Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis akut adalah salah satu kedaruratan bedah yang paling umum. Radang usus
buntu memiliki tingkat kejadian tahunan sekitar 100 per 100.000 penduduk. Risiko seumur
hidup untuk radang usus buntu adalah 8,6% untuk pria dan 6,7% untuk wanita, dengan
insiden tertinggi dalam dekade kedua kehidupan.1
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu
menurun. Insidens pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30
tahun, ketika insidens pada lelaki lebih tinggi.9
Apendisitis akut dapat terjadi komplikasi dengan terbentuknya appendiceal mass pada
2%-10% dari kasus. Massa ini terbentuk dari perforasi appendiceal yang tertutup dan
menunjukkan spektrum patologis yang luas mulai dari peradangan massa yang terdiri dari
peradangan appendiks, beberapa visera yang berdekatan dan omentum (phlegmon) ke abses
periappendiceal.2

1
BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Charisma Isabela
2. Jenis kelamin : Perempuan
3. Tanggal lahir/Umur : 13 Desember 2003/ 16 tahun
4. Alamat : Muara Enim
5. Pekerjaan : Pelajar
6. Agama : Islam
7. Status perkawinan : Lajang
8. Tanggal MRS : 21 Mei 2019
9. Bangsal : Lematang 3
10. No. Rekmed : 089867

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama: nyeri perut kanan bawah
2. Riwayat perjalanan penyakit :
Sejak ± 2 bulan SMRS, os mengeluh nyeri pada perut bagian kanan bawah yang
hilang timbul. ± 3 hari SMRS os mengeluh nyeri perut kanan bawah terus menerus,
mual (+), muntah (-), perut kembung (-), demam (-), BAB (+) normal, BAK (+)
normal, flatus (+), nafsu makan menurun. Os mengeluh terkadang teraba benjolan
ketika sedang terasa nyeri pada perut bagian kanan bawah. Os kemudian datang ke
IGD RSUD H. M. Rabain Muara Enim.
3. Riwayat penyakit dahulu:
 Riwayat keluhan sama sebelumnya (-)
4. Riwayat keluarga:
 Riwayat keluhan yang sama di keluarga disangkal
5. Riwayat pengobatan:
 Riwayat mengkonsumsi paracetamol

2
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum
a. Kesadaran : Compos Mentis
b. Tekanan darah : 100/70mmHg
c. Nadi : 88 kali/menit
d. Pernapasan : 22 kali/menit
e. Suhu : 37,1oC
f. SpO2 : 98%
2. Keadaan spesifik
Kepala : Bentuk normocephali
Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor,
refleks cahaya (+/+)
Telinga : CAE lapang, sekret (-/-)
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-/-), mukosa hiperemis (-/-)
Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), kalkulus (-), stomatitis (-)
Leher : JVP (5-2) cmH20, pembesaran KGB (-),
Thoraks
Paru-paru Anterior
I : Statis, simetris kanan sama dengan kiri.
Dinamis, simetris kanan sama dengan kiri.
Pelebaran sela iga (-)
P : Stem fremitus kanan =kiri
P : Sonor pada kedua lapangan paru
A : Vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronkhi (-)

Jantung
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis tidak teraba
P : Batas atas jantung ICS II, batas kanan jantung linea sternalis kanan,
batas kiri jantung linea midklavikularis kiri ICS V.
A : HR 104x/menit, bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-).

3
c. Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Lemas, nyeri tekan perut kanan bawah (+),
teraba massa di titik mcburney, obturator sign (+),
rovsing sign (-), psoas sign (-)
Perkusi : Timpani, shifting dullnes (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
d. Genitalia dan anus : Dalam batas normal
e. Ekstremitas : Akral hangat, sianosis (-), CRT <2 detik

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium (21-05-2019)
Hb 12,7 gr/dL MCV 81,3 fL
RBC 4,66.106/mm3 MCH 27,3 pg
WBC 21.510/mm3 MCHC 33,5 g/dL
Hematokrit 37,9 % RDW-SD 41,5 fL
PLT 264.000/mm3 RDW-CV 14,3 %
Diff.count 77,6/12,7/9/0,6/0,1 PCT 0,30 %

2. USG Abdomen (22-05-2019)

4
Kesan: Gambaran appendisitis dengan kecurigaan perforasi terlokalisir

E. DIAGNOSIS BANDING
1. Massa periappendikular Infiltrat
2. Gastroenteritis
3. Caecal carsinoma

F. DIAGNOSIS KERJA
Massa periappendikular Infiltrat

G. TATALAKSANA
- Diberikan edukasi terhadap pasien bahwa terapi appendikular infiltrat adalah dengan
obat-obatan, tidak memerlukan tindakan operatif.
- Rawat inap di rumah sakit
- IVFD Asering gtt xx/menit
- antibiotik gram positif
- antibiotik anaerob
- PPI
5
F. PROGNOSIS
a. Quo ad vitam : dubia ad bonam
b. Quo ad functionam : dubia ad bonam
c. Quo ad sanationam : dubia ad bonam

G. FOLLOW UP
Tanggal SOAP
23 Mei 2019 S: tidak ada keluhan
O:
Status Generalikus
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Frekuensi Nadi : 71 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Napas : 24 x/menit
Suhu : 36,8°C
Status Lokalis Regio Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : Bising Usus (+)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan perut kanan bawah (-), teraba massa pada
titik mc-burney
Perkusi : Timpani
A: Massa periappendikular Infiltrat
P:
 Karena nafsu makan penderita menurun maka edukasi
diberikan untuk tetap diusahakan makan, dan edukasi ke
keluarga untuk memantau asupan dan pola makan penderita.
 IVFD Asering gtt xx/menit
 antibiotik gram positif
 antibiotik anaerob
 PPI

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi

Pada orang dewasa, panjang rata-rata apendiks adalah 6 hingga 9cm namun
panjangnya bisa bervariasi dari 1-30 cm. Bagian luar diameter bervariasi antara 3 dan 8 mm,
sedangkan diameter luminal bervariasi antara 1 dan 3 mm. Apendiks menerima pasokan
arteri dari appendicular cabang arteri ileocolic. Arteri ini berasal dari posterior ke ileum
terminal, masukkan tutup mesoappendix ke dasar apendiks. Drainase limfatik apendiks
mengalir ke kelenjar getah bening yang terletak di sepanjang ileocolic pembuluh darah.
Innervasi dari appendix berasal dari simpatik elemen disumbangkan oleh pleksus mesenterika
superior (T10-L1) dan aferen dari unsur parasimpatis via saraf vagus. 3
Appendix vermiformis adalah struktur tabung sempit, berongga, berujung buntu dan
berhubungan dengan caecum di ujung yang lain. Lumen appendiks berhubungan dengan
sekum. Dinding appendiks memiliki lapisan mukosa, submukosa, otot, dan serosa. Mukosa
dilapisi dengan sel goblet. Submukosa kaya dengan jaringan limfoid yang berkumpul sebagai
limfoid folikel dengan jumlah yang banyak. Dinding otot dan serosa mirip dengan sekum.4
Dinding appendix vermiformis memiliki agregasi jaringan lymphaticum yang luas, dan
menggantung pada ileum terminal oleh mesoappendix yang berisi vasa appendicularis. Titik
perlekatnya dengan caecum konsisten dengan alur taeniae coli libera yang tampak jelas
mengarah ke basis appendix vermiformis, tetapi lokasi bagian appendix vermiformis yang
lain sangat bervariasi. Bagian appendix vermiformis yang lain dapat berada di:

7
- posterior dari caecum atau bagian bawah colon ascendens, atau keduanya, dengan posisi
retrocaecalis atau retrocolicae sebanyak 60%:
- menggantung dia atas apertura pelvis, di dalam pelvis atau dalam posisi descendens
sebanyak 35%.
- di bawah caecum pada lokasi subcaecale: atau
- anterior dari ileum terminal. kemungkinan berhubungan dengan dinding tubuh, pada posisi
pre-ileale atau posterior dari ileum terminal pada posisi post-ileale.
Suplai arterial untuk caecum dan appendix vermiformis berasal dari:
- arteria caecalls anterior dari arteria ileocolica (dari arteria mesenterica superior).
- arteria caecalis posterior dari arteria ileocolica (dari arteria mesenterica superior), dan
- arteria appendicularis dari arteria ileocolica (dari arteria mesenterica superior).3

Proyeksi permukaan basis appendix vermiformis terletak pada pertemuan antara 1/3 lateral
dan 1/3 tengah garis dari SIAS sampai umbilicus (titik McBurney). Pasien dengan masalah
appendix vermiformis dapat menjelaskan adanya rasa nyeri pada daerah dekat lokasi ini.5

8
Dasar Appendix vermiformis berproyeksi ke titik McBURNEY (transisi antara
sepertiga lateral dan dua pertiga medial pada garis yang menghubungkan Umbilicus dengan
Spina iliaca anterior superior). Lokasi ujung Appendix lebih bervariasi dan berproyeksi ke
titik LANZ (transisi antara sepertiga kanan dan dua pertiga kiri pada garis yang
menghubungkan kedua Spina iliacae anteriores superiores.5

Fitur histologis apendiks terkandung dalam tiga lapisan berikut: serosa luar, yang merupakan
perpanjangan peritoneum; lapisan muscularis, yang tidak terdefinisi dengan baik dan
mungkin tidak ada di lokasi tertentu; dan akhirnya, submukosa dan mukosa. Agregat limfoid
terjadi di lapisan submukosa dan dapat meluas ke mukosa muskularis. Saluran limfatik
menonjol di daerah yang mendasari ini agregat limfoid. Mukosa seperti itu dari usus besar,
kecuali kepadatan folikel limfoid. Crypts ukuran dan bentuknya tidak beraturan, berbeda
dengan yang lebih seragam penampilan crypts di usus besar. Kompleks neuroendokrin terdiri
dari sel ganglion, sel Schwann, serat saraf, dan sel-sel neurosecretory diposisikan tepat di
bawah crypts.

9
3.2. Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2mL perhari. Normalnya lendir itu
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di
muara apendiks nampaknya berperan pada patogenesis apendisitis.
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut associated lymphoid
tissue) yang terdapat sepanjang saluran cerna termasuk apendiks adalah IgA. Imunoglobulin
ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan
apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jaringan limfe di sini sedikit sekali
jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.9 Fungsi appendix
terkait dengan peran jaringan limfoid dalam proses imunologis (mucosa-associated lymphoid
tissue).4

3.3. Massa Periappendikular Infiltrat


a. Definisi
Massa periappendikular infiltrat merupakan komplikasi dari apendisitis akut yang
terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi dilokalisir atau dibungkus oleh
omentum dan atau lekuk usus halus.6

b. Epidemiologi
Pada laki-laki remaja sedikit dominan dibandingkan dengan dewasa muda 3: 2. Pada
orang dewasa, kejadian apendisitis kira-kira 1,4 kali lebih besar pada pria daripada pada
wanita. Kejadian radang usus buntu berangsur-angsur meningkat sejak lahir, memuncak pada
akhir tahun-tahun remaja, dan secara bertahap menurun di tahun-tahun usia lanjut. Usia rata-
rata saat apendisitis terjadi pada anak populasi adalah 6-10 tahun. Hiperplasia limfoid diamati
lebih sering di antara bayi dan orang dewasa muda dan berpengaruh atas peningkatan insiden
radang usus buntu pada kelompok usia tersebut. Anak-anak yang lebih muda memiliki
tingkat perforasi yang lebih tinggi, dengan tingkat dilaporkan 50-85%. Median usia operasi
usus buntu adalah 22 tahun. Meskipun jarang, apendisitis neonatal dan bahkan prenatal ada
dilaporkan. Oleh karena itu, dokter harus mempertahankan indeks kecurigaan yang tinggi
pada semua kelompok umur. Di AS tingkat tahunan (per 10.000 populasi) dari semua kasus
appendisitis dan appendectomy meningkat dari 7,62 pada tahun 1993 menjadi 9,38 pada
tahun 2008 dan sejak itu tetap stabil pada 9,4 kasus per 10.000 Namun, perbandingan usus
buntu simple dengan kompleks kasus telah meningkat pada usia yang ekstrem (0–9 dan lebih

10
dari 40 tahun). Namun secara umum, ada kecenderungan di persentase kasus kompleks yang
menurun dari 33,4% pada tahun 1993 menjadi 27% pada tahun 2008.7
Dari 650 kasus di RSUP Prof. Dr. R. D, Kandou Manado periode Oktober 2012 –
September 2015, Jumlah pasien terbanyak ialah apendisitis akut yaitu 412 pasien (63%)
sedangkan apendisitis kronik sebanyak 38 pasien (6%). Dari 650 pasien, yang mengalami
komplikasi sebanyak 200 pasien yang terdiri dari 193 pasien (30%) dengan komplikasi
apendisitis perforasi dan 7 pasien (1%) dengan periapendikuler infiltrat.8

c. Etiologi
Apendisitis merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor
pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor
pencetus. Disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris
dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendisitis ialah erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti E. histolytica. Penelitian
epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal,
yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan
kuman flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.9
Teori utamanya adalah bahwa obstruksi lumen apendiks adalah penyebab apendisitis
akut. Fecalith, dan hiperplasia limfoid adalah penyebab utama obstruksi. 7 Etiologi apendisitis
mungkin disebabkan oleh luminal obstruksi yang terjadi sebagai akibat dari hiperplasia
limfoid di populasi anak; pada orang dewasa, itu mungkin disebabkan oleh fecaliths, fibrosis,
benda asing (makanan, parasit, batu), atau neoplasia. Escherichia coli dan Bacteroides fragilis
adalah bakteri aerobik dan bakteri anaerob yang paling umum yang diisolasi pada apendisitis
perforasi.1 Inisiasi apendisitis akut terutama disebabkan oleh obstruksi lumen, yang terjadi
pada lebih dari 70% kasus oleh fecalith, benda asing, tumor appendiks atau sekum, parasit,
atau jaringan fibrosa.4

d. Patofisiologi
Obstruksi umumnya menyebabkan peningkatan intraluminal tekanan dan nyeri
visceral yang dirujuk ke periumbilikalis region. Dinyatakan bahwa hal ini menyebabkan
gangguan drainase vena, iskemia mukosa yang menyebabkan translokasi bakteri, dan infeksi
gangren dan infeksi intraperitoneal. 1 Lumen distal yang obstruksi mulai terisi dengan lendir
dan menjadi obstruksi loop tertutup (closed loop obstruction). Obstruksi lumen yang tertutup

11
disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi
normal dari mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan mucus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi
sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20. Hal ini menyebabkan
distensi dan peningkatan tekanan intraluminal dan intramural.1
Dengan berkembangnya kondisi ini, bakteri yang ada dalam apendiks berkembang
biak dengan cepat. Distensi dari lumen apendiks menyebabkan anoreksia refleks, mual dan
muntah, dan nyeri viseral. Sebagai tekanan lumen melebihi tekanan vena, venula kecil dan
kapiler menjadi trombosis, tetapi arteriol tetap terbuka, yang menyebabkan pembengkakan
dan kongesti appendiks. Proses inflamasi melibatkan serosa usus buntu, karenanya parietal
peritoneum di wilayah tersebut, yang menyebabkan nyeri klasik kanan bawah kuadran
(RLQ). Setelah arteriol kecil mengalami trombosis, area di perbatasan antimesenterik
menjadi iskemik, infark dan perforasi terjadi. Bakteri translokasi melalui dinding yang
mengalami iskemia, dan terbentuk nanah di dalam dan sekitar appendiks. Perforasi biasanya
terlihat di luar batas obstruksi.1
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri
didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.6 Bila kemudian
arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium
ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan
terjadi apendisitis perforasi.6
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.6 Infiltrat
apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai dimukosa dan melibatkan
seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24 - 48 jam pertama, ini merupakan usaha
pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan
omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya
dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak
terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang
untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.9

12
e. Manifestasi Klinis
Massa periapendikular infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang
kemudian disertai adanya massa periapendikular. Gejala klasik apendisitis akut biasanya
bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah.
Dalam 2 - 12 jam nyeri beralih kekuadran kanan, yang akan menetap dan diperberat bila
berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu
tinggi. Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan
muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap.
Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif.6

f. Pemeriksaan fisik
Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5o C-38,5 oC. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik.
Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan
bawah bisa dilihat pada massa atau abses periapendikular.9
Sebagian besar pasien hanya berbaring karena peritonitis parietal, pasien umumnya
teraba hangat, demam ringan dan nyeri tekan lokal. Titik Mcburney yaitu pada sepertiga jarak
antara SIAS ke umbilicus merupakan titik utama nyeri tekan pada pasien dengan anatomi
appendiks yang normal. Beberapa gejala fisik yang dapat membantu membedakan lokasi
appendiks: Rovsing’s sign, nyeri pada RLQ setelah dilakukan penekanan pada LLQ.1
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai
nyeri lepas. Pada periapendikular infiltrat biasanya teraba massa pada RLQ. Defans muskuler
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini
merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri di perut
kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada apendisitis retrosekal atau retroileal
diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri. Tanda Psoas atau tanda
Obraztsova atau tes psoas Cope memiliki sensitivitas yang sangat rendah (16%) tetapi
spesifisitas yang baik (96%) dan dapat ditemukan pada apendiks retrocecal dan panggul.
Diperiksa dengan pasien dalam posisi terlentang, meminta pasien untuk mengangkat paha
kanan terhadap pemeriksa ditempatkan tepat di atas lutut. Atau, dengan pasien di posisi
dekubitus lateral kiri, pemeriksa meregangkan kaki kanan pasien di pinggul. Peningkatan rasa
sakit dengan keduanya manuver merupakan tanda positif.7 Tanda obturator mirip dengan
tanda psoas. Ini ditimbulkan dengan secara pasif fleksi pinggul kanan dan lutut dan putar kaki

13
secara internal di pinggul, regangkan otot obturator. sakit perut adalah tanda positif,
menunjukkan iritasi pada otot obturator.7

g. Pemeriksaan Penunjang
Pasien appendisitis biasanya dengan leukositosis (>10.000 sel/mm3). CRP, bilirubin,
IL-6 dan procalcitonin dapat membantu menegakkan diagnosis, lebih spesifik untuk menilai
appendisitis perforasi yaitu dengan menilai leukositosis (>17.000 sel/mm3). Leukosit dan
CRP merupakan dua komponen pemeriksaan yang lebih diutamakan pada pemeriksaan
laboratorium pasien appendisitis, pemeriksaan kehamilan juga diperlukan pada wanita usia
subur, dan urinalisis juga dapat diperiksa untuk menyingkirkan nefrolithiasis dan
pyelonefritis.1 left shift pada pemeriksaan leukosit PMN ditemukan pada 95% kasus.4
Pemeriksaan radiologis terkadang dilakukan untuk memastikan diagnosis dari
appendisitis karena negative operating rate pada pasien laki-laki adalah 10% dan 20% pada
pasien wanita. Pemeriksaan radiologis yang paling dianjurkan adalah pada pasien dengan
gejala appendisitis yang kurang jelas atau orang dengan resiko tinggi terhadap intervensi
operasi dan anestesi umum misalnya pada pasien hamil atau pasien dengan multiple
komorbiditas.
Ultrasonografi digunakan untuk mengidentifikasi diameter anteroposterior appendiks.
apendiks dengan diameter <5 mm umumnya menyingkirkan perkiraan apendisitis. Fitur pada
USG yang menunjukkan appendisitis yaitu diameter lebih besar dari 6 mm, sakit dengan
penekanan, adanya appendicolith, peningkatan echogenisitas lemak, dan cairan
periappendiceal. Ultrasonografi lebih murah dan lebih banyak tersedia daripada CT scan, dan
tidak memaparkan pasien dengan ionizing radiation, tetapi tergantung pada operator dari
USG tersebut dan memiliki utilitas atau kegunaan yang terbatas pada pasien obesitas. Selain
itu, kompresi biasanya akan menimbulkan nyeri pada pasien dengan perionitis.1

h. Diagnosis Banding
Diagnosis Massa periapendikular Infiltrat dapat dibingungkan dengan penyakit lain
pada kuadran kanan abdomen dengan massa diantaranya tumor cekum, gastroenteritis akut ,
lymfoma maligna intra abdomen, adenitis mesenterika akut, cecal divertikulitis, divertikulitis
Meckel, ileitis akut, penyakit Crohn, penyakit radang panggul akut, apendisitis tuberkulosa,
amuboma, dan juga kelainan ginekologi seperti KET, adneksitis ataupun kista ovarium
terpuntir.

14
i. Tatalaksana
Manajemen appendisitis dengan massa yang menunjukkan phlegmon atau abses bisa
lebih sulit. Pasien seperti itu paling baik ditatalaksana dengan pengobatan broadspectrum
antibiotik, yaitu antibiotik gram negatif, antibiotik gram positif, dan antibiotik bakteri
anaerob. Drainase jika ada abses berdiameter > 3 cm, dan cairan parenteral dan bowel rest
jika merespons manajemen konservatif. Apendiks kemudian dapat lebih aman diangkat 6-12
minggu kemudian ketika peradangan berkurang.11 Apabila nyeri terlokalisir pada RLQ dan
tidak ada tanda-tanda peritonitis generalis maka pasien ditatalaksana dengan antibiotik
spektrum luas dan dilihat perkembangan klinisnya, jika tidak ada perbaikan maka
diindikasikan untuk operasi.4 Interval appendectomy dapat dilakukan pada 6-8 minggu
setelah fase inflammatory.1 Untuk menilai waktu pasien dipulangkan dari rumah sakit, dapat
dinilai dari normalnya hasil penilaian dua tanda dan dua gejala. Dua tanda yaitu demam dan
nyeri sudah tidak ada, Dua gejala yaitu massa pada RLQ sudah tidak teraba, hasil
laboratorium leukosit dan LED dalam batas normal.

j. Komplikasi
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas
maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan sehingga berupa massa
yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, lekuk usus halus. Pada Periapendikular Infiltrat
dengan pembentukan dinding yang belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh
rongga peritoneum jika perforasi diikuti oleh peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena
itu, massa periapendikuler yang masih bebas (mobile) sebaiknya segera dioperasi untuk
mencegah penyulit tersebut. Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri
masuk kerongga abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian. 10

15
BAB IV
ANALISIS KASUS

Penderita masuk RSUD H. M. Rabain Muara Enim sejak tanggal 21 Mei 2019,
berdasarkan hasil anamnesis penderita menyatakan nyeri perut hilang timbul dirasakan sejak
dua bulan terakhir, seminggu sebelum masuk rumah sakit penderita merasakan nyeri yang
terus-menerus. Nyeri awalnya dirasakan pada bagian tengah perut lalu berpindah ke bagian
kanan bawah perut. Nafsu makan penderita menurun, mual (+), muntah (-), demam (-), BAB
(+) normal, flatus (+). Dari hasil anamnesis didapatkan gejala klasik dari appendisitis
biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus dalam 2 - 12 jam nyeri
beralih kekuadran kanan, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk.
Terdapat juga keluhan anoreksia dan malaise yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat
konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu tubuh 37,1 demam ringan, nyeri tekan pada
abdomen kuadran kanan bawah, nyeri tekan pada titik mcburney’s (+), teraba massa di titik
mcburney’s, obturator sign (+), psoas sign (-), rovsing sign (-). Hasil dari pemeriksaan fisik
sesuai dengan gejala pada appendisitis, demam ringan dan nyeri pada titik mcburney,
obturator sign (+), teraba massa pada titik mcburney dapat menunjukkan adanya tanda dari
periappendikular infiltrat.
Dari hasil pemeriksaan penunjang, hasil pemeriksaan hematologi menunjukkan
leukositosis yaitu dengan nilai leukosit 21.510/uL, peningkatan procalcitonin dan differential
count PMN leukosit shift to the left. Hal ini sesuai dengan teori yaitu pasien appendisitis
biasanya dengan leukositosis (>10.000 sel/mm3), procalcitonin dapat membantu menegakkan
diagnosis, left shift pada pemeriksaan leukosit PMN ditemukan pada 95% kasus. Pada
pemeriksaan USG didapatkan kesan gambaran appendisitis dengan kecurigaan perforasi
terlokalisir LED pada kasus tidak diperiksa.
Dari seluruh hasil anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang dapat
ditegakkan diagnosis apendikular infiltrat. Tatalaksana yang diberikan adalah managemen
konservatif yaitu dengan antibiotik gram positif, antibiotik gram negatif, antibiotik bakteri
anaerob dan bowel rest.

16
KERANGKA KONSEP

Obstruksi appendiks,
Kongesti

Nyeri RLQ Dilatasi lumen appendiks

Peningkatan tekanan
intraluminal

Trombosis dan oklusi


pembuluh darah kecil, stasis
aliram limfe

Ischemia, necrotic

Translokasi bakteri

Demam ringan, mual Respon


leukositosis, peningkatan peradangan di
PCT sekitar appendiks

Mekanisme
pertahanan tubuh

Peradangan Tatalaksana konservatif


Teraba massa di dengan antibiotik
dibatasi jaringan
titik McBurney’s spektrum luas
sekitar

17
DISKUSI
1. Kapan perlu diakukan tindakan operatif pada pasien massa periappendikular
infiltrat?
Jawaban : Pada anak dipersiapkan operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa
dengan massa periapendikuler yang terpancang dengan pendindingan yang sempurna
sebaiknya dirawat terlebih dahulu dan diberi antibiotik terlebih dahulu dan diberi
antibiotik sambil dilakukan pemantauan suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya
peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikuler hilang, dan leukosit
normal, penderita boleh pulang dan apendektomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan
kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin.
Apendektomi dilakukan pada infiltrat periapendikuler tanpa pus yang telah
ditenangkan. Sebelumnya, pasien diberi antibiotik kombinasi yang aktif terhadap
kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu,
dilakukan apendektomi. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika
secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi
secepatnya. Bila sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja; apendektomi
dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika, pada saat dilakukan drainase bedah,
apendiks mudah diangkat, dianjurkan sekaligus dilakukan apendektomi.9

2. Bagaimana cara membedakan massa periappendikular infiltrat dan appendisitis


akut?
Jawaban : Pada anamnesis appendisitis akut keluhan nyeri perut kanan bawah pada
24-48 jam dan pada pasien massa periappendikular infiltrat keluhan dirasakan lebih
kronik, keluhan mual, muntah, demam, penurunan nafsu makan masih dapat
ditemukan pada kedua penyakit ini. Pada pemeriksaan fisik pasien appendisitis akut
didapatkan tenderness dan rebound tenderness pada RUQ sedangkan pasien massa
periappendikular infiltrat terba massa pada RUQ. Pada pemeriksaan laboratorium
dapat ditemukan peningkatan leunkosit dan shift to the left pada kedua penyakit ini.
Dan untuk pemeriksaan berdasarkan clinical scoring system pada pasien appendisitis
akut dapat digunakan Alvardo Score atau AIRS. Dan pada pemeriksaan penunjang
yang paling sederhana di USG Appedix ditemukan Target sign atau Sausage Sign
pada pasien appendisitis akut. Cara membedakan kedua penyakit ini harus diketahui

18
karna tatalaksana pasien appendisitis akut bersifat emergency dan pasien massa
periappendikular infiltrat bersifat urgency.9

3. Bagaimana tatalaksana awal sebagai dokter umum pada pasien massa


periappendikular infiltrat?
Jawaban : Sebagai dokter umum pada pasien dengan kecurigaan appendisitis akut
kompetensi adalah 3B yaitu lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan
nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pasien dan melakukan rujukan
yang paling tepat bagi pananganan selanjutnya. Dan untuk pasien periappendikular
infiltrat dokter umum dapat melakukan tatalaksana awal dan stabilisasi pasien dan
kemudian merujuk ke dokter spesialis bedah.9

4. Berapa persentase tindakan konservatif dan operatif pada pasien massa


periappendikular infiltrat?
Jawaban : Berdasarkan International Surgery Journal didapatkan hasil penelitian
14,3% konsultan dan 53,3% spesialis melakukan tindakan konservatif tanpa dilakukan
appendektomi interval. Dan didapatkan juga 14,3% dan 26,7% melakukan tindakan
appendektomi segera, sedangkan 71,4% konsultan dan 20% spesialis melakukan
interval appendektomi. Dan kesimpulan jurnal tersebut adalah dokter bedah lebih
memilih untuk melakukan tindakan appendektomi interval pada pasien dengan massa
periappendikular infiltrat dan dapat dilakukan tindakan appendektomi segera jika
dalam kondisi yang memungkinkan.12

5. Apa saja diagnosis banding appendisitis akut?


Gastroenteritis, Demam Dengue, Limfadenitis Mesenterika, Kelainan Ovulasi, Infeksi
Panggul, Kehamilan di Luar Kandungan, Kista Ovarium Terpuntir, Endometriosis
Eksterna, Urolithiasis Pielum/Ureter Kanan, Penyakit Saluran Cerna Lainnya (misal
Divertikulitis Meckel, Perforasi Tukak Duodenum atau lambung, Kolesistitis Akut,
Perforasi Kolon, Demam Tifoid Abdominalis, Karsinoid, dan Mukokel Appendiks)9.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 2019. Principles of Surgery eleventh edition. Mc-
Graw Hilla Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic
Publication.
2. Meshikhes, Abdul-Wahed Nasir. 2011. World Journal of Gastroenterology.
Appendiceal mass. Http://www.wjgnet.com/1007-9327office
3. Drake, R. L., Vogl, A. W. and Mitchell, A. W. M. (2012) Gray’s Basic Anatomy.
4. Debas, Haile T. 2003. Gastrointestinal surgery : pathophysiology and management.
5. Paulsen F. & J. Waschke. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia : Anatomi Umum
dan Muskuloskeletal. Penerjemah : Brahm U. Penerbit. Jakarta : EGC
6. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua.
Penerbit MediaAesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
7. Alvarado, Alfredo.2018. Clinical approach in the diagnosis of acute appendisitis.
8. Thomas, Gloria A.,et. Al. Angka kejadian apendisitis di RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado periode Oktober 2012 – September 2015. Jurnal e-Clinic (eCl),
Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2016.
9. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan
Anorektum”, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-646.
10. Anonim, 2004. Appendicitis. U.S. Department Of Health and Human Services.
NationalInstitute of Health. NIH Publication No. 04±4547.June 2004
www.digestive.niddk.nih.gov
11. Braunwald E. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Kasper DL, Braunwald E,Fauci
AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Editors. 2015.Harrison’s Principle of Internal
Medicine. 19th Edition. New York: McGraw Hill;
12. Tamer et al., 2017. A Survey of Management of Appendiceal Mass Among Surgeons:
What is Best Pratice?.International Surgery Journal Vol 4 p1850-1855.

20

Anda mungkin juga menyukai