Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

KASUS POST APENDIKTOMI DAN SOP POST APENDIKTOMI

OLEH

NI KADEK AYU SANTI ASTUTI


NIM. P071202144

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
PROGRAM ALIH JENJANG S.TR.KEP
JURUSAN KEPERAWATAN
2022
A. PENGERTIAN
Apendik vermiformis merupakan organ kecil tambahan, berada tepat dibawah
katup ileosekal serta melekat pada sekum. Akibat mekanisme pengosongan diri apendik
vermiformis yang pada umumnya kurang efisien, ditambah ukuran lumen kecil, maka
apendik vermiformis mudah mengalami obstruksi dan rentan terjadi infeksi, hal inilah yang
dikenal dengan apendisitis atau penyakit usus buntu. Apendisitis kerap meresahkan
masyarakat dikarenakan tindakan pembedahan yang menyebabkan hilangnya usus buntu
secara permanen. Pola pikir masyarakat juga masih sering mengaitkan kejadian apendisitis
dengan kebiasaan mengonsumsi makanan pedas, mengandung biji, serta efek menahan
buang air besar (Hartawan, I.G.N Bagus Rai Mulya., Ekawati, Ni Putu., Saputra, Herman.,
Dewi, 2020).
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis yang dikenal oleh orang
awam sebagai penyakit usus buntu. Apendisitis biasanya di tandai dengan nyeri abdomen
periumbilical, mual, muntah, lokalisasi nyeri ke fosa iliaka kanan, nyeri tekan saat dilepas
di sepanjang titik McBurney, dan nyeri tekan pelvis pada sisi kanan ketika pemeriksaan per
rectal (Thomas & Dkk, 2016).
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik
laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun
(Wedjo, 2019).
Appendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing
(apendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (caecum). Infeksi ini bisa mengakibatkan
peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi
yang umumnya berbahaya (Saputro, 2018). Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan
bahwa apendisitis adalah suatu peradangan pada apendik vermiformis akibat mekanisme
pengosongan diri apendik vermiformis yang kurang efisien. Hal ini yang akhirnya
menimbulkan gejala khas nyeri pada abdomen kuadran bawah yang bisa terjadi pada laki-
laki maupun perempuan dalam semua kelompok umur termasuk pada kelompok umur anak
yang memerlukan tindakan pembedahan segera.
B. TANDA DAN GEJALA
Wedjo (2019), menyatakan pada apendisitis nyeri terasa pada abdomen kuadran
bawah dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin
akan dijumpai. Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare
tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi appendiks. Bila appendiks melingkar di
belakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal; bila ujungnya ada
pada pelvis, tandatanda ini hanya dapat diketahui pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada
defekasi menunjukkan bahwa ujung appendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter.
Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektum kanan dapat terjadi tanda Rovsing dapat
timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri, yang secara paradoksial
menyebabkan nyeri yang terasa pada kuadran bawah kanan. Apabila appendiks telah ruptur,
nyeri dan dapat lebih menyebar; distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi
klien memburuk (Wedjo, 2019).
Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah onset
terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan
iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang berat yang terjadi
sebelum onset nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain apendisitis. Meskipun
demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti atau perubahan bowel habit dapat terjadi
pada anak dengan apendisitis (Wedjo, 2019). Apendisitis tanpa komplikasi biasanya demam
ringan (37,5 -38,50C). Jika suhu tubuh diatas 38,60C, menandakan terjadi perforasi. Anak
dengan appendicitis kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat
menekan dengan paha kanan akan menekan Caecum hingga isi Caecum berkurang atau
kosong. Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya dapat menurun atau
menghilang. Anak dengan appendicitis biasanya menghindari diri untuk bergerak dan
cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang lutut diflexikan
(Warsinggih, 2010).
C. POHON MASALAH
D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut Saputro (2018), pemeriksaan penunjang apendiksitis meliputi sebagai
berikut :
a) Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi : akan tampak adanya pembengkakan (swelling) rongga perut dimana dinding
perut tampak mengencang (distensi).
2. Palpasi : didaerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan
dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) yang mana merupakan kunci dari
diagnosis apendiksitis akut.
3. Dengan tindakan tungkai bawah kanan dan paha diteku kuat/tungkai di angkat tinggi-
tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah (proas sign).
4. Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah bila pemeriksaan dubur
dan atau vagina menimbulkan rasa nyeri juga.
5. Suhu dubur yang lebih tinggi dari suhu ketiak, lebih menunjang lagi adanya radang
usus buntu.
b) Pemeriksaan Laboratorium
1. SDP: Leukositosis diatas 12.000/mm3, Neutrofil meningkat sampai 75%,
2. Urinalisis: Normal, tetapi eritrosit/leukosit mungkin ada.
3. Foto abdomen: Dapat menyatakan adanya pergeseran, material apendiks (fekalit), ileus
terlokalisir Kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hingga 10.000- 18.000/mm3. Jika
peningkatan lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi
(pecah).
c) Pemeriksaan Radiologi
1. Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit.
2. Ultrasonografi (USG)
3. CT Scan
4. Kasus kronik dapat dilakukan rontgen foto abdomen, USG abdomen dan
apendikogram.

E. PENATALAKSANAAN
Alhinduan (2020), menyebutkan penatalaksanan yang dilakukan pada klien
apendisitis yaitu penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan keperawatan :
a) Penatalaksanaan Medis
1. Pembedahan (konvensional atau laparaskopi) apabila diagnosa apendisitis telah ditegakan
dan harus segera dilakukan untuk mengurangi risiko perforasi.
2. Berikan obat antibiotik dan cairan IV sampai tindakan pembedahan dilakukan.
3. Agen analgesik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakan.
4. Operasi (apendiktomi), bila diagnosa telah ditegakan yang harus dilakukan adalah operasi
membuang apendiks (apendiktomi). Penundaan apendiktomi dengan cara pemberian
antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses apendiks dilakukan
drainage.
b) Penatalaksanaan Keperawatan
1. Tatalaksana apendisitis pada kebanyakan kasus adalah apendiktomi. Keterlambatan dalam
tatalaksana dapat meningkatkan kejadian perforasi. Teknik laparoskopi sudah terbukti
menghasilkan nyeri pasca bedah yang lebih sedikit, pemulihan yang lebih cepat dan angka
kejadian infeksi luka yang lebih rendah. Akan tetapi terdapat peningkatan kejadian abses
intra abdomen dan pemanjangan waktu operasi. Laparoskopi itu dikerjakan untuk diagnosa
dan terapi pada pasien dengan akut abdomen, terutama pada wanita.
2. Tujuan keperawatan mencakup upaya meredakan nyeri, mencegah defisit volume cairan,
mengatasi ansietas, mengurangi risiko infeksi yang disebabkan oleh gangguan potensial
atau aktual pada saluran gastrointestinal, mempertahankan integritas kulit dan mencapai
nutris yang optimal.

F. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
a) Data demografi
Identitas klien: Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa,
pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor register.
b) Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama : Nyeri pada daerah abdomen kanan bawah.
2. Riwayat kesehatan sekarang : Klien mengatakan nyeri pada daerah abdomen kanan
bawah yang menembus kebelakang sampai pada punggung dan mengalami demam
tinggi.
3. Riwayat kesehatan dahulu : Apakah klien pernah mengalami operasi sebelumnya pada
colon.
4. Riwayat kesehatan keluarga : Apakah anggota keluarga ada yang mengalami jenis
penyakit yang sama.
c) Pemeriksaan fisik ROS (review of system)
1. Keadaan umum: Kesadaran composmentis, wajah tampak menyeringai, konjungtiva
anemis.
2. Sistem kardiovaskuler: Ada distensi vena jugularis, pucat, edema, TD >110/70mmHg;
hipertermi.
3. Sistem respirasi: Frekuensi nafas normal (16-20x/menit), dada simetris, ada tidaknya
sumbatan jalan nafas, tidak ada gerakan cuping hidung, tidak terpasang O2, tidak ada
ronchi, whezing, stridor.
4. Sistem hematologi: Terjadi peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi
dan pendarahan.
5. Sistem urogenital: Ada ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit pinggang serta
tidak bisa mengeluarkan urin secara lancar.
6. Sistem muskuloskeletal: Ada kesulitan dalam pergerakkan karena proses perjalanan
penyakit.
7. Sistem Integumen: Terdapat oedema, turgor kulit menurun, sianosis, pucat.
8. Abdomen: Terdapat nyeri lepas, peristaltik pada usus ditandai dengan distensi
abdomen.
d) Pola fungsi kesehatan menurut Gordon.
1. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat Adakah ada kebiasaan merokok, penggunaan
obat-obatan, alkohol dan kebiasaan olahraga (lama frekwensinya), karena dapat
mempengaruhi lamanya penyembuhan luka.
2. Pola nutrisi dan metabolism Klien biasanya akan mengalami gangguan pemenuhan
nutrisi akibat pembatasan intake makanan atau minuman sampai peristaltik usus
kembali normal.
3. Pola Eliminasi Pada pola eliminasi urine akibat penurunan daya konstraksi kandung
kemih, rasa nyeri atau karena tidak biasa BAK ditempat tidur akan mempengaruhi pola
eliminasi urine. Pola eliminasi alvi akan mengalami gangguan yang sifatnya sementara
karena pengaruh anastesi sehingga terjadi penurunan fungsi.
4. Pola aktifitas Aktifitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak karena rasa nyeri,
aktifitas biasanya terbatas karena harus bedrest berapa waktu lamanya setelah
pembedahan.
5. Pola sensorik dan kognitif. Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan serta
pendengaran, kemampuan berfikir, mengingat masa lalu, orientasi terhadap orang tua,
waktu dan tempat.
6. Pola Tidur dan Istirahat
Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat sehingga dapat mengganggu
kenyamanan pola tidur klien.
7. Pola Persepsi dan konsep diri
Penderita menjadi ketergantungan dengan adanya kebiasaan gerak segala kebutuhan
harus dibantu. Klien mengalami kecemasan tentang keadaan dirinya sehingga penderita
mengalami emosi yang tidak stabil.
8. Pola hubungan
Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa melakukan peran baik
dalam keluarganya dan dalam masyarakat. Penderita mengalami emosi yang tidak
stabil.
9. Pemeriksaan diagnostic
a) Ultrasonografi adalah diagnostik untuk apendistis akut.
b) Foto polos abdomen dapat memperlihatkan distensi sekum, kelainan non spesifik
seperti fekalit dan pola gas dan cairan abnormal atau untuk mengetahui adanya
komplikasi pasca pembedahan.
c) Pemeriksaan darah rutin untuk mengetahui adanya peningkatan leukosit yang
merupakan tanda adanya infeksi.
d) Pemeriksaan Laboratorium
- Darah: Ditemukan leukosit 10.000 – 18.0000 μ/ml.
- Urine: Ditemukan sejumlah kecil leukosit dan eritrosit.

G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis mengenai respon klien terhadap
masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual
maupun potensial (PPNI, 2017). Berdasarkan pada semua data pengkajian diagnosa
keperawatan utama yang dapat muncul pada appendicitis, antara lain:
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (Prosedur oprasi).
2. Risiko Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan secara aktif (muntah).
3. Resiko Infeksi dibuktikan dengan efek prosedur infasive.
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri.

H. INTERVENSI KEPERAWATAN
Perencanaan keperawatan atau intervensi keperawatan adalah perumusan tujuan,
tindakan dan penilaian rangkaian asuhan keperawatan pada klien berdasarkan analisa
pengkajian agar masalah kesehatan dan keperawatan klien dapat diatasi (Nurarif, A. H.,
danamp; Kusuma, 2016).
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri
keperawatan tingkat nyeri (I.08238) Observasi:
berhubungan dengan
(L.08066) menurun dengan 1.1. Identifikasi lokasi,
agen pencedera fisik kriteria hasil: karakteristik, durasi
1. Keluhan nyeri frekuensi, kulaitas
(Prosedur oprasi).
menurun. nyeri, intensitas nyeri,
(D.0077) 2. Meringis menurun. skala nyeri.
3. Sikap protektif 1.2. Identifikasi respon
menurun. nyeri non-verbal.
4. Gelisah menurun. 1.3. Identivikasi factor
5. Frekuensi nadi membaik. yang memperberat dan
memperingan nyeri.
Terapeutik:
1.4. Berikan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa
nyeri.
1.5. Kontrol lingkungan
yang memperberat rasa
nyeri.
1.6. Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri.
Edukasi:
1.7. Jelaskan penyebab,
periode, dan
pemicu nyeri.
1.8. Jelaskan strategi
meredakan
nyeri.
1.9. Ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa
nyeri.
1.10. Kolaborasi
pemberian analgetik
bila perlu.

2. Risiko hipovolemia Setelah dilakukan tindakan Manajemen


keperawatan status cairan hypovolemia (I.03116)
ditandai dengan efek
(L.0328) membaik dengan Observasi :
agen farmakologis kriteria hasil: 3.1. Periksa tanda dan
1. Kekuatan nadi meningkat. gejala hipovolemia.
(D.0034)
3.2. Monitor intake dan
2. Membrane mukosa
output cairan.
lembab
Terapeutik:
3. Frekuensi nadi
3.3. Berikan asupan
membaik.
cairan oral.
4. Tekanan darah
Edukasi:
membaik.
3.4. Anjurkan
5. Turgor kulit membaik
memperbanyak asupan
cairan oral.
3.5. Anjurkan
menghindari
perubahan posisi
mendadak.
Kolaborasi:
3.6.Kolaborasi
peberian cairan IV.
3. Risiko Infeksi Setelah dilakukan tindakan Pencegahan infeksi
keperawatan tingkat infeksi (I.14539) Observasi :
dibuktikan dengan
(L.14137) dengan kriteria 3.1. Monitor tanda dan
efek prosedur hasil: gejala infeksi local dan
1. Kebersihan tangan sistemik.
infasive (D.0142)
meningkat. 3.2. Batasi jumlah pengunjung
2. Kebersihan badan 3.3.Berikan perawatan kulit
meningkat. pada area edema.
3. Demam, 3.4.Cuci tangan sebelum
kemerahan, nyeri, bengkak dan sesudah kontak
menurun. dengan klien dan
4. Kadar sel darah putih lingkungan klien.
meningkat. 3.5.Pertahankan teknik
aseptic pada klien beresiko
tinggi.
Edukasi:
3.6. Jelaskan tanda dan
gejala infeksi.
3.7. Ajarkan cara
mencuci tangan dengan
benar. Kolaborasi
3.8. Kolaborasipemberian
imunisasi jika perlu.

4. Gangguan Mobilitas Setelah melakukan tindakan Dukungan


keperawatan mobilitas fisik mobilisasi (I.05173)
Fisik (D.0054)
(L.05042) dengan kriteria Observasi:
hasil: 3.1. Identifikasi adanya nyeri
1. Pergerakan atau keluhan fisik
ekstremitas lainnya.
meningkat 3.2. Monitor kondisi
2. Kekuatan otot umum selama
meningkat melakukan mobilisasi.
3. Nyeri menurun Terapeutik:
4. Kecemasan menurun 3.3.Fasilitasi
5. Kelemahan fisik menurun melakukan
pergerakan, bila perlu
3.4.Libatkan keluarga
untuk membantu pasien.
Edukasi:
3.5. Jelaskan tujuan
dan prosedur
mobilisasi
3.6. Anjurkan
melakukan
mobilisasi dini
Standar Operasional Prosedur Perawatan
Luka pasca Operasi
A. Pengertian Membersihkan luka atau insisi dan memasang penutup pelindung
steril dengan menggunakan teknik aseptik.
B. Indikasi Luka baru maupun luka lama , luka post operasi, luka bersih, luka
tindakan kotor

C. Kontra -
indikasi
D. Persiapan 1. Set rawat luka steril
alat 2. Sarung tangan steril
3. Pinset 3 ( 2 anatomis, 1 sirugis)
4. Gunting (menyesuikan kondisi luka)
5. Balutan kassa dan kasaa steril
6. Kom untuk larutan antiseptic/ larutan pembersih
7. Salep antiseptic(bila diperlukan)
8. Depress
9. Lidi kapas
10. Larutan pembersih yang diresepkan (garam fisiologis,
betadine,….)
11. Gunting perban/ plaster
12. Sarung tangan sekali pakai
13. Plaster, pengikat, atau balutan sesuai kebutuhan
14. Bengkok
15. Perlak pengalas
16. Kantong untuk sampah
17. Korentang steril
18. Alcohol 70%
19. Troli/ meja dorong
E. Prosedur 1. Persiapan alat
tindakan 2. Tahap Orientasi
a. Memberikan salam, memanggil nama klien
b. Menjelaskan tujuan, prosedur, dan lamanya Tindakan
pada klien/ keluarga
3. Tahap Kerja
a. Memberikan kesempatan pada klien untuk beranya
sebelum kegiatan dimulai
b. Susun semua peralatan yang diperlukan di troly dekat
pasien (jangan membuka peralatan steril dulu)
c. Letakkan bengkok di dekat pasien
d. Jaga privacy pasien, dengan menutup tirai yang ada di
sekitar pasien, serta pintu dan jendela
e. Mengatur posisi pasien, intruksikan pada pasien untuk
tidak menyntuh area luka atau peralatan steril
f. Mencuci tangan
g. Pasang perlak pengalas
h. Gunakan sarung tangan bersih sekali pakai dan
lepaskan plaster, ikatan atau balutan dengan pinset
i. Lepaskan plaster dengan melepaskan ujung dan
menariknya dengan perlahan, sejajar pada kulit dan
mengarah pada balutan. Jika masih terdapat plaster
pada kulit bersihkan dengan kapas alcohol
j. Dengan sarung tangan atau pinset, angkat balutan,
pertahankan permukaan kotor jauh dari penglihatan
pasien.
k. Jika balutan lengket pada luka, lepaskan dengan
memberikan laurtan steril/ NaCl
l. Observasi karakter dan jumlah drainase pada balutan
m. Buang balutan kotor pada bengkok
n. Buang sarung tangan dan buang pada bengkok
o. Buka bak instrument steril
p. Siapkan larutan yang akan digunakan
q. Kenakan sarung tangan steril
r. Inspeksi luka
s. Bersihkan luka dengan larutan antiseptic yang
direspekan atau larutan garam fisiologis
t. Pegang kassa yang dibasahi larutan tersebut dengan
pinset steril
u. Gunakan satu kassa untuk satu kali usapan
v. Bersihkan dari are kurang terkontaminasi ke are
terkontaminasi
w. Gerakan dengan tekanan progresif menjuh dari insisi
atau tepi luka
x. Gunakan kassa baru untuk mengeringkan luka atau
insisi. Usap dengan cara seperti diatas
y. Berikan salep antiseptic bila diresepkan, gunakan
Teknik seperti Langkah pembersihan
z. Pasang kassa steril kering pada insisi atau luka
aa. Gunakan plaster di atas balutan, fiksasi dengan ikatan
atau balutan
bb. Lepaskan sarung tangan dan buang pada tempatnya
cc. Bantu klien pada posisi yang nyaman
F. Evaluasi 1. Tanyakan pada klien bagaimana perasaannya
pasien 2. Melakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya
G. Hasil 1. Luka pasien tertutup dengan bersih dan rapi
tindakan
H. Link video https://www.youtube.com/watch?v=l7dBwpFUZhY
tindakan
DAFTAR PUSTAKA
Aprilia, M. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Klien Post Operasi Laparatomi Eksplorasi A.I.
Apendisitis Akut Dengan Masalah Keperawatan Nyeri Akut Di Ruang Melati 4 Rsud Dr. Soekardjo
Kota Tasikmalaya. Universitas Bhakti Kencana. Arianto, F. M. (2020). Asuhan Keperawatan pada
Pasien dengan Cholelithiasis yang dirawat di Rumah Sakit. Politeknik Kesehatan Kementerian
Kesehatan Kalimantan Timur. Erianto, M., Fitriyani, N., Siswandi, A., dan Sukulima, A. P. (2020).
Perforasi pada Penderita Apendisitis Di RSUD DR.H.Abdul Moeloek Lampung. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Sandi Husada, 11(1), 490–496. https://doi.org/10.35816/jiskh.v11i1.335 HIDAYAT, E.
(2020). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Appendicitis Yang Di Rawat Di Rumah Sakit
(POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KALIMANTAN TIMUR). Retrieved from
http://repository.poltekkes-kaltim.ac.id/id/eprint/1066 Saputro, N. E. (2018). Asuhan Keperawatan
Pada Klien Post Operasi Apendisitis Dengan Masalah Keperawatan Kerusakan Integritas Jaringan
(STIKKES Insan Cendikia Medika Jombang). Retrieved from
http://awsassets.wwfnz.panda.org/downloads/earth_summit_2012_v3.pdf%0
Ahttp://hdl.handle.net/10239/131%0Ahttps://www.uam.es/gruposinv/meva/p ublicaciones
jesus/capitulos_espanyol_jesus/2005_motivacion para el aprendizaje Perspectiva alumnos.pdf
%0Ahttps://ww Setyaningrum, W. A. (2013). Asuhan Keperawatan Pada Sdr. Y Dengan Post
Operasi Appendektomi Hari Ke-1 Di Ruang Dahlia RSUD Banyudono. Naskah Publikasi, 16.
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). Bandung: Alfabeta. Sulekale, A.
(2016). Penerapan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Kasus Apendisitis Di Rumah Sakit
Santa Anna Kendari Tahun 2015 Karya. POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI. Sulistiyawati.
(2020). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Stroke Non Hemoragik Yang Di Rawat Di
Rumah Sakit (POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN KALIMANTAN
TIMUR). Retrieved from http://mpoc.org.my/malaysian-palm-oil-industry/

Anda mungkin juga menyukai