Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan saraf yang terdapat pada otak

bagian sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari

sistem ekstrapiramidal adalah terutama di formation reticulari dari pons dan

medulla dan di targer saraf di medulla spinalis yang mengatur reflex, gerakan –

gerakan yang kompleks dan kontrol postur tubuh.8,9

Istilah sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu kelompok atau

reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari

medikasi antipsikotik. Istilah ini mungkin dibuat karena banyak gejala

bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala –

gejala itu diluar kendali traktus kortikospinal (pyramidal).

Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi

dystonia akut, tardive dyskinesia, akatisia, dan parkinsonisme (Sindrom

Parkinson).Salah satu gejala pada ekstrapiramidal sindrom yaitu reaksi dystonia

akut, dimana tortikolis merupakan salah satu gangguan yang ada pada reaksi

dystonia akut.Reaksi dystonia akut adalah kontraksi otot yang singkat atau lama,

biasanya menyebabkan gerakan atau postur yang abnormal, termasuk kirisis

okulogirik, prostrusi lidah, trismus, tortikolis, dystonia laring-faring dan postur

distonik pada anggota gerak dan batang tubuh. Distonia sangat tidak

menyenangkan, kadang – kadang menyakitkan dan sering kali menakutkan

pasien.10

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Tortikolis merupakan leher yang terputar atau keadaan dimana otot-otot

leher terkontraksi disertai perputaran leher.1 Tortikolis bisa juga diartikan

sebagai istilah umum untuk berbagai kondisi dystonia kepala dan leher , yang

menampilkan variasi tertentu dalam gerakan kepala (komponen phasic)

ditandai dengan arah gerakan (horizontal , seolah-olah mengatakan " tidak" ,

atau vertikal , seolah-olah mengatakan " iya"). Tortikolis berasal dari bahasa

Latin , tortus , berarti memutar dan collum , berarti leher .2

B. Etiologi

Etiologi tortikolis terbagi menjadi etiologi lokal, etiologi

kompensasi, dan etiologi sentral. Masing-masing akan dijelaskan dibawah ini.

1. Etiologi sentral

Tortikolis sering disebabkan oleh reaksi distonia sekunder terhadap

obat-obatan seperti phenotiazin, metoclopramide, haloperidol,

carbamazepine, phenytoin, and terapi L-dopa. Pada wamita usia 30-60

tahun idiopatik spasmodic tortikolis meningkat. Sedangkan, pada anak

etiologinya torsion dystonia, drug-induced dystonia, dan cerebral palsy.

2. Etiologi local

Pada orang dewasa, setiap abnormalitas atau trauma tulang servikal

bisa menyebabkan tortikolis termasuk trauma minor (tegangan/regangan),

fraktur, dislokasi, dan subluxasi, sering menyebabkan spasme dari otot

leher. Penyebab lainnya yakni infeksi, spondylosis, tumor, jaringan parut.

2
Selain itu, infeksi saluran nafas bagian atas dan infeksi jaringan lunak di

leher bisa menyebabkan tortikolis sekunder terhadap kontraktur otot atau

adenitis.

Pada anak usia 2-4 tahun biasanya tortikolis sering disebabkan oleh

abses retrofaringeal. Tortikolis juga bisa terjadi akibat infeksi yang

mengikuti trauma atau infeksi di sekitar jaringan atau struktur leher

termasuk faringitis, tonsillitis, epiglottitis, sinusitis, otitis media,

mastoiditis, abses nasofaring, dan pneumonia lobus atas.

3. Etiologi kompensasi

Tortikolis sering merupakan mekanisme kompensasi dari penyakit

atau symptom lain seperti strabismus dengan parese nervus IV, nistagmus

kongenital, dan tumor fossa posterior.

C. Patofisiologi

1. Acquired Torticollis

Patofisiologi dari torticollis yang didapat adalah tergantung dari

penyakit yang mendasarinya. Spasme dari otot leher yang menyebabkan

tortikolis merupakan hasil dari injury atau inflamasi dari otot cervical atau

nervus kranialis dari proses penyakit yang berbeda.2

Sebagai penyakit neurodegeneratif, tortikolis diyakini muncul dari

kelainan sirkuit ganglia basalis yang berasal dari kerentanan selektif

struktur ini untuk proses biokimia abnormal yang mengarah ke disfungsi

neuronal. Beberapa indikasi keterlibatan sirkuit dopamine-secreting berasal

dari temuan rendahnya tingkat metabolit dopamin dalam cairan

serebrospinal (CSF).

3
Tortikolis akut juga bisa disebabkan oleh trauma tumpul pada

kepala dan leher atau dari kesalahan posisi saat tidur. Tortikolis akut

biasanya akan sembuh dengan sendirinya dalam beberapa hari dampai

minggu atau setelah menghentikan obat pada tortikolis akut yang

disebabkan oleh obat-obatan seperti dopamine reseptor blocker,

metoclopramide, phenytoin, carbamazepin.2

Idiopatik spasmodik tortikolis (IST) adalah bentuk tortikolis yang

progresif, diklasifikasikan sebagai dystonia fokus.Etiologi tidak jelas,

meskipun diduga ada lesi thalamus.Hal ini ditandai dengan etiologi

nontraumatic terdiri dari episodik tonik dan / atau kontraksi involunter

klonik otot leher. Gejala berlangsung lebih dari 6 bulan dan menghasilkan

cacat somatic dan psikologis.2

Benign paroxysmal tortikolis adalah kondisi pada bayi yang

ditandai dengan episode berulang dari kepala miring dengan muntah, pucat,

irritabilitas, ataksia, atau mengantuk dan biasanya terjadi dalam beberapa

bulan pertama kehidupan dan akan sembuh dengan sendirinya.2

2. Congenital Torticollis

Tortikolis kongenital jarang dijumpai (insidensi <2%) dan diyakini

disebabkan oleh trauma lokal pada jaringan lunak leher sebelum atau

selama persalinan. Trauma otot sternokleidomastoideus saat proses

persalinan menyebabkan fibrosis atau malposisi intrauterine yang

menyebabkan pemendekan dari otot sternokleidomastoideus. Bisa juga

terjadi hematom yang diikuti dengan kontraktur otot.Biasanya anak-anak

seperti ini lahir dengan persalinan sungsang atau menggunakan forseps.

4
Penyebab lain yang mungkin yakni herediter dan oklusi arteri atau vena

yang menyebabkan fibrosis jaringan didalam otot

sternokleidomastoideus.2,4,5

D. Diagnosis

Pada tortikolis, penegakkan diagnosis tortikolis harus berdasarkan

riwayat penyakit sebelumnya dan pemeriksaan fisik. Manifestasi klinis

yang didapat dari pemeriksaan yaitu kepala miring ke arah yang sakit

(setelah menyingkirkan penyebab lain seperti anomali tulang, diskitis,

limfadenitis), leher menjadi tidak seimbang dan pendek pada bagian yang

fibrosis, di sisi yang fibrosis telinga mendekati bahu, garis mata dan garis

bahu membentuk sudut (normalnya sejajar), perkembangan muka dapat

menjadi asimetris, dan terdapat benjolan berbatas tegas yang melibatkan

satu atau kedua caput sternocledomastoideus. Benjolan ini bersifat firm,

tidak nyeri, terdiri dari jaringan fibrotic dengan deposit kolagen dan

migrasi fibroblast disekitar serat sternokleidomastoideus yang atrofi.

Didapati riwayat kelahiran sukar atau sungsang serta trauma pada proses

persalinan seperti fraktur klavikula pada tortikolis kongenital. Selain itu,

perinatal asfiksia, jaundice, kejang, penggunaan obat-obatan,

gastroesofageal reflux disease (GERD), atau sindrom Sandifer juga turut

menjadi penyebabnya.4,6

Selanjutnya, tipe dari deformitas harus diselidiki, sebagaimana

kombinasi dan fleksi dan rotasi, apakah deformitas tersebut rigid atau

fleksibel, dan apakah bisa sembuh dengan sendirinya atau tidak. Kondisi

kelainan musculoskeletal lainnya seperti hip dysplasia harus diperiksa.

5
Selain itu, pemeriksaan optalmologi perlu dilakukan karena dapat

mengetahui ketidakseimbangan dari otot ekstra ocular yang merupakan

faktor penyebab dari tortikolis.4

Pemeriksaan ultrasonografi berguna sebagai alat diagnostik yang

penting dan untuk menentukan prognosis. Hal ini ditandai dengan

sensitivitas (95.83%) dan spesifisitas (83.33%) dan dapat membedakan

staging dari tortikolis kongenital. Pemeriksaan penunjang yang lebih

modern dan canggih ialah dengan menggunakan magnetic resonance

imaging (MRI). Pada beberapa studi dilaporkan bahwa hasil temuan dari

MRI memiliki korelasi dengan hasil histopatologi.4

E. Penatalaksanaan

1. Anti Kolinergik

Strategi pengobatan bervariasi dan tergantung pada

etiologitortikolis. Pada Tortikolis yang diinduksi obat, langkah pertama

manajemen harustermasuk menghapus atau, jika tidak memungkinkan,

mengurangi dosisagen penyerang. Pada kasus akut, pemberian

antikolinergik, seperti benztropin (mis. 2 mg intravena) danbiperiden (mis.

intramuskular 5 mg) atau antihistamin, sepertidiphenhydramine dapat

menyebabkan pengurangan gejala dalam beberapa menit.

Jika responsnya kurang, pemberian obat harus diulang

setelahnya15-30 menit. Untuk menghindari timbulnya kembali gejala di

atas berikutnya kerangka waktu pemberian antikolinergik oral untuk

paling tidak 4 - 7 hari direkomendasikan.Pemberian antikolinergik oral

mungkin merupakan pendekatan yang paling layak untuk kasus-kasus

6
yang terlihatdi luar pengaturan darurat. Dalam kasus kekurangan terus

menerusrespons pengobatan oral dengan benzodiazepin seperti

clonazepam(mis. 0,5 - 4 mg) mungkin memberikan bantuan gejala.

2. Toksin Botulinum

Pada beberapa studi dilaporkan penggunaan Injeksi toksin

botulinum untuk segala jenis distonia servikal. Injeksi periodik (tiap 3-6

bulan) sejumlah kecil toksin botulinum secara langsung ke dalam beberapa

tempat dari otot yang terpengaruh, sejauh ini merupakan bentuk terapi

yang paling efektif. Injeksi tersebut paling baik dituntun dengan palpasi

otot yang mengalami spasme dan dengan analisis EMG untuk menentukan

manakah dari otot yang mengalami kontraksi tonik yang paling

bertanggungjawab terhadap postur abnormal yang muncul.Semua, kecuali

10% dari pasien tortikolis mengalami penurunan beratnya gejala dengan

terapi tersebut.Efek samping (kelemahan yang berlebihan dari otot yang

diinjeksi, nyeri lokal, dan disfagia-akibat efek sistemik toksin) biasnya

ringan dan sementara. 5-10% dari pasien secara bertahap akan menjadi

resisten terhadap injeksi berulang karena terbentuknya antibodi penetral

terhadap toksin tersebut (Dauer et al). Dalam sebagian besar kasus berat

dan yang refrakter terhadap terapi dengan toksin botulinum, kombinasi

pembedahan dari saraf spinal aksesoria (dari otot sternomastoid yang

paling terdampak) dan dari 3 cabang pertama saraf servikal motoris secara

bilateral, dapat dengan sukses mengurangi spasme otot tanpa

menimbulkan total paralisis. Setidaknya berkurangnya gejala dicapai

hingga jangka waktu 6 tahun pada 1/3 dari total kasus yang diterapi

7
melalui cara tersebut (Krauss et al; Ford et al). Thalatomy bilateral juga

pernah dicoba, namun karena kurang fektif dan menyebabkan resiko yang

cukup berat, terutama dalam hal fungsi bicara dna menelan, cara tersebut

hanya dipakai untuk pasien dengan derajat sangat berat dengan distonia

yang luas. Prosedur pembedahan tersebut saat ini jarang dilakukan dengan

adanya terapi dengan toksin botulinum.Metode ini aman dan efektif pada

anak dan remaja. Toksin ini akan menurunkan spasme dan dapat

meregangkan otot yang kaku secara manual. Beberapa kasus tortikolis

dewasa berhasil diatasi dengan toksin botulinum ini. Akan tetapi, tidak ada

bukti ilmiah yang adekuat untuk keamanan dan efisiensi dari pengobatan

modern ini.4

3. Terapi Fisik

Peregangan secara pasif dan manual pada otot

sternokleidomastoideus sebelum usia 12 bulan adalah terapi fisik yang

paling efektif. Hal ini dapat dilakukan oleh orang tua dengan cara satu

tangan berada pada kepala anak dan bahu ipsilateral, kemudian fleksi

lateral dari kepala anak dilakukan berbarengan dengan rotasi ke arah yang

berlawanan. Cara ini dilakukan setidaknya dua kali dalam satu hari,

dilakukan 10-15 peregangan, dengan waktu dilatasi mencapai 30 detik.

Dengan latihan yang dilakukan secara benar dan teratur setiap hari,

didapatkan hasil yang memuaskan yakni lebih dari 90%, dan rekurensi

2%.4

Selain itu, dapat juga dilakukan terapi fisik berupa terapi paraphino

dan thermoterapi, serta iontophoresis dan terapi microcurrent. Terapi fisik

8
yang lain yaitu dengan masase pada otot leher dan jaringan subkutan yang

kaku dapat mengurangi nyeri, mobilisasi sendi, dan terapi kraniosakral.

Pada anak yang lebih besar dapat digunakan penyangga (torticollis brace)

yang bersifat membantu terapi.4

4. Operasi

Penatalaksanaan operatif dianjurkan untuk anak dengan usia diatas

12-18 bulan yang tidak berhasil dengan penatalaksanaan secara konservatif

atau dijumpai wajah yang asimetris dan plagiocephaly (Gambar 2.6).

Operasi untuk memanjangkan otot sternokleidomastoideus yang kontraktur

dijumpai pada 3% kasus. Operasi sangat direkomendasikan jika didapati

keterbatasan gerakan sampai 30 derajat serta pada kasus deformitas tulang

wajah yang kompleks.4

Gambar 2.6 Penatalaksanaan tortikolis secara operatif 4

Menurut Ling et al, waktu yang optimal untuk operasi adalah antara

1-4 tahun. Hal ini didasari pada kebanyakan anak-anak dibawah usia 1

tahun respon terhadap terapi konservatif. Namun demikian, untuk kasus

pada dewasa dengan tortikolis kongenital yang terabaikan, dapat dilakukan

reseksi unipolar pada ujung distal dari otot sternikleidomastoideus.

9
Hasilnya didapati jarak dari gerakan leher dan kemiringan kepala

meningkat dan secara kosmetik tampilannya membaik

5. Prognosis

Semakin muda usia pasien tortikolis, semakin baik prognosisnya. Hasil

yang positif didapatkan pada sekitar 90% kasus yang melakukan latihan

peregangan setiap hari dengan cara yang benar. Rekurensinya sekitar diaras

2%. Faktor prognostik yang negatif didapati pada kasus yang terdapat massa

pada sternokleidomastoideus, rotasi awal dari posisi netral lebih dari 15

derajat, serta pengobatannya baru dimulai setelah usia satu tahun.4,6

Komplikasi dari operasi adalah cedera nervus aksesorius.Angka

relapsnya mencapai 1.2%. Pada suatu studi didapatkan hasil setelah operasi

88.1% sangat baik, 8.3% baik, dan 3.6% cukup baik sampai kurang baik. Hasil

operasi ini dipengaruhi oleh usia dan jarak rotasi leher. Waktu yang optimal

untuk operasi adalah antara 1-4 tahun, meskipun hasil yang baik juga didapati

pada usia pasien di atas 10 tahun saat operasi.7

10
BAB 3
KESIMPULAN

Tortikolis merupakan leher yang terputar atau keadaan dimana otot-otot

leher terkontraksi disertai perputaran leher.1 Tortikolis dapat terjadi sejak lahir,

congenital muscular torticollis (CMT), atau didapat saat dewasa, acquired

torticollis.7 Kelainan kongenital ini ditandai dengan pemendekan otot

sternokleidomastoideus unilateral.4

Etiologi tortikolis terbagi menjadi etiologi lokal, etiologi kompensasi, dan

etiologi sentral. Patofisiologinya dapat terjadi secara bawaan atau didapat,

tergantung dari penyakit yang mendasarinya.2 Manifestasi klinisnya berupa kepala

miring ke arah yang sakit (setelah menyingkirkan penyebab lain seperti anomali

tulang, diskitis, limfadenitis), leher menjadi tidak seimbang dan pendek pada

bagian yang fibrosis, di sisi yang fibrosis telinga mendekati bahu, garis mata dan

garis bahu membentuk sudut (normalnya sejajar), perkembangan muka dapat

menjadi asimetris, dan terdapat benjolan berbatas tegas yang melibatkan satu atau

kedua caput sternocledomastoideus. Selain dari pemeriksaan fisik, pemeriksaan

radiologi USG dan MRI dapat digunakan sebagai penunjang.4,6

Pengobatan tortikolis yang utama adalah bisa diberikan antikoligernik

pada pasien-pasien yang mengalami efek samping dari obat-obat psikotik.Selain

itu dapat diberikam toksin botulinum tetapi untuk pemberian ini belum ada bukti

ilmiah yang adekuat untuk keamanan dan efisiensi dari pengobatan modern

ini.Tindakan operatif juga dapat dilakukan terutama pada pasien-pasien yang

megalami tortikolis kongenital.Selain itu terapi fisik juga diperlukan untuk

pemulihan.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 25. Jakarta : EGC. h

1104

2. Kruer, M.C., et al. Torticollis. Available at

http://emedicine.medscape.com/article/1152543-overview# [Accesed 16th

May 2015]

3. Netter. Interactive Atlas of Human Anatomy. Elsevier. p 91-96

4. Angoules, et al. 2013. Congenital Muscular Torticollis: An Overview.

Available at http://dx.doi.org/10.4172/2329-9126.1000105 [Accesed 16th

May 2015]

5. The Pediatric Orthopaedic Society of North America. 2015. Torticollis.

Available at http://www.posna.org/education/StudyGuide/torticollis.asp

[Accesed 16th May 2015]

6. Apley, A. Graham dkk. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur. Jakarta :

Widya Medika

7. Chang et al. 2013. Case report: A Surgical Treatment for Adult Muscular

Torticollis. Hindawi. Available at

http://www.hindawi.com/journals/crior/2013/965693/[Accesed 16th May

2015]

8. Koban, Yaran; Ekinci, Metin; Cagatay, Halil Huseyin; Yazar, Zeliha.

2014. "Krisis okulogi pada pasien yang menggunakan

metoclopramide" . Oftalmologi Klinis . 8 : 567–569.

9. Mehta, Varun S; Das, Basudeb. 2015. “An Acute Dystonia with Olanzepine”

Journal Of Psychiatry Volume 18 Issue 3 : 1-2.

12
10. Maslim, Rusdi. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkasan PPDGJ-

III dan DSM V. PT Nuh Jaya. Jakarta.

13

Anda mungkin juga menyukai