Anda di halaman 1dari 66

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK LAPORAN KASUS

SEPTEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

DEMAM TIPHOID

Disusun Oleh :

Risti Indah N. anwar, S.Ked.

10542 0603 15

Pembimbing :

dr. Hj. Nirwana S. Loddo, Sp. A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Risti Indah N. Anwar, S.Ked.


Stambuk : 10542 060314
Judul Laporan kasus : Demam Tiphoid

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Ilmu Kesehatan Anak Fakultas kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, September 2019

Pembimbing

dr. Hj. Nirwana S. Loddo, Sp. A

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena segala limpahan rahmat dan
hidayah-Nya serta segala kemudahan yang diberikan dalam setiap kesulitan
hamba-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan Laporan Kasus dengan judul
Demam Tiphoid. Tugas ini ditulis sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak.

Berbagai hambatan dialami dalam penyusunan tugas Laporan Kasus ini,


namun berkat bantuan saran, kritikan, dan motivasi dari pembimbing serta teman-
teman sehingga tugas ini dapat terselesaikan.

Penulis sampaikan terima kasih banyak kepada,dr. Hj. Nirwana S.


Loddo, Sp. A, selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dengan
tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan arahan dan koreksi selama
proses penyusunan tugas ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa Laporan Kasus ini masih jauh dari yang
diharapkan oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis akan senang menerima
kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan tugas ini. Semoga Laporan
Kasus ini dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan penulis secara khusus.

Makassar, September 2019

Risti Indah N. Anwar, S.Ked

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................. i

KATA PENGANTAR......................................................................................ii

DAFTAR ISI.................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1

BAB II LAPORAN KASUS ..........................................................................3

BAB III TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................17

BAB IV PEMBAHASAN................................................................................56

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................60

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut

yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas

berkepanjangan, ditopang dengan bakterimia tanpa keterlibatan struktur

endothelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam

sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s

patch.1

Tifoid terdapat diseluruh dunia, terutama di Negara-negara yan

sedang berkembang didaerah tropis. Penyakit ini telah ada sejak beberapa abad

lalu. Sebagai gambaran dapat kita simak kejadian di Jamestown Virginia USA,

dimana dilaporkan lebih 6000 kematian akibat wabah tifoid pada periode 1607

s/d 1624. Demikian juga pada peperangan di Afrika Selatan akhir abad XIX,

dimana pihak inggris telah kehilangan 13.000 serdadu akibat tifoid. Pada hal

kematian akibat peperangan itu sendiri hanya 8000 serdadu. Sampai awal abad

XXI ini tifoid masih eksis, diperkirakan 17 juta kasus pertahun, dengan

kematian sekitar 600.000 kasus. Case Fatelity Rates berkisar 10% dan

menurun sampai 1% bila mendapat pengobatan yang adekuat.1

Demam tifoid masih merupakan penyakit yang sering terjadi di

negara berkembang, namun pemeriksaan diagnostik yang adekuat belum selalu

tersedia. Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6

juta kasus dengan 216.500 kematian pada tahun 2000. Insidens demam tifoid

1
tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia Tengah dan

Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan; yang tergolong

sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) di Asia lainnya, Afrika,

Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang

termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) di bagian dunia

lainnya.1

Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan

reservoir untuk Salmonellatyphi.Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama

berhari-hari di air tanah, air kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan

dalam telur yang sudah terkontaminasi atau tiram yang dibekukan.Pada daerah

endemik, infeksi paling banyak terjadi pada musim kemarau atau permulaan

musim hujan.Dosis yang infeksius adalah 103-106 organisme yang tertelan

secara oral.Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air yang

terkontaminasi oleh feses.3

Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam

Undang-undang No. 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit

menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat

menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah.Penderita anak

biasanya berumur di atas satu tahun. Sebagian besar penderita (80%) yang

dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta berumur di atas 5

tahun.Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi

yang berusia 3-19 tahun.3

2
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Muh. Fajri
Tangga Lahir : 11/02/2002
Umur : 17 Tahun 6 Bulan 19 Hari
Jenis Kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Jaminan : JKN
Alamat : Jln. Maccini Pasar Malam
Status : Perawatan Dahlia Ruang RPK

B. IDENTITAS ORANG TUA/WALI


Ayah Nama : Tn. A
Umur : 43 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Ibu Nama : Ny. N
Umur : 39 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
C. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Demam

Anamnesis Terpimpin :

Pasien masuk Rumah Sakit dengan keluhan demam sejak 4 hari


sebelum masuk RS, demam bersifat naik turun, demam meningkat pada
malam hari, lemas (+), mual (+), muntah (-), nyeri menelan (+), Nyeri ulu
hati (+), Heart burn(+), Regurgitasi (-), nyeri perut (-).

3
Nafsu makan : Menurun
Nafsu minum : Menurun
Buang Air Besar : Sedikit dan keras dan terakhir 2 hari yang lalu
Buang Air Kecil : Lancar
Riwayat alergi :-

Riwayat Penyakit Dahulu :


-
Riwayat Pengobatan :
-
Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan
Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita hal yang serupa
seperti pasien. Riwayat lingkungan, pasien sering jajan sembarang tempat
dan ada anggota keluarga yang merokok.

Riwayat Persalinan
Anak Laki-laki lahir secara spontan di Rumah Sakit,
anak lahir langsung menangis, warna kulit kemerahan, berat badan lahir
2700 gram. Tidak terdapat riwayat kuning, kebiruan, sesak, kejang, dan
pucat pada saat lahir. Kesan : Bayi Tunggal, Cukup Bulan, Sesuai Masa
Kehamilan, Riwayat IMD (+) dan Vit K (+).

Riwayat Imunisasi

BOOSTER
Status Belum
1 2 3 4 18 BLN – 2 BIAS
Imunisasi Pernah
TAHUN
BCG √
Hep B √ √ √ √
Polio √ √ √ √
DPT √ √ √ √
HPV
Campak √ √
HiB √ √ √ √
PCV

4
Influenza
MMR
Tifoid
Hep. A
Varisela
Lain-lain

D. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum :Sakit Sedang
Kesadaran :Compos Mentis
Umur : 17 Tahun 6 Bulan 19 Hari
BB : 53 kg
TB : 163 cm
Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi :96 x/menit
Pernapasan :24 x/menit
Suhu :37,2 oC
Rumplee Leede (-)

E. STATUS GIZI
BB : 53 kg
TB : 163 cm
Status Gizi : Gizi baik

F. STATUS GENERALIS

Pucat (+) Telinga: Otorrhea (-)


Cyanosis (-) Mata : Cekung (+/+), anemis (-)
Tonus : Normal Hidung : Rhinorea (-)
Ikterus (-) Bibir : Kering (+)

5
Turgor : baik Lidah : Kotor (+)
Busung (-) Sel. Mulut : Stomatitis (+)
Kepala : Normochepal Leher : Kaku kuduk (-)
Muka : Simetris kiri dan kanan Kulit : Tidak ada kelainan
Rambut : Hitam halus, tidak mudah Tenggorok : Hiperemis (-)
dicabut Tonsil : Tidak dievaluasi
Ubun ubun besar: Menutup (-)
Thorax Jantung
Inspeksi Inspeksi:
 Simetris kiri dan kanan  Ictus cordis tidak tampak
 Retraksi dinding dada (-) Palpasi :
Perkusi:  Ictus cordistidak teraba
 Sonor kiri dan kanan Perkusi :
Auskultasi :  Batas kiri :
 Bunyi Pernapasan : Linea midclavicularis
bronkovesikuler sinistra
 Bunyi tambahan: Rh -/- Wh  Batas kanan :
-/- Linea parasternalis dextra
 Batas atas :ICS III sinistra
Auskultasi :
 Bunyi Jantung I dan II
regular, bising jantung (-)
Abdomen
Inspeksi : Alat kelamin :
 Perut datar, ikut gerak napas  Dalam batas normal
 Massa tumor (-) Anggota gerak :
Palpasi :  Dalam batas normal
 Limpa : tidak teraba Tasbeh (-)
 Hati : Hepatomegali (-) Col. Vertebralis : Skoliosis (-)

 Nyeri tekan epigastrium (-) KPR : +/+ kesan normal

Perkusi : APR : +/+ kesan normal


TPR : +/+ kesan normal

6
 Hipertympani (-) BPR : +/+ kesan normal
Auskultasi
 Peristaltik(+)kesan meningkat

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
 Hasil Lab DR ( 31-08-2019 )

-WBC : 3,84 x 103/ ul ( Menurun )

-HGB : 16,1 x g/dl ( Normal )

-HCT : 43,6 % ( Normal )

-PLT ; 135x103/ul ( Menurun )

-LED : 15 mm (meningkat)

 Imunologi

- Salmonella Typhi O :1/320

- Salmonella Typhi AO : non-reaktif

- Salmonella Typhi BO : non-reaktif

- Salmonella Typhi H : 1/320

- Salmonella Typhi AH : non-reaktif

- Salmonella Typhi BH : non-reaktif

H. DIAGNOSA KERJA
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang, pasien mengalami :
Diagnosis Masuk : Hiperpireksia

Diagnosis Utama : Demam Tiphoid

Diagnosis Sekunder : Stomatitis

7
I. TERAPI
Non-farmakologis:
1. Istirahat yang cukup
2. Memperbaiki hygiene
3. Diet Lunak

Farmakologis:
- IVFD RL 20 tpm

- Inj. Ceftriaxon 1gr/12j/iv

- PCT 550mg/8j/drips

- Ranitidin amp/12j/iv

- Coviplex tab 1xI

8
DATA FOLLOWUP

Tanggal Perjalanan Penyakit Instruksi Dokter


31/08/2019 S : Pasien masuk Rumah Sakit Hasil Lab DR ( 31-08-2019 )
dengan keluhan demam sejak 4 -WBC : 3,84 x 103/ ul ( menurun )
hari sebelum masuk RS, demam
-HGB : 16,1 x g/dl ( Normal )
bersifat naik turun, demam
-HCT : 43,6 % ( Normal )
meningkat pada malam hari,
-PLT ; 135x103/ul ( Menurun )
lemas (+), mual (+), muntah (-),
-LED : 15 mm (meningkat)
nyeri menelan (+), Nyeri ulu hati
(+), Heart burn(+), Imunologi
Regurgitasi(-), nyeri perut (-). Salmonella Typhi O :1/320
Nafsu makan : Menurun
Salmonella Typhi H: 1/320
Nafsu minum : Menurun
BAB : Sedikit dan keras dan
terakhir 2 hari yang lalu
BAK : Lancar
Riwayat alergi :-

O : KU : lemah/ Compos mentis

TD : 120/80 mmHg
Nadi : 96 x/menit
Pernapasan : 24 x/menit
Suhu : 37,2 oC
A : Demam Tifoid

P:

- IVFD RL 20 tpm

- Drips sanmol 550mg/8 jam/iv

- Ranitidin amp/12j/iv

9
- Coviplex tab 1xI

- Inj Ceftriaxone 1gr/12j/iv


01/09/19 S : Demam (+), Nyeri saat menelan-

(+), nyeri kepala (-), batuk (-), mual

(+), Muntah (-), Nyeri perut (+)

BAB :encer(+), ampas (-), lendir(-),

darah (-),frekuensi 1 kali, warna

kuning.

BAK : lancar

O : KU : Compos mentis

TD :120/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu :37,5 oC
Bibir kering (+)
Lidah kotor (+)
stomatitis (+)
A : Demam Tiphoid

P:

- IVFD RL 20 tpm

- Drips sanmol 550mg/8 jam/iv

- Ranitidin amp/12j/iv

- Coviplex tab 1xI

- Inj Ceftriaxone 1gr/12j/iv


02/09/19 S : Demam(+), mual muntah (-),

Nyeri menelan (+), nyeri perut (-),

10
batuk (-), sariawan (+).

Nafsu makan : kurang

Nafsu minum : kurang

BAB : belum hari ini

BAK : lancar

O : KU : Compos mentis

TD : 120/80 mmHg

N : 95 x/m

P : 20 x/m

S : 37 °C

A : Demam Tifoid + Stomatitis

P:

- IVFD RL 20 tpm

- Drips sanmol 550mg/8 jam/iv

- Ranitidin amp/12j/iv

- Coviplex tab 1xI

- Inj Ceftriaxone 1gr/12j/iv

- Sanorine obat kumur


03/09/19 S : Demam(+), mual muntah (-), 

Nyeri menelan (+), nyeri perut (-),

batuk (-), sariawan (+).

Nafsu makan : kurang

Nafsu minum : kurang

BAB : encer (+) frek 4x

11
BAK : lancar

O : KU : Compos mentis

TD : 110/70 mmHg

N : 80 x/m

P : 20 x/m

S : 37,5°C

A : Demam typhoid + Somatitis

P:

- IVFD RL 20 tpm

- Drips sanmol 550mg/8 jam/iv

- Ranitidin amp/12j/iv

- Coviplex tab 1xI

- Inj Ceftriaxone 1gr/12j/iv

- Sanorine obat kumur

- Koltaren tab 2x1


04/09/19 S : Demam(+), mual muntah (-),

Nyeri menelan (+), nyeri perut (-),

batuk (-), sariawan (+).

Nafsu makan : baik

Nafsu minum : baik

BAB : belum pagi ini

BAK : lancar

O : KU : Compos mentis

TD : 110/70 mmHg

12
N : 100 x/m

P : 24 x/m

S : 38,1°C

A : Demam typhoid + stomatitis

P:

- IVFD RL 20 tpm

- Drips sanmol 550mg/8 jam/iv

- Ranitidin amp/12j/iv

- Coviplex tab 1xI

- Inj Ceftriaxone 1gr/12j/iv

- Sanorine obat kumur

- Koltaren tab 2x1


06/09/2019 S : Demam (-), nyeri menelan (+), - Observasi

batuk (-), mual muntah (-), nyeri

perut (-)

Nafsu makan : membaik

Nafsu minum : membaik

BAB : encer (-) pagi ini

BAK : lancar

O : KU : Compos mentis

TD : 90/60 mmHg

N : 88 x/mnt

P : 24x/mnt

S : 37°C

13
A : Demam typhoid + Stomatitis

P:

- IVFD RL 20 tpm

- Drips sanmol 550mg/8 jam/iv

- Ranitidin amp/12j/iv

- Coviplex tab 1xI

- Inj Ceftriaxone 1gr/12j/iv

- Sanorine obat kumur

- Koltaren tab 2x1


07/09/2019 S : Demam (-), nyeri menelan mulai - Boleh rawat jalan

berkurang, batuk (-), mual muntah

(-), nyeri perut (-)

Nafsu makan : membaik

Nafsu minum : membaik

BAB : encer (-)

BAK : lancar

O : KU : Compos mentis

TD : 110/70 mmHg

N : 90 x/mnt

P : 24x/mnt

S : 36,8°C

A : Demam typhoid + Stomatitis

P:

- IVFD RL 20 tpm

14
- Drips sanmol 550mg/8 jam/iv

- Ranitidin amp/12j/iv

- Coviplex tab 1xI

- Inj Ceftriaxone 1gr/12j/iv

- Sanorine obat kumur

- Koltaren tab 2x1

15
RESUME

Anak laki-laki, berusia 17 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan

demam. Hal ini dialami pasien sejak ±4 hari sebelum masuk rumah sakit,

dimana demam bersifat naik turun. Demam terutama dirasakan pada malam

hari dan turun pada pagi hari. Demam turun dengan obat penurun panas dan

kemudian demam kembali lagi. Demam diseratai mual (+), muntah (-), nyeri

menelan (+), Nyeri ulu hati (+), Heart burn(+), Regurgitasi (-), nyeri perut (-).

Nafsu makan menurun, nafsu minum menurun, BAB encer (+) ampas (+)

lender (-) darah(-), BAK kesan lancar. Tidak ada anggota keluarga pasien yang

menderita hal yang serupa seperti pasien. Riwayat lingkungan, pasien sering

jajan sembarang tempat dan ada anggota keluarga yang merokok. Riwayat

berpergian ke daerah endemis malaria tidak dijumpai.

Pada pemeriksaan fisis didapatkan pasien sakit lemah dan kesadaran

composmentis. Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 96x/menit dan regular,

suhu 37,2 0C, pernapasan 24 x/menit. Pada pasien ini didapatkan lemas (+),

bibir kering (+), bau mulut (+), lidah kotor (+), Sariawan (+), rumple leed test

(-).

Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan WBC: 3,84 x 103/ ul

(menurun), HGB:16,1 x g/dl (Normal), HCT : 43,6 % (Normal), PLT:

135x103/ul (Menurun), LED: 15 mm (meningkat). Didapatkan pula widal test

positif pada titer salmonella typhi O:1/320 dan salmonella typhi H: 1/320.

16
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEMAM TIPHOID

Definisi Demam Tifoid

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang

disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas

berkepanjangan, ditopang dengan bakterimia tanpa keterlibatan struktur

endothelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam

sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s

patch.1

Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa disebut tifus

merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya

turunannya yaitu Salmonella typhi yang menyerang bagian saluran pencernaan.

Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik

mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.4

Demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam

Undang-undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit

menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang

banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.

17
Epidemiologi

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh

dunia, secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan

kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar higienis dan sanitasi

yang rendah yang mana di Indonesia dijumpai dalam keadaan endemis.4

Beberapa negara sudah menjalankan imunisasi tifoid sesuai

rekomendasi World Health Organization (WHO) sehingga sulit menentukan

prevalens penyakittersebut di dunia. Beberapa sistem surveilans untuk kasus

demam tifoid dinegara berkembang sangat terbatas, terutama di tingkat

komunitas, sehinggaprevalens penyakit yang sesungguhnya sangat sulit

diperoleh. Data surveilansyang tersedia menunjukkan bahwa pada tahun 2000,

estimasi penyakit adalahsebanyak 21.650.974 kasus, kematian terjadi pada

216.510 kasus tifoid dan5.412.744 pada penyakit paratifoid. Data tersebut

diekstrapolasi dari beberapapenelitian sehingga dapat kurang tepat, apalagi

karena pemeriksaan penunjangdiagnosis yang tidak akurat.4

Demam tifoid terutama menyerang anak-anak dan dewasa muda dan

diakui sebagai penyebab utama morbiditas global dengan lebih dari 12,6 juta

kasus di seluruh dunia, dan diperkirakan 600.000 kematian setiap tahunnya.

Hampir 80% kasus dan kematian terjadi di Asia. Tingkat serangan setinggi

1.100 kasus per 100.000 penduduk telah didokumentasikan di negara

berkembang.4

18
Di Indonesia, tifoid jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat

endemis dan banyak dijumpai dikota-kota besar. Tidak ada perbedaan yang

nyata insidensi tifoid pada pria dan wanita. Insiden tertinggi didapatkan pada

remaja dan dewasa muda. Simanjuntak (1990) mengumumkan bahwa insiden

tifoid di Indonesia masih sangat tunggi berkisar 350-810 par 100.000

penduduk. Demikian juga dari telaah kasus demam tifoid di rumah sakit besar

di Indonesia, menunjukan angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun

dengan rata-rata 500/100.000 penduduk. Angka kematian diperkirakan sekitar

0,6-5% sebagai akibat dari keterlambatan mendapat pengobatan serta tingginya

biaya pengobatan.2

Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau

Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang,

gram negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela

(bergerak dengan rambut getar). Kuman ini tahan terhadap selenit dan natrium

deoksikolat yang dapat membunuh bakteri enterik lain, menghasilkan

endotoksin, protein invasin dan MRHA (Mannosa Resistant Haemaglutinin). S.

typhi mampu bertahan hidup selama beberapa bulan sampai setahun jika

melekat dalam, tinja, mentega, susu, keju dan air beku.4

S. typhi adalah parasit intraseluler fakultatif, yang dapat hidup dalam

makrofag dan menyebabkan gejala-gejala gastrointestinal hanya pada akhir

19
perjalanan penyakit,biasanya sesudah demam yang lama, bakteremia dan

akhirnya lokalisasi infeksi dalam jaringan limfoid submukosausus kecil.4

Salmonella typhi adalah bakteri batang gram negatif yang

menyebabkan demam tifoid. Salmonella typhi merupakan salah satu penyebab

infeksi tersering di daerah tropis, khususnya di tempat-tempat dengan higiene

yang buruk.

Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:

1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh

kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut

juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak

tahan terhadap formaldehid.

2. Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau pili

dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan

terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol yang

telah memenuhi kriteria penilaian.

3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat

melindungi kuman terhadap fagositosis.

Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan

menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut

aglutinin.

20
Gambar 2.1. KumanSalmonella typii secara skematik

Patogenesis Demam Tifoid

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh

manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman

dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan

berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik

maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia.

Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit

terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam

makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian

ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus

kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah

(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke

seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ

21
ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar

sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi

yang mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-

tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia,

sakit kepala dan sakit perut.1,2

Gambar 2.2 Patogenesis masuknya kuman Salmonella typhi

Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan

diagnosis berdasarkan kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman

Salmonella typhi. Imunitas seluler berperan dalam penyembuhan penyakit,

berdasarkan sifat kuman yang hidup intraselluler. Adanya rangsangan antigen

kuman akan memicu respon imunitas humoral melalui sel limfosit B,

kemudian berdiderensiasi menjadi sel plasma yang akan mensintesis

immunoglobulin (Ig). Yang terbentuk pertama kali pada infeksi primer adalah

antibodi O (IgM) yang cepat menghilang, kemudian disusul antibodi flagela H

22
(IgG). IgM akan muncul 48 jam setelah terpapar antigen, namun ada pustaka

lain yang menyatakan bahwa IgM akan muncul pada hari ke 3-4 demam.1,2

Gambar 2.3 Respon antibodi terhadap infeksi Salmonella typhi

Gejala Klinis

Manifestasi gejala klinis demam tifoid dan derajat beratnya penyakit

bervariasi pada populasi yang berbeda. Sebagian besar pasien yang dirawat di

rumah sakit (RS) dengan demam tifoid berusia 5-25 tahun. Namun, beberapa

penelitian di komunitas menunjukkan bahwa demam tifoid dapat terjadi

padausia kurang dari 5 tahun dengan gejala non-spesifik yang secara klinis

tidaktampak seperti tifoid.1,2,8

Gejala klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan sangat bervariasi

yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid

tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas

disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang

berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain,

23
ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau

perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran

klinisnya saja.8

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika

dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 7 – 21 hari.

Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak

enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Gejala-gejala

klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari

asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga

kematian.1

Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul

pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba,

dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septikemia oleh

karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada Salmonella typhi. Gejala

menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang

hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh

malaria.1,2

Demam tifoid dan malaria dapat timbul secara bersamaan pada satu

penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai

gejala meningitis, di sisi lain Salmonella typhi juga dapat menembus sawar

darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang

mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri

24
perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Penderita pada tahap

lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus.1,2,8

Gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu:1,2

1. Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris

remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh

berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari

dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua,

penderita terus berada dalam keadaan demam. Demam akan meningkat

secara progresif dan pada minggu kedua, demam seringkali tinggi dan

menetap (39-40 derajat celsius). Dalam minggu ketiga suhu tubuh

berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.

2. Gangguan pada saluran pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-

pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung

dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin

ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa

membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi,

akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare. Bradikardia

relative dan konstipasi dapat ditemukan pada demam tifoid, namun bukan

gejala yang konsisten ditemukan di beberapa daerah geografis lainnya.

Beberapa rose spot, lesi maculopapular dengan diameter sekitar 2-4 mm,

25
dilaporkan pada 5%-30% kasus yang tampak terutama pada abdomen dan

dada.

3. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam,

yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.

Demam tifoid merupakan penyakit demam yang sering ditemukan

dinegara berkembang. Pemberian antibiotik menyebabkan perubahan

gejalaklinis demam tifoid sehingga gejala demam klasik yang meningkat

secara perlahan seperti stepladder dan toksisitas jarang ditemukan. Namun

resistensi antimikroba sering menyebabkan gejala penyakit menjadi berat dan

terjadi komplikasi.6

Banyak faktor yang mempengaruhi derajat beratnya penyakit dan

gejalaklinis infeksi, yaitu lamanya penyakit sebelum diberikan antimikroba

yangtepat,pemilihan antimikroba, umur pasien, riwayat imunisasi, virulensi

strainbakteri, jumlah kuantitas inokulum yang tertelan, dan beberapa faktor

daristatus imun pejamu.6

Perjalanan Penyakit

1. Masa Inkubasi

Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya

adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dangejala penyakit tidaklah

khas, berupa anoreksia, rasa malas, sakit kepala bagian depan, nyeri otot,

lidah kotor, gangguan perut (perut kembung dan sakit).8

26
2. Minggu pertama (awal infeksi)

Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada

awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi

yang berpanjangan yaitu setinggi 39ºc hingga 40ºc, sakit kepala, pusing,

pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100

kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran

bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan

sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering

terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung

merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita

sedangkan tenggorokan terasa kering dan meradang. Jika penderita ke

dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-

gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam

kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen

disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung

3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada

penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4

mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau

dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang

berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan

abdomen mengalami distensi.8

3. Minggu kedua

27
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap

hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore

atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus

menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan

penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif

nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan

peningkatan suhu, saat ini relative nadi lebih lambat dibandingkan

peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia semakin berat yang ditandai

dengan keadaan penderita yang mengalami delirium. Gangguan

pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering, merah mengkilat.

Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare

menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi

perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering

berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau

jika berkomunikasi dan lain-lain.8

4. Minggu Ketiga

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu.

Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan

membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun.

Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan

perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus.

Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat

dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot

28
bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Meteorisme dan

timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti

dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut

nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka

hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat

dingin, gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya

memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik

merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam

tifoid pada minggu ketiga.8

5. Minggu Keempat

Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat

dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.8

Pemeriksaan Penunjang

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis

yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Penelitian yang

menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik

dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh masih

terus dilakukan hingga saat ini.9

Sampai saat ini, baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan

biakan empedu walaupun hanya 40%-60% kasus biakan positif, terutama pada

awal perjalanan penyakit. Biakan spesimen tinja dan urin menjadi positif

setelah akhir minggu pertama infeksi, namun sensitivitasnya lebih rendah. Di

29
negara berkembang, ketersediaan dan penggunaan antibiotik secara luas,

menyebabkan sensitivitas biakan darah menjadi rendah. Biakan sumsum tulang

lebih sensitif, namun sulit dilakukan dalam praktek, invasif, dan kurang

digunakan untuk kesehatan masyarakat.9

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis

demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu:

1. Pemeriksaan Hematologi

Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Hitung leukosit

yang rendah sering berhubungan dengan demam dan toksisitas penyakit,

namun kisaran jumlah leukosit bisa lebar. Pada anak yang lebih muda

leukositosis bisa mencapai 20.000-25.000/mm3. Trombositopenia dapat

merupakan marker penyakit berat dan disertai dengan koagulasi

intravascular diseminata. Pemeriksaan fungsi hati dapat berubah, namun

gangguan hati yang bermakna jarang ditemukan.9

2. Pemeriksaan Widal

Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H

S.typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal

memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dan penggunaannya

sebagai satu-satunya pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat

mengakibatkan overdiagnosis. Kadar aglutinin tersebut diukur dengan

menggunakan pengenceran serum berulang. Pada umumnya antibodi O

meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal

penyakit.9

30
Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati karena

beberapa faktor mempengaruhi hasilnya, antara lain stadium penyakit,

pemberian antibiotik, teknik laboratorium, endemisitas penyakit tifoid,

gambaran imunologi masyarakat setempat, dan riwayat imunisasi demam

tifoid. Sensitivitas dan spesifisitas rendah tergantung kualitas antigen yang

digunakan bahkan dapat memberikan hasil negatif pada 30% sampel

biakan positif demam tifoid.9

Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%, dan

nilai prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat

terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella,

enterobacteriaceae, pemeriksaan dilakukan di daerah endemis infeksi

dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan preparat antigen

komersial yang bervariasi serta standardisasi yang kurang baik.

Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2 minggu kemudian sehingga

kenaikan 4 kali, terutama agglutinin O memiliki nilai diagnostik yang

penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat berbeda

dari >1/806 sampai >1/320 antar laboratorium tergantung endemisitas

demam tifoid di masyarakat setempat dengan catatan 8 bulan terakhir tidak

mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam tifoid.9

Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai

arti penting dan sebaiknya dihindari oleh karena beberapa alasan, yaitu

variablitas alat pemeriksaan, kesulitan memperoleh titer dasar dengan

kondisi stabil, paparan berulang Salmonella typhi di daerah endemis, reaksi

31
silang terhadap non-Salmonella lain, dan kurangnya kemampuan

reprodusibilitas hasil pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan serologi untuk

aglutinin Salmonella seperti pemeriksaan Widal bahkan tidak dianjurkan.9

3. Pemeriksaan serologi terhadap spesimen darah

Pemeriksaan diagnostik baru saat ini tersedia, seperti Typhidot atau Tubex

yang mendeteksi antibodi IgM antigen spesifik O9 lipopolisakarida S.

typhi. Dalam dua dekade ini, pemeriksaan antibodi IgM dan IgG spesifik

terhadap antigen Salmonella typhi berdasarkan enzyme-linked

immunosorbent assay (ELISA) berkembang. Antigen dipisahkan dari

berbagai struktur subselular organisme antara lain: liposakarida (LPS),

outer membrane protein (OMP), flagella (d-H), dan kapsul (virulence [Vi]

antigen). Telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa pemeriksaan

ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas hampir 100% pada pasien demam

tifoid dengan biakan darah positif Salmonella typhi. Pemeriksaan antibodi

IgM terhadap antigen O9 lipopolisakarida Salmonella typhi (Tubex)R dan

IgMterhadap Salmonella typhi (Typhidot)Rmemiliki sensitivitas dan

spesifitas berkisar 70%dan 80%.Tabel 1 memperlihatkan perbandingan

beberapa pemeriksaanpenunjang untuk demam tifoid.Pemeriksaan serologi

tersebut dapat dibaca secara visual dalam waktu 10menit dengan

membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna dannilai > 6

dianggap sebagai positif kuat. Namun interpretasi hasil serologi yangpositif

harus dilakukan secara hati-hati pada kasus tersangka demam tifoid

didaerah endemis karena IgM dapat bertahan sampai 3 bulan, sedangkan

32
IgGsampai 6 bulan.6Tes IgM Anti Salmonella memiliki beberapa

kelebihan:9

- Deteksi infeksi akut lebih dini dan sensitive, karena antibodi IgM

muncul paling awal yaitu setelah 3-4 hari terjadinya demam

(sensitivitas > 95%).

- Lebih spesifik mendeteksi bakteri Salmonella typhi dibandingkan

dengan pemeriksaan Widal, sehingga mampu membedakan secara tepat

berbagai infeksi dengan gejala klinis demam (spesifisitas >93%).

- Memberikan gambaran diagnosis yang lebih pasti karena tidak hanya

sekedar hasil positif dan negatif saja, tetapi juga dapat menentukan

tingkat fase akut infeksi.

- Diagnosis lebih cepat, sehingga keputusan pengobatan dapat segera

diberikan.

- Hanya memerlukan pemeriksaan tunggal dengan akurasi yang lebih

tinggi dibandingkan Widal serta sudah diuji di beberapa daerah

endemic penyakit tifoid.6

4. Pemeriksaan PCR

Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap Salmonella typhi hanya

membutuhkan waktu kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang

tinggi sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa

yang membutuhkan waktu 5-7 hari. In-flagelin PCR terhadap Salmonella

typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%.13 Pemeriksaan

nested polymerase chain reaction(PCR) menggunakan primer H1-d dapat

33
digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik Salmonella typhi dari darah

pasien dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat yang menjanjikan.

Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari Salmonella typhi

dapat dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%), dikuti dari specimen

darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68.1%).9

5. Pemeriksaan serologi dari spesimen urin

Pemeriksaan ELISA terhadap antibodi monoklonal spesifik antigen 9 grup

D Salmonella dari spesimen urin pada satu kali pemeriksaan memiliki

sensitivitas 65%, namun pemeriksaan urin secara serial menunjukkan

sensitivitas 95%. Pemeriksaan ELISA menggunakan antibodi monoklonal

terhadap antigen 9 somatik (O9), antigen d flagella (d-H), dan antigen

virulensi kapsul (Vi) pada spesimen urin memiliki sensitivitas tertinggi

pada akhir minggu pertama, yaitu terhadap ketiga antigen Vi terdeteksi

pada 9 kasus (100%), O9 pada 4 kasus (44%) dan d-H pada 4kasus (44%).

Spesifisitas untuk Vi lebih dari 90% sehingga deteksi antigen Vi pada urin

menjanjkan untuk menunjang diagnosis demam tifoid, terutama dalam

minggu pertama sejak timbulnya demam.9

Tabel 1. Perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam


tifoid9

34
6. Pemeriksaan antibodi IgA dari spesimen saliva

Pemeriksaan diagnostik yang mendeteksi antibodi IgA dari

lipopolisakarida Salmonellatyphi dari spesimen saliva memberikan hasil

positif pada 33/37 (89,2%) kasus demam tifoid. Pemeriksaan ELISA ini

menunjukkan sensitivitas 71,4%, 100%, 9,1% dan 0% pada minggu

pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima perjalanan penyakit demam

tifoid.9

35
Diagnosis

Diagnosis definitif demam tifoid tergantung pada isolasi Salmonella

typhi dari darah, sumsum tulang atau lesi anatomi tertentu. Adanya gejala

klinis dari karakteristik demam tifoid atau deteksi dari respon antibodi spesifik

adalah sugestif demam tifoid tetapi tidak definitif. Kultur darah adalah gold

standard dari penyakit ini.

Diagnosis ditegakkan dengan:1,2

1. Biakan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin

pada minggu ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan

ditemukannya Salmonellatypi. Gambaran darah juga dapat membantu

menentukan diagnosis. Jika terdapat lekopeni polimorfonuklear dengan

limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari demam, maka arah

demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis

polimorfonuklear, maka berarti terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam

lesi usus. Peningkatan yang cepat dari lekositosis polimorfonuklear ini

mengharuskan kita waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita.

Tidak selalu mudah mendiagnosis karena gejala yang ditimbulkan oleh

penyakit itu tidak selalu khas seperti di atas. Bisa ditemukan gejala- gejala

yang tidak khas. Ada orang yang setelah terpapar dengan kuman S typhi,

hanya mengalami demam sedikit kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal

itu bisa terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak sengaja

menelan kuman ini langsung menjadi sakit. Tergantung banyaknya jumlah

kuman dan tingkat kekebalan seseorang dan daya tahannya, termasuk

36
apakah sudah imun atau kebal. Bila jumlah kuman hanya sedikit yang

masuk ke saluran cerna, bisa saja langsung dimatikan oleh sistem

pelindung tubuh manusia. Namun demikian, penyakit ini tidak bisa

dianggap enteng, misalnya nanti juga sembuh sendiri.

2. Kultur Gal

Diagnosis definitive penyakit tifus dengan isolasi bakteri Salmonella typhi

dari specimen yang berasal dari darah penderita. Pengambilan specimen

darah sebaiknya dilakukan pada minggu pertama timbulnya penyakit,

karena kemungkinan untuk positif mencapai 80-90%, khususnya pada

pasien yang belum mendapat terapi antibiotik. Pada minggu ke-3

kemungkinan untuk positif menjadi 20-25% and minggu ke-4 hanya 10-

15%.

3. Tes Widal

Penentuan kadar aglutinasi antibodi terhadap antigen O dan H dalam darah

(antigen O muncul pada hari ke 6-8, dan antibodi H muncul pada hari ke

10-12. Pemeriksaan Widal memberikan hasil negatif sampai 30% dari

sampel biakan positif penyakit tifus, sehingga hasil tes Widal negatif bukan

berarti dapat dipastikan tidak terjadi infeksi. Pemeriksaan tunggal penyakit

tifoid dengan tes Widal kurang baik karena akan memberikan hasil positif

bila terjadi: infeksi berulang karena bakteri Salmonella lainnya, imunisasi

penyakit tifus sebelumnya, dan infeksi lainnya seperti malaria dan lain-lain.

4. Pemeriksaan Anti Salmonella typi IgM dengan reagen TubexRTF

37
Pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM dengan reagen TubexRTF

dilakukan untuk mendeteksi antibody terhadap antigen lipopolisakarida O9

yang sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella typhi.

Penatalaksanaan

Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar,

yaitutatalaksana umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus

berupapemberian antibiotik sebagai pengobatan kausal. Tatalaksana demam

tifoidjuga bukan hanya tatalaksana yang ditujukan kepada penderita

penyakittersebut, namun juga ditujukan kepada penderita karier salmonella

typhi,pencegahan pada anak berupa pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis

bagitraveller dari daerah non endemik ke daerah yang endemik demam

tifoid.9,10

1. Tatalaksana Umum

Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam menangani

demam tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik.

Pemberian rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan antipiretik,

pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah bila ada indikasi,

merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup seorang anak

penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak lebih ringan

dibanding orang dewasa, karena itu 90% pasien demam tifoid anak tanpa

komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah sakit dan dengan pengobatan oral

38
serta istirahat baring di rumah sudah cukup untuk mengembalikan kondisi

anak menjadi sehat dari penyakit tersebut.

Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam

atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk

mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.

Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah

pada waktuwaktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia

hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan

karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih. Pengobatan

simtomik diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik yang dijumpai

seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan meteorismus. Sembelit

bila lebih dari 3 hari perlu dibantu dengan paraffin atau lavase dengan

glistering. Obat bentuk laksan ataupun enema tidak dianjurkan karena dapat

memberikan akibat perdarahan maupun perforasi intestinal.9

2. Tatalaksana Khusus

Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak

di negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan

biaya. Berdasarkan ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat

pilihan pertama pengobatan demam tifoid pada anak, terutama di negara

berkembang. Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana obat antibiotik lini

pertamanya adalah golongan fluorokuinolon, seperti ofloksasin,

siprofloksasin, levofloksasin atau gatifloksasin. Persoalan pengobatan

demam tifoid saat ini adalah timbulnya resistensi terhadap beberapa obat

39
antibiotik yang sering digunakan dalam pengobatan demam tifoid atau yang

disebut dengan Multi Drug Resistance(MDR). SalmonellaTyphi yang

resisten terhadap kloramfenikol, yang pertama kali timbul pada tahun 1970,

kini berkembang menjadi resisten terhadap obat ampisilin, amoksisilin,

trimetoprim-sulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap fluorokuinolon.

WHO sendiri telah memberikan rekomendasi pengobatan antibiotik untuk

demam tifoid, yang dibagi atas pengobatan untuk demam tifoid tanpa

komplikasi, baik sebagai terapi utama maupun alternatif dan terapi untuk

demam tifoid yang berat atau dengan komplikasi yang membutuhkan

pengobatan parenteral, seperti pada tabel 2 dan tabel 3.9

Tabel 2. Pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi9

Kloramfenikol tergolong obat ‘lama’ yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid pada anak dan sampai sekarang masih digunakan, terutama di

negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kloramfenikol ditemukan

40
pertama kali pada tahun 1947, diisolasi dari bakteri Streptomyces

venezuelae. Setelah keberhasilan yang ditunjukkan obat ini dalam dua

wabah tifus di tahun 1948, kloramfenikol menjadi antibiotik pertama yang

diproduksi dalam skala besar. Pada tahun 1950, para ahli menemukan

bahwa obat ini dapat menyebabkan anemia aplastik yang serius dan

berpotensi fatal, sehingga pemakaian obat ini menurun drastis. Karena

alasan itulah, dengan pengecualian untuk daerah di mana biaya dan

ketersediaan membuatnya tetap menjadi terapi utama untuk demam tifoid,

kloramfenikol tidak lagi merupakan obat pilihan untuk infeksi tertentu di

beberapa negara maju.9

Tabel 3. Pengobatan demam tifoid yang berat9

Kloramfenikol sampai saat ini masih merupakan obat pilihan

pertamakasus demam tifoid pada anak, walaupun menurut WHO obat ini

dimasukkan sebagai obat alternatif atau obat pilihan atau lini kedua karena

obat lini pertamanya adalah fluorokuinolon, khususnya untuk pengobatan

demam tifoid pada orang dewasa. Kloramfenikol mempunyai beberapa

kelebihan sebagai obat demam tifoid yaitu efikasinya yang baik (demam

turun rata-rata hari ke 4-5 setelah pengobatan dimulai), mudah didapat dan

41
harganya yang murah. Dibandingkan dengan antibiotik yang lain,

kloramfenikol dapat menurunkan demam lebih cepat bila digunakan untuk

pengobatan demam tifoid. Tabel menunjukkan kecepatan penurunan demam

oleh masing-masing obat antibiotik pada kasus demam tifoid pada anak.

Namun Kloramfenikol mempunyai kekurangan, yaitu menyebabkan efek

samping berupa anemia aplastik akibat supresi sumsum tulang,

menyebabkan agranulositosis, menginduksi terjadinya leukemia dan

menyebabkan Gray baby syndrome. Kelemahan lain obat ini adalah

tingginya angka relaps bila diberikan sebagai terapi demam tifoid dan tidak

bisa digunakan untuk mengobati karier Salmonella typhi.9

Tabel 4. Penurunan demam setelah pemberian antibiotik pada demam tifoid

Dengan mempertimbangkan bahwa kasus demam tifoid di Indonesia

masih sangat endemis, dan kebanyakan kasusnya masih berada di daerah

pelosok Indonesia dengan higienitas masyarakatnya yang masih sangat

rendah, serta masih sangat terbatasnya jangkauan pelayanan kesehatan yang

benar-benar optimal, maka untuk pengobatan demam tifoid ini, khususnya

di Indonesia, kloramfenikol tetap menjadi pilihan utama, khususnya pada

pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi.

Amoksisilin dan ampisilin mempunyai kemampuan sebagai obat

demam tifoid, walaupun menurut literatur, kemampuannya masih dibawah

42
kloramfenikol. Umumnya digunakan pada penderita demam tifoid dengan

lekopenia yang tidak mungkin diberikan kloramfenikol, atau yang resisten

terhadap kloramfenikol. Penambahan asam klavulanat pada amoksisilin

dianggap tidak membawa keuntungan yang signifikan bila dibandingkan

dengan pemberian tunggal amoksisilin, sehingga penggunaan Amoksisilin-

Asam klavulanat tidak diberikan dalam pengobatan tifoid. Pemberian

amoksisilin oral selama 14 hari sama efektifnya dengan pemberian

ampisilin IV untuk mengobati demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol. Bebas demam akan tercapai setelah 5 hari pengobatan.9

Obat Trimetoprim-Sulfametoksazol dianggap sama efektifnya dengan

kloramfenikol dalam mengobati demam tifoid. Bersama-sama dengan

amoksisilin, TMP-SMX digunakan pada kasus-kasus demam tifoid yang

resisten terhadap kloramfenikol.

Sefiksim tidak digunakan sebagai obat lini pertama pada pengobatan

demam tifoid tanpa komplikasi. Obat ini hanya digunakan pada kasus

demam tifoid dengan kemungkinan resistensi terhadap obat antibiotik

(MDR), dan sebagai terapi lini kedua atau alternatif terhadap sefalosporin

generasi ke tiga lainnya, yaitu seftriakson. Kelebihan obat ini selain sebagai

terapi alternatif untuk kasus demam tifoid yang MDR juga angka

kekambuhan demam tifoidnya yang rendah. Obat ini bekerja dengan

menginhibisi pertumbuhan Salmonella serovar typhimurium dan typhi yang

menghuni sel-sel monosit yang berasal dari sel THP-1.9

43
Azitromisin dengan dosis 10 mg/kg BB diberikan sekali sehari

selama 7 hari terbukti efektif mengobati demam tifoid baik pada orang

dewasa maupun pada anak dengan waktu penurunan demam yang hampir

mirip dengan bila digunakan kloramfenikol. Obat ini menjadi pilihan

pertama bila kasus demam tifoidnya dicurigai resisten terhadap kuinolon.

Dengan pemberian singkat selama 7 hari, obat ini dinilai cukup efektif

mengobati demam tifoid yang tidak komplikasi.9

Pemberian obat sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson atau

sefotaksim diindikasikan pada kasus-kasus yang resisten terhadap obat

kloramfenikol dan obat antibiotik untuk demam tifoid lainnya. Strain yang

resisten umumnya rentan terhadap obat sefalosporin generasi ini. Bahkan

untuk beberapa kasus yang resisten terhadap fluorokuinolon, obat

seftriakson dianggap masih sensitif dan membawa hasil yang baik bila

digunakan sebagai terapi alternatif, bersama-sama dengan azitromisin dan

sefiksim. Pemberian seftriakson sebaiknya diberikan selama 14 hari, karena

bila diberikan selama 7 hari, kemungkinan relapsnya bertambah dalam 4

minggu setelah terapi seftriakson dihentikan.9

Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa fluorokuinolon,

termasuk siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin dan gatifloksasin

merupakan obat pilihan yang optimal untuk pengobatan demam tifoid,

khususnya pada dewasa dan anak di beberapa negara. Tingkat efikasinya

yang tinggi serta efek sampingnya yang rendah, membuat obat ini banyak

digunakan secara luas di beberapa wilayah di dunia. Namun akhir-akhir ini

44
telah banyak ditemukan kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kuinolon.9

Penggunaannya pada anak masih kontroversial, mengingat efek obat

ini yang dapat merusak pertumbuhan tulang rawan pada anak, sehingga

disebagian besar negara di dunia, obat ini tidak digunakan sebagai obat

demam tifoid, sementara di sebagian lain hanya digunakan pada kasus-kasus

berat atau kasus yang dicurigai resisten terhadap kloramfenikol. Sedangkan

sebagian negara lainnya menganggap obat ini tetap bisa digunakan dengan

mempertimbangkan rasio keuntungan dan resikonya.9

Untuk pengobatan karier demam tifoid, pemberian ampisilin atau

amoksisilin dengan dosis 40 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral

dikombinasi probenesid 30 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral atau

trimetropim-sulfametoksazol selama 4-6 minggu memberikan angka

kesembuhan 80%. Kloramfenikol tidak efektif digunakan sebagai terapi

karier demam tifoid. Selain amoksisilin/ampisilin, untuk pengobatan karier

demam tifoid, beberapa obat dapat dipergunakan, seperti kotrimoksazol,

siprofloksasin dan norfloksasin, walaupun dua obat terakhir tidak sebaiknya

digunakan pada penderita demam tifoid anak.

Tabel 5. Pengobatan demam tifoid karier

45
Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, obtundasi, stupor,

koma dan shock, pemberian deksametason intravena (3mg/kg diberikan

dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan dengan 1mg/kg tiap 6 jam

sampai 48 jam) disamping antibiotik yang memadai, dapat menurunkan

angka mortalitas dari 35-55% menjadi 10%. Demam tifoid dengan penyulit

perdarahan usus kadang-kadang memerlukan transfusi darah. Sedangkan

apabila diduga terjadi perforasi, adanya cairan pada peritoneum dan udara

bebas pada foto abdomen dapat membantu menegakkan diagnosis.

Laparatomi harus segera dilakukan pada perforasi usus disertai penambahan

antibiotik metronidazol dapat memperbaiki prognosis. Reseksi 10 cm di

setiap sisi perforasi dilaporkan dapat meningkatkan angka harapan hidup.

Transfusi trombosit dianjurkan untuk pengobatan trombositopenia yang

dianggap cukup berat sehingga menyebabkan perdarahan saluran cerna pada

pasien-pasien yang masih dalam pertimbangan untuk dilakukan intervensi

bedah.9

Komplikasi Demam Tifoid

Menurut Sudoyo (2010), komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas

dua bagian, yaitu:2

1. Komplikasi Intestinal

a. Perdarahan Usus

Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan

minor yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat

terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut

46
darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5

ml/kgBB/jam.

b. Perforasi Usus

Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul

pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama.

Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang

hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian

menyebarke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat,

tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.

2. Komplikasi Ekstraintestinal

a. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),

miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.

b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi

intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.

c. Komplikasi paru: pneumoni, empiema, dan pleuritis.

d. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.

e. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.

f. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.

g. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis,

polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.

Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia,

keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju,

47
dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara

berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan

diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti

perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis dan

pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.1

Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser.

Typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko

menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier

kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit

traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi

umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan

dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis.1

Pencegahan Demam Tifoid

Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan

makanan dan minumanyang tidak terkontaminasi, higiene perorangan terutama

menyangkut kebersihantangan dan lingkungan, sanitasi yang baik,dan

tersedianya air bersih sehari-hari.Strategipencegahan ini menjadi penting

seiring denganmunculnya kasus resistensi.Selain strategi di atas,dikembangkan

pulavaksinasi terutama untuk para pendatangdari negara maju ke daerah yang

endemic demam tifoid.Vaksin-vaksin yang sudah adayaitu:1

1. Vaksin Vi Polysaccharide

Vaksin ini diberikan pada anak denganusia di atas 2 tahun dengan

dinjeksikansecara subkutan atau intra-muskuler. Vaksinini efektif selama 3

48
tahun dan direkomendasikanuntuk revaksinasi setiap 3tahun. Vaksin ini

memberikan efi kasi perlindungansebesar 70-80%.

2. Vaksin Ty21a

Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salutenterik dan cair yang diberikan

padaanak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan3 dosis yang masing-

masing diselang2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari sebelumdan sesudah

vaksinasi. Vaksin ini efektifselama 3 tahun dan memberikan

efikasiperlindungan 67-82%.

3. Vaksin Vi-conjugate

Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahundi Vietnam dan memberikan

efikasiperlindungan 91,1% selama 27 bulan setelahvaksinasi. Efikasi

vaksin ini menetap selama 46 bulan dengan efi kasi perlindungan sebesar

89%.

B. STOMATITIS

Definisi

Radang mukosa mulut atau stomatitis adalah radang yang terjadi

pada mukosa mulut, biasanya berupa bercak putih kekuningan. Bercak ini

dapat berupa bercak tunggal maupun berkelompok. Radang mukosa mulut

dapat menyerang selaput lendir pipi bagian dalam, bibir bagian dalam, lidah,

gusi serta langit– langit dalam rongga mulut. Munculnya radang mukosa mulut

ini disertai rasa sakit dan merupakan penyakit mulut yang paling sering

49
ditemukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 10% dari populasi

menderita penyakit ini, dan wanita lebih mudah terserang dibandingkan pria.

Etiologi

50
Etiologi radang mukosa mulut masih belum diketahui secara pasti dari seluruh

kasus yang ada, faktor penyebab baru dapat teridentifikasi sekitar 30%.

Menurut Cawson dan Odell, bahwa faktor penyebab radang mukosa mulut

antara lain:

1. Trauma

Adanya riwayat trauma pada penderita sebagai gejala awal misalnya tergigit,

trauma sikat gigi, pemakaian peralatan gigi, sehingga terjadi ulser pada mukosa

mulut.

2. Infeksi

Belum adanya bukti bahwa radang mukosa mulut secara langsung disebabkan

oleh mikroba, diduga yang berperan penting untuk terjadinya radang mukosa

mulut adalah adanya reaksi silang antigen dari streptococcus. Hipotesis lain,

meskipun belum terbukti, 10 menyatakan adanya gangguan regulasi imun yang

disebabkan oleh virus herpes atau virus lainnya.

3. Gangguan Imunologik

Sampai saat ini etiologi radang mukosa mulut belum diketahui, radang mukosa

mulut cenderung dikaitkan dengan proses autoimun. Peneliti lain

mengemukakan adanya perubahan perbandingan antara limfosit T helper dan T

supressor.

4. Gangguan Pencernaan

51
Radang mukosa mulut sebelumnya dikenal dengan nama dyspeptic ulcer

namun jarang berkaitan dengan penyakit gastrointestinal. Adanya hubungan

dengan penyakit ini biasanya karena terjadi defisiensi, terutama defisiensi

vitamin B12 atau asam folat yang terjadi secara sekunder akibat malabsorbsi.

5. Defisiensi Nutrisi

Defisiensi zat besi, vitamin B12 dan asam folat, telah dilaporkan pada lebih

dari 20% penderita dengan radang mukosa mulut. Pemberian vitamin B12 atau

asam folat akan mempercepat penyembuhan radang mukosa mulut.

6. Kelainan Hormonal

Pada beberapa wanita, radang mukosa mulut berkaitan erat dengan fase luteal

dari siklus menstruasi. Beberapa penderita, kekambuhan dari radang mukosa

mulut dikaitkan dengan stres, meskipun masih adanya pertentangan di antara

peneliti.

7. Infeksi HIV

Radang mukosa mulut dapat dijumpai sebagai salah satu kelainan dari infeksi

HIV. Kekambuhan dan keparahannya berhubungan dengan derajat penurunan

imunitas pertahanan tubuh.

8. Faktor Genetik

52
Terdapat sejumlah bukti tentang adanya pengaruh faktor genetik. Riwayat

medis keluarga kadang dijumpai adanya anggota keluarga yang menderita

radang mukosa mulut dan kelainan ini tampaknya lebih banyak mempengaruhi

pasangan saudara kembar yang identik dibandingkan dengan non identik.

Pendapat lain mengatakan bahwa bila kedua oran gtua terserang radang

mukosa mulut maka kemungkinan besar pada beberapa anaknya dapat

ditemukan adanya kelainan tersebut.

Klasifikasi

Berdasarkan gejala klinis radang mukosa mulut dapat diklasifikasikan

menjadi 4 bentuk klinis :11

1. Bentuk minor

Sebagian besar pasien (85%) menderita ulser bentuk minor, yang ditandai

dengan ulser bentuk bulat atau oval, disertai rasa nyeri dengan diameter antara

2−4 mm, kurang dari 1 cm dan dikelilingi oleh pinggiran yang eritematous.

Ulser ini cenderung mengenai daerah non keratin, seperti mukosa labial,

mukosa bukal, dan dasar mulut. Ulsernya bisa tunggal atau merupakan

kelompok yang terdiri dari empat sampai lima dan menyembuh dalam waktu

7−14 hari tanpa disertai pembentukan jaringan parut.

2. Bentuk mayor

Radang mukosa mulut tipe mayor dijumpai pada kira-kira 10% penderita, ulser

bentuk mayor ini lebih besar dari bentuk minor. Ulsernya berdiameter 1−3 cm,

53
sangat sakit dan disertai dengan demam ringan, terlihat adanya limfadenopati

submandibula. Ulser ini dapat terjadi pada bagian mana saja dari mukosa

mulut termasuk daerah berkeratin. Berlangsung selama 4 minggu atau lebih

dan sembuh disertai pembentukan jaringan parut.

3. Bentuk Herpetiformis

Bentuk Herpetiformis mirip dengan ulser yang terlihat pada infeksi herpes

primer, sehingga dinamakan herpetiformis. Gambaran yang paling menonjol

adalah adanya ulser kecil berjumlah banyak dari 9 puluhan hingga ratusan

dengan ukuran mulai sebesar kepala jarum (1−2 mm) sampai gabungan ulser

kecil menjadi ulser besar yang tidak terbatas jelas sehingga bentuknya tidak

teratur.

4. Bentuk Sindrom Behcet

Sindrom behcet merupakan sindrom yang mempunyai tiga gejala yaitu aphthae

dalam mulut, ulser pada genital dan radang mata. aphthae dalam mulut dari

sindrom behcet mirip dengan radang mukosa mulut dan biasanya merupakan

gejala awal dari sindrom behcet.

54
Diagnosis Banding

Diagnosis Banding Gambaran klinis radang mukosa mulut memiliki

kemiripan dengan lesi lain di dalam rongga mulut. Gambaran lesi ini secara

klinis mirip dengan lesi intra oral pada ulkus traumatikus, gingivitis herpetika

akut, eritema multiformis, dan ulserasi dari penyakit sistemik seperti Crohn’s

disease. Radang mukosa mulut dapat dibedakan dari lesi lain di dalam rongga

mulut berdasarkan gambaran klinis yaitu ulser yang berbentuk bulat atau oval,

bersifat kambuhan, dapat sembuh dengan sendirinya tanpa disertai gejala

lainnya.

Tatalaksana

Tujuan dari pengobatan simtomatik yang dilakukan adalah untuk mengurangi

rasa nyeri, mempersingkat perjalanan lesi, dan memperpanjang interval bagi

kemunculan lesi.

Obat yang dapat digunakan antara lain: anestetikum (benzocaine 4%

dalam borax glycerine), obat kumur antibiotika (chlorhexidine gluconate 0,2%,

larutan tetrasiklin 2%), anti inflamasi dan anti udema (sodium hyaluronat),

obat muko-adhesive dan anti inflamasi (bentuk kumur atau gel), kortikosteroid

topikal (triamcinolone in orabase).

Kortikosteroid tidak mempercepat penyembuhan lesi, tetapi dapat

mengurangi rasa sakit pada peradangan yang ada. Sedangkan pada

triamcinolone in orabase, kortikosteroid dicampur dengan media orabase

yang dapat membuatnya melekat pada mukosa mulut yang selalu basah. Jika

55
pengolesan obat ini dilakukan dengan tepat, maka orabase akan menyerap

cairan dan membentuk gel adesif yang dapat bertahan melekat pada mukosa

mulut selama satu jam atau lebih. Namun, pengolesan pada erosi/ulser agak

sedikit sulit untuk dilakukan. Gel yang terjadi akan membentuk lapisan

pelindung di atas ulkus, sehingga pasien akan merasa lebih nyaman.

Kortikosteroid akan dilepaskan secara perlahan. Selain itu obat ini juga

memiliki sifat anti inflamasi.

Berdasarkan percobaan yang dilakukan di Inggris dan Amerika Serikat,

obat kumur tetrasiklin secara bermakna dapat menurunkan frekuensi dan

keparahan stomatitis aftosa. Isi kapsul tetrasiklin (250 mg) dilarutkan dalam 15

mL air matang, ditahan selama 2 – 3 menit dalam mulut, dikumur tiga kali

sehari. Pada beberapa pasien, penggunaan selama 3 hari dapat meredakan

stomatitis aftosa rekuren.

Obat kumur chlorhexidine 0,2% juga dapat digunakan untuk meredakan

durasi dan ketidaknyamanan pada stomatitis aftosa. Cara penggunaannya

adalah tiga kali sehari sesudah makan, ditahan dalam mulut selama minimal 1

menit .

Kadang pemberian vitamin B-12 atau asam folat sudah cukup untuk

meredakan stomatitis aftosa frekuren.11,12

56
BAB IV

PEMBAHASAN

Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella entericaserovartyphi (Salmonella typhi). Salmonella

entericaserovar paratyphi A, B, dan C juga dapat menyebabkan infeksi

yang disebut demam paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke

dalam demam enterik. Pada daerah endemik, sekitar 90% dari demam

enterik adalah demam tifoid. Demam tifoid juga masih menjadi topik yang

sering diperbincangkan.1

Dari hasil anamnesis diperoleh keluhan demam yang dialami

pasien sejak ±4 hari sebelum masuk rumah sakit, dimana demam bersifat

naik turun. Demam terutama dirasakan pada malam hari dan turun pada

pagi hari. Demam turun dengan obat penurun panas dan kemudian

demam kembali lagi. Demam diseratai mual (+), muntah (-), nyeri

menelan (+), Nyeri ulu hati (+), Heart burn(+), Regurgitasi (-), nyeri

perut (-).Nafsu makan menurun, nafsu minum menurun, BAB encer (-)

ampas (-) lender (-) darah(-), BAK kesan lancar.

Sesuai dengan kepustakaan gejala klinis yang biasa ditemukan,

yaitu: Demam. berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu

tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur

meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat

lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus

berada dalam keadaan demam. Demam akan meningkat secara progresif

57
dan pada minggu kedua, demam seringkali tinggi dan menetap (39-40

derajat celsius). Dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun

dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.1

Melihat perkembangan pasien selama di RS, Pada pasien ini

didapatkan lemas, sering mau tidur (+), bibir kering (+), bau mulut (+),

lidah kotor (+), Sariawan (+), Bab encer (+).

Sesuai dengan kepustakaan, pada demam typhoid terdapat

gangguan pada saluran cerna berupa , pada mulut terdapat nafas berbau

tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah ditutupi

selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang

disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut

kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada

perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula

normal bahkan dapat terjadi diare. Bradikardia relative dan konstipasi

dapat ditemukan pada demam tifoid, namun bukan gejala yang konsisten

ditemukan di beberapa daerah geografis lainnya. Beberapa rose spot, lesi

maculopapular dengan diameter sekitar 2-4 mm, dilaporkan pada 5%-30%

kasus yang tampak terutama pada abdomen dan dada.12

Sesuai dengan kepustakaan, pada demam typhoid juga dapat

terjadi Gangguan kesadaran. Umumnya kesadaran penderita menurun

walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang

terjadi sopor, koma atau gelisah. Mengantuk terus menerus, mulai kacau

58
jika berkomunikasi dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena Salmonella

tyhpi dapat menembus sawar otak yang dapat menyebabkan meningitis.

Pada pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan imunologis/

Tes Widal. Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas

91,4%, dan nilai prediksi positif 80%.

- Salmonella Typhi O :1/320

- Salmonella Typhi AO : non-reaktif

- Salmonella Typhi BO : non-reaktif

- Salmonella Typhi H : 1/320

- Salmonella Typhi AH : non-reaktif

- Salmonella Typhi BH : non-reaktif

Adapun pemeriksaan lab

- WBC : 3,84 x 103/ ul ( menurun )

- HGB : 16,1 x g/dl ( Normal )

- HCT : 43,6 % ( Normal )

- PLT ; 135x103/ul ( Menurun )

- LED : 15 mm (meningkat)

Sesuai dengan kepustakaan, pada demam typhoid jumlah


leukosit rendah, namun jarang dibawah 3 x 103/ ul, apabila terjadi abses
piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20 x 103/ ul-
25 x 103/ ul. Untuk trombositopenia sering dijumpai, kadang-kadang
berlangsung beberapa minggu.

59
Pada tatalaksana pasien diberikan :

- Diet Lunak

- IVFD RL 20 tpm

- Drips sanmol 550mg/8 jam/iv

- Ranitidin amp/12j/iv

- Coviplex tab 1xI

- Inj Ceftriaxone 1gr/12j/iv

- Sanorine obat kumur

- Koltaren tab 2x1

- Tirah baring

Sesuai dengan kepustakaan, pasien demam tifoid dapat diobati

dirumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan

kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotic. Sedangkan untuk

kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan,

elektrolit, serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul

penyulit dapat dilakukan dengan seksama. Pengobatan antibiotic

merupakan pengobtan utama karena pada dasarnaya pathogenesis

infeksi Salmonella Typhi berhubungan dengan bakteriemia.

60
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmoe, S. Dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatri Tropis.


Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak FKUI
2. Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/Menkes/SK/V/2006. Pedoman Pengendalian Demam Tiphoid
Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
3. Keri,L . Rahmasari,V. 2018. Managemen Terapi Demam Tiphoid.
Kajian Terapi Farmakologis Dan Non Farmakologis. Jawa Barat.
Universitas Padjajaran.
4. Cita,Y. 2011 . Bakteri Salmonella Demam Tifoid. Vol. 6. Jurnal
Kesehatan Masyarakat
5. Satari,IH. 2010. Pilihan Terapi Empiris Demam Tiphoid Pada Anak
Kloramfenikol Atau Ceftriaxon. Jakarta. FKUI.
6. Ramaningrum,G. Anggaraeny,DH. Tiara,PP. 2010. Faktor- Faktor
Yang Mempengaruhi Kejadian Demam Tiphoid Pada Anak Di RSUD
Tugurejo Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Semarang.
7. Mutiarasari. D. Dkk. 2017.Karakteristik Usia, Jenis Kelamin, Tingkat
Demam, Kadar Hemoglobin, Leukosit Dan Trombosit Penderita
Demam Tifoid Pada Pasien Anak Di Rsu Anutapura. Vol. 4.Jurnal
Ilmiah Kedokteran.
8. Nelwan. R. 2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Vol 39.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM-Jakarta.
9. Hadinegoro, S. Dkk.2012.Update Management Of Infectious Diseases
And Gastrointestinal Disorders. Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI.
10. Standar Pelayanan Medis. Kesehatan Anak. Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FK UNHAS. Makassar. 2013.
11. Hafizah, S. Stomatitis Aftosa Rekuren. FKG USU. 2015

61
12. Nurdian, M. 2011. Penatalaksanaan stomatitis aftosa rekuren mayor
dengan infeksi sekunder. Vol 10. Dentofasial.

62

Anda mungkin juga menyukai