Anda di halaman 1dari 96

1

Skenario 5
Neonatal Seizure

STEP 1
1. Clostridium tetanii adalah bakteri gram positif anaerob yang menyebabkan
penyakit infeksi tetanus.

STEP 2
1. Bagaimana imunologi pada bayi baru lahir ?
2. Apa saja infeksi pada bayi baru lahir ?
3. Bagaimana kejang pada neonatus ?
4. Apa saja kelainan sistem saraf pada bayi baru lahir ?

STEP 3
1. Imnuglobulin
a. Aktif → IgM → terbentuk 9-14 minggu
Pasif → IgG → terbentuk 16 minggu
b. Komplemen
c. Neutrofil
d. Monosit dan makrofag

2. Infeksi pada bayi baru lahir terjadi melalui transplasenta dan pembedahan
Agen penyebab :
a. Virus
b. Bakteri
c. Jamur
d. Protozoa
Infeksi early (dini) : pada bayi baru lahir <3 hari
late (lambat) : pada bayi >3 hari

3. Kelainan sistem saraf bayi baru lahir


a. Kejang pada neonatus
b. Kelebihan muatan saraf
c. Infeksi
d. Asfiksia
e. Gangguan metabolit dan elektrolit
2

4. Infeksi bakteri :
a. Teonatus neonatorum karena akson pada neonatus lebih pendek dari orang
dewasa
b. Cerebral palsy
c. Ensefalopati he

STEP 4
1. Imunologi neonatus
a. Janin mendapat Imunoglobulin maternal melalui plasenta mulai usia 12
minggu dan jumlahnya meningkat terus sampai saat lahir serum tali pusat
mnegandung IgG dengan konsentrasi yang sama bahkan lebih besar dari
Ibu. IgA, IgM, IgE dan IgD ditemukan dalam serum tali pusat namun
bukan berasal dari ibu tapi dari janin itu sendiri. IgG merupakan satu-
satunya Imunolobulin yang dapat menembus plasenta. IgG maternal akan
menghilang 6-8 bulan pertama setelah lahir sedangkan kecepatan sintesis
IgG oleh bayi meningkat sampai konsentrasi IgG total dewasa tercapai
dan dipertahankan sampai 7-8 tahun. Sel B tali pusat terutama
meghasilkan IgM, dimana IgM pada neonatus akan diproduksi dengan
kecepatan meningkat segera setelah lahir sebagai respon terhadap
rangsangan antigenik di luar (lingkungan yang baru). IgA serum
pertamakali dideteksi pada usia 13 hari kemudian secara bertahap
meningkat selama masa anak-anak awal hingga dewasa tercapai sekitar
usia 1 tahun.
b. Komplemen tidak dapat menembus plasenta. Produksinya dimulai pada
trimester pertama gestasi. Opsonisasi sebelum di fagosit oleh antibodi
diproduksi pada janun pada trimester awal pada bayi preterm, fungsi
komplemen tidak maksimal pada proses kemotaksis dan agregasi.
c. Sel T mulai berproliferasi pada usia 12 minggu dan Sel T pengikat
antigen sudah dapat ditemukan pada usia 20 minggu. Sel T berperan
dalam menghasilkan sitokin, interferon, damn meningkatkan sensitivitas
sel B melalui fungsi beberapa sitokin
2. Infeksi neonatus
3

1) Infeksi yang didapat saat antenatal disalurkan melalui plasenta, antigen


yang masuk akan mengadakan interviliositis → vena umbilical → janin.
Contoh agen yang dapat menembus plasenta : rubella, candida, CMV
2) Infeksi Intranatal didapatkan karena infeksi ascenden dari vagina yang
disebabkan oleh adanya Ketuban pecah dini. Pada beberapa keadaan
dengan ketuban utuh, yaitu pada partus lama atau karena terlalu
banyaknya pemeriksaan dalam yang dilakukan pada ibu (Vaginal
Toucher). Infeksi intranatal dapat menyebabkan pneumositis kongenital.
3) Postnatal dapat disebabkan oleh alat-alat yang terkontaminasi misalnya
pada perawatan tali pusat (tetanus) atau pun oleh higienitas petugas
kesehatan yang kurang.
4) Bakteri
A. Tetanus neonatorum
Etiologi
Disebabkan oleh bakteri Clostridium tetanii. Merupakan
berbentuk batang, berukuran 2-5 x 0,4-0,5 milimikron yang hidup
anaerob, dan membentuk spora. Bakteria ini sering terdapat dalam
kotoran hewan dan manusia, dan bisa terkena luka melalui debu atau
tanah yang terkontaminasi. Clostridium tetani merupakan bakteri
Gram positif dan dapat menghasilkan eksotoksin yang bersifat
neurotoksik. Toksinnya adalah tetanospamin dan tetanolisin.

Patomekanisme
Pertolongan persalinan dan pemotongan tali pusat yang tidak
steril akan memudahkan spora Clostridium tetani masuk dari luka tali
pusat dan melepaskan tetanospamin. Tetanospamin akan berikatan
dengan reseptor di membran prasinaps pada motor neuron. Kemudian
bergerak melalui sistem transpor aksonal retrograd melalui sel-sel
neuron hingga ke medula spinalis dan batang otak, seterusnya
menyebabkan gangguan sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf
perifer. Gangguan tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi
presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi,
4

yaitu asam aminobutirat gama (GABA) dan glisin, sehingga terjadi


epilepsi, yaitu lepasan muatan listrik yang berlebihan dan berterusan,
sehingga penerimaan serta pengiriman impuls dari otak ke bagian-
bagian tubuh terganggu. Ketegangan otot dapat bermula dari tempat
masuk kuman atau pada otot rahang dan leher. Pada saat toksin masuk
ke sumsum tulang belakang, kekakuan otot yang lebih berat dapat
terjadi. Dijumpai kekakuan ekstremitas, otot-otot dada, perut dan
mulai timbul kejang. Ketika toksin mencapai korteks serebri,
penderita akan mengalami kejang spontan. Pada sistem saraf otonom
yang diserang tetanospasmin akan menyebabkan gangguan proses
pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, pencernaan,
perkemihan, dan pergerakan otot. Kekakuan laring, hipertensi,
gangguan irama jantung, berkeringat secara berlebihan.

Gejala klinis
a) Terjadinya kekakuan otot rahang sehingga bayi sukar
membuka mulut. Kadang-kadang dapat dijumpai mulut
mecucu seperti mulut ikan dan kekakuan pada mulut
sehingga bayi tak dapat menetek
b) Terjadi kekakuan otot mimik muka dimana dahi bayi
kelihatan mengerut, mata bayi agak tertutup, dan sudut mulut
bayi tertarik ke samping dan ke bawah. Kekakuan rahang dan
otot wajah → risus sardonikus
c) Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh
melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang
kepala. Jika dibiarkan secara berterusan tanpa rawatan, bisa
terjadi fraktur tulang vertebra.
d) Kekakuan pada otot dinding perut menyebabkan dinding
perut teraba seperti papan. Selain otot dinding perut, otot
toraks juga menjadi kaku sehingga penderita merasakan
kesulitan untuk bernafas. Efek tetanospamin pada sistem
saraf otonom adalah takikardia.
5

e) Bila kekakuan otot semakin berat, akan timbul kejang-kejang


umum yang terjadi setelah penderita menerima rangsangan
misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, terpapar sinar
yang kuat dan sebagainya. Lambat laun, “masa istirahat”
kejang semakin pendek sehingga menyebabkan status
epileptikus.

5) Virus
B. Rubella
Etiologi
Virus rubella merupakan virus RNA yang termasuk dalam genus
Rubivirus, famili Togaviridae.

Patomekanisme
Virus rubella ditransmisikan melalui pernapasan dan mengalami
replikasi di nasofaring dan di daerah kelenjar getah bening. Viremia
terjadi antara hari ke-5 sampai hari ke-7 setelah terpajan virus rubella.
Masa inkubasi virus rubella berkisar antara 14–21 hari. Masa
penularan 1 minggu sebelum dan empat (4) hari setelah permulaan
ruam. Pada episode ini, Virus rubella sangat menular. Infeksi
transplasenta janin dalam kandungan terjadi saat viremia berlangsung.
Infeksi rubella menyebabkan kerusakan janin karena proses
pembelahan terhambat.

Gejala klinis
Kongenital rubella syndrome :
Intrauterine growth retardation (IUGR), Purpura
trombositopenia (25%) ditandai lesi makula merah
keunguan, “muffin-blueberry” dengan diameter 1-4 mm, Anemia
6

hemolitik, hepatosplenomegali, ikterik, tuli Sensorineural (80%),


Tuli saraf permanen bisa berat atau ringan, bilateral atau unilateral
karena kerusakan organ corti, Retardasi mental (55%), Insulin-
dependent diabetes (20%) Prevalensi tinggi sitotoksik sel pulau
pankreas atau antibodi permukaan pada pasien rubela kongenital
dengan atau tanpa IDDM dapat menunjukan infeksi sel pankreas in
utero, pneumonia interstisial, kerusakan jantung, Paten duktus
arteriosus dengan atau tanpa stenosis arteri pulmonalis atau
cabang-cabangnya dan kerusakan septum atrium dan ventrikel,
kerusakan mata (50%) yaitu katarak yang sering disertai
mikroftalmia, glaukoma kongenital, retinopati dan bentuk kepala
Mikrosefali.
C. Protozoa
1) Toksoplasmosis kongenital
Etiologi
Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler,
terdapat dalam tiga bentuk yaitu takizoit (bentuk proliferatif),
kista (berisi bradizoit) dan ookista (berisi sporozoit).

Patomekanisme
Siklus hidup
Daur hidup T. gondii melalui dua siklus yaitu siklus
enteroepitel dan siklus ekstraintestinal. Siklus enteroepitelial di
dalam tubuh hospes definitif seperti kucing. Siklus
ekstraintestinal di dalam tubuh hospes perantara seperti manusia,
kambing dan domba. Pada siklus ekstraintestinal, ookista yang
keluar bersama tinja kucing belum bersifat infektif. Setelah
mengalami sporulasi, ookista akan berisi sporozoit dan menjadi
bentuk yang infektif. Manusia dan hospes perantara lainnya akan
terinfeksi jika tertelan bentuk ookista tersebut. Di dalam ileum,
dinding ookista akan hancur sehingga sporozoit bebas. Sporozoit-
sporozoit ini menembus mukosa ileum dan mengikuti aliran darah
7

dan limfa menuju berbagai organ tubuh seperti otak, mata, hati
dan jantung. Sporozoit bebas akan membentuk pseudokista
setelah berada dalam sel organ-organ tersebut. Pseudokista
tersebut berisi endozoit atau yang lebih dikenal sebagai takizoit.
Takizoit akan membelah, kemudian terbentuk kista yang
mengandung bradizoit.
Pada toksoplasmosis kongenital, transmisi toksoplasma
kepada janin terjadi melalui plasenta bila ibunya mendapat infeksi
primer waktu hamil. Pada toksoplasmosis akuista, infeksi dapat
terjadi bila makan daging mentah atau kurang matang ketika
daging tersebut mengandung kista atau trofozoit T. gondii.
Tercemarnya alat-alat untuk masak dan tangan oleh bentuk
infektif parasit ini pada waktu pengolahan makanan, pada orang
yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila ookista
yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan.

Gejala klinis
Gambaran klinis toksoplasmosis dapat berupa
eritroblastosis, hidrops dan trias klasik yang terdiri dari
hidrosefalus, korioretinitis dan perkapuran intrakranial yang
disertai kelainan psikomotorik. Toksoplasmosis kongenital dapat
menunjukkan gejala yang sangat berat dan menimbulkan
kematian penderitanya karena parasit telah tersebar luas di
berbagai organ penting dan juga pada sistem saraf penderita.
Gejala susunan syaraf pusat sering meninggalkan gejala sisa,
misalnya retardasi mental dan motorik. Kadang-kadang hanya
ditemukan sikatriks pada retina yang dapat kambuh pada masa
anak-anak, remaja atau dewasa. Infeksi pada ibu selama
kehamilan trimester pertama, dapat berupa kerusakan yang sangat
berat sehingga terjadi abortus atau lahir mati, atau bayi dilahirkan
dengan kelainan seperti ensefalomielitis, hidrosefalus, kalsifikasi
serebral dan korioretinitis. Pada anak yang lahir prematur, gejala
8

klinis lebih berat dari anak yang lahir cukup bulan, dapat disertai
hepatosplenomegali, ikterus, limfadenopati, kelainan susunan
syaraf pusat dan lesi mata.
3. Kejang nenonatus
1) Kejang yang berulang dapat menyebabkan penurunan oksigen yang
menyebabkan komplikasi jangka panjang pada bayi.
2) Ensefalopati iskemik akibat perdarahan intrakranial, hipoglikemi,
hipokalsemi, hiponatremi, hiponatremi menyebabkan peningkatan
natrium kemudian kontraksi terus menerus terjadi sehingga terjadi
kejang.
3) Patomekanisme kejang : kejang timbul akibat timbulnya muatan listrik
(depolarisasi) berlebihan pada susunan saraf pusat sehingga terbentuk
gelombang listrik yang berlebihan. Neuron dalam sistem saraf pusat
mengalami depolarisasi sebagai hasil dari perpindahan natrium ke arah
dalam, sedangkan repolarisasi terjadi akibat keluarnya kalium. Untuk
mempertahankan potensial membran memerlukan energi yang berasal
dari ATP dan bergantung pada mekanisme pompa yaitu keluarnya
natrium dan masuknya kalium. Meskipun mekanisme dasar kejang pada
neonatus tidak sepenuhnya dipahami, namun depolarisasi berlebihan
dapat diakibatkan oleh :
a) Gangguan dalam produksi energi dapat mengakibatkan kegagalan
pompa natrium dan kalium
b) Rangsang berlebihan dari neurotransmitter di susunan saraf pusat
c) Adanya kekurangan relatif dari inhibitor neurotransmitter
dibanding eksitatorik dapat menyebabkan depolarisasi berlebihan
d) Perubahan membran neuron menyebabkan inhibisi dari
pergerakan natrium.

4) Kelainan saraf pada neonatus


a. Spina bifida adalah terbelahnya arcus vertebra yang dapat melibatkan
jaringan saraf di bawahnya atau tidak. Penyebabnya adalah kegagalan
penutupan tube neural dengan sempurna sehingga mempengaruhi neural
9

dan struktur cutaneus ectodermal yang terjadi pada hari ke 17-20


kehamilan.
b. Cerebral palsy adalah suatu keadaan yang ditandai dengan buruknya
pengendalian otot, kekakuan, kelumpuhan dan gangguan fungsi saraf
lainnya. Gejalanya bervariasi, mulai dari kejanggalan yang tidak tampak
nyata sampai kekakuan yang berat, yang menyebabkan perubahan bentuk
lengan dan tungkai. Cerebral palsy disebbakan oleh cedera otak yang
dapat terjadi akibat kernikterus, hematom subdural, cedera pembuluh
darah otak, trauma persalinan dan lain-lain.
c. Ensefalopati hipoksia Iskemik terjadi karena penurunan aliran darah dan
oksigen ke otak yang kemudian dapat menyebabkan kerusakan permane
sel-sel otak, palsy serebral dan penurunan mental.

Kelainan Infeksi
saraf

1) Kejang 1) Virus
Kelainan pada
2) Cerebral palsy Neonatus 2) Bakteri
3) Ensefalopati 3) Jamur
4) Protozoa

Imunologi 5) Parasit

1) Faktor resiko
2) Patomekanisme
3) Gejala
STEP 5 4) Penatalaksanaan
1. Bagaimana sistem imunitas pada neonatus ?
2. Apa saja infeksi pada neonatus dan jelaskan dari etiologi, faktor resiko,
patomekanisme, gejala dan penatalaksanaannya !
3. Apa saja masalah pada pelayanan kesehatan terhadap faktor resiko infeksi
neonatus
10

4. Apa saja kelainan syaraf pada neonatus ?

STEP 6
Belajar mandiri

STEP 7
1. Sistem imunitas pada neonatus
a) Sistem Imunitas Antenatal
Pada kehamilan dimana antibodi yang dihasilkan janin jauh sangat
kurang untuk merespon invasi antigen ibu/invasi bakteri. Dari minggu ke
20 kehamilan, respon imun janin terhadap antigen mulai meningkat.
Respon janin dibantu oleh pemindahan molekul antibodi dari ibu (asalkan
ukurannya tidak terlalu besar) ke janin sehingga memberikan perlindungan
pasif yang menetap sampai beberapa minggu. Proses kelahiran sendiri,
mulai dari pecahnya kantong amnion yang tersegel dan seterusnya akan
membuat janin terpajan dengan mikroorganisme baru. Candida alicans,
gonococcus dan herpes virus dapat dijumpai pada vagina. Pada kasus inf
eksi herpes yang diketahui, pelahiran pervaginam tidak diperbolehkan.
Begitu lahir, bayi cenderung akan bertemu dengan Staphylococcus aureus,
suatu mikroorganisme dimana resisten bayi tehadapnya sangat kecil
(Behrman, 2014)
Untuk mengimbangi status imunologi yang belum berkembang
dengan baik pada bayi baru lahir, maka pengawasan antenatal yang
cermat, pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan inf eksi atau
terapi untuk mengatasi inf eksi, teknik-teknik melahirkan yang aseptik
tanpa memasukkan mikroorganisme dan perawatan yang cermat dengan
memperhatikan segala aspek dalam penanganan bayi baru lahir, semuanya
ini merupakan tindakan yang sangat penting (Behrman, 2014).

b) Sistem Imunitas Intrauterin


Sistem imunitas pada neonatus
Dalam perkembangannya, Janin dapat terlindung dari lingkungan
yang berbahaya selama dalam kandungan. Umumnya kuman patogen atau
bibit penyakit tidak dapat menembus barier placenta. Bayi yang baru lahir,
11

tanpa adanya antibodi, akan sangat mudah terinf eksi. Bayi yang mature
telah memperoleh antigen dan imunitas pasif dari ibu terhadap jenis-jenis
tertentu dalam waktu 6 minggu atau lebih sebelum dilahirkan. Namun
demikian, bayi yang meninggalkan lingkungan yang steril untuk kemudian
secara tiba-tiba bertemu dengan banyak mikroorganisme dan antigen
lainnya. Diperlukan waktu beberapa minggu sebelum imunitas aktif
terbentuk (Behrman, 2014).
Sistem imun janin diperkuat oleh penyaluran imunoglobulin
menembus plasenta dari ibu kepada janinnya melalui aliran darah yang
membawa antibodi serta penyaluran melalui air susu. Profil imunoglobulin
yang disalurkan melalui plasenta dan disekresikan melalui air susu
bergantung pada mekanisme transportasi spesifik untuk berbagai kelas
imunoglobulin (Behrman, 2014).
Kapasitas imunologis aktif janin dan neonatus lebih lemah
daripada yang dimiliki oleh anak yang lebih tua dan orang dewasa.
Menurut Stirrat (1991), imunitas selular dan humoral janin mulai
berkembang pada 9 sampai 15 minggu. Respons primer janin terhadap
infeksi adalah pembentukan immunoglobulin M (IgM). IgG ibu
menembus plasenta ke dalam sirkulasi janin melalui mekanisme aktif
spesifik, yang efektif dari sekitar usia gestasi 20 minggu, tetapi
aktivitasnya meningkat pesat sejak usia gestasi 34 minggu. Ibu akan
menghasilkan respons imun terhadap antigen yang ia temui dengan
menghasilkan IgG, yang dapat melewati plasenta. Bahkan kadar IgG ibu
rendah, IgG akan tetap di salurkan melalui plasenta. Hal ini berarti janin
akan mendapat imunisasi pasif terhadap patogen yang besar ditemukan di
lingkungan setelah lahir. Imunitas pasif ini memberikan perlindungan
temporer penting pascanatal sampai sistem bayi sendiri matang dan
menghasilkan sendiri antibody. Pada 26 minggu, konsentrasi di janin sama
dengan konsentrasi di ibunya (Cunningham, 2014).
Transmisi vertical infeksi merujuk kepada penularan suatu infeksi dari
ibu ke janin melalui plasenta, selama persalinan atau proses kelahiran, atau
sewaktu menyusui. Ketuban pecah dini, partus lama, dan manipulasi
obstetric dapat meningkatkan risiko infeksi neonatus. Infeksi yang terjadi
12

sebelum 72 jam setelah persalinan biasanya disebabkan oleh bakteri yang


berjangkit in utero atau sewaktu persalinan, sementara infeksi setelah
waktu tersebut kemungkinan besar berjangkit penyakitnya. (Cunningham,
2013) (Cunningham, 2014).

c) Sistem Imunitas Pasca Uterin


Setelah persalinan, air susu bersifat protektif terhadap sebagian
infeksi, meskipun proteksi ini mulai menurun pada usia 2 bulan.
Perubahan system imun bayi baru lahir masih belum matang, sehingga
menyebabkan neonatus rentan terhadap infeksi dan alergi (Cunningham,
2014).
Infeksi neonatus, khususnya pada tahap-tahap awal mungkin sulit di
diagnosis karena neonatus sering tidak memperlihatkan tanda-tanda klasik
penyakit. Jika janin terinfeksi in utero, mungkin terjadi depresi dan
asidosis saat lahir tanpa sebab yang jelas. Neonatus mungkin tidak mau
makan, muntah, atau mengalami distensi abdomen. Dapat terjadi
insufisiensi pernapasan, yang mungkin memberikan gambaran serupa
dengan sindrom distres pernapasan idiopatik. Bayi tersebut mungkin
idiopatik dan mudah terangsang. Respons terhadap sepsis mungkin berupa
hipotermia dan bukan hipertermia, sementara hitung leukosit dan neutrofil
mungkin menurun (Cunningham, 2013).
Infeksi yang diperoleh di rumah sakit berbahaya bagi neonatus kurang
bulan dan orang yang merawat mereka adalah sumber utama infeksi.
Sistem ventilasi dan kateter vena dan arteri umbilikalis dapat
menyebabkan infeksi yang mengancam nyawa. Bayi dengan berat badan
lahir rendah yang bertahan hidup selama beberapa hari pertama tetap
berisiko tinggi meninggal akibat infeksi yang berjangkit di ruang
perawatan intensif. (Cunningham, 2014)
Infeksi ascendens, yang disebabkan oleh bakteri misalnya,
Escherichia coli, Streptococcus B, adalah penyebab tersering mortalitas
perinatal akibat infeksi. (Cunningham, 2014)

Perubahan Sistem Imunitas


a. Imunitas Alami
13

Sel-sel tubuh memberikan fungsi imunitas yang terdapat pada saat


lahir guna membantu bayi baru lahir membunuh mikroorganisme asing.
Tiga sel yang berfungsi dalam fagositosis (menelan dan membunuh)
mikroorganisme yang menyerang tubuh ketiga sel darah ini adalah:
1) Neutrofil polimorfonuklear
2) Monosit
3) Makrofag
Sedangkan sel-sel lain yang disebut sel pembunuh alami (natural
killer). Akhirnya neutrofil polimorfonuklear akan menjadi fagosit primer
dalam pertahanan penjamu (host), tetapi pada neonatus neutrofil
polimorfonuklear ini mengalami gangguan baik pada kemampuan untuk
bergerak pada arah yang benar dan dalam kemampuannya untuk melekat
pada tempat-tempat peradangan. Kerkurangan fungsi ini menyebabkan
suatu kelemahan utama system imunitas neonatus yang tidak mempunyai
kemampuan mencari dan membatasi lokasi infeksi (Cunningham, 2014).
b. Imunitas Didapat
Neonatus dilahirkan dengan imunitas pasif terhadap virus yang berasal
dari ibunya, janin mendapatkan imunitas ini melalui berbagai IgG yang
melintas melalui transplasenta. Neonatus tidak memiliki imunitas pasif
terhadap penyakit (Cunningham, 2014).
Oleh karena itu, pencegahan terhadap infeksi mikroba seperti praktik
persalinan yang aman dan menyusui ASI dini serta deteksi dini terhadap
peyakit infeksi perlu dilakukan (Cunningham, 2014).

Antibodi yang dibentuk pada neonatus

Imunoglobulin G
IgG maternal mulai dihantarkan ke janin pada sekitar minggu ke 16, dan
penghantaran ini semakin meningkat setelahnya. Sebagian besar IgG diperoleh
janin selama empat minggu terakhir kehamilan. Karena itulah, neonatus kurang
bulan hanya memperoleh sedikit antibodi protektif maternal. Neonatus secara
perlahan mulai menghasilkan IgG, dan kadar antibodi setinggi kadar dewasa baru
dicapai setelah usia 3 tahun. Pada situasi tertentu, transfer antibodi IgG dari ibu
ke janin dapat lebih merugikan dibandingkan melindungi janin. Contohnya adalah
14

penyakit hemolitik janin dan neonatus, akibat isoimunisasi antigen-D


(Cunningham, 2014).

Imunoglobulin M
Pada dewasa, produksi imunoglobulin M (IgM) sebagai respons terhadap
rangsang antigen akan dilanjutkan dengan produksi antibodi yang didominasi IgG,
dengan interval sekitar 1 minggu. Sebaliknya, jaringan normal janin hanya sedikit
sekali menghasilkan IgM, dan antibodi IgM yang dihasilkan dapat mencakup
antibodi terhadap limfosit T maternal. Bila terjadi infeksi, respons IgM merupakan
respons antibodi yang dominan pada janin, dan hal ini menetap hingga beberapa
minggu atau bulan pada neonatus. Karena IgM tidak ditansfer dari ibu, semua
IgM dalam janin atau neonatus merupakan hasil produksi mereka sendiri.
Peningkatan kadar IgM ditemukan pada neonatus dengan infeksi kongenital,
seperti rubella, infeksi sitomegalovirus, atau toksoplasmosis. Kadar IgM dalam
darah tali pusat dan identifikasi antibodi spesifik dapat bermanfaat dalam
diagnosis infeksi intrauteri. Kadar IgM dewasa normalnya dicapai pada usia 9
bulan (Cunningham, 2014).

Imunoglobulin A
Berbeda dari kebanyakan mamalia, neonatus manusia tidak memperoleh
imunitas pasif dalam jumlah yang signifikan dari absorbsi antibodi humoral yang
diingesti dalam kolostrum. Namun, imunoglobulin A (IgA) yang diingesti dalam
kolostrum menyediakan proteksi mukosa terhadap infeksi enterik. Hal ini juga
dapat menjelaskan IgA sekretorik janin yang ditemukan dalam jumlah sedikit
pada cairan amnion (Cunningham, 2014).

2. Infeksi pada neonatus


A. Infeksi virus
(1) Infeksi Sitomegalovirus (CMV)
Sitomegalovirus (CMV) dikenal sebagai penyebab utama infeksi
kongenital dan sebagai infeksi berat dan mengancam nyawa pada
orang dengan tanggap imun lemah. Virus ini menimbulkan sindrom
15

klinis yang luas, pada bayi baru lahir berkisar dari infeksi asimtomatik
sampai ensefalitis fetal yang berat dan kerusakan perkembangan sistem
saraf pusat. Pada bayi bisa menimbulkan pneumonia atau hepatitis dan
menimbulkan penyakit mirip-mononukleosis pada orang yang
sebelumnya sehat dan pada pasien yang sedang diberi transfusi darah.
Pemeriksaan histopatologi jaringan yang terinfeksi menunjukkan sel-
sel besar yang khas-karenanya disebut sitomegalovirus. (Spector,
2006).

Etiologi
Sitomegalovirus adalah virus spesifik-spesies yang termasuk
famili Herpesviridae. Seperti virus herpes lain, virion sempurna
mengandung inti DNA untai-ganda, kapsid ikosahedral, dan kapsul
lipoprotein yang melingkarinya. Pertama kali diisolasi tahun 1956,
CMV manusia memilih tumbuh di biakan jaringan fibroblas manusia.
Efek sitopatik virus yang khas (CPE) adalah fokus-fokus yang khas
dari sel-sel refraktil yang bulat dan membesar. (Spector, 2006).
Penelitian virologi molekular dengan menggunakan kinetik
reasosiasi DNA-DNA memperlihatkan homologi yang jelas antara
strain-strain CMV yang berbeda. Namun, analisis digesti endonuk
lease restriksi menunjukkan bahwa strain CMV acak mempunyai pola
DNA yang khas, sementara CMV yang tumbuh pada individu dengan
strain yang sama (misal, ibu dan bayinya yang terinfeksi secara
kongenital) mempunyai digesti DNA yang identik. Penga matan ini
berguna dalam mempelajari epidemiologi CMV. (Spector, 2006).

Patogenesis
Infeksi CMV kongenital dapat menyertai infeksi primer ibu atau
infeksi ibu yang aktif kembali. Perempuan yang menderita infeksi
CMV primer saat hamil mempunyai risiko 40-50% melahirkan bayi
dengan infeksi kongenital; 10-15% dari bayi ini akan mendapat
sekuele. Walaupun penularan CMV ke janin bisa terjadi pada
16

kehamilan yang berurutan atau perempuan yang seropositif sebelum


hamil, sebaliknya bayi demikian jarang dikenai. Jadi, pemindahan
antibodi melalui plasenta tampaknya memainkan peran dalam
mengurangi infeksi kongenital. Namun, bayi dengan infeksi
simtomatik biasanya mempunyai antibodi IgM untuk CMV spesifik,
penetral, pengikat-komplemen yang tinggi. Antibodi dalam serum
bayi yang terinfeksi secara kongenital tidak menghalangi ekskresi
virus dalam urine selama bertahun-tahun setelah lahir. Hal yang
serupa, ekskresi virus jangka lama terlihat pada anak yang mendapat
infeksi CMV semasa bayi (Spector, 2006).
Kekebalan selular kelihatannya paling penting dalam
menanggulangi infeksi CMV akut. Penelitian pada penerima cangkok
sumsum tulang memperlihatkan bahwa respons limfosit T sitotoksik
spesifik-CMV harus dibentuk agar selamat dari infeksi CMV. Namun,
peranan kekebalan selular pada infeksi kongenital kunang jelas,
karena blastogenesis limfosit spesifik tidak berkaitan dengan
prognosis (Spector, 2006).
CMV umumnya aktif kembali pada individu yang mengalami
penurunan kekebalan selular yang disebabkan penyakit masalah
kekebalan atau pengobatan imunosupresan. CMV sendiri selanjutnya
menurunkan kekebalan selular, yang dapat menyebabkan superinfeksi
dengan patogen oportunistik lainnya (Spector, 2006).
Pada masa kanak-kanak atau masa dewasa, infeksi CMV primer
mungkin disertai respons cepat kekebalan selular yang bisa
menimbulkan terbentuknya sindrom mononukleosis infeksiosa yang
serupa dengan yang disebabkan oleh EBV. Selama infeksi demikian,
limfosit atipik muncul dalam darah perifer dan disertai penurunan
jumlah absolut limfosit T penolong/penginduksi dengan peningkatan
limfosit T penekan/sitotoksik. Sering kali, ada aktivasi limfosit-B
poliklonal pada infeksi CMV yang menyebabkan tenbentuknya faktor
rematoid dan autoantibodi lain.
Menetapnya CMV di berbagai tempat pada individu yang terinfeksi
17

belum diketahui sepenuhnya. Penularan CMV setelah transfusi darah


atau transplantasi organ,antara lain ginjal, sumsum tulang,hati, dan
jantung, menunjukkan adanya infeksi laten di dalam jaringan ini.
Penemuan CMV pada organ lain, antara lain paru, usus, dan kelenjar
liur menunjukkan bahwa organ ini mungkin juga merupakan tempat
infeksi tersembunyi. Bukti yang sangat kuat untuk infeksi CMV laten
ditemukan pada leukosit, karena prosedur yang membuang semua sel
darah putih dan darah ataupun membunuh sel darah putih ternyata
secara bermakna menurunkan insiden penularan CMV melalui
transfusi darah (Spector, 2006).
Infeksi CMV pada jaringan ditandai oleh sel besar dengan inklusi
intranuklear sebesar 8-10 µm yang dikelilingi oleh halo jernih.
Kadang-kadang juga ditemukan inklusi sitoplasma. Walaupun
perubahan sitologi yang tipikal sangat menyokong adanya infeksi
CMV, pemastian baik secara virologi maupun serologi perlu
dilakukan. lnfeksi jaringan oleh CMV ditandai respons sel plasma,
limfosit, dan makrofag. Ditemukan kompleks imun pada bayi yang
terinfeksi secara kongenital dan mungkin ada kaitannya dengan
glomerulopati pada beberapa pasien yang terinfeksi CMV setelah
transplantasi ginjal (Spector, 2006).

Manifestasi klinis
Kira-kira 95% bayi yang terinfeksi bersifat asimtomatik saat lahir.
Bayi yang dikenai infeksi paling berat menderita penyakit inklusi
sitomegali (CID = cytomegalic inclusion disease), yang khasnya
menderita hepatomegali, splenomegali, ikterus, peteki atau ruam
purpura, mikrosefalus, korioretinitis, dan perkapuran otak. Kira-kira
20% bayi yang menderita CID meninggal dalam 2 tahun setelah lahir.
Dan bayi yang selamat, 90-95% menderita cacat pendengaran atau
kelainan sistem saraf pusat. Pneumonia terjadi pada kurang dari 1%
bayi yang terinfeksi secara kongenital, termasuk bayi-bayi yang
18

terinfeksi sangat berat. Dikenainya hati, limpa, ginjal, atau pant tidak
selalu menimbulkan kerusakan permanen. Namun, kerusakan saraf
sensorik pendengaran mungkin progresif dan bisa menimbulkan
kehilangan pendengaran berat.Bayi yang menderita CID memiliki
peningkatan insiden kelainan kongenital; antara lain talipes, hernia
inguinalis, strabismus, high-arch palate, kerusakan enamel gigi,
mikrosefalus, dan tuli (Spector, 2006).
Bayi yang menderita infeksi CMV kongenital yang tidak
memperlihatkan manifestasi dini kecil kemungkinannya mendapat
sekuele jangka panjang. Namun, sampai usia 2 tahun, 5-15% bayi
yang terinfeksi ini mengalami kelainan perkembangan termasuk
kehilangan pendengaran sensorineural, mikrosefalus, kelainan motorik
seperti diplegia spastik atau kuadriplegia, retardasi mental,
korioretinitis, dan kelainan gigi. Kelainan yang paling penting pada
anak yang lahir dengan CMV kongenital subklinis adalah kehilangan
pendengaran sensorineural. Hampir 50% kerusakan ini bilateral,
menimbulkan kesulitan yang besar saat berkomunikasi verbal dan
belajar. Kerusakan pendengaran bisa terjadi atau memburuk setelah
tahun pertama kehidupan (Spector, 2006).
Infeksi perinatal diperoleh bayi selama lahir akibat terpajan
dengan sekret genital ibu yang terinfeksi, pascalahir akibat menelan
ASI yang terinfeksi, atau secara iatrogenik akibat transfusi darah. Di
Amerika Serikat, sekitar 10-15% bayi mengeluarkan CMV dalam
urinenya sampai usia 6 bulan. Masa tunas adalah 3-12 minggu.
Kebanyakan bayi ini bersifat asimtomatik. Namun, pneumonia
interstisial, batuk paroksismal, ruam petekie, hepatomegali, dan
splenomegali bisa terjadi. Hepatitis yang menyertai infeksi CMV
didapat biasanya ringan dan sembuh sendiri. Yang khas, fosfatase
alkali meningkat tidak sepadan dengan kadar aspartat
aminotransferase serum dan aminotransferase alanin serum (Spector,
2006).
19

Sebanyak 15% bayi prematur yang memerlukan perawatan


intensif yang lama, akan menderita infeksi CMV, banyak yang
disebabkan oleh transfusi darah dan satu atau lebih donor darah yang
seropositif. Bayi yang ditransfusi dengan darah seronegatif CMV,
darah tanpa gliserol yang beku, atau darah yang dibuang leukositnya
menurunkan risiko penularan CMV. Bayi yang terinfeksi biasanya
mulai mengeluarkan virus dalam urinenya 21-150 hari setelah
terpajan. Gejala yang menyertai infeksi yang didapat saat berada di
rumah sakit, antara lain pneumonia interstisial, hepatosplenomegali,
limfositosis atipik, trombositopenia, dan anemia hemolitik. Infeksi
CMV harus dipikirkan pada setiap bayi prematur yang setelah tumbuh
dengan baik, mengalami pemburukan klinis secara tiba-tiba. Bayi
prematur yang memperoleh infeksi CMV iatrogenik setelah keluar
dari rumah sakit sering menularkan infeksi ke ibu yang seronegatif.
Sekuele jangka panjang belum ditemukan pada bayi yang mendapat
infeksi CMV di rumah sakit (Spector, 2006).
Infeksi CMV yang didapat oleh bayi cukup bulan dan anak kecil
biasanya tidak jelas, walaupun kadang-kadang terjadi gejala
pernapasan, seperti pneumonia, batuk paroksismal, ruam peteki,
hepatomegali, dan splenomegali. Telah ditemukan kejang mioklonik
akibat CMV pada bayi, dan polineuritis infeksiosa serta ensefalitis dan
juga korioretinitis pada orang dewasa (Spector, 2006).
Hepatomegali dan tes fungsi hati yang sedikit abnormal kadang-
kadang ditemukan pada individu asimtomatik yang mengeluarkan
CMV dalam urinenya atau pada pasien yang menderita mononukleosis
CMV. Individu dengan mononukleosis CMV akan menderita malaise,
demam, menggigil, keringat malam hari, mialgia, sakit tenggorok,
sakit kepala, anoreksia, dan nyeri abdomen. Pada pemeriksaan fisik,
ditemukan edema faring biasanya tanpa eksudat, limfadenopati, dan
splenomegali. Lazim ditemukan limfositosis atipik. Tetapi tes heterofil
negatif. Kadang-kadang kepekaan terhadap ampisilin menimbulkan
ruam makulopapular, aglutinin dingin, antibodi antinuklear, dan
20

krioimunoglobulin. Mononukleosis pasca transfuse yang disebabkan


oleh infeksi CMV setelah transfusi darah mempunyai manifestasi
klinis serupa. Masa tunas berkisar antara 20-60 hari. Infeksi CMV
yang didapat juga dikaitkan dengan penyakit hemolisis autoimun, lesi
ulserasi di saluran cerna, pneumonia pascatransplantasi, dan purpura
trombositopenik. Tidak ada laporan bahwa kelainan fungsi hati ringan
yang terkait dengan infeksi CMV yang didapat berlanjut menjadi
hepatitis kronis atau sirosis hati. Kebanyakan anak dan orang dewasa
yang menderita infeksi CMV sembuh tanpa komplikasi. Namun,
kelelahan kronis sering disebabkan oleh mononukleosis CMV dan
bisa menetap selama 5-15 bulan setelah awitan penyakit. CMV
mungkin dikeluarkan dalam urine, sekret genital, atau saliva selama
berbulan-bulan sampai bertahun-tahun (Spector, 2006).
CMV adalah patogen yang penting pada individu dengan tanggap
imun lemah, terutama penerima cangkok organ. Sindrom yang
disebabkan oleh CMV pada penerima cangkok antara lain demam,
leukopenia, hepatitis, pneumonia, kolitis, retinitis, nefritis, dan
ensefalitis. Pada hari ke-30 sampai ke-120 setelah transplantasi paling
sering timbul infeksi CMV berat. Walaupun pasien yang mendenita
infeksi primer memiliki risiko tertinggi menderita infeksi berat dan
mematikan,pasien dengan reaktivasi CMV bisa juga menderita
penyakit yang berat. Pneumonia CMV terjadi pada hampir 20%
penerima cangkok sumsum tulang, dan memiliki angka kematian kira-
kira 90%. Anak masa prapubertas mempunyai risiko terkena
pneumonia CMV lebih rendah; hal ini mungkin berkaitan dengan
insiden penyakit host-versus-graft yang lebih rendah (Spector, 2006).
Setelah transplantasi ginjal, CMV menyebabkan kelainan fungsi
cangkok yang disertai glomerulopati kompleks imun. Penolakan
cangkok yang akut harus dibedakan dengan infeksi CMV, karena
infeksi CMV bisa diperburuk oleh meningkatnya penekanan imun
(Spector, 2006).
21

CMV juga merupakan patogen penting pada orang dewasa dan


anak yang menderita sindrom defisiensi kekebalan yang didapat
(AIDS) dan sering menyebabkan kematian pasien ini. CMV
merupakan penyebab retinitis yang paling lazim dan sering
menimbulkan kolitis, esofagitis, dan ensefalitis. Penekanan imun yang
dipicu oleh CMV mungkin merupakan penyebab defisiensi imun yang
progresif pada pasien ini. Dalam hal ini anak yang menderita AIDS
yang diinfeksi oleh CMV mungkin ketahanan hidupnya lebih pendek
dibanding anak yang menderita AIDS tanpa terinfeksi oleh CMV
(Spector, 2006).

Penegakan diagnosis
CMV dapat diisolasi pada biakan jaringan. Titer CMV yang tinggi
terdapat di dalam urine atau saliva bayi yang terinfeksi secara
kongenital atau pada pasien dengan tanggap imun lemah; oleh karena
itu, virus dapat dideteksi pada biakan dalam beberapa hari. Namun,
banyak biakan memakan waktu 3-6 minggu untuk menampakkan efek
sitopatik virus. Biakan urine, saliva, dan buffy coat pada pusingan
darah paling bermanfaat untuk mengenali infeksi CMV. Bila
digabungkan dengan antibodi monoklonal yang spesifik untuk antigen
dini CMV yang cepat, deteksi CMV pada biakan spesimen pada
kebanyakan pasien dapat dicapai dalam 18 jam. Namun, isolasi CMV
dan urine atau saliva tidak selalu menandakan infeksi akut, karena
ekskresi dan tempat-tempat ini bisa terjadi pada individu sehat.
Spesimen biopsi dan paru, hati, dan ginjal benguna bila ada indikasi
klinis (Spector, 2006).
Pemeriksaan serologi untuk CMV antara lain fiksasi komplemen,
hemaglutinasi tidak langsung, ELISA, dan imunofluoresen. Tes fiksasi
komplemen yang telah dijual di pasaran tidak sensitif dan tidak
mampu mendeteksi sebanyak 25% individu yang seropositif CMV.
Peningkatan kadar antibodi sening tidak terjadi dalam 3-4 minggu
setelah infeksi akut dan titer bisa tetap tinggi selama bertahun-tahun
22

setelah infeksi. Jadi, penentuan antibodi tunggal tidak membantu


menentukan suatu infeksi akut. Peningkatan IgM spesifik-CMV bisa
sangat membantu dalam menentukan infeksi akut, terutama pada bayi
yang terinfeksi secara kongenital, tetapi tidak menunjukkan infeksi
primer karena banyak individu akan membentuk antibodi IgM setelah
aktifnya virus kembali (Spector, 2006).
Perkembangan biologi molekular dan imunologi telah
menyediakan peralatan yang digunakan untuk mendiagnosis dengan
cepat infeksi CMV. Antibodi monoklonal yang spesifik-CMV
digunakan untuk mendeteksi CMV pada spesimen klinis dan sebagai
penyokong dalam identifikasi biakan jaringan. Antibodi monokional
yang ditujukan langsung pada CMV menurunkan protein matriks,
pp65, telah digunakan untuk mendeteksi antigen CMV dalam leukosit
polimorfonuklear perifer. Uji ini bermanfaat untuk identifikasi cepat
penyakit CMV akut dan tersedia secara komersil. Fragmen genom
CMV yang diklon secara spesifik telah dipakai untuk mendeteksi
adanya DNA CMV secara hibridisasi DNA-DNA pada spesimen
klinis, dan probe digunakan untuk mendeteksi secara langsung asam
nukleat CMV pada potongan jaringan secara hibridisasi in situ. Lebih
baru lagi, prosedur reaksi rantai polimerase telah digunakan untuk
menguatkan DNA atau RNA spesifik-virus yang terdapat dalam
spesimen klinis. Baru-baru ini, sebagian besar prosedur ini, kecuali
pemakaian antibodi monoklonal CMV yang spesifik, dicadangkan
laboratorium riset, tetapi seharusnya mampu mengenali CMV dengan
cepat dalam spesimen klinis (Spector, 2006).

Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan yang memuaskan untuk infeksi CMV,
meskipun terdapat dua obat yang akhir-akhir ini disetujui untuk
pengobatan penyakit CMV: gansiklovir dan foskarnet. Gansiklovir
merupakan analog nukleosida asiklik yang harus diubah menjadi
trifosfatnya untuk menghambat sintesis DNA viral. Efektivitas Minis
23

telah diperlihatkan pada pengobatan penyakit gastrointestinal dan


retinitis CMV serta AIDS. Pengobatan ini juga memperlihatkan
efektivitasnya pada pengobatan penyakit CMV pada penerima
cangkok organ padat. Namun, sebagai pengobatan tunggal,
gansiklovir tidak bermanfaat untuk pengobatan pneumonia CMV pada
penerima cangkok sumsum tulang. Namun, pada beberapa studi,
kombinasi gama globulin intravena dengan gansiklovir telah
memperbaiki ketahanan hidup sampai hampir 50%. Dosis gansiklovir
saat ini adalah 10 mg/kg/hari terbagi dalam dua dosis intaravena
selama induksi dan 5mg/kg/hari yang diberikan sekali sehari sebagai
terapi pemeliharaan. Obat ini sering menyebabkan neutropenia dan
trombositopenia. Penelitian untuk mengevaluasi efisiensi gansiklovir
untuk pengobatan infeksi CMV kongenital sedang dilakukan.
Foskarnet adalah pirofosfat yang juga menghambat polimerase DNA
pada CMV Beberapa penelitian telah mengindikasik an bahwa
foskarnet memiliki aktivitas yang sama seperti gansiklovir terhadap
CMV. Selain itu, foskarnet mempunyai beberapa aktivitas melawan
virus defiesiensi imun manusia. Pada satu penelitian, ketahanan hidup
orang dewasa dengan retinitis CMV dan AIDS yang diobati dengan
foskarnet sedikit lebih meningkat dibandingkan bila diobati dengan
gansildovir. Namun, reaksi kebalikan akibat foskarnet sering terjadi
dan dapat serius, mencakup gangguan ginjal, anemia, hipokalsemia,
dan hipofosfatemia. Kejang yang dihubungkan dengan hipokalsemia
telah diuraikan. Dosis foskarnet yang biasa adalah 180 mg/kg/hari
dibagi menjadi tiga dosis intravena diikuti terapi pertahanan 120
mg/kg/hari yang diberikan sebagai dosis tunggal intravena. Karena
foskarnet lebih sulit untuk diberikan dan dihubungkan dengan
toksisitas yang lebih serius, sebagian besar pasien biasanya mulai
dengan gansiklovir dan jika perlu diganti foskarnet. Pasien dengan
AIDS dan retinitis CMV akhir-akhir ini memerlukan pengobatan anti-
CMV pert ahanan seumur hidup. Resistensi terjadi akibat pemákaian
gansiklovir atau foskarnet dalam waktu yang lama. Sehingga, banyak
24

anak dengan retinitis CMV yang bertahan hidup untuk periode lama
akhirnya menerima kedua obat tersebut.
Saat ini tidak tersedia obat yang diberikan per oral untuk pengobatan
infeksi CMV. Penelitian akhir-akhir ini telah mengindikasikan bahwa
gansiklovir yang diberikan per oral dapat mendekati efektivitas klinis
gansiklovir intravena untuk terapi pertahanan pada retinitis CMV yang
baru terdiagnosis pada orang dewasa dengan AIDS. Oleh karena itu,
gansiklovir oral di masa mendatang dapat bermanfaat untuk
pengobatan penyakit CMV pada latar belakang klinis lain (Spector,
2006).

Penatalaksanaan
Tindakan profilaksis kadang-kadang dapat mencegah atau
meringankan infeksi CMV. Pemakaian darah donor yang seronegatif
atau darah yang dibekukan yang dihilangkan gliserolnya atau darah
yang dihilangkan leukositnya dapat menurunkan penularan CMV
melalui transfusi darah dan dianjurkan untuk bayi prematur atau anak
dengan tanggap imun lemah. Bila ada pilihan, penggunaan donor
organ seronegatif CMV untuk resipien yang seronegatif akan
menurunkan risiko infeksi CMV setelah transplantasi (Spector, 2006).
Profilaksis antiviral telah ditemukan bermanfaat untuk mencegah
penyakit CMV pada penerima cangkok. Gansiklovir intravena 5
mg/kg/hari yang terutama diberikan satu hari satu kali selama 100 hari
pertama setelah transplantasi sumsum tulang mengurangi penyakit
CMV sementara profilaksis diberikan. Sayangnya, profilaksis
gansiklovir dihubungkan dengan neutropenia dan peningkatan risiko
infeksi bakteri. Meskipun asikiovir terbukti menurunkan penyakit
CMV pada penerima cangkok, kemungkinkan CMV masih terjadi.
Oleh karena asiklovir dapat diberikan per oral, obat ini terbatas untuk
profilaksis terhadap penyakit CMV. Penelitian akhin-akhir ini sedang
berlangsung untuk mengevaluasi penggunaan gansiklovir oral untuk
mencegah penyakit CMV pada penerima cangkok dan pada pasien
25

AIDS. Penelitian yang serupa juga telah dimulai untuk mengevaluasi


valasiklovir, prodrug asiklovir yang dapat mencapai kadar serupa
sebagai asiklovir intravena, untuk profilaksis melawan penyakit CMV
(Spector, 2006).
Globulin imun spesifIk-CMV (CMVIG) terbukti memperbaiki
infeksi CMV pada penerima cangkok organ seronegatif. Dua vaksin
CMV hidup yang dilemahkan telah diteliti. Perlindungan yang
diberikan kepada pasien cangkok ginjal yang diberi vaksin Towne
tampaknya kira-kira setara dengan individu yang seropositif CMV
sebelum transplantasi. Oleh karena itu, perlindungan hanya bersifat
relatif dan melakukan vaksinasi resipien tetap memiliki risiko,
sekalipun kurang, untuk menderita infeksi berat dan bahkan fatal.
Terdapat banyak kontroversi tentang efektivitas vaksin hidup pada
perempuan sehat yang seronegatif, yang karenanya, berisiko
mendapatkan infeksi CMV primer selama hamil (Spector, 2006)
Bagi individu sehat, risiko penularan CMV melalui kontak secara
kebetulan adalah rendah. Penelitian yang memeriksa serokonversi
CMV pada personal rumah sakit yang bekerja dengan pasien yang
berisiko tinggi untuk infeksi CMV tidak menunjukkan peninggian
risiko infeksi untuk kelompok ini. Namun, perempuan yang merawat
anak kecil di tempat penitipan anak tampaknya berisiko lebih tinggi
untuk infeksi CMV. Pencucian tangan secara seksama setelah kontak
dengan sekret nasofaring atau menukar popok dapat mencegah infeksi
(Spector, 2006).

(2) Virus Herpes Simpleks


Virus herpes simpleks (HSV = herpes simplex virus) adalah salah
satu agen penyebab infeksi yang paling lazim pada kelompok usia
anak. HSV tergolong famili virus DNA yang meliputi sitomegalovirus,
varisela zoster, dan virus Epstein-Barr (EBV) dan virus herpes manusia
6 dan 7. HSV mempunyai kemampuan menetap selamanya pada
pejamu, yang memberikan keuntungan ketahanan hidup evolusi yang
26

besar dan berperan untuk masalah klinis berupa infeksi berulang.


Paling tidak ada dua serotipe HSV yang berbeda (HSV-1 dan HSV-2),
yang mempunyai cara penularan berbeda. HSV-1 ditularkan terutama
melalui jalur nongenital, sementara HSV-2 paling sering ditularkan
melalui kelamin atau dan infeksi genital ibu ke bayi baru lahir. Jadi
infeksi HSV- 1 paling sering terjadi selama masa kanak-kanak dan
biasanya memengaruhi tempat empat tubuh di bagian atas pinggang
(mulut, bibir, mata, wajah). Infeksi HSV-2, sebaliknya, terjadi paling
sering selama masa remaja dan masa dewasa muda, dan mengenai
bagian tubuh di bawah pinggang (genitalia, bokong, paha).
Kebanyakan infeksi pada bayi baru lahir juga disebabkan oleh HSV-2
(Prober, 2006).
Virus herpes simpleks mempunyai diameter 150 sampai 200 nm
dan terdiri dari satu inti DNA untai ganda linear yang dikelilingi oleh
kapsid ikosahedral, tegumen fibrilosa, dan selubung lipid. Terdapat
homologi luas antara HSV-1 dan HSV-2, membuat perbedaan serologi
sangat sulit. Terdapat sedikitnya 60 protein yang khas untuk virus.
Variasi protein dalam strain untuk setiap jenis HSV dapat
memengaruhi respons kekebalan dan serodiagnosis. Sel epitel
mukokutan merupakan dugaan sasaran pertama untuk infeksi virus,
sementara sel saraf di ganglion akar dorsalis merupakan tempat infeksi
laten. Pada beberapa keadaan klinis, HSV-1 dan HSV-2 dapat
menginfeksi jaringan lain seperti otak, hati, dan paru (Prober, 2006).

Patogenesis
Infeksi primer HSV-1 dan HSV-2 sering tidak tampak secara
klinis pada anak maupun individu yang lebih tua dengan pengecualian
infeksi penting pada neonatus, sebagian karena tempat infeksi primer
yang lebih lazim, seperti mulut dan serviks, tidak mudah dilihat. Bila
infeksi secara klinis tampak, gejala dan tanda penyakit menjadi lebih
berat dan lebih lama dibandingkan dengan orang yang telah
27

mempunyai kekebalan dan infeksi sebelumnya dengan HSV-1 atau


HSV-2 (Prober, 2006).
Infeksi HSV primer berat terutama pada bayi atau pasien dengan
malnutnisi hebat, yang disertai campak, luka bakar hebat, kelainan
kulit yang kronis (seperti ekzema), penekanan imun atau defisiensi
imun, dan kanker (terutama pada organ limfohematopoietik).
Patogenesis infeksi HSV primer pada pejamu yang terganggu
melibatkan replikasi awal virus di tempat masuknya, terjadi viremia
primer yang mengenai organ tertentu yang rentan, dengan diseminasi
lanjutan ke organ visera dan kerusakan yang lebih luas. Oleh karena
itu, spektrum klinis penyakit dapat berbeda, bergantung pada organ
yang terkena dan jumlah kerusakan selular. Organ yang lazim terkena
pada penyakit diseminata, terutama pada neonatus, meliputi hati, paru,
dan otak (Prober, 2006).
Pada orang dengan infeksi HSV primer, antibodi humoral kelas
IgG biasanya dapat dideteksi dalam 1 sampai 3 minggu. Selain
respons humoral, respons selular terjadi dalam 1 sampai 2 minggu
setelah awitan infeksi pada manusia dan hewan percobaan.
Walaupun infeksi HSV-1 dan HSV-2 pada individu yang sebelumnya
pernah menderita infeksi HSV-1 dan HSV-2 secara klinis cenderung
lebih ringan dibanding infeksi primer, infeksi demikian cenderung
lebih luas dan kronis pada pejamu yang bermasalah. Meskipun bayi
baru lahir dengan antibodi HSV dan ibu mempunyai kesempatan
terkena infeksi yang berkurang bila dibandingkan dengan mereka
tanpa antibodi (masing-masing sekitar 2% versus 50%), tetapi jika
mendapat infeksi akan mengalami keparahan yang sama (Prober,
2006).

Manifestasi klinis
Infeksi HSV yang asimtomatis pada bayi baru lahir jarang, tetapi
biasa ditemukan pada individu lebih tua. Herpes neonatorum sering
berat, dengan angka kesakitan dan kematian tinggi; kebanyakan
28

infeksi HSV pada anak normal bersifat ringan sampai sedang. Infeksi
pada anak dengan tanggap imun lemah mungkin relative berat, tetapi
diseminasi visera tidak lazim, di luar periode neonatus, bahkan pada
anak (Prober, 2006).
a) Mulut
Ini merupakan tempat infeksi HSV paling lazim, dengan
puncak insiden pada usia 1-5 tahun. Walaupun kebanyakan
infeksi berbentuk subklinis, pemeriksaan yang seksama bisa
mendeteksi beberapa ulkus rongga mulut. Berat dan tempat
lesi beragam:
mukosa bukal, lidah, palatum, dan orofaring bisa dikenai;
gusi juga meradang dan mudah berdarah. Adenopati leher
sering ditemukan; suhu tubuh biasanya sekitar 39°C tetapi
bisa setinggi 41°C. Pengeluaran air liur berlebihan bisa akibat
nyeri saat menelan dan makan, dan bahkan minum cairan pun
nyeri. Lesi oral dan gejala klinis biasanya sembuh dalam 10
hari. Yang jarang virus bisa mengenai laring dan
menyebabkan sindrom krup (croup syndrome). Yang lebih
sering, infeksi herpes pada wajah atau mata dapat menyertai
lesi oral, mengisap jari atau menggigit kulit jari bisa
menimbulkan infeksi jari (Prober, 2006).
Virus tidak jarang dibiak dari rongga mulut pada orang
dengan lesi klinis tidak jelas. Pada pejamu dengan tanggap
imun lemah, infeksi oral sering meluas mengenai esofagus
atau paru dan menyebar ke hati serta organ daham lainnya
(Prober, 2006).
Infeksi oral hampir selalu disebabkan oleh HSV-1; tetapi,
praktik seks oral-genital bisa menimbulkan infeksi HSV-2 di
rongga mulut. Infeksi herpes di mulut biasanya mudah
didiagnosis. Namun, bila lesi hanya terdapat di orofaring,
bisa dikelirukan dengan herpangina, infeksi streptokokus
grup A, mononukleosis infeksiosa, dan difteri. Bila lesi
29

herpes di mulut lebih menyebar, bisa salah diagnosis sebagai


penyakit tangan-kaki-dan-mulut (penyakit coxsackievirus A),
angina Vincent, moniliasis, dan stomatitis yang diakibatkan
oleh trauma atau sindrom Stevens-Johnson. Pada beberapa
pasien, terutama yang menenima terapi imunosupresan,
herpes oral sering dikelirukan dengan stomatitis karena
neutropenia. Kesalahan diagnosis biasa dibuat untuk ulkus
mulut rekuren yang dianggap berasal dan herpes. Namun,
sejumlah besar pasien demikian menderita canker sores atau
stomatitis aftosa yang bukan berasal dan herpes (Prober,
2006).
b) Bibir
Bibir adalah tempat yang paling lazim bagi herpes
nekuren akibat HSV-1 (cold sores, demam berlepuh), terutama
pada orang dewasa, tetapi jarang merupakan tempat infeksi
primer.Faktor yang dihubungkan dengan penyakit rekuren
herpes labialis mencakup pajanan pada sinar matahari dan
angin (misal, bermain parasut) dan tekanan hidup. Herpes
labialis mulai dengan rasa terbakar atau gatal selama 1-2 hari
sebelum lesi muncul, tetapi kadang-kadang tidak terjadi lesi.
Pada pejamu dengan tanggap imun lemah, bibir dan daerah
wajah yang berdekatan bisa dikenai untuk waktu lama. Herpes
labialis bisa dikelirukan dengan herpes zoster atau pustula
stafilokokus. (Prober, 2006).
c) Kulit
Infeksi HSV primer dan rekuren bisa menimbulkan
vesikel kulit dan ulkus di hampir setiap bagian tubuh,
termasuk wajah, tangan, dan kaki. Infeksi kulit primer bisa
disertai nyeri terbakar yang dalam, edema, limfangitis,
limfadenopati dan demam.Vesikel pada infeksi primer atau
berulang bisa tampak soliter atau berkelompok; vesikel ini
cenderung menjadi bernanah, berkrusta, dan sembuh dalam 1
30

minggu, biasanya tanpa meninggalkan parut. Kadang-kadang


terjadi penyebaran bentuk zoster; hal ini mungkin berat dan
memakan waktu lama pada individu dengan tanggap imun
lemah (Prober, 2006).
Paronikia herpes (herpetic whitlow), yang terjadi pada
jari tenaga medis dan medis gigi, yang sering sangat nyeri dan
mudah dikelirukan dengan infeksi bakteri. Paronikia herpes
tidak memerlukan drainase bedah, dan penyembuhan
mungkin memakan waktu lama. Herpes gladiatorum timbul di
daerah kulit yang terkelupas sewaktu bergulat dan berkontak
dengan orang yang menderita infeksi HSV yang secara klinis
jelas atau tidak jelas. Infeksi kulit juga disebabkan olahraga
kontak lain, seperti rugbi. Pada pasien yang menderita luka
bakar, infeksi HSV bisa berat, karena infeksi ini disertai
pneumonia herpes dan infeksi diseminata. Eritema multforme
dapat terkait dengan infeksi HSV baik primer maupun
rekuren, dan disertai oleh gingivostomatitis dan infeksi genital
atau bibir, Lesi eritema multiforme dapat kambuh pada setiap
kekambuhan infeksi herpes (Prober, 2006).
Eczema herpeticum adalah infeksi HSV pada kulit yang
terjadi pada individu yang sebelumnya mempunyai kelainan
kulit kronis. Keadaan ini, suatu bentuk erupsi variseliformis
Kaposi, terjadi pada anak yang menderita ekzema atopik dan
kadang-kadang pada anak yang menderita ruam popok.
Kelainan ini juga ditemukan pada anak yang menderita
sindrom Wiskott-Aldrich. Eczema herpeticum biasanya
disebabkan oleh infeksi HSV primer, tetapi bisa terjadi dalam
bentuk infeksi berulang baik pada daerah kulit yang ekzem
atosa ataupun kulit utuh sesudah ekzemanya sembuh.
Biasanya didahului serangan demam, yang diikuti oleh
timbulnya kumpulan vesikel; vesikel kemudian berlesung
tengahnya dan menjadi bernanah, menyatu, dan berdarah.
31

Pada infeksi yang berat dikenai daerah yang luas di kulit,


menimbulkan kehilangan protein dan cairan yang nyata. Virus
biasanya tetap tinggal di kulit, tetapi kadang-kadang bisa
menyebar ke organ viseral atau ke otak. Infeksi HSV pada
kulit kadang-kadang sulit didiagnosis, terutama bila pasien
tidak datang sampai lesi menjadi krusta atau bernanah atau
bila kulit yang dikenai telah gundul. Bila lesi kulit HSV
menyerupai penyebaran bentuk zoster, penyakit itu mudah
dikelirukan dengan herpes zoster. (Prober, 2006).
d) Mata
Mata yang dikenai oleh herpes berbahaya karena bisa
menimbulkan kehilangan penglihatan. Infeksi primer bisa
disertai konjungtivitis dan nodus preaurikula yang nyeri,
dengan atau tanpa disertai keratitis. Kadang-kadang terbentuk
vesikel herpes pada kelopak mata, bagian lain wajah, atau
dalam mulut. Kadang-kadang juga terjadi konjungtivitis pada
infeksi berulang, tetapi bentuk penyakit rekuren yang paling
lazim adalah keratitis herpes. Penyakit ini mudah didiagnosis
secara klinis karena ulkus kornea denritik khas yang
bercabang dengan perwarnaan-fluorese. Keratitis berulang
biasanya unilateral, tetapi kira-kira 5% bersifat bilateral; pada
sedikitnya 50% pasien terjadi kekambuhan dalam 2 tahun.
Kadang-kadang struktur mata yang lebih dalam terkena antara
lain keratitis stroma dan iridosiklitis. Bila tidak ada obat
antivirus, kortikosteroid harus dihindari pada herpes mata,
karena obat itu berperan dalam perluasan penyakit ke mata
bagian dalan termasuk perforasi bola mata. (Prober, 2006).
e) Janin dan neonatus
Alasan yang penting untuk membagi herpes neonatorum
menjadi “diseminata” dan “lokalisata” berkaitan dengan
prognosis. Bila tidak ada terapi antivirus, HSV neonatus
diseminata mempunyai angka kematian lebih besar daripada
32

70%. Infeksi sistem saraf pusat yang tidak diobati memiliki


angka kematian sekitar 40% dan hampir semua yang selamat
mengalami sekuele. Infeksi lokalisata pada kulit, mata, dan
membran mukosa biasanya akan menyebar setelah 1 sampai 2
minggu jika tidak diobati. Prognosis kemudian akan
merefleksikan bahwa penyakit ini adalah penyakit yang lebih
tersebar luas (Prober, 2006).
Bentuk diseminata infeksi HSV terutama mengenai hati dan
kelenjar adrenal, tetapi umumnya mengenai organ lain juga. Petunjuk
awal penyakit bisa terjadi hanya 2 hari setelah kelahiran, rata-rata 6
hari. Bayi bisa memperlihatkan hepatosplenomegali, ikterus dengan
hiperbilirubinemia direk, diatesis perdarahan, dan kelainan sistem
saraf pusat, termasuk kejang. Perjalanan penyakit infeksi diseminata
umumnya fulminan. Beberapa bayi memperlihatkan pneumonia HSV
berat. Syok dan koagulasi intravaskular diseminata bisa menyebabkan
kematian (Prober, 2006).
Mata yang dikenai bisa unilateral atau bilateral. Konjungtivitis,
keratitis, atau khoreoretinitis bisa terjadi. Sekuele antara lain parut
kornea, khoreoretinitis disertai buta, dan katarak (Prober, 2006).
Lesi kulit yang terisolasi bisa ditemukan pada neonatus.
Bentuknya yang khas adalah vesikular, tetapi terjadinya ulkus yang
cepat dan penggundulan kulit bisa membingungkan diagnosis. Lesi
kulit bisa terjadi pada setiap tempat di kulit, tetapi lesi terutama sering
di tempat trauma (misal, pada kulit kepala tempat elektroda janin
sebelumnya terletak). Lesi membran mukosa selain mata bukanlah
tempat awal yang umum. Lesi kulit berulang lazim terjadi tidak hanya
di tempat asal, tetapi juga di daerah kulit yang sebelumnya tidak
dikenai. Lesi rekuren ini sering terjadi secara periodik sepanjang 1
sampai 2 tahun pertama kehidupan (Prober, 2006).
Herpes yang terjadi pada neonatus dalam 24 jam pertama setelah
lahir mungkin akibat infeksi asenden setelah pecah ketuban yang lama
atau penetrasi virus melalui membran yang tampaknya intak. Bayi
33

dengan mikrosefalus atau khorioretinitis dalam beberapa hari pertama


kehidupan mungkin mengalami infeksi yang ditularkan melalui
plasenta (kongenital). Karena tingginya prevalensi perempuan yang
menderita infeksi HSV-2 genital yang secara klinis tidak bergejala
atau tidak diketahui, dan kemampuan penularan infeksi HSV-1 secara
non-maternal, riwayat herpes genital pada ibu bukanlah alat bantu
yang handal dalam menetukan risiko bayi untuk menderita infeksi
HSV. Herpes neonatorum diseminata bisa menyerupai sepsis bakteri
bila tidak ada lesi mukokutan. HSV neonatorum lebih mungkin
menyebabkan infeksi fulminan progresif dibanding toksoplasmosis,
rubela, atau sitomegalovirus (Prober, 2006).

Penegakan diagnosis
Diagnosis bermacam bentuk infeksi herpes pada bayi baru lahir
dan infeksi yang berat seperti ensefalitis atau penyakit diseminata
pada individu normal atau individu dengan masalah imunologi
memerlukan bantuan laboratorium khusus, terutama bila akan
diberikan terapi (Prober, 2006).
Diagnosis pasti HSV dibuat melalui biakan virus. Metode
imunofluoresen dapat digunakan untuk mendiagnosis cepat kerokan
lesi atau biopsi jaringan tetapi harus dipastikan melalui biakan virus
(Prober, 2006).
Spesimen klinis untuk isolasi virus harus diproses secepat
mungkin atau dibekukan pada -70°C sampai saat diproses. Lebih baik
menyimpan spesimen selama beberapa jam pada suhu 4°C (dalam
lemari es) daripada dalam ruang pembeku dengan suhu -15°C.
Penggunaan medium transpor viral optimal untuk pengangkatan
(pengapalan) spesimen klinis (Prober, 2006).
HSV dapat mudah diisolasi pada sejumlah sistem biakan jaringan,
dan efek sitopatik dapat dideteksi dalam 1-4 hari. Jenis HSV (HSV-1
atau HSV-2) kemudian dapat ditentukan melalui teknik
imunofluoresen; cara terakhir ini juga dapat digunakan untuk
34

identifikasi cepat dan penentuan tipe HSV dan spesimen klinis direk.
Selain itu, HSV dapat diihat di dalam cairan vesikel dan spesimen
biopsi atau autopsi dengan teknik mikroskop elektron, tetapi
penampakan morfologinya tidak dapat dibedakan dan virus herpes
lain, seperti sitomegalovirus atau virus varisela zoster (Prober, 2006).
Metode diagnostik virus modern, seperti pewarnaan kerokan lesi
secara imunofluoresen dengan antisera khusus HSV-1 dan HSV-2 dan
biakan virus, harus dipakai untuk diagnosis bentuk infeksi HSV yang
potensial mematikan. Namun, pada lingkungan klinis lain, inklusi
intranuklear dan sel raksasa dengan nukleus multipel yang terlihat
pada apusan dengan pewarnaan Papanicolaou, dari sel yang diperoleh
dengan mengerok dasar vesikel herpes, atau ulkus kulit, atau mulut
atau melalui kerokan konjungtiva atau kornea, bisa menolong
menunjukkan adanya virus herpes. Inklusi intranuklear kurang mudah
dilihat dengan jelas pada apusan yang diwarnai Wright dan Giemsa.
Sayangnya, tes morfologi ini hanya dua pertiga sesensitif metode
virologi dan karenanya tidak dapat diandalkan pada penanganan
infeksi yang potensial mengancam jiwa (Prober, 2006).
Banyak pemeriksaan serologi yang dapat dipakai untuk
menunjukkan antibodi HSV. Infeksi primer didiagnosis dengan tidak
ditemukannya antibodi HSV dalam serum akut dan terdeteksinya titer
HSV yang dapat dideteksi dalam serum konvalesen yang diperoleh
setelah sedikitnya 1 minggu. Peninggian titer empat kali lipat bisa
ditemukan pada infeksi rekuren, dan tidak membedakan antara infeksi
primer dan infeksi ulangan (Prober, 2006).
Kemiripan protein HSV-1 dan HSV-2 menimbulkan reaktivitas
silang antibodi terhadap virus-virus ini yang luas pada pemeriksaan
serologi standar. Kecuali bila digunakan metode riset, tidak mungkin
membedakan antibodi akibat infeksi HSV-1 di masa lalu dengan
infeksi HSV-2 di masa lalu, atau infeksi HSV-1 dan HSV-2
sebelumnya. Walaupun laboratonium komersial sering melaporkan
titer HSV-1 dan HSV-2 secara terpisah, praktik ini hanya menyesatkan
35

para dokter yang tidak waspada dengan masalah reaktivitas silang


(Prober, 2006).
Tes immunoassay enzim dan tes imunofluoresen tidak langsung
telah dikembangkan untuk mendeteksi antibodi HSV pada kelompok
imunoglobulin IgM, IgG, dan IgA. Namun, antibodi IgM HSV tidak
dapat dipakai untuk diagnosis herpes neonatorum karena antibodi IgM
tidak timbul dalam 2-4 minggu setelah awitan infeksi dan tes IgM
belum distandarisasi dengan baik. Titer IgG HSV tidak berguna karena
bayi yang terinfeksi sering tidak memiiki antibodi HSV yang dapat
dideteksi, atau antibodi itu hanyalah menunjukkan keadaan kekebalan
ibu. Sayang, antibodi IgM atau IgA yang dideteksi dalam serum
individu lebih tua tidak bisa dipakai untuk membedakan infeksi HSV
primer dengan infeksi HSV rekuren karena antibodi demikian kadang-
kadang dapat ditemukan pada infeksi rekuren. Timbulnya antibodi
HSV IgM, IgA, atau IgG di dalam cairan serebrospinalis juga tidak
bersifat diagnostik untuk ensefalitis HSV karena antibodi ini bisa
masuk ke cairan serebrospinalis dan darah penderita penyakit sistem
saraf pusat yang disebabkan oleh penyebab lain. Lebih lanjut lagi,
antibodi tidak tampak dalam CSS sampai 2-4 minggu setelah awitan
ensefalitis HSV. (Prober, 2006).

Pencegahan dan penatalaksanaan


Vaksin HSV telah dievaluasi tetapi masih belum tersedia.
Tindakan pencegahan tertentu dapat digunakan. Pejamu dengan
tanggap imun lemah harus menghindari kontak dengan individu yang
menderita lesi herpes yang jelas. Petugas rumah sakit harus memakai
sarung tangan pelindung bila sedang merawat pasien yang menderita
infeksi herpes yang nyata, terutama untuk mencegah paronikia herpes
pada petugas (Prober, 2006).
Laki-laki yang menderita lesi herpes pada penis harus
diperingatkan agar menghindari kontak seksual dengan perempuan
hamil, terutama selama trimester ketiga. Terpajannya bayi dengan
36

infeksi HSV primer ibu menimbulkan risiko penularan yang sangat


tinggi. Risiko herpes neonatorum pada bayi yang terpajan herpes
genital rekuren ibu rendah, dengan angka serangan <5%. Pajanan
dengan infeksi HSV genital aktif ibu bisa dikurangi dengan bedah
sesar, terutama jika dilakukan sebelum atau segera setelah ketuban
pecah. Pengawasan harus dilakukan untuk mencegah kontak
pascalahir antara neonatus dan perawat yang menderita lesi herpes
nongenital. Bayi yang diduga menderita herpes neonatorum harus
diisolasi (Prober, 2006).
Gingivostomatitis ringan tidak memerlukan terapi selain menjaga
kebersihan mulut yang semestinya dan, bila nyeri, diberi anastesi
topikal. Bila infeksi ini berat, terapi antivirus bisa diberikan. Infeksi
herpes di bibir, kulit, dan alat kelamin biasanya juga tidak
memerlukan terapi khusus (Prober, 2006).
Pemberian vidarabin (ara A) secara sistemik, dan asiklovir dengan
penelitian terkontrol menurunkan angka kesakitan dan kematian
ensefalitis HSV, herpes neonatorum, dan infeksi HSV pada pejamu
dengan tanggap imun lemah. Pemberian asiklovir per oral juga efektif
dalam pengobatan dan pencegahan infeksi HSV genital yang sering
rekuren (Prober, 2006).

B. Infeksi bakteri
(1) Staphylococcus sp
Etiologi
Infeksi Staphylococcus sp lazim terjadi pada anak, dan berkisar
dan furunkel ringan sampai septikemia diseminata sangat berat dan
sindrom syok toksik. Selain menimbulkan penyakit toksik maupun
invasif, stafilokokus sering sulit diobati karena adanya resistensi
terhadap antibiotik dan tempat infeksi yang terasing (Todd, 2006).
Staphylococcus adalah organisme aerob yang tumbuh pada agar darah.
Pada pewarnaan Gram tampak sebagai kokus berkelompok yang gram-
positif. Secara taksonomi stafilokokus dibagi menjadi dua kelompok
37

utama. Yang paling virulen adalah dan sering (namun tidak selalu)
bersifat hemolitik serta membentuk pigmen adalah Staphylococcus
aureus. Organisme ini biasanya menyebabkan infeksi yang invasive
pada pejamu baik normal maupun abnormal, juga menimbulkan
sejumlah penyakit yang diperantarai toksin. Menurut definisi, S.
aureus membentuk enzim koagulase. Kelompok utama lain adalah
stafilokokus koagulase-negatif. Kelompok ini mencakup organisme
seperti S. epidermidis, S. saphrophyticus, dan stafilokokus lain yang
tidak mengkoagulasikan plasma. Secara keseluruhan organisme ini
dimasukkan dalam satu kelompok karena bersifat koagulase-negatif
dan kelihatannya mempunyai virulensi lebih rendah pada sebagian
besar keadaan. Koloninya cenderung non hemolitik dan tidak
membentuk pigmen, tetapi terdapat banyak varian. (Todd, 2006).
Ada sejumlah karakteristik bakteri yang berperan pada infeksi
stafilokokus. Tadi telah disebutkan enzim koagulase sebagai pembeda
taksonomi utama yang memisahkan S. aureus dan stafilokokus
koagulase-negatif. Enzim ini menyebabkan koagulasi fibrinogen di
sekeliling organisme untuk menghasilkan kapsul yang membentuk
dinding abses klasik yang sering menyertai infeksi S. aureus. Faktor
agregasi juga merupakan ciri strain S. aureus-protein yang terdapat
pada permukaan berikatan dengan fibrinogen yang menyebabkan
agregasi organisme, sehingga fagositosis menjadi sulit. Protein A
dibentuk oleh kebanyakan strain S. aureus yang mempunyai ciri unik,
yaitu mengikat komponen Fc antibodi sehingga organisme terlindung
dan pengikatan oleh antibodi yang lebih konvensional maupun
opsonisasi. Asam teikoat pada dinding luar sel stafilokokus bekerja
untuk mengikat organisme dengan sel, yang sekali lagi meningkatkan
virulensi.”Lumpur”adalah karbohidrat kompleks yang dihasilkan oleh
strain stafilokokus koagulase-negatif, yang meningkatkan ikatan
organisme dengan kateter vena sentral dan bahan asing lain yang
tinggal dalam tubuh, sehingga secara berm akna menambah virulensi
stafilokokus koagulase-negatif. (Todd, 2006).
38

Sejumlah enzim yang dihasilkan terutama oleh strain S. aureus


bisa berperan pada virulensi: leukosidin, yang menghancurkan sel
darah putih; alfa-toksin, yang merupakan hemolisin dan juga
menimbulkan toksisitas sel; protease, yang memecah protein dan bisa
meningkatkan penyebaran S. aureus pada penyakit tertentu (mis.
septikemia stafilokokus diseminata); dan β-laktamase,yang
memperantarai resistensi penisiln. Selain itu, toksin tertentu terutama
dihasilkan oleh strain S. aureus. Ada tujuh macam enterotoksin yang
memegang peranan penting pada keracunan makanan. Eksfoliatin A
dan B (toksin epidermolitik) menimbulkan pemisahan lapisan sel
granular epidermis dan memainkan peranan penting dalam
menimbulkan sindrom kulit-melepuh stafilokokus (Staphylococcal
Scalded-Skin Syndrom). Toksin syok toksik 1 (TSST-1) dan toksin-
toksin yang terkait tampaknya mengaktifkan interleukin dan faktor
nekrosis tumor serta berperan di dalam patogenesis sindrom syok
toksik. Walaupun melingkupi spesies tunggal, sangat banyak macam
strain S. aureus yang bergantung pada berbagai faktor virulensi dan
toksin yang dibentuknya. (Todd, 2006).

Patogenesis dan Manifestasi klinis


Satu model infeksi Staphylococcus adalah penyakit invasif lokal.
lnfeksi sering dimulai di tempat luka atau di robekan kulit lainnya
tempat inokulasi S. aureus. Bila telah menembus kulit, organisme bisa
membentuk gumpalan (melalui faktor penggumpal) dan dinding
fibrinogen yang mengelilingi (melalui koagulase). Infeksi demikian
yang paling sederhana ialah furunkulosis (bisul), yang biasanya
ditemukan di kulit, sering di tempat luka. Bisul ini biasanya
merupakan abses kecil dan sederhana yang berdinding relatif tipis.
Karbunkel adalah penyatuan yang lebih besar dan lebih dalam dan
furunkel-furunkel kecil yang membentuk abses multilokulasi. Infeksi
luka bisa terjadi pada luka operasi maupun luka trauma, terutama bila
39

terdapat bahan asing. Infeksi ini bisa melibatkan sebagian atau seluruh
luka dan bisa meluas ke strukturs truktur di sebelahnya (Todd, 2006).
Oleh karena S. aureus ditemukan dalam saluran pernapasan,
kuman ini kadang-kadang dapat menimbulkan pneumonia primer
yang mulanya mirip dengan pneumonia yang lebih lazim disebabkan
oleh Streptococcus pneumoniae. Perbedaan yang khas adalah cepatnya
perkembangan pneumonia àkibat stafilokokus, dengan terbentuknya
pneumatokel dan risiko empiema atau bahkan piopneumotoraks akibat
robeknya satu atau lebih pneumatokel. Pneumonia S. aureus
merupakan masalah berat yang bisa menimbulkan kedaruratan medis.
Tempat lain infeksi S. aureus yang berhubungan dengan saluran
pernapasan antara lain otitis media, sinusitis, selulitis periorbita, dan
limfadenitis servikalis (Todd, 2006).
Setiap tempat infeksi ini bisa menimbulkan bakteremia yang
sementara. Bakteremia jarang menimbulkan meningitis, tetapi
umumnya dapat memasuki sendi atau tulang atau tempat viseral lain
sehingga S. aureus merupakan penyebab osteomielitis paling lazim,
dan merupakan salah satu penyebab artritis septik yang paling lazim.
Infeksi ini biasanya terlokalisasi pada salah satu sendi atau tulang
(Todd, 2006).
Walaupun infeksi S. aureus biasanya terlokalisasi dan terbatas
pada satu tempat, bisa terjadi bakteremia, dan yang jarang, penyakit
diseminata dan bukan lokalisata. Septikemia stafilokokus diseminata
cenderung terjadi pada laki-laki masa pubertas dini, tetapi dapat
terjadi di setiap usia mulai bayi baru lahir sampai orang dewasa. Pada
keadaan ini, pasien terus menderita bakteremia disertai focus infeksi
statilokokus multipel antara lain kulit, paru, tulang, sendi, katup
jantung (endokarditis), dan jaringan lunak lainnya. Walaupun pasien
sepertinya tidak mem iliki defisiensi pertahanan pejamu yang
mendasari, organisme mungkin mempunyai faktor virulensi tertentu
(mis. protease) yang membantu terjadinya diseminata. Infeksi serupa
40

dapat terlihat pada bayi baru lahir yang cenderung tidak bisa
melokalisasi infeksi S. aureus dengan baik. (Todd, 2006).
Ada tiga sindrom kiasik yang diperantarai oleh toksin S. aureus:
keracunan makanan, sindrom kulit melepuh, dan sindrom syok toksik.
S. aureus adalah salah satu penyebab keracunan makanan yang paling
lazim. Secara kiasik makanan dimasuki oleh S. aureus dan kemudian
dibiarkan dierami pada suhu kamar, saat ini terbentuk salah satu dari
tujuh enterotoksin. Makanan kemudian dimakan, dan setelah masa
inkubasi yang pendek ini toksin yang terbentuk bekerja pada reseptor
usus, menimbulkan muntah dan diare. Enterotoksin makanan beracun
tidak menimbulkan infeksi sejati, tetapi berupa keracunan dengan
toksin yang telah terbentuk sebelum menelan makanan yang tercemar
(Todd, 2006).
Sindrom kulit melepuh merupakan penyakit klasik stafilokokus
yang diperantarai toksin. Pasien menderita infeksi luka setempat tetapi
sering hanya berupa kolonisasi di nasofaring. Organisme (biasanya
faga S. aureus grup II) membentuk satu atau kedua toksin eksfoliatin,
yang kemudian beredar di dalam darah. Pada pasien yang belum
mempunyai kekebalan humoral (antmbodi) terhadap toksin, bisa
terjadi gejala kulit menyeluruh. Pada bayi yang sangat muda
penyakitnya sangat hebat (penyakit Ritter), yang ditandai oleh kulit
merah dan sakit disertai tanda Nikolsky positif (pembentukan lepuh
akibat penekanan tangensial pada kulit). Pada bayi lebih tua dan
batita, sindrom yang serupa dengan eritroderma yang sakit dan tanda
Nikoisky positif menggambarkan sindrom kulit melepuh yang klasik.
Temuan serupa juga dapat dilihat pada beberapa reaksi obat dan dapat
dibedakan oleh derajat cedera patologik di kulit, yang disebut
nekrolisis epidermal toksik (TEN). Pada sindrom kulit melepuh
stafilokokus, TEN tenjadi pada lapisan sel granular, sementara pada
sindrom yang diakibatkan oleh reaksi obat, terjadi di lapisan basal.
Pada pasien yang lebih tua dengan keracunan eksfoliatin menyeluruh,
tenjadi sindrom lebih ringan yang disebut demam skarlet stafilokokus.
41

Penyakit ini tampak sangat mirip dengan demam skarlet streptokokus


yang klasik kecuali varian Staphylococcus biasanya tidak mempunyai
lidah stroberi. Pasien yang memiliki antibodi terhadap eksfoliatin
tidak akan mendenita penyakit generalisata, tetapi mungkin
mempunyai lesi bula setempat (impetigo bulosa) di tempat infeksi
kulit (Todd, 2006).
Sindrom syok toksik (TSS) adalah sindrom S. aureus diperantarai
toksin yang paling berat. Walaupun biasanya berhubungan dengan
menstruasi dan pemakaian tampon, TSS terjadi pada laki-laki dan
perempuan, yang sering terkait dengan infeksi fokal S. aureus (mis.
abses infeksi luka, sinusitis). Penyakit ini bisa bermula mirip demam
skarlet, dengan demam, ruam, dan muntah, tetapi menjadi lebih berat
dengan syok dan gagal sistem beberapa organ. Pasien yang menderita
sindrom syok toksik dapat mengalami komplikasi gagal ginjal,
sindrom distres pernapasan dewasa (ARDS), atau gagal miokardium.
Drainase fokus infeksi, terapi dengan antimikroba antistafilokokus
yang tepat, dan penggantian cairan segera serta terapi penyokong
biasanya berhasil bila diberikan dengan cepat. Terapi kortikosteroid
dan gamaglobulin intravena mungkin bermanfaat pada penyakit yang
berat. Pada masa penyembuhan, ujung jari tangan dan jari kaki,
telapak tangan, dan telapak kaki pasien ini akan mengelupas, dan bisa
terjadi kekambuhan (Todd, 2006).
Benda asing (seperti kateter vena sentral, kateter intravena, pirau
ventrikuloperitoneum, katup buatan) bisa terinfeksi oleh S. aureus dan
stafilokokus koagulase-negatif. Infeksi benda asing oleh S. aureus
cenderung menjadi lebih agresif dan berat manifestasinya, sementara
infeksi stafilokokus koagulasen negatif mungkin sangat lambat. Pada
infeksi stafilokokus koagulasen negatif, faktor virulensi utama
organisme ini adalah kemampuann yang mengikat benda asing dan
kemudian secara biologi menghilangkan dindingnya sendiri dengan
cara membuat ”lumpur”. Ini menjadikan infeksi sulit diobati tanpa
membuang benda tadi (Todd, 2006).
42

Pertahanan pejamu terhadap infeksi S. aureus tampaknya


terutama melibatkan sel fagosit (neutrofil polimorfonuklear dan
makrofag) serta pembentukan batas terhadap stafilokokus seperti yang
telah disebutkan tadi, yang menimbulkan abses tetapi juga mencegah
diseminata. Tampaknya antibodi berperan sedikit dalam menahan
infeksi lokal; tetapi antibodi sangat penting untuk menetralkan toksin
yang beredar (Todd, 2006).

Penatalaksanaan
a) Prinsip umum
Membuang benda asing yang terinfeksi dan melakukan
drainase fokus yang terasing penting sekali dalam pengobatan
kebanyakan infeksi stafilokokus. Selain itu, terapi antimikroba
membatasi pertumbuhan organisme dan memberikan kesempatan
pada pertahanan pejamu untuk membasmi organisme. Strain S.
aureus sekarang umumnya membentuk β-laktamase yang larut,
sehingga kebanyakan strain, bahkan yang diperoleh dari luar
rumah sakit, resisten terhadap penisilin.Penisilin yang resisten β-
laktamase (mis.metisilin, nafsilin, kloksasilin, dildoksasilin,
amoksisilin ditambah klavulanat) serta sefalosporin generasi
pertama dan kedua (tetapi tidak generasi ketiga) (mis., sefazolin,
sefaleksin, sefradin, sefuroksim) biasanya efektif terhadap strain
penghasil β-laktamase. Sefiksim, sefotaksim, dan seftriakson tidak
dianjurkan untuk terapi infeksi S. aureus yang diketahui.
Perubahan protein pengikat penisilin dalam dinding sel
stafilokokus bisa menjadikannya resisten terhadap antibiotik di
atas. Strain ini,yang biasanya ditemukan di lingkungan rumah
sakit, dikenal sebagai strain S. aureus resisten metisilin (MSRA).
Strain demikian biasanya masih peka terhadap vankomisin. Obat
lain yang peka untuk strain S. aureus tetapi tidak untuk strain
koagulase-negatif, antara lain aminoglikosida (mis., gentamisin,
tobramisin), eritromisin, klindamisin, dan trimetoprim plus
43

sulfametoksazol. Tidak semua strain peka. S. aureus dan strain


stafilokokus koagulase-negatif sering peka terhadap rifampisin,
tetapi tidak mungkin memberikan obat ini dalam bentuk tunggal
karena cepat menimbulkan resistensi.Terapi gabungan dengan obat
β-laktam atau vankomisin yang digabung dengan aminoglikosida
dan/atau rifampin dapat meningkatkan daya bunuh obat pada
infeksi berat. Pemakaian rifampin bergabung dengan obat β-
laktam bisa membantu membasmi karier; tetapi, kelihatannya
pembasmian ini bersifat temporer, kecuali pasien kembali
dikolonisasi oleh strain yang kurang virulen. Sebagaimana
ditekankan sebelumnya, kekebalan humoral tampaknya berperan
kecil dalam membatasi infeksi invasive secara lokal, sementara
aktivitas fagosit tampaknya jauh lebih penting. Pasien yang
menderita infeksi stafilokokus berulang harus dievaluasi apakah
mempunyai defisiensi sistem pertahanan, seperti penyakit
granulomatosa kronis dan sindrom Job (Todd, 2006).
Pemilihan terapi antimikroba tergantung pada tempat dan
berat infeksi serta juga pada pengetahuan pola kepekaan setempat.
Pada infeksi berat, pemilihan antibiotik yang resisten β-laktamase
(atau vankomisin bila organisme diduga resisten-metisilin) harus
diberikan secara parenteral dengan dosis maksimal. Beberapa
pertimbangan harus dilakukan untuk menambahkan antibiotik
yang sinergis (mis. aminoglikosida, rifampin) pada infeksi yang
sangat berat. Drainase setiap tempat infeksi umumnya perlu
dilakukan. Pada infeksi yang lebih ringan (mis. furunkulosis,
sindrom kulit melepuh), dapat dimulai terapi oral (sefalosporin,
dikloksasilin, klindamisin, eritromisin) (Todd, 2006).

b) Lama terapi
Lama terapi infeksi S. aureus beragam tergantung berat
penyakit dari tempat infeksi. Pada infeksi yang sangat berat (mis.
endokarditis), pengobatan minimal ialah selama 3-6 minggu. Pada
44

infeksi berat yang tidak berkomplikasi seperti artritis septik atau


osteomielitis, terapi minimal 3 minggu. Infeksi superfisial yang
kurang berat dapat diobati dengan melakukan drainase dan
pemberian terapi antimikroba lebih singkat. Penyakit yang bersifat
toksik harus diobati berdasarkan fokus infeksi, tetapi pengobatan
minimal 10 hari. Pengobatan tidak harus secara parenteral. Aturan
umum adalah pengobatan harus parenteral sampai penyebab
infeksi diketahui dan gejala dikendalikan dengan baik. Bila ada
obat antimikroba oral yang dapat mencapai tingkat sebanding
dengan pemberian intravena, obat bisa diganti selama kepatuhan
dan kadar obat dapat dipastikan (Todd, 2006).

Pencegahan
Staphylococcus adalah organisme yang ada di mana-mana.
Pencegahan infeksi pada tiap-tiap pasien tergantung pada kebersihan
badan yang baik dan penghindaran cedera tembus di kulit dan jaringan
lunak serta tertinggalnya benda asing di dalam tubuh. Infeksi
stafilokokus nosokomial terutama lazim terjadi dan mengancam
lingkungan perawatan kelas tiga di rumah sakit, pasien
granulositopenia, dan bayi baru lahir serta tempat perawatan intensif.
Pencegahan tergantung pada pencucian tangan dan metode
penanggulangan infeksi yang seksama di rumah sakit (Todd, 2006).

(2) Tetanus neonatorum


Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia di bawah 28 hari
(Stoll, 2007). Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut yang
disebabkan oleh Clostridium tetani, dengan tanda utama kekakuan otot
(spasme), tanpa disertai gangguan kesadaran (Ismoedijanto, 2006).
Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada
neonatus yang disebabkan oleh Clostridium tetani yaitu bakteria yang
mengeluarkan toksin (racun) yang menyerang sistem saraf pusat
(Cunningham, 2013).
45

Etiologi
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, berukuran 2-5
x 0,4-0,5 milimikron yang hidup tanpa oksigen (anaerob), dan
membentuk spora. Spora dewasa mempunyai bagian yang berbentuk
bulat yang letaknya di ujung, dan memberi gambaran penabuh
genderang (drum stick) (Bleck, 2000). Spora ini mampu bertahan
hidup dalam lingkungan panas, antiseptik, dan di jaringan tubuh.
Spora ini juga bisa bertahan hidup beberapa bulan bahkan bertahun.
(Ritarwan, 2004). Bakteria yang berbentuk batang ini sering terdapat
dalam kotoran hewan dan manusia, dan bisa terkena luka melalui debu
atau tanah yang terkontaminasi (Arnon, 2007). Clostridium tetani
merupakan bakteria Gram positif dan dapat menghasilkan eksotoksin
yang bersifat neurotoksik. Toksin ini (tetanospasmin) dapat
menyebabkan kekejangan pada otot (Cunningham, 2013).

Faktor risiko
Terdapat 5 faktor risiko utama terjadinya tetanus neonatorum, yaitu:
a. Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
Lingkungan yang mempunyai sanitasi yang buruk akan
menyebabkan Clostridium tetani lebih mudah berkembang biak.
Kebanyakan penderita dengan gejala tetanus sering mempunyai
riwayat tinggal di lingkungan yang kotor. Penjagaan kebersihan
diri dan lingkungan adalah amat penting bukan sahaja dapat
mencegah tetanus, malah pelbagai penyakit lain.
b. Faktor Alat Pemotongan Tali Pusat
Penggunaan alat yang tidak steril untuk memotong tali pusat
meningkatkan risiko penularan penyakit tetanus neonatorum.
Kejadian ini masih lagi berlaku di negara-negara berkembang
dimana bidan-bidan yang melakukan pertolongan persalinan masih
menggunakan peralatan seperti pisau dapur atau sembilu untuk
memotong tali pusat bayi baru lahir (Cunningham, 2013).
c. Faktor Cara Perawatan Tali Pusat
Terdapat sebagian masyarakat di negara-negara berkembang
masih menggunakan ramuan untuk menutup luka tali pusat seperti
46

kunyit dan abu dapur. Seterusnya, tali pusat tersebut akan dibalut
dengan menggunakan kain pembalut yang tidak steril sebagai
salah satu ritual untuk menyambut bayi yang baru lahir. Cara
perawatan tali pusat yang tidak benar ini akan meningkatkan lagi
risiko terjadinya kejadian tetanus neonatorum (Cunningham,
2013).
d. Faktor Kebersihan Tempat Pelayanan Persalinan
Kebersihan suatu tempat pelayanan persalinan adalah sangat
penting. Tempat pelayanan persalinan yang tidak bersih bukan
sahaja berisiko untuk menimbulkan penyakit pada bayi yang akan
dilahirkan, malah pada ibu yang melahirkan. Tempat pelayanan
persalinan yang ideal sebaiknya dalam keadaan bersih dan steril
(Cunningham, 2013)
e. Faktor Kekebalan Ibu Hamil
Ibu hamil yang mempunyai faktor kekebalan terhadap tetanus
dapat membantu mencegah kejadian tetanus neonatorum pada bayi
baru lahir. Antibodi terhadap tetanus dari ibu hamil dapat
disalurkan pada bayi melalui darah, seterusnya menurunkan risiko
infeksi Clostridium tetani. Sebagian besar bayi yang terkena
tetanus neonatorum biasanya lahir dari ibu yang tidak pernah
mendapatkan imunisasi TT (Cunningham, 2013).

Patogenesis
Pertolongan persalinan dan pemotongan tali pusat yang tidak
steril akan memudahkan spora Clostridium tetani masuk dari luka tali
pusat dan melepaskan tetanospamin. Tetanospamin akan berikatan
dengan reseptor di membran prasinaps pada motor neuron. Kemudian
bergerak melalui sistem transpor aksonal retrograd melalui sel-sel
neuron hingga ke medula spinalis dan batang otak, seterusnya
menyebabkan gangguan sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf
perifer. Gangguan tersebut berupa gangguan terhadap inhibisi
presinaptik sehingga mencegah keluarnya neurotransmiter inhibisi,
yaitu asam aminobutirat gama (GABA) dan glisin, sehingga terjadi
epilepsi, yaitu lepasan muatan listrik yang berlebihan dan berterusan,
47

sehingga penerimaan serta pengiriman impuls dari otak ke bagian-


bagian tubuh terganggu. Ketegangan otot dapat bermula dari tempat
masuk kuman atau pada otot rahang dan leher. Pada saat toksin masuk
ke sumsum tulang belakang, kekakuan otot yang lebih berat dapat
terjadi. Dijumpai kekakuan ekstremitas, otot-otot dada, perut dan
mulai timbul kejang. Ketika toksin mencapai korteks serebri,
penderita akan mengalami kejang spontan. Pada sistem saraf otonom
yang diserang tetanospasmin akan menyebabkan gangguan proses
pernafasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, pencernaan,
perkemihan, dan pergerakan otot. Kekakuan laring, hipertensi,
gangguan irama jantung, berkeringat secara berlebihan (hiperhidrosis)
merupakan penyulit akibat gangguan saraf otonom. Kejadian gejala
penyulit ini jarang dilaporkan karena penderita sudah meninggal
sebelum gejala tersebut timbul (Cunningham, 2013).

Manifestasi klinis
Neonatus yang terinfeksi Clostridium tetani masih menunjukkan
perilaku seperti menangis dan menyusui seperti bayi yang normal
pada dua hari yang pertama. Pada hari ke-3, gejala-gejala tetanus mula
kelihatan. Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3 – 12 hari, namun
dapat mecapai 1 – 2 hari dan kadang-kadang lama melebihi satu
bulan; makin pendek masa inkubasi makin buruk prognosis. Terdapat
hubungan antara jarak tempat masuk kuman Clostridium tetani
dengan susunan saraf pusat, serta interval antara terjadinya luka
dengan permulaan penyakit; semakin jauh tempat invasi, semakin
panjang masa inkubasi (Cunningham, 2013).
Gejala klinis yang sering dijumpai pada tetanus neonatorum
adalah:

a. Terjadinya kekakuan otot rahang sehingga penderita sukar


membuka mulut. Kekakuan otot pada leher lebih kuat akan
48

menarik mulut kebawah, sehingga mulut sedikit ternganga.


Kadang-kadang dapat dijumpai mulut mecucu seperti mulut ikan
dan kekakuan pada mulut sehingga bayi tak dapat menetek.
b. Terjadi kekakuan otot mimik muka dimana dahi bayi kelihatan
mengerut, mata bayi agak tertutup, dan sudut mulut bayi tertarik
ke samping dan ke bawah.
c. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung
seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Jika
dibiarkan secara berterusan tanpa rawatan, bisa terjadi fraktur
tulang vertebra. Kekakuan pada otot dinding perut menyebabkan
dinding perut teraba seperti papan. Selain otot dinding perut, otot
penyangga rongga dada (toraks) juga menjadi kaku sehingga
penderita merasakan kesulitan untuk bernafas atau batuk. Jika
kekakuan otot toraks berlangsung lebih dari 5 hari, perlu
dicurigai risiko timbulnya perdarahan paru.
d. Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan akibat
kekakuan yang terus-menerus dari otot laring yang bisa
menimbulkan sesak nafas. Efek tetanospamin dapat
menyebabkan gangguan denyut jantung seperti kadar denyut
jantung menurun (bradikardia), atau kadar denyut jantung
meningkat (takikardia). Tetanospasmin juga dapat menyebabkan
demam dan hiperhidrosis. Kekakuan otot polos pula dapat
menyebabkan anak tidak bisa buang air kecil (retensi urin).
e. Bila kekakuan otot semakin berat, akan timbul kejang-kejang
umum yang terjadi setelah penderita menerima rangsangan
misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, terpapar sinar yang
kuat dan sebagainya. Lambat laun, “masa istirahat” kejang
semakin pendek sehingga menyebabkan status epileptikus, yaitu
bangkitan epilepsi berlangsung terus menerus selama lebih dari
tiga puluh menit tanpa diselangi oleh masa sedar; seterusnya bisa
menyebabkan kematian.
f. Tindakan pencegahan serta eliminasi tetanus neonatorum adalah
berdasarkan pada tindakan menurunkan atau menghilangkan
49

faktor-faktor risiko. Pendekatan pengendalian lingkungan dapat


dilakukan dengan menjaga kebersihan lingkungan. Pemotongan
dan perawatan tali pusat wajib menggunakan alat yang steril
(WHO, 2006). Pengendalian kebersihan pada tempat pertolongan
persalinan perlu dilakukan dengan semaksimal mungkin agar
tidak terjadi kontaminasi spora pada saat proses persalinan,
pemotongan dan perawatan tali pusat dilakukan. Praktik 3 Bersih
perlu diterapkan, yaitu bersih tangan, bersih alat pemotong tali
pusat, dan bersih alas tempat tidur ibu, di samping perawatan tali
pusat yang benar sangat penting. Selain persalinan yang bersih
dan perawatan tali pusat yang tepat, pencegahan tetanus
neonatorum dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi TT
kepada ibu hamil. Pemberian imunisasi TT minimal dua kali
kepada ibu hamil sangat bermanfaat untuk mencegah tetanus
neonatorum (Cunningham, 2013).

Pencegahan
Tindakan pencegahan serta eliminasi tetanus neonatorum
adalah berdasarkan pada tindakan menurunkan atau menghilangkan
faktor-faktor risiko. Pendekatan pengendalian lingkungan dapat
dilakukan dengan menjaga kebersihan lingkungan. Pemotongan dan
perawatan tali pusat wajib menggunakan alat yang steril (WHO,
2006). Pengendalian kebersihan pada tempat pertolongan persalinan
perlu dilakukan dengan semaksimal mungkin agar tidak terjadi
kontaminasi spora pada saat proses persalinan, pemotongan dan
perawatan tali pusat dilakukan. Praktik 3 Bersih perlu diterapkan,
yaitu bersih tangan, bersih alat pemotong tali pusat, dan bersih alas
tempat tidur ibu, di samping perawatan tali pusat yang benar sangat
penting. Selain persalinan yang bersih dan perawatan tali pusat yang
tepat, pencegahan tetanus neonatorum dapat dilakukan dengan
pemberian imunisasi TT kepada ibu hamil. Pemberian imunisasi TT
50

minimal dua kali kepada ibu hamil sangat bermanfaat untuk mencegah
tetanus neonatorum (Cunningham, 2013).
Imunisasi TT adalah suntikan vaksin tetanus untuk
meningkatkan kekebalan sebagai upaya pencegahan terhadap infeksi
tetanus (Cunningham, 2013). Manfaat imunisasi TT pada ibu hamil
adalah:

a. Dapat melindungi bayi yang baru lahir dari tetanus neonatorum


(Cunningham, 2013).
b. Dapat melindungi ibu hamil terhadap kemungkinan terjadinya
tetanus apabila terluka (Cunningham, 2013).
Kedua manfaat tersebut adalah penting dalam mencapai salah satu
tujuan dari program imunisasi secara nasional yaitu, eliminasi tetanus
maternal dan tetanus neonatorum (Depkes, 2004).
Imunisasi TT untuk Ibu Hamil Imunisasi TT untuk ibu hamil
diberikan 2 kali, dengan dosis 0,5 cc disuntikkan secara intramuskular
atau subkutan. Sebaiknya imunisasi TT diberikan sebelum kehamilan
8 bulan. Suntikan TT1 dapat diberikan sejak diketahui postif hamil
dimana biasanya di berikan pada kunjungan pertama ibu hamil ke
sarana kesehatan. Jarak pemberian (interval) imunisasi TT1 dengan
TT2 adalah minimal 4 minggu. (Cunningham, 2013).
Biasanya hanya terjadi gejala-gejala ringan seperti nyeri,
kemerahan dan pembengkakan pada tempat suntikan (Depkes RI,
2000). TT adalah antigen yang sangat aman untuk wanita hamil. Tidak
ada bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT.
Efek samping tersebut berlangsung 1-2 hari dan akan sembuh sendiri
tanpa diperlukan tindakan/pengobatan (Cunningham, 2013).

(3) Sepsis neonatorum


Sepsis Neonatorum adalah infeksi bakteri pada aliran darah bayi
selama bulan pertama kehidupan (Friedland dan McCracken, 2006).
51

Sepsis adalah sindrom yang dikarakteristikan oleh tanda-tanda


klinis dan gejala-gejala infeksi yang parah yang dapat berkembang ke
arah septikemia dan syok septik (Friedland dan McCracken, 2006).
Sepsis bakterial pada neonatus adalah sindrom klinis dengan
gejala infeksi sistemik dan diikuti dengan bakteremia pada bulan
pertama kehidupan. Menurut The International Sepsis Definition
Conferences (ISDC, 2001), sepsis adalah sindrom klinis dengan
adanya Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan
infeksi. Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan mulai dari
infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, renjatan/syok septik, disfungsi multi
organ, dan akhirnya kematian.

Klasifikasi
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat
diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan
dini (early-onset neonatal sepsis) dan sepsis neonatorum awitan
lambat (late-onset neonatal sepsis).

Tabel 1.1 Klasifikasi sepsis (Friedland dan McCracken, 2006).


Dini Lambat
Awitan
<72 jam > 72 jam
Sumber
Jalan lahir Lingkungan (Nosokomial)
infeksi

Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang


terjadi segera dalam periode pascanatal (kurang dari 72 jam) dan
biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero. Di negara
maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus SAD adalah
Streptokokus Grup B (SGB) [(>40% kasus)], Escherichia coli,
Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes, sedangkan di
negara berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme
52

penyebabnya adalah bakteri batang gram negatif. Sepsis neonatorum


awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1000 kelahiran hidup
dengan angka mortalitas sebesar 15-50%. Sepsis awitan lambat (SAL)
merupakan infeksi pascanatal (lebih dari 72 jam) yang diperoleh dari
lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Proses
infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi
horizontal. Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu
kira-kira 10-20%. Di negara maju, Coagulase-negative Staphilococci
(CoNS) dan Candida albicans merupakan penyebab utama SAL,
sedangkan di negara berkembang didominasi oleh mikroorganisme
batang gram negatif (E. coli, Klebsiella, dan Pseudomonas
aeruginosa). Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak
jelas karena sebagian besar bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh
karena itu, penyebab infeksi tidak dapat diketahui apakah berasal dari
jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingkungan sekitar (SAL).
(Friedland dan McCracken, 2006).

Etiologi
Semua infeksi pada neonatus dianggap oportunisitik dan setiap
bakteri mampu menyebabkan sepsis. Berbagai macam kuman seperti
bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat menyebabkan infeksi berat
yang mengarah kepada terjadinya sepsis. Pola kuman penyebab sepsis
pun berbeda-beda antar negara dan selalu berubah dari waktu ke
waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan perbedaan
pola kuman, walaupun bakteri gram negatif rata-rata menjadi
penyebab utama dari sepsis neonatorum. Penyebab paling sering dari
sepsis ialah Escherichia coli dan SGB (dengan angka morbiditas
sekitar 50 – 70 %. Diikuti dengan malaria, sifilis, dan toksoplasma.
Streptococcus grup A, dan streptococcus viridans, patogen lainnya
gonokokus, Candida alibicans, virus herpes simpleks (tipe II) dan
organisme listeria, rubella, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza
dan parotitis (Friedland dan McCracken, 2006).
53

Patogenesis
Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di
dalam darah (bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang
berkelanjutan dari infeksi ke Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS), sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi
organ, dan akhirnya kematian (Friedland dan McCracken, 2006).

Tabel 2.2 Perjalanan penyakit infeksi pada neonatus (Friedland dan McCracken, 2006).

Bila ditemukan dua atau lebih keadaan:

a. Laju nafas >60x/m dengan/tanpa retraksi dan


desaturasi oksigen (O2)
b. Suhu tubuh tidak stabil (37.5ºC) SIRS
c. Waktu pengisian kapiler > 3 detik
d. Hitung leukosit <4000x109/L atau >34000x109/L
e. CRP >10mg/dl
f. IL-6 atau IL-8 >70pg/ml
g. 16 S rRNA gene PCR : Positif
Terdapat satu atau lebih kriteria SIRS disertai dengan
SEPSIS
gejala klinis infeksi
Sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ tunggal SEPSIS BERAT
Sepsis berat disertai hipotensi dan kebutuhan resusitasi
SYOK SEPTIK
cairan dan obatobat inotropik
Terdapat disfungsi multi organ meskipun telah SINDROM DISFUNGSI
mendapatkan pengobatan optimal MULTIORGAN
Disfungsi multi organ yang berkelanjutan KEMATIAN

Sesuai dengan proses tumbuh kembang anak, variabel fisiologis


dan laboratorium pada konsep SIRS akan berbeda menurut umur
pasien. Pada International Concensus Conference on Pediatric Sepsis
tahun 2002, telah dicapai kesepakatan mengenai definisi SIRS, Sepsis,
Sepsis berat, dan Syok septik. Berdasarkan kesepakatan tersebut,
definisi sepsis neonatorum ditegakkan bila terdapat SIRS yang dipicu
oleh infeksi, baik tersangka infeksi (suspected) maupun terbukti
infeksi (proven) (Friedland dan McCracken, 2006).
54

Tabel 2.3 Kriteria SIRS (Friedland dan McCracken, 2006).

Laju
Usia Jumlah leukosit X
Suhu Laju Nadi per menit napas per
Neonatus 103 /mm3
menit
Usia 0-7 >38,5ºC atau
180 atau <100 >50 >34
hari <36
Usia 7-30 >38,5ºC atau
180 atau <100 >40 >19,5 atau <5
hari <36
Catatan: Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria
dalam tabel (salah satu diantaranya kelainan suhu atau leukosit).

Tabel 2.4 Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septic (Friedland dan McCracken,
2006).

Infeksi Terbukti infeksi (proven infection) bila ditemukan kuman penyebab


atau Tersangka infeksi (suspected infection) bila terdapat sindrom
klinis (gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain).
Sepsis SIRS disertai infeksi yang terbukti atau tersangka.
Sepsis Sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular atau disertai
berat gangguan napas akut atau terdapat gangguan dua organ lain (seperti
gangguan neurologi, hematologi, urogenital, dan hepatologi).
Syok Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah sistolik < 65 mmHg pada
septik bayi <7 hari dan <75 mmHg pada bayi 7-30 hari

Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi


kuman karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta,
selaput amnion, korion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan
amnion. Walaupun demikian kemungkinan kontaminasi kuman dapat
timbul melalui berbagai jalan. Blanc (1961) membaginya dalam 3
golongan, yaitu:

a. Pada masa antenatal atau sebelum lahir, pada masa antenatal


kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilicus, masuk
55

kedalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Kuman penyebab


infeksi adalah kuman yang dapat menembus plasenta, antara lain
virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza,
parotitis. Bakteri yang dapat melalui jalur ini antara lain malaria,
sifilis dan toksoplasma, triponema pallidum dan listeria.
b. Pada masa intranatal atau saat persalinan. Infeksi melalui cara ini
lebih sering terjadi daripada cara yang lain. Infeksi saat persalinan
terjadi karena kuman yang ada pada vagina dan serviks naik
mencapai korion dan amnion, akibatnya terjadi amnionitis dan
korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilkus masuk ke tubuh
bayi. Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari
vagina akan lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini
kuman vagina masuk ke dalam rongga uterus dan bayi dapat
terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan ataupun saluran
cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir
akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam.
Selain melalui cara tersebut diatas infeksi pada janin dapat terjadi
melalui kontak langsung pada kuman saat bayi melewati jalan lahir
yang terkontaminasi seperti herpes genitalis, Candida albicans dan
gonorea.
c. Pada masa pascanatal atau sesudah persalinan. Infeksi yang terjadi
sesudah kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi yang diperoleh
(acquired infection) yaitu infeksi nosokomial dari lingkungan
diluar rahim misalnya melalui alat-alat; pengisap lendir, selang
endotrakea, infus, selang nasogastrik dan botol minuman. Bayi
yang mendapat prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi
umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang memperhatikan tindakan
a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan hunian terlalu padat
juga mudah mendapat infeksi nosokomial ini.

Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi dapat juga
menyebabkan terjadinya infeksi nasokomial. Infeksi pascanatal ini
sebetulnya sebagian besar dapat dicegah. Hal ini penting karena
56

mortalitas infeksi pascanatal ini sangat tinggi. Seringkali bayi lahir di


rumah sakit terkena infeksi dengan kuman-kuman yang sudah tahan
terhadap banyak jenis antibiotika, sehingga menyulitkan
pengobatannya. Bila paparan kuman pada kelompok ini berlanjut dan
memasuki aliran darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya
untuk mengeluarkan kuman dari tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang
terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran gejala klinis
pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran klinis
yang terlihat akan berbeda. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan
selain pemberian antibiotika, harus memperhatikan pula gangguan
fungsi organ yang timbul akibat beratnya penyakit (Friedland dan
McCracken, 2006).
Sepsis terjadi akibat interaksi yang kompleks antara patogen
dengan pejamu. Meskipun memiliki gejala klinis yang sama, proses
molekular dan selular yang memicu respon sepsis berbeda tergantung
dari mikroorganisme penyebab, sedangkan tahapannya sama dan tidak
bergantung pada organisme penyebab (Friedland dan McCracken,
2006).
Respon sepsis terhadap bakteri gram negatif dimulai dengan
pelepasan lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel
bakteri. Lipopolisakarida merupakan komponen penting pada
membran luar bakteri gram negatif dan memiliki peranan penting
dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat protein spesifik
dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya
kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada
membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-
like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga
terjadi aktivasi makrofag (Friedland dan McCracken, 2006).

Bakteri gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua


mekanisme, yaitu dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja
sebagai superantigen dan dengan melepaskan fragmen dinding sel
yang merangsang sel imun. Superantigen mengaktifkan sejumlah
57

besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi dalam jumlah


yang sangat banyak. Bakteri gram positif yang tidak mengeluarkan
eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun
non spesifik melalui mekanisme yang sama dengan bakteri gram
negatif. Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade sepsis
yang dimulai dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis. Mediator
inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi makrofag.
Pelepasan mediator ini akan mengaktivasi sistem koagulasi dan
komplemen. Infeksi akan dilawan oleh tubuh, baik melalui sistem
imunitas selular yang meliputi monosit, makrofag, dan netrofil serta
melalui sistem imunitas humoral dengan membentuk antibodi dan
mengaktifkan jalur komplemen. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
pengenalan patogen oleh CD14 dan TLR-2 serta TLR-4 di membran
monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk
mengaktifkan sistem imunitas selular. Pengaktifan ini menyebabkan
sel T akan berdiferensiasi menjadi sel T helper-1 (Th1) dan sel T
helper-2 (Th2). Sel Th1 mensekresikan sitokin proinflamasi seperti
tumor necrosis factor (TNF), interferon γ (IFN- γ), interleukin 1-β (IL-
1β), IL-2, IL-6 dan IL-12 serta menjadi. Sel Th2 mensekresikan
sitokin antiinflamasi seperti IL-4, -10, dan -13. Pembentukan sitokin
proinflamasi dan anti inflamasi diatur melalui mekanisme umpan balik
yang kompleks. Sitokin proinflamasi terutama berperan menghasilkan
sistem imun untuk melawan kuman penyebab (Friedland dan
McCracken, 2006).
Namun demikian, pembentukan sitokin proinflamasi yang
berlebihan dapat membahayakan dan dapat menyebabkan syok,
kegagalan multi organ serta kematian. Sebaliknya, sitokin anti
inflamasi berperan penting untuk mengatasi proses inflamasi yang
berlebihan dan mempertahankan keseimbangan agar fungsi organ vital
dapat berjalan dengan baik. Sitokin proinflamasi juga dapat
mempengaruhi fungsi organ secara langsung atau secara tidak
langsung melalui mediator sekunder (nitric oxide, tromboksan,
58

leukotrien, Platelet Activating Factor (PAF), prostaglandin), dan


komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada
endotel dan selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta
pembentukan mikrotrombi sehingga menyebabkan kerusakan organ
(Friedland dan McCracken, 2006).
Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin pada
permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang
mengalami cedera. Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan
gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah
reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul
antitrombik. Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan
vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah. (Friedland dan
McCracken, 2006).

Manifestasi klinis
Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala
sepsis klasik yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada
neonatus, namun keterlambatan dalam menegakkan diagnosis dapat
berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis yang terlihat sangat
berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh
terhadap masuknya kuman. Janin yang terkena infeksi akan menderita
takikardia, lahir dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi karena
nilai Apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak lemah dan tampak
gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan
kadang-kadang hiperglikemia, tampak tidak sehat dan malas minum.
Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi
organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat (letargi,
refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high
pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang), kelainan
kardiovaskular (hipotensi, takikardi, bradikardi, pucat, sianosis, dingin
dan clummy skin). Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan
hematologik (ikterus, splenomegali, petekie, dan pendarahan),
59

kelainan gastrointestinal (distensi abdomen, anoreksia, muntah, diare


dan hepatomegali), ataupun gangguan respirasi (apnea, dispnea,
takipnea, napas cuping hidung, merintih dan sianosis) (Friedland dan
McCracken, 2006).
Selain itu, kriteria klinis Sepsis Neonatorum Berat bila ditemukan
satu atau lebih dari gejala-gejala berikut ini: laju napas > 60 kali per
menit, retraksi dada yang dalam, cuping hidung kembang kempis,bayi
merintih, ubun- ubun besar membonjol, bayi mengalami kejang,
keluar pus dari telinga, kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar
ke kulit, suhu >37,7°C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5°C (atau
akral teraba dingin), letargi atau tidak sadar, penurunan aktivitas atau
gerakan, tidak dapat minum, tidak dapat melekat pada payudara ibu
dan tidak mau menetek (Friedland dan McCracken, 2006).
Bervariasinya gejala klinik ini merupakan penyebab sulitnya diagnosis
pasti pada pasien. Oleh karena itu, pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya perlu
dilakukan. (Friedland dan McCracken, 2006).

Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang


Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan
untuk menyusun kriteria sepsis neonatorum ini baik berdasarkan
anamnesis (termasuk adanya faktor resiko ibu dan neonatus terhadap
sepsis), gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Kriteria sepsis
ini berbeda tergantung pada karakteristik kuman penyebab dan respon
tubuh terhadap masuknya kuman ini. Kriteria sepsis juga berbeda
antara satu tempat dengan tempat lainnya (Friedland dan McCracken,
2006).
Bagi pemeriksaan penunjang dilakukan berbagai pemeriksaan
termasuk pemeriksaan darah rutin untuk memeriksa hemoglobin (Hb),
leukosit, trombosit, laju endap darah (LED), Serum Glutamic
Oxaloacetic Transaminase(SGOT), dan Serum Glutamic Pyruvic
Transaminase(SGPT). Analisa kultur urin dan cairan sebrospinal
60

(CSS) dengan lumbal fungsi dapat mendeteksi kuman. Laju endah


darah, dan protein reaktif-c (CRP) akan meningkat menandakan
adanya inflamasi. Tetapi sampai saat ini pemeriksaan biakan darah
merupakan baku emas dalam menentukan diagnosis sepsis.
Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil biakan baru akan
diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari. Hasil kultur perlu
dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan kuman yang
berlainan dari jenis kuman yang biasa ditemukan di masing-masing
klinik. Kultur darah dapat dilakukan baik pada kasus sepsis
neonatorum awitan dini maupun lanjut. (Friedland dan McCracken,
2006).
Penatalaksanaan
Penanganan sepsis dilakukan secara suportif dan kausatif. Tindakan
suportif antara lain ialah dilakukan monitoring cairan elektrolit dan
glukosa, koreksi jika terjadi hipovolemia, hipokalsemia dan
hipoglikemia, atasi syok, hipoksia, dan asidosis metabolik, awasi
adanya hiperbilirubinemia dan pertimbangkan nutrisi parenteral bila
pasien tidak dapat menerima nutrisi enteral. Tidakan kausatif dengan
pemberian antibiotik sebelum kuman penyebab diketahui. Biasanya
digunakan golongan penicilin seperti ampicillin ditambah
aminoglikosida seperti gentamicin. Pada sepsis nasokomial, antibiotic
diberikan dengan mempertimbangkan flora di ruang perawatan,
namun sebagai terapi inisial biasanya diberikan vankomisin dan
aminoglikosida atau sefalosforin generasi ketiga. Setelah didapat hasil
biakan dan uji sistematis, diberikan antibiotik yang sesuai. Terapi
dilakukan selama 10-14 hari, bila terjadi meningitis, antibiotik
diberikan selama 14-21 hari dengan dosis sesuai untuk meningitis
(Friedland dan McCracken, 2006).

Komplikasi
Komplikasi sepsis neonatorum antara lain ialah meningitis,
neonatus dengan meningitis dapat menyebabkan terjadinya
61

hidrosefalus dan/atau leukomalasia periventrikular, hipoglikemia,


asidosis metabolik, koagulopati, gagal ginjal, disfungsi miokard,
perdarahan intrakranial dan pada sekitar 60 % keadaan syok septik
akan menimbulkan komplikasi Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS). Selain itu ada komplikasi yang berhubungan dengan
penggunaan aminoglikosida, seperti ketulian dan/atau toksisitas pada
ginjal, komplikasi akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit
neurologis mulai dari gangguan perkembangan sampai dengan
retardasi mental dan komplikasi kematian (Friedland dan McCracken,
2006).

Faktor risiko
Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor resiko pada
ibu, neonatal dan lain-lain. Antara faktor resiko ibu ialah ketuban
pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah
lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan
bila disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi
4 kalinya. Infeksi dan demam (>38°C) pada masa peripartum akibat
korioamnionitis, infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh
Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi perineal oleh E. coli, dan
komplikasi obstetrik lainnya. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.
Status paritas (wanita multipara atau gravida lebih dari 3 kali) dan
umur ibu (kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun). Persalinan
dan kehamilan kurang bulan. Status sosial-ekonomi ibu, ras, dan latar
belakang mempengaruhi kecenderungan terjadinya infeksi. Ibu yang
berstatus sosio- ekonomi rendah mungkin nutrisinya buruk dan tempat
tinggalnya yang padat dan tidak higienis (Friedland dan McCracken,
2006).
Antara faktor resiko pada neonatal pula ialah prematuritas dan
berat badan lahir rendah (<2500 gram). Umumnya imunitas bayi
BBLR dan tidak cukup bulan lebih rendah daripada bayi cukup bulan.
Transpor imunuglobulin melalui plasenta terutama terjadi pada paruh
62

terakhir trimester ketiga. Setelah lahir, konsentrasi imunoglobulin


serum terus menurun, menyebabkan hipogamaglobulinemia berat.
Imaturitas kulit juga melemahkan pertahanan kulit. BBLR ini sangat
mudah mengalami infeksi. Hal ini berhubungan dengan keadaan
imunoglobulin yang masih rendah, aktivitas bakterisidal, neutrofil
serta efek sitotoksik limfosit masih rendah. Resusitasi pada saat
kelahiran, misalnya pada bayi yang mengalami fetal distress dan
trauma pada proses persalinan. Prosedur invasif seperti intubasi
endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter, infus, pembedahan, akses
vena sentral, kateter intratorakal. Bayi dengan galaktosemia
(predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek imun, atau asplenia.
Bayi mengalami cacat bawaan. Bayi yang tidak diberi air susu ibu
(ASI). Pemberian nutrisi secara parenteral pada bayi. Perawatan di
bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama. Perawatan di
bangsal bayi baru lahir yang overcrowded dan bayi kulit hitam lebih
banyak mengalami infeksi daripada bayi berkulit putih (Friedland dan
McCracken, 2006).
Antara faktor resiko lain-lain ialah beberapa kepustakaan
menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering terjadi pada bayi
laki-laki daripada perempuan, pada bayi kulit hitam daripada kulit
putih, pada bayi dengan status ekonomi rendah, dan sering terjadi
akibat prosedur cuci tangan yang tidak benar pada tenaga kesehatan
maupun anggota keluarga pasien, serta buruknya kebersihan di
Neonatal Intensive Care Unit (NICU) (Friedland dan McCracken,
2006).
Semua faktor-faktor di atas sering dijumpai dalam praktek sehari-
hari dan masih menjadi masalah sampai saat ini. Hal ini merupakan
salah satu faktor penyebab tidak adanya perubahan pada angka
kejadian sepsis neonatal dalam dekade terakhir ini. Faktor-faktor
resiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap
mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gambaran klinis
(Friedland dan McCracken, 2006).
63

C. Infeksi jamur
Aspergilosis disebabkan oleh beberapa spesies Aspergillus antara lain
Aspergillus fumigatus, Aspergillus niger, Aspergillus flavus dengan spesies
patogen potensial utama adalah Aspergillus fumigatus (Rudolph, 2005).
Patogenesis
Penyebaran terjadi melalui hirupan spora melalui udara yang terus
menerus mencemari lingkungan. Pasien dengan imunodefisiensi, terutama
pasien dengan kelainan limforetikular dan keganasan hematologi beresiko
paling besar. Banyak dilaporkan pada kasus AIDS. Aspergilosis pulmonum
sering berkomplikasi dari penyakit pada sistem pernafasan yang mendasari
seperti tuberkulosis, bronkiektaksis, abses paru, pneumonia atau karsinoma
paru. Aspergolisis pada pasien tanpa penyakit yang mendasari perlu
dilakukan pencarian intensif untuk menemukan kelainan yang memicunya
(Rudolph, 2010).
Di paru, hifa Aspergillus dapat berproliferasi di seluruh jaringan.
invasi melalui pembuluh darah bisa menyebabkan penyebaran secara luas.
Jamur bisa berproliferasi pada dinding rongga tuberkulosa atau
menimbulkan lesi granulomatosa dengan proliferasi radial hifa. Diameter
hifa adalah 3-4 μm, berseptum, dan memperlihatkan cabang. Pada
penyakit diseminata, lesi tampak sebagai abses piogenik akut, dan gejala
tergantung pada organ yang diinvasinya. Untuk metastasis, organ yang
paling sering terkena adalah otak, ginjal, dan miokardium (Rudolph,
2010).

Manifestasi klinis
Aspergilosis dapat berupa infeksi mukosa bronkus superfisialis yang
asimtomatis disertai atau tanpa respons peradangan jaringan. Pada
aspergilosis pulmonum yang non invasif, jamur tumbuh sebagai massa hifa
tebal dan hancuran jaringan, yang disebut dengan "bola jamur"
(aspergiloma), yang mempunyai gambaran radiografi khas meski pun tidak
patognomonik, yaitu bola jamur dapat dilihat berubah posisi dalam rongga
yang dilapisi epitel atau batas udara-cairan. Rongga umumnya disebabkan
oleh berbagai macam penyakit pulmonum seperti tuberkulosis,
64

histoplasmosis atau bronkiektasis. Hemoptisis dari ringan sampai berat


hingga mengancam jiwa, sering menyertai lesi ini. Aspergilosis invasif
terjadi pada pasien yang mengalami imunodefisiensi berat akibat terapi
untuk kelainan maligna hematologi atau limforetikular atau prosedur
transplantasi. Penyakit ditemukan sebagai bronkopneumonia nekrosis
disertai invasi pembuluh darah pulmonum yang sering disertai trombosis
dan emboli yang luas ke otak, jantung, saluran pencernaan, kulit, ginjal,
hati pada sepertiga pasien. Pasien meninggal kira-kira dalam 7 sampai hari
(Rudolph, 2010).
Pasien yang menderita penyakit parenkim paru kronis dilaporkan
disertai oleh aspergilosis invasif yang kelihatannya lebih lambat dibanding
pada pasien yang mengalami imunodefisiensi. Pasien yang menderita
penyakit parenkim paru kronis lebih sering menderita infiltrat pulmonum
dengan rongga, batuk berdahak,dan demam (Rudolph, 2010).
Invasi ke sistem saraf pusat dengan sumbatan pembuluh darah
menimbulkan infark otak. Pada pasien yang tidak mengalami masalah
kekebalan, aspergilosis sistem saraf saraf sering berupa abses otak yang
menampakkan daerah nekrosis, hifa dan jaringan granulasi bila
didrainase (Rudolph, 2010).
Aspergilus bisa tumbuh sebagai saprofit yang tidak berbahaya di
serumen meatus auditorius eksternus. Sinus paranasal, terutama sinus
maksilaris, dapat dihuni oleh berbagai spesies Aspergillus. Drainase atau
kuret cukup memadai untuk menyembuhkan pasien ini. Kadang-kadang
jamur bersifat invasif dan meluas ke jaringan disekitarnya. Hal itu bisa
mengikis tulang dan menyebar ke mata atau otak. Komplikasi sinusitis
Aspergillus ini paling umum terjadi pada pasien dengan leukemia akut
yang kambuh (Rudolph, 2010).
Inhalasi spora Aspergillus bisa menimbulkan alveolitis alergika
ekstrinsik, sementara aspergilosis bronkopneumoni alergika dapat
ditimbulkan dari kolonisasi hifa di saluran bronkopulmonum. Hirupan
spora Aspergillus dapat menyebabkan dispnea, mengi, batuk, ronkhi, dan
mialgia. Sinar X dada bisa memperlihatkan infiltrat nodular. Pajanan
65

akibat pekerjaan dan hirupan sejumlah besar spora Aspergillus pada orang
yang merawat burung, yang membersihkan bulu hewan, dan petani sering
dikaitkan dengan bentuk aspergilus alergik ini (Rudolph, 2010).
Sensitisasi mukosa bronkopulmonum oleh antigen Aspergillus,
terutama hifa, dapat menimbulkan keluhan pulmonum klinis yang berat,
termasuk asma, spasme bronkus dan bronkiektasis berkantong. Juga dapat
terjadi fibrosis pulmonum (Rudolph, 2010).

Penatalaksanaan
Amfoterisin B dengan dosis 0,5-1,0 mg/kg/hari. Setelah terapi berhasil
dengan terjadi respons positif, obat dapat diberikan selang sehari. Dosis
total optimal belum ditetapkan, tetapi mungkin lebih dari 2g. Respons obat
mungkin tidak adekuat pada pasien yang mengalami invasi vaskular
disertai kematian jaringan dan nekrosis; lesi demikian harus dieksisi secara
bedah. Hal serupa, lesi yang terlokalisir (atau aspergiloma) harus dibuang
secara operasi. Terapi antibiotik biasanya tidak efektif dan obat anti jamur
lain seperti mikonazol dan ketokonazol tidak efektif untuk infeksi ini.
Pasien yang tidak berespons dengan terapi obat mungkin memerlukan
reseksi secara bedah untuk lesi yang ter- lokalisasi. Diagnosis dan
pengobatan dini dengan amfoterisin B penting pada pasien AIDS, yang
bila terjadi aspergilosis diseminata prognosisnya kurang baik. Itrakonazol
bisa berguna untuk meng obati pasien yang tidak tahan amfoterisin B dan
juga untuk supres jangka panjang. spergilosis bronkopulmonum alergika
biasanya diobati dengan prednison 0,5 mg/kg/hari selama 14 hari.
Kemudian obat diberikan selang sehari sampai kadar IgE pasien turun ke
titer yang sesuai. Kemudian steroid diturunkan perlahan-lahan (Rudolph,
2010).

Anak dapat diserang infeksi Candida saat lahir. Kelainan ini muncul
urunahampir selalu disebabkan oleh kelainan kekebalan. Infeksi dapat juga
biasanya terbatas di kulit atau membran mukosa, dan diakibatkan oleh
kerusakan mekanik atau penurunan kekebalan tubuh. Kulit intertigo yang
basah dan mengalami maserasi menyebabkan Candida menginfeksi daerah
66

tersebut. Thrush (Candida pharyngostomatitis) atau vaginitis biasanya


terbatas padaorang yang diberi antibiotik sistemik, kurang gizi atau yang
menderita masalah kekebalan lain. Kandidiasis mukokutan terjadi pada
pasien dengan defek kekebalan yang diperantarai sel yang herediter, dan
kandidiasis progresif invasif terjadi pada orang yang sangat terganggu
kekebalannya (Rudolph, 2010).

Etiologi

Walaupun Candida albicans menyebabkan semua sindrom, Candida


tropicalis lebih sering menyebabkan penyakit invasif pada yang menderita
neutropenia dan leukemia. Seementara pada Candida tropicalis lebih
sering menyebabkan penyakit invasi pasien yang menderita netropenia dan
leukemia, sementara Candida parapsilosis lebih sering menginfeksi
kateter yang digunakan untuk pemberian makanan parenteral secara total
dan katup jantung pada pecandu obat. Candida krusei dan Candida
pseudotropicalis menyebabkan sepsis pada pasien dengan neoplasma atau
pasien dengan kateter intravena (Rudolph, 2010).

Patogenesis
Penurunan kekebalan yang diperantarai sel menjadikan pasien lebih
rentan terhadap pertumbuhan berlebih setempat dan invasi oleh Candida
ke kulit dan membran mukosa, tetapi kesalahan fungsi leukosit
polimorfonuklear menyebabkan invasi yang dalam dan penyebaran
melalui aliran darah. Ini biasanya akibat kemoterapi yang menyebabkan
netropenia, tetapi bisa juga akibat defek spesifik netrofil. Selain itu, kateter
tetap bisa menjadi predisposisi sehingga pasien menderita infeksi berat.
Kateter kandung kemih menyebabkan kolonisasi kandung kemih, yang
dapat langsung naik ke ginjal. Kateter intravena merupakan jalan masuk ke
aliran darah dan ini akan diikuti oleh diseminasi. Penyakit invasif dan
diseminata telah ditemukan pada neonatus dengan atau tanpa faktor
predisposisi. Diabetes melitus meningkatkan kerentanan terhadap
kandidiasis dikulit setempat, membran mukosa, dan saluran kemih etapi
belum pasti apakah hal ini disebabkan oleh menurunnya fungsi netrofil
67

atau meningkatnya glukosa yang tersedia, yang merupakan makanan


utama Candida. Meningkatnya glikogen yang ada di sekret vagina pada
perempuan hamil dianggap merupakan meningkatnya kolonisasi saat
hamil (Rudolph, 2010).

Manifestasi klinis
Sepsis neonatorum
Sumber infeksi bisa dari kateter IV yang memasuki ginjal atau organ
lain, yang memerlukan terapi sistemik disertai pencopotan kateter. Sumber
lain termasuk ginjal dan saluran gastrointestinalis. Ada penemuan klinis
tertentu yang menunjukkan Candida sebagai penyebab sepsis. Mialgia
berat beserta beberapa lesi nodul kulit telah ditemukan pada pasien,
biasanya yang menderita leukemia. Lesi biasanya berbentuk papula tetapi
bisa terjadi vesikel, bulla dan tukak. Sepsis Candida kadang-kadang dapat
didiagnosis melalui aspirasi atau biopsi sebelum lesi itu jadi tukak untuk
menghindari kontaminasi dengan organisme kulit (Rudolph, 2010).
Candida albicans menjadi penyebab sepsis pada neonatus, Faktor
risikonya adalah prematuritas dan berat lahir rendah, pemberian antibiotik
spektrum luas, nutrisi parenteral dan intubasi. Vaginitis Candida berat pada
ibu sepsis dapat juga menyebabkan sepsis neonatorum. Kaitan dengan
meningitis atau artritis meningkat. Kandidiasis
intrauterinyangmenyebabkan kandidasis kulit kongenital (Rudolph, 2010).

Stomatofaringitis
Sindrom ini biasanya terjadi pada pasien dengan masalah kekebalan,
termasuk anak yang lemah, atau yang menerima terapi antibiotik lama.
Namun, hal ini tidak memerlukan pemeriksaan imunolog, kecuali pasien
tidak berespons dengan pengobatan (Rudolph, 2010).
Esofangitis
Pejamu dengan kekebalan bermasalah hampir selalu merupakan
predisposisi untuk esofagitis Candida. Keluhan pertama pasien adalah rasa
tusukan dan nyeri di daerah substernum saat menelan Bayi
68

memperlihatkan tidak mau makan dan muntah. Mungkin disertai oleh


stomatofaringitis. Diagnosis spesifik dapat dibuat melalui pencucian,
dengan atau tanpa biopsi, apusan dan biakan, atau histopatologi. Menelan
barium biasanya pertamakali menampakkan penurunan gerakan esofagus
dan berikutnya pertukakan, tetapi hal ini tidak spesifik, karena esofagitis
bakteri dan herpes simpleks dapat memperlihatkan gambaran yang sama.
Hasil penelanan barium malah bisa normal di awal penyakit. Kalau pasien
menderita kekebalan bermasalah yang berat disertai trombositopenia dan
leukopenia esofagoskopi adalah kontraindikasi, dan karena esofagogram
bisa normal (Rudolph, 2010).
Gastrointestinalis
Invasi dan pertukakan gastrointestinalis di bawah esofagus teriadi
pada pasien tipe yang sama seperti esofagitis. Biasanya tidak ada keluhan
dan biasanya terdiagnosis pada pemeriksaan postmortem. Kadang-kadang
terjadi perdarahan gastrointestinal dari ulkus dan jarang terjadi diare.
Pewarnaan Gram tinja dapat memperlihatkan sejumlah dan hifa semu, dan
tidak adanya flora usus normal (Rudolph, 2010).
Sistisis dan Pielonefritis
Infeksi traktus urinarius karena Candida umum terjadi dan biasanya
terjadi pada pasien dengan kekebalan bermasalah. Kateter yang terlalu
lama pada kandung kemih dan terapi antibiotik yang lama sering
merupakan faktor predisposisi sistitis Candida. Sistitis biasanya tanpa
gejala, tetapi mungkin disertai oleh uretritis dan disuria. Kadang-kadang
ulserasi mukosa dan plak putih terlihat di meatus uretra. Menghentikan
antibiotik, mengeluarkan kateter diperlukan untuk mengatasi kelainan ini.
Biasanya pasien kateter kandung kemih tetap mendapat terapi antibiotik
yang lama, dan menderita sistitis Candida. Jumlah kandida dalam urine
meningkat jelas sampai terlihat bintik putih kecil ini, menyatakan bahwa
terjadi bola jamu Candida Bola ini bisa menahan aliran urine
dipersambungan kandung kemih dan ureter atau di atasnya dan
menimbulkan gagal ginjal (Rudolph, 2010).
Kandidiasis kulit
69

Kandidiasis kulit bersifat jinak, mengenai yang basah dan melunak di


daerah tertentu seperti perineum pada yang bayi atau penderita diabetes
dan daerah intertrigo pada orang gemuk. Sampai 10% bayi menderita
penyakit ini (udia puncak 2-4 bulan), yang tampak sebagai lesi eritematosa
(jarang vesikular), dan mengelupas. Lesi dapat menyatu atau membentuk
lesi satelit dan eterutama tampak di daerah intertrigo dan perineum. Kuku
jari yangt erkena dapat menjadi infeksi yang tersembunyi dan menetap,
dengan jaringan granulomatosa kering yang bertumbuh ke atas yang
terdapat disekitar dan atas kuku. Setelah usia 6 bulan, infeksi kulit
candidiasis harus dilakukan pencarian kelainan kekebalan serta endokrin
yang mendasari (atau keduanya). (Rudolph, 2010).
Kandidiasis mukokutan kronis
kekebalan herediter sel T dan fagositmononuklear. Pasien bisa
memperlihatkan defisiensi kelenjar endokrin, biasanya setelah muncul
infeksi Candida, jarang sebelumnya. Biasanya terjadi kegagalan tiroid atau
paratiroid serta fungsi pankreas dan adrenal juga dilaporkan. Keadaan ini
buka kandidiasis, bisa menyebabkan kematian dan para dokter harus selalu
mempertimbangkan pemeriksaan fungsi endokrin bila lesi kulit menetap.
Manifestasi klinis merupakan salah satu infeksi menetap yang tersembunyi
pada membran mukosa (mulut dan vagina), kulit (kening dan kulit kepala)
dan kuku. Esofagitis yan bersifat melemahkan bisa juga terjadi dan hal itu
merupakan asal infeksi bakteri yang mengancam kehidupan (Rudolph,
2010).

Endokarditis
Hal ini jarang, kecuali setelah operasi jantung terutama dengan
pemasangan katup buatan, atau pada pemakai narkotik secara intravena.
Gejala dan tanda penyakit mirip dengan endokarditis yang disebabkan oleh
mikroorganisme lain, kecuali bahwa vegetasi dan emboli biasanya besar,
dan pembuluh darah besar cenderung tersumbat, sering terjadi
hemiparesis. Diagnosis dibuat dengan biakan darah atau kadang-kadang
dengan embolektomi (Rudolph, 2010).
Meningitis
70

Meningitis jarang, dan biasanya terlihat pada neonatus atau pada


pejamu dengan kekebalan bermasalah. Gejala dan tanda penyakit biasanya
tidak terlihat dan dapat fulminan. Diagnosis dibuat melalui biakan cairan
serebrospinalis (Rudolph, 2010).
Oftalmitis
Terkenanya setiap bagian mata, terutama bilik anterior dan posterior,
hampir selalu dikaitkan dengan fungemia. Eksudat retina bisa tampak
bertambah banyak tiap hari dan dianggap sebagai indikasi pengobatan
dengan amfoterisin B. Harus dilakukan pencarian sumber fungemia
apabila terdapat eksudat tersebut (Rudolph, 2010).
Artritis
Artritis Candida juga memperlihatkan fungemia, sumbernya tidak
jelas; pada kebanyakan pasien kelihatannya disebabkan oleh kateter IV.
Diagnosis dibuat melalui aspirasi sendi dan pengobatannya adalah
amfoterisin B dengan sebanyak mungkin aspirasi untuk mengeringkannya
(Rudolph, 2010).
Pneumonitis
Peneumotitis Candida primer sangat jarang dan biasanya apabila
terjadi disebabkan oleh aspirasi sekret oral dengan koloni yang sangat
banyak pada individu yang sangat lemah. Lebih sering jamur mencapai
paru melaui aliran dan mencapai organ lain. Sputum biasanya negatif.
Kebanyakan biakan sputum positif memperlihatkan kolonisasi mulut dan
bahkan pencucian bronkus memperlihatkan organisme mulut dan bukan
organisme paru (Rudolph, 2010).
Keterlibatan organ-organ lain
Organ lain seperti hati, limpa, dan miokardium kadang-kadang dapat
terkena. Organ ini jarang terkena secara tersendiri tetapi biasanya menjadi
bagian dari infeksi diseminata (Rudolph, 2010).

Penatalaksanaan
Amfoterisin B adalah obat yang paling dipercaya untuk mengobati
infeksi Candida. Obat ini toksik tetapi dapat menyelamatkan jiwa dan
digunakan tanpa ragu kalau ada indikasi. Efek toksik sering kali dapat
71

dikontrol, dan biasanya pasien memperlihatkan toleransi terhadap


beberapa toksisitas obat seperti rasa dingin, demam, mual, dan muntah.
Perlu memberikan antihistamin (difenhidramin hidroklorida, 0,8 mg/kg
per oral), antipiretik, malah kortikosteroid dosis rendah (hidrokortison
0,5-1,0 mg/kg IV) sesaat sebelum memulai pemberian amfoterisin B
Jangan berikan kortikosteroid melalui cairan yang sama dengan
amfoterisin B. Azotemia, kekurangan kalium, dan magnesium sebagai
bagian asidosis tubulus ginjal yang disebabkan amfoterisin B akan
menetap selama terapi dan akan sangat membuat kerepotan. Harus
diberikan suplemen kalium awal 0,5 mEq/kg/hari, dan kalau perlu lebih
dari itu, berdasarkan pemeriksaan kadar kalium serum yang hatus sering
dilakukan. Manitol digunakan sebagai usaha menurunkan keracunan
ginjal. Juga berikan infus saline sebelum pemberian amfoterisin B. Juga
berikan menuru amfoterisin B yang dikatakan dapat menurunkan
keracunan. Biasanya fungsi ginjal kembali normal dalam beberapa
minggu sampai berbulan-bulan setelah terapi dihentikan tetapi kadanh
penurunan itu menetap. Peningkatan serum kreatinin tiga kali lipat atau
peningkatan tiga kali lipat nitrogen urea darah harusk dilakukan
penghentian terapi sementara sampai fungsi ginjal men kembali baik.
Produksi eritrosit berkurang oleh terapi amfoterisin B dan perlu
pemberian transfusi. Pansitopenia dan keracunan hati merupakan efek
toksik yang jarang, yang memerlukan penghentian atau penurunan dosis
obat. Efek samping obat yang mengganggu adalah flebitis; heparin
(larutan 500-1000 U/L) telah dipakai untuk mencegah hal ini. Resistensi
terhadap amfoterisin B elah ditemukan pada strain Candida tropicalis
dan Candida lusitanea. Pada nfeksi yang mengancam jiwa, semua kuman
yang diisolasi harus diuji dan beberapa obat diperkirakan resisten kalau
ditemukan Candida tropicalis dan Candida lusitanea. Amfoterisin B
dalam suspensi dengan liposom tampaknya kurang toksik, dan sekarang
sedang dilakukan penelitian efektifitas pembanding (Rudolph, 2010).
Obat Lain. 5-fluorositosin (5-FC) efektif untuk kebanyakan isolat
Candida, tetapi resistensi obat cenderung terjadi selama terapi. Hal ini
72

dapat dicegah dengan pemakaian 5-FC yang digabung dengan


amfoterisin secara hati-hati. 5-FC dikeluarkan melalui ginjal dan dosis
efektif biasanya 100-150 mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis. Obat bisa
bertumbuk akibat azotemia dan bisa menimbul depresi sumsum tulang
yang berat. Hitung darah putih dan trombosit harus dilakukan dua kali
seminggu. Dosis permulaan 100 mg/kg/hari secara teratur menghasilkan
kadar obat dalam darah yang adekuat untuk menghambat spesies
Candida. Kadar dalam darah harus dipantau dan dipertahankan diantara
25-50 ug/ml (Rudolph, 2010).
Klotrimazol yang diberikan per oral dengan dosis 20-50 mg/kg tid
mungkin kurang ditolerir dan bisa menimbulkan keluhan
gastrointestinalis yang hebat Lagi pula akibat induksi enzim yang
mempercepat katabolisme, kadar dalam serum akan turun di bawah kadar
kemoterapi yang efektif. Klotrimazol isap terbukti sangat efektif untuk
thrush (Rudolph, 2010).
Mikonazol dapat diberikan secara intravena dan juga topikal. Dosis
biasa 15-30 mg/kg/hari IV selama 2 jam dapat menimbulkan mual,
muntah, keracunan hati atau jantung. Terapi topikal dengan beragam
bentuk yang mengandung nistatin, klotrimazol, atau mikonazol adalah
efektif untuk infeksi lokal (Rudolph, 2010).
Ketokonazol mirip mikonazol tetapi dapat diberikan per oral. Karena
obat ini memerlukan keasaman untuk melarutkannya, jangan diberikan
dalam 2 jam setelah pemberian antasid, antikolinergik, atau obat
penghambat histamin. Keracunan hati yang berat telah dilaporkan akibat
obat ini dan jarang terjadi reaksi seperti mual, muntah, pusing, demam,
dan rasa dingin, atau pruritus penekanan hormon adrenal dan androgen
serta estrogen telah ddilaporkan. Dosis biasa adalah 3-6 mgkg sekali
sehari dengan pemberian minimal 1-2 minggu dan sampai infeksi
mereda. Pasien yang menderita kandidiasis mukokutan mungkin
memerlukan terapi pemeliharaan melalui mulut (Rudolph, 2010).
73

Flukonazol, suatu triazol baru, mudah diserap melalui mulut bahkan


tanpa asam dan disebarkan secara luas dalam cairan tubuh termasuk
cairan serebrospinal (Rudolph, 2010).
(4) Histoplasmosis
Etiologi
Histoplasmosis adalah penyakit sistemik yang paling umum dan
disebabkan oleh jamur Histoplasma capsulatum. Histoplasma
capsulatum adalah penghuni tanah yang ditemukan di seluruh zona
beriklim, yang sangat lazim terdapat di tanah yang mengandung
nitrogen tinggi seperti yang berkaitan dengan kotoran burung atau
kelelawar. Kandang anak ayam tenggeran merpati dan burung jalak,
dan gua tempatan kelelawar memberikan lingkungan optimal untuk
bertumbuh. Penyebaran spora yang infeksius melalui udara paling
sering terjadi selama cuaca kering saat tanah yang terinfeksi terganggu,
,seperti saat penggalian. Histoplasma capsulatum menginfeksi
kelelawar dan mamalia lain, tetapi tidak patogenik pada unggas
(Rudolph, 2010).
Histoplasma capsulatum adalah jamur dimorfik termal yang
bersifat saprofit, yang tumbuh sebagai ragi atau bentuk miselium,
bergantung pada temperatur. Seperti kebanyakan jamur patogen yang
terutama non oportunistik, bentuk ragi adalah bentuk yang memasuki
Jaringan. Histoplasma capsulatum tumbuh dengan baik dalam
sejumlah media laboratorium, termasuk media darah dan agar
dekstrosa Sabouraud (Rudolph, 2010).

Pemeriksaan mikroskopik pada fase miselium menampakkan hifa


vegetatif dengan makroaleuriospora yang tertutup dengan tuberkel,
struktur bulat, dengan tonjolan seperti jari yang menjadi tanda
pembeda pada Histoplasma capsulatum. Mikroaleuriospora lebih
lazim, lebih kecil, dan menonjol pada sudut kanan dari hifa. Keduanya,
baik makroaleuriospora maupun mikroaleuriospora menginfeksi
jaringan paru, mikroaleuriospora lebih efisien karena utnuk masuk ke
alveolus manusia lebih mudah (Rudolph, 2010).
74

Patogenesis
Pada infeksi primer, alveolitis terjadi setelah menghirup spora yang
infeksius; terjadi inokulasi kulit yang langsung tetapi keadaan tersebut
jarang. Selanjutnya terjadi penyebaran limfatik dari fokus pulmonum ke
nodus limfatikus regional dan diseminasi hematogen terutama ke organ
retikuloendotelial (misal, hati, limpa, sumsum tulang). Dalam beberapa
minggu, terbentuk kekebalan selular yang spesifik dan dikaitkan dengan
reaksi peradangan monositik dalam jaringan paru. Respons histologi dan
imunologi serupa dengan tuberkulosis, dengan terbentuknya tuberkulum
epitelioid dengan sel raksasa jenis Langhans, dan nekrosis perkejuan
sering terjadi. Lesi sembuh dengan berbagai derajat fibrosis dan
perkapuran. Antibodi yang beredar terjadi segera setelah infeksi, tetapi
tampaknya tidak bersifat melindungi. Kekebalan yang diperantarai sel
penting untuk menanggulangi infeksi aktif dan mencegah infeksi
kembali. Kekebalan yang diperantarai sel dan reaktivitas histoplasmin
menurun dengan berlalunya waktu, dan terjadi infeksi kembali.
Reaktivitas endogen juga terjadi, tetapi jauh lebih jarangdibanding
tuberkulosis (Rudolph, 2010).

Manifestasi klinis
Gambaran klinis histoplasmosis bervariasi. Kebanyakan orang
yang dikenai bersifat asimtomatis dan memperlihatkan hipersensitivitas
kulit lambat terhadap histoplasmin, yang merupakan filtrat biakan untuk
fase miselium H. capsulatum. Penemuan radiografi kadang-kadang
menunjukkan tuberkulosis primer yang sudah sembuh dengan parut
soliter atau multipel di lobus bagian bawah. Yang lebih jarang,t ampak
perkapuran multipel di hati atau limpa (Rudolph, 2010).
Penyakit simtomatik berkisar dari infeksi saluran pernapasan
ringan yang tidak khas yang sangat mirip influenza sampai bentuk yang
fatal. Hirupan primer sedikit inokulum spora umumnya tidak disertai
dengan gejala kecuali pada bayi dan anak kecil, yang bisa simptomatis
dan memperlihatkan batuk dengan atau tanpa demam dan keluhan
gastrointestinalis sepert mual, muntah, atau diare. Bercak infiltrat
75

ditemukan pada pemeriksaan sinar X dada. Gejala biasanya sembuh


tanpa terapi khusus dalam kurang dari 1 minggu. Gejala yang lebih lama
atau kemungkinan berat menunjukkan kemugkinan diseminata. Pasien
tertentu mengalami malaise, mialgia, sakit kepala, batuk tidak berdahak,
nyeri dada, dan demam. Derajat keracunan, tingginya demam dan
keparahan masalah paru beragam. Yang umum ditemukan meliputi
keluhan gastrointestinalis dengan mual, anoreksia, dan berat badan turun
(Rudolph, 2010).
Terkenanya pleura tidak umum terjadi dan tidak menunjukkan
diseminasi. Pada beberapa epidemi, manifestasi kulit termasuk eritema
nodosum dan eritema multiformis, terjadi. Penemuan fisik tidak
menonjol. Tanda pada paru tidak umum ditemukan dan biasanya terdiri
dari ronki basah. Pembesaran hati dan limpa ditemukan pada beberapa
pasien terutama anak atau orang dewasa yang terpajan dengan inokulum
spora yang banyak; hepatosplenomegal sering menunjukkan penyakit
diseminata. Kebanyakan pasien bersifat simtomatis selama kurang dari 1
minggu. Penemuan radiografi umumnya terdiri dari satu atau lebih
infiltrat tidak jelas yang sering disertai hilus. Infiltrat ini bergabung
setelah beberapa bulan dan seringkali mengapur. Komplikasi yang jarang
dari penyakit pulmonum akut termasuk sumbatan struktur mediastinum
(esofagus, bronkus atau trakea) yang disebabkan oleh pembesaran nodus
limfatikus. Suatu komplikasi yang lebih umum pada anak daripada orang
dewasa, perkarditis dan pembentukan granuloma mediastinum yang bisa
berlanjut membentuk penumpukan kolagen yang banyak (Rudolph,
2010).
Histoplasmosis diseminata adalah suatu manifestasi infeksi H
capsulatum yang tidak umum dan terjadi pada kurang dari 1 dalam 5000
pasien yang simtomatis. Seperti disebutkan, bayi yang benar-benar sehat
lebih mungkin mengalami penyakit diseminata. Pada bayi, umumnya.
diseminasi terjadi setelah penyakit paru aktif, dan perjalanannya
cenderung cepat memburuk. Demam, hepatomegali, berat badan dan
pneumonia sering ditemukan. Limfadenopati perifer bisa terjadi, dan
76

pansitopenia lebih sering ditemukan dari pada pasien dewasa (Rudolph,


2010).
Begitu diagnosis histoplasmosis diseminata dicurigai, biakan perlu
dilakukan. Biakan darah dan aspirat sumsum tulang positif pada 75%
pasien; mungkin juga biakan urine dan cairan serebrospinalis positif.
Materi biopsi hati, limpa, atau nodus limfatikus harus juga dibiakkan dan
juga untuk pemeriksaan histologi. Biakan lesi oral hampir selalu positif.
Tes serologi positif hanya pada separuh pasien. Pasien yang mengalami
kekebalan tertekan biasanya seronegatif (Rudolph, 2010).

Penatalaksanaan
Amfoterisin B tetap menjadi obat terpilih untuk histoplasmosis
diseminata akut yang mengancam jiwa pada anak. Bayi harus mendapat
dosis 1 mg/kgihari. Dosis kumulatif untuk anak belum ditetapkan, tetapi
orang dewasa umumnya diberikan 2 g. Pada pasien yang meningennya
tidak terkena atau yang tidak menderita penyakit akut dan mengancam
jiwa, antijamur azole, yaitu trakonazol dan ketokonazol tampaknya
efektif (Rudolph, 2010).

D. Infeksi protozoa
(1) Toksoplasmosis
Toksoplasmosis, suatu penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma
gondii, merupakan penyakit parasit pada hewan yang dapat ditularkan
ke manusia (Hiswani, 2005). Parasit ini merupakan golongan Protozoa
yang bersifat parasit obligat intraseseluler. Menurut Wiknjosastro
(2007), toksoplasmosis menjadi sangat penting karena infeksi yang
terjadi pada saat kehamilan dapat menyebabkan abortus spontan atau
kelahiran anak yang dalam kondisi abnormal atau disebut sebagai
kelainan kongenital seperti hidrosefalus, mikrosefalus, iridosiklisis dan
retardasi mental (Cunningham, 2013).
Morfologi
Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler,
terdapat dalam tiga bentuk yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista
77

(berisi bradizoit) dan ookista (berisi sporozoit) (Hiswani, 2005).


Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit dengan ujung yang runcing
dan ujung lain agak membulat. Ukuran panjang 4-8 mikron, lebar 2-4
mikron dan mempunyai selaput sel, satu inti yang terletak di tengah
bulan sabit dan beberapa organel lain seperti mitokondria dan badan
golgi (Sasmita, 2006). Bentuk ini terdapat di dalam tubuh hospes
perantara seperti burung dan mamalia termasuk manusia dan kucing
sebagai hospes definitif. Takizoit ditemukan pada infeksi akut dalam
berbagai jaringan tubuh. Takizoit juga dapat memasuki tiap sel yang
berinti (Cunningham, 2013).
Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah
telah membentuk dinding. Ukuran kista berbeda-beda, ada yang
berukuran kecil hanya berisi beberapa bradizoit dan ada yang
berukuran 200 mikron berisi kira-kira 3000 bradizoit. Kista dalam
tubuh hospes dapat ditemukan seumur hidup terutama di otak, otot
jantung, dan otot bergaris. Di otak bentuk kista lonjong atau bulat,
tetapi di dalam otot bentuk kista mengikuti bentuk sel otot
(Cunningham, 2013).
Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 mikron.
Ookista mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang membelah
menjadi dua sporoblas. Pada perkembangan selanjutnya ke dua
sporoblas membentuk dinding dan menjadi sporokista. Masing-
masing sporokista tersebut berisi 4 sporozoit yang berukuran 8 x 2
mikron dan sebuah benda residu. Toxoplasma gondii dalam klasifikasi
termasuk kelas Sporozoasida, berkembang biak secara seksual dan
aseksual yang terjadi secara bergantian (Cunningham, 2013).

Siklus hidup
Daur hidup T. gondii melalui dua siklus yaitu siklus enteroepitel
dan siklus ekstraintestinal. Siklus enteroepitelial di dalam tubuh
hospes definitif seperti kucing. Siklus ekstraintestinal pula di dalam
tubuh hospes perantara seperti manusia, kambing dan domba. Pada
78

siklus ekstraintestinal, ookista yang keluar bersama tinja kucing belum


bersifat infektif. Setelah mengalami sporulasi, ookista akan berisi
sporozoit dan menjadi bentuk yang infektif. Manusia dan hospes
perantara lainnya akan terinfeksi jika tertelan bentuk ookista tersebut.
Di dalam ileum, dinding ookista akan hancur sehingga sporozoit
bebas. Sporozoit-sporozoit ini menembus mukosa ileum dan
mengikuti aliran darah dan limfa menuju berbagai organ tubuh seperti
otak, mata, hati dan jantung (Cunningham, 2013).
Sporozoit bebas akan membentuk pseudokista setelah berada dalam
sel organ-organ tersebut. Pseudokista tersebut berisi endozoit atau
yang lebih dikenal sebagai takizoit. Takizoit akan membelah,
kecepatan membelah takizoit ini berkurang secara berangsur
kemudian terbentuk kista yang mengandung bradizoit. Bradizoit
dalam kista biasanya ditemukan pada infeksi menahun (infeksi laten)
(Cunningham, 2013).

Cara penularan
Manusia dapat terinfeksi oleh T. gondii dengan berbagai cara. Pada
toksoplasmosis kongenital, transmisi toksoplasma kepada janin terjadi
melalui plasenta bila ibunya mendapat infeksi primer waktu hamil.
Pada toksoplasmosis akuista, infeksi dapat terjadi bila makan daging
mentah atau kurang matang ketika daging tersebut mengandung kista
atau trofozoit T. gondii. Tercemarnya alat-alat untuk masak dan tangan
oleh bentuk infektif parasit ini pada waktu pengolahan makanan
merupakan sumber lain untuk penyebaran T. gondii (Cunningham,
2013).
Pada orang yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi bila
ookista yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan. Kontak yang
sering terjadi dengan hewan terkontaminasi atau dagingnya, dapat
dihubungkan dengan adanya prevalensi yang lebih tinggi di antara
dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan, pekerja di rumah potong
hewan dan orang yang menangani daging mentah seperti juru masak
79

(Chahaya, 2003). Juga mungkin terinfeksi melalui transplantasi organ


tubuh dari donor penderita toksoplasmosis laten kepada resipien yang
belum pernah terinfeksi T. gondii. Infeksi juga dapat terjadi di
laroratorium pada orang yang bekerja dengan binatang percobaan
yang diinfeksi dengan T. gondii yang hidup. Infeksi dengan T. gondii
juga dapat terjadi waktu mengerjakan autopsy (Cunningham, 2013).

Patogenesis Toksoplasmosis (Cunningham, 2013)

Patogenesis
Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan terjadi proses
yang terdiri dari tiga tahap yaitu parasitemia, di mana parasit
menyerang organ dan jaringan serta memperbanyak diri dan
menghancurkan sel-sel inang. Perbanyakan diri ini paling nyata terjadi
80

pada jaringan retikuloendotelial dan otak, di mana parasit mempunyai


afinitas paling besar. Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua
setelah terjadinya infeksi. Tahap ketiga rnerupakan fase kronik,
terbentuk kista-kista yang menyebar di jaringan otot dan saraf, yang
sifatnya menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal.
Infeksi primer pada janin diawali dengan masuknya darah ibu yang
mengandung parasit tersebut ke dalam plasenta, sehingga terjadi
keadaan plasentitis yang terbukti dengan adanya gambaran plasenta
dengan reaksi inflamasi menahun pada desidua kapsularis dan fokal
reaksi pada vili. Inflamasi pada tali pusat jarang dijumpai.Kemudian
parasit ini akan menimbulkan keadaan patologik yang manifestsinya
sangat tergantung pada usia kehamilan.

Manifestasi klinis
Pada garis besarnya sesuai dengan cara penularan dan gejala
klinisnya, toksoplasmosis dapat dikelompokkan atas: toksoplasmosis
akuisita (dapatan) dan toksoplasmosis kongenital. Baik
toksoplasmosis dapatan maupun kongenital, sebagian besar
asimtomatis atau tanpa gejala. Keduanya dapat bersifat akut dan
kemudian menjadi kronik atau laten. Gejalanya nampak sering tidak
spesifik dan sulit dibedakan dengan penyakit lain. Toksoplasmosis
dapatan biasanya tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala.
Tetapi bila seorang ibu yang sedang hamil mendapat infeksi primer,
ada kemungkinan bahwa 50% akan melahirkan anak dengan
toksoplasmosis kongenital. Gejala yang dijumpai pada orang dewasa
maupun anak-anak umumnya ringan. Gejala klinis yang paling sering
dijumpai pada toksoplasmosis dapatan adalah limfadenopati dan rasa
lelah, disertai demam dan sakit kepala (Cunningham, 2013).
Pada infeksi akut, limfadenopati sering dijumpai pada kelenjar
getah bening daerah leher bagian belakang. Gejala tersebut di atas
dapat disertai demam, mialgia dan malaise. Bentuk kelainan pada kulit
akibat toksoplasmosis berupa ruam makulopapuler yang mirip
81

kelainan kulit pada demam titus, sedangkan pada jaringan paru dapat
terjadi pneumonia interstisial (Cunningham, 2013).
Gambaran klinis toksoplasmosis kongenital dapat bermacam-
macam. Ada yang tampak normal pada waktu lahir dan gejala
klinisnya baru timbul setelah beberapa minggu sampai beberapa
tahun. Ada gambaran eritroblastosis, hidropsfetalis dan triad klasik
yang terdiri dari hidrosefalus, korioretinitis dan perkapuran
intrakranial atau tetrad sabin yang disertai kelainan psikomotorik
(Gandahusada, 2003). Toksoplasmosis kongenital dapat menunjukkan
gejala yang sangat berat dan menimbulkan kematian penderitanya
karena parasit telah tersebar luas di berbagai organ penting dan juga
pada sistem saraf penderita (Cunningham, 2013).
Gejala susunan syaraf pusat sering meninggalkan gejala sisa,
misalnya retardasi mental dan motorik. Kadang-kadang hanya
ditemukan sikatriks pada retina yang dapat kambuh pada masa anak-
anak, remaja atau dewasa. Korioretinitis karena toksoplasmosis pada
remaja dan dewasa biasanya akibat infeksi kongenital. Akibat
kerusakan pada berbagai organ, maka kelainan yang sering terjadi
bermacam-macam jenisnya (Cunningham, 2013).
Kelainan pada bayi dan anak-anak akibat infeksi pada ibu selama
kehamilan trimester pertama, dapat berupa kerusakan yang sangat
berat sehingga terjadi abortus atau lahir mati, atau bayi dilahirkan
dengan kelainan seperti ensefalomielitis, hidrosefalus, kalsifikasi
serebral dan korioretinitis. Pada anak yang lahir prematur, gejala klinis
lebih berat dari anak yang lahir cukup bulan, dapat disertai
hepatosplenomegali, ikterus, limfadenopati, kelainan susunan syaraf
pusat dan lesi mata (Cunningham, 2013).

Penegakan diagnosis
Diagnosis infeksi protozoa ini dilakukan dengan mendapatkan
antibodi IgM dan IgG anti T. gondii dalam tes serologi (Hiswani,
2005). Untuk memastikan diagnosis toksoplasmosis kongenital pada
82

neonatus perlu ditemukan zat anti IgM. Tetapi zat anti IgM tidak
selalu dapat ditemukan. Zat anti IgM cepat menghilang dari darah,
walaupun kadang-kadang dapat ditemukan selama beberapa bulan
(Cunningham, 2013).
Bila tidak dapat ditemukan zat anti IgM, maka bayi yang tersangka
menderita toksoplasmosis kongenital harus di follow up. Zat anti IgG
pada neonatus yang secara pasif didapatkan dari ibunya melalui
plasenta, berangsur-angsur berkurang dan menghilang pada bayi yang
tidak terinfeksi T. gondii. Pada bayi yang terinfeksi T. gondii, zat anti
IgG mulai dibentuk sendiri pada umur 4-6 bulan, dan pada waktu ini
titer zat anti IgG naik (Cunningham, 2013).
Untuk memastikan diagnosis toksoplasmosis akuista, tidak cukup
bila hanya sekali menemukan titer zat anti IgG T. gondii yang tinggi,
karena titer zat anti T. gondii yang ditemukan dengan tes-tes tersebut
diatas dapat ditemukan bertahun-tahun dalam tubuh seseorang.
Diagnosis toksoplasmosis akut dapat dibuat, bila titer meninggi pada
pemeriksaan kedua kali dengan jangka waktu 3 minggu atau lebih atau
bila ada konversi dari negatif ke positif. Diagnosis juga dapat
dipastikan bila ditemukan zat anti IgM, disamping adanya titer tes
warna atau tes IFA yang tinggi (Cunningham, 2013).

Pencegahan
Diagnosis infeksi protozoa ini dilakukan dengan mendapatkan
antibodi IgM dan IgG anti T. gondii dalam tes serologi (Hiswani,
2005). Untuk memastikan diagnosis toksoplasmosis kongenital pada
neonatus perlu ditemukan zat anti IgM. Tetapi zat anti IgM tidak
selalu dapat ditemukan. Zat anti IgM cepat menghilang dari darah,
walaupun kadang-kadang dapat ditemukan selama beberapa bulan
(Cunningham, 2013).
Bila tidak dapat ditemukan zat anti IgM, maka bayi yang tersangka
menderita toksoplasmosis kongenital harus di follow up. Zat anti IgG
pada neonatus yang secara pasif didapatkan dari ibunya melalui
83

plasenta, berangsur-angsur berkurang dan menghilang pada bayi yang


tidak terinfeksi T. gondii. Pada bayi yang terinfeksi T. gondii, zat anti
IgG mulai dibentuk sendiri pada umur 4-6 bulan, dan pada waktu ini
titer zat anti IgG naik (Cunningham, 2013)..
Untuk memastikan diagnosis toksoplasmosis akuista, tidak cukup
bila hanya sekali menemukan titer zat anti IgG T. gondii yang tinggi,
karena titer zat anti T. gondii yang ditemukan dengan tes-tes tersebut
diatas dapat ditemukan bertahun-tahun dalam tubuh seseorang.
Diagnosis toksoplasmosis akut dapat dibuat, bila titer meninggi pada
pemeriksaan kedua kali dengan jangka waktu 3 minggu atau lebih atau
bila ada konversi dari negatif ke positif. Diagnosis juga dapat
dipastikan bila ditemukan zat anti IgM, disamping adanya titer tes
warna atau tes IFA yang tinggi (Cunningham, 2013).
3. Masalah pada pelayanan kesehatan terhadap faktor resiko infeksi neonatus
Pelayanan kesehatan maternal dan neonatal merupakan salah satu unsur
penentu status kesehatan. Pelayanan kesehatan neonatal dimulai sebelum bayi
dilahirkan, melalui pelayanan kesehatan yang diberikan kepada ibu hamil.
Pertumbuhan dan perkembangan bayi periode neonatal merupakan periode
yang paling kritis karena dapat menyebabkan kesakitan dan kematian bayi.
Setiap tahun diperkirakan 4 juta bayi meninggal pada bulan pertama
kehidupan dan dua pertiganya meninggal pada minggu pertama. Penyebab
utama kematian pada minggu pertama kehidupan adalah komplikasi
kehamilan dan persalinan seperti asfiksia, sepsis dan komplikasi berat lahir
rendah. Kurang lebih 98% kematian ini terjadi di negara berkembang dan
sebagian besar kematian ini dapat dicegah dengan pencegahan dini dan
pengobatan yang tepat. (WHO, 2003.)
Berdasarkan data World Health Organization (WHO), setiap tahunnya
kira-kira 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi baru lahir di dunia mengalami
asfiksia, hampir satu juta bayi ini meninggal. Survei WHO tahun 2002 dan
2004 menyebutkan bahwa sekitar 23% seluruh kematian neonatal disebabkan
oleh asfiksia dengan proporsi lahir mati yang lebih besar. (Arixs, 2006)
Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
84

2007 angka kematian bayi sebesar 34 kematian/1000 kelahiran hidup. Angka


kematian bayi ini sebanyak 47% meninggal pada masa neonatal, setiap lima
menit terdapat satu neonatus yang meninggal. Adapun penyebab kematian
bayi baru lahir di Indonesia, salah satunya asfiksia yaitu sebesar 27% yang
merupakan penyebab ke-2 kematian bayi baru lahir setelah Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR). (Depkes. RI, 2008) Berdasarkan Profil Dinas Kesehatan
Pemerintah Aceh tahun 2010 angka kematian bayi di Aceh berkisar 37/ 1.000
kelahiran hidup, dengan jumlah kematian neonatal 655 jiwa. Penyebab
kematian karena asfiksia sebanyak 180 jiwa, BBLR sebanyak 178 jiwa,
infeksi sebanyak 14 jiwa, tetanus sebanyak 4 jiwa dan lain-lain 279 jiwa.
Data dari Rumah Sakit Ibu dan Anak Pemerintah Aceh tahun 2010, jumlah
kasus bayi baru lahir dengan asfiksia sebanyak 62 kasus, dan jumlah
kematian bayi karena asfiksia dan komplikasi lainnya sebanyak 10 jiwa.
Asfiksia termasuk dalam bayi baru lahir dengan risiko tinggi karena
memiliki kemungkinan lebih besar mengalami kematian bayi atau menjadi
sakit berat dalam masa neonatal. Asfiksia adalah keadaan bayi baru lahir
tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur. Asfiksia atau gagal nafas
dapat menyebabkan suplai oksigen ke tubuh menjadi terhambat, jika terlalu
lama membuat bayi menjadi koma, walaupun sadar dari koma bayi akan
mengalami cacat otak. Kejadian asfiksia jika berlangsung terlalu lama dapat
menimbulkan perdarahan otak, kerusakan otak dan kemudian keterlambatan
tumbuh kembang. Asfiksia juga dapat menimbulkan cacat seumur hidup
seperti buta, tuli, cacat otak dan kematian. Oleh karena itu asfiksia
memerlukan intervensi dan tindakan yang tepat untuk meminimalkan
terjadinya kematian bayi, yaitu pelaksanaan manajemen asfiksia pada bayi
baru lahir yang bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi
dan membatasi gejala sisa berupa kelainan neurology yang mungkin muncul,
dengan kegiatan yang difokuskan pada persiapan resusitasi, keputusan
resusitasi bayi baru lahir, tindakan resusitasi, asuhan pasca resusitasi, asuhan
tindak lanjut pasca resusitasi dan pencegahan infeksi. (Depkes.RI, 2008).
Kematian bayi baru lahir lebih banyak disebabkan secara intrinsik
dengan kesehatan ibu dan perawatan yang diterima sebelum, selama dan
85

setelah persalinan. Demikian halnya dengan asfiksia bayi baru lahir pada
umumnya disebabkan oleh manajamen persalinan yang tidak sesuai dengan
standar dan kurangnya kesadaran ibu untuk memeriksakan kehamilannya ke
tenaga kesehatan, kurangnya asupan kalori dan nutrisi pada saat masa
kehamilan juga dapat mengakibatkan terjadinya asfiksia. Hampir tiga per
empat dari semua kematian bayi baru lahir dapat dicegah apabila ibu
mendapatkan nutrisi yang cukup, pelayanan antenatal yang berkualitas,
asuhan persalinan normal dan pelayanan kesehatan neonatal oleh tenaga
kesehatan yang profesional. Untuk menurunkan kematian bayi baru lahir
karena asfiksia, persalinan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
memiliki kemampuan dan keterampilan manajemen asfiksia pada bayi baru
lahir karena kemampuan dan keterampilan ini digunakan setiap kali
menolong persalinan. (Leonardo, 2008).
Tingginya kasus kematian bayi akibat asfiksia salah satunya bisa
diakibatkan karena kurangnya pengetahuan dan ketrampilan bidan dalam
penanganan asfiksia pada bayi baru lahir. Untuk mengurangi angka kematian
tersebut dibutuhkan pelayanan antenatal yang berkualitas, asuhan persalinan
normal dan pelayanan kesehatan neonatal oleh bidan yang berkompeten
terutama memiliki pengetahuan dan keterampilan manajemen asfiksia pada
bayi baru lahir ( Depkes, RI, 2008).
4. Kelainan syaraf pada neonatus
Gangguan perkembangan susunan saraf pusat
a. Proses perkembangan induksi dorsal
Periode terjadinya proses perkembagan ini adalah pada masa
gestasi ke 3 dan ke 4. Perkembangan SSP dimulai dengan
pembentukan lempeng saraf dari lapisan tengah ektoderm. Kemudian
sisi lateral lempeng melekuk, dan menonjol, lalu menutup di bagian
dorsal dengan membentuk tabung saraf. Penutupan tabung saraf ini
diawali dengan di bagian medulla, selanjutnya dengan cepat menuju
kearah sefal dan kaudal. Proses ini berlangsung karena induksi oleh
lapisan mesoderm notokorda dan mesoderm korda di bawahnya. Di
samping itu jaringan saraf sendiri menginduksi lapisan mesenkim
86

sekitarnya terhadap pembentukan kerangka, vertebra, dan tengkorak


secara aksial (Markum, 2005).
Bagian kelainan anatomik akan dijumpai bila terjadi gangguan
pada masa induksi yang kritis ini. Berikut diajukan kelainan kongenital
tersebut yang ditulis dengan urutan berat anomalinya:

1) Kraniorakiskizis total
Perkembangan terhenti pada tingkat lempeng saraf. Tabung saraf
tidak terbentuk sama sekali atau rudimenter. Tengkorak, vertebra,
dan kulit tidak menutupi lesi; hanya terdapat jaringan pembuluh
darah meningen yang memisahkan jaringan saraf dengan
lingkungan luar. Kelainan ini jarang terjadi, biasanya bayi lahir
mati atau mati dini (Markum, 2005).

2) Anensefali
Perkembangan terhenti secara dini pada tingkat penutupan tabung
saraf anterior. Kerusakan anatomi dapat mengenai:
(1) hanya hemisfer otak
(2) hemisfer otak dengan diensefalon dan mesensefalon, atau
(3) jaringan otak, diensefalon, miensefalon dengan serebelum,
batang otak, dan bahkan medulla spinalis, jadi hampir sama
dengan kraniorakiskizis. Jaringan saraf rudimenter hanya
nampak sebagai jaringan pembuluh darah yang mengandung
elemen neuron dan glia, serta pleksus koroid. Selain itu terlihat
kelainan sekunder pada tulang tengkorak, seperti tiadanya
tulang frontal, parietal, dan bagian tulang oksipital. Bayi
umumnya meninggal pada umur beberapa hari. Serupa dengan
mielomeningokel dan hidrosefalus kongenital, anomali
anensefali merupakan kelainan herediter (Markum, 2005).
87

3) Mieloskizis
Perkembangan embriologi terhenti pada proses penutupan bagian
posterior tabung saraf. Penampilan medulla spinalis hanya berupa
lempeng saraf yang dilapisi oleh jaringan ikat penuh mengandung
pembuluh darah. Kolumna vertebralis tidak terbentuk, lapisan
penutup meningovaskular nampak sebagai permukaan yang licin
dan halus. Jaringan saraf mungkin mengandung elemen saraf yang
sudah terorganisasi, khususnya pada bagian ventral. Namun
organisasi elemen saraf di bagian dorsal tidak teratur. Bayi
biasanya memiliki berbagai defisit neurologi yang parah dan
biasanya meninggal dalam usia beberapa hari akibat infeksi
(Markum, 2005).
4) Mielomeningokel dengan atau tanpa ensefalokel
Kelainan perkembangan terjadi pada proses penutupan bagian
posterior saraf, yaitu tahap akhir ketika terjadi pergerakan aksial
kearah sefal dan kaudal. Karena itu sebagian besar
mielomeningokel terdapat di daerah lumbal dan lumbosakral,
sedangkan ensefalokel di daerah oksipital (Markum, 2005).
5) Spina bifida okulta
Perkembangan terhenti pada tahap akhir proses penutupan tabung
neural bagian posterior, mungkin karena terganggunya induksi
tabung neural terhadap proses penutupan. Kelainan anatomi yang
ditemukan adalah defek vertebra, biasanya di bagian lumbal,
lumbo-sakral, atau sakral, tanpa disertai pemaparan jaringan saraf
atau meningen. Pada sebagian besar kasus, kelainan ini sukar
terdeteksi secara klinis, kecuali secara kebetulan ketika dilakukan
pemeriksaan foto Rontgen rutin. Pada sebagian kecil kasus
mungkin terlihat kelainan kulit yang mencurigakan, seperti
tumbuhnya rambut, lesung garis median, angioma, atau massa
subkutan (lipoma, kista dermoid) (Markum, 2005).
88

b. Proses perkembangan induksi ventral


Masa kritis pada proses ini adalah massa gestasi bulan kedua,
khususnya minggu ke-5 dan ke-6. Proses perkembangan yang
terpenting pada masa ini berupa induksi mesoderm prokorda terhadap
pembentukan prosensefalon, yang juga mempengaruhi pembentukan
wajah. Karena itu kelainan anatomi yang ditimbulkannya berupa
anomali SSP dan wajah, yang merupakan bagian embrio yang letaknya
sebelah ventral. Ciri utama perkembangan induksi ventral adalah
terjadinya diferensiasi prosensefalon menjadi: (1) pasangan vesikula
oftalmika, bulbus dan traktus olfaktorius, (2) telensefalon, termsuk
hemisfer otak dan ganglia basal, dan (3) diensefalon, termasuk talamus
dan hipotalamus (Markum, 2005).

1) Gangguan perkembangan
Kelainan yang nampak berupa anomali telensefalon dan wajah.
Sebenarnya masih banyak diantara kelainan ini belum dapat
ditentukan secara terinci. Kelainan anatomi jaringan saraf yang
dapat menjadi prototipenya yaitu holotelensefali, sedangkan jenis
kelainan lainnya terjadi atas dasar kegagalan proses evaginasi dan
ekspansi ventrikel otak. Misalnya, tiadanya batas antar hemisfer
otak atau tiadanya ekspansi besar-besaran neokorteks supralimbik
yang merupakan ciri khas otak manusia. Kelainan fasial dapat
berupa labioskizis, palatoskizis, mikroftalmus, hipotelorisme, atau
siklopia. Gejala neurologi yang biasanya ditemukan yaitu
bangkitan apnea, kejang mioklonik, hipotonia, dan ketulian.
Seluruh kelainan tersebut sebenarnya sesuai dengan manifestasi
trisomi 13 atau delesi 18 (Markum, 2005).

c. Proses perkembagan proliferasi


Periode kritis dalam tahap perkembangan proliferasi sel SSP
adalah bulan kedua dan mungkin awal bulan ke 3 masa gestasi,
terutama pada minggu ke -7 dan minggu ke-8. Dapat disimpulkan
89

bahwa lapisan matriks germinal periventrikuler merupakan tempat


pembentukan sel neuron dan sel glia. Namun proses perkembangan
otak selanjutnya belum banyak yang diketahui, khususnya tentang
aspek kuantitatif dan kinetik sel pada setiap tahun perkembangan. Pada
saat ini jenis gangguan proliferasi sel yang dikenal hanyalah tingkat
kualitatif dan bukan kuantitatif (Markum, 2005).
Secara kualitatif dibedakan 2 jenis kelainan proliferasi sel,
yaitu proliferasi berkurang (mikrosefali) dan proliferasi berlebih
(neurofibromatosis, tuberosklerosis, sindrom Sturge-Weber). Berikut
ini akan dibahas secara singkat dasar kelainan perkembangan
embriologi berbagai penyakit tersebut:

1) Mikrosefali
Mikrosefali murni tanpa adanya kelainan struktur sistem saraf
lainnya, merupakan contoh penyakit gangguan proliferasi sel pada
masa embrio. Biasanya disertai pula dengan kelainan bawaan organ
atau sistem lain (Markum, 2005).

2) Neurofibromatosis
Ciri utamanya adalah proliferasi glia sentral dan sel Schwann.
Proliferasi glia sentral menghasilkan kelainan patologi berupa
glioma, khususnya glioma serabut optik, ependimoma, atau
meningioma. Lesi perifer kelainan berwujud sebagai
neurofibromata dan tumor sel Schwann intrakranial (neuroma
akustik). Manifestais klinis yang nampak adalah asimetri bentuk
kepala dan wajah (sebagai refleksi gangguan proliferasi),
neurofibromata sekitar mata dan muka, dan bercak café-au-lait
(Markum, 2005).
90

3) Tuberosklerosis
Ciri kelainan dasarnya adalah proliferasi neuron maupun glia, yang
mengakibatkan 2 jenis kelainan dasar SSP, yaitu: (1) terbentuknya
tuber, suatu lesi girus yang keras dan pucat pada lapisan luar
korteks, yang secara mikroskopik terutama terdiri dari sebukan sel
astrosit raksasa multinuklear. Dapat pula ditemukan sejumlah kecil
neuron berukuran serupa dengan bentuk ganjil, (2) terbentuknya
jaringan serupa tumor pada lapisan subependimal, yang menonjol
ke dalam ventrikel dalam bentuk rumbai-rumbai. Tonjolan rumbai
ini dapat menutup foramen Monro atau akuaduktus, sehingga
mengakibatkan hidrosefalus. Mikroskopis jaringan tonjolan
mengandung astrosit besar multinuklear, sel saraf abnormal, dan
kalsifikasi. Sebagai refleksi klinisnya penonjolan ini dapat
berkembang menjadi glioblastoma atau fakomata retina (Markum,
2005).

4) Sindrom Sturge-Weber
Ciri utama kelainan angiomatosis ensefalofasial ini adalah
gangguan proliferasi sel endotel, terutama dari serabut vena yang
kecil dan halus. Umumnya lesi angiomatosis ditemukan pada
leptomeningen di daerah parieto-oksipital dan di daerah muka ipsi
lateral yang sesuai dengan perjalanan N.trigeminus, terutama
bagian supraorbital. Kelainan lain yang dijumpai adalah atrofi
korteks disertai dengan deposit besi-kalsium di dinding pembuluh
darah kecil dalam korteks yang terkena dan sepanjang girus; secara
radiologi kelainan ini nampak sebagai gambaran rel kereta api.
Lesi intrakranial dengan perubahan kortikalnya akan makin nyata
dengan pertambahan umur anak. Menifestasi klinis neurologinya
dapat berwujud kejang, hemiparesis, retardasi mental, buftalmos,
dan glaukoma (Markum, 2005).

d. Proses migrasi
91

Proses migrasi meliputi bulan ke-3 sampai akhir bulan ke-6


masa gestasi. Dalam masa ini terjadi migrasi jutaan sel dari tempat
asalnya di matriks germinal subependimal menuju ke bagian perifer
SSP, dan menetap untuk selama masa hidupnya. Waktu dan arah
migrasi serempak jutaan sel tersebut dikelola melalui suatu organisasi
yang kompleks dan rapi, tetapi bidang ini masih belum banyak
diketahui dan perlu penelitian lebih lanjut. Hal yang sudah pasti
adalah bahwa proses migrasi tersebut dapat dipengaruhi oleh
gangguan genetik maupun faktor eksogen (Markum, 2005).
Dalam pembentukan korteks serebri, sel neuron yang terletak
pada lapisan matriks germinal lebih superfisial, akan bergerak lebih
dulu sampai di permukaan ventrikel, setelah itu membelah dan
kembali ke tempat asal. Migrasi berikutnya terjadi melalui lapisan
mantel (mantle zone) menuju ke lapisan marginal untuk membentuk
korteks. Proses migrasi terakhir ini terjadi secara bergelombang, yaitu
sel neuron yang bermigrasi kemudian menempati lapisan luar korteks
serebri. Menjelang masa 16-20 minggu lempeng korteks ini telah
mengandung hampir semua elemen neuron. Pada akhir bulan ke-6
lempeng ini sudah memiliki komponen sel neuron yang lengkap dan
sudah nampak adanya diferensiasi menjadi 6 lapisan seperti pada
dewasa (Markum, 2005).
Selama proses pembentukan korteks serebri, terjadi pula
migrasi sel lain dalam jaringan SSP untuk membentuk struktur inti
ganglia basal, diensefalon, batang otak, serebelum, medulla spinalis,
dan korpus kalosum dengan hubungan inter hemisfernya. Serabut
silang pertama korpus kalosum dibentuk pada minggu ke-11 sampai
ke-12, kemudian menjadi lengkap pada minggu ke-20 (Markum,
2005).
Pada gangguan proses migrasi yang berat, kelainan
neurologinya sudah nampak sejak beberapa hari pertama kelahiran.
Berikut ini beberapa jenis kelainan, yang disusun menurut derajat
beratnya gangguan:
92

1) Skizensefali
Dasar kelainan adalah agenesis total korteks serebri, sehingga
nampak adanya celah atau rongga dalam jaringan hemisfer yang
dapat berhubungan dengan ventrikel atau ruang subarakhnoid.
Jaringan otak hanya ditutupi membran pia-arakhnoid yang tipis,
pola permukaan korteks abnormal, ganglia basal dan talamus
mungkin berpindah tempat, dan struktur batang otak tidak
tersusun. Manifestasi neurologinya berwujud sebagai retardasi
mental, tetraparesis spastik, opistotonus, kejang atau gejala
neurologi lainnya (Markum, 2005).

2) Lisensefali
Jenis anomali perkembangan korteks ini akan terlihat dengan ciri
berikut: permukaan otak nampak licin dan rata karena girus sangat
sedikit, lapisan korteks menebal tetapi hanya terdiri dari 3 lapis,
jaringan otak sendiri kecil, dan ventrikel membesar. Kelainan
anatomi lain diluar SSP yang mungkin dijumpai adalah anomali
fasial ringan, kornea keruh, polidaktili, lipatan simian, kelainan
jantung bawaan, atau kelainan viseral lain. Secara klinis akan
nampak hipotonia umum, kejang, atau disertai gejala klinis lain
yang cukup berat. Biasanya anak meninggal ketika masih bayi
(Markum, 2005).

3) Pakigiria
Ciri kelainan ini berupa girus yang sangat sedikit, melebar, dan
disertai dengan lapisan korteks yang sangat tebal; sebenarnya
hampir serupa dengan lisensefali. Gangguan migrasi pada
pakigiria terjadi lebih lambat dibandingkan lisensefali, yaitu
diperkirakan pada bulan ke 4. Jaringan korteks hanya terdiri dari 4
lapis. Gejala neurologi yang teridentifikasi adalah opistotonus,
spastisitas, dan kejang; gejala lainnya perlu diteliti karena
93

mungkin secara sekunder disebabkan oleh kelainan neurologi yang


lain (Markum, 2005).

4) Polimikrogiria
Ciri kelainan anatomi yang menonjol adalah terlihatnya banyak
lipatan kecil-kecil, sehingga permukaan otak nampak berkeriput.
Girus yang kecil ini secara mikroskopis tersusun sangat kompleks
dan tidak beraturan, sehingga batas antara lapisan korteks tidak
jelas. Namun demikian, sebenarnya masih dapat dibedakan adanya
4 lapisan korteks serebri. Diperkirakan gangguan perkembangan
terjadi dalam periode yang lebih lambat daripada pakigiria, yaitu
pada masa gestasi 5 bulan. Penyebab gangguan perkembangan
korteks ini diantaranya adalah gangguan vaskular, infeksi
sitomegalovirus, atau kelainan kromosom. Contoh kelainan yang
terkenal adalah sindrom serebro-hepato-renal Zellweger. Pada
sindrom ini terdapat gangguan migrasi neuron, disertai dengan
polimikrogiria dan pakigiria. Migrasi abnormal ini lebih mengenai
hemisfer posterior ketimbang hemisfer anterior, korteks
supralimbik ketimbang korteks limbik, dan lapisan dalam korteks
ketimbang lapisan luar. Kelainan yang ditemukan adalah lemah
motorik, hipotonia, tiadanya reflex tendon dalam, kejang berulang,
tiadanya respons denngar dan visual, kelainan kraniofasial,
hepatomegali, dan ginjal polikistik (Markum, 2005).

5) Heteropia neuronal
Pada kelainan yang tidak terlampau parah ini, ditemukan adanya
kelompok sel saraf yang salah letak pada substansia alba. Kelainan
neurologinya belum dispesifikasi dengan jelas. Diperkirakan
kelainan intelektual pada neurofibromatosis atau pada distrofi
muskular Duchenne, berkaitan dengan heteropia neuronal
(Markum, 2005).
94

e. Proses organisasi
Proses migrasi mencakup pemisahan dan perpindahan sel saraf
dari tempat asalnya ke tempat yang lain, sedangkan proses organisasi
meliputi penyusunan diri jenis sel tertentu sesuai dengan letak yang
spesifik dalam korteks. Kurun waktu yang terpaut dengan proses
organisasi dimulai pada bulan ke-5 masa janin sampai akhir tahun ke-
2 postnatal. Dalam periode setelah lahir sampai umur 2 tahun pada
jaringan korteks terdapat ramifikasi serabut dendrit dan akson yang
sangat progresif, sedangkan jumlah dan ukuran sel neuron hampir
tidak bertambah. Menyertai proses ramifikasi ini, terjadi pula
pembentukan sinaps dan neurofibril, penambahan substansi Nissl
dalam sitoplasma, dan penambahan RNA secara umum dalam jaringan
otak. Proses pematangan di area hipokampus tuntas lebih cepat,
sedangkan di area limbik dan supralimbik dalam waktu yang lebih
lambat (Markum, 2005).
Sampai saat ini belum dikenal adanya gangguan proses
organisasi pada manusia. Pada masa mendatang dengan bantuan alat
yang lebih canggih mungkin hal ini dapat terungkapkan. Faktor yang
diduga dapat mempengaruhi proses organisasi adalah malnutrisi,
hipoksemia menahun, kelainan metabolik, dan gangguan hormonal
(Markum, 2005).

f. Proses mielinisasi
Proses mielinisasi berlangsung dalam waktu yang paling lama
di antara berbagai perkembangan SSP, yaitu dimulai pada bulan ke-6
masa janin sampai masa dewasa. Proses ini diawali dengan
terbentuknya sel oligodendrosit, yaitu jenis sel neuroglia yang
berperan dalam pembuatan myelin. Awitan, lama, dan intensitas
proses mielinasi pada berbagai bagian otak tidak sama; misalnya
mielinasi serabut motorik sebagian besar terjadi pada masa
intrauterine, sedangkan pada serabut sensorik lebih menonjol pada
masa postnatal. Perlu dicatat, bahwa proses mielinasi dan organisasi
95

berlangsung saling tumpang tindih, karena sebagian besar terjadi


dalam periode yang hampir bersamaan. Tetapi dalam perkembangan
otak neonatus peristiwa organisasi lebih dominan dibandingkan
dengan proses mielinasi (Markum, 2005).
Sejajar dengan perkembangan sel neuroglia tersebut, secara
kuantitatif oterdapat perlonjakan konsentrasi DNA dalam jaringan
otak yang terjadi pada masa gestasi minggu ke-20 sampai ke-30.
Dalam periode minggu ke-30 sampai lahir jumlah DNA menjadi 2 kali
lipat lebih banyak, kemudian berlipat 2 kali lagi sampai umur 8 bulan
postnatal, dan setelah itu konsentrasinya menetap. Peran
oligodendrosit maupun astrosit dalam perlonjakan konsentrasi DNA
tersebut belum diketahui (Markum, 2005).
Dewasa ini belum dikenal kelainan neurologi gangguan
mielinasi. Tetap secara klinis dikenal adanya beberapa penyakit
degeneratif substansia alba (leukodistrofi), yang disertai dengan
menurunnya produksi mielin dalam otak. Contoh penyakit tersebut
adalah penyakit Alexander, penyakit Canavan, penyakit Krabbe, dan
leukodistrofi metakromatik. Perlambatan motorik, kelainan motorik
(hipotonia, spastisitas, ataksia), dan retardasi intelektual merupakan
kelainan neurologi yang lazim dijumpai pada berbagai penyakit
leukodistrofi (Markum, 2005).

DAFTAR PUSTAKA
96

Cunningham, Gary F. 2013. Obstetri Williams Edisi 23 Volume 2. Jakarta. EGC

Friedland, Ian R. dan George H McCracken, Jr. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph
Edisi 20 Volume 1. Jakarta. EGC

Markum, Ismael, Alatas, dkk. 2005. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid I.
Jakarta, Fakultas Kedokteran Indonesia

Prober, Charles. G. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolf Edisi 20 Volume 1. Jakarta.
EGC

Rudolph, A. M., Hoffman, J. I. E., daqn Rudolph, C. D. 2005. Buku Ajar Pediatri
Rudolph Volume 1. Jakarta. EGC

Spector, Stephen A. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolf Edisi 20 Volume 1. Jakarta.
EGC

Todd, James K. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph Edisi 20 Volume 1. Jakarta.
EGC

Anda mungkin juga menyukai