Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI PADA Nn.DS


DENGAN TINDAKAN APPENDIKTOMI
MENGGUNAKAN TEHNIK ANESTESI REGIONAL
DI RUMAH SAKIT Dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA
PURBALINGGA
PADA TANGGAL 22 MEI 2023

Disusn Oleh:

Nama : Rismawati

NIM : 190106126

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(Septian Mixrova Sebayang, S.Kep.,Ns.,M.Kep) (Arif Subiyanto, S.ST)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA
2023
A. Konsep Dasar Teori
1. Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering (Saputro, 2018). Apandisitis yaitu
peradangan pada usus buntu yang merupakan penyebab paling umum dari sakit
perut akut. Penyakit ini sering terjadi pada pria antara usia 10 sampai 30 tahun,
meskipun dapat menyerang semua usia, baik pria maupun wanita (Wedjo, 2019).
Apendisitis yaitu kondisi dimana usus buntu terinfeksi kasus ringan dapat
disembuhkan tanpa pengobatan, tetapi seringkali memerlukan pengangkatan usus
buntu yang terinfeksi dan laparatomi (Hidayat, 2020).

2. Etiologi
Apendisitis dapat disebabkan oleh beberapa, diantaranya menurut (S.Bakhri, 2019)
meliputi :
a. Faktor Sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%)
yang diikuti oleh infeksi Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia
jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing,
1% diantaranya oleh sumbatan oleh parasit dan cacing.
b. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis
akut. Pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara
Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob lebih dari 10%.
c. Kecenderungan Familiar
Hal ini dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama
dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekalith dan
mengakibatkan obstruksi lumen.
d. Faktor Ras dan Diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan seharihari.
Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko
lebih tinggi dari Negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat
sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan
mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya
memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan redah serat, memiliki resiko
apendisitis yang lebih tinggi.

3. Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis menurut Nurafif & Kusuma (2018) terbagi menjadi 3 yaitu:
a. Apendisitis akut, radang mendadak di umbai cacing yang memberikan tanda,
disertai maupun tidak disertai rangsangan peritoneum lokal.
b. Apendisitis rekurens yaitu jika ada riwayat nyeri berulang di perut bagian kanan
bawah yang mendorong dilakukannya apendiktomi. Kelainan ini terjadi bila
serangan apendisitis akut pertama sembuh spontan.
c. Apendisitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan bawah lebih
dari dua minggu (sumbatan di lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus
lama di mukosa), dan keluhan hilang setelah apendiktomi.

4. Patofisiologi
Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan
oleh fses yang terlibat atau fekalit. Sesuai dengan pengamatan epidemiologi bahwa
apendisitis berhubungan dengan asupan makanan yang rendah serat. Pada stadium
awal apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa. Inflamasi ini kemudian
berlanjut ke submukosa dan melibatkan peritoneal. Cairan eksudat fibrinopurulenta
terbentuk pada permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal
yang bersebelahan. Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas
ke dalam lumen yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai
apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi
nekrosis ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang terjadi dibungkus oleh omentum,
abses local akan terjadi (Burkit, Quick & Reed, 2007 dalam Lutfiana 2018).

5. Tanda dan Gejala


Keluhan apendektomi dimulai dari nyeri diperiumbilikus dan muntah dan
rangsangan peritonium viseral. Dalam waktu 2-12 jam seiring dengan iritasi
peritoneal, kerusakan integritas kulit, nyeri perut akan berpindah kekuadran kanan
bawah yang menetap 7 dan diperberat dengan batuk dan berjalan. Nyeri akan
semakin progeresif dan dengan pemeriksaan akan menunjukkan satu titik dengan
nyeri maksimal. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah anoreksia, malaise
demam tek terlalu tinggi konstipasi diare, mual, dan muntah (Hanifah & Evi, 2019).
Menurut Baughman & Hackley (2016), Tanda dan gejala apendisitis meliputi :
a. Nyeri kuadran bawah biasanya disertai dengan demam derajat rendah, mual dan
sering kali muntah.
b. Pada titik McBurney (terletak dipertengahan antara umbilicus dan spina anterior
dari ilium) nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku dari bagian
bawah otot rektus kanan.
c. Nyeri alih mungkin saja ada, letak apendiks mengakibatkan sejumah nyeri
tekan, spasme otot, dan konstipasi atau diare kambuhan.
d. Tanda rovsing (dapat diketahui dengan mempalpasi kuadran kanan bawah, yang
menyebabkan nyeri pada kuadran kiri bawah).
e. Jika terjadi rupture apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih melebar, terjadi
distensi abdomen akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk.

6. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada apendisitis menurut Smeltzer dan Bare (2019) yaitu:
a. Perforasi
Perforasi berupa massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum, dan letak
usus halus. Perforasi terjadi 70% pada kasus dengan peningkatan suhu 39,50C
tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut dan leukositosis meningkat 13 akibat
perforasi dan pembentukan abses.
b. Peritonitis
Peritonitis yaitu infeksi pada sistem vena porta ditandai dengan panas tinggi
390C – 400C menggigil dan ikterus merupakan penyakit yang jarang.
c. Abses
Peradangan apendisitis yang berisi pus disebut dengan abses. Teraba masa lunak
di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Masa ini mula-mula berupa
flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Apendisitis
gangren atau mikroperforasi yang ditutupi oleh omentum inilah yang
menyebabkan abses.
7. Pemeriksaan Diagnosis/Penunjang
Menurut (Saputro, 2018), pemeriksaan penunjang apendektomi meliputi sebagai
berikut :
a. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi : akan tampak adanya pembengkakan (swelling) rongga perut
dimana dinding perut tampak mengencang (distensi).
2) Palpasi : didaerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa nyeri dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) yang mana
merupakan kunci dari diagnosis apendiksitis akut.
3) Dengan tindakan tungkai bawah kanan dan paha diteku kuat/tungkai di
angkat tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah (proas sign).
4) Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah bila
pemeriksaan dubur dan atau vagina menimbulkan rasa nyeri juga.
5) Suhu dubur yang lebih tinggi dari suhu ketiak, lebih menunjang lagi adanya
radang usus buntu.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) SDP: Leukositosis diatas 12.000/mm3, Neutrofil meningkat sampai 75%,
2) Urinalisis: Normal, tetapi eritrosit/leukosit mungkin ada.
3) Foto abdomen: Dapat menyatakan adanya pergeseran, material apendiks
(fekalit), ileus terlokalisir Kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hingga
10.000- 18.000/mm3. Jika peningkatan lebih dari itu, maka kemungkinan
apendiks sudah mengalami perforasi (pecah).
c. Pemeriksaan Radiologi
1) Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit.
2) Ultrasonografi (USG).
3) CT Scan
4) Kasus kronik dapat dilakukan rontgen foto abdomen, USG abdomen dan
apendikogram.

8. Penatalaksanaan Medis
Adapun pengobatan/penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk radang usus
buntu yaitu :
a. Terapi Konservatif
Terapi ini diterapkan untuk pasien yang tidak dapat menerima layanan bedah
berupa antibiotik. Mengkonsumsi antibiotik dapat membantu mencegah infeksi.
b. Operasi
Sudah jelas telah terdeteksi apendisitis maka tindakan yang dilakukan yaitu
operasi pengangkatan. Operasi pengangkatan usus buntu disebut appendiktomi
(Wedjo, 2019).

B. Pertimbangan Anestesi
1. Definisi
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika
dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit,
dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal
bagi pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2018).
2. Jenis Anestesi
Anestesi regional merupakan suatu metode yang lebih bersifat sebagai
analgesik. Anestesi regional hanya menghilangkan nyeri tetapi pasien tetap dalam
keadaan sadar. Oleh sebab itu, teknik ini tidak memenuhi trias anestesi karena hanya
menghilangkan persepsi nyeri saja (Pramono, 2018).
3. Teknik Anestesi
a. Teknik terbagi menjadi 3 bagian
1) Anestesi Spinal
Penyuntikan anestesi lokal ke dalam ruang subaraknoid disegmen
lumbal 3-4 atau lumbal 4-5. Untuk mencapai ruang subaraknoid, jarum
spinal menembus kulit subkutan lalu menembus ligamentum
supraspinosum, ligamen interspinosum, ligamentum flavum, ruang
epidural, durameter, dan ruang subaraknoid. Tanda dicapainya ruang
subaraknoid adalah dengan keluarnya liquor cerebrospinalis (LCS).
Menurut Latief (2018) anestesi spinal menjadi pilihan untuk operasi
abdomen bawah dan ekstermitas bawah. Teknik anestesi ini popular karena
sederhana, efektif, aman terhadap sistem saraf, konsentrasi obat dalam
plasma yang tidak berbahaya serta mempunyai analgesi yang kuat namun
pasien masih tetap sadar, relaksasi otot cukup, perdarahan luka operasi lebih
sedikit, aspirasi dengan lambung penuh lebih kecil, pemulihan saluran cerna
lebih cepat (Longdong, 2021).
Anestesi spinal memiliki komplikasi. Beberapa komplikasi yaitu
hipotensi terjadi 20-70% pasien, nyeri punggung 25% pasien, kegagalan
tindakan spinal 3-17% pasien dan post dural punture headache di Indonesia
insidensinya sekitar 10% pada pasien paska spinal anestesi (Tato, 2019).
2) Anestesi Epidural
Anestesi yang menempatkan obat di ruang epidural (peridural,
ekstradural). Ruang ini berada di antara ligamentum flavum dan durameter.
Bagian atas berbatasan dengan foramen magnum di dasar tengkorak dan
bagian bawah dengan selaput sakrokoksigeal. Kedalaman ruang rata-rata 5
mm dan di bagian posterior kedalaman maksimal terletak pada daerah
lumbal. Anestetik lokal di ruang epidural bekerja langsung pada saraf spinal
yang terletak di bagian lateral. Onset kerja anestesi epidural lebih lambat
dibanding anestesi spinal. Kualitas blokade sensoris dan motoriknya lebih
lemah (Olawin & Das 2021).
3) Anestesi Kaudal
Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena
kanalis kaudalis adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat
ditempatkan di ruang kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutup
oleh ligamentum sakrokoksigeal. Ruang kaudal berisi saraf sakral, pleksus
venosus, felum terminale, dan kantong dura. Teknik ini biasanya dilakukan
pada pasien anakanak karena bentuk anatominya yang lebih mudah
ditemukan dibandingkan daerah sekitar perineum dan anorektal, misalnya
hemoroid dan fistula perianal (Olawin & Das 2021).
b. Indikasi dan Kontraindikasi Anestesi Spinal

Indikasi dan kontraindikasi anestesi spinal (Rehatta et al., 2019) yaitu:

1) Indikasi anestesi spinal yaitu pasien dengan pembedahan abdominal bawah,

inguinal, urogenital, rektal dan ekstremitas bawah. Blok spinal dapat

digunakan pada pembedahan atas dan vertebra lumbal, teknik ini jarang

digunakan pada pembedahan tersebut karena level blok yang adekuat sulit

dicapai.
2) Kontraindikasi anestesi spinal yaitu penolakan pasien, infeksi pada lokasi

penyuntikan, peningkatan tekanan intrakranial, hypovolemia berat, serta

koagulapati atau gangguan hemostatis.

4. Rumatan Anestesi
a. Ondansentron 4 mg (IV)
b. Bupivacain 12,5 mg (IV)
c. Petidin 50 mg (IV)
d. Petidin 50 mg (IM)
e. Diazepam 5 mg (Drip)
f. Ketamin 50 mg (IV)
g. Metromidazol 500 mg (Infus)
h. Koloid 500 ml (Infus)
i. Asering 1000 ml (Infus)
j. Paracetamol + ibuprofen 800 mg (Drip)
k. Larce 1000 mg (Drip)
l. Oksigen 2l/menit

5. Resiko
a. Komplikasi Anestesi Spinal
Komplikasi anestesi spinal dibagi menjadi 2 (Rehatta et al., 2019) yaitu:

1) Komplikasi mayor adalah alergi obat anestesi lokal, transient neurologik

sindrom, cedera saraf, perdarahan subarakhnoid, hematom subarakhnoid,

infeksi, anestesi spinal total, gagal napas, sindrom kaudal equina, dan

disfungsi neurologis lain.

2) Komplikasi minor berupa hipotensi, post operative nausea and vomiting

(PONV), nyeri kepala pasca pungsi, penurunan pendengaran, kecemasan,

menggigil, nyeri punggung, dan retensi urin.


C. Web Of Caution
D. Tinjauan Teori ASKAN Pembedahan Khusus
1. Pengkajian
Nama : Ny. DS
Umur : 22 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan

1) Keluhan Utama :
Nyeri perut kanan bawah
a. Saat Masuk Rumah Sakit
Pasien datang ke rumah sakit tanggal 21-05-2023 dengan keluhan nyeri diperut
bagian kanan bawah sudah 3 bulan lebih dengan disertai rasa mual dan muntah.
Kemudian disarankan untuk operasi elektif pada tanggal 22-05-2023 jam
08:00 WIB. Pasien disarankan untuk puasa 8 jam sebelum operasi.
b. Saat Pengkajian
Pasien mengatakan nyeri perut kanan bawah. Pada saat pengkajian didapatkan
hasil tekanan darah 124/82 mmHg dan Nadi 106x/menit, RR:20x/menit,
SPO2:99%, Suhu:36,7 derajat celcius. Pasien dilakukan tindakan regional
anestesi (Spinal).
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien akan dilakukan tindakan pembedahan appendiktomi
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
2. Masalah Kesehatan Anestesi

1) Pre anestesi :

 Nyeri akut berhubungaan dengan agen injuri biologis


 Ansietas berhubungan dengan tindakan pembedahan dan anestesi.

2) Intra anestesi :

 Resiko gangguan pola nafas berhubungan dengan obat anestesi.


3) Pasca anestesi:

 Mual muntah berhubungan dengan efek obat anestesi.

3. Rencana Intervensi

a.Nyeri akut berhubungan dengan Agen injuri biologis

1) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi diharapkan nyeri


pasien berkurang
2) Kriteria :
(1) Pasien lebih rileks
(2) skala nyeri <6 (nyeri sedang)
3) Rencana Intervensi :
Mandiri
(1) Monitor TTV (TD, Nadi, SPO2, RR)
(2) Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam
(3) Kaji skala nyeri (1-10).

Kolaborasi

(1) Kolaborasi dengan dokter pemberian petidin 50 mg iv dan 50 mg im.

b. Ansietas berhubungan dengan tindakan operasi dan anestesi

1) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi diharapkan ansietas


(cemas) teratasi
2) Kriteria :
(1) Pasien tampak tenang dan tidak gelisa
(2) TD batas normal:100-120/70-80mmHg, N : 60-100x/menit.
3) Rencana Intervensi :
Mandiri :
(1) Jelaskan tentang prosedur pembedahan dan anestesi.
(2) Ciptakan suasana tenang.
(3) Bantu pasien mengeksperikan perasaan.
(4) Berikan dukungan pada pasien.
(5) Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam

Kolaborasi :
(1) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian premedikasi midazolam 5 mg
drip
c. Resiko gangguan pola nafas berhubungan dengan obat anestesi
1) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi diharapkan nafas
pasien normal.
2) Kriteria :
(1) SPO2 : 95-100%
3) Rencana Intervensi :
Mandiri :
(1) Monitor TTV (SPO2)
(2) Monitoring jalan nafas pasien baik

Kolaborasi :

(1) Kolaborasi dengan dokter pemberian oksigen 2l/menit.

c. Mual muntah berhubungan dengan efek agen anestesi.

1) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan kepenataan anestesi diharapkan mual pasien


berkurang

2) Kriteria :

(1) Mual pasien berkurang

3) Rencana Intrervensi:

Mandiri :
(1) Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam
(2) Posisikan pasien semi fowler
(3) Monitor tekanan darah dan nadi pasien
Kolaborasi :
(1) Kolaborasi dengan dokter pemberian ondansentron 4 mg
4. Evaluasi

DX 1

S: pasien mengatakan nyeri pasien berkurang

O: pasien tampak lebih rileks


 TD: 100/72 mmHg
 Nadi : 85x/menit)
 RR : 20x/menit
 SPO2 : 99%
 S : 36,5 derajat celcius
P : Pada saat aktivitas
Q : seperti tertusuk
R : Daerah perut bawah
S : Skala nyeri 5
T : Terus menerus
A: Masalah teratasi sebagian
P: Lanjutkan intervensi

DX 2

S: pasien mengatakan tidak khawatir lagi menghadapi tindakan operasi dan


mengatakan siap untuk di operasi.

O: pasien tampak rileks, tenang dan tidak gelisah

 TD: 100/72 mmHg


 Nadi : 85x/menit)
 RR : 20x/menit
 SPO2 : 99%
 S : 36,5 derajat celcius
A: Masalah teratasi

P: Pertahankan kondisi pasien

DX 3

S : pasien dalam efek sedasi dan hipnotik

O : Pola nafas pasien normal dan spontan

 SPO2: 100%
 TD: 110/80 mmHg
 Nadi : 85x/menit).
 RR : 20x/menit
 S : 36,7 derajat celcius
 SPO2 : 100%
A : Masalah Teratasi

P : Pertahankan kondisi pasien


DX 4
S : Pasien mengatakan sudah tidak mual
O : Pasien sudah tidak mual lagi
 TD :120/90 mmHg
 Nadi : 85x/menit
 RR : 20x/menit
 S : 36.5 derajat celcius
 SPO2 : 99%
A : Masalah teratasi

P : Pertahankan kondisi pasien


DAFTAR PUSTAKA

Hanifah & Evi. (2019). „Asuhan Keperawatan Pada Klien Pascaoperasi apendektomi
erasi Apendiktomi Dengan Masalah Nyeri Akut di Ruang Melati RSUD Bungil
Pasuruan‟. Karya Tulis Ilmiah, Program Studi D-III Keperawatan. Jombang :
Sekolah Tinggi Ilmi Kesehatan Insan Cendekia Medika Jombang.
Hidayat (2020). Karakteristik lokasi perforasi apendiks dan usia pada pasien yang
didiagnosis apendisitis akut perforasi di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta,
Skripsi, Fakultas Kedokteran, UPN Veteran Jakarta.
Olawin, A. M., & Das, J. M. (2021). Spinal anesthesia. The American Journal of
Surgery, 16(2), 334–335. https://doi.org/10.1016/S0002-9610(32)90939-8
Pramono, Adi. (2018). ANESTESI (p. 35). Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Rehatta, N. M., Hanindito, E., Tantri, A., S. Redjeki, I., Soenarto, R. ., Yulianti Bisri,
D., Takdir, A. ., & Lestari, M. I. (2019). Anestesiologi dan Terapi Intensif.pdf
(S. Fajarianto, suprianto, mulyono, riyan pradana (ed.); pertama). PT Gramedeia
Pustaka Utama Anggota IKAPI.
Wedjo, Musa Aditio. (2019). „Asuhan Keperawatan Pada An. R.L Dengan Apendisitis
Dalam Pemenuhan Kebutuhan Aman Nyaman Di Wilayah RSUD Prof. Dr. W
Z Johannes Kupang‟. Karya Tulis Ilmiah, Prodi D-III Keperawatan. Kupang :
Politeknik Kesehatan Kemenkes Kupang.

Anda mungkin juga menyukai