Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

Peritonitis Generalisata
ec Perforasi Appendiks

Oleh :
Lista Yul Zamrul

NIP : 10119210030

Pembimbing : dr. Prita Aulia, Sp.B, M.Biomed

DEPARTEMEN ILMU BEDAH

PROGRAM STUDI PROFESI

DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KHAIRUN TERNATE

2023
BAB I
IDENTIFIKASI KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : An.A.M
Usia : 10 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Bacan
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal Masuk : 28 November 2022
Ruangan : IRDA-B
No. RM 537823

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri perut

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri perut sejak ± 1 minggu
yang lalu. Nyeri dirasakan seperti tertusuk yang semakin hari semakin
bertambah. Sejak 4 hari terakhir nyeri semakin memberat dan lebih dirasakan
pada bagian kanan bawah yang menjalar hingga ke pinggang. Keluhan
disertai dengan riwayat demam sejak 1 hari SMRS. Keluhan mual dan
muntah setiap kali makan. Nafsu makan menurun dan pasien jarang konsumsi
buah dan sayur-sayuran. Keluhan disertai belum BAB sejak 3 hari lalu dan
BAK normal.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien tidak memiliki keluhan serupa sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama seperti pasien.
Riwayat Pengobatan :
Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat atau menjalankan pengobatan
tertentu.

Riwayat Alergi :
Pasien tidak memiliki alergi makanan maupun obat-obatan.

Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien merupakan seorang pelajar SD dengan kebutuhan ekonomi cukup.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang (VAS 6)
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4M5V6
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 115 x/menit
Pernapasan : 24 x/menut
Suhu : 37,0 C
SpO2 : 99%

Status Generalis
 Kepala : Normocephal, tidak ada massa, tidak ada deformitas
 Mata : Pupil isokor, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak
ikterik exopthalmus (-/-), nistagmus (-/-)
 Telinga : Tidak ada sekret, deformitas (-)
 Hidung : Tidak ada sekret, deformitas (-)
 Mulut : Tidak ada kelainan, bibir kering (+)
 Leher : Trakea di tengah, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid

 Thoraks
- Inspeksi : Simetris kiri dan kanan, pergerakan dinding dada simetris
dan iktus kordis tidak tampak
- Palpasi : Fremitus taktil kanan kiri sama, iktus kordis teraba di ICS
V linea midclavicula sinistra
- Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : Jantung = S1S2 murni regular, murmur (-), gallop (-)
Paru = Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

 Abdomen
- Inspeksi : Tampak datar mengikuti gerak napas, massa (-)

- Auskultasi : Bising usus kesan menurun


- Palpasi : Nyeri tekan diseluruh regio abdomen, tidak
teraba massa lien dan hepar tidak ada pembesaran,
defans muskular (+), nyeri tekan McBurney (+),
nyeri tekan lepas (+).
- Perkusi : Timpani di seluruh regio

 Ekstremitas : Akral hangat, tidak ada edema, tidak ada fraktur, CRT < 3
detik
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
USG Abdomen (28 November 2022)

Kesan : - Gambaran appendicitis suspek perforasi


- Dilatasi loop-loop usus

Laboratorium
Hematologi
Darah lengkap (28 November 2022)
 Leukosit : 14.50 103/ul
 Eritrosit : 5.32 106/ul
 Hemoglobin : 13.1 g/dl
 Hematokrit : 36.7 %
 MCV : 69.0 fL
 MCH : 24.6 pg
 MCHC : 35.7 g/dl
 Trombosit : 320 103/ul

Kimia darah (28 November 2022)


 GDS : 94 mg/dl

Imun-serologi (28 November 2022)


HBSAG : (-) / Non Reaktif
E. ASSESMENT
Peritonitis generalisata ec perforasi appendiks

F. PLANNING
 Rencana Laparotomi Eksplorasi + Apendektomi pada tanggal 29
November 2022
 Persiapan
 Informed consent
 Lapor OK
 Konsul anastesi
 Puasa pre-operasi 8 jam
 Siapkan darah PRC 2 kantong
 Pasang infus Ringer Laktat 20 tpm
 Inj. Ceftriaxone 1 gr sebelum Operasi (I.V)
 Konservatif
 Operatif : Laparotomi Eksplorasi dan Appendektomi

G. LAPORAN OPERASI
 Tanggal operasi : 29 November 2022
 Jenis operasi : Laparotomi Eksplorasi dan Apendektomi
 Langkah-langkah :
- Pasien dalam posisi supine dibawah general anestesi
- Dilakukan Aseptik dan Antiseptik di daerah operasi dan sekitarnya
- Dilakukan pemasangan doek steril
- Insisi midline dan grid, diperdalam lapis demi lapis hingga
peritoneum dan dibuka
- Identifikasi caecum dan apendiks →kesan apendiks meradang
- Mesoapendiks diligasi dan dipotong
- Dilakukan apendektomi, stump apendiks diligasi dan inversi ke
caecum dengan purse string suture
- Cuci rongga abdomen dengan NaCl 0,9%, kontrol perdarahan
- Pasang 1 buah draine
- Jahit luka mulai dari peritoneum – otot – aponeurosis otot – jaringan
subkutis – kulit
- Luka operasi ditutup
- Operasi selesai

H. INSTRUKSI POST OPERASI


- IVFD Ringer laktat : Dekstrosa 5% = 2:1 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2 gr/24 jam drips dalam NaCl 0,9% 100cc habis dalam 1 jam
- Metronidazole 250 mg/8 jam/iv
- Ondancetron 4 mg/12 jam/iv
- Paracetamol 300 mg/ 8 jam/iv
- Ranitidin 50 mg/12 jam/iv
- Sementara puasa
- Observasi tanda-tanda vital

I. PROGNOSIS
1. Quo ad vitam : Dubia ad bonam
2. Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
3. Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI APENDIKS
Apendiks disebut juga umbai cacing. Apendiks merupakan suatu organ
berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm) dengan
diameter 0,5-1 cm dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar dibagian distal. Pada bayi, apendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit ke arah ujung, keadaan ini
menjadi sebab rendahnya kejadian apendisitis pada usia tersebut.1
Apendiks disebut juga apendiks vermiformis merupakan organ yang
sempit dan berbentuk tabung yang mempunyai otot serta terdapat jaringan
limfoid pada dindingnya. Letak apendiks sekitar satu inci (2,5 cm) di bawah
junctura ileocaecalis dan melekat pada permukaan posteromedial caecum.
Apendiks terletak di fossa iliaca dextra, dan dalam hubungannya dengan
dinding anterior abdomen, pangkalnya terletak sepertiga ke atas di garis yang
menghubungkan spina iliaka anterior superior dan umbilikus. Apendiks berisi
makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum. Karena
pengosongannya tidak efektif, dan lumennya kecil, apendiks cenderung
menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi yang biasa disebut
apendisitis.2

Gambar 1. Anatomi Apendiks


B. FISIOLOGI
Apendiks vermiformis menghasilkan lendir sebanyak 1-2 ml per hari yang
secara normal di curahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke
sekum. Adanya hambatan aliran pada lendir di muara apendiks vermiformis
berperan dalam patogenesis apendisitis. GALT (gut associated lymphoid
tissue) yang terdapat di sepanjang saluran pencernaan, termasuk apendiks
vermiformis menghasilkan IgA yaitu suatu imunoglobulin sekretoar. IgA
sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Tetapi karena jumlah
jaringan limfe pada apendiks vermiformis kecil sekali jika dibandingkan
dengan jumlahnya di saluran cerna menyebabkan pengangkatan apendiks
vermiformis tidak mempengaruhi sistem imun tubuh.3

C. DEFENISI & KLASIFIKASI


Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai
cacing. Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan
tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya
berbahaya.1,3
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi 3 yaitu :
a. Apendisitis akut, radang mendadak di umbai cacing yang memberikan
tanda, disertai maupun tidak disertai rangsangan peritoneum local
b. Apendisitis rekurens yaitu jika ada riwayat nyeri berulang di perut bagian
kanan bawah yang mendorong dilakukannya apendiktomi. Kelainan ini
terjadi bila serangan apendisitis akut pertama sembuh spontan.
c. Apendisitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan
bawah lebih dari dua minggu (sumbatan di lumen apendiks, adanya
jaringan parut dan ulkus lama di mukosa), dan keluhan hilang setelah
apendiktomi.

D. EPIDEMIOLOGI
Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika Serikat
setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendicitis
lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan
perbandingan 3:2.
Bangsa Caucasia lebih sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras
lainnya. Appendicitis akut lebih sering terjadi selama musim panas. Insidensi
Appendicitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang,
tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara bermakna. Hal
ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu
sehari-hari. Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak
kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur
20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan
umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidensi lelaki lebih
tinggi.6
E. ETIOLOGI

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal menjadi faktor


penyebabnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor pencetus
disamping hiperplasia jaringan limfe, batu feses, tumor apendiks, dan cacing
askaris dapat juga menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga
menimbulkan apendisitis yaitu erosi mukosa apendiks karena parasit seperti
E.Histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan
makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya
apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat
timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan
kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis
akut.1
F. PATOFISIOLOGI
Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang
disebabkan oleh feses yang terlibat atau fekalit. Sesuai dengan pengamatan
epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan makanan yang
rendah serat. Pada stadium awal apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi
mukosa. Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan
peritoneal. Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa
dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan. Dalam
stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen yang
menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks
menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi
nekrosis ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang terjadi dibungkus oleh
omentum, abses local akan terjadi.5

G. GEJALA KLINIS
Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat
jarang pada neonatus dan bayi, appendicitis akut kadang-kadang dapat terjadi
dan diagnosis appendicitis jauh lebih sulit dan kadang tertunda. Nyeri
merupakan gejala yang pertama kali muncul. Seringkali dirasakan sebagai
nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi seiring dengan
waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri
yang gradual seiring dengan perkembangan penyakit. Variasi lokasi anatomis
appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Pada anak-anak, dengan
letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri dapat mulai terjadi di
kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus. Nyeri pada
flank, nyeri punggung, dan nyeri alih pada testis juga merupakan gejala yang
umum pada anak dengan appendicitis retrocecal arau pelvis1. Jika inflamasi
dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder, gejal dapat berupa nyeri
saat kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan kencing dan
distensi kandung kemih. Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam
beberapa jam setelah onset terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare
dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan iritasi pada ileum terminal atau
caecum. Gejala gastrointestinal yang berat yang terjadi sebelum onset nyeri
biasanya mengindikasikan diagnosis selain appendicitis.
Meskipun demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti atau perubahan
bowel habit dapat terjadi pada anak dengan appendicitis. Pada appendicitis
tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5 0 C). Jika suhu tubuh
diatas 38,6 0 C, menandakan terjadi perforasi. Anak dengan appendicitis
kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat menekan
dengan paha kanan akan menekan Caecum hingga isi Caecum berkurang atau
kosong. Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya dapat
menurun atau menghilang. Anak dengan appendicitis biasanya menghindari
diri untuk bergerak dan cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan
kadang-kadang lutut diflexikan 1. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak
jarang menderita appendicitis, kecuali pada anak dengan appendicitis
retrocaecal, nyeri seperti kolik renal akibat perangsangan ureter.
H. DIAGNOSIS
Untuk melakukan diagnosis Apendisitis perlu dilakukan beberapa
pemeriksaan:
a. Anamnesis
Pasien dengan appendicitis biasanya datang dengan keluhan utama
nyeri akut abdomen. Keluhan dimulai dengan nyeri kolik-umbilikal
yang biasanya akan bertahan selama 24 jam pertama. Nyeri lalu
menjalar ke iliaca kanan abdomen dan berubah menjadi nyeri yang
konstan dan tajam. Keluhan mual, muntah, serta penurunan nafsu
makan juga ditemukan pada kasus appendicitis.12
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik appendicitis akut, dengan pengamatan akan
tampak dinding perut yang mengencang (distensi), pada palpasi di
daerah perut kanan bawah seringkali bila ditekan akan terasa nyeri dan
bila dilepas juga akan terasa nyeri, ini merupakan kunci dari diagnosis
appendicitis akut. Kemudahan atau kesulitan dalam gerakan mencapai
posisi terlentang biasa digunakan sebagai tanda dan atau tidaknya
iritasi peritoneum lokalisata. Palpasi dilakukan dengan lembut dari sisi
kiri ke sisi kanan abdomen untuk menilai rigiditasnya, tujuannya untuk
mengetahui apakah pasien mengalami iritasi peritoneum atau tidak,
tapi palpasi tidak bisa dijadikan pedoman dikarenakan rasa nyeri yang
dirasakan berdasarkan lokasi apendiks, serta apabila dilakukan
pemeriksaan colok dubur akan didapatkan nyeri pada angka 9-12. 10,11
Berikut merupakan pemeriksaan status lokalis abdomen kuadran kanan
bawah :10
 Nyeri tekan McBurney positif apabila didapatkan nyeri tekan
pada kuadran kanan bawah atau titik McBurney dan nyeri
menetap.
 Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) merupakan nyeri hebat
di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba
dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan
dan dalam titik McBurney.
 Defence Muscular merupakan nyeri tekan seluruh lapang
abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum
parietal.
 Rovsing sign merupakan nyeri abdomen di kuadran kanan
bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri
bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri yang dijalarkan
karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.
 Obturator sign digunakan untuk melihat apakah apendiks yang
meradang bersinggungan dengan M.Obturator internus atau
tidak. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul
pada posisi terlentang, pada appendicitis pelvika akan
menimbulkan nyeri.
 Psoas sign dilakukan dengan merangsang m.Psoas melalui
hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila menimbulkan nyeri, maka
itu berarti apendiks yang meradang menempel di m.Psoas.
Untuk membantu diagnosis apendisitis akut, Alvarado (1986)
mempublikasikan sistem skoring yang saat ini digunakan secara luas
di seluruh dunia. Dalam skoring ini, terdapat delapan parameter yang
digunakan. Interpretasi dari Skor Alvarado yaitu : pasien dengan skor
≥7 berisiko tinggi mengalami apendisitis akut, sedangkan pasien
dengan skor <5 memiliki risiko sangat rendah.6
Tabel 1. Skor Alvarado

c. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih
dari 90% anak dengan appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita
appendicitis berkisar antara 12.000-18.000/mm3. Peningkatan persentase
jumlah neutrofil (shift to the left) dengan jumlah normal leukosit
menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah leukosit yang normal
jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis1. Pemeriksaan
urinalisis membantu untuk membedakan appendicitis dengan
pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan
pyuria dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di dekat ureter.
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk
menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85%
dan spesifitasnya lebih dari 90%. Gambaran USG yang merupakan kriteria
diagnosis appendicitis acuta adalah appendix dengan diameter
anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu appendicolith, adanya
cairan atau massa periappendix1.
False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix
sebagai hasil dari salphingitis atau inflammatory bowel disease. False
negatif juga dapat muncul karena letak appendix yang retrocaecal atau
rongga usus yang terisi banyak udara yang menghalangi appendix1. CT-
Scan CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.sensitifitas
dan spesifisitasnya kira-kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas,
presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya abscess, maka CT-scan
dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik1. Diagnosis appendicitis
dengan CT-scan ditegakkan jika appendix dilatasi lebih dari 5-7 mm pada
diameternya. Dinding pada appendix yang terinfeksi akan mengecil
sehingga memberi gambaran “halo”

I. DIAGNOSA BANDING
Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari usia
dan jenis kelamin Pada anak-anak balita àntara lain intususepsi, divertikulitis,
dan gastroenteritis akut. Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak
berusia dibawah 3 tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan
Appendicitis. Nyeri divertikulitis hampir sama dengan Appendicitis, tetapi
lokasinya berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal. Pada pencitraan dapat
diketahui adanya inflammatory mass di daerah abdomen tengah. Diagnosis
banding yang agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis akut, karena
memiliki gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, yakni diare, mual,
muntah, dan ditemukan leukosit pada feses. · Pada anak-anak usia sekolah
gastroenteritis, konstipasi, infark omentum. Pada gastroenteritis, didapatkan
gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, tetapi tidak dijumpai adanya
leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen pada
anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum juga dapat
dijumpai pada anak-anak dan gejala-gejalanya dapat menyerupai
appendicitis. Pada infark omentum, dapat terraba massa pada abdomen dan
nyerinya tidak berpindah · Pada pria dewasa muda Diagnosis banding yang
sering pada pria dewasa muda adalah Crohn’s disease, klitis ulserativa, dan
epididimitis.
Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat membantu menyingkirkan
diagnosis epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa sakit pada
skrotumnya. · Pada wanita usia muda Diagnosis banding appendicitis pada
wanita usia muda lebih banyak berhubungan dengan kondisi-kondisi
ginekologik, seperti pelvic inflammatory disease (PID), kista ovarium, dan
infeksi saluran kencing. Pada PID, nyerinya bilateral dan dirasakan pada
abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur
ataupun torsi. · Pada usia lanjut Appendicitis pada usia lanjut sering sukar
untuk didiagnosis. Diagnosis banding yang sering terjadi pada kelompok usia
ini adalah keganasan dari traktus gastrointestinal dan saluran reproduksi,
divertikulitis, perforasi ulkus, dan kolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada
CT Scan dan gejalanya muncul lebih lambat daripada appendicitis. Pada
orang tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan appendicitis,
karena lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat
diketahui dari onsetnya yang akut dan nyerinya tidak berpindah. Pada orang
tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti dibandingkan dengan
pemeriksaan laboratorium.

J. TATALAKSANA
Pasien yang telah terdiagnosis apendisitis akut harus segera dirujuk ke
layanan sekunder untuk dilakukan operasi cito. Penatalaksanaan di fasilitas
pelayanan kesehatan tingkat pertama sebelum dirujuk:13
 Bed rest total posisi fowler (anti Trandelenburg).
 Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun
melalui mulut.
 Pasien perlu cairan intravena untuk mengoreksi jika ada dehidrasi.
 Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar mengurangi
distensi abdomen dan mencegah muntah.
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan
satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa
komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis
gangrenosa atau apendisitis perforata. Penundaan tindakan bedah sambil
memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.
Apendektomi dapat dilakukan secara terbuka atau dengan laparaskopi.
Dalam apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli
bedah. Pada penderita dengan diagnosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan
observasi terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi dapat
dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia
laparaskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan
melakukan operasi atau tidak.1
K. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi pada apendisitis, yaitu : 8
1) Perforasi berupa massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum, dan
letak usus halus. Perforasi terjadi 70% pada kasus dengan peningkatan
suhu 39,50C tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut dan leukositosis
meningkat akibat perforasi dan pembentukan abses.
2) Peritonitis yaitu infeksi pada sistem vena porta ditandai dengan panas
tinggi 390C–400C menggigil dan ikterus merupakan gejala yang jarang.

L. PROGNOSIS
Apendisitis akut adalah alasan paling umum untuk operasi perut yang
darurat. Apendektomi membawa tingkat komplikasi 4-15%, serta biaya
terkait dan ketidaknyamanan rawat inap dan pembedahan. Oleh karena itu,
tujuan ahli bedah adalah membuat diagnosis yang akurat sedini mungkin.
Diagnosis dan pengobatan yang tertunda menyebabkan sebagian besar
mortalitas dan morbiditas yang terkait dengan apendisitis. Risiko kematian
apendisitis akut tetapi tidak gangren kurang dari 0,1%, tetapi risiko
meningkat menjadi 0,6% pada apendisitis gangren. Tingkat perforasi
bervariasi dari 16% sampai 40%, dengan frekuensi yang lebih tinggi terjadi
pada kelompok usia yang lebih muda (40-57%) dan pada pasien yang lebih
tua dari 50 tahun (55-70%), dimana kesalahan diagnosis dan keterlambatan
diagnosis sering terjadi. Komplikasi terjadi pada 1-5% pasien dengan
apendisitis, dan infeksi luka pasca operasi merupakan hampir sepertiga dari
morbiditas terkait.9
BAB III
PEMBAHASAN

Diagnosis apendisitis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, didapatkan
keluhan nyeri perut yang dialami sejak ± 1 minggu yang lalu dan nyeri menetap
pada bagian kanan bawah hingga ke pinggang sejak 4 hari terakhir disertai
intensitas yang semakin bertambah. Hal ini menjadi salah satu tanda yang
mengarah pada apendisitis. Pasien juga mengaku jarang mengkonsumsi makanan
berserat seperti buah dan sayuran serta belum BAB sejak 3 hari lalu. Hal ini dapat
mempermudah timbulnya apendisitis akut karena konstipasi dapat menaikkan
tekanan intrasekal yang berakibat menimbulkan sumbatan fungsional apendiks
dan meningkatnya pertumbuhan bakteri. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
defens muscular(+), nyeri tekan pada seluruh regio abdomen, nyeri tekan
McBurney (+) dan nyeri lepas (+). Untuk menegakkan diagnosis apendisitis,
terdapat pemeriksaan status lokalis abdomen kuadran kanan bawah seperti nyeri
tekan McBurney, rebound tenderness (nyeri tekan lepas), defans muskular,
rovsing sign, obturator sign dan psoas sign. Pada pasien ini ditemukan hasil positif
pada beberapa pemeriksaan status lokalis seperti nyeri tekan McBurney, rebound
tenderness dan defans muskular.
Dari hasil pemeriksaan menunjukkan kemungkinan besar pasien
mengalami apendisitis, maka dilanjutkan untuk pemeriksaan penunjang berupa
USG abdomen untuk menyingkirkan diagnosis banding yang lain. Pada
pemeriksaan USG abdomen yang dilakukan pada pasien ini didapatkan hasil
gambaran apendisitis kesan perforasi, sehingga diagnosis lain sudah dapat
disingkirkan.
Maka setelah dipastikan bahwa pasien ini terkena peritonitis generalisata
ec perforasi appendiks, maka segera dilakukan tatalaksana yang tepat untuk
pasien yaitu operasi (laparatomi eksplorasi dan apendektomi).
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah (3rd ed). Jakarta:


EGC, 2012; p. 755-60 epid
2. Snell, Richard S. (2012). Clinical Anatomy by Regions. 9th Ed.
Philadelphia : Lippincott William & Wilkins.
3. Pieter, J. 2005. Usus Halus, Appendiks, Kolon, dan Anorektum. In
Sjamsuhidajat R dan Jong, W im D (eds). Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 2.
Jakarta: EGC.
4. Flum D. Acute Appendicitis —Appendectomy or The “AntibioticsFirst”
Strategy. N Eng J Med.2015;372:1937.
5. Burkitt, H. G., Quick, C. R. G., and Reed, J. B., 2007. Appendicitis.
In: Essential Surgery Problems, Diagnosis & Management. Fourth
Edition London: Elsevier
6. Alvarado, A. A practical score for the early diagnosis of acute
appendicitis. Annals of Emergency Medicine 1986;15(5): 557-564
7. Karamanakos SN, Sdralis E, Panagiotopoulos S, Kehagias I. Laparoscopy
in the emergency setting: a retrospective review of 540 patients with acute
abdominal pain. Surg Laparosc Endosc Percutan Tech. 2010 Apr.
20(2):119-24
8. Pham XD, Sullins VF, Kim DY, et al. Factors predictive of
complicated appendicitis. J Surg Res. 2016 Nov. 206(1):62-6
9. Loftus TJ, Raymond SL, Sarosi GA Jr, et al. Predicting appendiceal
tumors among patients with appendicitis. J Trauma Acute Care Surg. 2017
Apr. 82(4):771-5.
10. Marijata. Nyeri Abdomen Akut. Yogyakarta: Sub Bagian Bedah Digesti
Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada; 2010.
27-38 p
11. Bongala, dkk. Evidence-Based Clinical Practice Guidelines on the
Diagnosis and Treatment of Acute Appendicitis. 2002.
12. Gorter RR, Eker HH, Gorter-Stam MAW, Abis GSA, Acharya A,
Ankersmit M, et al. Diagnosis and management of acute appendicitis.
EAES consensus development conference 2015. Surg Endosc [Internet].
2016;30(11):4668–90. Available from:
http://link.springer.com/10.1007/s00464-016-5245-7
13. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. 2nd ed. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia;
2017.
14. Rahmanto T. Perbandingan RIPASA dan alvarado score dalam ketepatan
diagnosis apendisitis akut di RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta Periode
Januari 2012 – November 2013. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada; 2014.
15. BAresti S dan Tofik Rahmanto. Sistem Skoring Baru untuk Mendiagnosis
Apendisitis Akut. Majoriti. 2017; 6(3): 169-173p.

Anda mungkin juga menyukai