Skenario 5
Neonatal Seizure
STEP 1
1. Clostridium tetanii adalah bakteri gram positif anaerob yang menyebabkan
penyakit infeksi tetanus.
STEP 2
1. Bagaimana imunologi pada bayi baru lahir ?
2. Apa saja infeksi pada bayi baru lahir ?
3. Bagaimana kejang pada neonatus ?
4. Apa saja kelainan sistem saraf pada bayi baru lahir ?
STEP 3
1. Imnuglobulin
a. Aktif → IgM → terbentuk 9-14 minggu
Pasif → IgG → terbentuk 16 minggu
b. Komplemen
c. Neutrofil
d. Monosit dan makrofag
2. Infeksi pada bayi baru lahir terjadi melalui transplasenta dan pembedahan
Agen penyebab :
a. Virus
b. Bakteri
c. Jamur
d. Protozoa
Infeksi early (dini) : pada bayi baru lahir <3 hari
late (lambat) : pada bayi >3 hari
4. Infeksi bakteri :
a. Teonatus neonatorum karena akson pada neonatus lebih pendek dari orang
dewasa
b. Cerebral palsy
c. Ensefalopati he
STEP 4
1. Imunologi neonatus
a. Janin mendapat Imunoglobulin maternal melalui plasenta mulai usia 12
minggu dan jumlahnya meningkat terus sampai saat lahir serum tali pusat
mnegandung IgG dengan konsentrasi yang sama bahkan lebih besar dari
Ibu. IgA, IgM, IgE dan IgD ditemukan dalam serum tali pusat namun
bukan berasal dari ibu tapi dari janin itu sendiri. IgG merupakan satu-
satunya Imunolobulin yang dapat menembus plasenta. IgG maternal akan
menghilang 6-8 bulan pertama setelah lahir sedangkan kecepatan sintesis
IgG oleh bayi meningkat sampai konsentrasi IgG total dewasa tercapai
dan dipertahankan sampai 7-8 tahun. Sel B tali pusat terutama
meghasilkan IgM, dimana IgM pada neonatus akan diproduksi dengan
kecepatan meningkat segera setelah lahir sebagai respon terhadap
rangsangan antigenik di luar (lingkungan yang baru). IgA serum
pertamakali dideteksi pada usia 13 hari kemudian secara bertahap
meningkat selama masa anak-anak awal hingga dewasa tercapai sekitar
usia 1 tahun.
b. Komplemen tidak dapat menembus plasenta. Produksinya dimulai pada
trimester pertama gestasi. Opsonisasi sebelum di fagosit oleh antibodi
diproduksi pada janun pada trimester awal pada bayi preterm, fungsi
komplemen tidak maksimal pada proses kemotaksis dan agregasi.
c. Sel T mulai berproliferasi pada usia 12 minggu dan Sel T pengikat
antigen sudah dapat ditemukan pada usia 20 minggu. Sel T berperan
dalam menghasilkan sitokin, interferon, damn meningkatkan sensitivitas
sel B melalui fungsi beberapa sitokin
2. Infeksi neonatus
3
Patomekanisme
Pertolongan persalinan dan pemotongan tali pusat yang tidak
steril akan memudahkan spora Clostridium tetani masuk dari luka tali
pusat dan melepaskan tetanospamin. Tetanospamin akan berikatan
dengan reseptor di membran prasinaps pada motor neuron. Kemudian
bergerak melalui sistem transpor aksonal retrograd melalui sel-sel
neuron hingga ke medula spinalis dan batang otak, seterusnya
menyebabkan gangguan sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf
perifer. Gangguan tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi
presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi,
4
Gejala klinis
a) Terjadinya kekakuan otot rahang sehingga bayi sukar
membuka mulut. Kadang-kadang dapat dijumpai mulut
mecucu seperti mulut ikan dan kekakuan pada mulut
sehingga bayi tak dapat menetek
b) Terjadi kekakuan otot mimik muka dimana dahi bayi
kelihatan mengerut, mata bayi agak tertutup, dan sudut mulut
bayi tertarik ke samping dan ke bawah. Kekakuan rahang dan
otot wajah → risus sardonikus
c) Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh
melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang
kepala. Jika dibiarkan secara berterusan tanpa rawatan, bisa
terjadi fraktur tulang vertebra.
d) Kekakuan pada otot dinding perut menyebabkan dinding
perut teraba seperti papan. Selain otot dinding perut, otot
toraks juga menjadi kaku sehingga penderita merasakan
kesulitan untuk bernafas. Efek tetanospamin pada sistem
saraf otonom adalah takikardia.
5
5) Virus
B. Rubella
Etiologi
Virus rubella merupakan virus RNA yang termasuk dalam genus
Rubivirus, famili Togaviridae.
Patomekanisme
Virus rubella ditransmisikan melalui pernapasan dan mengalami
replikasi di nasofaring dan di daerah kelenjar getah bening. Viremia
terjadi antara hari ke-5 sampai hari ke-7 setelah terpajan virus rubella.
Masa inkubasi virus rubella berkisar antara 14–21 hari. Masa
penularan 1 minggu sebelum dan empat (4) hari setelah permulaan
ruam. Pada episode ini, Virus rubella sangat menular. Infeksi
transplasenta janin dalam kandungan terjadi saat viremia berlangsung.
Infeksi rubella menyebabkan kerusakan janin karena proses
pembelahan terhambat.
Gejala klinis
Kongenital rubella syndrome :
Intrauterine growth retardation (IUGR), Purpura
trombositopenia (25%) ditandai lesi makula merah
keunguan, “muffin-blueberry” dengan diameter 1-4 mm, Anemia
6
Patomekanisme
Siklus hidup
Daur hidup T. gondii melalui dua siklus yaitu siklus
enteroepitel dan siklus ekstraintestinal. Siklus enteroepitelial di
dalam tubuh hospes definitif seperti kucing. Siklus
ekstraintestinal di dalam tubuh hospes perantara seperti manusia,
kambing dan domba. Pada siklus ekstraintestinal, ookista yang
keluar bersama tinja kucing belum bersifat infektif. Setelah
mengalami sporulasi, ookista akan berisi sporozoit dan menjadi
bentuk yang infektif. Manusia dan hospes perantara lainnya akan
terinfeksi jika tertelan bentuk ookista tersebut. Di dalam ileum,
dinding ookista akan hancur sehingga sporozoit bebas. Sporozoit-
sporozoit ini menembus mukosa ileum dan mengikuti aliran darah
7
dan limfa menuju berbagai organ tubuh seperti otak, mata, hati
dan jantung. Sporozoit bebas akan membentuk pseudokista
setelah berada dalam sel organ-organ tersebut. Pseudokista
tersebut berisi endozoit atau yang lebih dikenal sebagai takizoit.
Takizoit akan membelah, kemudian terbentuk kista yang
mengandung bradizoit.
Pada toksoplasmosis kongenital, transmisi toksoplasma
kepada janin terjadi melalui plasenta bila ibunya mendapat infeksi
primer waktu hamil. Pada toksoplasmosis akuista, infeksi dapat
terjadi bila makan daging mentah atau kurang matang ketika
daging tersebut mengandung kista atau trofozoit T. gondii.
Tercemarnya alat-alat untuk masak dan tangan oleh bentuk
infektif parasit ini pada waktu pengolahan makanan, pada orang
yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila ookista
yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan.
Gejala klinis
Gambaran klinis toksoplasmosis dapat berupa
eritroblastosis, hidrops dan trias klasik yang terdiri dari
hidrosefalus, korioretinitis dan perkapuran intrakranial yang
disertai kelainan psikomotorik. Toksoplasmosis kongenital dapat
menunjukkan gejala yang sangat berat dan menimbulkan
kematian penderitanya karena parasit telah tersebar luas di
berbagai organ penting dan juga pada sistem saraf penderita.
Gejala susunan syaraf pusat sering meninggalkan gejala sisa,
misalnya retardasi mental dan motorik. Kadang-kadang hanya
ditemukan sikatriks pada retina yang dapat kambuh pada masa
anak-anak, remaja atau dewasa. Infeksi pada ibu selama
kehamilan trimester pertama, dapat berupa kerusakan yang sangat
berat sehingga terjadi abortus atau lahir mati, atau bayi dilahirkan
dengan kelainan seperti ensefalomielitis, hidrosefalus, kalsifikasi
serebral dan korioretinitis. Pada anak yang lahir prematur, gejala
8
klinis lebih berat dari anak yang lahir cukup bulan, dapat disertai
hepatosplenomegali, ikterus, limfadenopati, kelainan susunan
syaraf pusat dan lesi mata.
3. Kejang nenonatus
1) Kejang yang berulang dapat menyebabkan penurunan oksigen yang
menyebabkan komplikasi jangka panjang pada bayi.
2) Ensefalopati iskemik akibat perdarahan intrakranial, hipoglikemi,
hipokalsemi, hiponatremi, hiponatremi menyebabkan peningkatan
natrium kemudian kontraksi terus menerus terjadi sehingga terjadi
kejang.
3) Patomekanisme kejang : kejang timbul akibat timbulnya muatan listrik
(depolarisasi) berlebihan pada susunan saraf pusat sehingga terbentuk
gelombang listrik yang berlebihan. Neuron dalam sistem saraf pusat
mengalami depolarisasi sebagai hasil dari perpindahan natrium ke arah
dalam, sedangkan repolarisasi terjadi akibat keluarnya kalium. Untuk
mempertahankan potensial membran memerlukan energi yang berasal
dari ATP dan bergantung pada mekanisme pompa yaitu keluarnya
natrium dan masuknya kalium. Meskipun mekanisme dasar kejang pada
neonatus tidak sepenuhnya dipahami, namun depolarisasi berlebihan
dapat diakibatkan oleh :
a) Gangguan dalam produksi energi dapat mengakibatkan kegagalan
pompa natrium dan kalium
b) Rangsang berlebihan dari neurotransmitter di susunan saraf pusat
c) Adanya kekurangan relatif dari inhibitor neurotransmitter
dibanding eksitatorik dapat menyebabkan depolarisasi berlebihan
d) Perubahan membran neuron menyebabkan inhibisi dari
pergerakan natrium.
Kelainan Infeksi
saraf
1) Kejang 1) Virus
Kelainan pada
2) Cerebral palsy Neonatus 2) Bakteri
3) Ensefalopati 3) Jamur
4) Protozoa
Imunologi 5) Parasit
1) Faktor resiko
2) Patomekanisme
3) Gejala
STEP 5 4) Penatalaksanaan
1. Bagaimana sistem imunitas pada neonatus ?
2. Apa saja infeksi pada neonatus dan jelaskan dari etiologi, faktor resiko,
patomekanisme, gejala dan penatalaksanaannya !
3. Apa saja masalah pada pelayanan kesehatan terhadap faktor resiko infeksi
neonatus
10
STEP 6
Belajar mandiri
STEP 7
1. Sistem imunitas pada neonatus
a) Sistem Imunitas Antenatal
Pada kehamilan dimana antibodi yang dihasilkan janin jauh sangat
kurang untuk merespon invasi antigen ibu/invasi bakteri. Dari minggu ke
20 kehamilan, respon imun janin terhadap antigen mulai meningkat.
Respon janin dibantu oleh pemindahan molekul antibodi dari ibu (asalkan
ukurannya tidak terlalu besar) ke janin sehingga memberikan perlindungan
pasif yang menetap sampai beberapa minggu. Proses kelahiran sendiri,
mulai dari pecahnya kantong amnion yang tersegel dan seterusnya akan
membuat janin terpajan dengan mikroorganisme baru. Candida alicans,
gonococcus dan herpes virus dapat dijumpai pada vagina. Pada kasus inf
eksi herpes yang diketahui, pelahiran pervaginam tidak diperbolehkan.
Begitu lahir, bayi cenderung akan bertemu dengan Staphylococcus aureus,
suatu mikroorganisme dimana resisten bayi tehadapnya sangat kecil
(Behrman, 2014)
Untuk mengimbangi status imunologi yang belum berkembang
dengan baik pada bayi baru lahir, maka pengawasan antenatal yang
cermat, pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan inf eksi atau
terapi untuk mengatasi inf eksi, teknik-teknik melahirkan yang aseptik
tanpa memasukkan mikroorganisme dan perawatan yang cermat dengan
memperhatikan segala aspek dalam penanganan bayi baru lahir, semuanya
ini merupakan tindakan yang sangat penting (Behrman, 2014).
tanpa adanya antibodi, akan sangat mudah terinf eksi. Bayi yang mature
telah memperoleh antigen dan imunitas pasif dari ibu terhadap jenis-jenis
tertentu dalam waktu 6 minggu atau lebih sebelum dilahirkan. Namun
demikian, bayi yang meninggalkan lingkungan yang steril untuk kemudian
secara tiba-tiba bertemu dengan banyak mikroorganisme dan antigen
lainnya. Diperlukan waktu beberapa minggu sebelum imunitas aktif
terbentuk (Behrman, 2014).
Sistem imun janin diperkuat oleh penyaluran imunoglobulin
menembus plasenta dari ibu kepada janinnya melalui aliran darah yang
membawa antibodi serta penyaluran melalui air susu. Profil imunoglobulin
yang disalurkan melalui plasenta dan disekresikan melalui air susu
bergantung pada mekanisme transportasi spesifik untuk berbagai kelas
imunoglobulin (Behrman, 2014).
Kapasitas imunologis aktif janin dan neonatus lebih lemah
daripada yang dimiliki oleh anak yang lebih tua dan orang dewasa.
Menurut Stirrat (1991), imunitas selular dan humoral janin mulai
berkembang pada 9 sampai 15 minggu. Respons primer janin terhadap
infeksi adalah pembentukan immunoglobulin M (IgM). IgG ibu
menembus plasenta ke dalam sirkulasi janin melalui mekanisme aktif
spesifik, yang efektif dari sekitar usia gestasi 20 minggu, tetapi
aktivitasnya meningkat pesat sejak usia gestasi 34 minggu. Ibu akan
menghasilkan respons imun terhadap antigen yang ia temui dengan
menghasilkan IgG, yang dapat melewati plasenta. Bahkan kadar IgG ibu
rendah, IgG akan tetap di salurkan melalui plasenta. Hal ini berarti janin
akan mendapat imunisasi pasif terhadap patogen yang besar ditemukan di
lingkungan setelah lahir. Imunitas pasif ini memberikan perlindungan
temporer penting pascanatal sampai sistem bayi sendiri matang dan
menghasilkan sendiri antibody. Pada 26 minggu, konsentrasi di janin sama
dengan konsentrasi di ibunya (Cunningham, 2014).
Transmisi vertical infeksi merujuk kepada penularan suatu infeksi dari
ibu ke janin melalui plasenta, selama persalinan atau proses kelahiran, atau
sewaktu menyusui. Ketuban pecah dini, partus lama, dan manipulasi
obstetric dapat meningkatkan risiko infeksi neonatus. Infeksi yang terjadi
12
Imunoglobulin G
IgG maternal mulai dihantarkan ke janin pada sekitar minggu ke 16, dan
penghantaran ini semakin meningkat setelahnya. Sebagian besar IgG diperoleh
janin selama empat minggu terakhir kehamilan. Karena itulah, neonatus kurang
bulan hanya memperoleh sedikit antibodi protektif maternal. Neonatus secara
perlahan mulai menghasilkan IgG, dan kadar antibodi setinggi kadar dewasa baru
dicapai setelah usia 3 tahun. Pada situasi tertentu, transfer antibodi IgG dari ibu
ke janin dapat lebih merugikan dibandingkan melindungi janin. Contohnya adalah
14
Imunoglobulin M
Pada dewasa, produksi imunoglobulin M (IgM) sebagai respons terhadap
rangsang antigen akan dilanjutkan dengan produksi antibodi yang didominasi IgG,
dengan interval sekitar 1 minggu. Sebaliknya, jaringan normal janin hanya sedikit
sekali menghasilkan IgM, dan antibodi IgM yang dihasilkan dapat mencakup
antibodi terhadap limfosit T maternal. Bila terjadi infeksi, respons IgM merupakan
respons antibodi yang dominan pada janin, dan hal ini menetap hingga beberapa
minggu atau bulan pada neonatus. Karena IgM tidak ditansfer dari ibu, semua
IgM dalam janin atau neonatus merupakan hasil produksi mereka sendiri.
Peningkatan kadar IgM ditemukan pada neonatus dengan infeksi kongenital,
seperti rubella, infeksi sitomegalovirus, atau toksoplasmosis. Kadar IgM dalam
darah tali pusat dan identifikasi antibodi spesifik dapat bermanfaat dalam
diagnosis infeksi intrauteri. Kadar IgM dewasa normalnya dicapai pada usia 9
bulan (Cunningham, 2014).
Imunoglobulin A
Berbeda dari kebanyakan mamalia, neonatus manusia tidak memperoleh
imunitas pasif dalam jumlah yang signifikan dari absorbsi antibodi humoral yang
diingesti dalam kolostrum. Namun, imunoglobulin A (IgA) yang diingesti dalam
kolostrum menyediakan proteksi mukosa terhadap infeksi enterik. Hal ini juga
dapat menjelaskan IgA sekretorik janin yang ditemukan dalam jumlah sedikit
pada cairan amnion (Cunningham, 2014).
klinis yang luas, pada bayi baru lahir berkisar dari infeksi asimtomatik
sampai ensefalitis fetal yang berat dan kerusakan perkembangan sistem
saraf pusat. Pada bayi bisa menimbulkan pneumonia atau hepatitis dan
menimbulkan penyakit mirip-mononukleosis pada orang yang
sebelumnya sehat dan pada pasien yang sedang diberi transfusi darah.
Pemeriksaan histopatologi jaringan yang terinfeksi menunjukkan sel-
sel besar yang khas-karenanya disebut sitomegalovirus. (Spector,
2006).
Etiologi
Sitomegalovirus adalah virus spesifik-spesies yang termasuk
famili Herpesviridae. Seperti virus herpes lain, virion sempurna
mengandung inti DNA untai-ganda, kapsid ikosahedral, dan kapsul
lipoprotein yang melingkarinya. Pertama kali diisolasi tahun 1956,
CMV manusia memilih tumbuh di biakan jaringan fibroblas manusia.
Efek sitopatik virus yang khas (CPE) adalah fokus-fokus yang khas
dari sel-sel refraktil yang bulat dan membesar. (Spector, 2006).
Penelitian virologi molekular dengan menggunakan kinetik
reasosiasi DNA-DNA memperlihatkan homologi yang jelas antara
strain-strain CMV yang berbeda. Namun, analisis digesti endonuk
lease restriksi menunjukkan bahwa strain CMV acak mempunyai pola
DNA yang khas, sementara CMV yang tumbuh pada individu dengan
strain yang sama (misal, ibu dan bayinya yang terinfeksi secara
kongenital) mempunyai digesti DNA yang identik. Penga matan ini
berguna dalam mempelajari epidemiologi CMV. (Spector, 2006).
Patogenesis
Infeksi CMV kongenital dapat menyertai infeksi primer ibu atau
infeksi ibu yang aktif kembali. Perempuan yang menderita infeksi
CMV primer saat hamil mempunyai risiko 40-50% melahirkan bayi
dengan infeksi kongenital; 10-15% dari bayi ini akan mendapat
sekuele. Walaupun penularan CMV ke janin bisa terjadi pada
16
Manifestasi klinis
Kira-kira 95% bayi yang terinfeksi bersifat asimtomatik saat lahir.
Bayi yang dikenai infeksi paling berat menderita penyakit inklusi
sitomegali (CID = cytomegalic inclusion disease), yang khasnya
menderita hepatomegali, splenomegali, ikterus, peteki atau ruam
purpura, mikrosefalus, korioretinitis, dan perkapuran otak. Kira-kira
20% bayi yang menderita CID meninggal dalam 2 tahun setelah lahir.
Dan bayi yang selamat, 90-95% menderita cacat pendengaran atau
kelainan sistem saraf pusat. Pneumonia terjadi pada kurang dari 1%
bayi yang terinfeksi secara kongenital, termasuk bayi-bayi yang
18
terinfeksi sangat berat. Dikenainya hati, limpa, ginjal, atau pant tidak
selalu menimbulkan kerusakan permanen. Namun, kerusakan saraf
sensorik pendengaran mungkin progresif dan bisa menimbulkan
kehilangan pendengaran berat.Bayi yang menderita CID memiliki
peningkatan insiden kelainan kongenital; antara lain talipes, hernia
inguinalis, strabismus, high-arch palate, kerusakan enamel gigi,
mikrosefalus, dan tuli (Spector, 2006).
Bayi yang menderita infeksi CMV kongenital yang tidak
memperlihatkan manifestasi dini kecil kemungkinannya mendapat
sekuele jangka panjang. Namun, sampai usia 2 tahun, 5-15% bayi
yang terinfeksi ini mengalami kelainan perkembangan termasuk
kehilangan pendengaran sensorineural, mikrosefalus, kelainan motorik
seperti diplegia spastik atau kuadriplegia, retardasi mental,
korioretinitis, dan kelainan gigi. Kelainan yang paling penting pada
anak yang lahir dengan CMV kongenital subklinis adalah kehilangan
pendengaran sensorineural. Hampir 50% kerusakan ini bilateral,
menimbulkan kesulitan yang besar saat berkomunikasi verbal dan
belajar. Kerusakan pendengaran bisa terjadi atau memburuk setelah
tahun pertama kehidupan (Spector, 2006).
Infeksi perinatal diperoleh bayi selama lahir akibat terpajan
dengan sekret genital ibu yang terinfeksi, pascalahir akibat menelan
ASI yang terinfeksi, atau secara iatrogenik akibat transfusi darah. Di
Amerika Serikat, sekitar 10-15% bayi mengeluarkan CMV dalam
urinenya sampai usia 6 bulan. Masa tunas adalah 3-12 minggu.
Kebanyakan bayi ini bersifat asimtomatik. Namun, pneumonia
interstisial, batuk paroksismal, ruam petekie, hepatomegali, dan
splenomegali bisa terjadi. Hepatitis yang menyertai infeksi CMV
didapat biasanya ringan dan sembuh sendiri. Yang khas, fosfatase
alkali meningkat tidak sepadan dengan kadar aspartat
aminotransferase serum dan aminotransferase alanin serum (Spector,
2006).
19
Penegakan diagnosis
CMV dapat diisolasi pada biakan jaringan. Titer CMV yang tinggi
terdapat di dalam urine atau saliva bayi yang terinfeksi secara
kongenital atau pada pasien dengan tanggap imun lemah; oleh karena
itu, virus dapat dideteksi pada biakan dalam beberapa hari. Namun,
banyak biakan memakan waktu 3-6 minggu untuk menampakkan efek
sitopatik virus. Biakan urine, saliva, dan buffy coat pada pusingan
darah paling bermanfaat untuk mengenali infeksi CMV. Bila
digabungkan dengan antibodi monoklonal yang spesifik untuk antigen
dini CMV yang cepat, deteksi CMV pada biakan spesimen pada
kebanyakan pasien dapat dicapai dalam 18 jam. Namun, isolasi CMV
dan urine atau saliva tidak selalu menandakan infeksi akut, karena
ekskresi dan tempat-tempat ini bisa terjadi pada individu sehat.
Spesimen biopsi dan paru, hati, dan ginjal benguna bila ada indikasi
klinis (Spector, 2006).
Pemeriksaan serologi untuk CMV antara lain fiksasi komplemen,
hemaglutinasi tidak langsung, ELISA, dan imunofluoresen. Tes fiksasi
komplemen yang telah dijual di pasaran tidak sensitif dan tidak
mampu mendeteksi sebanyak 25% individu yang seropositif CMV.
Peningkatan kadar antibodi sening tidak terjadi dalam 3-4 minggu
setelah infeksi akut dan titer bisa tetap tinggi selama bertahun-tahun
22
Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan yang memuaskan untuk infeksi CMV,
meskipun terdapat dua obat yang akhir-akhir ini disetujui untuk
pengobatan penyakit CMV: gansiklovir dan foskarnet. Gansiklovir
merupakan analog nukleosida asiklik yang harus diubah menjadi
trifosfatnya untuk menghambat sintesis DNA viral. Efektivitas Minis
23
anak dengan retinitis CMV yang bertahan hidup untuk periode lama
akhirnya menerima kedua obat tersebut.
Saat ini tidak tersedia obat yang diberikan per oral untuk pengobatan
infeksi CMV. Penelitian akhir-akhir ini telah mengindikasikan bahwa
gansiklovir yang diberikan per oral dapat mendekati efektivitas klinis
gansiklovir intravena untuk terapi pertahanan pada retinitis CMV yang
baru terdiagnosis pada orang dewasa dengan AIDS. Oleh karena itu,
gansiklovir oral di masa mendatang dapat bermanfaat untuk
pengobatan penyakit CMV pada latar belakang klinis lain (Spector,
2006).
Penatalaksanaan
Tindakan profilaksis kadang-kadang dapat mencegah atau
meringankan infeksi CMV. Pemakaian darah donor yang seronegatif
atau darah yang dibekukan yang dihilangkan gliserolnya atau darah
yang dihilangkan leukositnya dapat menurunkan penularan CMV
melalui transfusi darah dan dianjurkan untuk bayi prematur atau anak
dengan tanggap imun lemah. Bila ada pilihan, penggunaan donor
organ seronegatif CMV untuk resipien yang seronegatif akan
menurunkan risiko infeksi CMV setelah transplantasi (Spector, 2006).
Profilaksis antiviral telah ditemukan bermanfaat untuk mencegah
penyakit CMV pada penerima cangkok. Gansiklovir intravena 5
mg/kg/hari yang terutama diberikan satu hari satu kali selama 100 hari
pertama setelah transplantasi sumsum tulang mengurangi penyakit
CMV sementara profilaksis diberikan. Sayangnya, profilaksis
gansiklovir dihubungkan dengan neutropenia dan peningkatan risiko
infeksi bakteri. Meskipun asikiovir terbukti menurunkan penyakit
CMV pada penerima cangkok, kemungkinkan CMV masih terjadi.
Oleh karena asiklovir dapat diberikan per oral, obat ini terbatas untuk
profilaksis terhadap penyakit CMV. Penelitian akhin-akhir ini sedang
berlangsung untuk mengevaluasi penggunaan gansiklovir oral untuk
mencegah penyakit CMV pada penerima cangkok dan pada pasien
25
Patogenesis
Infeksi primer HSV-1 dan HSV-2 sering tidak tampak secara
klinis pada anak maupun individu yang lebih tua dengan pengecualian
infeksi penting pada neonatus, sebagian karena tempat infeksi primer
yang lebih lazim, seperti mulut dan serviks, tidak mudah dilihat. Bila
infeksi secara klinis tampak, gejala dan tanda penyakit menjadi lebih
berat dan lebih lama dibandingkan dengan orang yang telah
27
Manifestasi klinis
Infeksi HSV yang asimtomatis pada bayi baru lahir jarang, tetapi
biasa ditemukan pada individu lebih tua. Herpes neonatorum sering
berat, dengan angka kesakitan dan kematian tinggi; kebanyakan
28
infeksi HSV pada anak normal bersifat ringan sampai sedang. Infeksi
pada anak dengan tanggap imun lemah mungkin relative berat, tetapi
diseminasi visera tidak lazim, di luar periode neonatus, bahkan pada
anak (Prober, 2006).
a) Mulut
Ini merupakan tempat infeksi HSV paling lazim, dengan
puncak insiden pada usia 1-5 tahun. Walaupun kebanyakan
infeksi berbentuk subklinis, pemeriksaan yang seksama bisa
mendeteksi beberapa ulkus rongga mulut. Berat dan tempat
lesi beragam:
mukosa bukal, lidah, palatum, dan orofaring bisa dikenai;
gusi juga meradang dan mudah berdarah. Adenopati leher
sering ditemukan; suhu tubuh biasanya sekitar 39°C tetapi
bisa setinggi 41°C. Pengeluaran air liur berlebihan bisa akibat
nyeri saat menelan dan makan, dan bahkan minum cairan pun
nyeri. Lesi oral dan gejala klinis biasanya sembuh dalam 10
hari. Yang jarang virus bisa mengenai laring dan
menyebabkan sindrom krup (croup syndrome). Yang lebih
sering, infeksi herpes pada wajah atau mata dapat menyertai
lesi oral, mengisap jari atau menggigit kulit jari bisa
menimbulkan infeksi jari (Prober, 2006).
Virus tidak jarang dibiak dari rongga mulut pada orang
dengan lesi klinis tidak jelas. Pada pejamu dengan tanggap
imun lemah, infeksi oral sering meluas mengenai esofagus
atau paru dan menyebar ke hati serta organ daham lainnya
(Prober, 2006).
Infeksi oral hampir selalu disebabkan oleh HSV-1; tetapi,
praktik seks oral-genital bisa menimbulkan infeksi HSV-2 di
rongga mulut. Infeksi herpes di mulut biasanya mudah
didiagnosis. Namun, bila lesi hanya terdapat di orofaring,
bisa dikelirukan dengan herpangina, infeksi streptokokus
grup A, mononukleosis infeksiosa, dan difteri. Bila lesi
29
Penegakan diagnosis
Diagnosis bermacam bentuk infeksi herpes pada bayi baru lahir
dan infeksi yang berat seperti ensefalitis atau penyakit diseminata
pada individu normal atau individu dengan masalah imunologi
memerlukan bantuan laboratorium khusus, terutama bila akan
diberikan terapi (Prober, 2006).
Diagnosis pasti HSV dibuat melalui biakan virus. Metode
imunofluoresen dapat digunakan untuk mendiagnosis cepat kerokan
lesi atau biopsi jaringan tetapi harus dipastikan melalui biakan virus
(Prober, 2006).
Spesimen klinis untuk isolasi virus harus diproses secepat
mungkin atau dibekukan pada -70°C sampai saat diproses. Lebih baik
menyimpan spesimen selama beberapa jam pada suhu 4°C (dalam
lemari es) daripada dalam ruang pembeku dengan suhu -15°C.
Penggunaan medium transpor viral optimal untuk pengangkatan
(pengapalan) spesimen klinis (Prober, 2006).
HSV dapat mudah diisolasi pada sejumlah sistem biakan jaringan,
dan efek sitopatik dapat dideteksi dalam 1-4 hari. Jenis HSV (HSV-1
atau HSV-2) kemudian dapat ditentukan melalui teknik
imunofluoresen; cara terakhir ini juga dapat digunakan untuk
34
identifikasi cepat dan penentuan tipe HSV dan spesimen klinis direk.
Selain itu, HSV dapat diihat di dalam cairan vesikel dan spesimen
biopsi atau autopsi dengan teknik mikroskop elektron, tetapi
penampakan morfologinya tidak dapat dibedakan dan virus herpes
lain, seperti sitomegalovirus atau virus varisela zoster (Prober, 2006).
Metode diagnostik virus modern, seperti pewarnaan kerokan lesi
secara imunofluoresen dengan antisera khusus HSV-1 dan HSV-2 dan
biakan virus, harus dipakai untuk diagnosis bentuk infeksi HSV yang
potensial mematikan. Namun, pada lingkungan klinis lain, inklusi
intranuklear dan sel raksasa dengan nukleus multipel yang terlihat
pada apusan dengan pewarnaan Papanicolaou, dari sel yang diperoleh
dengan mengerok dasar vesikel herpes, atau ulkus kulit, atau mulut
atau melalui kerokan konjungtiva atau kornea, bisa menolong
menunjukkan adanya virus herpes. Inklusi intranuklear kurang mudah
dilihat dengan jelas pada apusan yang diwarnai Wright dan Giemsa.
Sayangnya, tes morfologi ini hanya dua pertiga sesensitif metode
virologi dan karenanya tidak dapat diandalkan pada penanganan
infeksi yang potensial mengancam jiwa (Prober, 2006).
Banyak pemeriksaan serologi yang dapat dipakai untuk
menunjukkan antibodi HSV. Infeksi primer didiagnosis dengan tidak
ditemukannya antibodi HSV dalam serum akut dan terdeteksinya titer
HSV yang dapat dideteksi dalam serum konvalesen yang diperoleh
setelah sedikitnya 1 minggu. Peninggian titer empat kali lipat bisa
ditemukan pada infeksi rekuren, dan tidak membedakan antara infeksi
primer dan infeksi ulangan (Prober, 2006).
Kemiripan protein HSV-1 dan HSV-2 menimbulkan reaktivitas
silang antibodi terhadap virus-virus ini yang luas pada pemeriksaan
serologi standar. Kecuali bila digunakan metode riset, tidak mungkin
membedakan antibodi akibat infeksi HSV-1 di masa lalu dengan
infeksi HSV-2 di masa lalu, atau infeksi HSV-1 dan HSV-2
sebelumnya. Walaupun laboratonium komersial sering melaporkan
titer HSV-1 dan HSV-2 secara terpisah, praktik ini hanya menyesatkan
35
B. Infeksi bakteri
(1) Staphylococcus sp
Etiologi
Infeksi Staphylococcus sp lazim terjadi pada anak, dan berkisar
dan furunkel ringan sampai septikemia diseminata sangat berat dan
sindrom syok toksik. Selain menimbulkan penyakit toksik maupun
invasif, stafilokokus sering sulit diobati karena adanya resistensi
terhadap antibiotik dan tempat infeksi yang terasing (Todd, 2006).
Staphylococcus adalah organisme aerob yang tumbuh pada agar darah.
Pada pewarnaan Gram tampak sebagai kokus berkelompok yang gram-
positif. Secara taksonomi stafilokokus dibagi menjadi dua kelompok
37
utama. Yang paling virulen adalah dan sering (namun tidak selalu)
bersifat hemolitik serta membentuk pigmen adalah Staphylococcus
aureus. Organisme ini biasanya menyebabkan infeksi yang invasive
pada pejamu baik normal maupun abnormal, juga menimbulkan
sejumlah penyakit yang diperantarai toksin. Menurut definisi, S.
aureus membentuk enzim koagulase. Kelompok utama lain adalah
stafilokokus koagulase-negatif. Kelompok ini mencakup organisme
seperti S. epidermidis, S. saphrophyticus, dan stafilokokus lain yang
tidak mengkoagulasikan plasma. Secara keseluruhan organisme ini
dimasukkan dalam satu kelompok karena bersifat koagulase-negatif
dan kelihatannya mempunyai virulensi lebih rendah pada sebagian
besar keadaan. Koloninya cenderung non hemolitik dan tidak
membentuk pigmen, tetapi terdapat banyak varian. (Todd, 2006).
Ada sejumlah karakteristik bakteri yang berperan pada infeksi
stafilokokus. Tadi telah disebutkan enzim koagulase sebagai pembeda
taksonomi utama yang memisahkan S. aureus dan stafilokokus
koagulase-negatif. Enzim ini menyebabkan koagulasi fibrinogen di
sekeliling organisme untuk menghasilkan kapsul yang membentuk
dinding abses klasik yang sering menyertai infeksi S. aureus. Faktor
agregasi juga merupakan ciri strain S. aureus-protein yang terdapat
pada permukaan berikatan dengan fibrinogen yang menyebabkan
agregasi organisme, sehingga fagositosis menjadi sulit. Protein A
dibentuk oleh kebanyakan strain S. aureus yang mempunyai ciri unik,
yaitu mengikat komponen Fc antibodi sehingga organisme terlindung
dan pengikatan oleh antibodi yang lebih konvensional maupun
opsonisasi. Asam teikoat pada dinding luar sel stafilokokus bekerja
untuk mengikat organisme dengan sel, yang sekali lagi meningkatkan
virulensi.”Lumpur”adalah karbohidrat kompleks yang dihasilkan oleh
strain stafilokokus koagulase-negatif, yang meningkatkan ikatan
organisme dengan kateter vena sentral dan bahan asing lain yang
tinggal dalam tubuh, sehingga secara berm akna menambah virulensi
stafilokokus koagulase-negatif. (Todd, 2006).
38
terdapat bahan asing. Infeksi ini bisa melibatkan sebagian atau seluruh
luka dan bisa meluas ke strukturs truktur di sebelahnya (Todd, 2006).
Oleh karena S. aureus ditemukan dalam saluran pernapasan,
kuman ini kadang-kadang dapat menimbulkan pneumonia primer
yang mulanya mirip dengan pneumonia yang lebih lazim disebabkan
oleh Streptococcus pneumoniae. Perbedaan yang khas adalah cepatnya
perkembangan pneumonia àkibat stafilokokus, dengan terbentuknya
pneumatokel dan risiko empiema atau bahkan piopneumotoraks akibat
robeknya satu atau lebih pneumatokel. Pneumonia S. aureus
merupakan masalah berat yang bisa menimbulkan kedaruratan medis.
Tempat lain infeksi S. aureus yang berhubungan dengan saluran
pernapasan antara lain otitis media, sinusitis, selulitis periorbita, dan
limfadenitis servikalis (Todd, 2006).
Setiap tempat infeksi ini bisa menimbulkan bakteremia yang
sementara. Bakteremia jarang menimbulkan meningitis, tetapi
umumnya dapat memasuki sendi atau tulang atau tempat viseral lain
sehingga S. aureus merupakan penyebab osteomielitis paling lazim,
dan merupakan salah satu penyebab artritis septik yang paling lazim.
Infeksi ini biasanya terlokalisasi pada salah satu sendi atau tulang
(Todd, 2006).
Walaupun infeksi S. aureus biasanya terlokalisasi dan terbatas
pada satu tempat, bisa terjadi bakteremia, dan yang jarang, penyakit
diseminata dan bukan lokalisata. Septikemia stafilokokus diseminata
cenderung terjadi pada laki-laki masa pubertas dini, tetapi dapat
terjadi di setiap usia mulai bayi baru lahir sampai orang dewasa. Pada
keadaan ini, pasien terus menderita bakteremia disertai focus infeksi
statilokokus multipel antara lain kulit, paru, tulang, sendi, katup
jantung (endokarditis), dan jaringan lunak lainnya. Walaupun pasien
sepertinya tidak mem iliki defisiensi pertahanan pejamu yang
mendasari, organisme mungkin mempunyai faktor virulensi tertentu
(mis. protease) yang membantu terjadinya diseminata. Infeksi serupa
40
dapat terlihat pada bayi baru lahir yang cenderung tidak bisa
melokalisasi infeksi S. aureus dengan baik. (Todd, 2006).
Ada tiga sindrom kiasik yang diperantarai oleh toksin S. aureus:
keracunan makanan, sindrom kulit melepuh, dan sindrom syok toksik.
S. aureus adalah salah satu penyebab keracunan makanan yang paling
lazim. Secara kiasik makanan dimasuki oleh S. aureus dan kemudian
dibiarkan dierami pada suhu kamar, saat ini terbentuk salah satu dari
tujuh enterotoksin. Makanan kemudian dimakan, dan setelah masa
inkubasi yang pendek ini toksin yang terbentuk bekerja pada reseptor
usus, menimbulkan muntah dan diare. Enterotoksin makanan beracun
tidak menimbulkan infeksi sejati, tetapi berupa keracunan dengan
toksin yang telah terbentuk sebelum menelan makanan yang tercemar
(Todd, 2006).
Sindrom kulit melepuh merupakan penyakit klasik stafilokokus
yang diperantarai toksin. Pasien menderita infeksi luka setempat tetapi
sering hanya berupa kolonisasi di nasofaring. Organisme (biasanya
faga S. aureus grup II) membentuk satu atau kedua toksin eksfoliatin,
yang kemudian beredar di dalam darah. Pada pasien yang belum
mempunyai kekebalan humoral (antmbodi) terhadap toksin, bisa
terjadi gejala kulit menyeluruh. Pada bayi yang sangat muda
penyakitnya sangat hebat (penyakit Ritter), yang ditandai oleh kulit
merah dan sakit disertai tanda Nikolsky positif (pembentukan lepuh
akibat penekanan tangensial pada kulit). Pada bayi lebih tua dan
batita, sindrom yang serupa dengan eritroderma yang sakit dan tanda
Nikoisky positif menggambarkan sindrom kulit melepuh yang klasik.
Temuan serupa juga dapat dilihat pada beberapa reaksi obat dan dapat
dibedakan oleh derajat cedera patologik di kulit, yang disebut
nekrolisis epidermal toksik (TEN). Pada sindrom kulit melepuh
stafilokokus, TEN tenjadi pada lapisan sel granular, sementara pada
sindrom yang diakibatkan oleh reaksi obat, terjadi di lapisan basal.
Pada pasien yang lebih tua dengan keracunan eksfoliatin menyeluruh,
tenjadi sindrom lebih ringan yang disebut demam skarlet stafilokokus.
41
Penatalaksanaan
a) Prinsip umum
Membuang benda asing yang terinfeksi dan melakukan
drainase fokus yang terasing penting sekali dalam pengobatan
kebanyakan infeksi stafilokokus. Selain itu, terapi antimikroba
membatasi pertumbuhan organisme dan memberikan kesempatan
pada pertahanan pejamu untuk membasmi organisme. Strain S.
aureus sekarang umumnya membentuk β-laktamase yang larut,
sehingga kebanyakan strain, bahkan yang diperoleh dari luar
rumah sakit, resisten terhadap penisilin.Penisilin yang resisten β-
laktamase (mis.metisilin, nafsilin, kloksasilin, dildoksasilin,
amoksisilin ditambah klavulanat) serta sefalosporin generasi
pertama dan kedua (tetapi tidak generasi ketiga) (mis., sefazolin,
sefaleksin, sefradin, sefuroksim) biasanya efektif terhadap strain
penghasil β-laktamase. Sefiksim, sefotaksim, dan seftriakson tidak
dianjurkan untuk terapi infeksi S. aureus yang diketahui.
Perubahan protein pengikat penisilin dalam dinding sel
stafilokokus bisa menjadikannya resisten terhadap antibiotik di
atas. Strain ini,yang biasanya ditemukan di lingkungan rumah
sakit, dikenal sebagai strain S. aureus resisten metisilin (MSRA).
Strain demikian biasanya masih peka terhadap vankomisin. Obat
lain yang peka untuk strain S. aureus tetapi tidak untuk strain
koagulase-negatif, antara lain aminoglikosida (mis., gentamisin,
tobramisin), eritromisin, klindamisin, dan trimetoprim plus
43
b) Lama terapi
Lama terapi infeksi S. aureus beragam tergantung berat
penyakit dari tempat infeksi. Pada infeksi yang sangat berat (mis.
endokarditis), pengobatan minimal ialah selama 3-6 minggu. Pada
44
Pencegahan
Staphylococcus adalah organisme yang ada di mana-mana.
Pencegahan infeksi pada tiap-tiap pasien tergantung pada kebersihan
badan yang baik dan penghindaran cedera tembus di kulit dan jaringan
lunak serta tertinggalnya benda asing di dalam tubuh. Infeksi
stafilokokus nosokomial terutama lazim terjadi dan mengancam
lingkungan perawatan kelas tiga di rumah sakit, pasien
granulositopenia, dan bayi baru lahir serta tempat perawatan intensif.
Pencegahan tergantung pada pencucian tangan dan metode
penanggulangan infeksi yang seksama di rumah sakit (Todd, 2006).
Etiologi
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, berukuran 2-5
x 0,4-0,5 milimikron yang hidup tanpa oksigen (anaerob), dan
membentuk spora. Spora dewasa mempunyai bagian yang berbentuk
bulat yang letaknya di ujung, dan memberi gambaran penabuh
genderang (drum stick) (Bleck, 2000). Spora ini mampu bertahan
hidup dalam lingkungan panas, antiseptik, dan di jaringan tubuh.
Spora ini juga bisa bertahan hidup beberapa bulan bahkan bertahun.
(Ritarwan, 2004). Bakteria yang berbentuk batang ini sering terdapat
dalam kotoran hewan dan manusia, dan bisa terkena luka melalui debu
atau tanah yang terkontaminasi (Arnon, 2007). Clostridium tetani
merupakan bakteria Gram positif dan dapat menghasilkan eksotoksin
yang bersifat neurotoksik. Toksin ini (tetanospasmin) dapat
menyebabkan kekejangan pada otot (Cunningham, 2013).
Faktor risiko
Terdapat 5 faktor risiko utama terjadinya tetanus neonatorum, yaitu:
a. Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
Lingkungan yang mempunyai sanitasi yang buruk akan
menyebabkan Clostridium tetani lebih mudah berkembang biak.
Kebanyakan penderita dengan gejala tetanus sering mempunyai
riwayat tinggal di lingkungan yang kotor. Penjagaan kebersihan
diri dan lingkungan adalah amat penting bukan sahaja dapat
mencegah tetanus, malah pelbagai penyakit lain.
b. Faktor Alat Pemotongan Tali Pusat
Penggunaan alat yang tidak steril untuk memotong tali pusat
meningkatkan risiko penularan penyakit tetanus neonatorum.
Kejadian ini masih lagi berlaku di negara-negara berkembang
dimana bidan-bidan yang melakukan pertolongan persalinan masih
menggunakan peralatan seperti pisau dapur atau sembilu untuk
memotong tali pusat bayi baru lahir (Cunningham, 2013).
c. Faktor Cara Perawatan Tali Pusat
Terdapat sebagian masyarakat di negara-negara berkembang
masih menggunakan ramuan untuk menutup luka tali pusat seperti
46
kunyit dan abu dapur. Seterusnya, tali pusat tersebut akan dibalut
dengan menggunakan kain pembalut yang tidak steril sebagai
salah satu ritual untuk menyambut bayi yang baru lahir. Cara
perawatan tali pusat yang tidak benar ini akan meningkatkan lagi
risiko terjadinya kejadian tetanus neonatorum (Cunningham,
2013).
d. Faktor Kebersihan Tempat Pelayanan Persalinan
Kebersihan suatu tempat pelayanan persalinan adalah sangat
penting. Tempat pelayanan persalinan yang tidak bersih bukan
sahaja berisiko untuk menimbulkan penyakit pada bayi yang akan
dilahirkan, malah pada ibu yang melahirkan. Tempat pelayanan
persalinan yang ideal sebaiknya dalam keadaan bersih dan steril
(Cunningham, 2013)
e. Faktor Kekebalan Ibu Hamil
Ibu hamil yang mempunyai faktor kekebalan terhadap tetanus
dapat membantu mencegah kejadian tetanus neonatorum pada bayi
baru lahir. Antibodi terhadap tetanus dari ibu hamil dapat
disalurkan pada bayi melalui darah, seterusnya menurunkan risiko
infeksi Clostridium tetani. Sebagian besar bayi yang terkena
tetanus neonatorum biasanya lahir dari ibu yang tidak pernah
mendapatkan imunisasi TT (Cunningham, 2013).
Patogenesis
Pertolongan persalinan dan pemotongan tali pusat yang tidak
steril akan memudahkan spora Clostridium tetani masuk dari luka tali
pusat dan melepaskan tetanospamin. Tetanospamin akan berikatan
dengan reseptor di membran prasinaps pada motor neuron. Kemudian
bergerak melalui sistem transpor aksonal retrograd melalui sel-sel
neuron hingga ke medula spinalis dan batang otak, seterusnya
menyebabkan gangguan sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf
perifer. Gangguan tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi
presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi,
yaitu asam aminobutirat gama (GABA) dan glisin, sehingga terjadi
epilepsi, yaitu lepasan muatan listrik yang berlebihan dan berterusan,
47
Manifestasi klinis
Neonatus yang terinfeksi Clostridium tetani masih menunjukkan
perilaku seperti menangis dan menyusui seperti bayi yang normal
pada dua hari yang pertama. Pada hari ke-3, gejala-gejala tetanus mula
kelihatan. Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3 – 12 hari, namun
dapat mecapai 1 – 2 hari dan kadang-kadang lama melebihi satu
bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis. Terdapat
hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani
dengan susunan saraf pusat, serta interval antara terjadinya luka
dengan permulaan penyakit; semakin jauh tempat invasi, semakin
panjang masa inkubasi (Cunningham, 2013).
Gejala klinis yang sering dijumpai pada tetanus neonatorum
adalah:
Pencegahan
Tindakan pencegahan serta eliminasi tetanus neonatorum
adalah berdasarkan pada tindakan menurunkan atau menghilangkan
faktor-faktor risiko. Pendekatan pengendalian lingkungan dapat
dilakukan dengan menjaga kebersihan lingkungan. Pemotongan dan
perawatan tali pusat wajib menggunakan alat yang steril (WHO,
2006). Pengendalian kebersihan pada tempat pertolongan persalinan
perlu dilakukan dengan semaksimal mungkin agar tidak terjadi
kontaminasi spora pada saat proses persalinan, pemotongan dan
perawatan tali pusat dilakukan. Praktik 3 Bersih perlu diterapkan,
yaitu bersih tangan, bersih alat pemotong tali pusat, dan bersih alas
tempat tidur ibu, di samping perawatan tali pusat yang benar sangat
penting. Selain persalinan yang bersih dan perawatan tali pusat yang
tepat, pencegahan tetanus neonatorum dapat dilakukan dengan
pemberian imunisasi TT kepada ibu hamil. Pemberian imunisasi TT
50
minimal dua kali kepada ibu hamil sangat bermanfaat untuk mencegah
tetanus neonatorum (Cunningham, 2013).
Imunisasi TT adalah suntikan vaksin tetanus untuk
meningkatkan kekebalan sebagai upaya pencegahan terhadap infeksi
tetanus (Cunningham, 2013). Manfaat imunisasi TT pada ibu hamil
adalah:
Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat
diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan
dini (early-onset neonatal sepsis) dan sepsis neonatorum awitan
lambat (late-onset neonatal sepsis).
Etiologi
Semua infeksi pada neonatus dianggap oportunisitik dan setiap
bakteri mampu menyebabkan sepsis. Berbagai macam kuman seperti
bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat menyebabkan infeksi berat
yang mengarah kepada terjadinya sepsis. Pola kuman penyebab sepsis
pun berbeda-beda antar negara dan selalu berubah dari waktu ke
waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan perbedaan
pola kuman, walaupun bakteri gram negatif rata-rata menjadi
penyebab utama dari sepsis neonatorum. Penyebab paling sering dari
sepsis ialah Escherichia coli dan SGB (dengan angka morbiditas
sekitar 50 – 70 %. Diikuti dengan malaria, sifilis, dan toksoplasma.
Streptococcus grup A, dan streptococcus viridans, patogen lainnya
gonokokus, Candida alibicans, virus herpes simpleks (tipe II) dan
organisme listeria, rubella, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza
dan parotitis (Friedland dan McCracken, 2006).
53
Patogenesis
Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di
dalam darah (bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang
berkelanjutan dari infeksi ke Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS), sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi
organ, dan akhirnya kematian (Friedland dan McCracken, 2006).
Tabel 2.2 Perjalanan penyakit infeksi pada neonatus (Friedland dan McCracken, 2006).
Laju
Usia Jumlah leukosit X
Suhu Laju Nadi per menit napas per
Neonatus 103 /mm3
menit
Usia 0-7 >38,5ºC atau
180 atau <100 >50 >34
hari <36
Usia 7-30 >38,5ºC atau
180 atau <100 >40 >19,5 atau <5
hari <36
Catatan: Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria
dalam tabel (salah satu diantaranya kelainan suhu atau leukosit).
Tabel 2.4 Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septic (Friedland dan McCracken,
2006).
Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi dapat juga
menyebabkan terjadinya infeksi nasokomial. Infeksi pascanatal ini
sebetulnya sebagian besar dapat dicegah. Hal ini penting karena
56
Manifestasi klinis
Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala
sepsis klasik yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada
neonatus, namun keterlambatan dalam menegakkan diagnosis dapat
berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis yang terlihat sangat
berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh
terhadap masuknya kuman. Janin yang terkena infeksi akan menderita
takikardia, lahir dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi karena
nilai Apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak lemah dan tampak
gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan
kadang-kadang hiperglikemia, tampak tidak sehat dan malas minum.
Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi
organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat (letargi,
refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high
pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang), kelainan
kardiovaskular (hipotensi, takikardi, bradikardi, pucat, sianosis, dingin
dan clummy skin). Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan
hematologik (ikterus, splenomegali, petekie, dan pendarahan),
59
Komplikasi
Komplikasi sepsis neonatorum antara lain ialah meningitis,
neonatus dengan meningitis dapat menyebabkan terjadinya
61
Faktor risiko
Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor resiko pada
ibu, neonatal dan lain-lain. Antara faktor resiko ibu ialah ketuban
pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah
lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan
bila disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi
4 kalinya. Infeksi dan demam (>38°C) pada masa peripartum akibat
korioamnionitis, infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh
Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi perineal oleh E. coli, dan
komplikasi obstetrik lainnya. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.
Status paritas (wanita multipara atau gravida lebih dari 3 kali) dan
umur ibu (kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun). Persalinan
dan kehamilan kurang bulan. Status sosial-ekonomi ibu, ras, dan latar
belakang mempengaruhi kecenderungan terjadinya infeksi. Ibu yang
berstatus sosio- ekonomi rendah mungkin nutrisinya buruk dan tempat
tinggalnya yang padat dan tidak higienis (Friedland dan McCracken,
2006).
Antara faktor resiko pada neonatal pula ialah prematuritas dan
berat badan lahir rendah (<2500 gram). Umumnya imunitas bayi
BBLR dan tidak cukup bulan lebih rendah daripada bayi cukup bulan.
Transpor imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi pada paruh
62
C. Infeksi jamur
Aspergilosis disebabkan oleh beberapa spesies Aspergillus antara lain
Aspergillus fumigatus, Aspergillus niger, Aspergillus flavus dengan spesies
patogen potensial utama adalah Aspergillus fumigatus (Rudolph, 2005).
Patogenesis
Penyebaran terjadi melalui hirupan spora melalui udara yang terus
menerus mencemari lingkungan. Pasien dengan imunodefisiensi, terutama
pasien dengan kelainan limforetikular dan keganasan hematologi beresiko
paling besar. Banyak dilaporkan pada kasus AIDS. Aspergilosis pulmonum
sering berkomplikasi dari penyakit pada sistem pernafasan yang mendasari
seperti tuberkulosis, bronkiektaksis, abses paru, pneumonia atau karsinoma
paru. Aspergolisis pada pasien tanpa penyakit yang mendasari perlu
dilakukan pencarian intensif untuk menemukan kelainan yang memicunya
(Rudolph, 2010).
Di paru, hifa Aspergillus dapat berproliferasi di seluruh jaringan.
invasi melalui pembuluh darah bisa menyebabkan penyebaran secara luas.
Jamur bisa berproliferasi pada dinding rongga tuberkulosa atau
menimbulkan lesi granulomatosa dengan proliferasi radial hifa. Diameter
hifa adalah 3-4 μm, berseptum, dan memperlihatkan cabang. Pada
penyakit diseminata, lesi tampak sebagai abses piogenik akut, dan gejala
tergantung pada organ yang diinvasinya. Untuk metastasis, organ yang
paling sering terkena adalah otak, ginjal, dan miokardium (Rudolph,
2010).
Manifestasi klinis
Aspergilosis dapat berupa infeksi mukosa bronkus superfisialis yang
asimtomatis disertai atau tanpa respons peradangan jaringan. Pada
aspergilosis pulmonum yang non invasif, jamur tumbuh sebagai massa hifa
tebal dan hancuran jaringan, yang disebut dengan "bola jamur"
(aspergiloma), yang mempunyai gambaran radiografi khas meski pun tidak
patognomonik, yaitu bola jamur dapat dilihat berubah posisi dalam rongga
yang dilapisi epitel atau batas udara-cairan. Rongga umumnya disebabkan
oleh berbagai macam penyakit pulmonum seperti tuberkulosis,
64
akibat pekerjaan dan hirupan sejumlah besar spora Aspergillus pada orang
yang merawat burung, yang membersihkan bulu hewan, dan petani sering
dikaitkan dengan bentuk aspergilus alergik ini (Rudolph, 2010).
Sensitisasi mukosa bronkopulmonum oleh antigen Aspergillus,
terutama hifa, dapat menimbulkan keluhan pulmonum klinis yang berat,
termasuk asma, spasme bronkus dan bronkiektasis berkantong. Juga dapat
terjadi fibrosis pulmonum (Rudolph, 2010).
Penatalaksanaan
Amfoterisin B dengan dosis 0,5-1,0 mg/kg/hari. Setelah terapi berhasil
dengan terjadi respons positif, obat dapat diberikan selang sehari. Dosis
total optimal belum ditetapkan, tetapi mungkin lebih dari 2g. Respons obat
mungkin tidak adekuat pada pasien yang mengalami invasi vaskular
disertai kematian jaringan dan nekrosis; lesi demikian harus dieksisi secara
bedah. Hal serupa, lesi yang terlokalisir (atau aspergiloma) harus dibuang
secara operasi. Terapi antibiotik biasanya tidak efektif dan obat anti jamur
lain seperti mikonazol dan ketokonazol tidak efektif untuk infeksi ini.
Pasien yang tidak berespons dengan terapi obat mungkin memerlukan
reseksi secara bedah untuk lesi yang ter- lokalisasi. Diagnosis dan
pengobatan dini dengan amfoterisin B penting pada pasien AIDS, yang
bila terjadi aspergilosis diseminata prognosisnya kurang baik. Itrakonazol
bisa berguna untuk meng obati pasien yang tidak tahan amfoterisin B dan
juga untuk supres jangka panjang. spergilosis bronkopulmonum alergika
biasanya diobati dengan prednison 0,5 mg/kg/hari selama 14 hari.
Kemudian obat diberikan selang sehari sampai kadar IgE pasien turun ke
titer yang sesuai. Kemudian steroid diturunkan perlahan-lahan (Rudolph,
2010).
Anak dapat diserang infeksi Candida saat lahir. Kelainan ini muncul
urunahampir selalu disebabkan oleh kelainan kekebalan. Infeksi dapat juga
biasanya terbatas di kulit atau membran mukosa, dan diakibatkan oleh
kerusakan mekanik atau penurunan kekebalan tubuh. Kulit intertigo yang
basah dan mengalami maserasi menyebabkan Candida menginfeksi daerah
66
Etiologi
Patogenesis
Penurunan kekebalan yang diperantarai sel menjadikan pasien lebih
rentan terhadap pertumbuhan berlebih setempat dan invasi oleh Candida
ke kulit dan membran mukosa, tetapi kesalahan fungsi leukosit
polimorfonuklear menyebabkan invasi yang dalam dan penyebaran
melalui aliran darah. Ini biasanya akibat kemoterapi yang menyebabkan
netropenia, tetapi bisa juga akibat defek spesifik netrofil. Selain itu, kateter
tetap bisa menjadi predisposisi sehingga pasien menderita infeksi berat.
Kateter kandung kemih menyebabkan kolonisasi kandung kemih, yang
dapat langsung naik ke ginjal. Kateter intravena merupakan jalan masuk ke
aliran darah dan ini akan diikuti oleh diseminasi. Penyakit invasif dan
diseminata telah ditemukan pada neonatus dengan atau tanpa faktor
predisposisi. Diabetes melitus meningkatkan kerentanan terhadap
kandidiasis dikulit setempat, membran mukosa, dan saluran kemih etapi
belum pasti apakah hal ini disebabkan oleh menurunnya fungsi netrofil
67
Manifestasi klinis
Sepsis neonatorum
Sumber infeksi bisa dari kateter IV yang memasuki ginjal atau organ
lain, yang memerlukan terapi sistemik disertai pencopotan kateter. Sumber
lain termasuk ginjal dan saluran gastrointestinalis. Ada penemuan klinis
tertentu yang menunjukkan Candida sebagai penyebab sepsis. Mialgia
berat beserta beberapa lesi nodul kulit telah ditemukan pada pasien,
biasanya yang menderita leukemia. Lesi biasanya berbentuk papula tetapi
bisa terjadi vesikel, bulla dan tukak. Sepsis Candida kadang-kadang dapat
didiagnosis melalui aspirasi atau biopsi sebelum lesi itu jadi tukak untuk
menghindari kontaminasi dengan organisme kulit (Rudolph, 2010).
Candida albicans menjadi penyebab sepsis pada neonatus, Faktor
risikonya adalah prematuritas dan berat lahir rendah, pemberian antibiotik
spektrum luas, nutrisi parenteral dan intubasi. Vaginitis Candida berat pada
ibu sepsis dapat juga menyebabkan sepsis neonatorum. Kaitan dengan
meningitis atau artritis meningkat. Kandidiasis
intrauterinyangmenyebabkan kandidasis kulit kongenital (Rudolph, 2010).
Stomatofaringitis
Sindrom ini biasanya terjadi pada pasien dengan masalah kekebalan,
termasuk anak yang lemah, atau yang menerima terapi antibiotik lama.
Namun, hal ini tidak memerlukan pemeriksaan imunolog, kecuali pasien
tidak berespons dengan pengobatan (Rudolph, 2010).
Esofangitis
Pejamu dengan kekebalan bermasalah hampir selalu merupakan
predisposisi untuk esofagitis Candida. Keluhan pertama pasien adalah rasa
tusukan dan nyeri di daerah substernum saat menelan Bayi
68
Endokarditis
Hal ini jarang, kecuali setelah operasi jantung terutama dengan
pemasangan katup buatan, atau pada pemakai narkotik secara intravena.
Gejala dan tanda penyakit mirip dengan endokarditis yang disebabkan oleh
mikroorganisme lain, kecuali bahwa vegetasi dan emboli biasanya besar,
dan pembuluh darah besar cenderung tersumbat, sering terjadi
hemiparesis. Diagnosis dibuat dengan biakan darah atau kadang-kadang
dengan embolektomi (Rudolph, 2010).
Meningitis
70
Penatalaksanaan
Amfoterisin B adalah obat yang paling dipercaya untuk mengobati
infeksi Candida. Obat ini toksik tetapi dapat menyelamatkan jiwa dan
digunakan tanpa ragu kalau ada indikasi. Efek toksik sering kali dapat
71
Patogenesis
Pada infeksi primer, alveolitis terjadi setelah menghirup spora yang
infeksius; terjadi inokulasi kulit yang langsung tetapi keadaan tersebut
jarang. Selanjutnya terjadi penyebaran limfatik dari fokus pulmonum ke
nodus limfatikus regional dan diseminasi hematogen terutama ke organ
retikuloendotelial (misal, hati, limpa, sumsum tulang). Dalam beberapa
minggu, terbentuk kekebalan selular yang spesifik dan dikaitkan dengan
reaksi peradangan monositik dalam jaringan paru. Respons histologi dan
imunologi serupa dengan tuberkulosis, dengan terbentuknya tuberkulum
epitelioid dengan sel raksasa jenis Langhans, dan nekrosis perkejuan
sering terjadi. Lesi sembuh dengan berbagai derajat fibrosis dan
perkapuran. Antibodi yang beredar terjadi segera setelah infeksi, tetapi
tampaknya tidak bersifat melindungi. Kekebalan yang diperantarai sel
penting untuk menanggulangi infeksi aktif dan mencegah infeksi
kembali. Kekebalan yang diperantarai sel dan reaktivitas histoplasmin
menurun dengan berlalunya waktu, dan terjadi infeksi kembali.
Reaktivitas endogen juga terjadi, tetapi jauh lebih jarangdibanding
tuberkulosis (Rudolph, 2010).
Manifestasi klinis
Gambaran klinis histoplasmosis bervariasi. Kebanyakan orang
yang dikenai bersifat asimtomatis dan memperlihatkan hipersensitivitas
kulit lambat terhadap histoplasmin, yang merupakan filtrat biakan untuk
fase miselium H. capsulatum. Penemuan radiografi kadang-kadang
menunjukkan tuberkulosis primer yang sudah sembuh dengan parut
soliter atau multipel di lobus bagian bawah. Yang lebih jarang,t ampak
perkapuran multipel di hati atau limpa (Rudolph, 2010).
Penyakit simtomatik berkisar dari infeksi saluran pernapasan
ringan yang tidak khas yang sangat mirip influenza sampai bentuk yang
fatal. Hirupan primer sedikit inokulum spora umumnya tidak disertai
dengan gejala kecuali pada bayi dan anak kecil, yang bisa simptomatis
dan memperlihatkan batuk dengan atau tanpa demam dan keluhan
gastrointestinalis sepert mual, muntah, atau diare. Bercak infiltrat
75
Penatalaksanaan
Amfoterisin B tetap menjadi obat terpilih untuk histoplasmosis
diseminata akut yang mengancam jiwa pada anak. Bayi harus mendapat
dosis 1 mg/kgihari. Dosis kumulatif untuk anak belum ditetapkan, tetapi
orang dewasa umumnya diberikan 2 g. Pada pasien yang meningennya
tidak terkena atau yang tidak menderita penyakit akut dan mengancam
jiwa, antijamur azole, yaitu trakonazol dan ketokonazol tampaknya
efektif (Rudolph, 2010).
D. Infeksi protozoa
(1) Toksoplasmosis
Toksoplasmosis, suatu penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma
gondii, merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan
ke manusia (Hiswani, 2005). Parasit ini merupakan golongan Protozoa
yang bersifat parasit obligat intraseseluler. Menurut Wiknjosastro
(2007), toksoplasmosis menjadi sangat penting karena infeksi yang
terjadi pada saat kehamilan dapat menyebabkan abortus spontan atau
kelahiran anak yang dalam kondisi abnormal atau disebut sebagai
kelainan kongenital seperti hidrosefalus, mikrosefalus, iridosiklisis dan
retardasi mental (Cunningham, 2013).
Morfologi
Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler,
terdapat dalam tiga bentuk yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista
77
Siklus hidup
Daur hidup T. gondii melalui dua siklus yaitu siklus enteroepitel
dan siklus ekstraintestinal. Siklus enteroepitelial di dalam tubuh
hospes definitif seperti kucing. Siklus ekstraintestinal pula di dalam
tubuh hospes perantara seperti manusia, kambing dan domba. Pada
78
Cara penularan
Manusia dapat terinfeksi oleh T. gondii dengan berbagai cara. Pada
toksoplasmosis kongenital, transmisi toksoplasma kepada janin terjadi
melalui plasenta bila ibunya mendapat infeksi primer waktu hamil.
Pada toksoplasmosis akuista, infeksi dapat terjadi bila makan daging
mentah atau kurang matang ketika daging tersebut mengandung kista
atau trofozoit T. gondii. Tercemarnya alat-alat untuk masak dan tangan
oleh bentuk infektif parasit ini pada waktu pengolahan makanan
merupakan sumber lain untuk penyebaran T. gondii (Cunningham,
2013).
Pada orang yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila
ookista yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan. Kontak yang
sering terjadi dengan hewan terkontaminasi atau dagingnya, dapat
dihubungkan dengan adanya prevalensi yang lebih tinggi di antara
dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan, pekerja di rumah potong
hewan dan orang yang menangani daging mentah seperti juru masak
79
Patogenesis
Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan terjadi proses
yang terdiri dari tiga tahap yaitu parasitemia, di mana parasit
menyerang organ dan jaringan serta memperbanyak diri dan
menghancurkan sel-sel inang. Perbanyakan diri ini paling nyata terjadi
80
Manifestasi klinis
Pada garis besarnya sesuai dengan cara penularan dan gejala
klinisnya, toksoplasmosis dapat dikelompokkan atas: toksoplasmosis
akuisita (dapatan) dan toksoplasmosis kongenital. Baik
toksoplasmosis dapatan maupun kongenital, sebagian besar
asimtomatis atau tanpa gejala. Keduanya dapat bersifat akut dan
kemudian menjadi kronik atau laten. Gejalanya nampak sering tidak
spesifik dan sulit dibedakan dengan penyakit lain. Toksoplasmosis
dapatan biasanya tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala.
Tetapi bila seorang ibu yang sedang hamil mendapat infeksi primer,
ada kemungkinan bahwa 50% akan melahirkan anak dengan
toksoplasmosis kongenital. Gejala yang dijumpai pada orang dewasa
maupun anak-anak umumnya ringan. Gejala klinis yang paling sering
dijumpai pada toksoplasmosis dapatan adalah limfadenopati dan rasa
lelah, disertai demam dan sakit kepala (Cunningham, 2013).
Pada infeksi akut, limfadenopati sering dijumpai pada kelenjar
getah bening daerah leher bagian belakang. Gejala tersebut di atas
dapat disertai demam, mialgia dan malaise. Bentuk kelainan pada kulit
akibat toksoplasmosis berupa ruam makulopapuler yang mirip
81
kelainan kulit pada demam titus, sedangkan pada jaringan paru dapat
terjadi pneumonia interstisial (Cunningham, 2013).
Gambaran klinis toksoplasmosis kongenital dapat bermacam-
macam. Ada yang tampak normal pada waktu lahir dan gejala
klinisnya baru timbul setelah beberapa minggu sampai beberapa
tahun. Ada gambaran eritroblastosis, hidropsfetalis dan triad klasik
yang terdiri dari hidrosefalus, korioretinitis dan perkapuran
intrakranial atau tetrad sabin yang disertai kelainan psikomotorik
(Gandahusada, 2003). Toksoplasmosis kongenital dapat menunjukkan
gejala yang sangat berat dan menimbulkan kematian penderitanya
karena parasit telah tersebar luas di berbagai organ penting dan juga
pada sistem saraf penderita (Cunningham, 2013).
Gejala susunan syaraf pusat sering meninggalkan gejala sisa,
misalnya retardasi mental dan motorik. Kadang-kadang hanya
ditemukan sikatriks pada retina yang dapat kambuh pada masa anak-
anak, remaja atau dewasa. Korioretinitis karena toksoplasmosis pada
remaja dan dewasa biasanya akibat infeksi kongenital. Akibat
kerusakan pada berbagai organ, maka kelainan yang sering terjadi
bermacam-macam jenisnya (Cunningham, 2013).
Kelainan pada bayi dan anak-anak akibat infeksi pada ibu selama
kehamilan trimester pertama, dapat berupa kerusakan yang sangat
berat sehingga terjadi abortus atau lahir mati, atau bayi dilahirkan
dengan kelainan seperti ensefalomielitis, hidrosefalus, kalsifikasi
serebral dan korioretinitis. Pada anak yang lahir prematur, gejala klinis
lebih berat dari anak yang lahir cukup bulan, dapat disertai
hepatosplenomegali, ikterus, limfadenopati, kelainan susunan syaraf
pusat dan lesi mata (Cunningham, 2013).
Penegakan diagnosis
Diagnosis infeksi protozoa ini dilakukan dengan mendapatkan
antibodi IgM dan IgG anti T. gondii dalam tes serologi (Hiswani,
2005). Untuk memastikan diagnosis toksoplasmosis kongenital pada
82
neonatus perlu ditemukan zat anti IgM. Tetapi zat anti IgM tidak
selalu dapat ditemukan. Zat anti IgM cepat menghilang dari darah,
walaupun kadang-kadang dapat ditemukan selama beberapa bulan
(Cunningham, 2013).
Bila tidak dapat ditemukan zat anti IgM, maka bayi yang tersangka
menderita toksoplasmosis kongenital harus di follow up. Zat anti IgG
pada neonatus yang secara pasif didapatkan dari ibunya melalui
plasenta, berangsur-angsur berkurang dan menghilang pada bayi yang
tidak terinfeksi T. gondii. Pada bayi yang terinfeksi T. gondii, zat anti
IgG mulai dibentuk sendiri pada umur 4-6 bulan, dan pada waktu ini
titer zat anti IgG naik (Cunningham, 2013).
Untuk memastikan diagnosis toksoplasmosis akuista, tidak cukup
bila hanya sekali menemukan titer zat anti IgG T. gondii yang tinggi,
karena titer zat anti T. gondii yang ditemukan dengan tes-tes tersebut
diatas dapat ditemukan bertahun-tahun dalam tubuh seseorang.
Diagnosis toksoplasmosis akut dapat dibuat, bila titer meninggi pada
pemeriksaan kedua kali dengan jangka waktu 3 minggu atau lebih atau
bila ada konversi dari negatif ke positif. Diagnosis juga dapat
dipastikan bila ditemukan zat anti IgM, disamping adanya titer tes
warna atau tes IFA yang tinggi (Cunningham, 2013).
Pencegahan
Diagnosis infeksi protozoa ini dilakukan dengan mendapatkan
antibodi IgM dan IgG anti T. gondii dalam tes serologi (Hiswani,
2005). Untuk memastikan diagnosis toksoplasmosis kongenital pada
neonatus perlu ditemukan zat anti IgM. Tetapi zat anti IgM tidak
selalu dapat ditemukan. Zat anti IgM cepat menghilang dari darah,
walaupun kadang-kadang dapat ditemukan selama beberapa bulan
(Cunningham, 2013).
Bila tidak dapat ditemukan zat anti IgM, maka bayi yang tersangka
menderita toksoplasmosis kongenital harus di follow up. Zat anti IgG
pada neonatus yang secara pasif didapatkan dari ibunya melalui
83
setelah persalinan. Demikian halnya dengan asfiksia bayi baru lahir pada
umumnya disebabkan oleh manajamen persalinan yang tidak sesuai dengan
standar dan kurangnya kesadaran ibu untuk memeriksakan kehamilannya ke
tenaga kesehatan, kurangnya asupan kalori dan nutrisi pada saat masa
kehamilan juga dapat mengakibatkan terjadinya asfiksia. Hampir tiga per
empat dari semua kematian bayi baru lahir dapat dicegah apabila ibu
mendapatkan nutrisi yang cukup, pelayanan antenatal yang berkualitas,
asuhan persalinan normal dan pelayanan kesehatan neonatal oleh tenaga
kesehatan yang profesional. Untuk menurunkan kematian bayi baru lahir
karena asfiksia, persalinan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
memiliki kemampuan dan keterampilan manajemen asfiksia pada bayi baru
lahir karena kemampuan dan keterampilan ini digunakan setiap kali
menolong persalinan. (Leonardo, 2008).
Tingginya kasus kematian bayi akibat asfiksia salah satunya bisa
diakibatkan karena kurangnya pengetahuan dan ketrampilan bidan dalam
penanganan asfiksia pada bayi baru lahir. Untuk mengurangi angka kematian
tersebut dibutuhkan pelayanan antenatal yang berkualitas, asuhan persalinan
normal dan pelayanan kesehatan neonatal oleh bidan yang berkompeten
terutama memiliki pengetahuan dan keterampilan manajemen asfiksia pada
bayi baru lahir ( Depkes, RI, 2008).
4. Kelainan syaraf pada neonatus
Gangguan perkembangan susunan saraf pusat
a. Proses perkembangan induksi dorsal
Periode terjadinya proses perkembagan ini adalah pada masa
gestasi ke 3 dan ke 4. Perkembangan SSP dimulai dengan
pembentukan lempeng saraf dari lapisan tengah ektoderm. Kemudian
sisi lateral lempeng melekuk, dan menonjol, lalu menutup di bagian
dorsal dengan membentuk tabung saraf. Penutupan tabung saraf ini
diawali dengan di bagian medulla, selanjutnya dengan cepat menuju
kearah sefal dan kaudal. Proses ini berlangsung karena induksi oleh
lapisan mesoderm notokorda dan mesoderm korda di bawahnya. Di
samping itu jaringan saraf sendiri menginduksi lapisan mesenkim
86
1) Kraniorakiskizis total
Perkembangan terhenti pada tingkat lempeng saraf. Tabung saraf
tidak terbentuk sama sekali atau rudimenter. Tengkorak, vertebra,
dan kulit tidak menutupi lesi; hanya terdapat jaringan pembuluh
darah meningen yang memisahkan jaringan saraf dengan
lingkungan luar. Kelainan ini jarang terjadi, biasanya bayi lahir
mati atau mati dini (Markum, 2005).
2) Anensefali
Perkembangan terhenti secara dini pada tingkat penutupan tabung
saraf anterior. Kerusakan anatomi dapat mengenai:
(1) hanya hemisfer otak
(2) hemisfer otak dengan diensefalon dan mesensefalon, atau
(3) jaringan otak, diensefalon, miensefalon dengan serebelum,
batang otak, dan bahkan medulla spinalis, jadi hampir sama
dengan kraniorakiskizis. Jaringan saraf rudimenter hanya
nampak sebagai jaringan pembuluh darah yang mengandung
elemen neuron dan glia, serta pleksus koroid. Selain itu terlihat
kelainan sekunder pada tulang tengkorak, seperti tiadanya
tulang frontal, parietal, dan bagian tulang oksipital. Bayi
umumnya meninggal pada umur beberapa hari. Serupa dengan
mielomeningokel dan hidrosefalus kongenital, anomali
anensefali merupakan kelainan herediter (Markum, 2005).
87
3) Mieloskizis
Perkembangan embriologi terhenti pada proses penutupan bagian
posterior tabung saraf. Penampilan medulla spinalis hanya berupa
lempeng saraf yang dilapisi oleh jaringan ikat penuh mengandung
pembuluh darah. Kolumna vertebralis tidak terbentuk, lapisan
penutup meningovaskular nampak sebagai permukaan yang licin
dan halus. Jaringan saraf mungkin mengandung elemen saraf yang
sudah terorganisasi, khususnya pada bagian ventral. Namun
organisasi elemen saraf di bagian dorsal tidak teratur. Bayi
biasanya memiliki berbagai defisit neurologi yang parah dan
biasanya meninggal dalam usia beberapa hari akibat infeksi
(Markum, 2005).
4) Mielomeningokel dengan atau tanpa ensefalokel
Kelainan perkembangan terjadi pada proses penutupan bagian
posterior saraf, yaitu tahap akhir ketika terjadi pergerakan aksial
kearah sefal dan kaudal. Karena itu sebagian besar
mielomeningokel terdapat di daerah lumbal dan lumbosakral,
sedangkan ensefalokel di daerah oksipital (Markum, 2005).
5) Spina bifida okulta
Perkembangan terhenti pada tahap akhir proses penutupan tabung
neural bagian posterior, mungkin karena terganggunya induksi
tabung neural terhadap proses penutupan. Kelainan anatomi yang
ditemukan adalah defek vertebra, biasanya di bagian lumbal,
lumbo-sakral, atau sakral, tanpa disertai pemaparan jaringan saraf
atau meningen. Pada sebagian besar kasus, kelainan ini sukar
terdeteksi secara klinis, kecuali secara kebetulan ketika dilakukan
pemeriksaan foto Rontgen rutin. Pada sebagian kecil kasus
mungkin terlihat kelainan kulit yang mencurigakan, seperti
tumbuhnya rambut, lesung garis median, angioma, atau massa
subkutan (lipoma, kista dermoid) (Markum, 2005).
88
1) Gangguan perkembangan
Kelainan yang nampak berupa anomali telensefalon dan wajah.
Sebenarnya masih banyak diantara kelainan ini belum dapat
ditentukan secara terinci. Kelainan anatomi jaringan saraf yang
dapat menjadi prototipenya yaitu holotelensefali, sedangkan jenis
kelainan lainnya terjadi atas dasar kegagalan proses evaginasi dan
ekspansi ventrikel otak. Misalnya, tiadanya batas antar hemisfer
otak atau tiadanya ekspansi besar-besaran neokorteks supralimbik
yang merupakan ciri khas otak manusia. Kelainan fasial dapat
berupa labioskizis, palatoskizis, mikroftalmus, hipotelorisme, atau
siklopia. Gejala neurologi yang biasanya ditemukan yaitu
bangkitan apnea, kejang mioklonik, hipotonia, dan ketulian.
Seluruh kelainan tersebut sebenarnya sesuai dengan manifestasi
trisomi 13 atau delesi 18 (Markum, 2005).
1) Mikrosefali
Mikrosefali murni tanpa adanya kelainan struktur sistem saraf
lainnya, merupakan contoh penyakit gangguan proliferasi sel pada
masa embrio. Biasanya disertai pula dengan kelainan bawaan organ
atau sistem lain (Markum, 2005).
2) Neurofibromatosis
Ciri utamanya adalah proliferasi glia sentral dan sel Schwann.
Proliferasi glia sentral menghasilkan kelainan patologi berupa
glioma, khususnya glioma serabut optik, ependimoma, atau
meningioma. Lesi perifer kelainan berwujud sebagai
neurofibromata dan tumor sel Schwann intrakranial (neuroma
akustik). Manifestais klinis yang nampak adalah asimetri bentuk
kepala dan wajah (sebagai refleksi gangguan proliferasi),
neurofibromata sekitar mata dan muka, dan bercak café-au-lait
(Markum, 2005).
90
3) Tuberosklerosis
Ciri kelainan dasarnya adalah proliferasi neuron maupun glia, yang
mengakibatkan 2 jenis kelainan dasar SSP, yaitu: (1) terbentuknya
tuber, suatu lesi girus yang keras dan pucat pada lapisan luar
korteks, yang secara mikroskopik terutama terdiri dari sebukan sel
astrosit raksasa multinuklear. Dapat pula ditemukan sejumlah kecil
neuron berukuran serupa dengan bentuk ganjil, (2) terbentuknya
jaringan serupa tumor pada lapisan subependimal, yang menonjol
ke dalam ventrikel dalam bentuk rumbai-rumbai. Tonjolan rumbai
ini dapat menutup foramen Monro atau akuaduktus, sehingga
mengakibatkan hidrosefalus. Mikroskopis jaringan tonjolan
mengandung astrosit besar multinuklear, sel saraf abnormal, dan
kalsifikasi. Sebagai refleksi klinisnya penonjolan ini dapat
berkembang menjadi glioblastoma atau fakomata retina (Markum,
2005).
4) Sindrom Sturge-Weber
Ciri utama kelainan angiomatosis ensefalofasial ini adalah
gangguan proliferasi sel endotel, terutama dari serabut vena yang
kecil dan halus. Umumnya lesi angiomatosis ditemukan pada
leptomeningen di daerah parieto-oksipital dan di daerah muka ipsi
lateral yang sesuai dengan perjalanan N.trigeminus, terutama
bagian supraorbital. Kelainan lain yang dijumpai adalah atrofi
korteks disertai dengan deposit besi-kalsium di dinding pembuluh
darah kecil dalam korteks yang terkena dan sepanjang girus; secara
radiologi kelainan ini nampak sebagai gambaran rel kereta api.
Lesi intrakranial dengan perubahan kortikalnya akan makin nyata
dengan pertambahan umur anak. Menifestasi klinis neurologinya
dapat berwujud kejang, hemiparesis, retardasi mental, buftalmos,
dan glaukoma (Markum, 2005).
d. Proses migrasi
91
1) Skizensefali
Dasar kelainan adalah agenesis total korteks serebri, sehingga
nampak adanya celah atau rongga dalam jaringan hemisfer yang
dapat berhubungan dengan ventrikel atau ruang subarakhnoid.
Jaringan otak hanya ditutupi membran pia-arakhnoid yang tipis,
pola permukaan korteks abnormal, ganglia basal dan talamus
mungkin berpindah tempat, dan struktur batang otak tidak
tersusun. Manifestasi neurologinya berwujud sebagai retardasi
mental, tetraparesis spastik, opistotonus, kejang atau gejala
neurologi lainnya (Markum, 2005).
2) Lisensefali
Jenis anomali perkembangan korteks ini akan terlihat dengan ciri
berikut: permukaan otak nampak licin dan rata karena girus sangat
sedikit, lapisan korteks menebal tetapi hanya terdiri dari 3 lapis,
jaringan otak sendiri kecil, dan ventrikel membesar. Kelainan
anatomi lain diluar SSP yang mungkin dijumpai adalah anomali
fasial ringan, kornea keruh, polidaktili, lipatan simian, kelainan
jantung bawaan, atau kelainan viseral lain. Secara klinis akan
nampak hipotonia umum, kejang, atau disertai gejala klinis lain
yang cukup berat. Biasanya anak meninggal ketika masih bayi
(Markum, 2005).
3) Pakigiria
Ciri kelainan ini berupa girus yang sangat sedikit, melebar, dan
disertai dengan lapisan korteks yang sangat tebal; sebenarnya
hampir serupa dengan lisensefali. Gangguan migrasi pada
pakigiria terjadi lebih lambat dibandingkan lisensefali, yaitu
diperkirakan pada bulan ke 4. Jaringan korteks hanya terdiri dari 4
lapis. Gejala neurologi yang teridentifikasi adalah opistotonus,
spastisitas, dan kejang; gejala lainnya perlu diteliti karena
93
4) Polimikrogiria
Ciri kelainan anatomi yang menonjol adalah terlihatnya banyak
lipatan kecil-kecil, sehingga permukaan otak nampak berkeriput.
Girus yang kecil ini secara mikroskopis tersusun sangat kompleks
dan tidak beraturan, sehingga batas antara lapisan korteks tidak
jelas. Namun demikian, sebenarnya masih dapat dibedakan adanya
4 lapisan korteks serebri. Diperkirakan gangguan perkembangan
terjadi dalam periode yang lebih lambat daripada pakigiria, yaitu
pada masa gestasi 5 bulan. Penyebab gangguan perkembangan
korteks ini diantaranya adalah gangguan vaskular, infeksi
sitomegalovirus, atau kelainan kromosom. Contoh kelainan yang
terkenal adalah sindrom serebro-hepato-renal Zellweger. Pada
sindrom ini terdapat gangguan migrasi neuron, disertai dengan
polimikrogiria dan pakigiria. Migrasi abnormal ini lebih mengenai
hemisfer posterior ketimbang hemisfer anterior, korteks
supralimbik ketimbang korteks limbik, dan lapisan dalam korteks
ketimbang lapisan luar. Kelainan yang ditemukan adalah lemah
motorik, hipotonia, tiadanya reflex tendon dalam, kejang berulang,
tiadanya respons denngar dan visual, kelainan kraniofasial,
hepatomegali, dan ginjal polikistik (Markum, 2005).
5) Heteropia neuronal
Pada kelainan yang tidak terlampau parah ini, ditemukan adanya
kelompok sel saraf yang salah letak pada substansia alba. Kelainan
neurologinya belum dispesifikasi dengan jelas. Diperkirakan
kelainan intelektual pada neurofibromatosis atau pada distrofi
muskular Duchenne, berkaitan dengan heteropia neuronal
(Markum, 2005).
94
e. Proses organisasi
Proses migrasi mencakup pemisahan dan perpindahan sel saraf
dari tempat asalnya ke tempat yang lain, sedangkan proses organisasi
meliputi penyusunan diri jenis sel tertentu sesuai dengan letak yang
spesifik dalam korteks. Kurun waktu yang terpaut dengan proses
organisasi dimulai pada bulan ke-5 masa janin sampai akhir tahun ke-
2 postnatal. Dalam periode setelah lahir sampai umur 2 tahun pada
jaringan korteks terdapat ramifikasi serabut dendrit dan akson yang
sangat progresif, sedangkan jumlah dan ukuran sel neuron hampir
tidak bertambah. Menyertai proses ramifikasi ini, terjadi pula
pembentukan sinaps dan neurofibril, penambahan substansi Nissl
dalam sitoplasma, dan penambahan RNA secara umum dalam jaringan
otak. Proses pematangan di area hipokampus tuntas lebih cepat,
sedangkan di area limbik dan supralimbik dalam waktu yang lebih
lambat (Markum, 2005).
Sampai saat ini belum dikenal adanya gangguan proses
organisasi pada manusia. Pada masa mendatang dengan bantuan alat
yang lebih canggih mungkin hal ini dapat terungkapkan. Faktor yang
diduga dapat mempengaruhi proses organisasi adalah malnutrisi,
hipoksemia menahun, kelainan metabolik, dan gangguan hormonal
(Markum, 2005).
f. Proses mielinisasi
Proses mielinisasi berlangsung dalam waktu yang paling lama
di antara berbagai perkembangan SSP, yaitu dimulai pada bulan ke-6
masa janin sampai masa dewasa. Proses ini diawali dengan
terbentuknya sel oligodendrosit, yaitu jenis sel neuroglia yang
berperan dalam pembuatan myelin. Awitan, lama, dan intensitas
proses mielinasi pada berbagai bagian otak tidak sama; misalnya
mielinasi serabut motorik sebagian besar terjadi pada masa
intrauterine, sedangkan pada serabut sensorik lebih menonjol pada
masa postnatal. Perlu dicatat, bahwa proses mielinasi dan organisasi
95
DAFTAR PUSTAKA
96
Friedland, Ian R. dan George H McCracken, Jr. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph
Edisi 20 Volume 1. Jakarta. EGC
Markum, Ismael, Alatas, dkk. 2005. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid I.
Jakarta, Fakultas Kedokteran Indonesia
Prober, Charles. G. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolf Edisi 20 Volume 1. Jakarta.
EGC
Rudolph, A. M., Hoffman, J. I. E., daqn Rudolph, C. D. 2005. Buku Ajar Pediatri
Rudolph Volume 1. Jakarta. EGC
Spector, Stephen A. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolf Edisi 20 Volume 1. Jakarta.
EGC
Todd, James K. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph Edisi 20 Volume 1. Jakarta.
EGC