PENDAHULUAN
Sellulitis
Penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus, atau oleh keduanya disebut
pioderma. Penyebab utamanya ialah Staphylococcus aureus dan Streptococcus B hemolyticus, sedangkan
Staphylococcus epidermis merupakan penghuni normal di kulit dan jarang menyerang infeksi. Faktor
predisposisi pioderma adalah higiene yang kurang, menurunnya daya tahan tubuh, dan telah ada penyakit
lain di kulit. Salah satu bentuk pioderma adalah selulitis yang akan dibahas pada referat ini.
Selulitis adalah peradangan akut terutama menyerang jaringan dermis dansubkutis. Faktor risiko
untuk terjadinya infeksi ini adalah trauma lokal (robekan kulit), luka terbuka di kulit atau gangguan
pembuluh vena maupun pembuluh getah bening2. Lebih dari 40% penderita selulitis memiliki penyakit
1
sistemik3. Penyakitini biasanya didahului trauma, karena itu tempat predileksinya di tungkai bawah 1.
Gejala prodormal selulitis adalah demam dan malaise, kemudian diikuti tanda-tanda peradangan yaitu
bengkak (tumor), nyeri (dolor), kemerahan (rubor), dan teraba hangat (kalor) pada area tersebut.
1.2 Tujuan
1.3 Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari pembuatan laporan kasus ini antara lain:
Dapat memberikan tambahan khasanah ilmu pengetahuan tentang fixed drug eruption dan
selulitis.
Dapat menjadi referensi dan rujukan untuk menndiagnosa serta melakukan penatalaksanaan fixed
drug eruption dan selulitis bagi para klinisi
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1.
Identitas
Nama
: Ny.S
Umur
: 46 tahun
Pekerjaan
Alamat
Status perkawinan
: Menikah
Agama
2.2.
: Islam
Suku
: Jawa
Tanggal masuk RS
: 1 Desember 2012
Tanggal pemeriksaan
: 6 Desember 2012
No. Register
: 0510107
Anamnesa
Dilakukan pada tanggal 6 Desember 2012 jam 13.00 WIB didapat secara autoanamnesis dan
Heteroanamesis dari anak perempuan pasien.
1.
Keluhan Utama
a) Gatal di daerah kedua mata.
b) Kedua kaki gatal, nyeri dan panas.
2.
Pasien datang dengan keluhan gula darah tinggi dengan luka pada kaki sebelah kanan di jempol
dan telapak kaki. Gula darah pada waktu datang 300 mg/dl. Pasien dirawat di UGD dan diberikan infus
metronidazole, 1 jam kemudian pasien mengeluh panas dan gatal pada kedua matanya. Setelah itu pasien
dikirim ke ruangan dan diberi salep hidrokortison 2,5%.
Luka di kaki pasien dirawat oleh dokter bedah setelah 3 hari opname. Keesokan harinya, pasien
mengeluh kakinya terasa panas, nyeri dan kelihatan merah serta bengkak.
3.
a)
b)
Hipertensi disangkal
c)
Asma disangkal
d)
e)
f)
Ulkus pedis kurang lebih lima tahun yang lalu (pelantar pedis dan digigiti I)
g)
4.
Riwayat Keluarga
a)
b)
c)
d)
2.3.
Pemeriksaan Fisik
a)
Keadaan Umum
1.
KU
2.
BB
: 70 kg
4
3.
Gizi
: Cukup
b)
Vital Sign
1.
Tekanan darah
: 130/80 mmHg
2.
Nadi
3.
Pernafasan
20 kali permenit
4.
Suhu
36,6 oC
Kepala :
Mata: Konjungtiva anemis -/- ; Sklera ikterik -/- ; discharge (-/-),
Hidung: nafas cuping hidung (-), edema (-), discharge (-)
Mulut: Bibir: eritema hingga erosi
Mukosa: dalam batas normal
Ginggiva: dalam batas normal
2. Leher : Retraksi supra sternal tidak ditemukan, deviasi trachea tidak ditemukan, peningkatan JVP (-),
pembesaran KGB tidak ditemukan
3. Thorax
Inspeksi : simetris, ketinggalan gerak (-),retraksi (-).
Palpasi
Auskultasi : SDV :
+
depan : belakang :
5.
Abdomen
Inspeksi
Lebih rendah dari dada, ikterik (-/-), tidak terdapat kelainan kulit.
Auskultasi
Peristaltik normal
Palpasi
Perkusi
Timpani
Ekstremitas
Edema(+) selulitis (+)
6.
Status Lokalis
Lokasi
: Daerah kedua mata
Distribusi
: terlokalisir
Ruam
: macula hiperpigmentasi dengan batas tegas dan krusta
Lokasi
Distribusi
Ruam
: Kedua kaki
: Menyebar
: Makula Eritematous dengan batas tidak tegas. Teraba hangat.
Makula
hiperpigmentasi
Makula
eritematous
ulkus
Eritrosit
AL
: 3,12 (3,5-5,5)
Hct
: 39 (37-43)
Leukosit
: 5,75 (4,0-10,0)
Trombosit
: 325.000 (150.000-400.000)
MCV
: 84,3 (82-92)
MCH
: 25,9 (27-31)
MCHC
: 30,8 (32-37)
GDS
: 274
BUN
: 19,3
9
CR
: 0,67
SGOT
: 6,9
SGPT
:4.4
2.5. Resume
Seorang wanita berumur 46 tahun, datang ke UGD dengan keluhan lemas 3 jam sebelum masuk
rumah sakit. Pasien datang dengan luka di kaki kanan dan dirawat di UGD, kemudian diberi infuse
metronidazol. Setelah itu pasien mengeluh panas dan gatal pada kedua mata dan kemudian dokter di IGD
menghentikan pemberian infuse metronidazol. Di UGD, gula darah pasien 300 mg/dL. Pasien kemudian
dirawat inap. Tiga hari setelah opname, pasien telah dilakukan debridement pada luka di kaki kanannya
oleh dokter bedah. Namun, keesokan harinya, pasien mengeluh kakinya terasa panas, nyeri dan terlihat
bengkak.
Pasien mempunyai riwayat Diabetes Mellitus sejak 10 tahun yang lalu dan rutin minum obat
(Glibenclamid) dan rutin suntik insulin. Manakala luka di kaki kanan pasien sudah dialami sejak 5 tahun
yang lalu dan pasien sering memrawat luka sendiri di rumah.
Riwayat alergi makanan dan obat disangkal, asma disangkal, hipertensi disangkal. Riwayat
keluarga, penyakit yang sama dengan pasien disangkal.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan. Makula hiperpigmentasi berbatas tegas berskuama dengan
lokasi di kedua daerah mata. Terdapat juga makula eritematous dengan batas tidak jelas di kedua belah
kaki.
2.6. Diagnosis Banding
1. Fixed Drug Eruption, Eritematous Multiforme, Steven Johnson Syndrom, Toxic Epidermal
Nekrolisis.
2. Selulitis, erysipelas dan gigitan serangga
2.7. Diagnosis Kerja
1)Fixed Drug Eruption
2) Sellulitis
2.8. Terapi
10
Non-Medikamentosa
Edukasi : memberitahukan pasien untuk tidak menggaruk luka agar luka tidak lecet, infeksi dan
tambah menyebar.
Menganjurkan pasien untuk banyak istirahat.
Medikamentosa
Tanggal 6 desember 2012
Antihistamin, CTM 3x4 mg
Gentamycin cream
Hidrocortison 2,5% cream
Metronidazole 1x 250g
2.9.
Prognosis
Prognosis bagi FDE adalah baik, selagi pasien menghindar faktor pencetus. Manakala bagi selulitis,
dengan perawatan yang adekuat memberi prognosis baik bagi pasien.
2.10. follow up pasien
Tanggal
Subjektif
06/12/2012
1)Fixed
mata.
Eruption
Obyektif
Asessment
N : 80x/menit
RR: 20x/menit
L : daerah kedua
mata
D : terlokalisir
R
macula
11
2) Selulitis
Terapi
Drug Gentamisin cream
CTM 3 x 4mg
Hidrokortison
2,5% cream.
hioerpigmentasi,
skuama, eskolasi
L : daerah kedua
kaki
D : menyebar
R
macula
eritematous,
dengan batas tidak
tegas
07/12/2012
1)Fixed
mata.
Eruption
N : 80x/menit
RR: 20x/menit
macula
hioerpigmentasi,
skuama, eskolasi
L : daerah kedua
kaki,
jari-jari
12
2) Selulitis
D : menyebar
R
macula
eritematous,
dengan batas tidak
tegas
08/12/12
1)Fixed
mata.
Eruption
N : 80x/menit
RR: 20x/menit
L : daerah kedua
mata
D : terlokalisir
R
macula
hioerpigmentasi,
skuama, eskolasi
L : daerah kedua
kaki,
jari-jari
macula
eritematous,
dengan batas tidak
tegas
13
2) Selulitis
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
Fixed Drug Eruption
Fixed drug eruption adalah erupsi alergi obat yang bila berulang akan timbul pada tempat yang
sama. 4
Fixed drug eruption ialah suatu reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan akibat pemberian obat
biasanya secara sistemik.
Sellulitis
Selulitis merupakan infeksi bakterial akut pada kulit. Infeksi yang terjadi menyebar ke dalam
hingga ke lapisan dermis dan subkutis. Infeksi ini biasanya didahului luka atau trauma dengan penyebab
tersering Streptococcus beta hemoliticus dan Staphylococcus aureus 1.
Istilah selulitis digunakan suatu penyebaran oedematus dari inflamasi akut pada permukaan
jaringan lunak dan bersifat difus. Selulitis dapat terjadi pada semua tempat dimana terdapat jaringan lunak
dan jaringan ikat longgar, terutama pada muka dan leher, karena biasanya pertahanan terhadap infeksi
pada daerah tersebut kurang sempurna.
Selulitis mengenai jaringan subkutan bersifat difus, konsistensinya bisa sangat lunak maupun
keras seperti papan, ukurannya besar, spongius dan tanpa disertai adanya pus, serta didahului adanya
infeksi bakteri. Tidak terdapat fluktuasi yang nyata seperti pada abses, walaupun infeksi membentuk suatu
lokalisasi cairan.
3.2.
Epidemiologi
Fixed Drug Eruption
Sekitar 10% FDE terjadi pada anak dan dewasa, usia paling muda yang pernah dilaporkan adalah
8 bulan. Kajian oleh Noegrohowati (1999) mendapatkan FDE (63%), sebagai manifestasi klinis erupsi
alergi obat terbanyak dari 58 kasus bayi dan anak disusul dengan erupsi eksantematosa (3%) dan urtikaria
14
(12%). Jumlah kasus bertambah dengan meningkatnya usia, hal tersebut mungkin disebabkan pajanan
obat yang bertambah.
Selulitis
Selulitis dapat terjadi di semua usia, tersering pada usia di bawah 3 tahun dan usia dekad keempat
dan kelima2. Insidensi pada laki-laki lebih besar daripada perempuan dalam beberapa studi epidemiologi.
Sebuah studi tahun 2006 melaporkan insidensi selulitis di Utah, AS sebesar 24,6 kasus per 1000
penduduk per tahun dengan insidensi terbesar pada laki-laki dan usia 45-64 tahun. Insidensi selulitis
ekstrimitas masih menduduki tempat pertama. Dimana terdapat sebuah laporan dari data rumah sakit di
inggris bahawa kejadian selulitis sebanyak 69.576 kasus pada tahun 2004-2005, dan selulitis di tungkai
menduduki peringkat pertama dengan jumlah sebanyak 58.824 kasus. Terjadi peningkatan resiko selulitis
seiring meningkatnya usia, tetapi tidak ada hubungan dengan jenis kelamin.
C.
Obat antibakteri
Sulfonamid (co-trimoxazole)
Aspirin
Tetrasiklin
Oxyphenbutazone
Penisilin
Phenazone
Ampisilin
Metimazole
Amoksisilin
Paracetamol
Eritomisin
Ibuprofen
15
Trimethoprim
Phenolpthalein
Nistatin
Codein
Griseofulvin
Hydralazin
Dapson
Oleoresin
Arsen
Symphatomimetic
Garam Merkuri
Symaphatolitic
Parasymphatolitic
Thiacetazone
Hyoscine butylbromide
Quinine
Magnesium hydroxide
Metronidazole
Magnesium trisilicate
Clioquinol
Anthralin
Chlorthiazone
Derivat Barbiturat
Chlorphenesin carbamate
Opiat
Chloral hidrat
Benzodiazepine
Chlordiazepoxide
Anticonvulsan
Dextromethoephan
16
dan
Streptococcus Beta Hemoliticus grup A sedangkan penyebab selulitis pada anak adalah Hemophilus
influenza type B (Hib), Staphylococcus aureus dan Streptococcus Beta Hemoliticus. Streptococcus Beta
Hemoliticus adalah penyebab yang jarang pada selulitis.
Selulitis pada orang dewasa yang imunokompeten banyak disebabkan oleh Streptococcus
Pyogenes dan Staphylococcus aureus sedangkan pada ulkus diabetikum dan ulkus dekubitus biasanya
disebabkan oleh organism campuran antara kokusgram positif dan gram negative aerob mahupun
anaerob.
17
Bakteri mencapai dermis melalui jalur eksternal maupun hematogen. Pada pasien imunokompeten perlu
ada kerusakan barrier kulit, sedangkan pada imunokompromais lebih sering melalui aliran darah.
Patogenesis Selulitis
18
3.4.
Gambaran Klinis
Fixed Drug Eruption
FDE dapat timbul dalam waktu 30 menit sampai 8 jam setelah ingesti obat secara oral. Lesi
berupa makula oval atau bulat, berwarna merah atau keunguan, berbatas tegas, seiring dengan waktu lesi
bisa menjadi bula, mengalami deskuamasi atau menjadi krusta. Ukuran lesi bervariasi mulai dari
lentikuler sampai plakat. Lesi awal biasanya soliter, tapi jika penderita meminum obat yang sama maka
lesi yang lama akan timbul kembali disertai dengan lesi yang baru. Namun jumlah lesi biasanya sedikit.
Timbulnya kembali lesi ditempat yang sama menjelaskan arti kata fixed pada nama penyakit tersebut.
4,5,6,9
. Lesi dapat dijumpai dikulit dan membran mukosa yaitu di bibir, badan, tungkai, tangan dan genital.
Tempat paling sering adalah bibir dan genital. Lesi FDE pada penis sering disangka sebagai penyakit
5,10
kelamin
. Gejala lokal meliputi gatal dan rasa terbakar , jarang dijumpai gejala sistemik.. Tidak
dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lesi pada FDE jika menyembuh akan meninggalkan
bercak hiperpigmentasi post inflamasi yang menetap dalam jangka waktu lama.
Sellulitis
Gejala klinis tergantung pada akut atau tidaknya sesuatu infeksi. Umumnya semua ditandai
dengan kemerahan dengan batas tidak jelas, nyeri tekan dan bengkak. Penyebaran perluasan kemerahan
dapat timbul secara cepat di sekitar luka atau ulkjus disertai dengan demam dan lesu. Pada keadaan akut,
kadang- kadang timbul bula. Tanpa pengobatan yang efektif dapat terjadi supurasi local (flegmon,
nekrosis atau gangrene).
Selulitis biasanya didahului oleh gejala sistemik seperti demam, menggigil, dan malaise. Daerah
yang terkena terdapat 4 tanda cardinal peradangan yaitu rubor (eritema), color (hangat), dolor (nyeri) dan
tumor (pembengkakan). Lesi tampak merah gelap, tidak berbatas tegas pada tepi lesi tidak dapat diraba
atau tidak meninggi. Pada infeksi yang berat dapat ditemukan pula vesikel, bula, pustule, atau jaringan
nekrotik. Ditemukan pembesaran kelenjar getah bening regional dan limfangitis ascenden. Pada
pemeriksaan darah tepi biasanya ditemukan leukositosis.
Periode inkubasi sekitar beberapa hari, tidak terlalu lama. Gejala prodormal berupa: malaise,
anoreksia, demam menggigil dan berkembang dengan cepat sebelum menimbulkan gejala-gejala khasnya.
Pasien imunokompromais rentan mengalami infeksi walau dengan pathogen yang patogenisitas rendah.
Terdapat gejala berupa nyeri yang terlokalisasi dan nyeri tekan. Kalau sering residif ditempat yang sama
dapat terjadi elephantiasis.
19
Lokasi selulitis pada anak biasanya di kepala dan leher, sedangkan pada orang dewasa paling
sering di ekstrimitas karena berhubungan dengan riwayat seringnya trauma di ekstrimitas. Pada
penggunaan salah obat, sering berlokasi di lengan atas.
3.5.
Histopatologi
Fixed Drug Eruption
Gambaran histologi FDE menyerupai eritema multiforme (EM). Seperti pada EM reaksi dapat
terjadi di dermis atau epidermis atau keduanya. Yang paling sering adalah yang melibatkan dermis dan
epidermis. Pada tahap awal pemeriksaan histopatologi menggambarkan adanya bula subepidermal dengan
degenerasi hidropik sel basal epidermis. Dapat juga dijumpai diskeratosis keratinosit dengan sitoplasma
eosinofilik dan inti yang piknotik di epidermis. Pada tahap lanjut dapat dilihat melanin dan makrofag
pada dermis bagian atas dan terdapat peningkatan jumlah melanin pada lapisan basal epidermis.
Sellulitis
Pemeriksaan laboratorium
1. Pada pemeriksaan darah tepi selulitis terdapat leukositosis (15,000 400,000) dengan hitung
jenis bergeser ke kiri. Terdapat juga peningkatan laju sedimentasi eritrosit.
2. Pewarnaan gram dan kultur pus atau bahan diaspirasi diperlukan menunjukkan adanya organism
campuran.
3.6.
Diagnosis
Fixed Drug Eruption
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang khas. Riwayat perjalanan
penyakit yang rinci, termasuk pola gejala klinis, macam obat, dosis, waktu dan lama pajanan serta riwayat
alergi obat sebelumnya penting untuk membuat diagnosis. Selain itu pemeriksaan laboratorium dapat
dilakukan untuk menunjang diagnosis:
1. Biopsi kulit membantu untuk memastikan diagnosis atau menyingkirkan diagnosis banding.
2. Uji tempel obat merupakan prosedur yang tidak berbahaya . Reaksi anafilaksis sangat jarang terjadi, dan
untuk mengantisipasinya dianjurkan mengamati penderita dalam waktu setengah jam setelah penempelan.
Secara teoritis dapat terjadi sensitisasi akibat uji tempel, namun dalam prakteknya jarang ditemui. Tidak
20
dianjurkan melakukan uji tempel selama erupsi masih aktif maupun segera sesudahnya. Berdasarkan
pengalaman para peneliti, uji tempel sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya 6 minggu setelah erupsi
mereda.
Khusus untuk FDE Alanko (1994) menggunakan cara uji tempel yang agak berbeda. Obat dengan
konsentrasi 10% dalam vaselin atau etanol 70% diaplikasikan secara terbuka pada bekas lesi dan
punggung penderita. Observasi dilakukan dalam 24 jam pertama, dan dianggap positif bila terdapat
eritema yang jelas yang bertahan selama minimal 6 jam. Kalau cara ini tidak memungkinkan untuk
dilaksanakan dianjurkan uji tempel tertutup biasa dengan pembacaan pertama setelah penempelan 24 jam.
Hasil uji tempel yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis erupsi obat dan hasil yang positif dapat
menyokong diagnosis dan menentukan penyebab meskipun peranannya masih kontroversi. Metode uji
tempel masih memerlukan banyak perbaikan, diantaranya dengan menggiatkan penelitian tentang
konsentrasi yang sesuai untuk setiap obat, vehikulum yang tepat dan menentukan metabolisme obat di
kulit.
3. Uji provokasi oral merupakan pemeriksaan baku emas untuk memastikan penyebab. Uji ini dikatakan
aman dan dapat dipercaya untuk pasien anak. Uji ini bertujuan untuk mencetuskan tanda dan gejala klinis
yang lebih ringan dengan pemberian obat dosis kecil biasanya dosis 1/10 dari obat penyebab sudah cukup
untuk memprovokasi reaksi dan provokasi biasanya sudah muncul dalam beberapa jam. Karena resiko
yang mungkin ditimbulkannya maka uji ini harus dilakukan dibawah pengawasan petugas medis yang
terlatih.
Sellulitis
Diagnosis selulitis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Pada
pemeriksaan klinis selulitis ditemukan makula eritematous, tepi tidak meninggi, batas tidak jelas, edema,
infiltrate dan teraba panas, dapat disertai limfangitis dan limfadenitis. Penderita biasanya demam dan
dapat menjadi septicemia.
Selulitis yang disebabkan H. Influenza tampak sakit berat, toksik dan sering disertai gejala infeksi
traktus respiratorius bagian atas bakterimia dan septicemia. Lesi kulit berwarna merah keabu-abuan,
merah kebiru-biruan atau merah keunguan
3.7. Diagnosis Banding
Fixed Drug Eruption
21
- Eritematous Multiforme
- Steven Johnson Syndrom
- Toxic Epidermal Nekrolisis
Perbedaan Eritema Multiformis, Steven Johnson Syndrom, Toxic Epidermal Necrolysis
Sellulitis
-Deep thrombophlebitis,
-Dermatitis statis,
-Dermatitis kontak,
-Giant urticaria,
-Insect bite,
-Erupsi obat
3.8. Penatalaksanaan
Fixed Drug Eruption
1. Hentikan penggunaan obat yang diduga sebagai penyebab.
2. Pengobatan Sistemik
Pemberian kortikosteroid sistemik sangat penting. Dengan prednison 3 x 10 mg/hari. Untuk
keluhan rasa gatal pada malam hari yang kadang mengganggu istirahat pasien dan orang tuanya dapat
diberikan antihistamin generasi lama yang mempunyai efek sedasi.
3. Pengobatan Topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering atau basah.
a. Jika lesi basah dapat diberi kompres secara terbuka. Tujuannya adalah untuk mengeringkan eksudat,
membersihkan debris dan krusta serta memberikan efek menyejukkan. Pengompresan dilakukan cukup 23 kali sehari, biarkan basah (tetapi tidak sampai menetes) selama 15-30 menit. Eksudat akan ikut
22
mongering bersama penguapan. Biasanya pengompresan cukup dilakukan 2 sampai 3 hari pertama saja.
Cairan kompres yang dapat dipilih antara lain larutan NaCl 0,9 atau dengan larutan antiseptik ringan
misalnya larutan Permanganas Kalikus 1:10.000 atau asam salisilat 1:1000.
b. Jika lesi kering dapat diberi krim kortikosteroid misalnya krim hidrokortison 1 % atau 2,5%. Lesi
hiperpigmentasi tidak perlu diobati karena akan menghilang dalam jangka waktu lama. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam memberikan kortikosteroid topikal pada bayi dan anak.
c. Pilihlah potensi kortikosteroid sesuai dengan daerah atau lokasi yang akan diobati, misalnya daerah
lipatan (aksila,popok) atau muka sebaiknya menggunakan potensi rendah sedangkan pada badan atau
ekstremitas dapat diberikan potensi sedang.
d. Pilihlah potensi terendah yang dapat menghilangkan kelainan kulit dalam waktu sesingkat mungkin.
Sedapat mungkin hindari penggunaan kortikosteroid yang sangat poten, terutama untuk anak berusia
kurang dari 12 tahun.
Sellulitis
Penanganan secara umum adalah mengistirahatkan ekstrimitas yang terkena infeksi.
Selulitis karena streptokokus diberi penisilin prokain G 600.000-2.000.000 IU IM selama 6 hari
atau dengan pengobatan secara oral dengan penisilin V 500mg setiap 6 jam, selama 10-14 hari. Pada
Selulitis karena H.influenza diberikan ampicilin untuk anak ( 3 bulan sampai 12 bulan) 100-200
mg/kgBB/hari (150-300mg), manakala pada anak lebih dari 12 tahun, dosis sama seperti dewasa.
Pada selulitis yang ternyata penyebabnya bukan staphylococcus aureus penghasil penisilinase
dapat diberi penisilin. Pada yang alergi terhadap penisilin, sebagai alternative digunakan eritromisin
(dewasa : 250-500 mg peroral; anak-anak: 30-30 mg/kgBB/hari) 4 kali sehari selama 10 hari. Dapat juga
digunakan clindamisin (dewasa 300-450 mg/hari PO; anak-anak 16-20 mg/kgBB/hari). Pada yang
penyebabnya SAPP selain eritromisin dan klindamisin, juga dapat diberikan dikloksasin 500mg/hari
secara oral selama 7-10 hari.
3.9. Prognosis
Fixed Drug Eruption
Prognosis umumnya baik. Apabila obat tersangka penyebab telah dapat dipastikan maka
sebaiknya kepada penderita diberikan catatan, berupa kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut serta
23
golongannya. Kartu tersebut dapat ditunjukkan bilamana diperlukan (misalnya apabila penderita berobat),
sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya FDE.
Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan-kelainan berupa sindrom
lyell dan steven johnsons sindrom, prognosis dapat menjadi buruk bergantung pada luas kulit yang
terkena.
Sellulitis
Perawatan biasanya berlangsung selama 7-10 hari. Selulitis dapat menjadi parah jika telah kronis
dan memiliki potensi mudah terserang infeksi. Pada anak dan orang dewasa yang imunokompromais,
penyulit pada selulits dapat berupa gangrene, metastasis, abses dan sepsis yang berat. Selulitis pada wajah
merupakan indicator dini terjadinya bakterimia stafilokokus beta hemolitikus grup A, dapat berakibat fatal
karena mengakibatkan thrombosis sinus cavernosum yang septic. Selulitis pada wajah dapat
menyebabkan penyulit intracranial berupa meningitis 6. Namun jika selulitis tidak memiliki komplikasi
atau tidak begitu rumit maka prognosisnya baik, dan antibiotic memiliki keefektifan lebih dari 90% pada
pasien.
24
BAB IV
Pembahasan Kasus
1.1 Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Berdasar tinjauan pustaka yang ada, Kasus seorang wanita berumur 46 tahun ini kami angkat
dikarenakan kasus ini memiliki komplikasi yang cukup mengkhawatirkan jika penanganannya tidak baik.
Reaksi alergi obat (Fixed drug Eruption) dapat mengenai banyak organ antara lain paru, ginjal, hati dan
sumsum tulang tetapi reaksi kulit merupakan manifestasi yang tersering. Dimana kasus ini merupakan
kasus yang tidak terduga karena hanya terjadi pada orang yang rentan, tidak bergantung pada dosis dan
tidak berhubungan dengan efek farmakologis obat. Dan yang sangat telihat dari reaksi obat ini adalah
erupsi kulit yang dapat mengenai seluruh tubuh pasien dengan bentuk melepuhnya kulit seperti luka
bakar. Menurut Kajian Noegrohowati (1999), bahwa ia mendapatkan kasus dengan FDE (63%), sebagai
manifestasi klinis erupsi alergi obat terbanyak dari 58 kasus bayi dan anak, disusul dengan erupsi
eksantematosa (3%) dan urtikaria (12%). Jumlah kasus bertambah dengan meningkatnya usia, hal
tersebut mungkin disebabkan pajanan obat yang bertambah.
Dari hasil pemeriksaan fisik pada pasien ini, lesi makula hiperpigmentasi dan krusa yang kami
dapat kan di lokasi sekitar mata. Pasien tidak demam, tidak nyeri telan, tidak mual atau muntah.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan bebrapa tinjauan pustaka maka kami mendiagnosis kasus
ini Fixed Drug Eruption, dengan diagnosis banding Eritematous Multiforme, Steven Johnson Syndrom,
Toxic Epidermal Nekrolisis.
Selain itu, kami turut mendiagnosa pasien dengan selulitis di kaki kanan berdasarkan dari hasil
anamnesis yang menunjukkan pasien merupakan penderita diabetes mellitus dan mempunyai ulkus
diabetikum di kaki kanan pasien yang sering dirawat sendiri dirumah. Manakala dari dan pemeriksaan
fisik ditemukan gejala seperti makula eritematous dengan batas tidak jelas dan teraba panas pada kaki
kanan dan kiri pasien.
1.2 Diagnosa banding
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis banding pada pasien ini bagi penyakit
Fixed Drug Eruption adalah
Nekrolisis. Manakala, diagnosis banding bagi selulitis adalah erysipelas dan gigitan serangga. Hal utama
yang mendasari diagnosa banding bagi selulitis adalah eritematous dengan batas tidak jelas dan teraba
25
panas. Pada pasien ini kami mendiagnosa selulitis karena selain memenuhi gejala yang disebutkan
sebelumnya, terdapat punca infeksi yaitu ulkus yang terdapat di jempol kaki kanan pasien.
1.3 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari kasus ini adalah Infus RL, Gentamisin cream, CTM 3 x 4mg, Hidrokortison 2,5%
cream. Kami setuju dengan terapi diatas dengan asumsi bahwa
a). Pemberian salep gentamisin. Dimana Gentamisin cream merupakan suatu antibiotika dengan spectrum
luas, yang efektif untuk pengobatan infeksi kulit primer dan sekunder yang disebabkan berbagai bakteri
gram - positif dan gram negatif. Fluosinolon Asetonida merupakan suatu kortikosteroid sintetik yang
hasilnya baik untuk pengobatan dermatosis.
b) Hidrokortison 2,5% salep diberikan karena lesi berupa lesi yang kering
26
BAB V
KESIMPULAN
dan
Streptococcus Beta Hemoliticus grup A sedangkan penyebab selulitis pada anak adalah
Hemophilus influenza type B (Hib), Staphylococcus aureus dan Streptococcus Beta Hemoliticus
27
kulit melalui kulit yang terbuka. Seterusnya akan menimbulkan infeksi pada permukaan kulit
atau menimbulkan peradangan. Lokasi yang paling sering terjadi adalah di ekstrimitas bawah.
6. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik.
7. Penanganan secara umum adalah mengistirahatkan ekstrimitas yang terkena infeksi dan
pemberian antibiotik.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Breathnach SM. Drug reaction. In: Champion RH, Burton JL, Ebling FJG, eds. Textbook of Dermatology. 6th
ed. London Balckwell Scientific Publications. 1998:3349-87.
2. Noegrohowati T. Alergi obat pada bayi dan anak. Dalam: Boediardja SA, Widaty
S, Rihatmaja R, eds. Alergi kulit pada bayi dan anak. Masalah dan Penanganan. Balai Penerbit FKUI,
Jakarta. 2002:19-28.
3. Gruschalla RS, Beltrani VS. Drug induced cutaneus reactions. In: Leung DYM, Greaves MW. Allergic skin
diseases. Marcel Dekker, Inc: New York-Basel. 2000:307-35.
4. Soebaryo RW, Effendi EHF, Suyoto EK. Eksantema Fikstum. Dalam: Sularsito
SA dkk eds. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Erupsi Obat Alergik. Balai Penerbit FKUI,
Jakarat, 1995:63-5
5. Shear NH, Landau M, Shapiro Le. Hypersensitivity reactions to drug. In: Harper
J, Oranje A, Prose N, eds. London Blackwell Scientific Publication. 2000:1743-63.
6. Scahner LA, Hansen RC. Vascular Reactions. In: Pediatric Dermatology. 2nd
ed.Vol II. New York. Churchill Livingstone. 1995: 929
7. Sudigdoadi, Widiantoro Y. Fixed Drug Eruption pada Anak berumur 18 bulan.
Media Dermato-Venereologica Indonesiana 1995, 22 :4 : 166-8. Jakarta
8. Dahl MV. Drug reactions. In: Dahl MV. Clinical Immunodermatology. 3rd ed. .
Mosby Year Book inc . Minneapolis Minnesota. 1996:355-67.
9. Hurwitz S. Eczematous Eruptions in Childhood. In: Clinical Pediatric Dermatology. 2nd ed. Philadelphia.
WB Saunders Company. 1993:67-8.
29
10. Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Boediardja SA,eds. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001:139-42.
11. Habif TP. Clinical Dermatology. 3rd ed. St Louis. Mosby Year Book.1996:439-40.
12. Ardhie AM. Eksim . Apa dan Bagaimana. Yayasan Penerbitan IDI, Jakarta. 2003:57-62
13. Effendi EH. Uji kulit pada Erupsi Alergi Obat. Dalam: Sudigdoadi, Sutedja E, Agusni YH, Sugiri U,eds.
Buku Makalah Lengkap Kursus Imuno-dermatologi I. Kelompok Studi Dermatologi Bag/SMF Kulit dan
Kelamin RSUP dr. Hasan Sadikin, Bandung. 2000:35-8.
14. Sugito TL,. Kortikosteroid Topikal Generasi Baru dalam Dermatologi Anak. Dalam: Boediardja SA,
Prihianti S,eds. Pengobatan Mutakhir Dermatologi pada Anak dan Remaja. Balai Penerbit FKUI, Jakarta,
2001:25-38.
15. Mandell G.L., Bennett J.E., Dolin R., 2009. Principle and Practice of infectious Disease. 7th ed.
Philadelphia, Elsevier Churchill Livingstone;chap 90.
16. Siregar, R.S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. EGC. p 59.
17. Thomas E. H., Burk A.C. Cellulitis. http://emedicine .medscape.com/article/214222-overview#showall
diakses tanggal 10 Disember 2012.
30