Anda di halaman 1dari 16

A.

PENGERTIAN
Appendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering. Appendisitis merupakan
peradangan yang berbahaya apabila tidak segera ditangani sehingga dapat
mengakibatkan rusaknya rongga usus (Ariana, 2018). Apendisitis yaitu peradangan
pada usus buntu yang merupakan penyebab paling umum dari sakit perut akut.
Penyakit ini sering terjadi pada pria antara usia 10 sampai 30 tahun, meskipun
dapat menyerang semua usia, baik pada pria maupun wanita (Ariana, 2016).
Appendisitis merupakan peradangan usus buntu yang tersembunyi dan kecil
sekitar 10 cm yang menumpuk di dalam sekkum. Apendisitis tersumbat oleh
kerasnya tumpukan feses yang mengakibatkan terjadinya inflamasi, infeksi dan
kemungkinan pendarahan. Pecahnya apendisistis adalah kondisi yang patut
diwaspadai karena feses dapat naik ke rongga perut sehingga mengakibatkan
peritonitis dan juga abses (Caroline & Kowalski, 2017 dalam (Ariana, 2018)).
Menurut Sjamsuhidayat & Wim (2004) yang disitasi oleh (Aurilia, 2016)
menjelaskan bahwa tindakan bedah yang paling tepat dan baik adalah apendektomi
dan dilakukan laparotomy jika sudah terjadi perforasi. Appendiktomi adalah
tindakan pembedahan yang dilakukan untuk memotong jaringan apendiks yang
mengalami peradangan. Laparatomi merupakan salah satu pembedahan mayor,
dengan melakukan penyayatan pada lapisan-lapisan dinding abdomen untuk
mendapatkan bagian organ yang mengalami masalah (hemoragi, perforasi, kanker
dan obstruksi) sehingga menimbulkan rasa nyeri akut yang sering muncul setelah
tindakan tersebut.
Laparatomi dilakukan pada kasus-kasus apendisitis perforasi, hernia
inguinalis, kanker lambung, kanker colon dan rectum, obstruksi usus, inflamasi
usus kronis, kolestisitis dan peritonitis (Aurilia, 2016). Komplikasi pada pasien
post laparatomi adalah nyeri yang hebat, perdarahan, bahkan kematian. Post
operasi laparatomi yang tidak mendapatkan perawatan maksimal dapat
memperlambat penyembuhan dan menimbulkan komplikasi. Menurut Black &
Hawks (2014) dalam (Aurilia, 2016) menjelaskan bahwa apabila nyeri
berkepanjangan pada pasien maka klien akan mengeluh perasaan lemah, gangguan
tidur, dan keterbatasan fungsi. Akan ditunjukkan suasana hati depresif menjadi
frustasi dengan pengobatan medis.
B. ETIOLOGI
Appendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Sumbatan lumen apendiks
adalah factor yang diajukan sebagai factor pencetus disamping hyperplasia jaringan
limfe, fekalit, tumor apendiks serta cacing askaris dapat menyebabkan sumbatan.
Penyebab lain yang dapat menimbulkan appendicitis adalah erosi mukosa apendiks
karena adanya parasite E. histolytica (Hidayat, 2020).
Apendisitis biasanya mampu mengakibatkan radang usus buntu, dan
tekanan di dalam akan meningkat, sehingga merusak suplai darah, menyebabkan
peradangan, edema, nekrosisi dan perforasi. Apendisitis juga bisa dikarenakan
keadaan fibrosa pada dinding usus,oklusi eksternal usus akibat adesi, infeksi
organisme yersinia (Ariana, 2018).
Menurut S. Bakhri (2015) yang disitasi oleh (Ariana, 2016) menyebutkan
bahwa etiologic dari appendicitis, antara lain :
1. Hiperplasi jaringan limfoid
Hiperplasia limfatik umumnya menyebabkan radang usus buntu pada anak-
anak. Kondisi ini biasanya diidentifikasi dengan pemeriksaan lebih lanjut di
laboratorium patologi. Pembesaran jaringan limfoid akibat perubahan struktur
dinding apendiks dapat menyebabkan inflamasi. Perubahan ini umumnya
terkait dengan penyakit radang usus (IBD), infeksi saluran cerna maupun
Chorn’s disease.
2. Fekalit
Adanya timbunan tinja yang keras menjadi penyebab utama seseorang dapat
mengalami radang usus buntu. Keadaan statis atau diam terus menerus akan
menyebabkan banyak kuman berkembang biak. Hal inilah yang menginduksi
peradangan di sekitar struktur dan sekum. Pada umumnya apendisitis akibat
penutupan tinja sering terjadi pada anak-anak dan orang tua. Hal ini
dipengaruhi oleh gaya hidup yang sangat sedikit mengkonsumsi makanan yang
mengandung serta atau membatasi aktivitas fisik.
3. Tumor Apendiks
Tumor langka ini terbentuk di bagian bawah saluran pencernaan yang dapat
menyebabkan peradangan pada usus buntu. Tumor lebih cenderung
menyebabkan peradangan yang mengganggu struktur sekum yang sedang
tumbuh.
4. Infeksi Parasit
Infeksi parasit seperti cacing gelang (Ascaris lumbricoides), amuba
(Entamoeba histolica), cacing benang (Strongiloides stercoralis), cacing kremi
(enterobiasis) dan Blastocystis hominis merupakan penyebab peradangan pada
usus buntu. Biasanya infeksi parasit ditularkan dari hewan maupun cara hidup
yang tidak sehat, seperti kurang menjaga kebersihan diri. Adanya infeksi parasit
menyebabkan perlukaan atau erosi di lapisan usus buntu, sehingga peradangan
dapat terjadi dengan mudah.
5. Makanan Rendah Serat
Seseorang yang mengkonsumsi sedikit makanan berserat akan mengalami
feses yang kering, keras dan kecil yang memerlukan kontraksi otot yang lebih
besar untuk mengeluarkannya sehingga menyebabkan konstipasi. Konstipasi
menyebabkan terjadinya obstruksi fekalit dalam usus sehingga meningkatkan
produksi mukus di saluran pencernaan. Peningkatan tekanan dinding appendiks
meningkatkan tekanan kapiler dan menyebabkan iskemia mukosa dan
translokasi bakteri menembus dinding appendiks menyebabkan terjadinya
inflamasi di appendiks yaitu appendisitis.
6. Konstipasi
Pengerasan tinja (konstipasi) dalam waktu lama, sangat mungkin ada
bagiannya yang terselip masuk ke saluran appendiks yang pada akhirnya akan
menjadi tempat bakteri bersarang dan berkembang biak, sebagai infeksi . Hal
ini akan meningkatkan tekanan intra sekal, sehingga timbul sumbatan
fungsional appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman flora pada kolon.
Penyumbatan yang tetjadi pada lapisan usus buntu yang menyebabkan infeksi
diduga menjadi penyebab usus buntu. Bakteri yang berkembang biak dengan
cepat akhirnya menyebabkan appendiks menjadi meradang, bengkak, dan
penuh nanah. Bila tidak segera diobati usus buntu bisa pecah.
C. TANDA DAN GEJALA
Apendisitis dapat mempengaruhi semua kelompok umur, tetapi sangat
jarang pada bayi dan anak kecil, apendisitis akut dapat berkembang dari waktu ke
waktu, membuat diagnosis apendisitis jauh lebih sulit dan terkadang tertunda
(Ariana, 2016).
Menurut Wijaya dan Putri (2013) yang disitasi oleh (Ariana, 2018)
menjelaskan bahwa gejala pertama dari appendicitis, yaitu :
1. Nyeri yang di ikuti muntah yang terjadi selama kurang lebih 1 - 2 hari.
2. Nyeri dapat berpindah selama bebrapa hari.
3. Rangsangan nyeri peritoneum tidak langsung.
4. Terasa nyeri jika ditekan pada kuadran kanan bawah dan kiri bawah.
5. Turunnya Nafsu makan.
6. Demam.
7. Adanya konstipasi.
8. Diare
Nyeri sebagai gejala pertama yang muncul. Dengan seiring waktu, rasa sakit
terlokalisasi di perut kanan bawah. Rasa sakit meningkat seiring perkembangan
penyakit. Perubahan letak anatomis apendisitis dapat mengubah gejala nyeri yang
terjadi. Pada anak-anak retro-apendiks atau intra-panggul, nyeri di sekitar saluran
empedu tidak muncul terlebih dahulu dan nyeri dapat terjadi pada hipokondrium
kanan. Unilateral, nyeri punggung, dan nyeri testis terkait juga merupakan gejala
umum pada anak-anak dengan apendisitis panggul posterior (Ariana, 2016).
Namun, apabila radang usus buntu terjadi di dekat ureter atau kandung
kemih, gejalanya mungkin termasuk rasa sakit ketika buang air kecil atau
ketidaknyamanan dengan urin dan kandung kemih penuh. Anoreksia, mual dan
muntah ringan, dan diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan inflamasi ileum
terminal atau apendiks. Gejala gastrointestinal yang parah sebelum timbulnya nyeri
sering merupakan tanda diagnostik apendisitis. Meskipun demikian, keluhan GIT
(gastrointestinal trake) ringan seperti indigesti atau perubahan feses dapat terjadi
pada anak dengan appendisitis. Pada appendisitis tanpa koplikasi biasanya ringan,
jika suhu tubuh sudah diatas 38,6℃ menandakan terjadi pervorasi. Anak dengan
appendisitis, biasanya cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan lutut
diflexikan dan menghindari diri untuk bergerak. Anak yang mengeliat dan berteriak
jarang menderita appendisitis, kecuali pada anak dengan appendisitis, retrocekal,
nyeri seperti kolik renal akubat perangsangan ureter (Warsinggih, 2016).
D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut Sulekale (2016) dalam (Ariana, 2016) menjelaskan bahwa
pemeriksaan diagnostic pada appendistis, antara lain :
1. Laboratorium
Ini termasuk hitung kelengkapan darah dan protein penghasil (CRP). Tes
darah menunjukkan jumlah sel darah putih 10.000- 18.000/mm3 leukositosis
dan lebih dari 75% neutrofil, tetapi CRP menunjukkan peningkatan jumlah
serum.
2. Radiologi
Termasuk ultrasound (USG) dan komputer tomography scanning (CTscan).
Ultrasound menemukan bagian longitudinal dari apendiks yang meradang,
tetapi CT menunjukkan apendiks yang meradang dan bagian apendiks yang
melebar.
3. Pemeriksaan abdomen
Pemeriksaan ini tidak menunjukkan tanda-tanda apendisitis yang jelas.
Namun, penting untuk membedakan penyakit apendisitis dari batu ureter kanan
atau obstruksi usus halus.
E. KOMPLIKASI
Anak mempunyai dinding appendiks yang belum tebal, sekum pendek yang
belum berkembang dengan sempurna, sehingga terjadi perforasi, dan orang yang
lebih tua mengalami pengurangan pembuluh darah.
Menurut Sulekale (2016) yang disitasi oleh (Ariana, 2018) terdapat
beberapa jenis komplikasi antara lain :
1. Abses
Abses yaitu pus yang ada pada apendiks yang teraba lunak pada daerah
pelvis maupun pada kuadran kanan bawah. Abses merupakan peradangan pada
usus buntu yang mengandung nanah. Massa jaringan lunak dapat teraba di
kuadran kanan bawah atau di panggul. Benjolan ini awalnya selulit dan
berkembang menjadi rongga berisi nanah. Ini terjadi ketika apendisitis memiliki
mikrofosil yang ditutupi dengan kelenjar getah bening atau pericardium.
2. Perforasi
Usus buntu pecah berisi nanah yang memungkinkan bakteri menyebar
dalam perut. Perforasi akan jarang dalam rentang waktu 12 jam setelah
timbulnya nyeri, tetapi meningkat dengan cepat setelah 24jam.

3. Peritonitis
Peradangan peritoneum atau komplikasi berbahaya yang dapat terjadi.
Peritonitis sistemik ditimbulkan oleh infeksi luas pada permukaan peritoneum.
Peristaltik mengembangkan ileus paralitik dan berkurang sampai usus
meregang dan kehilangan elektrolit, menyebabkan dehidrasi, syok, gangguan
peredaran darah, dan pollakiuria.
F. PENATALAKSANAAN
Adapaun pengobatan atau penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk
radang usus buntu, yaitu :
(Ariana, 2016)
1. Terapi Konservatif
Terapi ini diterapkan untuk pasien yang tidak dapat menerima layanan
bedah berupa antibiotik. Mengkonsumsi antibiotik dapat membantu mencegah
infeksi.
2. Operasi
Tindakan operasi yang dapat dilakukan adalah apendiktomi. Apendiktomi
adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara membuang apendiks. Indikasi
dilakukannya operasi apendiktomi yaitu bila diagnosa appendisitis telah
ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Pada keadaan yang meragukan diperlukan
pemeriksan penunjang USG atau CT scan. Apendiktomi dapat dilakukan
dibawah anastesi umum atau spinal dengan insisi pada abdomen bawah.
Anastesi diberikan untuk memblokir sensasi rasa sakit. Efek dari anastesi
yang sering terjadi pada klien post operasi adalah termanipulasinya organ
abdomen sehingga terjadi distensi abdomen dan menurunnya peristaltik usus.
Hal ini mengakibatkan belum munculnya peristaltik usus. Operasi apendiktomi
dapat dilakukan dengan 2 teknik, yaitu operasi apendiktomi terbuka dan
laparaskopi apendiktomi. Apendiktomi terbuka dilakukan dengan cara membuat
sebuah sayatan dengan panjang sekitar 2 – 4 inci pada kuadran kanan bawah
abdomen dan apendiks dipotong melalui lapisan lemak dan otot apendiks,
kemudian apendiks diangkat atau dipisahkan dari usus.
Sedangkan pada laparaskopi apendiktomi dilakukan dengan membuat 3
sayatan kecil di perut sebagai akses, lubang pertama dibuat dibawah pusar,
fungsinya untuk memasukkan kamera super mini yang terhubung ke monitor ke
dalam tubuh, melalui lubang ini pula sumber cahaya dimasukkan. Sementara
dua lubang lain di posisikan sebagai jalan masuk peralatan bedah seperti
penjepit atau gunting. Ahli bedah mengamati organ abdominal secara visual dan
mengidentifikasi apendiks. Apendiks dipisahkan dari semua jaringan yang
melekat, kemudian apendiks diangkat dan dikeluarkan melalui salah satu
sayatan (Hidayat, 2020).
Jika apendiks mengalami perforasi bebas, maka abdomen dicuci dengan
garam fisiologis dan antibiotika.Tindakan pembedahan dapat menimbulkan
luka insisi sehingga pada klien post operatif apendiktomi dapat terjadi resiko
infeksi luka operasi
G. PATOFOSIOLOGI
Apendiks yang tersumbat dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
intraluminal lalu mengakibatkan berkurangnya drainase vena, trombosis, edema,
serta invasi bakteri. Jika prosesnya lambat maka akan melokalisasinya infeksi,
kemudian terbentuknya dinding sempit dari struktur tersebut dan timbulah bengkak.
Vascular yang rusak secara cepat dapat mengakibatkan apendiks dan struktur
didekatnya akan pecah serta membentuk fistula (Ariana, 2018).
Apendisitis dapat memiliki beberapa penyebab, termasuk obstruksi tinja,
batu empedu, tumor, atau cacing kremi (Oxyurus vermicularis), tetapi biasanya
karena obstruksi tinja dan peradangan berikutnya. Pengamatan epidemiologis
menunjukkan penyebab utama adanya obstruksi tinja. Sekitar 30-40% anak dengan
perforasi apendiks sedangkan 20% anak dengan apendisitis akut. Kejadian
apendisitis berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid hiperplastik (Ariana,
2016).
Disebabkan oleh reaksi limfatik lokal atau umum seperti infeksi Yersinia,
Salmonella, Shigella atau Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis,
cairan tubuh dalam darah atau invasi sistemik parasit seperti shigella, cacar air,
cytomegalovirus, dll. Pasien dengan cystic fibrosis memiliki peningkatan insiden
apendisitis karena perubahan kelenjar mukosa. Tumor karsinoid memblokir sekum,
terutama jika tumor berada di sepertiga proksimal.
Gejala awal yang dialami pasien biasanya gastrointestinal ringan seperti
nafsu makan berkurang, masalah pencernaan, dan konstipasi. Anoreksia berperan
penting dalam diagnosis apendisitis pada anak. Rasa sakit awalnya terlokalisasi di
kesepuluh dalam, kulit kusam. Ketegangan menumpuk dapat menyebabkan mual
hingga muntah setelah rasa sakit.
Usus buntu yang tersumbat merupakan tempat yang mudah bagi bakteri
untuk berkembang biak. Dengan peningkatan tekanan di saluran, aliran getah
bening terganggu dan edema parah. Akhirnya, peningkatan tekanan menyebabkan
penutupan vena, iskemia jaringan, infark dan gangren. Bakteri kemudian
menembus penghalang brute force dan melepaskan mediator inflamasi ke dalam
jaringan iskemik, diikuti oleh demam, takikardia, dan leukositosis.
Ketika eksudat inflamasi dari dinding apendiks berkontak dengan dinding
peritoneum, serabut saraf somatik teraktivasi, dan nyeri lokal dirasakan di sekum,
terutama pada titik McBurney. Nyeri hanya terjadi pada bagian tanpa nyeri viseral
sebelumnya. Apendiks panggul posterior panggul sering tertunda pada nyeri tubuh
karena eksudat inflamasi tidak mempengaruhi dinding peritoneum sampai pecah
dan infeksi menyebar. Nyeri di bagian belakang usus buntu dapat terjadi di
punggung bawah. Apendiks panggul di dekat ureter atau pembuluh darah testis
dapat menyebabkan sering buang air kecil, nyeri testis atau keduanya. Pada radang
usus buntu, peradangan pada ureter dan kandung kemih dapat menyebabkan rasa
sakit ketika buang air kecil yang menyebabkan rasa sakit seperti retensi urin.
Perforasi apendiks menyebabkan abses lokal atau peritonitis sistemik.
Proses ini tergantung pada tingkat perkembangan perforasi dan kemampuan pasien
untuk merespon perforasi. Tanda- tanda perforasi apendisitis meliputi
meningkatnya suhu tubuh di atas 38,6°C, leukositosis di atas 14.000, dan gejala
peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien tidak memperlihatkan perforasi dan
gejala dapat bertahan lebih dari 48 jam tanpa perforasi. Secara umum, semakin
lama gejala berlangsung, semakin besar risiko perforasi. Peritonitis difus sering
terjadi pada bayi karena kurangnya jaringan lemak. Anak-anak yang lebih besar dan
remaja lebih mungkin mengembangkan abses, yang dapat disebabkan oleh
munculnya benjolan pada pemeriksaan fisik. Sembelit jarang terjadi, tetapi
ketegangan sering terjadi. Pada anak- anak, diare jangka pendek sering diamati
karena iritasi ileum terminal atau sekum. Adanya diare bisa menjadi tanda abses
panggul.
H. PATHWAY
I. PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas
Identitas pasien dan identitas penanggunggjawab
Identitas pasien post apendikitis yang menjadi dasar pengkajian meliputi :
nama, kebanyakan terjadi pada laki – laki, umur 20 – 30 tahun, pendidikan,
pekerjaan, agama, alamat, diagnosa medis, nomor rekam medis,tanggal
masuk rumah sakit, tanggal pengkajian. Identitas penanggung jawab
meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat,
hubungan dengan klien.
b. Keluhan utama
Keluhan nyeri paling sering ditemukan dalam pengkajian pasien
appendicitis.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan pasien setelah menjalani operasi apendisitis.
d. Riwayat kesehatan dahulu
Mengenai penyakit yang pernah dialami sebelumnya.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Pengkajian tentang penyakit keturunan dan menular lainnya.
2. Pola fungsi kesehatan Gordon
a. Pola menejemen kesehatan – persepsi kesehatan
b. Pola metabolik nutrisi
c. Pola eliminasi
d. Pola aktivitas dan latihan
e. Pola istirahat Tidur
f. Pola Persepsi kognitif
Pada pasien appendisitis akut fungsi indra penciuman, pendengaran,
pengelihatan, perasa, peraba tidak mengalami gangguan, pasien merasakan
nyeri, oleh karena itu harus dilakukan pengkajian skala nyeri menggunakan
metode pendekatan PQRST.
g. Pola konsep diri dan persepsi diri
Biasanya kecemasan pada penyakit muncul di pasien apendisitis,dari
pengobatan medis pasien mengharapkan kesembuhan.
h. Pola Hubungan peran
Dalam berhubungan dengan orang sekitar, pasien apendsitis tetap baik atau
memiliki kendala.
i. Pola Reproduksi dan seksualitas
Dalam hal ini apakah selama sakit mengalami gangguan yang berhubungan
dengan produksi seksual .
j. Pola Stress - koping
Kesabaran pasien dalam menghadapi proses pengobatan.
k. Pola Keyakinan Nilai
Kemampuan pasien dalam beribadah.
3. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran, Vital sign (Suhu,TD,RR,Nadi), Kepala, Mata, Hidung, Telinga,
Mulut dan Tenggorokan, Dada (Jantung,paru paru), Abdomen, Ekstremitas atas
dan bawah, Kulit, pemeriksaan diagnostik diantaranya:
a. Pemeriksaan.darah.lengkap
b. Leukosit mencapai 10.000-20.000/ml, terdapat peningkatan yang
menyebabkan inflamasi.
c. C-Reaktif Protein (CRP)
d. USG agar mendeteksi inflamasi pada apendisitis.
4. Diagnose Keperawatan dan focus intervensi
1) Nyeri akut b.d pencedera fisik (prosedur operasi) d.d pasien tampak
meringis, pasien mengeluh nyeri
Tujuan dan kriteria hasil : Setelah dilakukan tindakan selama 2x24 jam
diharapkan klien mampu mengatakan nyeri berkurang dengan kriteria hasil :
keluhan pada nyeri mulai menurun, meringis mulai menurun, gelisah mulai
menurun.
Intervensi :
a. Karakteristik, identifikasi lokasi, frekuensi, durasi, intensitas nyeri dan
kualitas,
b. Identivikasi respon nyeri non verbal
c. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri.
d. Jelaskan penyebab, pemicu nyeri dan periode,
e. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
f. Ajarkan teknik non farmakologis untuk menghilangkan rasa nyeri
g. Kolaborasi dalam memberikan analgetik
2) Ansietas b.d kekhawatiran mengalami kegagalan d.d pasien tampak tegang
dan gelisah
Tujuan dan kriteria hasil : setelah diberikan tindakan keperawatan selama
1x24 jam diharapkan tingkat ansietas pasien menurun, dengan kriteria:
verbalisasi kebingungan menurun, perilaku gelisah menurun, perilaku
tegang menurun.
Intervensi :
a. Monitor tanda-tanda ansietas
b. Ciptakan suasana terapiutik untuk menumbuhkan kepercayaan
c. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
d. Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien
e. Latih teknik relaksasi
3. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasive ditandai dengan
Tindakan invasive.
Tujuan dan kriteria hasil : setelah diberikan tindakan keperawatan selama 1x24
jam diharapkan tingkat infeksi menurun dengan kriteria hasil : periode
menggigil menurun, bengkak menurun, nyeri menurun.
Intervensi :
a. Monitor tanda dan gejala infeksi
b. Batasi jumlah pengunjung
c. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
d. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
5. Intervensi keperawatan

No Diagnose Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Menejemen Nyeri (I.08238)
dengan agen pencedera fisik selama ...x… jam diharapkan tingkat nyeri Observasi
(DD.0077) (L.08066) teratasi dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi, lokasi nyeri, karekteristik,
 Keluhan nyeri menurun durasi, frekuensi kualitas intensitas nyeri
 Meringis menurun 2. Identifikasi skala nyeri

 Sikap protektif menurun 3. Identifikasi respon nonverbal

 Gelisah menurun 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan


memperingan nyeri
 Kesulitan tidur menurun
5. Identifikasi berpengaruh nyeri pada
 Frekuensi nadi membaik
kualitas hidup
 Pola napas membaik
 Tekanan darah membaik
Terapeutik
 Nafsu makan membaik
1. Berikan teknik relaksasi napas dalam
 Pola tidur membaik
contoh BENSON
2. Fasilitasi istirahat tidur

Edukasi
1. Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri

Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgesic
2. Resiko infeksi berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pencegahan infeksi (I.14539)
dengan prosedur tindakan selama …x… diharapkan tingkat infeksi Observasi
invasive (DD.0142) menurun dengan kriteria hasil (L.14137) : 1. monitor tanda dan gejala infeksi local dan
 kebersihan tangan meningkat sistemik.
 kadar sel putih membaik Terapeutik

 kemerahan menurun 1. Batasi jumlah pengunjung

 kebersihan badan meningkat 2. Berikan perawatan kulit pada area edema


3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
 demam menurun
dengan pasien dan lingkungan pasien.
 nyeri menurun
4. Pertahankan Teknik aseptic pada pasien
 bengkak menurun
berisiko tinggi
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
2. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
3. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
4. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi
Kolaborasikan pemberian imunisasi, jika perlu

Anda mungkin juga menyukai