Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bayi baru lahir (BBL) adalah bayi yang lahir selama satu jam pertama
kelahiran bayi sampai usia 4 minggu, bayi yang normal memiliki berat badan
saat lahir antara 2500 – 4000 gram, cukup bulan dan lahir langsung menangis
(Manuaba, 2019). Bayi lahir prematur dan bayi dengan berat badan lahir
rendah memiliki risiko yang lebih besar mengalami infeksi tali pusat, infeksi
ini juga yang menjadi penyebab angka kesakitan dan angka kematian bayi
baru lahir di Indonesia meningkat (Manuaba, 2019).
Bayi baru lahir sangat rentan terkena infeksi yang disebabkan oleh
beberapa masalah, salah satunya adalah diakibatkan karena tali pusat yang
bermasalah. Tali pusat adalah sebuah saluran kehidupan bagi janin selama
masih di dalam kandungan. Tali pusat memiliki peran penting dalam yang
pertumbuhan dan perkembangan janin. Melalui tali pusat inilah makanan,
oksigen, serta nutrisi lain yang dibutuhkan oleh bayi disalurkan melalui
peredaran darah ibu ke janin. Tali pusat hanya berperan selama proses
kehamilan, ketika sudah dilahirkan maka tali pusat tidak dibutuhkan lagi. Itu
sebabnya tindakan yang paling sering dilakukan adalah memotong tali dan
mengklem tali pusat hingga akhirnya beberapa hari setelahnya tali pusat akan
mengering dan terlepas dengan sendirinya (Setiawati, 2019).
Perawatan tali pusat adalah perbuatan cara merawat, pemeliharaan dan
penyelenggaraan yang sebenarnya sangat sederhana, adapun yang paling
penting adalah memastikan tali pusat dan area di sekelilingnya selalu bersih
dan kering agar terhindar dari infeksi. Sebelum membersihkan tali pusat
diharuskan selalu mencuci tangan menggunakan air dan sabun. (Wahyuni,
2018).
Menurut WHO (World Health Organization), AKB di Indonesia
mencapai 20/1000 kelahiran hidup, berarti setiap jam terdapat 10 bayi lahir
meninggal, setiap harinya ada 246 bayi meninggal dan setiap tahunnya ada
89.770 bayi baru lahir yang meninggal. Sebesar 79% kematian terjadi pada
minggu pertama kelahiran terutama pada saat persalinan. Sebanyak 54%
terjadi pada tingkatan keluarga yang sebagian besar disebabkan tidak
memperoleh layanan rujukan dan kurangnya pengetahuan keluarga akan
kegawatdaruratan pada bayi (SDKI, 2017).
Penyebab kematian neonatus paling sering terjadi akibat infeksi tali
pusat dan penanganan tali pusat tidak bersih. Tetanus ditandai dengan kaku
otot yang nyeri disebabkan oleh neurotoxin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani pada luka tertutup. Tetanus neonatorum adalah tetanus
pada bayi usia hari ke 3 dan 28 setelah lahir dan tetanus maternal adalah
tetanus pada kehamilan dan dalam 6 minggu setelah melahirkan. Bila
tetanus terjadi angka kematian sangatlah tinggi, terutama ketika perawatan
kesehatan yang tidak tersedia, saat ini kematian akibat tetanus pada maternal
dan neonatal dapat dengan mudah dicegah dengan persalinan, penanganan
tali pusat yang higienis dan melakukan promosi kesehatan untuk ibu hamil
Trimester III (Kemenkes RI, 2017). Rujukan dilakukan pada ibu hamil
dengan resiko tinggi harus dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan yang
memiliki fasilitas yang lebih lengkap (Musfirah,2018).
Perawatan tali pusat adalah tindakan perawatan yang bertujuan
merawat tali pusat pada bayi baru lahir agar tetap kering dan mencegah
terjadinya infeksi. Perawatan tali pusat yang tidak benar pada bayi akan
mengalami penyakit infeksi yang akan mengakibatkan kematian. Penyakit
ini disebabkan karena masuknya spora kuman tetanus ke dalam tubuh
melalui tali pusat, baik dari alat yang tidak steril, pemakaian obat
tradisional yang ditaburkan ke tali pusat sehingga dapat mengakibatkan
infeksi (Wihono, 2017).
Mencegah terjadinya infeksi tali pusat yang ditandai dengan tali
pusat yang basah, berbau, hal ini harus segera diobati untuk menghindari
infeksi yang lebih berat, karena dapat menyebabkan sepsis, meningitis dan
tetanus pada bayi. Infeksi tali pusat pada dasarnya dapat dicegah dengan
melakukan perawatan tali pusat yang baik dan benar, yaitu dengan prinsip
perawatan kering dan bersih, karena dapat mempercepat proses pengeringan
dan terlepasnya tali pusat serta mencegah terjadinya tetanus pada bayi baru
lahir. (Sodikin 2017).
Salah satu langkah pencegahan untuk mengatasi masalah dan
mengurangi angka kematian bayi yang disebabkan oleh infeksi tali pusat
atau tetanus neonatorum yaitu dengan memperhatikan kondisi kesehatan ibu
pada masa kehamilan diberikan Toksoid Tetanus, sterilisasi alat, penyuluhan
mengenai perawatan tali pusat yang benar pada ibu hamil TM III atau ibu
Nifas. Perawatan tali pusat pada bayi baru lahir dapat dilakukan dengan
menjaga agar tali pusat tetap kering dan bersih, untuk menghindari
terjadinya infeksi. Bila sampai terdapat nanah dan darah berarti terdapat
infeksi dan harus segera diobati (Sarwono, 2016). Perawatan tali pusat yang
benar dan lepasnya tali pusat dalam minggu pertama dapat mengurangi
insiden infeksi pada neonatus (Sarwono, 2016).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan tetanus neonatorum?
2. Apa penyebab tetanus neonatorum?
3. Apa patogenesis tetanus neonatorum?
4. Berapa lama masa inkubasi tetanus neonatorum?.
5. Bagaimana gejala klinis tetanus neonatorum?.
6. Bagaimana cara pencegahan tetanus neonatorum?.

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian tetanus neonatorum.
2. Untuk mengetahui penyebab tetanus neonatorum
3. Untuk mengetahui patogenesis tetanus neonatorum.
4. Untuk mengetahui lama masa inkubasi tetanus neonatorum
5. Untuk mengetahui gejala klinis tetanus neonatorum.
6. Untuk mengetahui cara pencegahan tetanus neonatorum.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tetanus Neonatorum

1. Definisi Tetanus Neonatorum

Tetanus neonatorum adalah penyakit infeksi yang terjadi melalui


luka irisan pada umbilicus pada waktu persalinan akibat masuknya spora
Clostridium tetani yang berasal dari alat-alat persalinan yang kurang bersih
dengan masa inkubasi antara 3-10 hari.
Menurut Depkes RI, 2017, tetanus neonatorum adalah penyakit pada
bayi baru lahir yang disebabkan oleh infeksi kuman tetanus yang masuk
melalui luka tali pusat, akibat pemotongan tali pusat dengan alat yang tidak
bersih atau ditaburi ramuan.
2. Penyebab Tetanus Neonatorum

Penyakit tetanus neonaotrum adalah penyakit tetanus yang sering


terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang 1 bulan) yang disebabkan oleh
Clostridium tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin/racun dan
menyerang sistem syaraf pusat.
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, lurus, langsing
berukuran panjang 2-5 mikron dan lebar 0,4-0,5 mikron, bersifat gram
positif dan tidak berkapsul, membentuk spora, bersifat obligat anaerob dan
mudah tumbuh pada nutrien media yang biasa. Kuman ini membentuk
eksotoksin yang disebut tetanospasmin, suatu neuro toksin yang kuat.
Clostridium tetani berkembang cepat pada jaringan yang rusak
(luka) dan dalam suansana anaerob basil tetanus berubah dari bentuk spora
ke dalam bentuk vegetatif. Pada keadaan itu, Clostridium tetani
mengeluarkan eksotoksin yang menyebabkan penyakit tetanus. Pada waktu
Clostridium tetani dalam bentuk vegetatif makan akan sangat sensitif
terhadap panas dan beberapa antibiotik dan tidak dapat bertahan karena
adanya oksigen. Sebaiknya dalam bentuk spora sangat resisten pada
keadaan panas dan antiseptik biasa. Spora ini dapat hidup pada
pemanasan autoklaf 1210C selama 10-15 menit dan relatif resisten terhadap
phenol dan bahan-bahan kimia lain (PAHO, 2015).
Dalam bentuk spora Clostridium tetani dapat tahan hidup
bertahun-tahun di dalam tanah asalkan tidak terdapat sinar matahari. Selain
itu dapat pula ditemukan dalam tanah, laut, air tawar, debu rumah, dan tinja
berbagai spesies binatang. Clostridium tetani baik dalam bentuk spora
maupun bentuk vegetatif dapat ditemukan pada usus manusia (Behrman dan
Vaughman, 2012).
3. Patogenesis

Spora dari kuman tersebut masuk melalui pintu masuk satu-satunya


ke tubuh bayi baru lahir, yaitu: tali pusat, yang dapat terjadi pada saat
pemotongan tali pusat ketika bayi baru lahir maupun saat perawatannya
sebelum puput atau lepasnya tali pusat (Depkes RI, 2017).
4. Masa Inkubasi

Terdapat variasi masa inkubasi pada tetanus, dari satu minggu


sampai beberapa minggu lamanya. Semakin pendek masa inkubasi tetanus,
semakin buruk prognosis penyakit. Bila kurang dari satu minggu, maka sifat
tetanus adalah fatal (Soedarto, 2010).
Menurut Behrman (2012) masa tunas organisme ini berkisar antara
3-14 setelah luka, tetapi dapat kurang satu hari atau lebih dari beberapa
bulan dan pada tetanus neonatorum biasanya mulai ketika neonatus berusia
3-10 hari.
Sejak kuman masuk ke dalam tubuh bayi sampai mulai timbulnya
gejala (masa inkubasi) dibutuhkan waktu 3-28 hari (rata-rata 6 hari).
Apabila masa inkubasi kurang dari 7 hari seperti biasanya penyakit lebih
parah dengan angka kematian tinggi (Depkes RI, 2017).
4. Gejala Klinis

Menurut Depkes RI, 2017 gejala klinis tetanus neonatorum adalah : bayi
yang semula bisa menetek dengan baik tiba-tiba tidak bisa menetek, mulut
bayi mencucu seperti mulut ikan, mudah sekali dan sering kejang-
kejang terutama karena rangsangan sentuhan, rangsangan sinar dan
rangsangan suara, wajahnya mungkin kebiruan, kadang-kadang disertai
demam.
5. Prognosis

Moralitas penyakit tetanus neonatorum sebesar 60% atau lebih


tinggi lagi (Nelson, 2012). Prognosis penyakit tetanus neonatorum antara
lain dipengaruhi oleh luasnya keterlibatan otot yang mengalami kejang
sebagai tanda bahwa toksin sudah masuk ke jaringan/susunan syaraf pusat,
demam tinggi, masa inkubasi yang pendek, serta mutu perawatan penunjang
yang diberikan kepada penderita. Kesembuhan dari tetanus tidak
memberikan kekebalan, karena itu imunisasi aktif penderita setelah
kesembuhan merupakan suatu keharusan.
6. Cara Pencegahan Tetanus Neonatorum

Tetanus neonatorum dapat dicegah dengan cara:

1. Pemberian imunisasi tetanus toksoid (TT) pada ibu hamil. Pada awalnya
sasaran program imunisasi TT untuk mencegah penyakit tetanus
neonatorum adalah ibu hamil. Menurut rekomendasi WHO, pemberian
imunisasi TT sebanyak 5 dosis dengan internal minimal antara satu dosis
ke dosis berikutnya seperti yang telah ditentukan, akan memberikan
perlindungannya seumur hidup. Saat ini imunisasi TT diberikan kepada
murid SD kelas VI, wanita calon pengantin wanita, dan ibu hamil.
2. Peningkatan pelayanan antenatal dan pertolongan persalinan tiga bersih,
yaitu bersih diri, bersih tempat, dan bersih alat.
3. Promosi perawatan tali pusat yang benar.
7. Epidemiologi Tetanus Neonatorum

Tetanus neonatorum secara khas berkembang dalam minggu


pertama atau minggu kedua kehidupan bayi dan sering disebut sebagai
penyakit hari ke tujuh atau ke delapan, serta dapat membawa kematian pada
70 – 90% kasus. Perawatan medis modern, yang langka di dunia ketiga di
mana penyakit ini amat lazim, jarang mengurangi mortalitas sampai kurang
dari 50%.

Berdasarkan hasil survey yang dilaksanakan oleh WHO di 15


negara di Asia, Timur Tengah, dan Afrika pada tahun 2016 – 2017
menekankan bahwa penyakit tetanus neonatorum banyak dijumpai di
daerah pedesaan negara berkembang termasuk Indonesia yang
memiliki angka proporsi kematian neonatal akibat penyakit tetanus
neonatorum mencapai 51%. Pada kasus tetanus neonatorum yang
tidak dirawat, hampir dapat dipastikan CFR akan mendekati 100%,
terutama pada kasus yang mempunyai masa inkubasi kurang dari 7
hari (Depkes, 2017).
Di Jepang, penurunan angka kematian akibat penyakit
tetanus neonatorum dari 0,036 per 1000 lahir hidup pada tahun
2015 menjadi 0,07 per 1000 lahir hidup pada tahun 2016 terjadi
pada saat keadaan sosial ekonomi dan proporsi bayi-bayi yang
dilahirkan di klinik atau rumah sakit meningkat dengan cepat dan
kontaminasi lanjutan dari bungkul tali pusat pada proses
perawatan tali pusat dapat dicegah. Pernyataan tersebut di atas
secara implisit menyatakan bahwa keadaan sebaliknya atau
persalinan di rumah mengandung risiko tetanus neonatorum yang
tinggi. Nelson menyebutkan bahwa kasus tetanus neonatorum sering
didapatkan pada anak dengan berat badan lahir rendah.
B. Faktor-faktor Risiko Kejadian Tetanus Neonatorum

1. Pemeriksaan Antenatal

Pemeriksaan antenatal adalah pemeriksaan kehamilan yang


dilakukan untuk memeriksa keadaan ibu hamil dan janin secara berkala,
yang diikuti dengan upaya koreksi terhadap penyimpangan yang ditemukan.
Tujuannya adalah untuk menjaga agar ibu hamil dapat melalui masa
kehamilan, persalinan, dan nifas dengan baik dan selamat, serta
menghasilkan bayi yang sehat. Pemeriksaan kehamilan dilakukan oleh
tenaga terlatih dan terdidik dalam bidang kebidanan, yaitu pembantu bidan,
bidan, dokter, dan perawat yang sudah terlatih (Depkes RI, 2017).

Pemeriksaan antenatal, hendaknya memenuhi tiga aspek pokok,


yaitu:

1. Aspek medis yang meliputi diagnosis kehamilan, penemuan kelainan


secara dini, dan pemberian terapi sesuai dengan diagnosis.

2. Penyuluhan, penjagaan kesehatan diri serta janinnya, pengenalan tanda-


tanda bahaya dan faktor risiko yang dimiliki, dan pencarian pertolongan
yang memadai secara tepat waktu.
3. Rujukan: ibu hamil dengan risiko tinggi harus dirujuk ke tempat
pelayanan yang mempunyai fasilitas lebih lengkap.

Adapun perawatan kehamilan meliputi pemeriksaan fisik, yang


meliputi pemeriksaan muka, gigi, mulut, leher, payudara, jantung, hati,
paru-paru, perut, dan organ reproduksi. Pemeriksaan laboratorium meliputi
pemeriksaan urin dan haemoglobin, sedangkan pemeriksaan kebidanan
meliputi 5T yaitu penimbangan berat badan, pengukuran tekanan darah,
pengukuran tinggi fundus uteri, pemberian imunisasi TT dan pemberian
tablet tambah darah. Selain itu ibu hamil mendapat penyuluhan tentang jenis
dan jumlah makanan bergizi tinggi yang diperlukan selama hamil,
kebersihan perorangan, perawatan payudara, dan air susu ibu, keluarga
berencana, kebiasaan hidup sehat selama hamil serta faktor- faktor yang
berhubungan dengan kesakitan dan kematian ibu maupun bayi.
Dari rangkaian pemeriksaan antenatal, pemberian imunisasi TT
adalah hal yang paling penting dilakukan untuk mencegah infeksi tetanus
neonatorum.
Pemeriksaan antenatal dapat dilakukan di puskesmas, rumah sakit,
rumah bersalin, maupun di rumah penduduk. Pemeriksaan kehamilan dapat
dilakukan oleh dokter, bidan, atau perawat kesehatan. Pemeriksaan
dilakukan minimal sebanyak empat kali, yaitu pada triwulan pertama,
triwulan kedua, dan dua kali pada triwulan ketiga.
2. Imunisasi Tetanus Toksoid Pada Ibu Hamil

Salah satu komitmen global yang ingin dicapai adalah untuk


menekan insiden tetanus neonatorum hingga di bawah 1 per 1000 kelahiran
hidup pada tahun 2012. Pencapaian program ETN di tingkat kabupaten atau
kota dinilai berdasarkan cakupan imunisasi TT ibu hamil dan TT wanita
usia subur (WUS) serta cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (Depkes
RI, 2017).

Pemberian imunisasi tetanus toksoid pada ibu hamil dimaksudkan


agar bayi yang dilahirkan sudah mempunyai kekebalan terhadap toksin
tetanus yang didapatkan secara pasif sewaktu masih berada dalam
kandungan. Dua dosis TT sekurangnya dengan jarak waktu satu bulan serta
sekurangnya sebulan menjelang persalinan, hampir 100% efektif mencegah
tetanus neonatorum. Jadi tidak adanya imunisasi tetanus pada ibu
merupakan faktor risiko yang berarti untuk tetanus pada neonatus yang
akhirnya menyebabkan kematian (Depkes RI, 2017).

Imunisasi TT dua dosis (TT2) memberikan perlindungan selama


tiga tahun, artinya apabila dalam waktu tiga tahun seorang ibu akan
melahirkan, bayi yang dilahirkan akan terlindung dari tetanus
neonatorum. Sebaliknya imunisasi TT tidak lengkap (TT1) hanya langkah
awal untuk mengembangkan kekebalan tubuh terhadap infeksi (Depkes RI,
2017).

Meskipun terdapat banyak kendala, di banyak daerah di Indonesia,


tetanus neonatorum bukan lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Hendaknya dicatat, bahwa keberhasilan penuh barulah tercapai setelah
semua wanita usia subur yang tidak hamil juga dijadikan sasaran imunisasi.
Mengingat pengalaman ini dan rendahnya cakupan TT pada wanita hamil
berisiko pada saat ini, WHO pada pertemuan kelompok penasehat seluruh
dunia mengubah target TT menjadi untuk semua wanita usia subur (15-44
tahun). Bila program pengembangan imunisasi WHO sudah sepenuhnya
mencakup bayi dan anak kecil, maka satu suntikan TT untuk wanita muda,
yang pada masa kanak-kanaknya sudah diimunisasi akan dapat mencegah
tetanus neonatorum.
3. Jenis penolong persalinan

Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih


rendah, yaitu sekitar 50%, selebihnya ditolong oleh dukun bayi baik yang
terlatih maupun yang tidak terlatih. Hal ini menyebabkan masih banyak
ditemukan persalinan yang tiba-tiba mengalami komplikasi dan
memerlukan penanganan professional tetapi tidak ditangani secara memadai
dan tepat waktu, sehingga mengakibatkan kematian.

Dengan mengupayakan agar persalinan yang ditolong oleh dukun


bayi didampingi bidan, maka selain pertolongan persalinan 3 bersih lebih
terjamin, diharapkan persalinan yang aman juga terjamin.

Pertolongan persalinan yang bersih, meliputi: bersih tangan


penolong, bersih daerah perineum ibu, jalan lahir tidak tersentuh oleh
sesuatu yang tidak bersih, bersih alas tempat melahirkan, dan memotong
tali pusat menggunakan alat yang bersih (Depkes RI, 2017).

Bahkan bila kenaikan proporsi persalinan yang dilakukan oleh


tenaga paramedis dan medis ternyata efektif, maka biaya untuk melatih
tenaga dalam jumlah yang memadai agar diperoleh cakupan yang luas
merupakan penghalang bagi negara berkembang, terutama bila yang
digunakan adalah bidan-bidan yang terlatih atau dokter. Lebih jauh lagi,
andai kata tenaga-tenaga itu tersedia mungkin juga mereka tidak selalu
digunakan. Banyak peneliti menemukan kenyataan bahwa ibu-ibu tetap
lebih menyukai dukun bayi yang tidak terlatih meskipun fasilitas-fasilitas
untuk persalinan di lembaga-lembaga kedokteran, atau meskipun ada
tenaga-tenaga kesehatan masyarakat yang terlatih.

Beberapa hal yang mungkin menjadi alasan masyarakat memilih


tenaga dukun bayi untuk pertolongan persalinannya.
1. Apabila kelahiran ditangani oleh bidan puskesmas, bayarannya jauh
lebih mahal dan harus berupa uang. Selain itu tugas bidan hanyalah
untuk membantu persalinan, padahal setiap bayi masih harus menjalani
upacara adat.
2. Selain alasan ekonomi, masyarakat memilih dukun bayi dengan maksud
agar tidak menyinggung perasaan dukun yang akan dimintai tolong
untuk memimpin upacara adat, serta sebagai upaya untuk menjaga
hubungan baik.
3. Tempat Persalinan

Persalinan di rumah mengandung risiko tetanus neonatorum yang


tinggi, tetapi persalinan di rumah sakit tidak menjamin perlindungan untuk
tidak terkena tetanus neonatorum, karena lamanya tinggal di rumah sakit
sangatlah pendek (setelah bayi lahir langsung pulang). Sampai di rumah,
biasanya perawatan ibu dan bayi diserahkan kepada dukun beranak.

Meskipun persalinan itu berlangsung di pusat pelayanan kesehatan


atau klinik bersalin, tidak jarang sekembalinya ke rumah, para wanita yang
baru melahirkan itu menjalani perawatan secara tradisional. Namun, di
daerah pedesaan apalagi yang jauh dari pusat pelayanan kesehatan yang
berlokasi di ibukota kecamatan, proses persalinan selalu berlangsung di
rumah.
4. Alat Pemotong Tali Pusat

Penggunaan sembilu untuk memotong tali pusat sampai kini masih


dilakukan oleh beberapa dukun bayi terutama di pedesaan. Pada
masyarakat Sunda alat pemotong (sembilu) ini dikenal dengan hinis.
Penelitian di pedesaan Pulau Lombok juga memperlihatkan keadaan yang
sama. Tali pusat bayi yang baru lahir dipotong dengan cara mengikat
bagian pangkal dan kira-kira tiga jari di bagian atasnya, kemudian dipotong
bagian tengahnya dengan sembilu yang terbuat dari irisan kulit bambu yang
diambil dari rangka atap rumah bagian depan.

Penelitian di Desa Kemantan Kebalai Kabupaten Kerinci


menunjukkan bahwa masih terdapat penggunaan sembilu untuk memotong
tali pusat bayi baru lahir, sembilu diambil dari bambu yang merupakan alat
penghembus api milik keluarga yang sedang digunakan di dapur.
Sembilu tidak perlu dicuci karena dianggap sudah bersih.

Meskipun pemotong tali pusat telah dilakukan dengan gunting atau


benang, para dukun masih sering tidak membersihkan alat-alat itu lebih
dahulu, sama halnya saat mereka menggunakan sembilu.
5. Perawatan Tali Pusat

Tiga segi perawatan pusar dan tali pusat mempunyai pengaruh


terhadap risiko tetanus neonatorum, yaitu: alat pemotong tali pusat, praktek
menyimpul, atau membuka simpulnya, serta bahan yang diurapkan atau
dioleskan pada pangkal potongan tali pusat yang belum kering.

Merawat tali pusat berarti menjaga agar luka tersebut tetap bersih,
tidak terkena kencing, kotoran bayi, atau tanah. Bila kotor, luka tali pusat
dicuci dengan air bersih yang mengalir dan segera keringkan dengan
kain/kasa bersih dan kering. Tidak boleh membubuhkan atau mengoleskan
ramuan, abu dapur, dan sebagainya pada luka tali pusat sebab dapat
menyebabkan infeksi dan tetanus yang dapat berakhir dengan kematian
neonatal. Infeksi tali pusat merupakan faktor risiko untuk terjadinya tetanus
neonatorum.

Ramuan tradisional umumnya masih banyak digunakan oleh


masyarakat pedesaan, terutama oleh dukun bayi atau keluarga. Telah
didapati bahwa 60% dukun bayi memakai ramuan seperti kunyit, kapur, dan
abu sebagai bahan perawatan tali pusat. Alasan digunakannya obat/bahan
tradisional pada masyarakat yaitu karena dianggap manjur dan cocok,
sudah merupakan kebiasaan keluarga, mudah didapat, murah, dan
masyarakat lebih yakin terhadap khasiat obat atau bahan tradisional
tersebut.

Penggunaan abu dapur bekas pembakaran kayu di tungku untuk


melumuri bekas potongan tali pusat agar luka cepat kering, sering
mengakibatkan pusar bayi menjadi bengkak dan berwarna merah. Jika tidak
dirawat dengan baik, keadaan ini dapat mengakibatkan kematian. Adanya
kematian bayi akibat serangan tetanus neonatorum banyak terjadi karena
praktek perawatan luka dengan cara seperti di atas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bayi baru lahir sangat rentan terkena infeksi yang disebabkan oleh
beberapa masalah, salah satunya adalah diakibatkan karena tali pusat yang
bermasalah. Tali pusat adalah sebuah saluran kehidupan bagi janin selama
masih di dalam kandungan. Tali pusat memiliki peran penting dalam yang
pertumbuhan dan perkembangan janin. Melalui tali pusat inilah makanan,
oksigen, serta nutrisi lain yang dibutuhkan oleh bayi disalurkan melalui
peredaran darah ibu ke janin.
Penyebab kematian neonatus paling sering terjadi akibat infeksi tali
pusat dan penanganan tali pusat tidak bersih. Tetanus ditandai dengan kaku
otot yang nyeri disebabkan oleh neurotoxin yang dihasilkan oleh Clostridium
tetani pada luka tertutup. Tetanus neonatorum adalah tetanus pada bayi usia
hari ke 3 dan 28 setelah lahir dan tetanus maternal adalah tetanus pada
kehamilan dan dalam 6 minggu setelah melahirkan.
B. Saran
1. Mahasiswa
Diharapkan dengan tugas ini, mahasiswa dapat meningkatkan proses
belajar atau menyelesaikan tugas, dan juga menambah wawasan dalam
pengetahuan tentang tindakan penyelesaian masalah infeksi pada tali pusat.
2. Institusi pendidikan
Sebagai salah satu acuan untuk peningkatan kualitas pendidikan di
Prodi S1 Kebidanan khusus nya tentang penyelesaian masalah yang sering
dialami ibu hamil.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI, 2016. Petunjuk teknis imunisasi tetanus toksoid. Depkes RI,Jakarta

Depkes RI, 2017.Laporan nasional hasil RISKESDAS. Depkes RI,Jakarta

Behrman dan Vaughman, (2012). Basic Immunology. Philadelphia: Saunders


Elsevier.

Owusu-Darko, S., Diouf, K., Nour, N.M., Elimination of Maternal and Neonatal
Tetanus: A 21st-Century Challenge. Rev Obstet Gynecol. 2012. 5:
e151- e157.

Hassel, B. (2013). Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of


Using Botulinum Toxin Against Tetanus-induced Rigidity and Spasms.
Toxins, 5(1), 73–83. https://doi.org/10.3390/toxins5010073.

Kemenkes. (2017). Profile Kesehatan Indonesia 2017. Ministry of Health


Indonesia. https://doi.org/10.1002/qj.

Anda mungkin juga menyukai