Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN KASUS

TUBERKULOSIS PARU

Disusun Oleh:

Siti Khodijah S. (1102014256)


Akbar Fitrianto (1102015013)
Angga Rizki Oktavian (1102015022)

Dosen Pembimbing:

dr. Ryan Indra, Sp. Rad

PEMBELAJARAN JARAK JAUH


KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD ARJAWINANGUN
2020
DAFTAR ISI
BAB I: LAPORAN KASUS...................................................................................2

1.1. Identitas Pasien .............................................................................................2

1.2. Anamnesis ....................................................................................................2

1.3. Pemeriksaan Fisik ........................................................................................4

1.4. Pemeriksaan Penunjang................................................................................6

1.5. Resume .........................................................................................................9

1.6. Diagnosis ....................................................................................................10

1.7. Rencana Terapi ...........................................................................................10

1.8. Prognosis ....................................................................................................10

1.9. Edukasi .......................................................................................................10

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................11

2.1. Definisi .......................................................................................................11

2.2. Epidemiologi ..............................................................................................11

2.3. Patofisiologi ...............................................................................................12


2.4. Diagnosis ....................................................................................................14

2.5.1. Manifestasi Klinis ...........................................................................14

2.5.2. Pemeriksaan Radiologi ...................................................................15

2.5.3. Pemeriksaan Laboratorium .............................................................25

2.5. Diagnosis Banding .....................................................................................31

2.6. Tatalaksana .................................................................................................32

2.7. Prognosis ....................................................................................................54

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................55

1
BAB I
LAPORAN KASUS

1.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. J
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 69 tahun
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : SD
Agama : Hindu
Alamat : Jungjang, Arjawinangun
Tanggal Masuk RS : 12 Agustus 2020 (pukul 08.30)

1.2. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Batuk tidak berdahak sejak 3 bulan yang lalu.

b. Keluhan Tambahan
Demam, keringat malam, merasa lemah, penurunan nafsu makan,
penurunan berat badan, dan nyeri pada lidah.

c. Riwayat Penyakit Sekarang


Tn. J berusia 69 tahun datang ke RSUD Arjawinangun dengan
keluhan batuk tidak berdahak. Pasien mengatakan batuk dirasakan lebih
sering pada malam hari dibandingkan pagi atau siang hari. Keluhan
tersebut telah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Pasien juga mengatakan
adanya demam, keringat malam, merasa lemah dan selalu lelah,
penurunan nafsu makan, serta penurunan berat badan 10 kg dalam 2 bulan
terakhir.

2
Dalam tiga hari sebelum masuk rumah sakit, pasien merasa nyeri
di lidahnya menjalar ke telinga kanan. Nyeri dirasa ketika mengunyah dan
mempersulit makan pasien.

d. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat tuberkulosis (TB) : (–)
Riwayat diabetes mellitus : (–)
Riwayat penyakit jantung : (–)
Riwayat penyakit paru : Pernah datang ke RS dengan diagnosis
community-acquired bacterial pneumonia
dan dinyatakan sembuh

e. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat tuberkulosis dalam keluarga : (+)
kontak dengan pasien TB yaitu istrinya yang sudah meninggal dunia.
Riwayat diabetes mellitus dalam keluarga : (–)
Riwayat penyakit jantung dalam keluarga : (–)

f. Riwayat Pengobatan
Pasien tidak pernah mengkonsumsi obat anti tuberkulosis (OAT)

g. Riwayat Pribadi dan Sosial


Riwayat alergi : (–)
Riwayat merokok : (+)
Riwayat meminum alkohol : (+)

3
1.3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Berat Badan : 47 kg
Tinggi Badan : 163 cm
Indeks Massa Tubuh : 18,0 (underweight)

a. Tanda Vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 100 x/menit
Frekuensi napas : 28 x/menit
Suhu : 39 °C
Saturasi O2 : 98%

b. Kepala dan Leher


Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (–/–), sklera ikterik (–/–)
Hidung : Sekret (–), epistaksis (–/–), septum deviasi (–), pernapasan
cuping hidung (–)
Telinga : Bentuk normotia, sekret (–)
Mulut : Trismus (–), bibir kering (–), sianosis (–),
Lidah : 5 – 7 lesi nodular di 1/3 posterior dorsum lidah, lesi lembut dan
nyeri, berukuran 0,5 – 1 cm, beberapa memiliki titik berdarah
di dasar lesi
6 – 7 ulkus aftosa diujung lidah, berwarna putih kekuningan
dengan ujung membulat, berukuran 0,3 – 0,6 mm
Leher : Kuduk kaku (–), pembesaran KGB (–), peningkatan JVP (–)

c. Thoraks
Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris,
retraksi sela iga (–)

4
Palpasi : Fremitus vokal dan taktil simetris kanan dan kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Ronkhi basah (+/+) terutama di bagian paru kiri atas,
wheezing (–/–)

d. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat di ICS V Linea mid clavicularis sinistra
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V Linea mid clavicularis sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan di ICS III Linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri di ICS V Linea mid sternalis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, takikardia, murmur (+),
gallop (–)

e. Abdomen
Inspeksi : Abdomen datar
Palpasi : Nyeri epigastrium (–), turgor baik, hepar dan lien tidak
teraba
Perkusi : Timpani pada ke empat kuadran abdomen
Auskultasi : Bising usus (+/+) normal

f. Ekstremitas
Superior : Tonus normal, akral hangat, edema (–), sianosis (–), turgor
baik
Inferior : Tonus normal, akral hangat, edema (–), sianosis (–), turgor
baik

g. Genital
Tidak dilakukan pemeriksaan

5
1.4. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Serologi: HIV: (–), antigen HVB dan HVC: (–)
Test Mantoux: (+) 16 mm
Pemeriksaan bakteri tahan asam (BTA) I, II, dan III: (+++)
Tabel hasil Laboratorium

6
b. Radiologi
Pemeriksaan rontgen thorax PA

Gambar 1.4.1. Foto rontgen thorax PA


Interpretasi : Tampak multiple nodular yang tersebar di kedua bidang
paru terutama di 2/3 bagian atas paru kiri
Kesan : Tuberkulosis paru

7
Pemeriksaan CT-scan

Gambar 1.4.2. Foto CT-scan Paru


Interpretasi: menunjukkan nodul paru hyperdense berukuran 1,5 sampai
3 cm yang tersebar di kedua lobus atas terutama di sisi kiri.
Beberapa nodul menunjukkan pitting tetapi tanpa adanya
gangguan endobronkial atau limfadenopati mediastinum.

c. Pemeriksaan Histopatologi

8
Gambar 1.4.3. Foto Mikroskopik Lidah
Interpretasi:
A : bidang lesi yang menunjukkan reaksi inflamasi granulomatosa kronis
tanpa nekrosis tetapi dengan kelimpahan sel raksasa yang dikelilingi
oleh limfosit (HE 10x)
B : menunjukkan granuloma keras tanpa nekrosis atau nekrosis kaseosa.
Ini adalah ciri khas penyakit yang menyerang lidah. Mereka ditemani
oleh sel Langerhans khas (HE 40x)

1.5. Resume
Seorang pasien laki-laki berusia 69 tahun datang ke RSUD
Arjawinangun dengan keluhan batuk tidak berdahak. Pasien mengatakan
batuk dirasakan lebih sering pada malam hari dibandingkan pagi atau siang
hari. Keluhan tersebut telah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Pasien juga
mengatakan adanya febris, keringat malam, penurunan nafsu makan, dan
penurunan berat badan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesan gizi underweight, pada lidah
terdapat lesi nodular dan ulkus aftosa, suara ronkhi basah pada pulmo dextra
dan sinistra. Pada pemeriksaan BTA (+++) dan pada rontgen thorax PA kesan
tuberculosis paru.

9
1.6. Diagnosis
Tuberkulosis paru dengan secondary compromise lidah

1.7. Rencana Terapi


a. Non Medikamentosa
Rawat jalan
b. Medikamentosa
Fase awal/Intensif: OAT 4KDT 1 x 3 tablet PO selama 56 hari = 168 tab
Fase lanjutan: OAT 2KDT 1 x 3 tablet PO (3 hari dalam seminggu)
selama 16 minggu = 144 tab

1.8. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

1.9. Edukasi
1. Ditunjuk pengawas menelan obat (PMO) untuk mengawasi minum obat
pasien karena panjangnya pengobatan TB.
2. Menerapkan pola hidup sehat dan sebisa mungkin isolasi diri di kamar
(tinggal di rumah) pada 2 bulan pertama pengobatan TB untuk
menghindari penyebaran TB.
3. Menerapkan etika batuk, menggunakan masker setiap saat terutama jika
sedang berada di satu ruangan dengan orang lain.
4. Usahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya ke dalam
tempat tidur, serta menjemur kasur dan bantal.
5. Semua barang yang digunakan pasien TB dan cara mencucinya harus
terpisah serta tidak boleh digunakan bersama oleh orang lain.

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Tuberkulosis


Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies
Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M.
Leprae dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).
Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi kronik yang menyerang
hampir semua organ tubuh manusia dan yang terbanyak adalah paru-paru
penyakit ini banyak ditemukan di tempat tinggal/padat penduduknya. (IPD
UI, 2014)

2.2. Epidemiologi
Meskipun jumlah kematian akibat tuberkulosis menurun 22% antara
tahun 2000 dan 2015, namun tuberkulosis masih menepati peringkat ke-10
penyebab kematian tertinggi di dunia pada tahun 2016 berdasarkan laporan
WHO (www.who.int/gho/mortality_burden_disease/cause_death/top10/en/).
Oleh sebab itu hingga saat ini TBC masih menjadi prioritas utama di dunia
dan menjadi salah satu tujuan dalam SDGs (Sustainability Development
Goals). Angka prevalensi TBC Indonesia pada tahun 2014 sebesar 297 per
100.000 penduduk. Eliminasi TBC juga menjadi salah satu dari 3 fokus utama
pemerintah di bidang kesehatan selain penurunan stunting dan peningkatan
cakupan dan mutu imunisasi. Visi yang dibangun terkait penyakit ini yaitu
dunia bebas dari tuberkulosis, nol kematian, penyakit, dan penderitaan yang
disebabkan oleh TBC. (Kemenkes, 2018)
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun
2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru
TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada
perempuan. Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi
pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga

11
yang terjadi di negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-
laki lebih terpapar pada fakto risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya
ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa dari seluruh
partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan
perempuan yang merokok. (Kemenkes, 2018)

2.3. Patofisiologi
A. Kuman Penyebab TB
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies
Mycobacterium, antara lain: M.tuberculosis, M.africanum, M. bovis, M.
Leprae dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).
Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis
yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai
MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa
mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB. Secara umum
sifat kuman Mycobacterium tuberculosis antara lain adalah sebagai
berikut:
− Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 – 0,6
mikron.
− Bersifat tahan asam dalam perwanraan dengan metode Ziehl
Neelsen, berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan
dibawah mikroskop.
− Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein
Jensen, Ogawa.
− Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam
jangka waktu lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C.
− Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra
violet. Paparan langsung terhada sinar ultra violet, sebagian besar
kuman akan mati dalam waktu beberapa menit. Dalam dahak pada
suhu antara 30-37°C akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu.

12
− Kuman dapat bersifat dorman.
B. Penularan TB
a. Sumber Penularan TB Sumber penularan adalah pasien TB terutama
pasien yang mengandung kuman TB dalam dahaknya. Pada waktu
batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Infeksi akan
terjadi apabila seseorang menghirup udara yang mengandung
percikan dahak yang infeksius. Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak yang mengandung kuman sebanyak 0-
3500 M.tuberculosis. Sedangkan kalau bersin dapat mengeluarkan
sebanyak 4500 – 1.000.000 M.tuberculosis.
b. Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia. Terdapat 4 tahapan
perjalanan alamiah penyakit.Tahapan tersebut meliputi tahap
paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia, sebagai
berikut:
1) Paparan Peluang peningkatan paparan terkait dengan:
− Jumlah kasus menular di masyarakat.
− Peluang kontak dengan kasus menular.
− Tingkat daya tular dahak sumber penularan.
− Intensitas batuk sumber penularan.
− Kedekatan kontak dengan sumber penularan.
− Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan.
2) Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6–14 minggu setelah
infeksi. Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman
tetap hidup dalam lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat
aktif kembali tergantung dari daya tahun tubuh manusia.
Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi
sebelum penyembuhan lesi.
3) Faktor Risiko untuk menjadi sakit TB tergantung dari:
− Konsentrasi/jumlah kuman yang terhirup

13
− Lamanya waktu sejak terinfeksi
− Usia seseorang yang terinfeksi
− Tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya
tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya
TB Aktif (sakit TB).
− Infeksi HIV. Pada seseorang yang terinfeksi TB, 10%
diantaranya akan menjadi sakit TB. Namun pada seorang
dengan HIV positif akan meningkatkan kejadian TB. Orang
dengan HIV berisiko 20-37 kali untuk sakit TB dibandingkan
dengan orang yang tidak terinfeksi HIV, dengan demikian
penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
4) Meninggal dunia Faktor risiko kematian karena TB:
− Akibat dari keterlambatan diagnosis
− Pengobatan tidak adekuat.
− Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit
penyerta.
− Pada pasien TB tanpa pengobatan, 50% diantaranya akan
meninggal dan risiko ini meningkat pada pasien dengan HIV
positif. Begitu pula pada ODHA, 25% kematian disebabkan
oleh TB. (Kemenkes, 2016)

2.4. Diagnosis
2.4.1. Gejala Klinis
Gejala utama pasien TBC paru yaitu batuk berdahak selama 2 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan
HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala TBC yang khas,

14
sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih.
(Kemenkes, 2016)
1. Demam
Biasanya subfebris menyerupai demam influenza, tetapi kadang-
kadang panas badan dapat mencapai 40 – 41 °C. serangan demam
pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali.
Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam seperti influenza ini,
sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam.
Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat-
ringannya infeksi kuman TB yang masuk.
2. Malaise
Penyakit TB bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, sakit kepala,
meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala malaise ini makin lama
makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
3. Berat badan turun
Biasanya pasien tidak merasakan berat badannya turun. Sebaiknya kita
tanyakan berat badan sekarang dan beberapa waktu sebelum pasien
sakit. Pada pasien anak-anak biasanya berat badannya sulit naik
terutama dalam 2-3 bulan terakhir atau status gizinya kurang.
4. Rasa lelah
Keluhan ini juga pada kebanyakan pasien hampir tidak dirasakannya.
(IPD UI, 2015)

2.4.2. Radiologi
Pemeriksaan rontgen adalah sangat penting untuk diagnosis
tuberkulosis paru (Rasad, 2018).
− Bila klinis ada gejala-gejala tuberkulosis paru, hampir selalu ditemukan
kelainan pada foto rontgen.

15
− Bila klinis ada persangkaan terhadap penyakit tuberkulosis paru, tetapi
pada foto rontgen tidak terlihat kelainan, maka ini merupakan tanda
yang kuat bahwa penyakit yang diderita bukanlah tuberkulosis.
− Pada pemeriksaan rontgen rutin (misalnya check-up) mungkin telah
ditemukan tanda-tanda pertama tuberkulosis, walaupun klinis belum
ada gejala. Sebaliknya bila tidak ada kelainan pada foto rontgen belum
berarti tidak ada tuberkulosis, sebab kelainan pertama pada foto rontgen
biasanya baru kelihatan sekurang-kurangnya 10 minggu setelah infeksi
oleh basil tuberkulosis.
− Sesudah sputum positif pada pemeriksaan bakteriologik, tanda
tuberkulosis yang terpenting adalah bila ada kelainan pada foto rontgen.
− Ditemukannya kelainan pada foto rontgen belum berarti bahwa
penyakit tersebut aktif (lihat kriteria aktivitas tuberkulosis pada foto
rontgen).
− Dari bentuk kelainan pada foto rontgen (bayangan berak-bercak, awan-
awan, dan lubang, merupakan tanda-tanda aktif; sedangkan bayangan
garis-garis dan sarang kapur merupakan tanda tenang) memang dapat
diperoleh kesan tentang aktivitas penyakit, namun kepastian diagnosis
hanya dapat diperoleh melalui kombinasi dengan hasil pemeriksaan
klinis/laboratoris.
− Pemeriksaan rontgen penting untuk dokumentasi, penentuan lokalisasi
proses dan tanda perbaikan atau perburukan dengan melakukan
perbandingan dengan foto-foto yang terdahulu.
− Pemeriksaan rontgen juga penting untuk penilaian hasil tindakan terapi
seperti pneumotoraks artifisial, torakoplastik, dan sebagainya.
− Pemeriksaan rontgen tuberkulosis paru saja tidak cukup dan dewasa ini
bahkan tidak boleh dilakukan hanya dengan fluoroskpi (dilarang oleh
peraturanperaturan WHO). Pembuatan foto rontgen adalah suatu
keharusan, yaitu foto posterior anterior (PA), bila perlu disertai
proyeksi-proyeksi tambahan seperti foto lateral, foto khusus puncak

16
AP-lordotik dan teknik-teknik khusus lainnya seperti foto keras (high-
voltage), dan sebagainya.

Pembagian tuberkulosis
1) Tuberkulosis Primer
Tuberkulosis primer terjadi karena infeksi melalui jalan pernapasan
(inhalasi) oleh Mycobacterium tuberculosis. Biasanya pada anak-anak (Rasad,
2018). TB lebih sering menyerang lobus bawah paru dibandingkan lobus atas paru.
Kavitas jarang terjadi pada TB primer (Herring, 2016). Kelainan rontgen akibat
penyakit ini dapat berlokasi di mana saja dalam paru-paru, namun sarang dalam
parenkim paru-paru sering disertai oleh pembesaran kelenjar limfe regional
(kompleks primer) (Rasad, 2018).

Gambar 2.4.2 Kompleks primer (hanya


hilus kanan membesar)

Gambar 2.4.1 Kompleks primer


(lengkap, bentuk halter:
pembesaran kelenjar
dan fokus primer)

Salah satu komplikasi yang mungkin timbul adalah pleuritis, karena


perluasan infiltrat primer ke pleura melalui penyebaran hematogen. Komplikasi lain
adalah atelektasis akibat stenosis bronkus karena perforasi kelenjar kedalam

17
bronkus. Baik pleuritis maupun atelektasis tuberkulosis pada anak-anak mungkin
demikian luas sehingga sarang primer tersembunyi di belakangnya (Rasad, 2018).

Gambar 2.4.3 Tuberkulosis primer


disertai pleuritis atau atelektasis
(epituberkulosis)

2) Tuberkulosis Sekunder atau Re-infeksi


Tuberkulosis yang bersifat kronis ini terjadi pada orang dewasa. Saat ini
pendapat umum mengenai penyakit tersebut adalah bahwa timbul reinfeksi pada
seorang yang dimasa kecilnya pernah menderita tuberkulosis primer, tetapi tidak
diketahui dan menyembuh sendiri (Rasad, 2018).
Infeksi terbatas pada segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah paru. Nekrosis kaseosa dan tuberkel adalah tanda patologis
dari reinfeksi TB (Herring, 2016).

Klasifikasi tuberkulosis sekunder


Klasifikasi tuberkulosis sekunder menurut American Tuberculosis Association
(Rasad, 2018)
a) Tuberkulosis minimal (minimal tuberculosis): yaitu luas sarang-sarang yang
kelihatan tidak melebihi darah yang dibatasi oleh garis median, apeks, dan iga 2
depan; sarang-sarang soliter dapat berada dimana saja, tidak harus berada dalam
daerah tersebut di atas. Tidak ditemukan adanya lubang (kavitas).

18
b) Tuberkulosis lanjut sedang (moderately advanced tuberculosis): yaitu luas
sarang-sarang yang bersifat bercak-bercak tidak melebihi luas satu paru, sedangkan
bila ada lubang, diameternya tidak melebihi 4 cm. Kalau sifat bayangan sarang-
sarang tersebut berupa awan-awan yang menjelma menjadi daerah konsolidasi yang
homogen, luasnya tidak boleh melebihi luas satu lobus. c) Tuberkulosis sangat
lanjut (far advanced tuberculosis): yaitu luas daerah yang dihinggapi oleh sarang-
sarang lebih daripada klasifikasi kedua diatas, atau bila ada lubang-lubang, maka
diameter keseluruhan semua lubang melebihi 4 cm.

Gambar 2.4.4 Skema klasifikasi


American Tuberculosis Association

Ada beberapa cara pembagian kelainan yang dapat dilihat pada foto rontgen.
Salah satu pembagian adalah menurut bentuk kelainan, yaitu:
a) Sarang eksudatif, berbentuk awan-awan atau bercak, yang batasnya tidak tegas
dengan densitas rendah.
b) Sarang produktif, berbentuk butir-butir bulat kecil yang batasnya tegas dan
densitasnya sedang.
c) Sarang induratif atau fibrotik, yaitu yang berbentuk garis-garis, atau pita tebal,
berbatas tegas dengan densitas tinggi.

d) Kavitas (lubang).

e) Sarang kapur (kalsifikasi) Cara pembagian ini masih banyak digunakan di Eropa,
tetapi di Indonesia hampir tidak dipergunakan lagi.

19
Yang mulai lebih banyak dipergunakan di Indonesia dan menurut hemat penulis
juga memang lebih praktis, ialah cara pembagian yang lazim dipergunakan di
Amerika Serikat, yaitu :
1) Sarang-sarang berbentuk awan atau bercak-bercak dengan densitas rendah
atau sedang dengan batas tidak tegas. Sarang-sarang seperti ini biasanya
menunjukkan bahwa proses aktif

Gambar 2.4.5 Awan-awan dan bercak-


bercak; tingkat minimal ATA

2) Lubang (kavitas); ini selalu berarti proses aktif kecuali bila lubang sudah
sangat kecil, yang dinamakan lubang sisa (residual cavity)

Gambar 2.4.6 Awan-awan dan Gambar 2.4.7 Tuberkulosis fibrosis


lubang-lubang besar (diameter densa (fenomena kantong celana:
total 4 cm): tingkat sangat arteri pulmonaris terangkat
lanjut ATA. keatas) dengan kavitas sisa
(residual cavity)

20
3) Sarang seperti garis-garis (fibrotik) atau bintik-bintik kapur (kalsifikasi)
yang biasanya menunjukkan bahwa proses telah tenang.

Gambar 2.4.8 Garis-garis fibrotik Gambar 2.4.9 Bintik-bintik kapur


(proses lama, tenang) dengan garis-garis fibrotik di
kanan atas: proses lama,
tenang

Tuberkuloma
Kelainan ini menyerupai suatu tumor. Bila terdapat di otak,
tuberculoma juga bersifat suatu lesi yang mengambil tempat (space
occupying lesion, disingkat SOL).
Pada hakekatnya tuberkuloma adalah suatu sarang keju (caseosa)
dan biasanya menunjukkan penyakit yang tidak begitu virulen, bahkan
biasanya tuberkuloma bersifat tidak aktif, lebih-lebih bila batasnya licin,
tegas, dan didalam atau di pinggirnya ada sarang perkapuran, sesuatu yang

Gambar 2.4.10 Tuberkulomata Gambar 2.4.11 Tomogram dari


Tuberkuloma
21
dapat dilihat jelas pada tomogram. Diagnostik diferensialnya dengan suatu
tumor sejati (jinak atau ganas) adalah bahwa didekat tuberkuloma sering
ditemukan sarang-sarang kapur lainnya (satelit). (Rasad, 2018)

Kemungkinan-kemungkinan Kelanjutan Suatu Sarang Tuberkulosis


1) Penyembuhan
a) Penyembuhan tanpa bekas Penyembuhan tanpa bekas sering terjadi pada
anak-anak (tuberkulosis primer), bahkan kadang-kadang penderita sama
sekali tidak menyadari bahwa ia pernah diserang penyakit tuberkulosis.
Pada orang dewasa (tuberkulosis sekunder) penyembuhan tanpa bekaspun
mungkin terjadi apabila diberikan pengobatan yang baik. (Rasad, 2018)
b) Penyembuhan dengan meninggalkan cacat Penyembuhan ini berupa
garis-garis berdensitas tinggi/sarang fibrotik atau bintik-bintik kapur
(sarang kalsiferus).
Sarang-sarang fibrotik yang tebal dan kalsiferus, disingkat sarang
fibrokalsiferus, di kedua lapangan atas dapat mengakibatkan penarikan
pembuluh-pembuluh darah besar di kedua hili ke atas. Keadaan ini
dinamakan tuberkulosis fibrosis densa dan memberikan gambaran yang
cukup khas. Pembuluh-pembuluh darah besar di hili terangkat ke atas,
seakan-akan menyerupai kantong celana yang diangkat dan disebut
fenomena kantong celana (broekzak fenomeen). Sarangsarang kapur kecil
yang mengelompok di puncak paru dinamakan sarangsarang Simon
(Simon’s foci).

22
Gambar 2.4.12 Sarang-sarang
kapur Simon (Simon’s foci) di
puncak kanan

Secara rontgenologis sarang baru dapat dinilai sembuh (proses


tenang) bila setelah jangka waktu selama sekurang-kurangnya 3 bulan
bentuknya sama (stationary). Sifat bayangan tidak boleh bercak-bercak,
awan atau lubang, melainkan garis-garis atau bintik-bintik kapur. Kesan
rontgenologis bahwa proses sudah tenang harus didukung oleh hasil
pemeriksaan klinis laboratorium, termasuk sputum, yang baik. (Rasad,
2018)

2) Perburukan (Perluasan) Penyakit


a) Pleuritis
Pleuritis terjadi karena meluasnya infiltrat primer langsung ke pleura
atau melalui penyebaran hematogen; sering ditemukan pada remaja belasan
tahun, tetapi jarang pada anak balita.
b) Penyebaran miliar
Akibat penyebaran hematogen tampak sarang-sarang sekecil 1-2
mm, atau sebesar kepala jarum (milium), tersebar secara merata di kedua
belah paru. Pada foto, toraks tuberkulosis miliaris ini dapat menyerupai
gambaran ‘badai kabut’ (snow storm appearance). Penyebaran seperti ini

23
juga dapat terjadi ke ginjal, tulang, sendi, selaput otak (meningen), dan
sebagainya.

Gambar 2.4.13 Tuberkulosis


Miliaris

c) Stenosis bronkus
Stenosis bronkus dengan akibat atelektasis lobus atau segmen paru
yang bersangkutan, sering menduduki lobus kanan (sindroma lobus
medius).
d) Timbulnya lubang (kavitas)
Timbulnya lubang ini akibat melunakkan sarang keju. Dinding
lubang sering tipis berbatas licin, tetapi mungkin pula tebal berbatas tidak
licin. Di dalamnya mungkin terlihat cairan, yang biasanya sedikit
(diagnosis diferensial dengan suatu abses yang biasanya mempunyai cairan
yang lebih banyak). Lubang kecil dikelilingi oleh jaringan fibrotik dan
bersifat tidak berubah-ubah (stasioner) pada pemeriksaan berkala (follow-
up) dinamakan lubang sisa (residual cavity) dan berarti suatu proses
spesifik lama yang sudah tenang. (Rasad, 2018)

CT (Computed Tomography) Scan


Manifestasi CT tuberkulosis meliputi:
a) Kavitasi: CT resolusi tinggi telah terbukti lebih unggul dalam radiografi
dada untuk menunjukkan kavitasi, terutama dalam kasus-kasus yang rumit
oleh fibrosis dan arsitektur distorsi. Kavitasi sering, tetapi tidak selalu

24
merupakan indikasi untuk penyakit aktif sebagai tanda "sembuh" kavitasi
dapat bertahan setelah terapi antituberkulosis.
b) Penyebaran endobronkial: Munculnya penyebaran endobronkial
terdeteksi oleh CT resolusi tinggi hingga 98% kasus. Ini termasuk nodul
sentrilobular atau struktur linear, struktur linear bercabang “tree-in-bud”
dan nodul yang tidak jelas.
c) Tuberkulosis milier: Gambaran CT resolusi tinggi menunjukkan nodul
halus yang didistribusikan secara seragam ke seluruh paru-paru.
d) Fibrosis tuberkulosis: Gambaran menunjukkan perubahan parenkim
kronis termasuk pita fibrotik, distorsi bronkovaskular, dan emfisema
sikatriks. (Lange & Walsh, 2014)

Gambar 2.4.13 Gambaran CT Tuberculosis. a lesi kavitas pada segmen


apikal lobus kiri bawah dan bayangan nodul berdekatan pada segmen
apicoposterior lobus atas kiri. b Gambaran penyebaran endobronkial
termasuk nodul sentrilobular dan ‘tree in bud’. c Gambaran
bayangan nodul bilateral bilateral. d Gambaran penyembuhan
kavitas dengan fibrosis pada lobus atas kiri.

2.4.3. Pemeriksaan Laboratorium


1. Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya
kadang- kadang meragukan. Pada saat tuberkulosis baru dimulai (
aktif ) akan didapatkan sedikit leukosit yang sedikit meningkat.
Jumlah limfosit masih normal. Laju Endap Darah mulai

25
meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali
normal dan laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi.
2. Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan
ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat
dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat
memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan,
tetapi kadang – kadang tidak mudah untuk menemukan sputum
terutama penderita yang tidak batuk atau pada anak – anak. Pada
pemeriksaan sputum kurang begitu berhasil karena pada
umumnya sputum langsung ditelan, untuk itu dibutuhkan fasilitas
laboratorium berteknologi yang cukup baik, yang berarti
membutuhkan biaya yang banyak Adapun bahan – bahan yang
digunakan untuk pemeriksaan bakteriologi adalah:
1. Bilasan lambung
2. Sekret bronkus
3. Sputum
4. Cairan pleura
5. Liquor cerebrospinalis
6. Cairan asites

Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang – kurang


nya ditemukan tiga batang kuman BTA pada suatu sediaan.
Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 ml sputum.
Pemeriksaan BTA sputum sebaiknya dilakukan minimal 2x
sewaktu dan pagi hari.
3. Tes Cepat Molekuler (TCM) TB
Saat ini beberapa teknologi baru telah dikembangkan untuk dapat
mengidentifikasi kuman M. tuberculosis dalam waktu yang cepat (<2
jam), antara lain pemeriksaan Line Probe Assay (misalnya Hain
GenoType) dan pemeriksaan NAAT-Nucleic Acid Amplification Test
(misalnya Xpert MTB/RIF).

26
Pemeriksaan TCM dapat digunakan untuk mendeteksi kuman M.
tuberculosis secara molekular sekaligus menentukan ada tidaknya
resistensi terhadap Rifampisin. Pemeriksaan TCM mempunyai nilai
diagnostik yang lebih baik daripada pemeriksaan mikroskopis sputum,
tetapi masih di bawah uji biakan. Hasil negatif TCM tidak
menyingkirkan diagnosis TB. (IPD UI, 2015)
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang maka dilakukan pembobotan dengan sistem skoring. Pasien
dengan jumlah skor >6 (sama atau lebih dari 6), harus ditatalaksana
sebagai pasien TB dan mendapat pengobatan dengan obat anti
tuberkulosis (OAT). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis
kecurigaan ke arah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan lainnya
sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi
lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan dll.
(Behrman, 2019)

27
Prinsip penegakan diagnosis TB:
− Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu
dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud
adalah pemeriksaan mikroskopis, tes cepat molekuler TB dan biakan.

28
− Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan
pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopis.
− Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada
TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun
underdiagnosis.
− Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.

A. Faskes yang mempunyai Alat Tes Cepat Molukuler (TCM) TB:


1) Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan TCM, penegakan diagnosis TB
pada terduga TB dilakukan dengan pemeriksaan TCM. Pada kondisi dimana
pemeriksaan TCM tidak memungkinkan (misalnya alat TCM melampui
kapasitas pemeriksaan, alat TCM mengalami kerusakan, dll), penegakan
diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.
2) Jika terduga TB adalah kelompok terduga TB RO dan terduga TB dengan
HIV positif, harus tetap diupayakan untuk dilakukan penegakan diagnosis
TB dengan TCM TB, dengan cara melakukan rujukan ke layanan tes cepat
molekuler terdekat, baik dengan cara rujukan pasien atau rujukan contoh
uji.
3) Jumlah contoh uji dahak yang diperlukan untuk pemeriksaan TCM
sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Satu contoh uji untuk
diperiksa TCM, satu contoh uji untuk disimpan sementara dan akan
diperiksa jika diperlukan (misalnya pada hasil indeterminate, pada hasil Rif
Resistan pada terduga TB yang bukan kriteria terduga TB RO, pada hasil
Rif Resistan untuk selanjutnya dahak dikirim ke Laboratorium LPA untuk
pemeriksaan uji kepekaan Lini2 dengan metode cepat).
4) Contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan MTB/RIF terdiri atas
cairan serebrospinal (Cerebro Spinal Fluid/CSF), jaringan biopsi, bilasan
lambung (gastric lavage), dan aspirasi cairan lambung (gastric aspirate).

29
5) Pasien dengan hasil Mtb Resistan Rifampisin tetapi bukan berasal dari
kriteria terduga TB RO harus dilakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika
terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan TCM yang terakhir yang
menjadi acuan tindakan selanjutnya.
6) Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika hasil
tetap sama, berikan pengobatan TB Lini 1, lakukan biakan dan uji kepekaan.
7) Pengobatan standar TB MDR segera diberikan kepada semua pasien TB
RR, tanpa menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan OAT lini 1 dan lini 2
keluar. Jika hasil resistensi menunjukkan MDR, lanjutkan pengobatan TB
MDR. Bila ada tambahan resistensi terhadap OAT lainnya, pengobatan
harus disesuaikan dengan hasil uji kepekaan OAT.
8) Pemeriksaan uji kepekaan menggunakan metode LPA (Line Probe Assay)
Lini-2 atau dengan metode konvensional
9) Pengobatan TB pre XDR/ TB XDR menggunakan paduan standar TB pre
XDR atau TB XDR atau menggunakan paduan obat baru.
10) Pasien dengan hasil TCM M.tb negatif, lakukan pemeriksaan foto toraks.
Jika gambaran foto toraks mendukung TB dan atas pertimbangan dokter,
pasien dapat didiagnosis sebagai pasien TB terkonfirmasi klinis. Jika
gambaran foto toraks tidak mendukung TB kemungkinan bukan TB, dicari
kemungkinan penyebab lain.

B. Faskes yang tidak mempunyai Alat Tes Cepat Molukuler (TCM) TB:
1) Faskes yang tidak mempunyai alat TCM dan kesulitan mengakses TCM,
penegakan diagnosis TB tetap menggunakan mikroskop.
2) Jumlah contoh uji dahak untuk pemeriksaan mikroskop sebanyak 2 (dua)
dengan kualitas yang bagus. Contoh uji dapat berasal dari dahak Sewaktu-
Sewaktu atau Sewaktu-Pagi.
3) BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh uji dahak menunjukkan
hasil pemeriksaan BTA positif. Pasien yang menunjukkan hasil BTA (+)
pada pemeriksaan dahak pertama, pasien dapat segera ditegakkan sebagai
pasien dengan BTA (+)

30
4) BTA (-) adalah jika kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil BTA
negatif. Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif, maka
penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil
pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto
toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter.
5) Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif dan tidak
memilki akses rujukan (radiologi/TCM/biakan) maka dilakukan
pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon)
terlebih dahulu selama 1-2 minggu. Jika tidak ada perbaikan klinis setelah
pemberian antibiotik, pasien perlu dikaji faktor risiko TB. Pasien dengan
faktor risiko TB tinggi maka pasien dapat didiagnosis sebagai TB Klinis.
Faktor risiko TB yang dimaksud antara lain:
a) Terbukti ada kontak dengan pasien TB
b) Ada penyakit komorbid: HIV, DM
c) Tinggal di wilayah berisiko TB: Lapas/Rutan, tempat penampungan
pengungsi, daerah kumuh, dll. (Kemenkes, 2016)

2.5. Diagnosis Banding


Menurut Herchline (2020) dalam emedicine.medscape.com diagnosis
banding tuberkulosis adalah:
1) Aktinomikosis
2) Aspergillosis
3) Bronkiektasis
4) Perikarditis Konstriktif
5) Pneumonia jamur
6) Histoplasmosis
7) Abses paru-paru
8) Nocardiosis
9) Kanker Paru-Paru Non-Sel Kecil (NSCLC)
10) Penyakit Pott (Tuberkulosis Spondilitis)

31
2.6. Tatalaksana
Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
− OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT – KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
− Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO).
− Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.

Tahap awal (intensif)


− Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
− Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
− Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
− Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
− Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

32
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
− Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
− Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
− Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE).
− Kategori Anak: 2HRZ/4HR.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa
obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara
ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
• Paket Kombipak.
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan
program untuk mengatasi pasien yang mengalami efek samping OAT
KDT. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1)
pasien dalam satu (1) masa pengobatan. KDT mempunyai beberapa
keuntungan dalam pengobatan TB :
− Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
− Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan
resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi
kesalahan penulisan resep
− Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga
pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan
kepatuhan pasien
Paduan OAT dan peruntukannya.
Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

33
− Pasien baru TB paru BTA positif.
− Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
− Pasien TB ekstra paru

Tabel 1. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk kategori 1

Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
− Pasien kambuh
− Pasien gagal
− Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)

Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT kategori 2

Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk


streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan. Untuk
perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus. Cara melarutkan

34
streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak
3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg)

OAT Sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif
kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 3. Dosis KDT untuk sisipan

Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya


kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien
baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah
daripada OAT lapis pertama. Di samping itu dapat juga meningkatkan
terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.

A. EFEK SAMPING OAT


Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan
tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping,
oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat
penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat
ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat
simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada
syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini
dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg
perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut

35
pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi
piridoksin (syndrom pellagra).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis yang dapat timbul
pada kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau
ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada
keadaan khusus.
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simtomatik ialah :
o Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
o Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan,
muntah kadang-kadang diare
o Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tapi jarang terjadi ialah :
o Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT
harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada
keadaan khusus.
o Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal.
Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera
dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah
menghilang.
o Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air
mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme
obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada penderita
agar dimengerti dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah drug induced hepatitis. Nyeri sendi
juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadangkadang dapat menyebabkan
serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya

36
ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi
demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau.
Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis
yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB
perhari atau 30 mg/kgBB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan
penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat
dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena
risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi.
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang
berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping
tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang
digunakan dan umur penderita. Risiko tersebut akan meningkat pada
penderita dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping
yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan
keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera
dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan
maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap
(kehilangan keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang
timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit.
Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan
sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah
suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi
0,25gr Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak
boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf
pendengaran janin.

37
Tabel 4. efek samping ringan pada OAT

Tabel 5. efek samping berat pada OAT

Penanganan efek samping obat :


• Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi
secara simptomatik.
• Gangguan sendi karena pirazinamid dapat diatasi dengan pemberian
salisilat atau allopurinol.
• Penderita dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit
yang umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin, dapat dilakukan
pemberian dosis rendah dan desensitisasi dengan pemberian dosis yang

38
ditingkatkan perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat.
Desensitisasi ini tidak bisa dilakukan terhadap obat lainnya.
• Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia,
syok atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena
etambutol, gangguan nervus VIll karena streptomisin dan dermatitis
exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon.
• Bila sesuatu obat harus diganti maka paduan obat harus diubah hingga
jangka waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.

Pengobatan simtomatik :
Pengobatan yang diberikan kepada penderita TB perlu diperhatikan
keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, dapat
rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau
suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi
gejala/keluhan.
1. Penderita rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan
vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan
untuk penderita tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak
napas atau keluhan lain.
2. Penderita rawat inap
a. Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan atau komplikasi sebagai berikut:
• Batuk darah
• Keadaan umum buruk
• Pneumotoraks
• Empiema
• Efusi pleura masif atau bilateral
• Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)

39
• TB di luar paru yang mengancam jiwa, TB paru milier,
Meningitis TB
b. Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan
keadaan klinis dan indikasi rawat.

B. TERAPI PEMBEDAHAN
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak :
a. Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak
tetap positif
b. Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif
c. Penderita dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak
dapat diatasi secara konservatif
2. lndikasi relatif :
a. Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang.
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan.
c. Sisa kaviti yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan) :
• Bronkoskopi
• Punksi pleura
• Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)

C. EVALUASI PENGOBATAN
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan
pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju
Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan
pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan
pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu

40
dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut
negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil
pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.

Tabel 6. Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak

Tabel 7. Tatalaksanan pasien yang tidak berobat teratur

41
Keterangan :
* Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan :
- Lama pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan : lanjutkan pengobatan
dulu sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan sebelum akhir pengobatan
harus diperiksa dahak.

Hasil Pengobatan
− Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada
satu pemeriksaan follow-up sebelumnya
− Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap
tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
− Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab
apapun.

42
− Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang
lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
− Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum
masa pengobatannya selesai.
− Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

D. PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS


1. TB MILIER
Rawat inap
Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH
Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik,
radiologik dan evaluasi pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat
diperpanjang sampai dengan 7 bulan 2RHZE/ 7 RH
Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan :
• Tanda / gejala meningitis
• Sesak napas
• Tanda / gejala toksik
• Demam tinggi
• Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10
mg setiap 5-7 hari, lama pemberian 4 - 6 minggu.
2. PLEURITIS EKSUDATIVA TB (EFUSI PLEURA TB)
Paduan obat : 2RHZE/4RH.
• Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai
keadaan penderita dan berikan kortikosteroid

43
• Dosis steroid : prednison 30-40 mg/hari, diturunkan 5-10 mg
setiap 5-7 hari, pemberian selama 3-4 minggu.
• Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas
dan DM. Ulangan evakuasi cairan bila diperlukan
3. TB DI LUAR PARU
Paduan obat 2 RHZE/ 10 RH.
Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya
pengobatan untuk TB tulang, TB sendi dan TB kelenjar, meningitis
pada bayi dan anak lama pengobatan 12 bulan. Pada TB diluar paru
lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan bedah dilakukan
untuk :
• Mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis)
• Pengobatan : perikarditis konstriktiva, kompresi medula
spinalis pada penyakit Pott's.
Pemberian kortikosteroid diperuntukkan pada perikarditis TB untuk
mencegah konstriksi jantung, dan pada meningits TB untuk
menurunkan gejala sisa neurologik.
4. TB PARU DENGAN DIABETES MELITUS (DM)
Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan regulasi baik/ gula
darah terkontrol. Bila gula darah tidak terkontrol, fase lanjutan 7 bulan
: 2RHZ(E-S)/ 7 RH
Pada TB paru dengan DM, glukosa darah harus dikontrol. Hati-
hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol
pada mata; sedangkan penderita DM sering mengalami komplikasi
kelainan pada mata. Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin akan
mengurangi efektivitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea), sehingga
dosisnya perlu ditingkatkan. Perlu kontrol atau pengawasan sesudah
pengobatan selesai, untuk mengontrol atau mendeteksi dini bila terjadi
kekambuhan.
5. TB PARU DENGAN HIV / AIDS

44
Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS
yaitu: 2 RHZE/RH diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak.
Menurut WHO paduan obat dan lama pengobatan sama dengan TB
paru tanpa HIV / AIDS. Jangan berikan Thiacetazon karena dapat
menimbulkan toksik yang hebat pada kulit. Obat suntik sebisa mungkin
dihindari kecuali jika sterilisasinya terjamin. Jangan lakukan
desensitisasi OAT pada penderita HIV/AIDS (misalnya INH atau
rifampisin) karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati. INH
diberikan terus menerus seumur hidup. Bila terjadi MDR, pengobatan
sesuai uji resistensi.
6. TB PARU PADA KEHAMILAN DAN MENYUSUI
Tidak ada indikasi pengguguran pada penderita TB dengan
kehamilan. Di Eropa, OAT tetap dapat diberikan kecuali streptomisin
karena efek samping streptomisin pada gangguan pendengaran janin.
Di Amerika, OAT tetap diberikan kecuali streptomisin dan pirazinamid
untuk wanita hamil. Pada penderita TB dengan menyusui, OAT & ASI
tetap dapat diberikan, walaupun beberapa OAT dapat masuk ke dalam
ASI, akan tetapi konsentrasinya kecil dan tidak menyebabkan toksik
pada bayi. Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan
bayinya juga mendapat pengobatan OAT dianjurkan tidak menyusui
bayinya, agar bayi tidak mendapat dosis berlebihan. Pada wanita usia
produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin dianjurkan
untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, karena dapat terjadi
interaksi obat yang menyebabkan efektiviti obat kontrasepsi hormonal
berkurang.
7. TB PARU DAN GAGAL GINJAL
Jangan menggunakan OAT streptomisin, kanamisin dan
capreomycin. Sebaiknya hindari penggunaan etambutol karena waktu
paruhnya memanjang dan terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan
sangat diperlukan, etambutol dapat diberikan dengan pengawasan

45
kreatinin. Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT,
Ureum, Kreatnin). Rujuk ke ahli Paru.
8. TB PARU DENGAN KELAINAN HATI
Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan
pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan. Pada kelainan hati,
pirazinamid tidak boleh digunakan. Paduan Obat yang dianjurkan atau
rekomendasi WHO : 2SHRE/6RH atau 2 SHE/10HE. Pada penderita
hepatitis akut dan atau klinik ikterik, sebaiknya OAT ditunda sampai
hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat
diperlukan dapat diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai
hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH. Sebaiknya
rujuk ke ahli Paru.
9. DRUG INDUCED HEPATITIS
Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat
hepatotoksik. Penatalaksanaannya adalah sebagai berikut :
• Bila klinik (+) (Ikterik, mual dan muntah) : oat dihentikan.
• Bila klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan:
− Bilirubin >2 → OAT dihentikan
− SGOT dan SGPT meningkat >5 kali : OAT dihentikan
− SGOT dan SGPT meningkat >3 kali, gejala (+) : OAT
dihentikan
− SGOT dan SGPT meningkat >3 kali, gejala (-) : OAT
teruskan pengobatan, dengan pengawasan.

Paduan OAT yang dianjurkan :


• Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
• Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan
laboratorium normal kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka
tambahkan H (INH) desensitisasi sampai dengan dosis penuh
(300 mg). Selama itu perhatikan klinik dan periksa laboratorium
saat INH dosis penuh, bila klinik dan laboratorium normal,

46
tambahkan rifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis penuh
(sesuai berat badan). Sehingga paduan obat menjadi RHES
• Pirazinamid tidak boleh digunakan lagi

E. DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE (DOTS)


World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa kunci
keberhasilan program penanggulangan tuberkulosis adalah dengan
menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh negara kita. Oleh
karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar
TB dapat ditanggulangi dengan baik.
DOTS mengandung lima komponen, yaitu :
a. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
b. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik
c. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal
dengan istilah DOT (Directly Observed Therapy)
d. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
e. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar) baik
Istilah DOT diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka
pendek setiap hari oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengawasan
dilakukan oleh :
a. Penderita berobat jalan
- Langsung di depan dokter
- Petugas kesehatan
- Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
- Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah
b. Penderita dirawat
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah
petugas RS, selesai perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai dengan
berobat jalan.
Tujuan :

47
- Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
- Mengatasi efek samping obat
- Mencegah resistensi
Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai harus
diingat:
- Tentukan seorang pengawas minum obat (PMO) : Berikan penjelasan
kepada penderita bahwa harus ada seorang PMO dan PMO tersebut
harus ikut hadir di poliklinik untuk mendapat penjelasan tentang DOT.
- Persyaratan PMO
• Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh
petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan
dihormati oleh pasien.
• Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
• Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
• Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama
dengan pasien
− Siapa yang bisa menjadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa,
Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak
ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari
kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat
lainnya atau anggota keluarga.
− Tugas seorang PMO
• Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai
selesai pengobatan.
• Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
• Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu
yang telah ditentukan.
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat
dilakukan secara :

48
- Perorangan/Individu : Penyuluhan terhadap perorangan (penderita
maupun keluarga) dapat dilakukan di unit rawat jalan, di apotik saat
mengambil obat.
- Kelompok : Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok
penderita, kelompok keluarga penderita, masyarakat pengunjung RS.
Cara memberikan penyuluhan :
- Sesuaikan dengan program kesehatan yang sudah ada
- Materi yang disampaikan perlu diuji ulang untuk diketahui tingkat
penerimaannya sebagai bahan untuk penatalaksanaan selanjutnya
- Beri kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, terutama hal yang
belum jelas
- Gunakan bahasa yang sederhana dan kalimat yang mudah dimengerti,
kalau perlu dengan alat peraga (brosur, leaflet dll)

F. PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakuka dengan cara :
- Terapi pencegahan : Kemoprofilaksis diberikan kepada penderita HIV
atau AIDS. Obat yang digunakan pada kemoprofilaksis adalah
Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg / kg BB (tidak lebih dari 300 mg )
sehari selama minimal 6 bulan.
- Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah
penularan.

G. INTERNATIONAL STANDARD FOR TUBERCULOSIS CARE


International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan
standar yang melengkapi guideline program penanggulangan tuberkulosis
nasional yang konsisten dengan rekomendasi WHO. Standar tersebut
bersifat internasional dan akan dilaksanakan di Indonesia.
International Standard for Tuberculosis Care terdiri dari 17 standar
yaitu 6 standar untuk diagnosis, 9 standar untuk pengobatan dan 2 standar

49
yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat. Adapun ke 17 standar
tersebut adalah :
1. Setiap individu dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih
yang tidak dapat dipastikan penyebabnya harus dievaluasi untuk
tuberkulosis.
2. Semua pasien yang diduga tenderita TB paru (dewasa, remaja dan anak
anak yang dapat mengeluarkan dahak) harus menjalani pemeriksaan
sputum secara mikroskopis sekurang-kurangnya 2 kali dan sebaiknya 3
kali. Bila memungkinkan minimal 1 kali pemeriksaan berasal dari
sputum pagi hari.
3. Semua pasien yang diduga tenderita TB ekstraparu (dewasa, remaja dan
anak) harus menjalani pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan
yang dicurigai. Bila tersedia fasiliti dan sumber daya, juga harus
dilakukan biakan dan pemeriksaan histopatologi.
4. Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB
harus menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.
5. Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut :
• Negatif paling kurang pada 3 kali pemeriksaan (termasuk
minimal 1 kali terhadap dahak pagi hari)
• Foto toraks menunjukkan kelainan TB
• Tidak ada respons terhadap antibiotik spektrum luas (hindari
pemakaian flurokuinolon karena mempunyai efek melawan M.
tuberkulosis sehingga memperlihatkan perbaikan sesaat).
• Bila ada fasiliti, pada kasus tersebut harus dilakukan
pemeriksaan biakan.
• Pada pasien dengan atau diduga HIV, evaluasi diagnostik harus
disegerakan.
6. Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura,KGB hilus/mediastinal) pada
anak dengan BTA negatif berdasarkan foto toraks yang sesuai dengan
TB dan terdapat riwayat kontak atau uji tuberkulin/interferon gamma
release assay positif. Pada pasien demikian, bila ada fasilitas harus

50
dilakukan pemeriksaan biakan dari bahan yang berasal dari batuk,
bilasan lambung atau induksi sputum.
7. Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi
kesehatan masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang
sesuai tetapi juga dapat memantau kepatuhan berobat sekaligus
menemukan kasus-kasus yang tidak patuh terhadap rejimen
pengobatan. Dengan melakukan hal tersebut akan dapat menjamin
kepatuhan hingga pengobatan selesai.
8. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus
diberikan paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional
menggunakan obat yang biovaibilitinya sudah diketahui.
• Fase awal terdiri dari INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol
diberikan selama 2 bulan.
• Fase lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan rifampisin yang
selama 4 bulan.
Pemberian INH dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan
alternatif untuk fase lanjutan pada kasus yan keteraturannya tidak dapat
dinilai tetapi terdapat angka kegagalan dan kekambuhan yang tinggi
dihubungkan dengan pemberian alternatif tersebut diatas kususnya
pada pasien HIV. Dosis obat antituberkulosis ini harus mengikuti
rekomendasi internasional. Fixed dose combination yang terdiri dari 2
obat yaitu INH dan rifampisin, yang terdiri dari 3 obat yaitu INH,
rifampisin, pirazinamid dan yang terdiri dari 4 obat yaitu INH,
rifampisin, pirazinamid dan etambutol sangat dianjurkan khususnya
bila tidak dilakukan pengawasan langsung saat menelan obat.
9. Untuk menjaga dan menilai kepatuhan terhadap pengobatan perlu
dikembangkan suatu pendekatan yang terpusat kepada pasien
berdasarkan kebutuhan pasien dan hubungan yang saling menghargai
antara pasien dan pemberi pelayanan. Supervisi dan dukungan harus
memperhatikan kesensitifan gender dan kelompok usia tertentu dan
sesuai dengan intervensi yang dianjurkan dan pelayanan dukungan

51
yang tersedia termasuk edukasi dan konseling pasien. Elemen utama
pada strategi yang terpusat kepada pasien adalah penggunaan
pengukuran untuk menilai dan meningkatkan kepatuhan berobat dan
dapat menemukan bila terjadi ketidak patuhan terhadap pengobatan.
Pengukuran ini dibuat khusus untuk keadaan masing masing individu
dan dapat diterima baik oleh pasien maupun pemberi pelayanan.
Pengukuran tersebut salah satunya termasuk pengawasan langsung
minum obat oleh PMO yang dapat diterima oleh pasien dan sistem
kesehatan serta bertanggungjawab kepada pasien dan sistem kesehatan.
10. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru
penilaian terbaik adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling
kurang pada saat menyelesaikan fase awal (2 bulan), bulan ke lima dan
pada akhir pengobatan. Pasien dengan BTA+ pada bulan ke lima
pengobatan dianggap sebagai gagal terapi dan diberikan obat dengan
modifikasi yang tepat (sesuai standar 14 dan 15). Penilaian respons
terapi pada pasien TB paru ekstraparu dan anak-anak, paling baik
dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks untuk evaluasi tidak
diperlukan dan dapat menyesatkan (misleading).
11. Pencatatan tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan,
respons bakteriologis dan efek samping harus ada untuk semua pasien.
12. Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi
dengan kemungkinan koinfeksi TB-HIV, maka konseling dan
pemeriksaan HIV diindikasikan untuk seluruh TB pasien sebagai
bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan prevalens HIV
yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada
pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda yang diduga berhubungan
dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat risiko tinggi terpajan
HIV.
13. Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah
mempunyai indikasi untuk diberi terapi antiretroviral dalam masa
pemberian OAT. Perencanaan yang sesuai untuk memperoleh obat

52
antiretroviral harus dibuat bagi pasien yang memenuhi indikasi.
Mengingat terdapat kompleksiti pada pemberian secara bersamaan
antara obat antituberkulosis dan obat antiretroviral maka dianjurkan
untuk berkonsultasi kepada pakar di bidang tersebut sebelum
pengobatan dimulai, tanpa perlu mempertimbangkan penyakit apa yang
muncul lebih dahulu. Meskipun demikian pemberian OAT jangan
sampai ditunda. Semua pasien TB-HIV harus mendapat kotrimoksasol
sebagai profilaksis untuk infeksi lainnya.
14. Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan pada
semua pasien yang berisiko tinggi berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya, pajanan dengan sumber yang mungkin sudah resisten dan
prevalens resistensi obat pada komuniti. Pada pasien dengan
kemungkinan MDR harus dilakukan pemeriksaan kultur dan uji
sensitifitas terhadap INH, rifampisin dan etambutol.
15. Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus terdiri
atas obat-obat lini kedua. Paling kurang diberikan 4 macam obat yang
diketahui atau dianggap sensitif dan diberikan selama paling kurang 18
bulan. Untuk memastikan kepatuhan diperlukan pengukuran yang
berorientasi kepada pasien. Konsultasi dengan pakar di bidang MDR
harus dilakukan.
16. Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa
individu yang punya kontak dengan pasien TB harus dievaluasi
(terutama anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV), dan
ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional. Anak usia
dibawah 5 tahun dan penyandang HIV yang punya kontak dengan kasus
infeksius harus dievaluasi baik untuk pemeriksaan TB yang laten
maupun yang aktif.
17. Semua petugas harus melaporkan baik TB kasus baru maupun kasus
pengobatan ulang dan keberhasilan pengobatan kepada kantor dinas
kesehatan setempat sesuai dengan ketentuan hukum dan kebijakan yang
berlaku.

53
2.7. Prognosis
Prognosis dapat menjadi buruk bila dijumpai keterlibatan ekstraparu,
keadaan immunodefisiensi, usia tua, dan riwayat pengobatan TB sebelumnya.
Pada suatu penelitian TB di Malawi, 12 dari 199 orang meninggal, dimana
faktor risiko terjadinya kematian diduga akibat BMI yang rendah, kurangnya
respon terhadap terapi dan keterlambatan diagnosa (Herchline, 2020).
Kesembuhan sempurna biasanya dijumpai pada kasus non-MDR dan
non-XDR TB, ketika regimen pengobatan selesai. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa terapi dengan sistem DOTS memiliki tingkat
kekambuhan 0-14 %. Pada negara dengan prevalensi TB yang rendah,
kekambuhan biasanya timbul 12 bulan setelah pengobatan selesai dan
biasanya diakibatkan oleh relaps. Hal ini berbeda pada negara dengan
prevalensi TB yang tinggi, dimana kekambuhan diakibatkan oleh reinfeksi
(Herchline, 2020).

54
DAFTAR PUSTAKA

Amin Z & Asril B. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Interna
Publishing .
Behrman, Kliegman, Arvin, et al. 2019. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, edisi 21,
Elsevier.
Herchline TE. 2020. Tuberculosis (TB) Differential Diagnoses. Accessed 14
Agustus 2020, Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/230802-differential
Herchline TE. 2020. Tuberculosis (TB). Accessed 14 Agustus 2020, Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/230802-overview#showall
Isselbacher dkk, 2013. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13.
Alih bahasa: Asdie AH. Jakarta: EGC.
Kemenkes RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67
Tahun 2016 Tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.
Kemenkes RI. 2018. INFODATIN. Jakarta: Badan Penerbit Kemenkes RI.
PDPI. 2006. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.
Jakarta: Badan Penerbit PDPI.
Perez RP, et al. 2014. A Case Report of Pulmonary and Lingual Tuberculosis. Cuba:
Asociaciones Colombianas de Gastroenterología, Endoscopia digestiva,
Coloproctología y Hepatología.
Rasad, Sjahriar. 2018. Radiologi Diagnostik Edisi 2 Cetakan ke-11. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.

55

Anda mungkin juga menyukai