Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN APENDISITIS PADA NY. N DI


RUANGAN AL-QATAR RUMAH SAKIT SEHAT TERPADU DOMPET
DHUAFA

Disusun oleh:

Irena Adibah Surapati

2010701069

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA


2021/2022

BAB I

TINJAUAN TEORITIS

A. KONSEP DASAR TEORI


1. Pengertian
Apendisitis merupakan peradangan apendik vermivormis, dan
merupakan penyebab masalah abdomen yang paling sering (Dermawan &
Rahayuningsih, 2010).
Appendiks adalah ujung seperti jari yang kecil panjangnya kira kira
10 cm 94 inci, melekat pada sektum tepat dibawah katup
ileosektal.Appendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur
kedalam sektum.Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya kecil,
apendiks cenderung menjadi tersumbat dan rentan terhadap infeksi (Ratu
& Adwan, 2013).
Appendiksitis adalah peradangan dari appendiks dan merupakan
penyebab penyakit didaerah perut akut yang paling sering. Penyakit ini
dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi
lebih sering menyerang laki laki usia 10 sampai 30 tahun (Librianty,
2015).
Apendisitis merupakan inflamasi saluran usus yang tersembunyi
dan kecil yang berukuran sekitar 4 inci (10 cm) yang buntu pada sekum.
Apendiks dapat terobstruksi oleh masa feses yang keras, yang akibatnya
akan terjadi inflamasi, infeksi, gangren, dan mungkin perforasi. Apendiks
yang ruptur merupakan gejala serius karena isi usus dapat masuk ke dalam
abdomen dan menyebabkan peritonitis atau abses (Caroline &
Kowalski,2017).

 Klasifikasi
Menurut Mardalena (2017 :150), menjelaskan klasifikasi apendisitis
menjadi dua, yaitu :
1. Appendisitis akut
Peradangan pada apendiks dengan gejala khas yang memberikan tanda
setempat. Gejala apendisistis akut antara lain nyeri samar dan tumpul
yang merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium disekitar
umbilicus. Keluhan ini disertai rasa mual, muntah dan penurunan nafsu
makan.
2. Appendisitis kronis
Diagnosis apendisitis kronis baru bisa ditegakkan jika ditemukan tiga
hal yaitu, pertama, pasien memiliki riwayat nyeri pada kuadran kanan
bawah abdomen selama paling sedikit 3 minggu tanpa alternatif
diagnosis lain. Kedua, setelah dilakukan apendiktomi, gejala yang
dialami pasien akan hilang. Ketiga, secara histopatologik gejala
dibuktikan sebagai akibat dari inflamasi kronis yang aktif atau fibrosis
pada apendiks.

2. Etiologi
Etiologi appendicitis yaitu inflamasi akut pada apendiks :
1. ulserasi pada mukosa oleh parasit E.histolytica
2. obstruksi pada colon oleh fecalit (faeses yang keras)
3. pemberian barium
4. berbagai macam penyakit cacing
5. tumor atau benda asing ( biji bijian )
6. striktur karena fibrosis pada dinding usus
7. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien
appendicitis yaitu : Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
Escherichia coli Viridans streptococci Pseudomonas aeruginosa
Enterococcus Bacteroides fragilis Peptostreptococcus micros
Bilophila species Lactobacillus species.
(Dermawan & Rahayuningsih, 2010).

3. Patofisiologi
Mardalena (2017:149-150), apendisitis umumnya terjadi karena
infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya,diantaranya
adalah obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Kondisi obstruksi akan
meningkatkan tekanan intraluminal dan peningkatan perkembangan bakteri.
Hal lain akan terjadi peningkatan kongesti dan penurunan perfusi pada dinding
apendiks yang berlanjut pada nekrosis dan inflamasi apendiks.
Pada fase ini, pasien akan mengalamai nyeri pada area periumbikal. Dengan
berlanjutnya proses inflamasi, maka pembentukan eksudat akan terjadi pada
permukaan serosa apendiks.
Dengan berlanjutnya proses obstruksi, bakteri akan berproliferasi dan
meningkatkan tekanan intraluminal dan membentuk infiltrat pada mukosa,
dengan manifestasi ketidaknyamanan abdomen. Adanya penurunan perfusi
pada dinding akan menimbulkan iskemia dan nekrosis disertai peningkatan
tekanan intraluminal yang disebut apendistis nekrosis, juga akan beresiko
meningkatkan perforasi dari apendiks (Muttaqin & Sari, 2011:500).
Secara sistematis patofisiologis apendisitis digambarkan dalam pathway
apendisitis seperti pada gambar 2.1.

Gejala utama pada penyakit usus buntu adalah nyeri pada perut. Nyeri ini
disebut kolik abdomen. Rasa nyeri tersebut dapat berawal dari pusar, lalu
bergerak ke bagian kanan bawah perut. Namun, posisi nyeri dapat berbeda-
beda, tergantung usia dan posisi dari usus buntu itu sendiri. Dalam waktu
beberapa jam, rasa nyeri dapat bertambah parah, terutama saat kita bergerak,
menarik napas dalam, batuk, atau bersin. Selain itu, rasa nyeri ini juga bisa
muncul secara mendadak, bahkan saat penderita sedang tidur. Bila radang
usus buntu terjadi saat hamil, rasa nyeri bisa muncul pada perut bagian atas,
karena posisi usus buntu menjadi lebih tinggi saat hamil.
Gejala nyeri perut tersebut dapat disertai gejala lain, di antaranya:
1. Kehilangan nafsu makan
2. Perut kembung
3. Tidak bisa buang gas (kentut)
4. Mual
5. Konstipasi atau diare
6. Demam

4. Tanda dan Gejala


Gejala Apendisitis bervariasi tergantung stadiumnya:
1. Radang usus buntu akut (mendadak)
Pada kondisi ini gejala yang ditimbulkan tubuh akan panas tinggi, mual-
muntah, dan nyeri perut kanan bawah. Namun tidak semua orang akan
menunjukkan gejala seperti ini, bisa juga hanya bersifat meriang atau mual-
muntah saja.

2. Radang usus buntu kronik


Pada stadium ini gejala yang timbul sedikit mirip dengan sakit maag di mana
terjadi nyeri samar (tumpul) di daerah sekitar pusar dan terkadang demam
yang hilang timbul. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang
muntah, kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan
tanda-tanda yang khas pada apendisitis akut. Penyebaran rasa nyeri akan
bergantung pada letak usus buntu itu sendiri terhadap usus besar. Apabila
ujung usus buntu menyentuh saluran kencing ureter, nyerinya akan sama
dengan sensasi nyeri kolik saluran kemih dan mungkin ada gangguan
berkemih. Sementara bila posisi usus buntunya ke belakang, rasa nyeri muncul
pada pemeriksaan tusuk dubur atau tusuk vagina. Pada posisi usus buntu yang
lain, rasa nyeri mungkin tidak begitu spesifik
5. Komplikasi
1. Perforasi apendiks jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman
untuk dilakukan dalam masa tersebut. Tanda–tanda perforasi meliputi
meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah
dengan tanda peritonitis umum / abses yang terlokalisasi, ileus, demam,
malaise, dan leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan
peritonitis umum / pembentukan abses telah terjadi sejak pasien
pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti.
2. Peritonitis–abses. Bila terjadi peritonitis umum terpai spesifik yang
dilakukan adalah operasi untuk menutup asak perforasi. Bila terbentuk
abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang
cenderung menggelembung kearah rektum/vagina.
3. Dehidrasi
4. Sepsis
5. Elektrolit darah tidak seimbang
6. Pneumoni
6. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak
dengan appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita
appendicitis berkisar antara 12.000-18.000/mm3. Peningkatan
persentase jumlah neutrofil (shift to the left) dengan jumlah normal
leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah leukosit
yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis
2. Pemeriksaan urinalisis
membantu untuk membedakan appendicitis dengan pyelonephritis
atau batu ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan pyuria
dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di dekat ureter
3. Ultrasonografi
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk
menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala
appendicitis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas
USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%. Gambaran USG
yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah appendix
dengan diameter anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu
appendicolith, adanya cairan atau massa periappendix
4. False positif
dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil
dari salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif juga
dapat muncul karena letak appendix yang retrocaecal atau rongga usus
yang terisi banyak udara yang menghalangi appendix
5. CT-Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis appendicitis akut jika diagnosisnya tidak
jelas.sensitifitas dan spesifisitasnya kira-kira 95-98%. Pasien-pasien
yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya abscess,
maka CT-scan dapadigunakan sebagai pilihan test diagnostik.
Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakka jika appendix
dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding pada appendix
yang terinfeksi akan mengecil sehingga memberi gambaran “halo”
7. Penatalaksanaan medis
Menurut (Wijaya & Putri, 2013) penatalaksanaan medis pada
appendisitis meliputi :
1) Sebelum operasi :
1. Obsevasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala
appendisitis seringkali belum jelas, dalam keadaan ini
observasi ketat perlu dilaksanakan. Klien diminta melakukan
tirah baring dan dipuasakan. Pemeriksaan abdomen dan rektal
serta pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulang
secara periodik, foto abdomen dan toraks tegak dilakukan
untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Pada
kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi
nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya
keluhan.
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksidan
abses intra abdominal luka operasi pada klien
apendiktomi.Antibiotik diberikan sebelum, saat, hingga 24 jam
pasca operasi dan melalui cara pemberian intravena (IV)
(Sulikhah, 2014).
2) Operasi
Tindakan operasi yang dapat dilakukan adalah apendiktomi.
Apendiktomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara
membuang apendiks (Wiwik Sofiah, 2017). Indikasi dilakukannya
16 operasi apendiktomi yaitu bila diagnosa appendisitis telah
ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Pada keadaan yang
meragukan diperlukan pemeriksan penunjang USG atau CT scan.
Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal
dengan insisi pada abdomen bawah. Anastesi diberikan untuk
memblokir sensasi rasa sakit. Efek dari anastesi yang sering terjadi
pada klien post operasi adalah termanipulasinya organ abdomen
sehingga terjadi distensi abdomen dan menurunnya peristaltik usus.
Hal ini mengakibatkan belum munculnya peristaltik usus (Mulya,
2015) .
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Kiik, 2018) dalam 4
jam pasca operasi klien sudah boleh melakukan mobilisasi
bertahap, dan dalam 8 jam pertama setelah perlakuan mobilisasi
dini pada klien pasca operasi abdomen terdapat peningkatan
peristaltik ususbahkan peristaltik usus dapat kembali normal.
Kembalinya fungsi peristaltik usus akan memungkinkan pemberian
diet, membantu pemenuhan kebutuhan eliminasi serta
mempercepat proses penyembuhan.
Operasi apendiktomi dapat dilakukan dengan 2 teknik, yaitu
operasi apendiktomi terbuka dan laparaskopi apendiktomi.
Apendiktomi terbuka dilakukan dengan cara membuat sebuah
sayatan dengan panjang sekitar 2 – 4 inci pada kuadran kanan
bawah abdomen dan apendiks dipotong melalui lapisan lemak dan
otot apendiks. Kemudian apendiks diangkat atau dipisahkan dari
usus (Dewi, 2015).
Sedangkan pada laparaskopi apendiktomi dilakukan dengan
membuat 3 sayatan kecil di perut sebagai akses, lubang pertama
dibuat dibawah pusar, fungsinya untuk memasukkan kamera super
mini yang terhubung ke monitor ke dalam tubuh, melalui lubang ini
pula sumber cahaya dimasukkan. Sementara dua lubang lain di
posisikan sebagai jalan masuk peralatan bedah seperti penjepit atau
gunting. Ahli bedah mengamati organ abdominal secara visual dan
mengidentifikasi apendiks. Apendiks dipisahkan dari semua
jaringan yang melekat, kemudian apendiks diangkat dan
dikeluarkan melalui salah satu sayatan (Hidayatullah, 2014).
Jika apendiks mengalami perforasi bebas, maka abdomen dicuci
dengan garam fisiologis dan antibiotika.Tindakan pembedahan
dapat menimbulkan luka insisi sehingga pada klien post operatif
apendiktomi dapat terjadi resiko infeksi luka operasi.
3) Pasca Operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan di dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernapasan.
Klien dibaringkan dalam posisi terlentang. Klien dikatakan baik
bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan. Puasa diteruskan sampai
fungsi usus kembali normal

DAFTAR PUSTAKA
Nurarif, Amin H., Kusuma H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Jilid 3. Jogjakarta : Mediaction.
B. KONSEP TEORI ASKEP

A. Pengkajian secara umum


Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat mengidentifikasi,
mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan pasien, baik
fisik, mental, sosial dan lingkungan menurut Effendy (1995, dalam Dermawan,
2012).
Pengkajian medis
Pengkajian keperawatan dalah proses sistematis dari pengumpulan, verifikasi dan
komunikasi data tentang kien. Tujuan dari pengkajian adalah menetapkan dasar
data tentang, kebutuhan masalah kesehatan, tujuan, nilai, dan gaya hidup yang
dilakukan klien (Potter & Perry, 2005). Saat mengkaji nyeri, perawat harus
sensitif terhadap tingkat kenyamanan klien. Apabila nyeri bersifat akut atau parah,
ada kemungkinan klien dapat memberi penjelasan yang terinci tentang
pengalaman nyerinya secara keseluruhan. Selama episode nyeri akut, tindakan
perawat yang utama adalah mengkaji perasaan klien, menetapkan respon fisiologi
klien terhadap nyeri dan lokasi nyeri, tingkat keparahan, dan kualitas nyeri. Untuk
klien yang mengalami nyeri kronik, cara pengkajian yang paling baik adalah
dengan memfokuskan pengkajian pada dimensi perilaku, afektif, kognitif,
perilaku dari pengalaman nyeri dan pada riwayat nyeri tersebut atau konteks nyeri
tersebut (NIH, 1986; McGuire, 1992). Pengkajian nyeri yang dilakukan meliputi
pengkajian data subjektif dan data objektif.
1. Data Subjektif
a. Intensitas (skala) nyeri Karakteristik nyeri yang paling subjektif pada nyeri
adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien sering diminta untuk
mendeskripsikan nyeri sebagai nyeri ringan, sedang, atau parah. Namun, makna
istilah tersebut berbeda bagi klien dan perawat.
b. Karakteristik nyeri Laporan tunggal klien tentang nyeri yang dirasakan
merupakan indikator tunggal yang dapat dipercaya tentang keberadaan dan
intensitas nyeri dan apapun yang berhubungan dengan ketidaknyamanan (NIH,
1986). Pengkajian karakteristik nyeri antara lain; awitan dan durasi (kapan,
berapa, lama, terjadi pada waktu yang sama atau tidak, kekambuhan nyeri), lokasi
nyeri, irama (terus-menerus, hilang timbul, periode bertambah dan berkurangnya
intensitas atau keberadaan dari nyeri), dan kualitas nyeri (seperti ditusuk, terbakar,
sakit, nyeri seperti ditekan). Universitas Sumatera Utara 12 c. Faktor yang
meredakan nyeri, misalnya gerakan, kurang bergerak, pengerahan tenaga,
istirahat, obat-obatan bebas dan apa yang dipercaya pasien dapat membaantu
mengatasi nyerinya.
d. Efek nyeri terhadap klien Apabila klien mengalami nyeri maka perawat perlu
mengkaji kata-kata yang diucapkan, respon verbal (meringis, menangis), gerakan
wajah dan tubuh. (meringis sambil mengguling ke kiri, melindungi area nyeri),
interaksi sosial klien, dan aktivitas klien. Pada aktivitas sehari-hari nyeri
menyebabkan klien kurang mampu berpartisipasi dalam aktivitas rutin. Seperti
pada kehidupan sehari-hari, misalnya tidur, nafsu makan, Konsentari, interaksi
dengan orang lain, gerakan fisik, bekerja, dan aktivitas-aktivitas santai.
e. Kekhawatiran klien tentang nyeri. Dapat meliputi berbagai masalah yang luas,
seperti beban ekonomi, prognosis, pengaruh terhadap peran dan perubahan citra
diri (Smeltzer & Bare, 2001).
2. Data Objektif Data objektif didapatkan dengan mengobservasi respon pasien
terhadap nyeri. Menurut Taylor (1997), respon pasien terhadap nyeri berbeda-
berbeda, dapat dikategorikan sebagai:
a. Respon perilaku Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup pertanyaan
verbal, perilaku vokal, ekspresi wajah, gerakan tubuh, kontak fisik dengan orang
lain, atau perubahan respon terhadap lingkungan. Klien yang mengalami nyeri
akan menangis, merapatkan gigi, mengepalkan tangan, melompat dari satu sisi ke
sisi lain, memegang area nyeri, gerakan terbatas, menyeringai, mengerang,
pernyataan verbal dengan kata-kata. Perilaku ini beragam dari waktu ke waktu
(Berger, 1992).
b. Respon fisiologik Respon fisiologik anatara lain seperti meningkatnya
pernafasan dan denyut nadi, meningkatnya tekanan darah, meningkatnya
ketegangan otot, dilatasi pupil berkeringat wajah pucat, mual dan muntah (Berger,
Universitas Sumatera Utara 13 1992). Respon fisiologik ini dapat digunakan
sebagai pengganti untuk laporan verbal dari nyeri pada klien tidak sadar (Smeltzer
& Bare, 2001).
c. Respon Afektif Respon afektif seperti cemas, marah, tidak nafsu makan,
kelelahan, tidak punya harapan, dan depresi juga terjadi pada klien yang
mengalami nyeri. Cemas sering disosiasikan sebagai nyeri akut dan frekuensi dari
nyeri tersebut dapat diantisipasi. Sebagai depresi sering diasosiasikan sebagai
nyeri kronis (Taylor, 1997).
3. Diagnosa Keperawatan

4. Intervensi keperawatan

Anda mungkin juga menyukai