Anda di halaman 1dari 31

BAGIAN ILMU BEDAH UJIAN KONSULEN

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER November 2022


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
HALAMAN JUDUL

APPENDICITIS AKUT

Disusun Oleh :
Sri Ainun Zainal Siddiq
11120202085

Dokter Pendidik Klinik :


dr. Irwan Wijaya, Sp.B., M.Kes., FINACS

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2022

i
BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis merupakan salah satu akut abdomen yang paling sering

dijumpai. Peningkatan morbiditas dan mortalitas terjadi bila ada

komplikasi. Komplikasi yang terberat adalah perforasi apendiks yang

dapat menyebabkan peritonitis dan sepsis. Sehingga perlu diketahui

sedini mungkin untuk mencegah perburukan.Apendisitis merupakan suatu

keadaan timbulnya peradangan pada saluran appendiks yang ditandai

dengan nyeri pada perut bagian bawah. Apendisitis merupakan kasus

nyeri perut yang sering terjadi dan membutuhkan operasi. Insiden tertinggi

biasanya terjadi pada usia 20-30 tahun pada laki-laki lebih tinggi

dibandingkan perempuan.

Apendisitis merupakan kejadian yang paling banyak membutuhkan

operasi keadaan darurat. Hasil survei pada tahun 2018 angka kejadian

apendisitis di sebagian besar wilayah Indonesia, jumlah pasien yang

menderita penyakit apendisitis berjumlah sekitar 7% dari jumlah penduduk

di Indonesia atau sekitar 179.000 orang. Apendisitis adalah salah satu

penyebab paling umum dari nyeri perut akut pada orangdewasa dan

anak- anak, dengan risiko seumur hidup 8,6% pada pria dan 6,7% pada

Wanita.

Apendiks adalah organ sisa dengan kegunaan yang meragukan,

fungsi dan fisiologi normalnya masih belum jelas. Apendisitis merupakan

proses peradangan akut maupun kronis yang terjadi pada apendiks

2
vemiformis oleh karena adanya sumbatan yang terjadi pada lumen

apendiks. Paling sering oleh karena adanya obstruksi pada lumen

apendiks oleh fecalith atau akibat hiperplasia limpoid (paling sering pada

anak muda), infeksi parasit yang jarang, atau tumor. Tumor ini dapat

berupa karsinoid, adenokarsinoma, mukokel, atau karsinoma metastatik

yang dapat pemicu timbulnya inflamasi.

Diagnosis apendisitis akut terutama klinis berdasarkan riwayat,

pemeriksaan klinis dan kadang-kadang dibantu oleh pemeriksaan

laboratorium (seperti jumlah sel darah putih atau tingkat CRP).

Modalitas pencitraan adalah tidak diminta secara rutin karena terbukti

menambah sangat sedikit informasi kecuali ada komplikasi.

3
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. Identitas Pasien

Nama : Ny. R

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 27 Tahun

Agama : Islam

2.2. Anamnesis

Keluhan Utama : Nyeri Perut Kanan Bawah

Anamnesis Terpimpin :

Pasien datang ke UGD RS. Bayangkara dengan keluhan nyeri

perut kanan bawah sejak 2 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit

(SMRS). Pada awalnya nyeri dirasakan di ulu hati kemudian nyeri

berpindah ke kanan bawah, nyeri dirasakan terus-menerus menetap

seperti ditusuk, nyeri dirasakan semakin lama makin memberat

apabila perut ditekan dan digerakkan. Nyeri bertambah ketika pasien

membungkuk dan membaik ketika pasien diam dan beristirahat,

sehingga pasien susah beraktivitas. Pasien juga mengeluhkan nafsu

makan menurun. mual ada, muntah ada 1x isi makanan. Demam hari

ini tidak ada, riwayat demam ada 1 hari sebelum masuk rumah sakit,

batuk tidak ada, BAB dan BAK kesan normal.

Riwayat pengobatan dengan paracetamol tablet.

4
Riwayat penyakit dahulu : tidak ada

Riwayat penyakit keluarga : tidak ada

2.3. Pemeriksaan Fisis

2.3.1. Status Generalis

Keadaan Umum : Sakit sedang / Composmentis / Gizi Baik

Tanda-tanda Vital

 Tekanan darah : 120/80 mmHg

 Denyut Nadi : 75x/menit

 Pernapasan : 20x/menit

 Suhu : 36,8oC

 SpO2 : 99%

Kepala : Normocephal, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Thoraks :

 Paru : Vesicular, ronkhi (-/-), wheezing (-/-).

 Jantung : BJ I/II murni reguler. Gallop (-/-), murmur (-/-).

Abdomen :

 Inspeksi : datar, ikut gerak napas

 Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal

 Perkusi : timpani seluruh regio abdomen.

 Palpasi : Nyeri tekan Mcburney (+) blumberg sign (+),

rovsing sign (+), defans muscular (-), obturator sign (-), hepar

dan lien tidak teraba.

5
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-/-).

Skor Alvarado : 8

Nyeri ke LRQ (1) Demam (0)

Nafsu makan menurun(1) Leukositosis (1)

Mual dan muntah (1) Neutrofil meningkat (1)

Nyeri lepas (1)

Nyeri tekan LRQ (2)

2.3. Pemeriksaan Penunjang

Darah Rutin

Hasil Nilai Rujukan Satuan

WBC 17.40 4.0 – 10.0 103/uL

RBC 4.7 4.10 – 5.50 106/uL

HGB 12.4 11.0 – 16.0 g/dl

Neutrofil 14.1 2.00 – 7.00 103/uL

PLT 407 150-400 103/uL

Kimia Darah

- GDS : 146 mg/dl

- HbsAg : Non Reaktif

USG Abdomen (17/10/2022)

- Hepar : ukuran dan echo parenkim normal. Tidak tampak dilatasi

vaskuler dan bile duct

6
- GB : ukuran normal, batu (-)

- Pancreas dan spleen : ukuran dan echo parenkim normal.

- Ginjal kanan : ukuran dan diferensiasi corticomedullary normal.

Batu (-)

- Ginjal kiri: ukuran dan diferensiasi corticomedullary normal. Batu(-)

- V.U : ukuran normal, batu(-)

- Mc Burney area : tampak struktur tubular yang tidak terkompresi

Kesan : Appendicitis Akut

2.5. Diagnosis Kerja

Appendicitis Akut

2.6. Penatalaksanaan

Dilakukan prosedur Laparatomy

7
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 DEFINISI

Apendisitis adalah suatu peradangan pada apendiks vermiformis

dan merupakan salah satu masalah kegawatdaruratan bedah yang

umum didapatkan di masyarakat.

Apendisitis merupakan salah satu akut abdomen yang paling

sering dijumpai. Peningkatan morbiditas dan mortalitas terjadi bila

terdapat komplikasi. Komplikasi yang terberat adalah perforasi.

3.2 ANATOMI APENDIKS

Apendiks memiliki panjang yang bervariasi, mulai dari 5 hingga

35 cm, rata-rata 9 cm. Sel-sel neuroendokrin di mukosa menghasilkan

amina dan hormon untuk membantu berbagai mekanisme kontrol

biologis, sedangkan jaringan limfoid terlibat dengan pematangan

limfosit B dan produksi antibody IgA. Adanya jaringan limfoid terkait

usus di lamina propria berfungsi dalam kekebalan, meskipun sifat

spesifik ini tidak pernah diidentifikasi. Akibatnya, organ tersebut

dianggap sebagai organ vestigial. Namun, sebuah teori menyatakan

bahwa apendiks adalah tempat bagi mikroba usus simbiotik, dimana

mikroba ini yang dapat membersihkan usus dari bakteri komensal.Hal

ini melemahkan teori bahwa apendiks adalah organ vestigeal.

8
Gambar 1 : anatomi dan vaskularisasi apendiks

Embriologi apendiks, dimana apendiks muncul dari usus tengah.

Divertikulum sekum muncul pada usia kehamilan minggu ke-6 dan

merupakan prekursor dari sekum dan apendiks vermiformis. Apendiks

secara histologis terlihat pada usia kehamilan 8 minggu. Dengan

pemanjangan perkembangan usus besar, sekum dan apendiks

mengalami rotasi medial (bersama dengan usus tengah) dan turun ke

perut kanan bawah. Selama minggu ke 14 dan 15 kehamilan, mukosa

mengembangkan jaringan limfoid yang mendukung fungsi kekebalan.

Arteri appendicular, cabang terminal dari arteri ileocecal, yang

memperdarahi apendiks. Arteri ini merupakan cabang dari arteri

mesenterika superior. Persarafan otonom apendiks muncul dari pleksus

mesenterika superior. Serabut sensorik aferen dari apendiks dibawa ke

serabut saraf simpatis untuk memasuki medula spinalis pada T10 yang

sesuai dengan dermatom umbilikalis. oleh karena itu, nyeri viresal pada

apendisitis bermula disekitar umbilikus oleh epigastrik.

Apendiks terletak intraperitoneal pada 95% kasus. Pada 30%

kasus, ujung dari apendiks terletak mengarah ke pelvis, dan 65%

9
terletak di belakang sekum, dan pada 5% terletak esktraperitoneal, baik

retrokolik ataupun retrosekal apendiks memiliiki panjang sekitar 8 cm ,

tetapi dapat bervariasi dari 0,3 sampai 33 cm diameter dari apendiks

bervariasi dari 5 sampai 10 mm. Apendiks di perdarahi oleh cabang dari

arteri ileokolika.

Vaskularisasi appendiks berasal dari arteri appendicularis yang

merupakan cabang dari arteri ileocolica. Arteri ini berjalan di antara

lapisan mesoappendiks. Vena ileocolica mengalirkan darah dari

caccum dan appendiks untuk dibawa kembali ke jantung. Pembuluh

limfatik appendiks berjalan ke nodilymphatici profunda mesoappendiks

dan ke nodi lympathici ileocolici yang terletak di sepanjang arteri

ileocolica. Innervasi saraf ke appendiks berasal dari saraf simpatis dan

parasimpatis dari plexus mesentericus superior di mana serabut saraf

simpatisnya berasal dari bagian thoracal bawah pada medulla spinalis,

sedangkan serabut saraf parasimpatisnya berasal dari nervus vagus.

Dasar dari apendiks terletak pada saat pembedahan. Fungsi dari

apendiks sebenarnya belum diketahui dengan pasti, tetapi diperkirakan

berhubungandengan sistem imunitas, yaitu pertumbuhan dari sel

limfosit beta.

10
Gambar 2 : posisi apendiks

3.3 FISIOLOGI APENDIKS

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 per hari. Lendir normalnya

dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum,

hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada

patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh

GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang

saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat

efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian,

Pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena

jumlah jaringan limfe kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya

di saluran cerna dan diseluruh tubuh.

3.4 INSIDENSI

Apendisitis merupakan kejadian yang paling banyak

membutuhkan operasi keadaan darurat. Apendisitis menyerang 10 juta

penduduk Indonesia setiap tahunnya dan morbiditas apendisitis di

Indonesia mencapai 95 per 1000 penduduk dimana angka ini

merupakan angka apendisitis tertinggi di antara negara ASEAN. Hasil

11
survei pada tahun 2018 angka kejadian apendisitis di sebagian besar

wilayah Indonesia, jumlah pasien yang menderita penyakit apendisitis

berjumlah sekitar 7% dari jumlah penduduk di Indonesia atau sekitar

179.000 orang. Apendisitis adalah salah satu penyebab paling umum

dari nyeri perut akut pada orangdewasa dan anak-anak, dengan risiko

seumur hidup 8,6% pada pria dan 6,7% pada wanita.

3.5 ETIOLOGI

Penyebab apendisitis adalah obstruksi lumen apendiks. Ini bisa

dari appendicolith (batu apendiks) atau beberapa etiologi mekanis

lainnya. Tumor apendiks seperti tumor karsinoid, adenokarsinoma

apendiks, parasit usus, dan jaringan limfatik hipertrofi semuanya

diketahui sebagai penyebab obstruksi apendiks dan apendisitis.

Seringkali, etiologi yang tepat dari apendisitis akut tidak diketahui.

Ketika lumen apendiks tersumbat, bakteri menumpuk di apendiks dan

menyebabkan peradangan akut dengan perforasi dan pembentukan

abses. Penyebab lain dari obstruksi appendiks meliputi: Hiperplasia

folikel lymphoid Carcinoid atau tumor lainnya Benda asing (pin, biji-

bijian), kadang parasit. Penyebab lain yang diduga menimbulkan

Appendicitis adalah ulserasi mukosa appendix oleh parasit E.

histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien

appendicitis yaitu : Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob Escherichia

coli Viridans Streptococci Pseudomonas aeruginosa Enterococcus

Bacteroides fragilis Peptostreptococcus micros Bilophila species

12
Lactobacillus species.

3.6 KLASIFIKASI

Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan

apendisitis kronik.

1. Apendisitis akut

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang

didasari oleh radang mendadak pada apendiks yang memberikan

tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsangan

peritoneum lokal. Gejala apendisitis akut ialah nyeri samar dan

tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium

disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual, muntah dan

umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri

tersebut akan berpindah ke titik Mc. Burney. Nyeri dirasakan lebih

tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyerisomatik

setempat.

Apendistis akut dibagi menjadi:

a) Apendisitis Akut Sederhana

Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan

submukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk

dalam lumen apendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam

lumen yang mengganggu aliran limfe, Mukosa apendiks

13
menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawalidengan rasa

nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah anoreksia, malaisedan

demam ringan.

b) Apendisitis Supuratif

Tekanan dalam lumen yang terus meningkat disertai

edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding

apendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini dapat

menyebabkan iskemia dan edema pada apendiks.

Mikroorganisme yang berada di usus besar akan berinvasi ke

dalam apendiks dan menimbulkan infeksi serosa sehingga

serosa akan menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.

Apendiks dan mesoapendiks terjadi edema, hiperemia, dan di

dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan

rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di

titik Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif

dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada

seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.

c) Apendisitis Akut Gengrenosa

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah

arteri mulai terganggu sehingga terjadi infark dan gangren.

Selain didapatkan tanda- tanda supuratif, apendiks mengalami

gangren pada bagian tertentu. Dinding apendiks berwarna

ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman.Pada apendisitis

14
akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikancairan

peritoneal yang purulen.

d) Apendisitis Infiltrat

Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang

penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus,

sekum, kolondan peritoneum sehingga membentuk gumpalan

massa flegmon yang merekat erat satu dengan yang lainnya.

e) Apendisitis Abses

Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk

berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari

sekum, retrosekal, subsekal dan pelvikal.

f) Apendisitis Perforasi

Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang

sudah gangrene yang menyebabkan pus masuk ke dalam

rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding

apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan

nekrotik.

2. Apendisitis Kronik

Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika

ditemukan adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2

minggu, radang kronik apendiks secara mikroskopik dan

makroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis

menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen

15
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan

adanya sel inflamasi kronik.Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.

Apendisitis kronik kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan

disebut apendisitis kronik dengan eksaserbasi akut yang tampak

jelas sudah adanya pembentukan jaringan ikat.

16
3.7 PATOFISIOLOGI

Patofisiologi apendisitis kemungkinan berasal dari obstruksi

lubang apendiks. Latar belakang etiologi obstruksi mungkin berbeda

pada kelompok usia yang berbeda. Sementara hiperplasia limfoid

sangat penting, hal ini menyebabkan peradangan, iskemia lokal,

perforasi, dan pengembangan abses yang akan terjadi perforasi

dengan peritonitis. Obstruksi ini dapat disebabkan oleh hiperplasia

limfoid, infeksi (parasit), fekalit, dan tumor jinak atau ganas. Ketika

obstruksi adalah penyebab apendisitis, hal itu menyebabkan

peningkatan tekanan intraluminal dan intramural, mengakibatkan

oklusi pembuluh darah kecil dan stasis limfatik. Setelah tersumbat,

apendiks terisi dengan mukus dan menjadi distensi, dan seiring

dengan kemajuan limfatik dan vaskular, dinding apendiks menjadi

iskemik dan nekrotik. Pertumbuhan bakteri yang berlebihan kemudian

terjadi pada apendiks yang tersumbat, dengan organisme aerob

mendominasi pada apendisitis awal dan campuran aerob dan

anaerob di kemudian hari. Organisme umum termasuk Escherichia

coli, Peptostreptococcus, Bacteroides, dan Pseudomonas. Setelah

peradangan dan nekrosis yang signifikan terjadi, apendiks berisiko

mengalami perforasi,menyebabkan abses lokal dan terkadang

peritonitis.

17
3.8 GAMBARAN KLINIS

Gejala klinisnya adalah nyeri kuadran kanan bawah , diikuti

oleh hilangnya nafsu makan, mual, dan muntah. Untuk sekitar 60%

pasien, nyeri biasanya dimulai di daerah periumbilikal atau

epigastrium yang samar-samar dan kemudian terlokalisasi di kanan

bawah. Seringkali, ada riwayat gangguan usus sebelumnya, baik

dalam bentuk diare atau sembelit. Onset awal nyeri periumbilikal atau

epigastrium diduga sebagai akibat dari hiperperistaltik apendiks untuk

mengatasi obstruksi luminal dan berasal dari viseral. Kadang-kadang

rasa sakit awal dapat dirasakan di seluruh perut. Mual dan anoreksia

adalah gejala berikutnya yang mengikuti, akibat distensi dinding usus.

Banyak klinisi menganggap kurangnya nafsu makan sebagai gejala

yang paling konsisten.

Sekitar 24 jam setelah timbulnya gejala, nyeri sering bergeser

dan terlokalisasi di kuadran kanan bawah dengan nyeri tekan saat

palpasi. Karena posisi anatomis apendiks bervariasi, maka lokalisasi

dan karakter nyeri juga bervariasi. Tiga posisi anatomi yang dijelaskan

dengan baik meliputi apendiks asendens, apendiks iliaka, dan

apendiks pelvis. Ketika terletak di posisi retrocecal, gejala lokalisasi

seringkali ringan atau bahkan tidak ada. Apendiks panggul dapat

menimbulkan nyeri suprapubik dan gejala kencing, atau gejala buang

air besar yang menyakitkan ketika posisi apendiks berada di dekat

rektum.

18
Demam dan anoreksia mengikuti sebagai infeksi berkembang

dari lokal ke proses inflamasi sistemik. Penyakit ini dapat berkembang

menjadi perforasi dan peritonitis dalam waktu 2 sampai 3 hari setelah

timbulnya gejala. Jika perforasi terjadi di daerah perut yang

terkandung dalam usus, mesenterium, atau omentum, infeksi tetap

terlokalisasi di kuadran kanan bawah, menyebabkan nyeri kuadran

kanan bawah yang berlanjut tanpa tanda dan gejala peritonitis, dan

kadang-kadang teraba massa.

3.9 DIAGNOSIS

Penegakkan diagnosis apendisitis dapat dilakukan beberapa

pemeriksaan,yaitu:

a) Anamnesis

Pasien dengan apendisitis biasanya datang dengan keluhan

utama nyeri akut abdomen. Keluhan dimulai dengan nyeri kolik-

umbilikal yang biasanya akan bertahan selama 24 jam pertama. Nyeri

lalu menjalar ke iliaka kanan abdomen dan berubah menjadi nyeri

yang konstan dan tajam. Keluhan mual, muntah, serta penurunan

nafsu makan juga ditemukan pada kasus apendisitis.

b) Pemeriksaan Fisik

Demam adalah temuan yang konsisten tetapi mungkin tidak

ada pada awal gejala. Takikardia dapat muncul karena respons

simpatis terhadap nyeri perut. Namun, takikardia persisten meskipun

19
kontrol nyeri dalam hubungannya dengan hipotensi dapat disebabkan

oleh respon inflamasi sistemik atau sepsis. Pemeriksaan perut

menunjukkan nyeri tekan, paling sering di kuadran kanan bawah dekat

fossa iliaka, ini dikenal sebagai titik McBurney. Ditemukan juga nyeri

tekan lepas pada kuadran kanan bawah abdomen (Rebound

Tenderness). Titik yang tepat dari nyeri tekan maksimal bervariasi dan

dipengaruhi oleh posisi apendiks dalam kaitannya dengan struktur di

sekitarnya. Nyeri tekan yang timbul baik dengan perkusi lembut atau

pelepasan tekanan yang cepat dari perut, menunjukkan iritasi

inflamasi pada peritoneum parietal. Teknik yang berguna pada anak-

anak seperti menginstruksikan untuk melompat atau batuk (tanda

Dunphy), atau mengguncang tempat tidur. Tanda Rovsing, nyeri perut

sisi kanan yang ditimbulkan dengan palpasi perut sisi kiri. Ketika

apendiks terletak di dekat otot psoas atau obturator internus, masing-

masing menginduksi kontraksi otot-otot ini dengan fleksi pinggul atau

rotasi eksternal, menyebabkan nyeri hebat (yang disebut tanda

psoas).

Demikian pula pada rectum, nyeri tekan rectum serviks selama

pemeriksaan panggul terjadi rectum serviks dan organ panggul

lainnya bersentuhan dengan apendiks yang meradang. Pemeriksaan

rektal dapat menimbulkan rasa sakit rectum palpasi apendiks pelvis

yang meradang di dekat rectum.

20
Gambar 3 : McBurney’s sign

Gambar 4 : blumberg sign

Gambar 5 : rovsing sign

21
Gambar 7 : psoas sign

Gambar 7 : obturatur sign

c) Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan analisa darah pada pasien apendisitis

menunjukan adanya kenaikan jumlah leukosit >10.000/mm' pada 89%

pasien dengan apendisitis dan 93% pasien apendisitis perforasi.

Namun kriteria ini juga dapat ditemukan pada 62% pasien nyeri

abdomen yang bukan apendisitis. Menurut studi meta analisa selain

kenaikan angka leukosit, pada penderita apendisitis juga dapat

ditemukan kenaikan angka C- Reactive Protein (CRP).

Pemeriksaan yang juga dianjurkan ialah pemeriksaan radiologi

pada pasien dengan dugaan klinis apendisitis. Menurut studi

metaanalisis, pemeriksaan radiologi dapat menurunkan 15% angka

kejadian negatif apendektomi. Ultrasonography (USG), computed

termography (CT), dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah

beberapa pemeriksaan radiologi yang biasanya dilakukan pada pasien

22
dengan dugaan apendisitis.

Pemeriksaan patologi anatomi pada jaringan apendiks juga dapat

dijadikan salah satu gold standart dalam uji diagnosis apendisitis karena

memiliki sensitifitas yang tinggi dibandingkan dengan pemeriksaan lain.

d) Skoring Diagnosis Apendisitis

 Skor Alvarado

Skor Alvarado adalah satu sistem skoring sederhana yang

digunakanuntuk mendiagnosis apendisitis ialah menggunakan skor

Alvarado. Skor Alvarado dibuat ole Alfredo Alvarado pada tahun

1986 dengan menggunakan tiga gejala, tiga tanda, dan dua temuan

laboratorium sederhana sebagai alat diagnosis apendisitis.

23
Gambar 9 : skor alvarado

24
Nilai PAS dihitung secara retrospektif untuk setiap pasien

anak usia 4-18 tahun komponen PAS adalah sebagai berikut:

demam, anoreksia, mual/muntah, migrasi nyeri ke kuadran kanan

bawah, nyeri tekan pada palpasi ringan kuadran kanan bawah, nyeri

tekan batuk/perkusi pada kuadran kanan bawah, leukositosis, dan

neutrofilia polimorfonuklear semua komponen PAS diberi skor 1

poin,kecuali nyeri tekan kuadran kanan dan nyeri tekan

batuk/perkusi/tumitdiberi skor 2 poin.

Gambar 9 : Pediatric Appendicitis Score

3.10 TATALAKSANA

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien

apendisitis meliputi penanggulangan konservatif dan operatif.

1. Konservatif

Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk

kuman gram negatif dan positif serta kuman anaerob.

25
2. Operatif

Pengobatan tunggal yang terbaik untuk apendisitis yang

sudah meradang adalah dengan membuang penyebabnya (operasi

apendektomi). Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa

antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan

cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan

oleh dokter ahli anastesi dengan pembiusan umum atau spinal/lumbal.

Pada umumnya,teknik konvensional operasi pengangkatan apendisitis

dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah di atas daerah

apendiks. Alternatif lain operasi pengangkatan apendisitis yaitu

dengan cara bedah laparoskopi. Keuntungan bedah laparoskopi

selain yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, yaitu 2-10

mm sehingga secara kosmetik lebih baik.

Laparoskopi pada pasien dewasa menurunkan insiden infeksi

luka yang signifikan secara statistik, lama rawat inap, dan komplikasi

pasca operasi. Namun hal ini tidak berlaku untuk pasien pediatrik. Jika

sudah ada indikasi komplikasi pada jaringan apendiks maupun di

sekitar apendiks, dilakukan tindakan laparatomi. Tindakan laparatomi

apendiktomi merupakan tindakan konvensional dengan membuka

dinding abdomen. Setelah menemukan apendiks yang terinfeksi,

apendiks dipotong dan dikeluarkan dari perut.

26
Gambar 11 : manajemen apendisitis

Gambar 12 : Prosedur apendektomi

27
Gambar 13 : laparaskopi dan laparatomi

3.11 KOMPLIKASI

Komplikasi yaitu pecahnya lumen usus atau perforasi yang

nantinya dapat menyebabkan peritonitis ataupun sepsis sehingga

meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Persentase komplikasi

apendisitis seperti perforasi dan peritoneal abscess, khususnya pada

anak-anak sebesar 30%- 74% dan dapat meningkatkan morbiditas

serta mortalitas. Perforasi ditandai dengan nyeri abdomen yang berat

serta demam dan biasanya terjadi dalamwaktu 12 jam pertama pada

kasus apendisitis. Salah satu faktor yang dapat smeningkatkan laju

terjadinya perforasi pada apendisitis yaitu diagnosis apendisitis yang

sulit untuk ditegakkan pada pasien usia lanjut karena memiliki banyak

kemungkinan diagnosis diferensial serta sulitnya melakukan

komunikasi yang efektif. Pemeriksaan dan diagnosis yang terlambat

juga dapat meningkatkan risiko terjadinya apendisitis perforasi.

Adanya gejala yang tidak khas, keterlambatan penanganan,

adanya arteriosklerosis dan terjadinya perubahan anatomi apendiks

veriformis seperti terdapat penyempitan lumen dapat menjadi faktor

yang mempengaruhi tingginya insiden apendisitis perforasi. Selain itu

komplikasi dari apendisitis adalah infeksi luka pasca operasi,

perlengketan, obstruksi usus dan abses abdomen/pelvis.

28
BAB IV

KESIMPULAN

Apendisitis merupakan salah satu akut abdomen yang paling sering

dijumpai. Apendisitis merupakan proses peradangan akut maupun kronis

yang terjadi pada apendiks vemiformis oleh karena adanya sumbatan

yang terjadi pada lumen apendiks. Paling sering oleh karena adanya

obstruksi pada lumen apendiks oleh fecalith atau akibat hiperplasia

limpoid (paling sering pada anak muda), infeksi parasit yang jarang, atau

tumor. Tumor ini dapat berupa karsinoid, adenokarsinoma, mukokel, atau

karsinoma metastatik yang dapat pemicu timbulnya inflamasi. Diagnosis

apendisitis akut terutama klinis berdasarkan riwayat, pemeriksaan klinis,

menggunakan skoring untuk mendiagnosis dan kadang-kadang dibantu

oleh pemeriksaan laboratorium. Peningkatan morbiditas dan mortalitas

terjadi bila terdapat komplikasi. Komplikasi yang terberat adalah perforasi

apendiks yang dapat menyebabkan peritonitis dan sepsis. Sehingga perlu

diketahui sedini mungkin untuk mencegah perburukan.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Cokorda Bagus Nurparma Putra,Sang Nyoman Suryana. 2020.

Gambaran prediktor perforasi pada penderita apendisitis di Rumah

Sakit Umum Ari Canti Gianyar, Bali, Indonesia tahun 2018. Fakultas

Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia.

2. Matthew J. Snyder. et al. 2018. Acute Appendicitis: Efficient Diagnosis

and Management. American Family Physician. Volume 98, Number.

3. Michel Wagner. et al. 2018. Evolution and Current Trends in the

Management of Acute Appendicitis. Elsevier Inc. All rights reserved.

4. Cathleya Fransisca. et al. 2019. Karakteristik Pasien Dengan

Gambaran Histopatologi Apendisitis Di Rsup Sanglah DenpasarTahun

2015 – 2017. Jurnal Medika Udayana, Vol. 8 No.7.

5. Kelly Sue Perez. et al. 2018. Complicated appendicitis and

considerations for interval appendectomy. Journal of the American

Academy of Physician Assistants.

6. Mahmoud Musa Al Awayshih. et al. 2019. Evaluation of Alvarado

score in diagnosing acute appendicitis. Pan African Medical Journal.

7. Nurnadhirah Mirantika. et al. 2021. Relationship between Age,

Duration of Abdominal Pain, Leukocyte Value, and Neutrophil

Lymphocyte Ratio with the Incidence of Acute Appendicitis Perforation

at RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. J. Sains Kes. 2021. Vol

3. No 4.

8. Bonnie D. Hodge. et al. 2022. Anatomy, Abdomen and Pelvis,


Appendix. NCBI Bookshelf. A service of the National Library of

Medicine, National Institutes of Health.

9. Gaol LML, Marpaung WH, Sitorus P. Ilmu Bedah Anak. 2014.

10. Kowit Chaisiwamongkol. et al. 2016. Position Variation of Vermiform

Appendix in Northeast Thai Cadavers. Srinagarind Medical Journal.

11. Mark W. Jones. et al. 2022. Appendicitis. NCBI Bookshelf. A serviceof

the National Library of Medicine, National Institutes of Health.

12. Syifa Sukmahayati. 2016. Prevalensi Apendisitis di RSUD DR.

Adjidarmo Kabupaten Lebak Pada Tahun 2016. Fakultas Kedokteran

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.

13. Sione Pifeleti. et al. 2022. Sensitivity and specificity of the Alvarado

Score for the timely differential diagnosis of acute appendicitis for a

case series in Samoa. Annals of Medicine and Surgery. Published by

Elsevier Ltd on behalf of IJS Publishing Group Ltd.

14. ashraf Othman sayed. et al. 2017. Diagnostic reliability of pediatric

appendicitis score, ultrasound and low-dose computed

tomographyscan in children with suspected acute appendicitis. open

access to scientific and medical research.

15. W. J. Bom. et al. 2021. Diagnosis of uncomplicated and complicated

appendicitis in adults. Scandinavian Journal of Surgery. Vol. 110(2)

170–179. The Finnish Surgical Society.

Anda mungkin juga menyukai