Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Empiema adalah keadaan terdapatnya pus (nanah) dalam rongga pleura yang

biasanya merupakan kelanjutan proses efusi parapneumonia. Empiema dapat juga

terjadi akibat komplikasi thorakotomi, trauma thorak, perforasi esophagus,

thorakosentesis (aspirasi cairan pleura), proses keganasan dan infeksi kuman

tuberkulosis. prevalensi efusi pleura kira-kira 35 - 40%. Efusi pleura terkomplikasi

atau empiema sering terjadi pada infeksi pleuropulmonari anaerob. Pada infeksi

pleuropulmonari kira-kira 500.000 - 750.000 pasien terjadi efusi parapneumonia.

Data tahun 1996 di Amerika Serikat diagnosis parapneumonia empiema sekitar 3,04

per 100.000, sedangkan tahun 2008 meningkat menjadi 5,98 per 100.000. Empiema

merupakan cairan inflammatori dan debris pada rongga pleura. Empiema merupakan

akibat dari infeksi pada rongga pleura yang tak terobati yang berkembang dari cairan

pleura menjadi suatu kumpulan kompleks pada rongga pleura. Diagnosis empiema

ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemerikasaan fisik dan pemeriksaan penunjang

yaitu pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan

sitopatologi. Pemeriksaan radiologis diantaranya foto polos thoraks, USG dan CT

Scan thoraks.

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi pada parenkim paru yang disebabkan

oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Sumber penularan penyakit ini adalah

pasien tuberkulosis BTA positif.[1,2] Penularan terjadi melalui udara pada waktu

seseorang dengan BTA positif batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke

1
udara dalam bentuk percik dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan

sekitar 3500 droplet nuclei. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dengan

ventilasi yang kurang dan sinar matahari yang minimal dimana droplet nuclei dapat

bertahan dalam waktu yang lama. Tuberkulosis juga dapat menyerang organ tubuh

lainnya di luar paru seperti pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium),

kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin,

dan lain-lain. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh di luar paru

diklasifikasikan sebagai tuberkulosis ekstrapulmoner

Gejala klinis pada tuberkulosis paru dibagi menjadi gejala respiratorius dan

sistemik. Gejala respiratorius yang dapat timbul meliputi batuk >2 minggu, batuk

darah, sesak nafas dan nyeri dada. Sedangkan untuk gejala sistemik yang dapat

timbul meliputi demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan

menurun. Pada tuberkulosis ekstrapulmoner, gejala klinis yang ditimbulkan

tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada meningitis TB, nyeri

dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada

limfadenitis TB, deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-

lain. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat

ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan

menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada

metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik,

misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.

Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan bakteriologi, dan radiologi. Untuk pemeriksaan fisik, kelainan yang

didapat tergantung pada luas kelainan struktur paru. Kelainan paru pada umumnya

terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior, serta

2
daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain

suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda tanda

penarikan paru, diafragma dan mediastinum. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi

dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan

lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, feses, dan

jaringan biopsi. Pengumpulan dahak dilakukan sebanyak tiga kali yaitu sewaktu/spot

(dahak sewaktu saat kunjungan), dahak pagi (keesokan harinya), sewaktu/spot (pada

saat mengantarkan dahak pagi). Kemudian, spesimen tersebut diberikan pewarnaan

Ziehl Nielsen. Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan adalah foto toraks PA

dengan atau tanpa foto lateral. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat

member gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).[2,4] Gambaran radiologi

yang dicurigai sebagai lesi TB aktif, di antaranya: bayangan berawan/ nodular

disegmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah,

kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau

nodular, bayangan bercak milier, efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral

(jarang). Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan adalah biakan,

tuberkulin, PCR, pemeriksaan darah rutin, maupun biopsi.

Tuberkulosis paru apabila tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan

terjadinya komplikasi. Pada tuberculosis paru, terdapat dua komplikasi yakni

komplikasi dini dan komplikasi stadium lanjut. Komplikasi dini yang dapat timbul

meliputi pleuritis, efusi pleura, empiema dan laringitis TB. Sedangkan, komplikasi

stadium lanjut yang dapat timbul meliputi hemoptisis masif, kolaps lobus akibat

sumbatan duktus, bronkiektasis, pneumotoraks spontan, fibrotoraks dan

hidropneumotoraks.

3
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS

1. Nama : Tn. AA

2. Jenis kelamin : Laki-Laki

3. Umur : 21 Tahun

4. Tanggal Lahir : 12 Maret 2000

5. Alamat : Karatat

6. Pekerjaan : Mahasiswa

7. Agama : Kristen

8. MR : 07-38-22

9. Tanggal MRS : 10-08-2021

2.2 ANAMNESA

1. Keluhan Utama

Sesak Nafas sejak 3 bulan

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Seorang Laki-laki usia 21 tahun datang ke IGD RSUD DR. PP. Magretti dengan

keluhan sesak nafas sejak 3 bulan memberat 1 minggu. Sesak memberat saat

batuk. Batuk kurang lebih 3 bulan memberat 1 minggu, dahak (-), demam (-),

Selain itu pasien juga mengeluh nyeri dada kiri yang muncul saat batuk dan

sesak. keringat malam (+), penurunan BB (+). Pasien nyaman dengan duduk

4
tegak. Rasa tidak nyaman diperut bagian atas seperti tertusuk. Makan minum

baik, mual (-), muntah (-), BAB dan BAK baik. BAB terkahir kemarin warna

kuning. Minum alkohol (+), merokok (+), Sering Menyelam (+)

3. Riwayat penyakit dahulu

Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya, riwayat darah

tinggi dan riwayat kencing manis disangkal oleh pasien. Pasien tidak pernah

menjalani pengobatan paru selama 6 bulan.

4. Riwayat penyakit keluarga

Pasien tidak memiliki riwayat penyakit serupa dalam keluarga

5. Riwayat sosial da kebiasaan

Merokok (+), minum alcohol (+), dan memiliki kebiasaan menyelam

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Generalis

a. Tanda-Tanda Vital dan Keadaan Umum

1. Keadaan umum : Tampak Sesak

2. Kesadaran : Compos mentis

3. Tekanan darah : 90/60

4. Nadi : 110x/menit

5. Respirasi : 36x/menit

6. Suhu : 36,8 derajat celcius

7. SpO2 : 96% room air

5
b. Kepala dan Leher

1. Kepala : Normocefal, simetris, tidak ada kelainan, warna rambut

hitam, kulit kepala normal,

2. Muka : Asimetris, paresenervus VII (-).

3. Mata : Exoftalmus (-/-), endoftalmus (-/-), konjungtiva anemis(-/-),

sclera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-), pupil bulat isokor,

diameter pupil Ø 3mm ODS, refleks cahaya (+/+), gerakan

bola mata baik kesegala arah.

4. Hidung : Deformitas (-), deviasi (-),secret (-/-), darah (-/-), nyeri

tekan sinus (-).

5. Telinga : Deformitas (-), sekret (-), nyeri tekan tragus (-), nyeri tarik

(-), tidak teraba benjolan/ pembesaran KGB lokal.

6. Mulut : Mukosa bibir lembab, sianosis (-), oral candidiasis (-),

stomatitis (-), caries (-), hipertrofigusi (-).

7. Tenggorokan : Uvula ditengah, tonsil T1-T1 tenang, faring hiperemis (-).

c. Thorax

1. Paru

Inspeksi : Pergerakan dada simetris, Tidak terdapat kelainan pada

dinding dada,retraksi (-/-).

Palpasi : Ekspansi dada (+) Dextra = Sinistra, Vokal Fremitus

Dextra tidak sama dengan Sinistra

Perkusi : Sonor dilapang paru kanan, Hipersonor di Sinistra

Auskultasi : Suara napas vesikuler/menurun, wheezing (-/-), rhonki (-/-).

6
2. Jantung

Inspeksi : Tidak tampak pulsasi.

Palpasi : Thrill (-).

Perkusi : Pekak, Batas jantung normal.

Auskultasi : BJ I dan BJ II reguler, murmur (-), gallop (-).

d. Abdomen

Inspeksi : Datar, jejas (-).

Auskultasi : Bising usus (+) normal 3-4 x/menit.

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), trugor kulit kembali cepat, hepar/lien

tidak teraba membesar

Perkusi : Timpani.

e. Ekstremitas

Inspeksi : Deformitas (-)

Palpasi : Akral hangat, CRT < 2 detik, Udem tungkai (-).

f. Genitalia

Sex : Laki-laki, ulkus (-), edema (-)

7
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

2.4.1 Pemeriksaan Laboratorium

Tanggal
Parameter Nilai Normal
01/07/2021
Hb (g/dL) 9,4 14-18 gr%
Gene Expert MTB Not Detected Not Detected

2.4.2 Pemeriksaan Foto Roentgen Thorax

Tanggal 10/08/2021

Tanggal 14/08/2021

8
Tanggal 18/08/2021

Tanggal 23/08/2021

Produksi Drain WSD tampak Purulen

9
2.5 DIAGNOSIS

1. Empyema Paru Sinistra

2. Pleura TB

2.6 TERAPI

Diet TKTP tinggi Serat

IVFD NaCl 0.9% 500 cc/24 j

Ceftriaxone 1x2 gr iv

Metronidazole 3x500 mg iv

OAT RHZE (450/300/1000/1000)

PCT 3x1 gr iv

Ambroxol 3x10 mg

Albumin 3x1 tab

Tablet Tambah Darah 1x1 tab

Tiup Balon 6x/hr

Chest Fisioterapi 4x/hr

Inhalasi Ventolin/8 jam

2.7 PROGNOSIS

Prognosis pada pasien ini adalah

Ad Vitam : dubia ad bonam

Ad fungtionam : dubia ad bonam

At sanationam : dubia ad bonam

10
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI

Empiema toraks didefinisikan sebagai suatu infeksi pada ruang pleura yang

berhubungan dengan pembentukan cairan yang kental dan purulen baik terlokalisasi

atau bebas dalam ruang pleura yang disebabkan karena adanya dead space, media

biakan pada cairan pleura dan inokulasi bakteri. Empiema adalah akumulasi pus

diantara paru dan membran yang menhyelimutinya (ruang pleura) yang dapat terjadi

bilamana suatu paru terinfeksi. Pus ini berisi sel sel darah putih yang berperan untuk

melawan agen infeksi (sel sel polimorfonuklear) dan juga berisi protein darah yang

berperan dalam pembekuan (fibrin). Ketika pus terkumpul dalam ruang pleura maka

terjadi peningkatan tekanan pada paru sehingga pernapasan menjadi sulit dan terasa

nyeri. Seiring dengan berlanjutnya perjalanan penyakit maka fibrin-fibrin tersebut

akan memisahkan pleura menjadi kantong kantong (lokulasi). Pembentukan jaringan

parut dapat membuat sebagian paru tertarik dan akhirnya mengakibatkan kerusakan

yang permanen.

3.2 EPIDEMIOLOGI

Empiema merupakan salah satu penyakit yang sudah lama ditemukan dan berat.

Saat ini terdapat 6500 penderita di USA dan UK yang menderita empiema dan efusi

parapneumonia tiap tahun, dengan mortalitas sebanyak 20% dan menghabiskan dana

rumah sakit sebesar 500 juta dolar. Di India terdapat 5 – 10% kasus anak dengan

empiema toraks. Empiema toraks didefinisikan sebagai suatu infeksi pada ruang

pleura yang berhubungan dengan pembentukan cairan yang kental dan purulen baik

11
terlokalisasi atau bebas dalam ruang pleura yang disebabkan karena adanya dead

space, media biakan pada cairan pleura dan inokulasi bakteri. Empiema adalah

akumulasi pus diantara paru dan membran yang menyelimutinya (ruang pleura) yang

dapat terjadi bilamana suatu paru terinfeksi. Pus ini berisi sel sel darah putih yang

berperan untuk melawan agen infeksi (sel sel polimorfonuklear) dan juga berisi

protein darah yang berperan dalam pembekuan (fibrin). Ketika pus terkumpul dalam

ruang pleura maka terjadi peningkatan tekanan pada paru sehingga pernapasan

menjadi sulit dan terasa nyeri. Seiring dengan berlanjutnya perjalanan penyakit

maka fibrin-fibrin tersebut akan memisahkan pleura menjadi kantong kantong

(lokulasi). Pembentukan jaringan parut dapat membuat sebagian paru tertarik dan

akhirnya mengakibatkan kerusakan yang permanen. Empiema biasanya merupakan

komplikasi dari infeksi paru (pneumonia) atau kantong kantong pus yang

terlokalisasi (abses) dalam paru.

Empiema dapat juga terjadi akibat infeksi setelah pembedahan dada, trauma

tembus dada, atau karena prosedur medis seperti torakosentesis atau karena

pemasangan chest tube. Pus yang berasal dari rongga abdomen yang berada tepat di

bawah paru (abses subfrenikus) juga dapat meluas ke rongga pleura dan

menyebabkan empiema. Demam tinggi sering ditemui, sama seperti gejala

pneumonia yang berupa batuk, nyeri dada karena pleuritis, dan kelemahan.

Empiema juga dapat terjadi akibat dari keadaan keadaan seperti septikemia, sepsis,

tromboflebitis, pneumotoraks spontan, mediastinitis, atau ruptur esofagus.

Infeksi ruang pleura turut mengambil peran pada terjadinya empiema sejak jaman

kuno. Aristoteles menemukan peningkatan angka kesakitan dan kematian

berhubungan dengan empiema dan menggambarkan adanya drainase cairan pleura

setelah dilakukan insisi.

12
3.3 ANATOMI DAN FISIOLOGI PLEURA

Paru kanan normalnya terdiri dari tiga lobus (atas, tengah, dan bawah) dan

merupakan 55% bagian paru. Paru kiri normalnya terdiri dari dua lobus (atas dan

bawah). Pada lobus atas paru kiri pada bagian bawahnya terdapat lingula yang

merupakan analog dari lobus tengah paru kanan. Paru mengalami perkembangan

yang hebat, saat lahir, bayi memiliki 25 juta alveoli ; jumlah ini bertambah menjadi

300 juta setelah dewasa. Pertumbuhan paling sering terjadi saat usia 8 tahun.

Pertumbuhan tercepat pada usia 3 – 4 tahun.

Gambar Anatomi Paru

. Pleura adalah membran tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura viseralis dan

parietalis. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesotelial, jaringan ikat,

dan dalam keadaan normal, berisikan lapisan cairan yang sangat tipis. Membran

serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura viseralis, sedangkan

membran serosa yang melapisi dinding toraks, diafragma, dan mediastinum disebut

13
pleura parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan dinding thoraks. Rongga

pleura dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi sebagai pelumas antara kedua

pleura. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hilus paru. Dalam hal ini, terdapat

perbedaan antara pleura viseralis dan parietalis, diantaranya pleura viseralis

memiliki ciri ciri permukaan luarnya terdiri dari selapis sel mesotelial yang tipis <

30mm, diantara celah-celah sel ini terdapat sel limfosit, di bawah sel-sel mesotelial

ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit, di bawahnya terdapat

lapisan tengah berupa jaringan kolagen dan serat-serat elastik, lapisan terbawah

terdapat jaringan interstitial subpleura yang banyak mengandung pembuluh darah

kapiler dari a. pulmonalis dan a. brakhialis serta pembuluh limfa, menempel kuat

pada jaringan paru, fungsinya untuk mengabsorbsi cairan pleura.

Gambar Pleura parietalis dan viseralis

Pleura parietalis jaringannya lebih tebal terdiri dari sel-sel mesotelial dan jaringan

ikat (kolagen dan elastis), dalam jaringan ikat tersebut banyak mengandung kapiler

dari a. intercostalis dan a. mamaria interna, pembuluh limfa dan banyak reseptor

saraf sensoris yang peka terhadap rasa sakit dan perbedaan temperatur. Keseluruhan

berasal n. intercostalis dinding dada dan alirannya sesuai dengan dermatom dada,

14
mudah menempel dan lepas dari dinding dada di atasnya, berfungsi untuk

memproduksi cairan pleura2.Volume cairan pleura selalu konstan, dipengaruhi oleh

tekanan hidrostatik sebesar 9 mmHg , diproduksi oleh pleura parietalis, serta tekanan

koloid osmotik sebesar 10 mmHg yang selanjutnya akan diabsorbsi oleh pleura

viseralis. Penyebab akumulasi cairan pleura adalah sebagai berikut :

a. Menurunnya tekanan koloid osmotik (hipolbuminemia)

b. Meningkatnya permeabilitas kapiler (radang, neoplasma)

c. Meningkatnya tekanan hidrostatik (gagal jantung)

d. Meningkatnya tekanan negatif intrapleura (atelektasis)

3.4 ETIOLOGI

Stafilokokus aureus merupakan bakteri penyebab empiema yang paling sering

ditemukan dalam isolasi mikrobiologi, selebihnya adalah bakteri gram negatif.

Penyebab terjadinya empiema sendiri terbagi menjadi:

1.      Infeksi yang berasal dari dalam paru :

a.       Pneumonia

b.      Abses paru

c.       Bronkiektasis

d.      TBC paru

e.       Aktinomikosis paru

Sering ditemukannya bakteri gram negatif pada biakan terjadi diantaranya karena

tingginya insidensi resisten karena pemberian antibiotik pada fase awal pneumonia.

Streptokokus jarang menyebabkan empiema. Penyebab empiema polimikrobial juga

pernah dilaporkan, untuk menanganinya diperlukan antibiotik kombinasi. Pemberian

antibiotik spesifik untuk stafilokosus aureus yang dikombinasikan dengan antibiotik

15
lainnya dapat melawan bakteri gram negatif. Namun telah diketahui bahwa

aminoglikosida memiliki kekuatan penetrasi ke dalam ruang pleura yang jelek.

Namun pemberian aminoglikosida dapat diberikan dengan indikasi untuk mengatasi

pneumonia. Selain itu pemberian aminoglikosida dimaksudkan karena alasan biaya.

Untuk penderita dengan sosial ekonomi yang rendah dan tidak mampu untuk

membeli sefalosporin. Tuberkulosis juga menyebabkan empiema terutama pada

masyarakat India. Mycobacterium tuberculosis sulit diisolasi pada pasien empiema.

Namun pada negara barat justru ditemukan mikrobakterium tuberkulosis yang

tinggi. Fenomena yang jelas ini membutuhkan penelitian yang lebih lanjut. Cairan

pleura yang purulen (empiema) hampir selalu disebabkan oleh bakterial pneumonia.

Efusi pleura yang berhubungan dengan peumonia bakterial, abses paru, atau

bronkoektasis disebut efusi parapneumonia. Sebelum antibiotika tersedia,

pneumokokus atau beta-hemolitik streptokokus merupakan penyebab tersering

terjadinya empiema. Beberapa masa sesudahnya, Stafilokokus aureus menjadi

penyebab terbanyak, namun pada tahun tahun terakhir ini S. pneumoniae kembali

menonjol. Presentase penderita dengan pneumonia pneumokokal yang mengalami

efusi paraneumonik tidaklah tinggi seperti yang terlihat pada penderita dengan

empiema yang disebabkan oleh S. aureus (sekitar 80% anak yang mengalami

pnemonia dengan penyebab S. aureus); selain itu juga dapat disebabkan oleh infeksi

streptokokus grup A , jarang oleh F. tularensis, H. influenzae tipe b, dan bakteri usus

gram negatif seperti Pseudomonas atau Salmonela. Streptokokus dan difteroid (flora

normal mulut) merupakan penyebab pneumonia aspirasi, khususnya pada dewasa.

Pasteurela multosida juga penyebab empiema pada anak yang menderita pneumonia

dan terekspos dengan binatang. Nokardia jarang menyebabkan efusi pleura, khas

pada penderita yang sistem imunnya tertekan. Penyebab tidak lazim lainnya adalah

16
Yersinia, klamidia trakomatis, dan Liseria. Spesies bakteroides atau klostridium,

aktinomises anaerob, dan streptokokus anaerob kadang juga menyebabkan empiema

(terutama pada usia dewasa), sehingga cairan dibutuhkan kultur secara anaerob.

Blastomikosis, histoplasmosis, dan koksidioidomikosis berhubungan dengan efusi

pleua purulenta ringan sampai sedang. fungi tersebut dan kriptokokus merupakan

suatu agen yang menjadi risiko penyebab infeksi pada penderita dengan

imunodefisiensi. Namun, penyakit paru yang masif kadang juga menyerang

penderita dengan status imunologi yang normal yang banyak terpajan dengan fungi.

Empiema juga dapat disebabkan oleh parasit seperti paragonimiasis (pada imigran

timur jauh) dan amebiasis.

3.5 PATOGENESIS

Invasi basil piogenik ke pleura akan mengakibatkan timbulnya radang akut yang

diikuti pembentukan eksudat serous. Dengan banyaknya sel PMN yang mati akan

meningkatkan kadar protein dimana mengakibatkan timbunan cairan kental dan

keruh. Adanya endapan-endapan fibrin akan membentuk kantong-kantong yang

melokalisasi nanah tersebut. Apabila nanah menembus bronkus, timbul fistel

bronkus pleural. Sedangkan bila nanah menembus dinding thorak dan keluar melalui

kulit disebut emphiema nesessitasis.

3.5.1 STADIUM 1

Disebut juga stadium eksudatif atau stadium akut, yang terjadi pada hari-hari

pertama saat efusi. Inflamasi pleura menyebabkan peningkatan permeabilitas dan

terjadi penimbunan cairan pleura namun masih sedikit. Cairan yang dihasilkan

mengandung elemen seluler yang kebanyakan terdiri atas netrofil. Stadium ini
17
terjadi selama 24-72 jam dan kemudian berkembang menjadi stadium fibropurulen.

Cairan pleura mengalir bebas dan dikarakterisasi dengan jumlah darah putih yang

rendah dan enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang rendah serta glukosa dan pH

yang normal, drainase yang dilakukan sedini mungkin dapat mempercepat

perbaikan.

3.5.2 STADIUM 2

Disebut juga dengan stadium fibropurulen atau stadium transisional yang

dikarakterisasi dengan inflamasi pleura yang meluas dan bertambahnya kekentalan

dan kekeruhan cairan. Cairan dapat berisi banyak leukosit polimorfonuklear, bakteri,

dan debris selular. Akumulasi protein dan fibrin disertai pembentukan membran

fibrin, yang membentuk bagian atau lokulasi dalam ruang pleura. Saat stadium ini

berlanjut, pH cairan pleura dan glukosa menjadi rendah sedangkan LDH meningkat.

Stadium ini berakhir setelah 7-10 hari dan sering membutuhkan penanganan yang

lanjut seperti torakostomi dan pemasangan tube3.

3.5.3 STADIUM 3

Disebut juga stadium organisasi (kronik). Terjadi pembentukan kulit fibrinosa

pada membran pleura, membentuk jaringan yang mencegah ekspansi pleura dan

membentuk lokulasi intrapleura yang menghalangi jalannya tuba torakostomi untuk

drainase. Kulit pleura yang kental terbentuk dari resorpsi cairan dan merupakan hasil

dari proliferasi fibroblas. Parenkim paru menjadi terperangkap dan terjadi

pembentukan fibrotoraks. Stadium ini biasanya terjadi selama 2 – 4 minggu setelah

gejala awal.

18
Empiema adalah adanya pus dalam rongga pleura. Penderita dengan efusi

parapneumonia yang tanpa disertai komplikasi ditangani dengan antibiotika, cairan

pleura dan fagosit akan resorbsi melalui sistem limfa di subpleura, sedangkan

membran mesotelial akan mengalami perbaikan. Jika tidak ditangani dengan

antibiotika, respons inflamasi dini tidak cukup untuk mencegah penyebaran bakteri,

dan efusi parapneumonia dapat terus berkembang menjadi empiema dan berakhir ke

stadium kronik. Selama empiema terus berlanjut, akan terjadi perkembangan fibrosis

pada ruang pleura. Adanya fibrosis dalam ruang pleura menggambarkan suatu

keadaan yang paling menyebabkan kelemahan pada penderita empiema toraks. Bila

fibrosis pleura terus berlanjut akhirnya akan terjadi fibrotoraks. Mekanisme yang

pasti terjadinya fibrosis belum sepenuhnya dimengerti.

Membran pleura menghasilkan cairan pleura yang kemudian diserap oleh saluran

limfa yang terletak pada kedua lapisan pleura. Peningkatan produksi cairan atau

penurunan resorpsi cairan akan menyebabkan akumulasi cairan yang patologis pada

ruang pleura. Cairan pleura dapat berupa transudat, transudat serofibrin, hemoragik,

atau kilosa. Dengan pemeriksaan radiografi mungkin bisa membedakan jenis-jenis

cairan pleura. Pleurosentesis dapat dilakukan dibawah petunjuk teknik pencitraan.

Transudat pleura biasanya berwarna jernih, kekuningan dan biasanya bilateral.

Penyebab tersering adalah gagal jantung. Penyebab lainnya dapat karena gagal

ginjal, hipoproteinemia atau overtransfusi. Eksudat dapat berwarna kuning

kecoklatan atau purulen, dapat disebabkan oleh tuberkulosis, infeksi paru atau pleura

lainnya atau karena abses subfrenikus. Penyebab lainnya adalah kanker paru dan

penyakit jaringan ikat sistemik seperti lupus eritematous sistemik atau rheumatoid

arthritis. Pada posisi tegak lurus, sedikit cairan akan berkumpul di sudut

kostofrenikus, pertama kali ke arah posterior kemudian ke lateral. Sepanjang

19
diafragma dan dada terisi dengan gambaran opak. Dimana selama volume cairan

terus bertambah maka secara bertahap akan semakin luas dan paru mengalami

perselubungan. jika tidak ditemukan kepastian antara cairan atau sisa infeksi pleura

yang mengalami pengentalan maka dapat diperjelas dengan pengambilan film

tambahan, yakni penderita dalam posisi dekubitus lateral, bila cairan maka akan

mengalir ke bawah mengikuti gravitasi. Cairan pleura dapat terkumpul dalam

kantong tertutup ( lokuli ) yang dibentuk oleh proses infeksi aktif dan menghasilkan

pus dalam jumlah yang besar, cairan pleura tidak hanya mengalir secara pasif

sepanjang dada pada batas cembung medial tapi juga menuju batas cekung medial.

Hal ini mengarah kecurigaan pada empiema dimana dapat terjadi hubungan antara

pneumoni dengan abses paru. Empiema dapat menembus pleura viseral dan

terhubung dengan jaringan paru yang mengandung udara dan cabang bronkial.

Hubungan seperti ini dapat juga terjadi ketika suatu infeksi pada paru menembus

pleura.

3.6 DIAGNOSIS

3.6.1 MANIESTASI KLINIS

Manifestasi klinis empiema hampir sama dengan penderita pneumonia bakteria,

gejalanya antara lain adalah panas akut, nyeri dada (pleuritic chest pain), batuk,

sesak, dan dapa juga sianosis. Inflamasi pada ruang pleura dapat menyebabkan nyeri

abdomen dan muntah. Gejala dapat terlihat tidak jelas dan panas mungkin tidak

dialami penderita dengan sistem imun yang tertekan2. Gejala dan Tanda Empiema

biasanya adalah: Batuk, Pekak Pada Perkusi Dada, Dispneu, Menurunnya Suara

Pernapasan, Demam, Pleural Rub (pada fase awal), Ortopneu, Menurunnya vokal

20
fremitus, Nyeri Dada, Menyempitnya ruangan interkosta, Nyeri Abdomen, Daerah

mediastinal bergeser pada sisi yang sehat, Muntah

3.6.2 PEMERIKSAAN FISIK

Kualitas suara pernafasan yang dapat ditemukan adalah suara pernapasan

bronkial, normalnya didengar di trakea, yang pada auskultasi inspirasi dan ekspirasi

jelas terlihat. Suara pernafasan perifer lainnya yang dapat terdengar adalah suara

pernapasan vesikular, yakni rasio inspirasi yang terdengar lebih panjang dari

ekspirasi. Suara pernapasan bronkial yang terdengar pada paru perifer diperkirakan

terjadi konsolidasi atau adanya efusi pleura. Menurunnya suara pernafasan saat

usaha bernapas merupakan alasan yang cukup untuk mencurigai adanya atelektasis,

konsolidasi lobaris (pneumonia) atau efusi pleura. Temuan yang didapatkan dari

pemeriksaan fisik, dipadukan dengan inspeksi yang terlihat adanya deviasi trakea

dengan jantung, pergerakan dinding dada, perkusi, fremitus, suara pernafasan, dan

melemah sampai menghilangnya suara pernafasan, dapat membantu menemukan

patologi intratoraks. Bentuk torak bayi lebih melengkung daripada anak anak dan

dewasa. Selain itu dinding dada bayi tipis dengan otot otot yang kecil sehingga suara

paru dan jantung diteruskan lebih jelas. Tulang dan tulang rawannya masih sangat

lemah dan elastis. Ujung dari prosesus xifoid sering terlihat menonjol ke depan di

kulit pada apeks lengkung iga. Pada bayi yang sehat, iga tidak banyak bergerak saat

bayi bernapas biasa, iga bergerak keluar karena diafragma turun dan menekan isi

abdomen. Pergerakan dada yang asimetris dapat disebabkan oleh space-occupying

lesion seperti efusi pleura. Pada pemeriksaan pernapasan yang harus dinilai :

keadaan umum, laju pernapasan, warna, pernapasan cuping hidung, suara

pernapasan yang terdengar, dan usaha bernapas. Pernapasan didominasi oleh gerak

21
diafragma dengan sedikit bantuan dari otot otot dada. Selain melihat gerak

pernapasan, juga penting untuk menilai adakah retraksi ( chest indrawing ) yang

merupakan indikator adanya penyakit paru pada bayi kurang dari 2 tahun oleh

WHO. Tipe tipe retraksi : supraklavikular, interkosta, dan subkosta. Perkusi tidak

banyak membantu pemeriksaan karena pada bayi memang hiperesonansi dan sulit

untuk melacak abnormalitas dari perkusi. Selanjutnya dilakukan auskultasi, telah

dikatakan sebelumnya bahwa suara akan diteruskan menjadi lebih keras dan lebih

kasar daripada pada dewasa. Selain itu, sulit untuk dibedakan dengan suara dari

saluran napas atas yang diteruskan ke dada. Untuk membedakannya terdapat

beberapa petunjuk yang berguna, suara napas dari saluran napas atas cenderung kuat

dan diteruskan simetris ke kedua dada dan semakin menguat saat stetoskop

digerakkan ke atas, biasanya saat inspirasi, terdengar kasar. Suara pernapasan

saluran napas bawah akan terdengarlebih kuat pada daerah yang patologis dan sering

asimetris, sering terdengar saat fase ekspirasi

3.6.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Foto dada posisi frontal, latral, dan dekubitus

2. Tes kultur dan kepekaan dari drainase hasil aspirasi dari pleura

3. Computed tomography

CT scan digunakan untuk membedakan kelainan parenkim terhadap pleura,

mengevaluasi kelainan parenkim, menentukan lokulasi, mengevaluasi

permukaan pleura, dan membantu dalam penentuan terapi. Tidak semua

penderita efusi parapneumonia dengan komplikasimemerlukan pemeriksaan

CT toraks, tetapi berguna pada penderita efusi komplikasi dengan lokulasi

22
untuk pertimbangan terapi, yang akan menurunkan morbiditas, mortalitas

maupun lamanya rawat tinggal

CT Scan Thorax Pasien dengan Empiema

4. Torakosenstesis

Torakosentesis dapat membantu mengetahui penyebab efusi dan

menyingkirkan infeksi. Kekuatan diagnostik yang di ambil dari hasil kultur

yang diambil dari torakosentesis adalah lemah, namun tinggi pada anak

dengan infeksi yang jelas dan mendapatkan antibiotika lebih dalam waktu 24

jam. Tanpa adanya infeksi, normalnya cairan pleura memiliki berat jenis yang

rendah (<1.015) dan protein (<2.5 g/dL), kadar laktat dehidrogenase yang

rendah (3 g/dL) dan laktat dehidrogenase yang tinggi (>250 IU/L), pH yang

rendah (<7.2), glukosa yang rendah (<40 mg/dL), dan hitung selular yang

tinggi dengan banyaknya leukosit polimorfonuklear. Diagnosis empiema

ditegakkan bila ditemukan cairan pleura yang purulen, terdeteksi bakteri gram

atau adanya hitung sel darah putih lebih dari 5 x 109 sel

5. Pemeriksaan cairan pleura

Hitung sel darah dan diferensiasi, Protein, laktat dehidrogenase (LDH),

glucosa, dan pH, Kultur bakteri aerob dan anaerob, mikobakteri, fungi,

mikoplasma, dan bila ada indikasi disertai dengan pemeriksaan viral patogen.

23
3.7 KOMPLIKASI

Komplikasi dari empyema adalah :

1. Fistel Bronko pleura

2. Syok

3. Sepsis

4. Gagal jantung kongesti

3.8 PENATALAKSANAAN

Prinsip tatalaksana pada empiema adalah :

1. Pengosongan pus

2. Antibiotik

3. Fibrinolitik Intrapeura

4. Penutupan Rongga Empiema

5. Pengobatan tambahan

3.8.1 PENGOSONGAN PUS

Prinsip ini seperti umumnya yang dilakukan pada abses, untuk mencegah efek

toksisnya.

a. Closed drainage-tube toracostory water scaled drainage dengan indikasi:

- Nanah sangat kental dan sukar diaspirasi.

- Nanah terus terbentuk setelah dua minggu.

- Terjadinya piopneumotoraks.

24
Upaya WSD juga dapat dibantu dengan pengisapan negatif sebesar 1020 cmH 2O.

Jika setelah 3-4 minggu tidak ada kemajuan, harus diempuh cara lain seperti

empiema kronis.

b.      Drainage terbuka (open drainage)

Karena menggunakan kateter karet yang besar, maka perlu disertai juga dengan

reseksi tulang iga. Open drainage ini dikerjakan pada empiema kronis, hal ini bisa

terjadi akibat pengobatan yang terlambat atau tidak adekuat misalnya aspirasi yang

terlambat atau tidak adekuat, drainase tidak adekuat sehingga harus mengganti atau

membersihkan drain.

3.8.2 ANTIBIOTIK

Mengingat kematian sebagai akibat utama dari sepsis, maka antibiotik memegang

peranan penting. Antibiotik harus segera diberikan begitu diagnosis ditegakkan dan

dosisnya harus tepat. Pemilihan antibiotik didasarkan pada hasil pengecatan gram

dan apusan nanah. Pengobatan selanjutnya tergantung pada hasil kultur dan

sensitivitasnya. Antibiotik dapat diberikan secara sistematik atau topikal. Biasanya

diberikan penicilin. Pemilihan awal didasarkan pada CAP dan HAP (β laktam,

penisilin, sefalosporin, kabapenem). Jika dicurigai bakteri anaerob ditambah

metronidazole atau clindamycin. Lama pemberian antibiotik 2-4 minggu.

3.8.3 FIBRINOLITIK INTRAPLEURA

Diberikan pada empiema dengan pus yang kental dan atau empiema yang

berkantong-kantong. Kontraindikasi fistula bronkopleura, gangguan koagulan.

Fibrinolitik intra pleura volume total 50-100ml. Jenis obat yang diberikan

25
streptokinase 200.000 – 250.000 IU 1-2x/hari , Urokinase 50.000 – 100.000 IU 1 x 1

hari. Saat pemberian WSD di klem 4 – 8 jam. Obat diberikan selama 3 hari berturut-

turut.

3.8.4 PENUTUPAN RONGGA EMPIEMA

Pada empiema menahun sering kali rongga empiema tidak menutup karena

penebalan dan kekakuan pleura. Pada keadaan demikian dilakukan pembedahan

(dekortikasi) atau torakoplasti.

a. Dekortikasi

Tindakan ini termasuk operasi besar dengan indikasi:

- Drain tidak berjalan baik karena banyak kantung-kantung

- Letak empiema sukar dicapai oleh drain.

- Empiema totalis yang mengalami organisasi pada leura visceralis.

b. Torakoplasti

Jika empiema tidak mau sembuh karena adanya fistel bronkopleura atau tidak

mungkin dilakukan dekortikasi. Pada pembedahan ini, segmen dari tulang iga

dipotong subperiosteal, dengan demikian dinding toraks jatuh kedalam rogga pleura

karena tekanan atmosfer.

3.8.5 PENGOBATAN TAMBAHAN

Perbaiki keadaan umum lalu fisioterapi untuk membebaskan jalan nafas. Infeksi

dikontrol dengan pemberian obat Antimikrobial, berdasarkan hasil uji sensitivitas

kultur organism dari sputum.

3.9 PROGNOSIS

26
Prognosis dipengaruhi oleh umur serta penyakit yang melatarbelakanginya. Angka

kematian meningkat pada usia tua, penyakit asal yang berat, dan pengobatan yang

terlambat. Faktor prognosis buruk pada empiema apabila:

1. Didapatkan nanah di rongga pleura

2. Pewarnaan Gram cairan pleura positif

3. Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 40 mg/dL

4. Biakan cairan pleura positif

5. pH cairan pleura < 7,0

6. Kadar LDH cairan pleura > 3 kali nilai normal serum

BAB IV

27
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien

ini, didiagnosa Empyema Paru Sinistra dengan Pleura TB. Pada kasus diatas, Seorang Laki-

laki usia 21 tahun datang ke IGD RSUD DR. PP. Magretti dengan keluhan sesak nafas sejak

3 bulan memberat 1 minggu. Sesak memberat saat batuk. Batuk kurang lebih 3 bulan

memberat 1 minggu, dahak (-), demam (-), Selain itu pasien juga mengeluh nyeri dada kiri

yang muncul saat batuk dan sesak. keringat malam (+), penurunan BB (+). Pasien nyaman

dengan duduk tegak. Rasa tidak nyaman diperut bagian atas seperti tertusuk. Makan minum

baik, mual (-), muntah (-), BAB dan BAK baik. BAB terkahir kemarin warna kuning. Minum

alkohol (+), merokok (+), Sering Menyelam (+), dari riwayat sosialdan kebiasaan pasien

memiliki kebiasaan Merokok (+), minum alcohol (+), dan menyelam. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan pada region thorax Vokal Fremitus Dextra tidak sama dengan Sinistra dan pada

Perkusi sonor dilapang paru kanan, Hipersonor di Sinistra Pada Auskultas didapatkan suara

napas vesikuler menurun pada lapang paru kiri dan pada pemeriksaan foto thorax didapatkan

hidropneumothorax sinistra pasien kemudian dilakukan pemasangan WSD dan didapatkan

cairan pleura tampak purulen Hal tersebut sesuai dengan Empyema Paru. Penatalaksanaan

pada pasien ini berupa Pemasangan WSD Diet TKTP tinggi Serat, IVFD NaCl 0.9% 500

cc/24 j, Ceftriaxone 1x2 gr iv, Metronidazole 3x500 mg iv, OAT RHZE

(450/300/1000/1000), PCT 3x1 gr iv, Ambroxol 3x10 mg, Albumin 3x1 tab, Tablet Tambah

Darah 1x1 tab, Tiup Balon 6x/hr, Chest Fisioterapi 4x/hr, Inhalasi Ventolin/8 jam

28
29
BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Penanganan tuberkulosis paru dengan empyema paru dan hidropneumotoraks

adalah diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Diagnosis ditegakkan melalui

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan pada

tuberkulosis paru bertujuan menurunkan angka kematian dan kesakitan serta

mencegah penularan dengan cara menyembuhkan pasien sedangkan penatalaksanaan

empyema paru dengan hidropneumotoraks bertujuan untuk mengurangi jumlah

udara dan cairan di rongga pleura serta meningkatkan daya compliance paru

danmencegah terjadinya kolaps paru.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2012: 495-506.

2. Strachan RE, Gulliver T, Martin A, McDonald T, Nixon G, Roseby R, et.al. Pediatric

Empyema Thoracis : Recommendation for Management. The Thoracic Society of

Australia and New Zealand. 2011: 1-39

3. Lababebe O. Pleural Effusion Imaging. Medscape Reference Drug, Disease and

Procedures . Update May 25,2011

4. Kraus GJ. The Split pleura Sign. Radiology. 2007;243:297-8

5. Ahmed AE, Yacoub TE, Empyema Thoracis. Clinical Medicine Insights: Respiratory and

Pulmonary Medicine. 2010; 4: 1-8

6. Thomas MO dan Ogunleye EO. Chronic Empyema: Aetiopathology and Management

Challenges in the Developing World.Surgical Science. 2011:446-450

7. Sakakura dkk. Surgical Treatment of Empyema after Pulmonary Resection Using Pedicle

Skeletal Muscle Plombage, Thoracoplasty and Continuous Cavity Ablution Prosedures: A

Report on Three Cases. Journal of Thoracic Disease. 2016. 1333-1339.

8. Sonali J dan Banavaliker NJ. Empyema Thoracis: Bacteriological Analysis of Pleural

Fluid from The Largest Chest Hospital in Delhi. IOSR Journal of Dental and Medical

Sciences. 2013. 46-51

31

Anda mungkin juga menyukai