Anda di halaman 1dari 38

Laporan Kasus

APPENDIKULER INFILTRAT

Disusun oleh:
dr. Lukman Rahmatullah

Pembimbing:
dr. Mairizal Alwy, Sp.B

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RUPIT


KABUPATEN MUSI RAWAS UTARA
2023

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II STATUS PASIEN.......................................................................................2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................12
BAB IV ANALISIS KASUS.................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................33

2
BAB I
PENDAHULUAN

Appendisitis akut adalah peradangan akut pada appendiks vermiformis


karena adanya obstruksi lumen appendiks. Salah satu komplikasi dari
appendisitis akut yang terjadi bila appendisitis gangrenosa atau mikroperforasi
dilokalisir atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus disebut
sebagai appendikuler infiltrat. Appendisitis dapat mengenai laki-laki dan
perempuan, namun 1,3-1,6 kali lebih sering mengenai laki-laki usia 10 hingga
30 tahun.1
Di Asia Tenggara angka kejadian appendisitis akut tertinggi terjadi di
Indonesia dan menempati urutan pertama dengan prevalensi sebesar 0.05%
kemudian diikuti oleh Filipina dengan prevalensi 0.022% dan Vietnam dengan
prevalensi 0.02%.2 Menurut data oleh Kementrian Republik Indonesia tahun
2009 hingga 2010 mengalami peningkatan dari 596.132 orang (3.36%) menjadi
621.435 orang (3.53%). Di Indonesia pada tahun 2009 dan 2010 appendisitis
menempati penyakit tidak menular tertinggi kedua. 3 Insidensi appendisitis
menurut survey Kesehatan Rumah Tangga pada tahun 2013 menempati urutan
tertinggi sebanyak 591.819 kasus dan meningkat di tahun 2014 sebanyak
596.132 kasus di Indonesia.4
Penatalaksanaan klien dengan appendisitis meliputi terapi farmakologis
dan terapi bedah. Terapi farmakologis yang diberikan adalah antibiotik dan
cairan intravena. Kasus appendikuler infiltrat tidak perlu dilakukan
pembedahan. Appendisitis yang tidak segera ditatalaksana akan menimbulkan
komplikasi. Salah satu komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi.
Perforasi umumnya terjadi 24 jam setelah timbul nyeri. Perforasi bisa
meningkatkan resiko terjadinya peritonitis sehingga dibutuhkan kemampuan
untuk bisa mendeteksi kasus appendisitis dan menentukan tatalaksananya secara
cepat dan tepat.5-6

1
BAB II
STATUS PASIEN

1. Identitas Pasien
Nama : Tn. HS
Umur : 28 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Tanggal Pemeriksaan : 21 September 2022

2. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah
b. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien mengeluh nyeri seperti ditusuk-tusuk pada ulu hati sejak ± 5 hari
SMRS yang kemudian berpindah ke perut kanan bawah. Demam ada, mual dan
muntah tidak ada. Nafsu makan menurun ada. BAK normal namun sulit BAB.
Tidak ada riwayat trauma pada daerah perut sebelumnya. Tidak ada riwayat
penurunan berat badan drastis dalam beberapa bulan terakhir. Pasien mengaku
perut diurut + 5 kali.
Nyeri pada perut kanan bawah dirasakan memberat sejak ± 2 hari SMRS.
Pasien kemudian datang ke IGD RSUD Rupit untuk diberikan tatalaksana.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


● Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal.
● Riwayat darah tinggi disangkal.
● Riwayat kencing manis disangkal.
● Riwayat trauma pada perut disangkal.
● Riwayat operasi pada perut disangkal.

2
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal

3. Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 140/90 mmHg
Nadi : 90 x/min regular, isi dan tegangan cukup
Frekuensi napas : 22 x/min
Suhu : 36,7 oC
SpO2 : 99%
VAS : 5-6

b. Pemeriksaan Fisik Spesifik


Kepala: Normocephali, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Thorax:
Cor : Iktus kordis tidak tampak dan tidak teraba, batas jantung tidak melebar,
BJ I-II regular, murmur tidak ada, gallop tidak ada
Pulmo : Pergerakan dada kanan-kiri simetris, perkusi sonor dan auskultasi
vesikuler pada kedua lapang paru, wheezing tidak ada, ronchi tidak ada

Abdomen:
Inspeksi : Datar
Palpasi : Lemas, nyeri tekan Mc Burney ada, Rovsing sign ada, teraba
massa di kuadran kanan  5 cm, irregular
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal

3
Ekstremitas: Akral hangat, CRT <2 detik
4. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan laboratorium darah
- Foto polos abdomen
- USG abdomen

Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Hb : 13,9 g/dL Hitung Jenis :
Leukosit : 12,63* /mm2 Basophil : 0,5%
Hematokrit : 40,6% Eosinophil : 2,8%
Eritrosit : 04,93 juta Neutrofil batang : 0,0%
Trombosit : 418 /mm2 Neutrofil Segmen : 70,8%
MCV : 82,4 fL Limfosit : 17,6%
MCH : 28,3 pg Monosit : 8,3%
MCHC : 34,2 g/dl LED : 8 mm/jam
BSS : 110 mg/dl

Alvarado Score

Temuan Poin Kasus


Migratory right iliac fossa pain 1 1
Anorexia 1 1
Nausea or vomiting 1 0
Tenderness: right iliac fossa 2 2
Rebound tenderness right iliac fossa 1 1
Fever ≥ 36,3 C 1 0
Leukocytosis ≥ 10 x 109 2 2
Shift to the left neutrophils 1 0
Total 10 7
Tabel 1. Alvarado Score pasien yaitu 7, yang berarti highly likely appendicitis

4
Hasil Pemeriksaan Foto Polos Abdomen

Gambar 1. Hasil pemeriksaan foto polos abdomen

Kesan: Tidak tampak tanda ileus, tidak tampak batu pada hemiabdomen
kanan kiri maupun pada cavum pelvis yang tervisualisasi

5
Hasil Pemeriksaan USG

Gambar 2. Hasil pemeriksaan USG

6
Kesan: Target sign pada regio McBurney (diameter + 0,71 cm) disertai fluid
collection disekitarnya, tampak vascularisasi perilesi (cenderung gambaran
appendisitis perforasi).
5. Diagnosis Kerja
Appendikuler Infiltrat

6. Tatalaksana
● IVFD RL 1500 ml/24 jam
● Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
● Inj. Metronidazole 500 mg/8 jam
● Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
● Diet cair

7. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

7
8. FOLLOW UP
Tanggal Pemeriksaan Terapi
21/3/2023 S: Nyeri perut kanan bawah, belum BAB P:
dan flatus - IVFD RL 1500 ml/24
O: jam
KU: baik - Inj. Ceftriaxone 1
Sens: compos mentis gr/12 jam
TD: 140/90 mmHg - Inj. Metronidazole
Nadi: 90 x/menit 500 mg/8 jam
RR: 20 x/menit - Inj. Ranitidin 50
o
T: 36,7 C mg/12 jam
SpO2: 99% - Diet cair
Abdomen: datar, lemas, BU (+) normal,
massa di kuadran kanan  5 cm, irregular,
nyeri tekan kanan bawah
A:
Appendikuler infiltrat

8
22/3/2023 S: Nyeri perut kanan bawah berkurang, P:
sudah BAB pagi hari dengan konsistensi - IVFD RL 1500 ml/24
cair disertai ampas jam
O: - Inj. Ceftriaxone 1
KU: baik gr/12 jam
Sens: compos mentis - Inj. Metronidazole
TD: 130/90 mmHg 500 mg/8 jam
Nadi: 81 x/menit - Inj. Ranitidin 50
RR: 21 x/menit mg/12 jam
o
T: 36,2 C - Diet bubur
SpO2: 99%
Abdomen: datar, lemas, BU (+) normal,
massa di kuadran kanan  5 cm, irregular,
nyeri tekan kanan bawah berkurang
A:
Appendikuler infiltrat
23/3/2023 S: Nyeri perut kanan bawah berkurang, P:
BAB konsistensi padat, perut sedikit - IVFD RL 1500 ml/24
kembung jam
O: - Inj. Ceftriaxone 1
KU: baik gr/12 jam
Sens: compos mentis - Inj. Metronidazole
TD: 120/80 mmHg 500 mg/8 jam
Nadi: 81 x/menit - Inj. Ranitidin 50
RR: 20 x/menit mg/12 jam
o
T: 36,3 C - Diet bubur
SpO2: 99%
Abdomen: datar, lemas, BU (+)
meningkat, massa di kuadran kanan  4
cm (mengecil), irregular, nyeri tekan
kanan bawah berkurang
A:
Appendikuler infiltrat

9
24/3/2023 S: Nyeri perut kanan bawah berkurang, P:
BAB tidak ada keluhan, perut kembung - IVFD RL 1500 ml/24
berkurang jam
O: - Inj. Ceftriaxone 1
KU: baik gr/12 jam
Sens: compos mentis - Inj. Metronidazole
TD: 120/80 mmHg 500 mg/8 jam
Nadi: 80 x/menit - Inj. Ranitidin 50
RR: 20 x/menit mg/12 jam
o
T: 36,2 C - Diet bubur
SpO2: 99%
Abdomen: datar, lemas, BU (+) normal,
massa di kuadran kanan  4 cm
(mengecil), irregular, nyeri tekan kanan
bawah berkurang
A:
Appendikuler infiltrat

10
25/3/2023 S: Nyeri perut kanan berkurang, BAB P:
tidak ada keluhan, perut sudah tidak - IVFD RL 1500 ml/24
kembung jam
O: - Inj. Ceftriaxone 1
KU: baik gr/12 jam
Sens: compos mentis - Inj. Metronidazole
TD: 120/80 mmHg 500 mg/8 jam
Nadi: 79 x/menit - Inj. Ranitidin 50
RR: 21 x/menit mg/12 jam
o
T: 36,1 C - Diet bubur
SpO2: 99%
Abdomen: datar, lemas, BU (+) normal,
massa di kuadran kanan  3 cm
(mengecil), irregular, nyeri tekan kanan
bawah berkurang
A:
Appendikuler infiltrat

26/9/2022 S: Nyeri perut kanan bawah ada sedikit P:


dengan penekanan - Acc pulang
O: - Metronidazole 3 x
KU: baik 500 mg 5 hari (obat
Sens: compos mentis pulang)
TD: 120/80 mmHg
Nadi: 80 x/menit
RR: 20 x/menit
T: 36,3 oC
SpO2: 99%
Abdomen: datar, lemas, BU (+) normal,
massa di kuadran kanan masih sedikit
teraba, irregular, nyeri tekan kanan bawah
terasa sedikit dengan penekanan
A:
Appendikuler infiltrat

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi


3.1.1 Anatomi
Appendiks merupakan organ dengan struktur tubular yang rudimeter dan
tanpa fungsi yang jelas. Appendiks berkembang dari posteromedial caecum
dengan panjang yang bervariasi namun pada orang dewasa sekitar 5-15 cm dan
diameter sekitar 0,5-0,8 cm. Appendiks merupakan derivat bagian dari midgut
yang terdapat di antara Ileum dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu
ke-5 kehamilan dan appendiks terlihat pada minggu ke-8 kehamilan yaitu bagian
ujung dari protuberans caecum. Dalam proses perkembangannya, awalnya
appendiks berada pada apeks caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih
medial dekat Plica ileocaecalis. Lumen appendiks sempit dibagian proksimal dan
melebar di bagian distal. Hampir seluruh permukaan appendiks dikelilingi oleh
peritoneum dan mesoappendiks yang merupakan lipatan peritoneum yang berjalan
kontinyu sepanjang appendiks dan berakhir di ujung appendiks.7

Gambar 3. Anatomi Appendiks

Pada appendiks terdapat 3 taenia coli yang menyatu di persambungan


caecum dan bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi appendik.
Posisi appendiks terbanyak adalah retrocaecal 65.28% baik intraperitoneal
maupun retroperitoneal dimana appendiks berputar ke atas di belakang caecum.

12
Selain itu juga terdapat posisi pelvic (panggul) 31,01% (appendiks menggantung
ke arah pelvic minor), subcaecal (dibawah caecum) 2,26% retroileal (dibelakang
usus halus) 0,4%, retrokolika, dan pre-ileal.

Gambar 4. Variasi Letak Appendiks


Vaskularisasi appendiks berasal dari arteri appendikularis yang berjalan di
sepanjang mesoappendiks dan merupakan cabang dari arteri ileocolica dan yang
merupakan cabang trunkus mesenterik superior. Selain dari arteri appendikular
yang memperdarahi hampir seluruh appendiks, juga terdapat kontribusi dari arteri
asesorius. Untuk aliran balik, vena appendiseal cabang dari vena ileocoli berjalan
ke vena mesentrik superior dan masuk ke sirkulasi portal. Persarafan parasimpatis
dari appendiks berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri
mesenterica superior dan arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n. Thorakalis X.

Gambar 5. Vaskularisasi Appendiks

13
3.1.2 Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.
Awalnya, appendiks dianggap tidak memiliki fungsi.8
Namun akhir-akhir ini, appendiks dikatakan sebagai organ imunologi yang
secara aktif mensekresikan Imunoglobulin A (IgA). Walaupun appendiks
merupakan komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue
(GALT), imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi
yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi
enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali jika
dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh.8

3.2 Appendisitis
3.2.1 Definisi
Appendisitis adalah peradangan pada organ appendiks vermiformis atau
yang di kenal juga sebagai usus buntu. Diklasifikasikan sebagai suatu kasus
medical emergency dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling
sering ditemui. Appendikuler infiltrat adalah proses radang appendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum dan usus-usus dan peritoneum
disekitarnya sehingga membentuk masa (appendiceal mass). Umumnya masa
appendiks terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi
peritonitis umum.9
3.2.2 Epidemiologi
Insidens appendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun
bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat
dalam menu sehari-hari. Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya

14
pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan, insidens tertinggi pada
kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada lelaki dan
perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens pada
lelaki lebih tinggi. Meskipun jarang, pernah dilaporkan kasus appendiks neonatal
dan prenatal. Pasien dengan usia yang lebih dari 60 tahun dilaporkan sebanyak
50% meninggal akibat appendisitis.10
3.2.3 Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendisitis. Berbagai hal
berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen appendiks merupakan
faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan
limfe, fekalit, tumor appendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan
sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan appendisitis adalah
erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis. Konstipasi akan menaikkan
tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan
mempermudah timbulnya appendisitis akut.11
3.2.4 Klasifikasi
Appendisitis dibagi menjadi 2, antara lain sebagai berikut :
1. Appendisitis Akut
Peradangan pada appendiks dengan gejala khas yang memberi tanda
setempat. Gejala appendisitis akut antara lain nyeri samar dan tumpul merupakan
nyeri visceral di daerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini disertai rasa
mual muntah dan penurunan nafsu makan. Dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ke titik McBurney. Pada titik ini, nyeri yang dirasakan menjadi lebih
tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.12
2. Appendisitis Kronis

Appendisitis kronis baru bisa ditegakkan apabila ditemukan tiga hal yaitu
pertama, pasien memiliki riwayat nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen
selama paling sedikit tiga minggu tanpa alternatif diagnosa lain. Kedua, setelah

15
dilakukan appendektomi, gejala yang dialami pasien akan hilang. Ketiga, secara
histopatologik gejala dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi kronis yang aktif
atau fibrosis pada appendiks.12
3.2.5 Faktor Risiko
1. Usia
Appendisitis paling sering terjadi pada usia remaja dan dewasa antara 20-30
tahun. Appendisitis jarang terjadi pada balita dan dewasa akhir. Hal ini terjadi
karena bentuk appendiks pada balita dan dewasa berbeda. Pada usia 20-30 tahun
cenderung melakukan banyak kegiatan dan mengabaikan nutrisi makanan
sehingga hal ini dapat memudahkan terjadinya appendisitis.13 Sebagian besar
literatur menunjukkan bahwa usia 20-30 tahun lebih sering terkena appendisitis
akut. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan kejadian
appendisitis tertinggi didapatkan pada kelompok rentang usia 20-29 tahun dan
juga sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa appendisitis sering terjadi di
rentang usia 20-30 tahun, yaitu pada dewasa dan remaja. Hal ini dikarenakan
bentuk appendiks pada dewasa menyempit di bagian proksimal dan lebar di
bagian distal yang dapat menyebabkan terjadinya obstruksi di bagian proksimal
dan menyebabkan tekanan intraluminal meningkat dan memicu proses translokasi
kuman dan meningkatkan jumlah kuman dalam lumen appendix yang
memudahkan invasi bakteri dari dalam lumen menembus mukosa dan terjadinya
ulserasi mukosa menyebabkan terjadinya appendisitis.14
Sedangkan, literatur lain menyebutkan bahwa usia <35 tahun lebih banyak
terkena appendisitis dimana dalam penelitiannya menyebutkan bahwa usia
memiliki hubungan dengan terjadinya appendisitis. Selain itu, usia rata-rata
terkena appendisitis akut adalah 33,93.15
2. Jenis Kelamin
Appendisitis lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan
perempuan. Hal ini karena perempuan sering mengkonsumsi makanan berserat
dibandingkan laki-laki. Kebiasaan konsumsi rendah serat dapat menyebabkan
terjadinya sumbatan fungsional appendiks dan pertumbuhan flora normal di

16
kolon mengalami peningkatan. Keadaan ini memudahkan terjadinya peradangan
appendiks.13
Banyak hasil penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa jenis kelamin laki-
laki lebih banyak terkena apendisitis akut dibandingkan jenis kelamin
perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Adhar Arifuddin
bahwa jenis kelamin laki-laki 0,657x lebih besar terkena appendisitis akut
dibandingkan perempuan. Penelitian ini juga menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara jenis kelamin dengan terjadinya appendisitis (p-value 0,003).
Pada laki-laki cenderung mengalami inflamasi pada appendiks karena adanya
perubahan anatomis. Dinding appendiks banyak mengandung jaringan limfoid
dan pada laki-laki proporsi jaringan limfoid ditemukan lebih banyak daripada
perempuan. Hal ini dapat menjelaskan mengapa insiden appendisitis lebih tinggi
pada laki-laki daripada perempuan. Di samping itu, beberapa literatur
menyatakan bahwa jenis kelamin perempuan lebih banyak terkena appendisitis
akut dibanding jenis kelamin laki-laki. Hal ini dikarenakan pada perempuan
sering ditemukan kasus positif palsu.15
3. Pola Diet
Kebiasaan konsumsi makanan rendah serat erat kaitannya dengan
peningkatan kejadian appendisitis karena dapat menyebabkan terjadinya
sumbatan pada lumen appendiks. Penelitian sebelumnya menyebutkan adanya
hubungan yang signifikan antara pola diet dengan kejadian appendisitis akut. Hal
ini sesuai dengan penelitian oleh Ibrahim Ahmed Alzahrani yang menyatakan
bahwa kurangnya konsumsi makanan berserat seperti sayur dan buah lebih
banyak terkena appendisitis akut dibandingkan yang sering konsumsi makanan
berserat. Dalam hal ini seringnya makan di restoran fast food dapat meningkatkan
risiko. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Fitriana Sirna juga menyebutkan
bahwa makanan yang dapat menjadi faktor terjadinya appendisitis akut adalah
makanan yang tinggi karbohidrat tetapi rendah serat dan hasilnya didapatkan p-
value 0,001 yang menyatakan ada hubungan bermakna antara jenis makanan
dengan appendisitis akut. Sejalan dengan hasil ini, penelitian sebelumnya juga
menunjukkan jika kurangnya mengkonsumsi makanan tinggi serat seperti sayur

17
dan buah lebih banyak terkena appendisitis akut dibandingkan dengan yang
sering atau cukup dalam mengkonsumsi makanan berserat. Dengan demikian,
makanan yang dikonsumsi harus makanan bergizi dan berserat tinggi.15
4. Konsistensi feses
Konsumsi serat memiliki peran dalam proses pencernaan, baik dalam
pembentukan sifat feses dan dalam pembentukan fekalit. Kurangnya konsumsi
serat dapat mengakibatkan feses menjadi padat, lebih lengket dan bentuknya
menjadi lebih besar. Hal ini menyebabkan waktu transit feses di dalam kolon
menjadi lebih lama dan dapat mengubah sifat bakteri yang ada. Appendisitis akut
terjadi karena adanya obstruksi pada lumen appendiks dan kemudian diikuti
terjadinya peradangan akut.16 Penelitan sebelumnya menyebutkan bahwa
terdapat hubungan dengan adanya appendicolith terhadap kejadian apendisitis
akut.15 Sesuai dengan penelitian oleh Michael J. Ramdass yang menyatakan
bahwa appendicolith berhubungan dengan terjadinya appendisitis akut (p=0,041).
Hal ini dikarenakan sesuai dengan pathogenesisnya dimana appendicolith dapat
menyebabkan terjadinya obstruksi sehingga meningkatkan tekanan intraluminal
dan menyebabkan terjadinya appendisitis akut. Dalam teori juga dikatakan bahwa
pada dewasa penyebab tersering terjadinya obstruksi pada lumen appendiks
adalah karena adanya fekalit.17
Khan dkk (2017) menyatakan bahwa adanya appendicolith tidak
meningkatkan risiko terjadinya apendisitis akut. Selain itu, juga disebutkan
bahwa appendicolith lebih banyak ditemukan pada pasien appendisitis perforasi
dibandingkan appendisitis akut.18
3.2.6 Patofisiologi
Mekanisme terjadinya appendisitis diakibatkan oleh adanya obstruksi lumen
appendiks vermicularis akibat fecalith, hiperplasia limfoid, benda asing, parasit,
tumor primer (karsinoid, adenokarsinoma, sarkoma Kaposi, limfoma, dan lain-
lain) atau tumor metastatik (kolon dan dada). Appendiks rentan terhadap obstruksi
karena diameter luminalnya yang kecil dibandingkan dengan panjangnya.
Obstruksi lumen proksimal appendiks menyebabkan peningkatan tekanan di
bagian distal karena sekresi mukus yang berkelanjutan dan produksi gas oleh

18
bakteri di dalam lumen. Dengan distensi apendiks yang progresif, drainase vena
menjadi terganggu mengakibatkan iskemia mukosa. Dengan obstruksi lebih
lanjut, iskemia akan meliputi ke seluruh bagian, yang akhirnya menyebabkan
perforasi. Appendiks merupakan struktur berupa kantong yang keluar dari sekum,
flora di dalam appendiks mirip dengan yang ditemukan di dalam usus besar.
Infeksi yang terkait dengan appendisitis harus dianggap polimikrobial, dan
cakupan antibiotik harus mencakup agen yang mengatasi keberadaan bakteri gram
negatif dan anaerob seperti Escherichia coli, Bacteroides fragilis, enterococci,
Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella pneumoniae, dan lain-lain. Pertumbuhan
bakteri yang berlebihan di dalam appendiks dihasilkan dari stasis bakteri di distal
dari obstruksi. Selama mekanisme perkembangan penyakit ini, akan terjadi
proliferasi bakteri. Biasanya, appendiks berfungsi sebagai reservoir untuk
mikrobiota E. coli dan Bacteroides sp., namun dalam keadaan terjadinya
peradangan, bakteri tersebut menyerang dinding appendikular dan kemudian
menghasilkan eksudat neutrofilik, aliran neutrofil menyebabkan reaksi
fibrinopurulen pada permukaan serosa, serta iritasi peritoneum parietal yang
berdekatan. Setelah peradangan dan nekrosis terjadi, appendiks berisiko
mengalami perforasi, yang mengarah pada pembentukan abses lokal atau
peritonitis difus.
Bila semua proses tersebut lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak ke arah appendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut
appendikuler infiltrat. Appendikuler infiltrat merupakan tahap patologi
appendisitis yang dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding
appendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan
tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup appendiks dengan
omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periappendikular.
Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami
perforasi. Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi
membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah.

19
Suatu saat, organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami
eksaserbasi akut.19-22
3.2.7 Manifestasi Klinis
Nyeri perut adalah gejala yang paling sering terjadi pada pasien, meskipun
gejala lain seperti anoreksia, mual, konstipasi atau diare dan demam juga
ditemukan pada pasien appendisitis. Nyeri biasanya dimulai di periumbilikal dan
epigastrium, dan kemudian bermigrasi ke kuadran kanan bawah namun, meskipun
dianggap sebagai gejala klasik, nyeri migrasi hanya terjadi pada 50 hingga 60%
pasien dengan appendisitis akut. Munculnya mual dan muntah terjadi setelah
nyeri, dan demam biasanya bermanifestasi sekitar enam jam setelah gambaran
klinis umum. Ini sangat bervariasi dari orang ke orang, yang dalam beberapa
kasus disebabkan oleh lokasi ujung usus buntu. Misalnya, appendiks yang terletak
di anterior menghasilkan nyeri yang nyata dan terlokalisasi di kuadran kanan
bawah, sedangkan appendiks retro-cecal dapat menyebabkan nyeri perut tumpul
atau nyeri di daerah lumbal bawah. Demikian juga, karena iritasi yang dihasilkan
oleh usus buntu, gejala lain seperti urgensi kencing, disuria atau gejala dubur
seperti tenesmus atau diare dapat muncul.
Pemeriksaan fisik pasien ini harus dimulai dengan pengukuran tanda-tanda
vital. Suhu tubuh lebih besar dari 38oC, takikardia dan dalam beberapa kasus,
takipnea dapat ditemukan. Tanda-tanda klinis awal appendisitis seringkali tidak
spesifik. Namun, seiring dengan perkembangan peradangan, keterlibatan
peritoneum parietal menyebabkan nyeri tekan di kuadran kanan bawah yang dapat
ditimbulkan pada pemeriksaan fisik juga rasa sakit dapat diperburuk oleh gerakan
atau batuk.
Lokalisasi maksimum nyeri di perut hampir selalu sesuai dengan titik
McBurney, yang terletak dua pertiga jarak dari pusar pada garis yang ditarik
darinya ke tulang belakang iliaka anterior superior kanan. Pasien akan sensitif dan
akan menunjukkan tanda-tanda iritasi peritoneum dengan pertahanan otot lokal
(hanya terjadi jika ada peritonitis). Pemeriksaan rektal dan/atau vagina dapat
menyebabkan nyeri pada pasien dengan apendisitis terlokalisir panggul, oleh
karena itu ada atau tidak adanya tidak mengesampingkan patologi appendikular,

20
dan penggunaan rutinnya dalam eksplorasi pasien ini masih kontroversial. Tanda-
tanda klinis yang berbeda telah dijelaskan dalam pemeriksaan fisik untuk
memudahkan diagnosis. Perlu disebutkan bahwa mereka dilaporkan hanya pada
40% pasien dengan radang usus buntu, sehingga ketidak hadiran mereka tidak
mengesampingkan diagnosis. Ini termasuk Blumberg (nyeri akibat dekompresi
mendadak di fossa iliaka kanan), Rovsing (palpasi di fossa iliaka kiri
memunculkan nyeri alih di fossa kanan), tanda psoas (nyeri di fossa iliaka kanan
dari ekstensi pinggul kanan ), tanda obturator (nyeri pada fossa iliaka kanan
setelah fleksi dan rotasi pinggul kanan). 19,20,22
3.2.8 Diagnosis
Diagnosis appendisitis akut seringkali ditegakkan didasarkan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan
radiologi.24
1. Anamnesis
Appendisitis biasanya ditandai dengan nyeri periumbilikal dan difus yang
akhirnya terlokalisasi pada kuadran kanan bawah (sensitivitas, 81%; spesifisitas,
53%). Appendisitis juga dapat disertai dengan gejala gastrointestinal seperti mual
(sensitivitas, 58%; spesifisitas, 36%), muntah (sensitivitas, 51%; spesifisitas,
45%), dan anoreksia (sensitivitas, 68%; spesifisitas, 36%)24

Bila appendiks terletak retrosekal retroperitoneal, tanda nyeri perut kanan


bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal karena
apendiks terlindung oleh sekum. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau
nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang
dari dorsal.25

Radang pada appendiks yang terletak di rongga pelvis dapat menimbulkan


gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristalsis meningkat
dan pengosongan rektum menjadi lebih cepat serta berulang. Jika appendiks tadi
menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing akibat
rangsangan appendiks terhadap dinding kandung kemih.25

2. Pemeriksaan Fisik

21
Pada awal gejala, suhu tubuh dan denyut nadi mungkin normal atau sedikit
meningkat. Perubahan yang lebih besar dapat menunjukkan bahwa komplikasi
telah terjadi. Temuan fisik ditentukan oleh adanya peradangan peritoneum dan
dipengaruhi oleh apakah organ telah ruptur saat pasien pertama kali diperiksa.
Pasien dengan appendisitis biasanya bergerak perlahan dan lebih suka berbaring
terlentang. Pada inspeksi perut, tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung
sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut
kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses periappendikuler.24,25

Gambar 6. Gejala dan tanda appendisitis akut. (1) perasaan kurang enak, nyeri, dan mual, (2)
nyeri tekan, nyeri lepas, dan defans muskuler setempat di titik McBurney, (3) tanda Rovsing dan
Blumberg.25

Pada palpasi, didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan pada
atau dekat titik McBurney, bisa disertai nyeri lepas. Defans muskuler
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan
bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah, akan
dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada
appendisitis retrosekal atau retroileal, diperlukan palpasi dalam untuk menentukan
adanya rasa nyeri. Pada appendikuler infiltrat dapat teraba massa dan nyeri tekan
pada massa tersebut.25
Karena terjadi pergeseran sekum ke kraniolaterodorsal oleh uterus, keluhan
nyeri pada appendisitis sewaktu hamil trimester Il dan III akan bergeser ke kanan

22
sampai ke pinggang kanan. Tanda pada kehamilan trimester I tidak berbeda
dengan pada orang tidak hamil karena itu perlu dibedakan apakah keluhan nyeri
berasal dari uterus atau appendiks. Bila penderita miring ke kiri, nyeri akan
berpindah sesuai dengan pergeseran uterus, terbukti proses bukan berasal dari
appendiks.25
Peristalsis usus sering normal tetapi juga dapat hilang akibat adanya ileus
paralitik pada peritonitis generalisata yang disebabkan oleh appendisitis perforata.
Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi dapat dicapai
dengan jari telunjuk, misalnya pada appendisitis pelvika.25
Pada appendisitis pelvika, tanda perut sering meragukan maka, kunci
diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Pemeriksaan uji
psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk
mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas
lewat hiperekstensi sendi pangggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan,
kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di otot
psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan
untuk memeriksa apakah appendiks yang meradang bersentuhan dengan otot
obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada
appendisitis pelvika.25
3. Pemeriksaan Penunjang
Leukositosis ringan sering didapatkan pada pasien dengan appendisitis
akut tanpa komplikasi dan biasanya disertai dengan meningkatnya sel-sel
polimorfonuklear. Jumlah sel darah putih >18.000 sel/mm3 meningkatkan
kemungkinan terjadi appendiks perforasi dengan atau tanpa abses. Hitung jenis
leukosit umumnya terdapat pergeseran ke kiri (shift to the left). Peningkatan
konsentrasi protein C-reaktif (CRP) merupakan indikator kuat dari appendisitis,
terutama untuk appendisitis dengan komplikasi. Urinalisis dapat berguna untuk
menyingkirkan diagnosis banding infeksi saluran kemih.24
Sistem Skoring Klinis

23
Diagnosis klinis appendisitis adalah perkiraan subjektif dari kemungkinan
appendisitis berdasarkan beberapa variabel yang secara individual merupakan
diskriminator yang lemah, namun apabila digunakan bersama memiliki nilai
prediksi yang tinggi. Alvarado Score adalah sistem penilaian yang paling luas.
Skor Alvarado merupakan penilaian klinis untuk mendiagnosis appendisitis yang
didasarkan atas tiga gejala, tiga tanda, dan dua temuan laboratorium sederhana
yang sering didapatkan pada appendisitis akut. Skor ini terdiri dari 10 poin dengan
akronim MANTRELS.24,26

Tabel 2. Skor Alvarado

Berdasarkan sistem skoring ini, pasien yang dicurigai menderita


appendisitis akut dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:26

1) Skor 7-10 (emergency surgery group): Semua penderita dengan skor ini
disiapkan untuk operasi appendektomi.
2) Skor 5-6 (observation group): Semua penderita dengan skor ini dirawat inap
dan dilakukan observasi selama 24 jam dengan evaluasi secara berulang
terhadap data klinis dan skoring. Jika kondisi pasien membaik yang

24
ditunjukkan dengan penurunan skor, penderita dapat dipulangkan dengan
catatan harus kembali bila gejala menetap atau memburuk.

3) Skor 1-4 (discharge home group): Penderita pada kelompok ini setelah
mendapat pengobatan secara simtomatis dapat dipulangkan dengan catatan
harus segera kembali bila gejala menetap atau memburuk.
Ultrasonografi
Ultrasonografi telah disarankan sebagai modalitas diagnostik utama yang
lebih aman untuk appendisitis, dengan CT scan digunakan sekunder ketika
ultrasonogram negatif atau tidak meyakinkan. Appendiks yang sehat biasanya
tidak dapat dilihat dengan ultrasonografi.

Gambar 7. Sonogram transabdominal potongan sagital menunjukkan terdapat appendiks yang


meradang akut dengan struktur tubular tidak dapat dimampatkan, kurang peristaltik, dan
berdiameter lebih dari 6 mm, serta terdapat tepi tipis cairan periappendiceal.27

25
Gambar 8. Sonogram transabdominal potongan melintang menunjukkan penampakan seperti
target karena dinding yang menebal dan kumpulan cairan disekitarnya.27

Pada pasien anak, pembaruan kebijakan klinis American College of


Emergency Physicians (ACEP) 2010 merekomendasikan penggunaan
ultrasonografi untuk konfirmasi, tetapi tidak untuk menyingkirkan diagnosis
appendisitis akut.27
CT Scan
Computed tomography (CT) scanning dengan media kontras oral atau
enema Gastrografin rektal telah menjadi studi pencitraan yang paling penting
dalam evaluasi pasien dengan presentasi appendisitis atipikal. Kontras intravena
biasanya tidak diperlukan. CT scan dapat digunakan untuk mendeteksi
appendisitis akut dengan lokasi atipikal, termasuk kanalis inguinalis atau
femoralis, subhepatik, retrosekal, garis tengah abdomen intraperitoneal serta sisi
kiri di situs inversus atau pasien malrotasi usus.27

Gambar 9. CT scan menunjukkan appendiks yang membesar dengan dinding yang menebal, yang
tidak terisi dengan zat kontras kolon, terletak berdekatan dengan otot psoas kanan.27

3.2.9 Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-
satunya pilihan yang baik adalah appendektomi. Namun pada kasus appendikuler
infiltrat tidak diperlukan tindakan pembedahan karena jika dilakukan akan lebih
sulit daripada appendisitis akut, risiko perdarahan lebih banyak. Terapi pada
appendikuler infiltrat cukup terapi konservatif berupa diet lunak bubur saring dan
antibiotik parenteral dengan kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan

26
anaerob. Terapi biasanya bisa diberikan selama 8-12 minggu dan dianggap
tenang, Biasanya pada hari ke 5-7 setelah diberikan terapi, massa mulai mengecil
dan terlokalisir.25
Appendikuler infiltrat dianggap tenang apabila pada anamnesia penderita
sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen, pemeriksaan fisik sudah tidak
ada demam dan tanda-tanda appendisitis, lalu massa sudah mengecil atau
menghilang, lalu pada pemeriksaan laboratorium bisa dilihat LED kurang dari 20
dan leukosit normal. Pembedahan hanya dilakukan segera bila dalam perawatan
terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum lalu tidak ada tanda-tanda
perbaikan klinis.25

3.2.10 Komplikasi
Jika kondisi appendisitis tidak segera ditatalaksana dengan baik, maka
dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut22,23 :
1. Perforasi
Perforasi dapat muncul karena keterlambatan intervensi pada appendisitis
akut. Perforasi disertai dengan rasa nyeri dengan intensitas yang meningkat dan
demam yang lebih tinggi dibandingkan dengan appendisitis akut. Perforasi pada
appendisitis akut biasanya tidak dalam 12 jam pertama setelah munculnya gejala.
Perforasi pada wanita muda meningkatkan risiko infertilitas tuba sekitar empat
kali lipat.
2. Peritonitis
Peritonitis difus terjadi akibat adanya perforasi ke dalam rongga peritoneum.
Peningkatan nyeri tekan dan defans muskular, distensi abdomen, dan ileus
adinamik dapat ditemukan pada pasien.
3. Abses Apendiks
Presentasi klinis terdiri dari temuan biasa pada appendisitis, dan
ditemukannya massa pada perut kuadran kanan bawah. USG atau CT scan harus
dilakukan, jika ditemukan abses maka perlu dilakukan tindakan aspirasi perkutan,
Ketika abses baru ditemui saat pembedahan maka pada umumnya appendektomi
harus tetap dilanjutkan. Jika abses yang ditemukan besar sehingga diseksi abses
akan menyebabkan komplikasi maka sebaiknya dilakukan drainase.

27
4. Pylephlebitis
Pylephlebitis adalah tromboflebitis supuratif dari sistem vena portal. Pasien
biasanya bermanifestasi klinis demam tinggi, menggigil, ikterus ringan, dan,
kemudian muncul abses hepatik namun jarang terjadi, yang mempengaruhi
kurang dari 1% pasien. Pembedahan segera dan terapi antibiotik diindikasikan.
5. Komplikasi paska operasi
Abses paska operasi, hematoma, dan komplikasi luka (surgical site infection)
adalah semua komplikasi yang dapat dilihat setelah appendektomi.

3.2.11 Prognosis
Jika didiagnosis dan diobati lebih awal, diharapkan terjadi perbaikan
dalam waktu 24 hingga 48 jam paska operasi appendektomi. Kasus yang muncul
dengan abses lanjut, sepsis, dan peritonitis mungkin memiliki perjalanan penyakit
yang lebih lama dan rumit, dan memerlukan pembedahan tambahan atau
intervensi lain. Angka kematian pada appendisitis akut sederhana adalah sekitar
0,1% dan tidak berubah secara signifikan sejak tahun 1930. Kemajuan dalam
perawatan pra operasi dan pasca operasi telah mengurangi angka kematian dari
perforasi menjadi sekitar 5%. Meskipun demikian, infeksi pasca operasi masih
terjadi pada 30% kasus appendisitis gangren atau perforasi. Pada wanita usia
muda memiliki risiko infertilitas kalau infeksi menyebabkan perforasi tuba namun
hal ini dapat dihindari dengan appendektomi dini. Namun dengan tatalaksana
yang tepat baik itu appendisitis akut maupun appendikuler infiltrat dapat terjadi
perbaikan seperti sedia kala.22,23

28
BAB IV
ANALISIS KASUS

Tn. HS usia 28 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah.
Awalnya pasien mengeluh nyeri seperti ditusuk-tusuk pada ulu hati sejak + 5 hari
SMRS kemudian berpindah ke perut kanan bawah. Berdasarkan anamnesis,
keluhan yang dirasakan pasien sangat khas yang bisa mengarah kepada diagnosis
appendisitis. Appendisitis biasanya ditandai dengan nyeri periumbilikal dan difus
yang akhirnya terlokalisasi pada kuadran kanan bawah. Appendisitis diakibatkan
oleh adanya obstruksi lumen apendiks vermicularis akibat fecalith, hiperplasia
limfoid, benda asing, parasit yang kemudian diikuti oleh infeksi. Bila bagian
proksimal appendiks tersumbat akan menyebabkan peningkatan tekanan di bagian
distal karena sekresi mukus yang berkelanjutan dan produksi gas oleh bakteri di
dalam lumen. Peningkatan tekanan ini akan mngakibatkan gangguan aliran limfe
sehingga terjadi oedem dan luka pada mukosa. Tekanan yang meninggi, oedem
dan inflamasi akan menyebabkan obstruksi aliran vena dan arteri sehingga
mengakibatkan iskemia mukosa. distensi appendiks yang terjadi akan
mengakibatkan perangsangan serabut saraf visceral, hal ini dipresentasikan
sebagai nyeri periumbilical.
Adanya distensi yang semakin bertambah juga akan menyebabkan mual
dan muntah setelah nyeri timbul. Pada lumen appendiks juga terdapat bakteri
sehingga dalam keadaan tersebut cocok bagi bakteri invasi ke dinding
appendikular dan membelah diri kemudian menghasilkan eksudat neutrofilik,
aliran neutrofil menyebabkan reaksi fibrinopurulen pada permukaan serosa, serta
iritasi peritoneum parietal yang berdekatan kemudian, akan mengaktifkan serabut
saraf somatik akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi
appendiks, khususnya di titik Mc Burney. Pada pasien juga ditemukan adanya
nyeri tekan di titik Mc Burney. Hal ini menjadikan keluhan nyeri periumbilikal
yang berpindah menjadi nyeri pada kuadran kanan bawah sebagai gejala khas
appendisitis.

29
Usia dan jenis kelamin Tn. HS juga menjadi faktor resiko terkena
appendisitis. Appendisitis paling sering terjadi pada usia remaja dan dewasa
antara 20-30 tahun. Appendisitis jarang terjadi pada balita dan dewasa akhir. Hal
ini terjadi karena bentuk appendiks pada balita dan dewasa berbeda. Usia Tn. HS
yaitu 28 tahun, pada usia 20-30 tahun cenderung melakukan banyak kegiatan dan
mengabaikan nutrisi makanan sehingga hal ini dapat memudahkan terjadinya
appendisitis. Hal ini dikarenakan bentuk appendiks pada dewasa menyempit di
bagian proksimal dan lebar di bagian distal yang dapat menyebabkan terjadinya
obstruksi di bagian proksimal dan menyebabkan tekanan intraluminal meningkat
dan memicu proses translokasi kuman dan meningkatkan jumlah kuman dalam
lumen appendiks yang memudahkan invasi bakteri dari dalam lumen menembus
mukosa dan terjadinya ulserasi mukosa menyebabkan terjadinya appendisitis.
Jenis kelamin laki-laki juga menjadi faktor resiko terjadinya appendisitis, pada
laki-laki cenderung mengalami inflamasi pada appendiks karena adanya
perubahan anatomis. Dinding appendiks banyak mengandung jaringan limfoid
dan pada laki-laki proporsi jaringan limfoid ditemukan lebih banyak daripada
perempuan.
Anamnesis lain menunjukkan bahwa pasien memiliki demam dan nafsu
makan menurun. Pemeriksaan fisik lain pada palpasi didapatkan nyeri tekan Mc
Burney, Rovsing sign, dan teraba massa di kuadran kanan  5 cm, irregular.
Demam jelas merupakan tanda adanya inflamasi pada appendiks. Rovsing sign
terjadi karena ketika melakukan penekanan pada perut kiri bawah maka akan
terasa sakit pada bagian perut kanan bawah, hal ini terjadi akibat penekanan yang
dilakukan membuat organ dalam perut ikut terdorong ke kanan dan menekan
appendik. Teraba massa di kuadran kanan menunjukkan bahwa omentum dan
usus sudah bergerak ke arah appendiks untuk menutup atau melapisi appendiks
sebagai usaha membatasi proses radang sehingga terbentuklah massa
periappendikuler yang disebut sebagai appendikuler infiltrat. Hal ini yang
membedakan tingkatan nyeri pada penderita appendisitis akut dan appendikuler
infiltrat. Penderita appendisitis akut akan merasakan nyeri yang luar biasa pada
perut kanan bawah dan akan sulit dilakukan anamnesis sedangkan penderita

30
appendikuler infiltrate lebih bisa mentolerir rasa sakit karena mekanisme
pertahanan tubuhnya dalam membentuk massa periappendikuler.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya leukositosis hal ini
jelas menunjukkan adanya proses infeksi yang sedang terjadi. Namun pada hasil
diffcount tidak didapatkan hasil shift to the left yang menjadi hasil lab khas pada
appendisitis akut. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium yang didapat, bisa disimpulkan alvarado score pada pasien ini yaitu
7 yang artinya sangat mengarah kepada appendisits. Walapun nilai 7
menunjukkan appendisitis yang harus dioperasi cito, harus disesuaikan lagi
dengan klinis yang ditemukan, karena pada kasus ini klinis mengarah kepada
diagnosis appendikuler infiltrat yang tidak memerlukan operasi.

Alvarado Score Pasien


Temuan Poin Kasus
Migratory right iliac fossa pain 1 1
Anorexia 1 1
Nausea or vomiting 1 0
Tenderness: right iliac fossa 2 2
Rebound tenderness right iliac fossa 1 1
Fever ≥ 36,3 C 1 0
Leukocytosis ≥ 10 x 109 2 2
Shift to the left neutrophils 1 0
Total 10 7
Tabel 3. Skor Alvarado Pasien

Pemeriksaan foto polos abdomen menunjukkan tidak tampak tanda ileus


dan tidak tampak batu pada hemi abdomen kanan kiri maupun pada cavum pelvis
yang tervisualisasi. Foto polos abdomen dilakukan karena pasien ada keluhan sulit
BAB, dengan pemeriksaan tersebut bisa dilihat penyebabnya, apakah ada
gambaran ileus atau tidak. Pemeriksaan USG abdomen didapatkan target sign
pada regio McBurney (diameter + 0,71 cm) disertai fluid collection disekitarnya,
tampak vasculurasisasi perilesi (cenderung gambaran appendisitis perforasi).
Hasil USG abdomen menguatkan diagnosis bahwa pasien menderita appendikuler
infiltrat.

31
Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini yaitu tatalaksana konservatif
karena pada appendikuler infiltrat tidak diperlukan tindakan pembedahan.
Tindakan pembedahan tidak diperlukan karena risiko perdarahan yang lebih
banyak akibat dari appendiks yang tertutup atau terbungkus oleh omentum,
adneksa dan usus. Tatalaksana konservatif dapat diberikan diet lunak bubur saring
dan kombinasi antibiotik kuman aerob dan anaerob. Pada pasien ini diberikan diet
cair dan bubur lalu untuk antibiotik sudah diberikan ceftriaxone yang merupakan
antibiotic broadspectrum golongan cephalosporin generasi ke-3. Metronidazole
juga diberikan pada pasien ini sebagai antibiotic bakteri anaerob. Terapi biasa
diberikan selama 8-12 minggu dan dianggap tenang, biasanya pada hari ke 5-7
setelah diberikan terapi, massa mulai mengecil dan terlokalisir.
Pasien dirawat selama 6 hari, pada hari ke 3 sudah bisa terlihat adanya
perbaikan klinis, terutama pada perabaan abdomen didapatkan massa yang
mengecil. Perawatan hari ke 5 pun massa semakin mengecil. Hal ini menunjukkan
bahwa pada appendikuler infiltrat cukup dilakukan tatalaksana konservatif dan
sesuai dengan teori, pada hari ke 5-7 setelah diberikan terapi, massa mulai
mengecil dan terlokalisir. Prognosis pada kasus ini yaitu bisa sembuh total namun
tidak menutup kemungkinan bisa terjadi pengulangan keluhan.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Dixon F, Singh A. Acute appendicitis. Surg United Kingdom.


2020.Nimah K, Nurwahyuni A. Evaluasi implementasi clinical
pathway apendisitis akut terhadap tagihan pasien di rumah sakit X.
2017.
2. Nimah K, Nurwahyuni A. Evaluasi implementasi clinical pathway
apendisitis akut terhadap tagihan pasien di rumah sakit X. 2017.
3. Departemen Kesehatan RI. Data dan informasi kesehatan penyakit
tidak menular. Buletin Departemen Kesehatan RI. 2012.
4. Sulung N, Rani D. S. Teknik rileksasi terhadap intensitas nyeri pada
pasien post appendiktomi. 2017;2:397.
5. Hidayat E. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Appendicitis yang
di Rawat di Rumah Sakit [Thesis]. Politeknik Kesehatan Samarinda.
2020
6. Radwan, G. M. Penyakit Hati, Lambung, Usus, dan Ambeien (Cetakan
1). Yogyakarta: Nuha Medika. 2017
7. Shrestha, S. Anatomy of appendix and appendicitis.
http://medchrome.com/basicscience/anatomy/anatomy-appendix-
appendicitis/. Accesed in Juni,23,2013.
8. Faiz,O, balckburn,S, Moffat,D. Anatomy At A Glance. Edisi Ketiga.
England : Oxford;2011. H 36. urDocter. Anatomy and physiology of
Appendix. Http://healthycase.com/articles/surgery/19-
anatomy-and- physiology-of-appendix. Accessed in November,
23,2021.

9. Kevin P. Lally, Charles S. Cox JR. Dan Richard J. Andrassy. Appendix


on Chapter 47 in Sabiston Textbook of Surgery 17ed ebook. New york:
Saunders; 2004.h 1381-1400
10. Addiss,D G. The epidemiology of appendicitis and appendectomy in

33
the United States. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2239906.
Accessed in November,23,2021.

11. Brunicardi C, Anderson DK, Billiar T, Duhn DL, Hunter JG, Mathews
JB, Pallock

12. Jong, S. & de. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2010. Jakarta: EGC.
13. Mansjoer, A. Kapita Selekta Kedokteran (ketiga jil). 2011. Jakarta.

14. Arifuddin A, Salmawati L, Prasetyo A. Faktor resiko kejadian


apendisitis di bagian rawat inap RSU Anutapura Palu 2017. J Kesehat
Masy. 2017;8(1):26–33.
15. Atikasari H, Makhmudi A. Hubungan kebiasaan makan dan status gizi
terhadap kejadian apendisitis pada anak di Yogyakarta. Sari Pediatr.
2016;17(2):95.
16. Cristie JO, Wibowo AA, Noor MS, et al. Analisis Faktor Risiko yang
Berhubungan dengan Kejadian Apendisitis Akut. Homeostasis.
2021;4(1):59-68.

17. Fitriana S, Yusran H, Darwis. Faktor risiko kejadian apendisitis di RS


umum daerah Kab.Pangkep. STIKES Nani Hasanuddin. 2013;(2):302-
1721.
18. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 3. Jakarta;
EGC; 2011.
19. Khan MS, Chaudhry MBH, Shahzad N, Khan MS, Wajid M, Memon
WA, et al. The Characteristics of Appendicoliths Associated with
Acute Appendicitis. Cureus. 2019;11(8):1–7.
20. Sabiston DC, Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL.
Sabiston textbook of surgery: the biological basis of modern surgical
practice. Philadelphia: Wb Saunders; 2019.

21. Schwartz SI. Principles of surgery. McGraw-Hill, Health Professions


Division; 2019.
22. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi revisi. EGC.

34
Jakarta. 2017.
23. Jones MW, Lopez RA, Deppen JG. Appendicitis. StatPearls [Internet].
2021 Feb 8.

24. Doherty GM, Way LW, editors. Current diagnosis & treatment:
surgery. New York, NY, USA:: Lange Medical Books/McGraw-Hill;
2020.
25. Brunicardi, F., Andersen, D., Billiar, T., Dunn, D., Hunter, J.,
Matthews, J., & Pollock, R. Schwartz's Principles of Surgery. Edisi ke-
10. McGraw-hill; 2015.
26. Sjamsuhidajat, R. W. D. J., & De Jong, W. Buku-ajar ilmu bedah
Sjamsuhidajat-De Jong: Sistem Organ dan Tindak Bedahnya (2), Ed. 4,
Vol.3. Penerbit Kedokteram ECG; 2016.

27. Özsoy, Z., & Yenidoğan, E. Evaluation of the Alvarado Scoring


System in the Management of Acute Appendicitis. Turkish journal of
surgery, 2017; 33(3): 200–204.
28. Craig, S & Brenner, B.E. Appendicitis. Medscape. 2018.

35
36

Anda mungkin juga menyukai