tetanus anak.

2. DEFINISI

Tetanus neonatorum adalah kelainan neurologik yang terdapat pada neonatal, yang ditandai oleh
peningkatan tonus dan spasme otot, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
kuat yang dihasilkan oleh clostridium tetani.

3.  ETIOLOGI

Penyebab penyakit ini adalah clostridium tetani yang hidup anaerob. Kuman ini mudah dikenal
karena pembentukan spora dan karena bentuk yang khas, tersebar luas di tanah dan
mengeluarkan toksin bila dalam kondisi baik. Sporanya dapat bertahan sampai bertahun-tahun
bila tidak kena sinar matahari, tersebar luas di tanah dan mengeluarkan toksin bila dalam kondisi
baik. Toksin daripada tetanus ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit dan
merupakan tetanospasmin, yaitu toksin yang neurotropik dapat menyebabkan ketegangan dan
spasme otot.
Selain itu juga tidak jarang ditemukan pada feses manusia, juga pada feses kuda, anjing, dan
kucing.

4.  MIKROBIOLOGI

Kuman ini adalah kuman gram-positif berbentuk batang yang anaerob, motil, yang berbentuk
spora terminalis berbentuk lonjong yang tak berwarna. Spora ini menyerupai bentuk raket tenis
atau drum stick. Tetanospasmin dibentuk pada sel vegetatif di bawah kendali plasmid. Toksin ini
merupakan rantai polipeptida tunggal.

5. EPIDEMIOLOGI

Penyakit tetanus biasanya timbul di daerah yang mudah terkontaminasi dengan tanah dengan
kebersihan dan perawatan luka yang buruk. Tetanus terdapat secara sporadik dan hampir selalu
menjangkiti orang yang tak kebal atau sebagian kebal, atau orang yang terimunisasi lengkap
tetapi yang gagal mempertahankan kekebalan yang adekuat dengan dosis “booster” vaksin.
Walaupun dapat dicegah sama sekali dengan imunisasi, di seluruh dunia beban penyakit ini besar
sekali. Di negara yang tanpa program imunisasi utama, tetanus neonatal dan tetanus pada orang
muda mendominasi. Di seluruh dunia diperkirakan 800.000 neonatus meningggal setiap tahun
akibat tetanus.

6. PATOGENESIS

Kontaminasi luka dengan spora mungkin sering. Biasanya penyakit ini terjadi setelah luka tusuk
yang dalam misalnya luka yang disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng, atau luka
tembak, dimana luka tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi
yang kotor, luka bakar dan patah tulang terbuka juga akan menimbulkan keadaan anaerob.

Sedangkan pada tetanus neonatorum luka yang terjadi akibat pemotongan tali pusat dengan alat-
alat yang tidak steril atau perawatan tali pusat yang salah. Dimana clostridium tetani masuk ke
dalam tubuh melalui luka. Pada neonatus/bayi baru lahir clostridium tetani dapat masuk melalui
umbilikus setelah tali pusat dipotong tanpa memperhatikan kaidah asepsis antisepsis.

Bentuk spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif bila lingkungannya memungkinkan untuk
berubah bentuk dan kemudian mengeluarkan eksotoksin. Kuman tetanus sendiri tetap tinggal di
daerah luka. Kuman ini membentuk dua macam eksotoksin yang dihasilkan yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Toksin ini diabsorpsi oleh organ saraf di ujung saraf motorik dan diteruskan
melalui saraf sampai sel ganglion dan susunan saraf pusat dan terikat dengan sel saraf, toksin
tersebut tidak dapat dinetralkan lagi.

7. GEJALA KLINIS

Masa tunas biasanya 5 – 14 hari, kadang-kadang sampai beberapa minggu pada infeksi ringan
atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh antiserum.
Penyakit ini terjadi biasanya secara mendadak dengan ketegangan otot yang mungkin bertambah
terutama pada rahang dan leher. Dalam 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :

 Malas minum, mudah terangsang dan anak menangis terus menerus.


 Tidak sanggup mengisap dan belakangan bayi berhenti menangis karena rahang sukar
dibuka disebabkan terjadinya kekakuan.
 Kemudian diikuti kekakuan pada seluruh tubuh disertai kejang yang tersentak (intermiten
jerking spasm), terutama hal ini terjadi bila ada rangsangan dari luar seperti suara yang
keras, cahaya dan tactile stimuli antara lain bila dipegang pada pemberian injeksi untuk
pengobatan dan pada waktu pengisapan lendir.
 Mulut mencucur, dan bila bayi menangis suaranya tangisan tidak jelas, terdengar seperti
mendesir.
 Suhu meninggi (sub febris)
 Kaku kuduk
 Opistotonus
 Kesadaran pulih setelah kejang

8. DIAGNOSIS

Diagnosis tetanus neonatorum biasanya dapat ditegakan berdasarkan pemeriksaan klinis.


Biasanya tidak sukar, anamnesis terdapat luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada
rahang sangat membantu.

Biasanya pada pemeriksaan laboratorium didapati peninggian leukosit, pemeriksaan cairan otak
biasanya normal, dan pada pemeriksaan elektromiogram dapat memperlihatkan adanya lepas
muatan unit motorik secara terus-menerus dan pemendekan atau tanpa interval yang tenang,
yang biasanya tampak setelah potensial aksi.

Keadaan lain yang mungkin dapat dikacaukan dengan tetanus adalah meningitis/ensefalitis,
rabies, dan proses intra abdomen akut (karena abdomen yang kaku). Peninggian nyata tonus pada
otot pusat (wajah, leher, dada, punggung, dan perut), disertai spasme generalisata yang menjadi
tersamar dan bebas gejala pada tangan dan kaki, maka kuat mendukung adanya tetanus.

9. KOMPLIKASI

 Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) di dalam rongga
mulut dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia
aspirasi.
 Aspiksia.
 Atelektasis karena obstruksi oleh sekret.
 Fraktur kompresi.

10. PROGNOSIS

Dipengaruhi oleh beberapa faktor dan akan buruk bila:


 Masa tunas yang pendek (kurang dari 7 hari).
 Usia yang sangat muda (neonatus) dan usia lanjut.
 Disertai frekwensi kejang yang tinggi.
 Kenaikan suhu tubuh yang tinggi.
 Pengobatan yang terlambat.
 Periode of onset yang pendek (jarak antara trismus dan timbulnya kejang).
 Serta adanya komplikasi terutama pada otot pernapasan dan obstruksi saluran
pernapasan.

Mortalitas untuk bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia –
RSCM Jakarta di dapatkan angka 80% untuk tetanus neonatorum.

11. PENCEGAHAN

 Mencegah terjadinya luka.


 Perawatan yang adekuat.
 Pemberian ATS (anti tetanus serum) dalam beberapa jam setelah terkena luka.
 Pemberian TT (tetanus toxoid) pada anak yang belum mendapat imunisasi.
 PP (penisilin prokain) selama 2 – 3 hari setelah mendapat luka berat.
 Tetanus toxoid yang diberikan 3 kali berturut-turut pada trimester ketiga kehamilan
dikatakan sangat bermakna mencegah tetanus neonatorum. Hendaknya sterilitas
diperhatikan benar pada waktu pemotongan tali pusat dan demikian pula perawatan tali
pusat selanjutnya

12. PENGOBATAN
Diberikan cairan intra vena (IVFD) dengan larutan glukosa 5% :  NaCl fisiologis = 4 : 1 selama
48 – 72 jam sesuai dengan kebutuhan, sedangkan selanjutnya IVFD hanya untuk memasukan
obat.

Bila sakit penderita lebih dari 72 jam atau sering kejang atau apnoe, diberikan larutan glukosa
10% : Natrium bikarbonat 1,5% = 4 : 1 (sebaiknya jenis cairan yang dipilih disesuaikan dengan
hasil pemeriksaan analisa gas darah).

Bila setelah 72 jam belum mungkin diberikan minuman per oral, maka melalui cairan infus perlu
diberikan tambahan protein dan kalium.

1. Diazepam dosis awal 2,5 mg intra vena perlahan-lahan selama 2 – 3 menit. Dosis rumat 8
– 10 mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukan ke dalam caian intravena dan
diganti tiap 6 jam).

Bila kejang masih sering timbul, boleh diberikan diazepam tambahan 2,5 mg secara intra vena
perlahan-lahan dalam 24 jam boleh diberikan tambahan diazepam 5 mg/kgBB/hari. Sehingga
dosis diazepam keseluruhan menjadi 15 mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinisnya membaik,
diazepam diberikan per oral dan diturunkan secara bertahap.
Pada penderita dengan hiperbilirubinemia berat atau makin berat diberikan diazepam per oral
dan setelah bilirubin turun boleh diberikan diazepam intravena.

1. ATS 10.000 U/hari dan diberikan selama 2 hari berturut-turut.


2. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis secara intra vena selama 10 hari.

Bila terdapat gejala sepsis hendaknya penderita diobati seperti penderita sepsis pada umumnya
dan kalau pungsi lumbal tidak dapat dilakukan, maka penderita diobati sebagai penderita
meningitis bakterial.

1. Tali pusat dibersihkan dengan alkohol 70% dan betadine.


2. Perhatikan jalan napas, diuresis dan keadaan vital lainnya. Bila banyak lendir jalan napas
harus dibersihkan dan bila perlu diberikan oksigen.

13. PERAWATAN

Os ditempatkan di tempat terhindar dari rangsangan yang berlebihan, observasi untuk


mengurangi rangsangan sekecil mungkin, catat pols, frekuensi napas, frekuensi kejang dan
lamanya kejang. Perubahan posisi 2 – 4 jam dan fisioterapi pasif pada daerah tangan, kaki, dan
dada.

Anda mungkin juga menyukai