CASE REPORT
CHRONIC HEART FAILURE NYHA II
Pembimbing:
dr. Rina Kriswiastiny, Sp.PD
Oleh:
Mia Trihasna Asrizal, S.Ked
2
BAB II
ILUSTRASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. R
Umur : 53 tahun
Alamat : Sukarame
Agama : Islam
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Sesak nafas sejak 2 hari yang lalu yang semakin
memberat
3
Riwayat Perjalanan Penyakit :
Pasien datang ke IGD RSAM dengan keluhan sesak nafas sejak 2 hari
SMRS dan memberat sejak 1 hari SMRS. Pasien juga mengeluh sakit
kepala, dan sempat pingsan <5 menit SMRS, Pasien merasa sesak dan
berdebar-debar yang timbul ketika bekerja berat. Sesak berkurang ketika
beristirahat, dalam posisi duduk maupun berbaring. Keluhan sesak tidak
disertai nyeri dada, batuk, atau demam. Pasien mengaku memiliki riwayat
darah tinggi tetapi tidak rutin berobat. Pasien juga mengeluh nyeri tekan
pada kaki kanan nya, lemas, dan sulit tidur malam karena sesak. Pasien
menyangkal adanya lidah pelo, penurunan kesadaran, lemah anggota gerak,
muntah proyektil. Pasien mengaku tidak ada bengkak di wajah, perut atau
seluruh tubuh. BAB dan BAK normal.
Satu tahun yang lalu, pasien mengaku pernah mengeluh sering sakit kepala
dan penglihatan yang berkunang-kunang. Pasien memeriksakan diri ke
puskesmas dan diberikan obat antihipertensi. Pasien tidak mengingat dengan
jelas nama/bentuk obat. Pasien tidak meminum obat dari puskesmas dengan
rutin.
Enam bulan yang lalu, pasien merasa sesak nafas dan berdebar-debar yang
timbul saat pasien bekerja berat. Sesak nafas terasa lebih ringan apabila
pasien beristirahat dalam posisi duduk maupun berbaring. Keluhan sesak
tidak disertai nyeri dada, batuk, atau demam. Keluhan keringat malam dan
riwayat penurunan badan yang disangkal. Mual dan muntah disangkal.
Kemudian keesokan harinya saat sesak terasa lebih berat, pasien berobat ke
rumah sakit swasta. Pasien dilakukan pemeriksaan rontgen dada dan
ditemukan adanya pembengkakan jantung. Pasien dirawat selama 4 hari dan
kemudian diperbolehkan pulang. Saat pulang pasien diberikan obat-obatan
untuk penyakit pasien namun pasien tidak meminum obat dengan rutin dan
tidak rutin kontrol ke dokter. Selama enam bulan terakhir, pasien seringkali
4
merasakan sesak nafas beberapa kali namun pasien tidak berobat ke rumah
sakit maupun puskesmas.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Keluarga
Alergi √
Asma √
5
Tuberkulpasiena √
Artritis √
Rematisme √
Hipertensi √
Jantung √
Ginjal √
Lambung √
C. ANAMNESIS SISTEM
(-) Lain-lain
Kepala
6
Telinga (tidak ada keluhan)
(-) Epistaksis
Mulut
Tenggorokan
Leher
Jantung / Paru-Paru
7
(-) Nyeri dada (+) Sesak nafas
(-) Benjolan
(-) Lain-lain
Haid
8
(-) Haid terakhir (-) Jumlah dan lamanya (-) Menarche
Ekstremitas
Berat Badan
Riwayat Hidup
9
Ditolong oleh : ( ) Dokter (√ ) Bidan ( ) Dukun
( ) Lain-lain
Riwayat Makanan
Pendidikan
Kesulitan
Lain-lain : -
10
D. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Berat Badan : 70 kg
Pernafasan : 34 x/menit
Suhu : 36.7˚C
Aspek Kejiwaan
Tingkah laku wajar, alam perasan wajar dan proses fikir wajar.
Kulit
11
- Keringat : Ada
- Pigmentasi : (-)
- Turgor : Baik
Kepala
12
Mata
- Exopthalmus : -
- Kelopak : Normal
- Deviatio konjungtiva : -
- Enopthalmus : -
- Lensa : Jernih
- Nistagmus :-
Leher
Dada
- Bentuk : Normothorax
Paru-Paru
13
Depan Belakang
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 6
Perkusi : Batas jantung kanan : Midclavicula dekstra ICS V
14
Batas jantung kiri : Aksila anterior sinistra ICS
V
Batas atas : Parasternal ICS II
Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pembuluh Darah
Arteri temporalis, karotis, radialis, tibialis posterior teraba.
Abdomen
Inspeksi : Cembung
Palpasi : Dinding perut : Nyeri tekan (-)
Hati : Tidak teraba
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement (-)
Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen
Auskultasi : Bising usus (+), 7 x/menit
Refleks dinding perut : Normal
Anggota Gerak
Kanan Kiri
Lain-lain - -
15
Tungkai dan kaki
- Sendi : Normal
- Gerakan : Aktif
- Kekuatan : 5/5
- Edema :-/-
- Lain-lain :-
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Hematokrit : 40 %
Trombosit : 271.000/ul
Ureum : 20 mg/dL
16
CKMB : 19 U/L
Rontgen Thorax
EKG
RINGKASAN
Pasien datang ke IGD RSAM dengan keluhan sesak nafas sejak 2 hari
SMRS dan emberat sejak 1 hari SMRS. Pasien juga mengeluh sakit kepala,
dan sempat pingsan <5 menit SMRS, Pasien merasa sesak dan berdebar-
17
debar yang timbul ketika bekerja berat. Sesak berkurang ketika beristirahat,
dalam posisi duduk maupun berbaring. Keluhan sesak tidak disertai nyeri
dada, batuk, atau demam. Pasien mengaku memiliki riwayat darah tinggi
tetapi tidak rutin berobat. Pasien juga mengeluh nyeri tekan pada kaki kanan
nya, lemas, dan sulit tidur malam karena sesak.
R/ Orthopnoe (-)
1. Diagnosis Kerja
2. Dasar Diagnosis
Pasien memenuhi kriteria Framingham (1 mayor dan 2 minor) yaitu
adanya distensi vena leher, terdapat takikardia, dan terdapat dyspneu
d’effort. Diagnosis fungsional pasien didapatkan dari kriteria NYHA
yaitu pasien saat ini tidak dapat melakukan aktivitas fisik melebihi
aktivitas sehari-hari tanpa keluhan. Keluhan sesak dirasakan berkurang
saat istirahat. Dengan adanya aktivitas fisik yang berlebihan pasien
merasakan adanya peningkatan dari gejala yang dirasakan.
18
G. DIAGNOSIS DIFFERENSIAL
CHF e.c Hipertensi Pulmonal
CHF e.c ASD
I. RENCANA PENGELOLA
1. Non Farmakologi
- Tirah baring
- Diet rendah garam
2. Farmakologi :
- IVFD RL 20 tpm
- Spironolakton 25 mg 2x1
- Amlodipin 10 mg 1x1
- Valsartan 160 mg 1x1
- B.Comp 3x1
- ISDN 5 mg 3x1
J. PENCEGAHAN
1. Mencegah penularan
Tidak Ada
2. Mencegah perburukan
Rutin konsumsi obat anti hipertensi
Diet rendah garam
Kurangi aktivitas berlebih
19
Rutin kontrol
K. PROGNOSIS
20
FOLLOW UP
21
Temperatur : 36,5 1x1
- B.Comp 3x1
- ISDN 5 mg 3x1
A:
CHF NYHA II e.c
HHD
Hipertensi emergency
A:
CHF NYHA II e.c
HHD
Hipertensi emergency
22
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 DEFINISI
23
hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A – V, beri-beri, dan
Penyakit Paget. Secara praktis, kedua kelainan ini tidak dapat
dibedakan.
3. Gagal Jantung Kiri dan Kanan
Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan
tekanan vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan
orthopnea. Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan
ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder,
tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang
menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis.
Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard
ke-2 ventrikel, maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah
berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda.
4. Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-
tiba akibat endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung
yang menurun secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah
tanpa disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau
kelainan multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti
perifer sangat menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan
baik.
Curah jantung yang kurang memadai, juga disebut forward failure, hampir
selalu disertai peningkatan kongesti/ bendungan di sirkulasi vena (backward
failure), karena ventrikel yang lemah tidak mampu memompa darah dalam
jumlah normal, hal ini menyebabkan peningkatan volume darah di ventrikel
pada waktu diastol, peningkatan tekanan diastolik akhir di dalam jantung dan
akhirnya peningkatan tekanan vena. Gagal jantung kongestif mungkin
mengenai sisi kiri dan kanan jantung atau seluruh rongga jantung.
3.2 EPIDEMIOLOGI
24
Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada usia
yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Prevalensi gagal jantung di
Amerika Serikat mencapai 4,8 juta orang dengan 500 ribu kasus baru per
tahunnya. Di Indonesia belum ada angka pasti tentang prevalensi penyakit
gagal jantung, di RS Jantung Harapan Kita, setiap hari ada sekitar 400-500
pasien berobat jalan dan sekitar 65% adalah pasien gagal jantung. Meskipun
terapi gagal jantung mengalami perkembangan yang pesat, angka kematian
dalam 5-10 tahun tetap tinggi, sekitar 30-40% dari pasien penyakit gagal
jantung lanjut dan 5-10% dari pasien dengan gejala gagal jantung yang
ringan.
3.3 ETIOLOGI
3.4 PATOFISIOLOGI
25
gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan
cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi
neurohormonal, sistem Renin–Angiotensin–Aldosteron (sistem RAA) serta
kadar vasopresin dan natriuretik peptide yang bertujuan untuk memperbaiki
lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga (Sylvia & Price,
2006).
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat.
Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap
peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain
Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada
ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriureticpeptide terbatas
pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap
natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide
meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan
dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi
ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan
26
natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang
menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan
telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung (Greenberg,
2007).
3.5 KLASIFIKASI
27
berdasarkan hubungannya dengan gejala dan jumlah atau usaha yang
dibutuhkan untuk menimbulkan gejala, sebagai berikut:
4. Kelas IV: Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup melakukan
kegiatan apapun tanpa keluhan, gejala sesak napas tetap ada walaupun saat
beristirahat.
1. Stage A pasien beresiko tinggi untuk gagal jantung tetapi tidak memiliki
penyakit jantung struktural atau gejala-gejala dari gagal jantung
3.6 DIAGNOSIS
Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan
penemuan klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto
28
thorax, EKG, ekokardiografi, pemeriksaan laboratorium rutin, dan
pemeriksaan biomarker.
Kriteria Diagnosis yang dipakai adalah Kriteria Framingham untuk diagnosis
gagal jantung kongestif
a. Kriteria mayor :
1) Paroksismal nokturnal dispneu
2) Ronki paru
3) Edema akut paru
4) Kardiomegali
5) Gallop S3
6) Distensi vena leher
7) Refluks hepatojugular
8) Peningkatan tekanan vena jugularis
b. Kriteria minor :
1) Edema ekstremitas
2) Batuk malam hari
3) Hepatomegali
4) Dispnea d’effort
5) Efusi pleura
6) Takikardi (120x/menit)
7) Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
Diagnosis gagal jantung ditegakkan dengan dua kriteria mayor atau satu
kriteria mayor dan 2 kriteria minor.
Pemeriksaan Penunjang
Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan
penunjang sebaiknya dilakukan.
1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin :
Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN),
kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan
gula darah, profil lipid.
2. Elektrokardiogram (EKG)
29
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG
adalah untuk menilai ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy
(LVH) atau riwayat MI (ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal
biasanya menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi diastolik pada LV.
3. Radiologi
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung
dan bentuknya, distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang-kadang
efusi pleura. begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat
mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien.
4. Penilaian fungsi LV
Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis,
mengevaluasi, dan menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna
adalah echocardiogram 2D/ Doppler, dimana dapat memberikan penilaian
semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi LV begitu pula dengan
menentukan keberadaan abnormalitas pada katup dan/atau pergerakan
dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan dilatasi atrial
kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada pengisian
diastolic pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai
gagal jantung dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-D/Doppler juga
bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana
sangat penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga
memberikan analisis komprehensif terhadap anatomi jantung dan sekarang
menjadi gold standard dalam penilaian massa dan volume LV. Petunjuk
paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF (stroke volume dibagi
dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah diukur dengan pemeriksaan
noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini diterima secara luas
oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki beberapa keterbatasan sebagai tolak
ukur kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh perubahan pada afterload
dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral
sebagai akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah.
Walaupun demikan, dengan pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi
sistolik biasanya adekuat, dan jika EF berkurang secara bermakna (<30-40%)
30
3.7 PENATALAKSANAAN
Berdasarkan guideline ACC/AHA 2005 yang direvisi tahun 2009 memberikan
rekomendasi penatalaksanaan yang berbeda pada setiap stadium dari gagal
jantung yaitu:
Stage A
ACE inhibitor dapat digunakan untuk mencegah gagal jantung pada pasien
dengan resiko tinggi menjadi gagal jantung yaitu pasien dengan riwayat
penyakit aterosklerosis, DM, dan hipertensi. Angiotensin receptor II juga dapat
digunakan sebagai pengganti ACE inhibitor (Rekomendasi Kelas II).
Stage B
Pada pasien stadium ini insidensi dari gagal jantung dapat diturunkan dengan
mengurangi resiko terjadinya cedera tambahan serta menghambat evolusi dan
31
progresi dari remodeling ventrikel kiri. Semua rekomendasi kelas I pada
stadium A harus diaplikasikan pada semua pasien dengan stadium B. Penyekat
reseptor beta dan ACE inhibitor harus digunakan pada semua pasien dengan
riwayat penyakit sekarang atau terdahulu dari infark miokard. Beta blocker
juga diindikasikan pada pasien tanpa riwayat infark miokard. ACE inhibitor
harus digunakan pada pasien dengan penurunan fraksi ejeksi dan tidak ada
gejala gagal jantng, meskipun telah mengalami infark miokardium.
Angiotensin II receptor blocker juga harus diberikan pada pasien post-MI tanpa
gagal jantung yang tidak toleransi terhadap ACE inhibitor. Revaskularisasi
koroner harus direkomendasikan pada pasien yang tepat yang belum
mengalami gejala gagal jantung. Terapi pengganti atau perbaikan katup
jantung harus direkomendasikan pada pasien stenosis dan regurgitasi katup
tanpa gejala gagal jantung (Rekomendasi Kelas I).
ACE inhibitor ataupun ARB dapat diberikan pada pasien hipertensi dan
hipertorfi ventrikel kiri. ARB dapt diberikan pada pasien dengan fraksi ejeksi
yang rendah dan tanpa gejala dari gagal jantung yang tidak toleransi terhadap
ACE inhibitor. Penempatan ICD dapat dilakukan pada pasien dengan
kardiomiopati iskemik yang minimal lewat 40 hari post-MI, mempunyai fraksi
ejeksi ventrikel kiri< 30%, NYHA fungsional kelas I yang telah mendapat
terapi medis kronis (Rekomendasi Kelas II).
Stage C
Semua rekomendasi kelas I pada pasien stage A dan B dapat dilakukan pada
pasien stage ZC. Pemberian diuretik dan restriksi garam diindikasikan pada
pasien dengan gejala sekarang atau terdahulu dari gagal jantung dan penurunan
LVEF yang mengalami retensi cairan. ACE inhibitor direkomendasikan pada
32
semua pasien dengan gejala gagal jantung dan penurunan EF, kecuali ada
kontraindikasi. Penggunaan 1 dari 3 beta blocker yaitu bisoprolol, carvediol,
dan metoprolol terbukti mengurangi mortalitas dan direkomendasikan pada
pasien ini kecuali kontraindikasi. ARB dapat digunakan pada pasien yang tidak
toleransi terhadap ACE inhibitor. Obat-obatan yang dapat memperburuk gagal
jantung harus dihentikan dan dicegah penggunaannya jika mungkin sperti
NSAID, obat antiaritmia, dan Ca Channel blocker. Pemasangan implantable
cardioverter-defibrillator direkomendasikan sebagai pencegahan sekunder
untuk memperpanjang survival pada pasien dengan riwayat henti jantung,
fibrilasi ventrikular, atau takikardia ventrikular yang tidak stabil
hemodinamiknya. Alat ini juga sebagai pencegahan primer terhadap sudden
cardiac death pada pasien kardiomiopati dilatasi iskemik atau penyakit jantung
iskemik dengan masa post-MI lebih dari 40 hari, dan LVEF ≤ 35% dengan
NYHA fungsional kelas II atau III. Pasien dengan LVEF ≤35%, irama sinus,
dan NYHA fungsional kelas III dan IV dengan durasi QRS ≥0,12 detik, harus
dilakukan terapi resinkronisasi jantung, dengan atau tanpa ICD. Pemberian
antagonis aldosterone direkomendasikan pada pasien dengan gejala sedang
sampai berat dan penurunan LVEF dimana kadar kreatinin harus ≤2,5 mg/dL
pada pria atau ≤2,0 mg/dL pada wanita dan kadar kalium harus ≤5,0 mEq/L .
Kombinasi hidralazine dan nitrat direkomendasikan pada pasien afro-amerika
dengan gejala sedang dan berat meskipun terapi yang optimal. Pada pasien
gagal jantung dengan hipertensi sistolik dan diastolik dengan LVEF yang
normal, tekanan darah harus dikontrol sesuai dengan guideline yang berlaku.
Kontrol rate ventrikular juga dilakukan pada pasien dengan LVEF normal dan
fibrilasi atrium. Edema pulmonal dan juga perifer juga harus dikontrol dengan
penggunaan diuretik pada pasien dengan LVEF normal.(Rekomendasi Kelas I).
Pada pasien dengan fibrilasi atrium dan gagal jantung dapat diatasi dengan
kontrol rate ventrikular. ARB dapat digunakan sebagai lini pertama terutama
pada pasien dengan indikasi lain penggunaan ARB. Digitalis dapat diberikan
pada pasien dengan penurunan LVEF untuk mengurangi masa rawatan.
Penambahan kombinasi hidralazin dan nitrat pada pasien dengan penurunan
LVEF pada pasien dengan gejala yang persisten dapat dilakukan. Penggunaan
33
terapi resinkronisasi jantung dapat digunakan pada pasien dengan indikasi yang
tepat. Kombinasi hidralazin dan nitrat dapat diberikan pada pasien dengan
intoleransi terhadap ACE inhibitor dan ARB, hipotensi ataupun insufisiensi
ginjal. Revaskularisasi koroner dapat dilakukan pada pasien tertentu yaitu
pasien CAD yang simptomatik atau iskemik miokardium. Restorasi dan
maintenance terhadap irama sinus pada pasien dengan fibrilasi atrial berguna
untuk memperbaiki gejala pada gagal jantung dan LVEF normal. Penggunaan
beta blocker, ACE inhibitor, atau Ca antagonis efektif pada pasein gagal
jantung dengan LVEF normal. Penggunaan digitalis untuk meminimalisir
gejala pada pasien gagal jantung dengan LVEF normal belum diketahui
manfaatnya.(Rekomendasi Kelas II).
Stage D
Pada pasien dengan stadium ini identifikasi dan kontrol yang cermat terhadap
retensi cairan direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung refraktoris
tahap akhir. Transplantasi jantung terhadap pasien yang sesuai dapat
direkomendasikan pada pasien ini, selain itu penanganan khusus juga
dilakukan pada pasien ini oleh ahli-ahli yang khusus. Diskusi perawatan end-
of-life harus dilakukan bersama dengan pasien dan keluarga. Pasien dengan
implantable defibrillators harus diinformasikan untuk pilihan menginaktivasi
alat tersebut (Rekomendasi Kelas I).
Pilihan untuk menggunakan LV assist device sebagai terapi akhir pada pasien
dengan gagal jantung tahap akhir refraktoris dan mortalitas 1-tahun >50%
dengan terapi medis. Pemasangan kateter arteri pulmonal dapat juga dilakukan
pada gejala yang sangat berat. Penggantian katup mitral belum terbukti pada
pasien gagal jantung refraktoris dengan regurgitasi mitral berat sekunder. Infus
34
intravena berkesinambungan dari agen inotropik untuk mengatasi gejala dapat
dilakukan (Rekomendasi Kelas II).
1. Non farmakologi
Penyuluhan umuma.
35
b. Mengontrol berat badan
2. Farmakologi
a. Diuretik
b. ACE Inhibitor
c. Beta Blocker
36
Beta Blocker bermanfaat sama seperti ACE inhibitor. Pemberian mulai dosis
kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat
sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pada
gagal jantung kelas fungsional II danIII.
Memberi hasil yang baik pada pasien yang intoleran dengan penghambat ACE
dapat dipertimbangkan.
f. Digoksin
h. Antiaritmia
3.8 PROGNOSIS
37
Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak diketahui. Sedangkan
prognosis pada penderita gagal jantung yang mendapat terapi yaitu:
1. Kelas NYHA I : mortalitas 5 tahun 10-20%
2. Kelas NYHA II : mortalitas 5 tahun 10-20%
3. Kelas NYHA III : mortalitas 5 tahun 50-70%
4. Kelas NYHA IV : mortalitas 5 tahun 70-90%
BAB IV
ANALISA KASUS
Pada pasien ini os mengeluh sesak nafas sejak 2 hari yang lalu disertai
dengan nyeri kepala ringan. Keluhan terasa saat pasien beraktivitas berat. Pasien
memiliki riwayat pembengkakan jantung 6 bulan yang lalu dan hipertensi sejak 1
tahun terakhir yang tidak diobati atau diperiksakan secara rutin. Pasien tidak
pernah merokok atau meminum alkohol. Pasien tidak memiliki keluarga dengan
keluhan atau penyakit yang sama. Penyebab dari gagal jantung yang dialami oleh
pasien diperkirakan disebabkan oleh hipertensi yang muncul sejak satu tahun
darah yaitu 220/90 mmHg dan peningkatan detak jantung yaitu 121 kali permenit
serta peningkatan laju nafas yaitu 34x/menit, sedangkan suhu tubuh normal. Dari
maupun kiri..
38
kelainan yang signifikan dari pemeriksaan darah lengkap maupun pemeriksaan
yang dimulai dari 2 liter per menit. Oksigenasi pada kasus penyakit jantung sangat
pasien. Pemberian berbagai agen diatas sudah cukup tepat menimbang pasien
memiliki gejala yang cukup berat dan tekanan darah yang tinggi. Dengan adanya
baring, dan modifikasi gaya hidup. Modifikasi gaya hidup meliputi pola makan
dengan meningkatkan jumlah serat dan buah dikonsumsi serta diet rendah garam.
Hal ini sesuai dengan anjuran guidelines hipertensi JNC 7 dan JNC 8. Pasien juga
pengobatan gagal jantung serta komitmen dalam perubahan gaya hidup untuk
Pasien memiliki prognosis yang kurang baik. Hal ini dilihat dari data
statistik yaitu tingkat kematian 5 tahun kedepan pada pasien gagal jantung kronis
mencapai 70 %.
39
DAFTAR PUSTAKA
Braunwald, E., 2008. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Kasper, D.L. et all,
ed.17th Edition Harrison’s Principles of Internal Medicine. New York:
McGraw-Hill, 2152-2180.
Edwards, MM. O’Gara, PT. Lilly LS. Valvular Heart Disease. In: Lilly
LS, Ed.Pathophysiology of Heart Disease. 4th ed. Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins; 2007.
Jessup, M., Brozena S., 2003. Heart Failure. N Engl J Med ; 2007-2018
Kumar, Cotran, Robbins.Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta : EGC, 2007.
Volume 2.
40
Manurung, D. 2009. Regurgitasi Mitral. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V.
Jakarta : PAPDI, 1679-1679.
Sugeng, Barita Sitompul dan J. Irawan. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004.
41