Anda di halaman 1dari 14

Laporan Kasus Divisi Respirologi

Limfadenitis Tuberkulosis
Revina Tranggana
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Pendahuluan
Basil tuberkulosis dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut

sebagai TB

ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi


oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, tulang, SSP, kulit, peritoneum,
perikardium 1
Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner. Limfadenitis TB
merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Pasien biasanya datang dengan
keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang

lambat. Basil TB dapat menginfeksi

kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa
orofaring setelah basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan
difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di
leher. Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis, kemudian
diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal
hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis. Berdasarkan penelitian oleh Geldmacher
(2002) didapatkan kelenjar limfe yang terlibat yaitu: 63,3% pada kelenjar limfe servikalis,
26,7% kelenjar mediastinal, dan 8,3% pada kelenjar aksila, dan didapatkan pula pada 35%
pasien pembengkakan terjadi pada lebih dari satu tempat. 1,2
LAPORAN KASUS
MW, anak perempuan umur 12 tahun 1 bulan,datang ke IRD anak RSWS dirujuk dari RS
Salewangang, Maros tanggal 31 Juli 2014 dengan diagnosis marasmus kwashiorkor, suspek
TB paru diferential diagnosis limfoma.
Anamnesis
Pasien dengan keluhan benjolan pada kedua leher diperhatikan sejak 3 bulan sebelum
masuk rumah sakit. Awalnya benjolan hanya 1 dan sebesar biji jagung, kemudian
bertambah besar dan jumlahnya bertambah banyak. Demam dialami 2 hari sebelum masuh
rumah sakit, tidak kejang. Batuk, lendir dan sesak tidak ada. Anak tidak muntah. Anak malas
makan dan minum. Buang air besar biasa kuning dan buang air kecil warna kuning kesan
cukup.
1

Pasien memiliki riwayat sering demam lebih dari 2 minggu. Riwayat batuk lama lebih dari 3
minggu tidak ada. Riwayat kontak dengan penderita TBC dewasa disangkal, namun ada
kontak dengan penderita dewasa yang batuk lama (nenek pasien) Riwayat penurunan berat
badan diperhatkian sejak 3 bulan sebelum masuk RS. Pasien pernah berobat ke RS
Salewangang, Maros dan dirujuk ke RSWS dengan diagnosa marasmus kwashiorkor,
suspek TB paru diferential diagnosis limfoma.
Riwayat makan: Anak mendapatkan ASI sejak lahir sampai umur 1 tahun, pemberian
makanan padat pertama saat usia 6 bulan yaitu bubur susu. Saat ini anak makan makanan
biasa yaitu ikan, telur, daging, dan sayuran.
Riwayat tumbuh kembang: normal sesuai usia.
Dari data vaksinasi anak didapatkan bahwa vaksinasi dasar anak lengkap menurut PPI.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum anak tampak sakit berat. Kontak mata
baik, komunikasi baik. Berat badan (BB) 18.5 kg, Tinggi badan (TB) 128 cm), lingkar kepala
(LK) 52 cm (normocephal/mesocephal), lingkar lengan atas 11 cm. Status antropometri:
berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) 54,81% (gizi buruk), tinggi badan menurut umur
(TB/U) 84,21% (moderate stunting). Tekanan darah 100/60 mmHg, frekuensi nadi 104
x/menit, frekuensi napas 28 x/menit dan suhu 380C.
Kepala

: Normosefal, Mesosefal.

Rambut

: Hitam, lurus, sukar dicabut

Muka

: Simetris kiri dan kanan, tidak old man face

Ubun-ubun besar

: Menutup

Telinga

: Tidak ada otore

Mata

: Tidak konjungtivitis, sclera tidak ikterus

Hidung

: Tidak rinore

Bibir

: Tidak tampak biru

Lidah

: Tidak tampak kandidiasis oral

Selaput mulut

: Tidak ada stomatitis

Gigi

: Tidak caries

Tenggorok

: Faring dan tonsil tidak hiperemis

Leher

: Tidak kaku kuduk

Paru

: Tampak iga gambang, simetris kiri sama dengan kanan,


Bunyi pernapasan vesikuler, bunyi tambahan tidak ada
2

Jantung

: BJ I/II murni, regular. Bising (-)

Abdomen

: Datar, ikut gerak napas, peristaltik kesan normal


Hepar teraba 2 cm bawah arcus costae, permukaan rata tepi tajam,
konsistensi kenyal, tidak nyeritekan
Lien tidak teraba

Genitalia

: Tidak tampak kelainan

Kelenjar limfe

: Terdapat limfadenopati
Pada regio coli dextra:
-

Colli anterior ukuran 3,5x3x3 cm 1 buah, permukaan rata,


berbatas tegas, kenyal, tidak nyeri tekan, mobile.

Submandibula ukuran 1,5x1,5x0,5 3 buah, permukaan rata,


berbatas tegas, kenyal, tidak nyeri tekan, mobile.

Pada regio coli sinistra:


- Colli anterior ukuran 3,5x3x1 cm 2 buah , permukaan rata,
berbatas tegas, kenyal, tidak nyeri tekan, mobile.
- Colli posterior ukuran 1 x1x0,5 cm 2 buah permukaan rata,
berbatas tegas, kenyal, tidak nyeri tekan, mobile.
Tidak teraba limfadenopati aksila, ingunal, pre aurikuler, post
aurikuler, oksipital
Ekstremitas

: Ada wasting, tidak ada edema

Kulit

: Tampak scar BCG pada lengan kanan

Motorik

: Kekuatan tonus otot kesan normal.

Status pubertas

: M1P1A1 (belum ada penonjolan puting, rambut pubis maupun axilla)

Skor TB
Demam
Batuk
Limfadenopati
Pembengkakan sendi

1
0
1
0

Mantoux test
Gizi
Riwayat kontak
Total

Hasil Pemeriksaan Laboratorium (1 Agustus 2014):


Darah rutin

:
3

reagen habis
2
2
8

Hb 7,5 g/dl. RBC 3.620.000/mm3, WBC 12.800/ul, HCT 23,0%, MCV 63 fl, MCH 20,7 pg,
MCHC 32,7 g/dl, PLT 735.000/ul, Retikulosit 0,94% (36.400 U/L), Feritin 448,4, Neutrofil
84,8%, limfosit 6,7%, monosit 6,8%, eosinofil 0,8%, basofil 0,9%
Urin rutin
Warna kuning, pH 7.5, BJ 1,025, albumin (-) sedimen : leukosit (-), eritrosit (-)
Feces rutin
Warna kuning, konsistensi lembek, lendir (-), darah (-), telur cacing tidak ditemukan.
Kimia darah dan elektrolit darah
SGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin
GDS

16 U/L
7 U/L
7 mg/dl
0,40 mg/dl
101 mg/dL

GDS
Albumin
Natrium
Kalium
Klorida

101 mg/dL
3,0 gr/dL
131 meq/
4,2 meq/L
97 meq/L

Pemeriksaan Sputum BTA 6 Agutus 2014


Pewarnaan BTA 1
Pewarnaan BTA 2
Pewarnaan BTA 3

Negatif
1+
Negatif

Analisa Darah Tepi 4 Agustus 2014


Eritrosit

: mikrositik hipokrom, anisopoikilositosis, ovalosit (+), sel pensil (+), burr


cell (+), benda inklusi (-). Normoblast (-)

Leukosit

: jumlah cukup, PMN > limfosit, granulasi toksik (+), vakuolisasi (+), sel
muda (-)

Trombosit

: jumlah menurun, agregasi trombosit (+)

Kesan

: anemia mikrositik hipokrom suspek kausa defisiensi Fe


IT Ratio 7%

Foto Thoraks 8 Agustus 2014

Foto PA Tegak dan Lateral


Foto Thoraks AP/Lateral
- Posisi foto asimetris, kondisi film cukup, inspirasi kurang
- Bercak disertai garis-garis fibrosis berawan pada lapangan atas kedua paru
- Tampak pemadatan kedua hilus
- Cor; bentuk dan ukuran dalam batas normal
- Retrosternal space dan retrocardial space dalam batas normal
- Kedua sinus dan diafragma baik
- Tulang-tulang intak
Kesan: TB paru duplex lama aktif
Pemeriksaan Histopatologi 27 Agutus 2014
Makroskopik: 1 buah jaringan ukuran 4mm penampang putih kekuningan, lunak, coupe.
Mikroskopik: sediaan jaringan menunjukkan struktur kelenjar limfe dilapisi oleh kapsul
jaringan ikat dengan fokus-fokus nekrosis kaseosa yang dikelilingi oleh
granuloma epitheloid disertai sebukan sel-sel radang limfosit, histiosit dan sel
datia langhans.
Kesimpulan: Limfadenitis TB
Diagnosis
1. Tuberkulosis Paru
2. Limfadenitis Tuberkulosis
3. Nutrisional Marasmus
4. Anemia Penyakit Kronik
Terapi
1. Ampicilin 450mg/6jam/intravena
5

2. Gentamicin 50mg/12jam/intravena
3. Obat Anti Tuberkulosis (Fixed Drug Combination) 3tab/24jam/oral
4. Vitamin A 200.000 iu/oral
5. Vitamin B compleks 1x1 tab
6. Vitamin C 100mg/24 jam/oral
7. Asam folat 5 mg/24 jam/oral
8. Asam folat 1 mg/24 jam/oral
9. Tatalaksana diet sesuai protokol gizi buruk
Pemantauan Lanjutan
Pada perawatan hari pertama pasien masih demam, keadaan umum lemah, BB 18,5 kg, .
Pasien mendapat antibiotik ampicilin dan gentamicin selama 5 hari. Pasien dikonsulkan ke
bagian bedah anak untuk dilakukan biopsi pada benjolan di leher. Fase stabilisasi hari 1:
kebutuhan kalori 1080 kkal, protein 27 gram, susu formula F75 8x180 cc, vitamin B
kompleks, vitamin C dan asam folat
Pada perawatan hari kelima, pasien demam, keadaan umum lemah, BB 18,7 kg tidak
terdapat perubahan ukuran dan jumlah pada benjolan di leher. Antibiotik diganti menjadi
cefotaxim, antibiotik gentamicin tetap dilanjutkan. Fase Transisi hari ke 3: kebutuhan kalori
1620 kkal, protein 64 gram, susu formula F100 8x200 cc, vitamin B kompleks, vitamin C dan
asam folat
Pada perawatan hari keenam, pasien demam, keadaan umum lemah, BB 18,7 kg.
Didapatkan hasil pemeriksaan sputum BTA +1 dan pada hari ke-7 didapatkan hasil foto
thoraks kesan TB paru duplex lama aktif, kemudian pasien diberikan terapi OAT dengan
FDC. Rencana dilakukan biopsi eksisi setelah pasien mendapat OAT selama 2 minggu.
Fase transisi ke 4, kebutuhan kalori 1620 kkal, protein 64 gram, susu formula F100 8x200
cc, vitamin B kompleks, vitamin C dan asam folat
Pada perawatan hari ke delapan, pasien demam, keadaan umum lemah, BB 18,7 kg.
didapatkan hasil kultur daraah enterococcus cloacae dan sensitif terhadap caftazidim.
Antibiotik diganti ceftazidim dan gentamicin tetap dilanjutkan sampai 10 hari. Fase
rehabilitasi hari 1 kebutuhan kalori 2160, protein 72 gram, susu formula F 100 8x200,
makanan biasa 3x200 kkal, vitamin B kompleks, vitamin C dan asam folat

Pada perawatan hari ke tiga belas, pasien sudah tidak demam, keadaan umum baik, BB 19
kg. pasien telah mendapat OAT selama 1 minggu. Tidak ada penambahan jumlah benjolan
di leher.
Ukuran benjolan pada regio coli dextra:
- Colli anterior ukuran 3x2x2 cm 1 buah, permukaan rata, berbatas tegas, kenyal, tidak
nyeri tekan, mobile.
- Submandibula ukuran 1x1x0,5 3 buah, permukaan rata, berbatas tegas, kenyal, tidak
nyeri tekan, mobile.
Pada regio coli sinistra:
- Colli anterior ukuran 3x2x0,5 cm 2 buah , permukaan rata, berbatas tegas, kenyal, tidak
nyeri tekan, mobile.
- Colli posterior ukuran 0,5x0,5x0,5 cm 2 buah permukaan rata, berbatas tegas, kenyal,
tidak nyeri tekan, mobile.
Fase rehabilitasi hari 5 kebutuhan kalori 2160, protein 72 gram, susu formula F 100 8x200,
makanan biasa 3x200 kkal, vitamin B kompleks, vitamin C dan asam folat
Pada perawatan hari ke dua puluh tiga, keadaan umum baik, BB 19,4 kg. tanda vital dalam
batas normal, pasien telah mendapat OAT selama 14 hari dan dilakukan biopsi benjolan
pada leher dan hasilnya menunjukkan limfadenitis tuberkulosa dan pemberian OAT tetap
dilanjutkan. Tidak ada penambahan jumlah benjolan di leher. Pasien mendapat antibiotik
post operasi dan analgetik.
Pada perawatan hari ke dua puluh enam pasien, tiga hari post operasi biopsi kelenjar.
Pasien tidak demam. Keadaan umum pasien baik dan tanda vital dalam batas, BB 19,5 kg.
normal. Ukuran benjolan pada regio coli dextra:
- Colli anterior ukuran 2x2x1 cm 1 buah, permukaan rata, berbatas tegas, kenyal, tidak
nyeri tekan, mobile.
- Submandibula ukuran 0,5x0,5x0,5 3 buah, permukaan rata, berbatas tegas, kenyal, tidak
nyeri tekan, mobile.
Pada regio coli sinistra:
- Colli anterior ukuran 2x1x0,5 cm 2 buah , permukaan rata, berbatas tegas, kenyal, tidak
nyeri tekan, mobile.
- Colli posterior ukuran 0,5x0,5x0,5 cm 1 buah permukaan rata, berbatas tegas, kenyal,
tidak nyeri tekan, mobile.
Pasien mendapat OAT selama 17 hari dan pasien meminta pulang paksa. Telah dilakukan
edukasi diet gizi buruk di rumah, edukasi konsumsi OAT teratur dan rutin kontrol ke poli
7

repirologi anak. Fase rehabilitasi hari 17 kebutuhan kalori 2160, protein 72 gram, susu
formula F 100 8x200, makanan biasa 3x200 kkal.
Diskusi
Limfadenopati menunjukkan berbagai proses penyakit yang melibatkan kelenjar limfe yang
menyebabkan abnormalitas ukuran dan konsistensi. Keadaan ini memiliki berbagai etiologi,
paling sering disebabkan oleh infeksi, keganasan dan penyakit autoimun. Limfadenitis
menunjukkan limfadenopati yang disertai proses inflamasi, ditandai dengan proliferasi
limfosit pada kelenjar limfe sebagai respons terhadap infeksi atau infiltrasi keganasan.
Keadaan ini ditandai dengan pembengkakan kelenjar limfe, nyeri, perubahan warna kulit,
demam, edema dan purulen. Pada anak penyebab tersering limfadenopati adalah infeksi
baik disebabkan oleh infeksi virus maupun disebabkan oleh infeksi bakteri. Kelenjar limfe
yang membesar dan dapat diraba disebabkan oleh hiperplasia reaktif jaringan limfoid.
Limfadenitis cervical paling sering dijumpai pada pasien anak, biasanya dapat diterapi
dengan baik menggunakan obat-obatan. Namun tidak jarang yang membutuhkan
pemeriksaan histologi dan tatalaksana bedah.3
Limfadenitis merupakan komplikasi dini TB primer, umumnya terjadi dalam 6 bulan pertama
setelah infeksi. Sebagian besar infeksi kelenjar limfe superfisialis terjadi akibat penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada awal perjalanan penyakit TB, kuman TB yang mencapai
aliran darah dapat bersarang di satu kelompok atau lebih kelenjar limfe. Dalam beberapa
bulan, penyebaran hematogen dapat terlihat dengan adanya pembesaran sementara semua
kelenjar superfisialis. Sebagian besar lesi di kelenjar akan sembuh total, tetapi sebagian
kecil kuman TB tetap berkembang biak. Manifestasi klinis TB kelenjar dapat terjadi
bertahun-tahun kemudian. 1
Angka kejadian limfadenitis TB meningkat seiring dengan meningkatnya insidens kejadian
infeksi mycobacterium di seluruh dunia. Insidens kejadian limfadenitis TB 4:1000 pada anak
berusia di atas 14 tahun, lebih sering ditemukan pada perempuan dengan insidens kejadian
2:1.. Limfadenitis TB merupakan 35% manifestasi TB ekstrapulmoner yang ditemukan pada
15-20% pasien dengan HIV positif. Keterlibatan kelenjar limfe di leher paling sering
dilaporkan (60-90%) tanpa keterlibatan jaringan limfoid lainnya.

Limfadenitis tuberkulosis merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Dapat terjadi
pada infeksi primer tuberkulosis atau hasil dari reaktivasi fokus yang mengalami dorman
atau ekstensi langsung dari fokus infeksi. Infeksi primer terjadi pada paparan awal basil TB.
Droplet yang terinhalasi berukuran kecil sehingga dapat melewati sistem mukosilier bronkus
8

dan sampai di alveolus terminalis paru. Basil TB kemudian bermultiplikasi di paru


membentuk fokus Ghon. Basil TB menyebar ke kelenjar hilus melalui sistem limfatik. Fokus
Ghon dan pembesaran hilus disebut sebagai kompleks primer. Infeksi dapat menyebar dari
fokus primer ke kelenjar limfe regional. Dari kelenjar limfe regional basil TB dapat menyebar
melaui sistem limfatik ke kelenjar limfe lainnya. Kelenjar limfe hilus, mediastinal dan
paratrakeal merupakan lokasi pertama penyebaran infeksi dari parenkim paru. Limfadenitis
TB servikal menunjukkan penyebaran dari fokus primer di tonsil, adenoid atau osteomyelitis
tulang etmoid. Pada stadium awal keterlibatan kelenjar limfe terjadi multiplikasi progresif
basil TB yang diperantarai hipersensitivitas tipe lambat ditandai dengan adanya hiperemia,
pembengkakan, nekrosis dan kaseosa pada kelenjar. Proses ini kemudian diikuti proses
inflamasi, pembengkakan yang progresif dan perlekatan dengan kelenjar lainnya
membentuk suatu kelompok. Bagian tengah kelenjar kemudian akan melunak dan
membentuk materi kaseosa yang dapat pecah dan membentuk sinus pada kulit.
Pembesaran kelenjar mediastinal dapat menyebabkan kompresi pada pembuluh darah
besar, penekanan nervus laryngeus rekuren, disfagia. Bila melibatkan kelenjar mesenterium
atau peripankreas dapat menyebabkan nyeri perut yang tidak spesifik. 4
Tuberkulosis kelenjar limfe superfisialis dapat terjadi pada TB milier akut yang menyeluruh
(acute generalized miliary tuberculosis). Manifestasi klinis sering terjadi di kelenjar leher
kemudian lebih sedikit di daerah aksila dan inguinal. Tuberkulosis kelenjar leher umumnya di
bagian anterior. Tuberkulosis kelenjar supraklavikula dapat terjadi bersama dengan TB
kelenjar leher. tuberkulosis kelenjar supraklavikula umumnya berkaitan dengan TB kelenjar
mediastinum atau pleura. Tuberkulosis kelenjar submandibula jarang terjadi. Pembesaran
kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak sakit dan tidak nyeri tekan.1
Limfadenitis ini paling sering terjadi unilateral tetapi infeksi bilateral dapat terjadi karena
pembuluh limfatik di daerah dada dan leher bawah saling bersilangan. Seiring berlanjutnya
penyakit, kelenjar yang terinfeksi semakin banyak sehingga terbentuk massa dari nodud
yang saling berlekatan. Gejala dan tanda sistemik yang muncul biasanya hanya berupa
demam dengan suhu yang tidak terlalu tinggi. Uji tuberkulin biasanya menunjukkan hasil
yang positif, sedangkan gambaran foto thoraks terlihat normal pada 70% kasus. Awitan
penyakit dapat berlangsung lebih akut dengan demam tinggi dan pembesaran kelenjar limfe
cepat disertai nyeri tekan dan terdapat fluktuasi. Gejala awal dapat berupa massa fluktuasi
dengan selulitis atau perubahan warna pada kulit di atasnya tetapi hal ini jarang terjadi.
Limfadenitis TB tampak sebagai massa unilateral, tunggal atau multipel, berkembang lambat
dalam hitungan minggu atau bulan, tidak ada nyeri tekan. Limfadenitis TB biasanya tidak

disertai nyeri tekan kecuali merupakan infeksi sekunder bakteri, pembesaran kelenjar yang
cepat dan disertai infeksi HIV. 5
Pemeriksaan penunjang menggunakan USG dan CT Scan abdomen menunjukkan kelenjar
limfe yang berkelompok disertai tandai edema. Diagnosis definitif memerlukan pemeriksaan
histologis dan bakteriologis yang diperoleh melalui biopsi, meskipun harus didiagnosis
banding dengan mycobacterium atipik. Pemeriksaan menggunakan FNA (Fine Needle
Aspiration) dianjurkan untuk menegakkan diagnosa dan untuk mengeksklusi diferensial
diagnosa seperti keganasan dan penyebab infeksi lainnya. Biopsi eksisi dianjurkan bila
diagnosis meragukan. extrapulmonary tuberculosis. Pada biopsi dapat ditemukan inflamasi
granulomatous kaseosa dengan sel Langhans. 1
Limfadenitis TB dapat sembuh jika tidak diobati, tetapi lebih sering berkembang menjadi
nekrosis dan perkijuan. Kapsul kelenjar dapat pecah, mengakibatkan terjadinya penyebaran
infeksi ke kelenjar sekitarnya. Pecahnya kelenjar biasa menyebabkan timbulnya traktus
sinus yang mengeluarkan cairan dan mungkin memerlukan terapi bedah. Limfadenitis TB
biasanya memberikan respon yang baik terhadap pemberian OAT, tetapi kelenjar limfe tidak
mengecil kembali ke ukuran normal selama beberapa bulan bahkan tahun. 1
Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah:6,7
a) Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
b) Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
Terapi limfadenopati tuberkulosis sama dengan pengobatan TB paru yaitu 2RHZE/4RH.6,7
Diagnosis tuberkulosis pada anak ditegakkan berdasarkan beberapa hal, antara lain:6
1.

Bukti adanya infeksi


Sumber penularan
Uji tuberkulin positif

2.

Kumpulan gejala
Demam > 2 minggu
Penurunan BB / BB tidak naik
Batuk persisten
Gejala lokal: pembesaran kelenjar getah bening superfisialis, kongjungtivitis
fliktenularis, kaku kuduk, skofuloderma, gibbus, kifosis, jalan pincang, nyeri pada
sendi

3.

Foto Rontgen menyokong ke arah TB

4.

Bakteriologis
10

Pada pasien ini diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan atas dasar adanya demam lebih dari
2 minggu, penurunan berat badan. Gejala lokal yang dijumpai pada pasien ini adanya
limfadenopati superfisialis pada kedua regio coli. Didukung dengan pemeriksaan radiologis
yang menunjukkan adanya pemadatan hilus, garis-garis fibrosis berawan pada kedua baru,
memberi kesan tuberkulosis paru dupleks aktif, serta pemeriksaan bakteriologis sputum BTA
+1. Pada penilaian sistem skoring, skor tb pada pasien ini 8. Riwayat kontak dengan pasien
TB paru pada pasien ini tidak jelas, namun ada nenek pasien yang batuk lama tinggal
serumah dan menolak memeriksakan keadaannya ke dokter. Uji tuberkulin tidak dilakukan
pada pasien ini karena reagen habis.
Pada pasien ini diagnosis limfadenitis tuberkulosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis didapatkan benjolan
pada kedua leher yang dialami 3 bulan sebelum masuk RS. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan adanya limfadenopati pada regio coli dextra dan sinistra, konsistensi kenyal,
bergerombol, tidak nyeri tekan, imobile. Pada pemeriksaan biopsi patologi anatomi benjolan
tersebut didapatkan fokus-fokus nekrosis kaseosa yang dikelilingi oleh granuloma epitheloid
disertai sebukan sel-sel radang limfosit, histiosit dan sel datia langhans memberi kesan
limfadenitis tuberkulosis. Pasien ini juga menderita tuberkulosis paru sehingga menunjang
diagnosa limfadenopati yang ada merupakan infeksi tuberkulosis dan bukan akibat
keganasan.
Pada anemia penyakit kronik terjadi proses inflamasi yang menyebabkan pelepasan
beberapa mediator inflamasi antara lain: IL1, IL6, TNF , IFN . Pelepasan mediator
inflamasi ini menyebabkan:
1. Perubahan homeostasis besi. Akibat dilepaskannya mediator inflamasi, hepar akan
memproduksi hepsidin. Hepsidin akan berikatan dengan feroportin pada mukosa usus
sehingga akan menghambat absorbsi besi, serta menghambat pelepasan besi dari
tempat penyimpanannya di RES
2. Menghambat proliferasi sel progenitor eritroid akibat kurangnya zat besi, sehingga
menghambat proses eritropoesis
3. Menghambat pelepasan eritropoetin di ginjal.
4. Meningkatkan aktivitas fagositosis oleh makrofag di sistem RES, sehingga umur sel
darah merah akan lebih pendek.
Semua proses ini berkontribusi dalam patogenesis terjadinya anemia penyakit kronik

11

Anemia penyakit kronik ditegakkan berdasarkan klinis yaitu anak tampak pucat. Pada
pemeriksaan laboratorium ditemukan Hb 7,5 g/dl. MCV 63 fl, MCH 20,7 pg, MCHC 32,7 g/dl
menunjukkan gambaran mikrositik hipokrom. pada pemeriksaan analisa darah tepi memberi
kesan anemia mikrositik hipokrom suspek kausa defisiensi besi, pemeriksaan feriitn 448,4
sehingga pada pasien ini ditegakkan diagnosa anemia penyakit kronik. Untuk mengobata
anemia penyakit kronik dilakukan pengobatan terhadap penyakit dasarnya yaitu tuberkulosis
paru. Transfusi darah diberikan pada pasien bila terdapat tanda anoksia jaringan. Namun
pada pasien ini diberikan transfusi darah karena akan dilakukan tindakan biopsi eksisi.
Diagnosa gizi buruk pada pasien ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan kriteria
antropometri. Pada kriteria klinis dapat ditemukan adanya wajah orangtua, iga gambang,
wasting dan edema. Pada kriteria antropometri didapatkan BB/TB < -3SD, lingkar lengan
atas < 115 mm. Marasmus ditandai dengan tubuh yang sangat kurus dengan berbagai tanda
ikutannya, sedangkan kwashiorkor ditandai dengan edema, diawali edema pada punggung
kaki yang dapat menyebar ke seluruh tubuh. Tatalaksa gizi buruk meliputi: mencegah dan
mengatasi hipoglikemia, mencegah dan mengatasi hipotermia, mencegah dan mengatasi
dehidrasi, memperbaiki gangguan keseimbangan elektrolit, mengobati infeksi, memperbaiki
kekurangan zat gizi mikro, memberikan makanan untuk stabilisasi dan trasisi, memberikan
makanan untuk tumbuh kejar, memberikan stimulasi untuk tumbuh kembang dan
mempersiapkan untuk tindak lanjut dirumah. 9,10
Diagnosa marasmus kawashiorkor pada pasien ini ditegakkan berdasarkan klinis dan
antropometri. Dari klinis pasien didapatkan adanya iga gambang, wasting pada extremitas.
Pada pemeriksaan antropometri didapatkan BB/TB = 54,81% kesan gizi buruk dan lingkar
lengan atas 11 cm. Untuk tatalaksana gizi buruk dilakukan pemberian mulivitamin dan
pengaturan diet sesuai protokol gizi buruk.
Prognosis qua ad vitam: , qua ad sanationem : bonam, qua ad functionam : bonam

Ringkasan
Telah dilaporkan satu kasus limfadenitis tuberkulosa pada anak perempuan 12 tahun 1
bulan yang disertai tuberkulosis paru, nutrisional marasmus dan anemia penyakit kronik.
Diagnosis ditegakkan berdasarakan anamnesis didapatkan adanya benjolan pada leher
dialami sejak 3 bulan sebelum masuk RS yang membesar perlahan. Pasien memiliki riwayat
sering demam lebih dari 2 minggu. Riwayat kontak dengan penderita dewasa yang batuk
lama (nenek pasien) .Riwayat penurunan berat badan diperhatkian sejak 3 bulan sebelum
masuk RS. Pemeriksaan fisik didapatkan Berat badan 18.5 kg, Tinggi badan 128 cm),
lingkar lengan atas 11 cm. Status antropometri (BB/TB) 54,81% (gizi buruk), Tanda vital
12

didapatkan suhu 380C, tampak pucat, .benjolan pada regio coli dekstra dan sinistra
permukaan rata, berbatas tegas, kenyal, tidak nyeri tekan, mobile, ada iga gambang dan
wasting. Pada pemeriksaa darah rutin memberi kesan anemia mikrositik hipokrom dengan
feritin 448,4, sputum BTA +1, foto thoraks kesan TB paru dupleks lama aktif, biopsi kelenjar
memberi kesan limfafdenitis TB. Penanganan meliputi pemberian antibiotik, obat
antituberkulosis, tatalaksana gizi buruk dan mengatasi penyakit dasar

Summary
A case of tuberculous lymphadenopathy,lung tuberculosis, anemia od chronic disease and
nutritional marasmus was reported in a ftwelve years one months-old female child. The
diagnosis was established based on history taking which were: a lump in the
neck suffered since 3 months before admission enlarged slowly. There is histrory
of frequent fever more than two weeks, contact with adult patients who have a
chronic

cough,

weight

loss since

3 months

before

admission.

Physical

examination found Weight 18.5 kg, height 128 cm), upper arm circumference 11
cm. Anthropometric status (Weight/Height) 54.81% (malnutrition), vital signs
obtained temperature 380C, looked pale, lumps in the region coli right and left
flat surface, demarcated, soft consistency, non-tender, mobile. There are piano
chest

and

wasting.

hypochromic anemia

In

routine

blood

examination

revealed

microcytic

with ferritin 448.4, BTA sputum smear revealed +1,

thoracic images showed old duplex active pulmonary tuberculosis, lumps biopsy
suggesting limfafdenitis TB. Treatment includes antibiotics, antituberculous
drugs, the treatment of malnutrition and tackle underlying disease

Foto pasien

Daftar Pustaka
13

1. Rahajoe Nastiti N, Bambang Supriyatno. Buku Ajar Respirologi Anak. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta. 2012
2. Tim Penyusun.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Tata Laksana
Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. 2013
3. Linda S. Nield, MD, Deepak Kamat, MD, PhD, Lymphadenopathy in Children: When
and How to Evaluate. Clinical Pediatri Journal (Philadelphia) 2004; 43; 25
4. Angela Houston, Derek Clive Macallan. Extrapulmonary Tuberculosis. Medicine
Journal January 2014Volume 42, Issue 1, Pages 1822
5. Prasanta

Raghab

Mohapatra,

Ashok

Kumar

Janmeja.

Tuberculous

Lymphadenitis. Journal of the Association of Physicians of India volume 57 August


2009.
6. Kaswandani Nastiti. Permasalahan Manajemen Tuberkulosis Pada Anak, Simposium
Online. UKK Respirologi-PP IDAi. Jakarta. 2011
7. Rahajoe Nastiti N, dkk. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan
Republik Indonsesia. Jakarta. 2013
8. Brodsky,RA. Richard J Jones. Aplastic anaemia. Lancet 2005; 365: 164756
9. Sjarif Damayanti R, Endang Dewi L et al. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit
Metabolik jilid 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2011.
10. Minarto. Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Direktorat Jendral Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak.
Direktorat Bina Gizi. Jakarta. 2011.

14

Anda mungkin juga menyukai