Anda di halaman 1dari 22

REFLEKSI KASUS

APPENDICITIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian Kulit
dan Kelamin di RS PKU Muhammadiyah Gamping

Diajukan Kepada Yth :


dr. Niko Rahmanio, Sp.B

Disusun Oleh :
Latifah Amalia Zati
20174011031

BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019

1
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTIFIKASI
Nama : Ny. F
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 41 tahun
Pekerjaan : IRT
Alamat : Jetis, Jombongan, Sleman
Tanggal Masuk : 25-11-2019

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS PKU Gamping dengan keluhan nyeri perut kanan bawah.
Nyeri dirasakan sejak 1 hari yang lalu dan semakin lama nyeri dirasakan semakin
memberat. Nyeri pada awalnya terasa di ulu hati, lama kelamaan berpindah ke daerah
kanan bawah. Pasien mengeluhkan nafsu makan berkurang. Mual (+), muntah 1 kali
saat di rumah.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat gastritis +
- Riwayat Keluhan serupa -
- Riwayat Hipertensi –
- Riwayat Diabetes Mellitus –
Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat keluhan serupa disangkal
- Riwayat Hipertensi –
- Riwayat Diabetes Mellitus –\
Riwayat Personal Sosial
Pasien merupakan ibu rumah tangga. Pasien mengaku jarang mengkonsumsi sayur
dan buah. BAB tidak lancer, 3 hari sekali dan feses keras.

2
C. PEMERIKSAAN FISIK
 Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
 Status Vitalis
Tekanan Darah : 133 / 83 mmHg
Nadi : 79 x / menit
Pernafasan : 18 x / menit
Suhu : 36.5oC

Status Generalis:
Pemeriksaan Kepala-leher
 Bentuk : Normocephal, simetris
 Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
 Hidung : Discharge (-), nafas cuping hidung (-)
 Mulut : Bibir kering (-), bibir sianosis (-)
 Leher : Limfadenopati (-)

Pemeriksaan Thorax
1. Pemeriksaan Pulmo
 Inspeksi : Dinding dada asimetris, jejas (+)
 Palpasi : Nyeri tekan (-)
 Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
 Auskultasi : Vesicular +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
2. Pemeriksaan Cor
 Inspeksi : Ictus cordis (-)
 Palpasi : Ictus cordis (+) di SIC V mid clavicula
 Auskultasi : Suara S1-S2 normal, regular

Pemeriksaan Abdomen & Pelvis


 Inspeksi : Datar, ikut gerak napas, warna kulit sama dengan sekitar.
 Auskultasi : Peristaltik (+)
 Palpasi : Massa Tumor (-), Nyeri Tekan (+) pada titik Mc Burney (+),
Rovsing Sign (tidak dilakukan), Blumberg Sign (tidak dilakukan), Psoas sign
(tidak dilakukan), Obturator Sign (tidak dilakukan), Hepar / Lien tidak teraba.
 Perkusi : Timpani, Nyeri Ketok pada titik Mc Burney(+).

Ekstremitas
 Superior : Edema -/-, deformitas -/-, akral hangat +/+, CRT<2 dtk

3
 Inferior : Edema -/-, deformitas -/-, akral hangat +/+, CRT<2 dtk

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Golongan Darah 0
PPT 14,0
APTT 26,9
HbsAg Non reaktif

b. USG Abdomen Atas Bawah


Pemeriksaan USG upper lower abdomen dengan klinis suspek Appendicitis.
Hasil
Hepar : Ukuran dan echosruktur normal, permukaan licin, sudut lobus sinistra
lancip, Sistema bilier dan vaskuler intrahepatal tak prominen, tak tampak
massa/nodul.
Lien : ukuran dan echostruktur normal, tak tampak massa/nodul
VF : Ukuran normal, dinding meneval, tampak lesi hyperechoic ukuran kurang
lebih 20mmx10mm
Pancreas: Ukuran dan echosruktur normal, tak tampak massa/nodul
Ren dextra dan Sinistra: Ukuran dan echostruktur normal, SPC tak melebar, tak
tampak massa/batu
VU : terisi cairan optimal, dinding licin, tak tampak double layer, tak tampak
massa/batu
Uterus : tampak ukuran dan echostruktur normal, tak tampak massa/kalsifikasi

Tampak lesi hypoechoic di regio iliaca dextra, nonperistaltic, non kompres, bentuk
tubuler, ukuran diameter kurang lebih 14,5 mm
Kesan : Cholelithiasis dengan cholesystitis. Pada sonografi tampak appendicitis
akut. Tak tampak kelainan pada rgan-organ tersebut diatas.

II. DIAGNOSIS KERJA


Susp. Appendicitis Akut
DD : dyspepsia
GEA
ISK

III. PENATALAKSANAAN
a. Pre Operasi
IVFD RL 20 tpm
Inj. Ketorolac 1A
Inj. Ondansetron 4mg

4
b. Operasi
Appendictomi
c. Post Operasi
IVFD RL 20 tpm
Injeksi ceftriaxone 1gr/50mL per 12 jam intravena
Injeksi Antrain 1gram/8jam
Pantoprazole 40mg/24jam
Laxadin syr 3x1 cth
d. Rawat Jalan
R/ Ciprofloxacin tab 500 mg No.X
S 2 dd tab 1
R/ Natrium Diclofenac tab 50mg No.X
S 2 dd tab 1
R/ Ondansentron tab 4mg No.X
S 2 dd tab 1 setelah makan
R/ Omeprazole tab 20mg No.X
S 2 dd tab 1 sebelum makan

IV. PROGNOSIS
Prognosis pada umumnya bonam, namun tergantung pada tatalaksana dan kondisi
pasien. (IDI, 2015)

Skor Alvarado
Gejala Klinik Value
Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1
Leukositosis 0
Shift to the left 0
JUMLAH 7

5
BAB I
PENDAHULUAN

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis. Appendix


merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang berada di perut kanan
bawah. Peradangan akut Appendix atau Appendicitis acuta menyebabkan komplikasi yang
berbahaya apabila tidak segera dilakukan tindakan bedah. (Lally, Cox, & Andrassy, 2004)
Appendicitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering ditemukan.
Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun jarang ditemui pada anak
sebelum usia sekolah. Diagnosis Appendicitis acuta pada anak kadang-kadang sulit. Hanya
50-70% kasus yang bisa didiagnosis dengan tepat pada saat penilaian awal. Riwayat
perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting
dalam mendiagnosis Appendicitis. (Jaffe & Berger, 2005)
Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan Appendix yang
terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak
dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan
karena peritonitis dan syok. (Way, 2003)
Appendicular infiltrat merupakan komplikasi dari Appendicitis acuta yang terjadi bila
Appendicitis gangrenosa atau mikroperforasi dilokalisir atau dibungkus oleh omentum
dan/atau lekuk usus halus.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI APPENDIX


Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum dan
Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan Appendix terlihat pada
minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya Appendix berada
pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih medial dekat dengan Plica
ileocaecalis. Dalam proses perkembangannya, usus mengalami rotasi. Caecum berakhir
pada kuadran kanan bawah perut. Appendix selalu berhubungan dengan Taenia caecalis.
Oleh karena itu, lokasi akhir Appendix ditentukan oleh lokasi Caecum. (Jaffe & Berger,
2005)

Appendix vermicularis

Vaskularisasi Appendix berasal dari percabangan A. ileocolica. Gambaran histologis


Appendix menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada submukosanya. Pada usia
15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul limfoid. Lumen Appendix biasanya
mengalami obliterasi pada orang dewasa. (Way, 2003)
Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm, dengan rata-rata
panjang 6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia caealis pada dasar
Caecum, ujung Appendix memiliki variasi lokasi. Variasi lokasi ini yang akan
mempengaruhi lokasi nyeri perut yang terjadi apabila Appendix mengalami peradangan.

7
Variasi lokasi Appendix vermicularis

Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini,


Appendix dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan
Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA). Walaupun Appendix merupakan
komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT), fungsinya tidak
penting dan Appendectomy tidak akan menjadi suatu predisposisi sepsis atau penyakit
imunodefisiensi lainnya. (Ellis H, 2001)

B. INSIDENSI
Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur. Namun jarang pada anak kurang dari
satu tahun. (Jaffe & Berger, 2005)

C. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith merupakan
penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan Appendicitis
akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix. Penyebab yang lebih jarang adalah
hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium yang mengering pada
pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama Oxyuris vermicularis.
Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkan oleh infeksi
Yersinia, Salmonella, dan Shigella, atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba,

8
Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga
dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles, chicken pox,
dan cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga meningkat pada pasien dengan cystic
fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan pada kelenjar yang mensekresi mukus.
Obstruksi Appendix juga dapat terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika tumor
berlokasi di 1/3 proksimal. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya Appendicitis adalah
trauma, stress psikologis, dan herediter. (Ellis H, 2001)
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi. Fecalith
ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65% pada kasus
Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus Appendicitis acuta
gangrenosa dengan perforasi.

Appendicitis (dengan fecalith)

Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala gangguan


gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB, dan
kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis Appendicitis,
khususnya pada anak-anak. (Ellis H, 2001)
Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri tumpul.
Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah dalam beberapa jam
setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul mendahului nyeri perut, dapat
dipikirkan diagnosis lain.
9
Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi
perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut
semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan ini
menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan iskhemia
jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi
ke dinding Appendix, diikuti demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan
mediator inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari
dinding Appendix berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan
teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc
Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri
visceral sebelumnya. Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri
somatik biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale
sebelum terjadi perforasi Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang
berlokasi di retrocaecal dapat timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi
di pelvis, yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan
peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica
urinaria akibat penyebaran infeksi Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih,
atau nyeri seperti terjadi retensi urine.
Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis difus.
Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan tubuh
pasien berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda perforasi Appendix mencakup
peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada
pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat
menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi.

C. MANIFESTASI KLINIS
1. Gejala Klinis
Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai dengan nyeri
perut yang didahului anoreksia. Gejala utama Appendicitis acuta adalah nyeri perut.
Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu menetap, kadang disertai kram

10
yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri
yang menetap ini umumnya terlokalisasi di RLQ. Variasi dari lokasi anatomi Appendix
berpengaruh terhadap lokasi nyeri, sebagai contoh, Appendix yang panjang dengan
ujungnya yang inflamasi di LLQ menyebabkan nyeri di daerah tersebut, Appendix di
daerah pelvis menyebabkan nyeri suprapubis, retroileal Appendix dapat menyebabkan
nyeri testicular.
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix, biasanya
suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh meningkat hingga >
39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada 75% pasien dijumpai muntah
yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi
saraf dan ileus. Umumnya, urutan munculnya gejala Appendicitis adalah anoreksia, diikuti
nyeri perut dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka diagnosis Appendicitis
diragukan. Muntah yang timbul sebelum nyeri abdomen mengarah pada diagnosis
gastroenteritis. (Jaffe & Berger, 2005)
Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak
pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada beberapa
pasien terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah terjadinya perforasi Appendix.
Skor Alvarado
Penilaian appendicitis dapat dilakukan dengan skoring Alvarado. Selanjutnya ditentukan
apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan pemeriksaan
PA terhadap jaringan Appendix dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu
radang akut dan bukan radang akut.

Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.


Gejala Klinik Value
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1

11
Lab Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin 10
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan
bedah sebaiknya dilakukan.
Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan dengan tingkat
inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada nyeri lokal di titik Mc
Burney’s. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal menunjukkan gejala lokal yang
minimal. Adanya psoas sign, obturator sign, dan Rovsing’s sign bersifat konfirmasi
dibanding diagnostik. Pemeriksaan rectal toucher juga bersifat konfirmasi dibanding
diagnostik, khususnya pada pasien dengan pelvis abscess karena ruptur Appendix.

2. Tanda Klinis
Secara teori, peradangan akut Appendix dapat dicurigai dengan adanya nyeri pada
pemeriksaan rektum (Rectal toucher). Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik untuk
Appendicitis. Jika tanda-tanda Appendicitis lain telah positif, maka pemeriksaan rectal
toucher tidak diperlukan lagi.
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:
 Rovsing’s sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi
peritoneum. Sering positif pada Appendicitis namun tidak spesifik.
 Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut pasien dan
tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien digerakkan
dalam arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menggambarkan kekakuan
musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi langsung yang berasal dari peradangan
Appendix. Manuver ini tidak bermanfaat bila telah terjadi rigiditas abdomen.
 Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki kanan pasien
sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa memposisikan sendi
lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian

12
eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri di hipogastrium saat eksorotasi.
Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi Appendix, abscess lokal, iritasi
M. Obturatorius oleh Appendicitis letak retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.
 Blumberg’s sign (nyeri lepas kontralateral)
Pemeriksa menekan di LLQ kemudian melepaskannya. Manuver ini dikatakan positif
bila pada saat dilepaskan, pasien merasakan nyeri di RLQ.
 Wahl’s sign
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri pada saat dilakukan perkusi
di RLQ, dan terdapat penurunan peristaltik di segitiga Scherren pada auskultasi.
 Baldwin’s test
Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri di flank saat tungkai
kanannya ditekuk.
 Defence musculare
Defence musculare bersifat lokal sesuai letak Appendix.
 Nyeri pada daerah cavum Douglasi
Nyeri pada daerah cavum Douglasi terjadi bila sudah ada abscess di cavum Douglasi
atau Appendicitis letak pelvis.
 Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher pada saat penekanan di sisi lateral
 Dunphy’s sign (nyeri ketika batuk)

Rovsing Sign Rectal Toucher

13
Psoas Sign Obturator Sign

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
a. Leukositosis moderat/ sedang (10.000-16.000 sel darah putih) dengan predominan
neutrofil (shit to the left). Jumlah normal sel darah putih tidak dapat menyingkirkan
adanya apendisitis.
b. Urinalisis kadang menunjukkan adanya sel darah merah.

2. Ultrasonografi
Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis Appendicitis.
Appendix diidentifikasi/ dikenal sebagai suatu akhiran yang kabur, bagian usus yang
nonperistaltik yang berasal dari Caecum. Dengan penekanan yang maksimal, Appendix
diukur dalam diameter anterior-posterior. Penilaian dikatakan positif bila tanpa kompresi
ukuran anterior-posterior Appendix 6 mm atau lebih. Ditemukannya appendicolith akan
mendukung diagnosis. Gambaran USG dari Appendix normal, yang dengan tekanan ringan
merupakan struktur akhiran tubuler yang kabur berukuran 5 mm atau kurang, akan
menyingkirkan diagnosis Appendicitis acuta. Penilaian dikatakan negatif bila Appendix
tidak terlihat dan tidak tampak adanya cairan atau massa pericaecal. Sewaktu diagnosis
Appendicitis acuta tersingkir dengan USG, pengamatan singkat dari organ lain dalam
rongga abdomen harus dilakukan untuk mencari diagnosis lain. Pada wanita-wanita usia
reproduktif, organ-organ panggul harus dilihat baik dengan pemeriksaan transabdominal
maupun endovagina agar dapat menyingkirkan penyakit ginekologi yang mungkin

14
menyebabkan nyeri akut abdomen. Diagnosis Appendicitis acuta dengan USG telah
dilaporkan sensitifitasnya sebesar 78%-96% dan spesifitasnya sebesar 85%-98%. USG
sama efektifnya pada anak-anak dan wanita hamil, walaupun penerapannya terbatas pada
kehamilan lanjut.

3. Pemeriksaan radiologi
1. Foto polos abdomen
Gambaran x-foto polos abdomen pada apendisitis dikategorikan sebagai 3
jenis yaitu tampak normal, mungkin abnormal dan sugestif apendisitis. Visualisasi
dari appendicolith ataupun gas abses pada region kuadran kanan bawah dapat
dijadikan patokan diagnosis apendisitis. Dari 138 kasus positif apendisitis, 99
diantaranya (72%) memiliki gambaran sugestif apendisitis pada x-foto polos
abdomen. Apabila posisi appendiks ada di retrosekal, maka jarang tervisualisasikan
dengan baik pada film. (G Rodrigues, 2003 )
Beberapa gambaran radiologis dari apendisitis pada x-foto polos abdomen
antara lain adanya level cairan terlokalisir pada caecum dan ileum terminalis,
gambaran gas terlokalisir pada ileum terminalis, peningkatan densitas soft tissue
pada kuadran kanan bawah, perselubungan pada regio flank kanan dengan adanya
garis radiolusen antara pre peritoneum fat line dengan transversus abdominis,
gambaran fekalit pada fossa illiaca kanan, appendiks terisi gas, gas intraperitoneal
dan deformitas bayangan gas caecum karena massa serta perselubungan bayangan
psoas pada sisi kanan.

Fecalith radioopak

15
2. Ultrasonografi Appendiks
Pemeriksaan appendiks dengan menggunakan ultrasonografi merupakan
pemeriksaan tanpa menggunakan radiasi, dan pemeriksaan ini sangat terjangkau
bagi pasien penderita appendiks. Kelebihan lainnya adalah para dokter lebih mudah
mendiagnosis dengan menggunakan ultrasonografi dibandingkan foto polos
abdomen. Di samping itu, sensivitas dan spesifitasnya cukup baik. USG juga tepat
untuk digunakan pada kondisi-kondisi emergensi yang menunjukkan akut abdomen
seperti apendisitis dengan tanda-tanda inflamasi peritoneal yang meluas. (Murtala,
2013)
Lokasi appendiks berada pada kuadran bawah kanan. Dapat dilihat dengan
menggunakan probe beresolusi tinggi (7-15 mHz). Tranduser diletakkan dengan
posisi tranversal dan dengan mengkompresi abdomen kuadran bawah kanan secara
dalam untuk mendekatkan usus dengan probe. Dimulai dari fleksura hepatik dan
kemudian telusuri ke bawah sampai bertemu caecum. Kemudian pasien diminta
untuk menunjukkan lokasi di mana yang sakit.
Kelebihan (Hasya MN, 2012)
 Non invasif, non trauma, non radiatif
 Relatif cepat dan aman
 Nilai diagnostik cukup tinggi
 Tidak memerlukan persiapan khusus, kecuali untuk pemeriksaan vesica
felea puasa 6 jam, dan pemeriksaan vesica urinaria harus penuh urin
 Tidak ada kontraindikasi

3. Appendicogram
Merupakan teknik pemeriksaan radiologi untuk memvisualisasikan
appediks dengan menggunakan kontras media positif barium. Barium dapat
membantu pada kasus sulit ketika akurasi diagnosis sukar untuk ditegakkan.
Barium akan mengisi defek pada appendiks, hal ini adalah indikator yang sangat
bisa dipercaya pada diagnosis apendisitis. Appendicogram dapat dilakukan pada

16
apendisitis akut non perforasi ataupun apendisitis kronis, bila kondisi pasien stabil
dan tidak dicurigai adanya tanda-tanda perforasi.

Gambaran normal appendiks dengan kontras barium

E. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari Appendicitis acuta pada dasarnya adalah diagnosis dari akut
abdomen. Diagnosis banding Appendicitis tergantung dari 3 faktor utama: lokasi anatomi
dari inflamasi Appendix, tingkatan proses dari yang simple sampai yang perforasi, serta
umur dan jenis kelamin pasien.
1. Gastroenteritis akut
Penyakit ini sangat umum pada anak-anak tapi biasanya mudah dibedakan dengan
Appendicitis. Gastroentritis karena virus merupakan salah satu infeksi akut self limited
dari berbagai macam sebab, yang ditandai dengan adanya diare, mual, dan muntah.
Nyeri hiperperistaltik abdomen mendahului terjadinya diare. Hasil pemeriksaan
laboratorium biasanya normal.
2. Diverticulitis Meckel
Penyakit ini menimbulkan gambaran klinis yang sangat mirip Appendicitis acuta.
Perbedaan preoperatif hanyalah secara teoritis dan tidak penting karena Diverticulitis
Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang sama seperti Appendicitis dan
memerlukan terapi yang sama yaitu operasi segera.
3. Intususseption

17
Sangat berlawanan dengan Diverticulitis Meckel, sangat penting untuk
membedakan Intususseption dari Appendicitis acuta karena terapinya sangat berbeda.
Umur pasien sangat penting, Appendicitis sangat jarang dibawah umur 2 tahun,
sedangkan Intususseption idiopatik hampir semuanya terjadi di bawah umur 2 tahun.
Pasien biasanya mengeluarkan tinja yang berdarah dan berlendir. Massa berbentuk
sosis dapat teraba di RLQ. Terapi yang dipilih pada intususseption bila tidak ada tanda-
tanda peritonitis adalah barium enema, sedangkan terapi pemberian barium enema pada
pasien Appendicitis acuta sangat berbahaya.
4. Infeksi saluran kencing
Pyelonephritis acuta, terutama yang terletak di sisi kanan dapat menyerupai
Appendicitis acuta letak retroileal. Rasa dingin, nyeri costo vertebra kanan, dan
terutama pemeriksaan urine biasanya cukup untuk membedakan keduanya.

F. KOMPLIKASI
1. Perforasi
2. Peritonitis
3. Appendicular infiltrat
Appendicular infiltrat adalah infiltrat/massa yang terbentuk akibat mikro atau makro
perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus
atau usus besar. Umumnya massa Appendix terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan
mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa Appendix lebih sering dijumpai pada
pasien berumur lima tahun atau lebih karena daya tahan tubuh yang telah berkembang
dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses
radang.

G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pasien Appendicitis acuta yaitu
1. Pemasangan infus dan pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis
dehidrasi atau septikemia.
2. Puasakan pasien, jangan berikan apapun per oral
3. Pemberian obat-obatan analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah.

18
4. Pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang menjalani laparotomi.
5. Pertimbangkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita usia subur dan
didapatkan beta-hCG positif secara kualitatif.
Bila dilakukan pembedahan, terapi pada pembedahan meliputi antibiotika profilaksis
harus diberikan sebelum operasi dimulai pada kasus akut, digunakan single dose dipilih
antibiotika yang bisa melawan bakteri anaerob.

H. PROGNOSIS
Prognosis pada umumnya bonam, namun tergantung pada tatalaksana dan kondisi
pasien. (IDI, 2015). Mortalitas dari Appendicitis di USA menurun terus dari 9,9% per
100.000 pada tahun 1939 sampai 0,2% per 100.000 pada tahun 1986. Faktor- faktor yang
menyebabkan penurunan secara signifikan insidensi Appendicitis adalah sarana diagnosis
dan terapi, antibiotika, cairan i.v., yang semakin baik, ketersediaan darah dan plasma, serta
meningkatnya persentase pasien yang mendapat terapi tepat sebelum terjadi perforasi.

19
BAB III
KESIMPULAN

Appendicitis adalah peradangan pada Appendix vermicularis. Appendix merupakan


derivat bagian dari midgut, yang lokasi anatomisnya dapat berbeda tiap individu.
Appendicitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering ditemukan. Faktor-
faktor yang menjadi etiologi dan predisposisi terjadinya Appendicitis meliputi faktor
obstruksi, bakteriologi, dan diet. Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada
Appendicitis acuta.
Gejala klinis Appendicitis meliputi nyeri perut, anorexia, mual, muntah, nyeri
berpindah, dan gejala sisa klasik berupa nyeri periumbilikal kemudian
anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian demam yang tidak
terlalu tinggi. Tanda klinis yang dapat dijumpai dan manuver diagnostik pada kasus
Appendicitis adalah Rovsing’s sign, Psoas sign, Obturator sign, Blumberg’s sign, Wahl’s
sign, Baldwin test, Dunphy’s sign, Defence musculare, nyeri pada daerah cavum Douglas
bila ada abscess di rongga abdomen atau Appendix letak pelvis, nyeri pada pemeriksaan
rectal toucher.
Pemeriksaan penunjang dalam diagnosis Appendicitis adalah pemeriksaan
laboratorium, Skor Alvarado, ultrasonografi, dan radiologi. Diagnosis banding
Appendicitis antara lain; Adenitis Mesenterica Acuta, Gastroenteritis akut, penyakit
urogenital pada laki-laki, Diverticulitis Meckel, Intususseption, Chron’s enteritis, perforasi
ulkus peptikum, Epiploic appendagitis, infeksi saluran kencing, batu urethra, peritonitis
primer, Purpura Henoch–Schonlein, Yersiniosis, serta kelainan–kelainan ginekologi.
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh Appendicitis adalah perforasi, peritonitis,
Appendicular infiltrat, Appendicular abscess, shock Septic, mesenterial pyemia dengan
Abscess hepar, dan perdarahan GIT. Penatalaksanaan pasien Appendicitis acuta meliputi;
pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis dehidrasi atau septikemia, puasakan
pasien, analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah, pemberian antibiotika i.v. pada
pasien yang menjalani laparotomi.
Appendicular infiltrat merupakan komplikasi dari Appendicitis acuta. Appendicular
infiltrat adalah proses radang Appendix yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum

20
dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga membentuk massa (Appendiceal
mass) yang lebih sering dijumpai pada pasien berumur 5 tahun atau lebih karena daya tahan
tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk
membungkus proses radang.
Etiologi dan patofisiologi Appendicular infiltrat diawali oleh adanya Appendicitis
acuta. Dimulai dari acute focal Appendicitis  acute suppurative Appendicitis 
gangrenous Appendicitis (tahap pertama dari Appendicitis yang mengalami komplikasi)
 dapat terjadi 3 kemungkinan:
o perforated Appendicitis, terjadi penyebaran kontaminasi didalam ruang atau rongga
peritoneum akan menimbulkan peritonitis generalisata.
o terjadi Appendicular infiltrat jika pertahanan tubuh baik (massa lama kelamaan
akan mengecil dan menghilang)
o Appendicitis kronis, merupakan serangan ulang Appendicitis yang telah sembuh.
Appendicular infiltrat dapat didiagnosis dengan didasari anamnesis adanya riwayat
Appendicitis acuta, pemeriksaan fisik berupa teraba massa yang nyeri tekan di RLQ.
Diagnosis Appendicular infiltrat dapat didiagnosis banding dengan tumor Caecum,
limfoma maligna intra abdomen, Appendicitis tuberkulosa, amoeboma, Crohn’s disease,
dan juga kelainan ginekolog seperti KET, adneksitis ataupun torsi kista ovarium.
Terapi Appendicular infiltrat yang terbaik adalah terapi non-operatif (konservatif) yang
diikuti dengan Appendectomy elektif (6-8 minggu kemudian), tetapi apabila massa tetap
dan nyeri perut pasien bertambah berarti sudah terjadi abses dan massa harus segera dibuka
dan dilakukan drainase.

21
DAFTAR PUSTAKA

Ellis H, N. L. (2001). Appendix and Appendectomy. In S. S. Zinner Mj, Maingot’s


Abdominal Operations (10 ed., Vol. II, pp. 1191-222). Singapore: McGraw Hill
Co.
G Rodrigues, L. K. (2003 ). Plain X-Ray In Acute Appendicitis. The Internet Journal of
Radiology. Volume 3 , 2.
Hasya MN, E. E. (2012). Reliabilitas Pemeriksaan Appendicogram dalam Penegakan
Diagnosis Apendisitis di RSUD Dr. Pirngadi Medan Periode 2008-2011. Karya
Tulis Ilmiah. FK USU.
IDI. (2015). Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Tingkat Pertama. Jakarta: IDI.
Jaffe, B., & Berger, D. (2005). The Appendix. In A. D. Brunicardi FC, Schwartz’s
Principles of Surgery Volume 2 (8 ed., pp. 1119-34). New York: McGraw Hill
Companies Inc.
Lally, K., Cox, C., & Andrassy, R. (2004). Appendix. In C. Townsend, R. Beauchamp, B.
Evers, & K. Mattox, Sabiston Texbook of Surgery (17 ed., pp. 1381-1393).
Philadelphia: Elsevier Saunders.
Murtala, B. (2013). Diagnosa Apendisitis Akut dengan Ultrasound.
Soybel, D. (2000). Appedix . In B. R. Norton JA, Surgery Basic Science and Clinical
Evidence Vol 1 (pp. 647-662). New York: Springer Verlag Inc.
Way, L. (2003). Appendix. In D. G. Way LW, Current Surgical Diagnosis & Treatment
(11 ed., pp. 668-72). Boston: McGraw Hill.

22

Anda mungkin juga menyukai