APPENDISITIS AKUT
Oleh :
dr. Azmi Nadia Farah Iffah
1.1 IDENTITAS
Nama : Nn NRS
Usia : 22 tahun
Alamat : Bentangan, Wonosari, Klaten
Tanggal Berobat : 20 Maret 2023
1.2 ANAMNESIS
1.2.1 KELUHAN UTAMA
Nyeri perut kanan bawah sejak satu hari sebelumnya.
1.2.2 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
• Nyeri awalnya dirasakan di sekitar pusar 3 hari sebelumnya kemudian pindah ke perut
kanan bawah, nyeri lebih kuat dan menetap. Nyeri dirasakan terus menerus dan
bertambah jika pasien melipat lututnya.
• Demam dirasakan pasien sejak 2 hari sebelumnya. Mual dirasakan sejak 1 hari yang
lalu. Muntah disangkal. Penurunan nafsu makan ada sejak 1 minggu sebelumnya. Diare
disangkal.
• Tidak ada riwayat nyeri menjalar dari pinggang kanan ke kemaluan.
• Pasien tidak memiliki riwayat BAB berdarah, flatus ada. Nyeri BAK tidak ada, tidak
ada nyeri riwayat nyeri suprapubis maupun keluhan BAK lainnya.
1.2.3 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
• Riwayat alergi obat disangkal.
• Riwayat operasi sebelumnya disangkal
1.2.4 RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan serupa dengan pasien.
1.3 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Komposmentis
Tekanan darah : 124/81 mmHg
Nadi : 103 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 37.6C
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Leher : tidak teraba pembesaran kgb dan tiroid
Thorak : S1S2 reg (+), SDV +/+ Rh -/- Wh -/-
Abdomen :
• Inspeksi : distensi (+), darm contour (-), darm steifung (-)
• Palpasi : supel (+) nyeri tekan dan nyeri lepas titik mc burney
➢ Rovsing sign (+)
➢ Psoas sign (+)
➢ Obturator sign (+)
➢ Dunphy sign (+)
➢ Nyeri ketok CVA (-)
• Perkusi : timpani
• Auskultasi: bising usus (+)
Ekstremitas : akral hangat +/+, oedema -/-
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : Darah Rutin
Hasil Rujukan
Haemoglobin 13,5 12-16
Leukosit 14.100 5000-10.000
Trombosit 225.000 150.000-450.000
Eritrosit 4,78 4,0-5,0
Hematokrit 40,3 35-45
1.5 DIAGNOSIS
Appendisitis akut
1.6 TATALAKSANA
Terapi Non Farmakologi :
- Edukasi terkait kondisi pasien
- Edukasi terkait kemungkinan tindakan yang akan dilakukan
- Rujuk pasien ke poli Bedah RSU PKU Muhammadiyah Delanggu
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI
Apendiks (umbai cacing) merupakan organ digestif yang terletak pada rongga abdomen
bagian kanan bawah. Apendiks berbentuk tabung dengan panjang ±10 cm dan berpangkal
di sekum. Lumen apendiks sempit dibagian proksimal dan melebar di distal. Sedangkan
pada bayi, apendiks berbentuk kerucut yaitu melebar di proksimal dan menyempit di distal.
Apendiks memiliki beberapa kemungkinan posisi, yang didasarkan pada letak terhadap
struktur-struktur sekitarnya yaitu retrosekal, retroileal, ileosekal dan di rongga pelvis1,2.
Apendiks dipersarafi oleh persarafan otonom parasimpatis dari nervus vagus dan
persarafan simpatis dari nervus torakalis X. Persarafan ini yang menyebabkan radang pada
apendiks akan dirasakan periumbilikal. Vaskularisasi apendiks adalah oleh arteri
apendikularis yang tidak memiliki kolateral2.
Fungsi apendiks dalam tubuh manusia sampai saat ini masih belum sepenuhnya
dipahami. Salah satu yang dikatakan penting adalah terjadi produksi imunglobulin oleh Gut
Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang menghasilkan IgA. GALT ini sama dengan
lapisan pada sepanjang saluran cerna lainnya. Karena jumlahnya yang sedikit dan
minimal,pengangkatan apendiks dikatakan tidak mempengaruhi sistem perhanan mukosa
saluran cerna. Apendiks juga menghasilkan lendir sebanyak 1-2 mL setiap harinya. Aliran
ini akan dialirkan ke sekum dan berperan untuk menjaga kestabilan mukosa apendiks.
Apendisitis seringkali terjadi karena gangguan aliran cairan apendiks ini2.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi dari negara berkembang. Namun,
dalam 3-4 dasawarsa terakhir angka kejadian menurun secara bermakna. Hal ini diduga
disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.3
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun
jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun.
Insiden pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun,
insiden lelaki lebih tinggi. Massa apendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima
tahun atau lebih; daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup
panjang dan tebal untuk membungkus proses radang. Apendisitis jarang terjadi pada bayi,
menjadi semakin sering pada masa anak-anak, dan insiden tertinggi terjadi pada umur
belasan hingga 20tahunan.4
2.3 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Etiologi terjadinya apendisitis akut adalah adanya infeksi oleh bakteri yang didukung
oleh faktor pencetus antara lain:
a. Hiperplasia jaringan limfa
b. Masa fekalith
c. Striktur Fibrosis
d. Penekanan sekitar misalnya tumor
Apendisitis akut secara umum terjadi karena proses inflamasi pada apendiks akibat
infeksi. Penyebab utama terjadinya infeksi adalah karena terdapat obstruksi, terutama pada
apendiks vermiformix.
1. Stadium Kataralis
Obstruksi yang terjadi mengganggu fisiologi dari aliran mukus apendiks, akumulasi
mucus akhirnya meningkatkan tekanan intralumen. Peningkatan tekanan intralumen ini
akan menyebabkan hambatan aliran limfe, sehingga terjadi edem mukosa, submukosa,
serosa hingga peritoneum visceral. Akumulasi mukus baik bagi perkembangan bakteri
aerob dan anaerob saluran cerna. Mukus lalu berubah menjadi pus oleh bakteri. Edema
dinding apendiks menyebabkan diapedesis kuman ke submukosa dan terjadilah ulkus.
Resolusi dapat terjadi pada stadium ini, bisa karena spontan maupun dengan antibiotic
2. Stadium Purulent
Udema dan pus menyebabkan penurunan aliran vena dan arteri, sehingga terjadi
iskemia. Selama iskemia bakteri menyebar menembus dinding menyebabkan
apendisitis akut. Pada stadium ini peradangan telah mengenai seluruh dinding apendiks
dan terjadi perangsangan peritoneum parietal lokal.
3. Stadium Gangrenosa
Aliran arteri sangat terganggu mengakibatkan nekrosis/ gangren dengan bakteri yang
menembus lumen usus ke rongga peritoneum. Peradangan ini akan menyebabkan masa
lokal yang terdiri dari omentum dan usus membatasi penyebaran bakteri dan
melokalisir radangnya. Masa ini disebut apendisitis infiltrate, bila masa lokal itu berisi
pus maka disebut apendisitis abses. Tidak jarang terjadi resolusi.
4. Stadium perforasi
Penyebaran bakteri ke rongga peritoneal atau peritonitis merupakan dampak yang
ditakutkan pada apendisitis akut. Peritonitis ini dapat timbul oleh:
- Perforasi dari lumen apendiks ke rongga peritoneum melalui dinding yang gangren
- Atau delayed-perforasi dari apendisitis abses7.
Pada sebagian kasus, apendisitis dapat melewati fase akut tanpa perlu dilakukannya
operasi. Akan tetapi, nyeri akan seringkali berulang dan menyebabkan eksaserbasi akut
sewaktu-waktu dan dapat langsung berujung pada komplikasi perforasi. Pada anak-anak
dan geriatri, daya tahan tubuh yang rendah dapat meyebabkan sulitnya terbentuk infiltrat
apendisitis sehingga risiko perforasi lebih besar2,5,6. Faktor risiko lain perforasi
diantaranya terapi immunosupresi, diabetes mellitus, fekalit, appendix pelvis, operasi
abdomen sebelumnya.
Pathogenesis Appendisitis
Psoas sign
• Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki kanan
pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa memposisikan
sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam posisi endorotasi
kemudian eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri di hipogastrium saat
eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi Appendix,
abscess lokal, iritasi M. Obturatorius oleh Appendicitis letak retrocaecal, atau
adanya hernia obturatoria.
Cara melakukan obturator sign
2.5 DIAGNOSIS
Diagnosis apendisitis bergantung pada penemuan klinis, yaitu dari anamnesis mengenai
gejala-gejala dan pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda-tanda yang khas pada
apendisitis. Anamnesis mengenai gejala nyeri perut beserta perjalanan penyakitnya, gejala
penyerta seperti mual-muntah-anoreksia, dan ada tidaknya gejala gastrointestinal.
Menyingkirkan gejala akut abdomen lainnya juga penting bila apendisitis akut tidak khas.
Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh karena tanda-tanda vital juga sudah
dapat mengarah ke diagnosis apendisitis. Takikardia dan demam sedang merupakan tanda-
tanda yang sering ditemukan. Pada pemeriksaan abdomen dilakukan cermat pada tiap
tahap.. Pada inspeksi, dapat ditemukan bahwa dinding perut terlihat kaku dan kemudian
dikonfirmasi dengan palpasi. Pada palpasi, ditemukan nyeri tekan dan nyeri lepas serta
terdapat tahanan (deffense muscular). Palpasi dilakukan pada beberapa titik diagnostik
apendisitis yaitu titik McBurney, uji Rovsig, dan uji Blomberg. Uji psoas dan uji obturator
juga dapat dilakukan terutama pada kecurigaan apendisitis yang terjadi secara
retrosekal.2,5,6
2.7 TATALAKSANA
Setelah penegakan diagnosis apendisitis dilakukan, tata laksana utama pada apendisitis
adalah Apendektomi. Tata laksana mulai diarahkan untuk persiapan operasi untuk
mengurangi komplikasi pasca-operasi dan meningkatkan keberhasilan operasi.
a. Medikamentosa
Persiapan operasi dilakukan dengan pemberian medikamentosa berupa
analgetik dan antibiotik spektrum luas, dan resusitasi cairan yang adekuat. Pasien
apendisitis seringkali datang dengan kondisi yang tidak stabil karena nyeri hebat
sehingga analgetik perlu diberikan. Antibiotik diberikan untuk profilaksis, dengan
cara diberikan dosis tinggi, 1-3 kali dosis biasanya. Antibiotik yang umum
diberikan adalah cephalosporin generasi 2 / generasi 3 dan Metronidazole. Hal ini
secara ilmiah telah dibuktikan mengurangi terjadinya komplikasi post operasi
seperti infeksi luka dan pembentukan abses intraabdominal.5,6
Pilihan antibiotik lainnya adalah ampicilin-sulbactam, ampicilin-asam
klavulanat, imipenem, aminoglikosida, dan lain sebagainya. Waktu pemberian
antibiotik juga masih diteliti. Ada laporan bahwa pada apendisitis tanpa peritonitis,
dosis tunggal antibiotic preoperative menurunkan infeksi luka postoperasi.14
Akan tetapi beberapa protokol mengajukan apendisitis akut diberikan dalam
waktu 48 jam saja. Apendisitis dengan perforasi memerlukan administrasi
antibiotik 7-10 hari.7
b. Apendektomi
Sampai saat ini, penentuan waktu untuk dilakukannya apendektomi yang
diterapkan adalah segera setelah diagnosis ditegakkan karena merupakan suatu
kasus gawat-darurat. Beberapa penelitian retrospektif yang dilakukan sebenarnya
menemukan operasi yang dilakukan dini (kurang dari 12 jam setelah nyeri
dirasakan) tidak bermakna menurunkan komplikasi post-operasi dibanding yang
dilakukan biasa (12-24 jam). Akan tetapi ditemukan bahwa setiap penundaan 12
jam waktu operasi, terdapat penambahan risiko 5% terjadinya perforasi.14
Teknik yang digunakan dapat berupa, (1) operasi terbuka, dan (2) dengan
Laparoskopi. Operasi terbuka dilakukan dengan :
1. Insisi gridiron, insisi pada titik McBurney yang dilakukan tegak lurus
terhadap garis khayalan antara SIAS dan umbilikus. Di bawah pengaruh
anestesi, dapat dilakukan palpasi untuk menemukan massa yang membesar.
Setelah dilakukan insisi, pemebdahan dilakukan dengan identiifkasi sekum
kemudian dilakukan palpasi ke arah posteromedial untuk menemukan
apendisitis posisi pelvik. Mesoapendiks diligasi dan dipisahkan. Basis
apendiks kemudian dilakukan ligasi dan transeksi.
3. Insisi paramedian kanan bawah, insisi vertikal paralel dengan midline, 2,5
cm di bawah umbilikus sampai dia atas pubis
4. Insisi suprainguinal, insis perluasan dari insisi di titik Mc Burney, insisi ini
dilakukan pada apendiks terletak di retrosekal dan terfiksir. Apendektomi
dengan bantuan laparoskopi mulai umum dilakukan saat ini walaupun
belum ada bukti yang menyatakan bahwa metode ini memberikan hasil
operasi dan pengurangan kejadian komplikasi post-operasi.
Insisi apendektomi
2.8 KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling berbahaya dari apendisitis apabila tidak dilakuka penanganan
segera adalah perforasi. Sebelum terjadinya perforasi, biasanya diawali dengan adanya
masa periapendikuler terlebih dahulu. Masa periapendikuler terjadi apabila gangren
apendiks masih berupa penutupan lekuk usus halus. Sebenarnya pada beberapa kasus masa
ini dapat diremisi oleh tubuh setelah inflamasi akut sudah tidak terjadi. Akan tetapi, risiko
terjadinya abses dan penyebaran pus dapat terjadi sewaktu-waktu sehingga massa
periapendikuler ini adalah target operasi apendiktomi.16
Perforasi merupakan komplikasi yang paling ditakutkan pada apendisitis karena selain
angka morbiditas tinggi, penanganan akan menjadi semakin kompleks. Perforasi
apendisitis dapat menyebabkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan nyeri hebat
seluruh perut, demam tinggi dan kembung pada perut. Bising usus dapat menurun bahkan
menghilang karena ileus paralitik. Pus yang menyebar dapat menjadi abses intraabdomen
yang paling umum dijumpai pada rongga pelvis dan subdiafragma. Tatalaksana yang
dilakukan pada kondisi berat ini adalah laparatomi eksploratif untuk membersihkan pus-
pus yang ada. Sekarang ini sudah dikembangkan teknologi drainase pus dengan laparaskopi
sehingga pembilasan dilakukan lebih mudah.6
1. Syok Sepsis2
Pasien memerlukan penanganan intensif di ICU
2. Abses intraabdominal atau sepsis abdominal persisten.17
Pada tanda-tanda sepsis (pireksia, leukositosis), pemeriksaan harus disertakan
CT dengan kontras luminal (khususnya apabila terdapat anastomosis in-situ). Re-
laparotomi diperlukan apabila terdapat peritonitis generalisata. Drainase
perkutaneus dengan antobiotik pilihan terbaik merupakan terapi pada tempat yang
terlokalisir. Terapi antibiotik disesuaikan dengan kultur yang diambil dari hasil
drainase. Sepsis abdominal mengakibatkan mortalitas sekitar 30-60%. Faktor yang
mempengaruhi tingkat mortalitas adalah :
-
Usia
-
Penyakit kronis
-
Wanita
-
Sepsis pada daerah upper gastrointestinal
-
Kegagalan menyingkirkan sumber sepsis.
3. Adhesi
Dapat menyebabkan obstruksi intestinal atau volvulus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Putz R Pabst R. Sobotta: Atlas Anatomi Manusia. Jilid 2. Jakarta: EGC; 2010.
2. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC;2011. hal
755-64.
3. Hadley, GP. Intra Abdominal Sepsis-Epidemiology, Etiology, and Management. Paed
Surg. Vol 23(6): 357-62. 2014.
4. Rothrock SG, Pagame J. Acute Appendicitis in Children : Emergency Departement
diagnosis and management. Orlando : Departement of Emergency Medicine, Orlando
Regional Medical Centre. 2004. 39-47.
5. Humes DJ, Simpson J. Clinical Review: Acute appendicitis. BMJ. 2007. 333:540-34.
6. Tjandra JJ, Clunie GJA, Kaye AH, Smith JA. Textbook of Surgery. 3rd ed. Blackwell
Publishing; 2006. H. 123-27.
7. Morris PJ, Wood WC. Oxford’s Textbook of Surgery. 2nd ed. Oxford. eBook.
8. Guthrie M, Cagle S. Acute Appendicitis : Efficients Diagnosis and Management.
American Family Physician. 2018(98):25-34
9. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal
Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,
McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222.
10. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery Volume 2.
8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock
RE. New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:1119-34
11. Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed: Norton
JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson RW. New
York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62
12. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition. Ed:Way
LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72
13. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th
edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2004: 1381-93
14. Williams NS, Bulstrode CJK, O’Connell PR. Bailey & Love’s Short Practice of
Surgery. 26th edition. London: Edward Arnold. 2013. p. 1199-1215.
15. Hamami, AH, dkk. Usus Halus Apendiks, kolon, dan anorektum dalam Sjamsuhidrajat
R, De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. EGC : Jakarta. 2010. 755-762.
16. Snyder MJ, Guthrie M, Cagle S. Acute Appendicitis: Efficient Diagnosis and
Management. Am Fam Physician. 2018 Jul 1;98(1):25–33.
17. Rosalyn Carson-De Witt MD, Peritonitis Health Article,
http://www.css/healthlinestyles.v1.01.css