Anda di halaman 1dari 9

RESPONSI

TINEA KORPORIS

Oleh:
Nanda Derista Ayu Dewanti
G992202056

Pembimbing:
Dr. dr. Arie Kusumawardani, Sp.KK(K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN


KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS
MARET SURAKARTA
2023
LEMBAR PENGESAHAN RESPONSI

Kasus responsi yang berjudul :

TINEA KORPORIS

Nanda Derista Ayu Dewanti


G992202056
Periode: 5 Juni – 2 Juli 2023

Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing dari


Bagian Ilmu Kesehatan Kulit Kelamin

RS UNS – Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret


Yang bertanda tangan di bawah ini:

Surakarta, 16 Juni 2023

Residen Pembimbing Chief Residen

dr. Ayu Kusuma Dewi dr. Elok Nurfaiqoh

Dokter Pemeriksa Staff Pembimbing

dr. Imro’atul Ulya, Sp. DV Dr. dr. Arie Kusumawardani, Sp. KK(K)
TINEA KORPORIS : SATU LAPORAN KASUS
Nanda Derista Ayu Dewanti, Arie Kusumawardani
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/RS UNS Surakarta

PENDAHULUAN

Dermatofitosis merupakan penyakit jamur superfisial yang disebabkan oleh jamur


dermatofita yang terdiri atas tiga genus yaitu Tricophyton, Epidermophyton dan Microsporum.
Dermatofitosis ini dapat menyerang jaringan yang mengandung keratin seperti epidermis
(tinea korporis, tinea kruris, tinea manus et pedis), rambut (tinea kapitis), dan kuku (tinea
unguium).1,2 Tinea korporis merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh berambut halus atau
tidak berambut kecuali telapak tangan dan kaki serta selangkangan. 3
Tinea korporis merupakan jenis dermatofitosis yang paling sering terjadi. Tinea
korporis sering ditemukan di daerah dengan iklim tropis. Risiko mengalami tinea korporis
selama hidup adalah sekitar 10-20%. Tinea korporis sering terjadi pada anak pasca pubertas
dan dewasa muda. Tidak ada predominansi jenis kelamin pada kasus tinea korporis. Penularan
dapat terjadi melalui kontak dekat dengan individu yang terinfeksi, hewan yang terinfeksi
(kucing atau anjing domestik) dan tanah yang mengalami kontaminasi jamur. Transmisi dalam
anggota keluarga merupakan jalur penularan yang umum di mana anak-anak sering terinfeksi
oleh spora yang tersebar dari anggota keluarga lain yang terinfeksi.4
Kemampuan dermatofita untuk berikatan dengan jaringan keratin pada kulit
membentuk dasar bagi dermatofita (infeksi jamur kulit superfisial). Dermatofita yang
menyebabkan tinea korporis berasal dari genus Trichophyton spp, Microsporum spp, dan
Epidermophyton spp. Spesies dermatofita yang paling sering menyebabkan tinea korporis
adalah Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrophytes. Pada beberapa kasus
individual, spesies penyebab tersering bergantung pada metode transmisi. Tinea korporis
sekunder akibat Trychophyton tonsurans umumnya terjadi akibat kontak langsung dengan
pasien yang terinfeksi tinea kapitis. T. tonsurans juga merupakan temuan khusus pada kasus
tinea korporis gladiatorum.5
Invasi epidermis oleh jamur dermatofita terjadi dalam beberapa tahap yaitu perlekatan
pada artrokonidia dan keratinosit, penetrasi/invasi dan yang terakhir adalah perkembangan
respons dari inang.1 Semua individu tidak memiliki kerentanan yang sama terhadap infeksi
jamur dan terdapat predisposisi familial dan genetik yang kemungkinan dapat terjadi akibat
defek pada imunitas bawaan dan adaptif. Pasien dengan defensin beta 4 yang rendah mungkin
memiliki predisposisi terhadap semua dermatofita. Faktor predisposisi lain meliputi penyakit
yang mendasari seperti diabetes mellitus, limfoma, status imunokompromis, sindroma
Cushing, keringat berlebih dan usia tua.5
Tinea korporis umumnya didiagnosis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

1
pemeriksaan penunjang. Pasien dengan tinea korporis dapat mengeluhkan gatal terutama
ketika panas dan berkeringat, tampak lesi plak berbatas tegas berbentuk oval atau melingkar
dengan eritematosa ringan, berbatas tegas dan disertai skuama di atasnya. Bagian tengah dari
lesi tampak hipopigmentasi dengan daerah tepi dapat berupa papular maupun vesikular. Pada
daerah tengah biasanya lebih tenang sementara di tepi lebih aktif atau membentuk gambaran
central healing. Lesi umumnya merupakan bercak-bercak terpisah atau dapat pula berbentuk
polisiklik karena terdapat beberapa lesi yang menjadi satu. Lesi cenderung terdistribusi secara
asimetris. Pemeriksaan mikroskopis kerokan kulit dengan kalium hidroksida (KOH) 10%
dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi infeksi jamur pada epitel tubuh pasien.4,6
Tinea korporis dapat didiagnosis banding dengan dermatitis numularis dan psoriasis
vulgaris. Dermatitis numularis adalah kelainan kulit berupa papula, makula, dan vesikel yang
kemudian bergabung membentuk satu bulatan seperti mata uang, berbatas tegas, sedikit
edematosa dan eritematosa dan biasanya simetris. Dibandingkan dengan tinea korporis,
skuamanya lebih konfluen dan jarang terlihat adanya central healing.7,8 Psoriasis vulgaris
adalah penyakit kulit kronik yang memiliki kaitan kuat dengan genetik dan gangguan
pertumbuhan epidermis. Pada psoriasis vulgaris tampak plak eritematosa berbatas tegas
dengan skuama berwarna putih keabuan, disertai rasa gatal. Daerah yang sering terkena
biasanya siku, lutut, kepala, celah intergluteal, palmar, dan plantar.9
Dermatofita penyebab tinea korporis merupakan jenis jamur yang hidup pada area
dengan suhu hangat dan lembab sehingga terapi non-medikamentosa yang dapat dianjurkan
kepada pasien antara lain menggunakan pakaian longgar, kulit yang terinfeksi harus selalu
bersih dan tidak lembab sehingga dapat menghentikan kolonisasi dari dermatofita yang
menginfeksi.4 Tatalaksana medikamentosa dapat berupa pemberian obat topikal dengan obat
pilihan golongan alilamin (krim terbinafine, butenafine) sehari sekali selama 1-2 minggu dan
obat alternatif, yaitu golongan azol, misalnya, krim mikonazol, ketokonazol, klotrimazol 2 kali
sehari selama 4-6 minggu serta pemberian obat sistemik diberikan bila lesi kronik, luas atau
sesuai indikasi dengan obat pilihan terbinafin oral 1x250 mg/hari (hingga klinis membaik dan
hasil pemeriksaan laboratorium negatif) selama 2 minggu serta obat alternatif berupa
itrakonazol 2x100 mg/hari selama 2 minggu, griseofulvin oral 500 mg/hari atau 10-25
mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu dan ketokonazol 200 mg/hari.9

KASUS

Seorang laki-laki, Tn. S, berusia 69 tahun datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD
Pandan Arang, Boyolali dengan keluhan bercak kemerahan yang terasa gatal di kedua kaki dan
muncul sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan pertama kali muncul di bagian paha kiri kemudian
meluas hingga paha kanan. Keluhan gatal dirasakan hilang timbul dan semakin memberat
ketika bekerja dan saat pasien berkeringat. Pasien memberikan salep pada area gatal, namun
tidak tahu nama obatnya dan keluhan tidak membaik. Satu minggu sebelum periksa rumah
2
sakit pasien mengeluh keluhan meluas hingga ke kedua tungkai. Saat gatal pasien menggaruk
hingga terasa perih dan lecet. Bercak kemerahan berubah menjadi warna kecoklatan. Pasien
tidak memiliki hewan peliharaan di rumah. Pasien sehari-hari bekerja sebagai petani tanpa
menggunakan alas kaki. Karena gatal dirasakan terus-menerus hingga mengganggu tidur,
pasien berobat ke RSUD Pandan Arang, Boyolali untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Riwayat keluhan serupa, alergi obat dan makanan disangkal. Riwayat diabetes mellitus
dan asma disangkal. Riwayat hipertensi (+), pasien rutin meminum obat amlodipin 1 x 10 mg
tablet per oral, terkontrol. Riwayat atopi disangkal. Keluarga pasien yang tinggal satu rumah
dengan pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Riwayat alergi, hipertensi, diabetes
mellitus dan atopi pada keluarga disangkal. Pasien makan teratur 3 kali sehari dan minum air
putih cukup, pasien tidak rutin berolahraga. Pasien mengaku biasanya mandi hanya sekali
sehari yaitu pada sore hari dan menggunakan handuk yang berbeda dengan anggota keluarga
lainnya dan handuk diganti tiap 1-2 minggu sekali.
Hasil pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan
dengan GCS E4V5M6, tekanan darah 132/92 mmHg, frekuensi nadi 93x/menit, frekuensi
nafas 20x/menit, dan suhu 36.6°C. Berat badan pasien 66 kg, tinggi badan 171 cm dan indeks
masa tubuh (IMT) 22,6 Kg/m2 (normoweight). Status dermatologis pasien didapatkan pada
regio ekstremitas inferior bilateral tampak plak eritema dan sebagian hiperpigmentasi multipel
diskrit disertai skuama tipis diatasnya, tepi aktif, central healing.

A B

C D

3
Gambar 1. (A-D) Status dermatologis. Regio ekstremitas inferior bilateral tampak plak eritema dan sebagian
hiperpigmentasi multipel diskrit disertai skuama tipis di atasnya, tepi aktif, central healing.

Berdasarkan hasil anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik pasien didapatkan diagnosis
banding tinea korporis, dermatitis numularis dan psoriasis vulgaris . Pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan (KOH) 10% dari sampel kerokan kulit dari lesi yang
terinfeksi kemudian diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 40x. Pemeriksaan KOH
10% ditemukan adanya hifa panjang bersekat sebagai berikut (Gambar 2).

Gambar 2. Hasil pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10% dengan perbesaran 40x ditemukan adanya hifa
bersekat

Pasien kemudian diberikan tatalaksana non-medikamentosa berupa edukasi mengenai


etiologi, perjalanan penyakit, tata laksana, dan prognosis dari tinea korporis. Pasien juga diberi
edukasi untuk menjaga kebersihan dengan mandi 2 kali sehari, menggunakan pakaian yang
longgar dan mudah menyerap keringat agar jamur tidak semakin berkolonisasi, menghindari
penggunaan handuk secara bergantian dengan orang lain dan berhenti menggaruk lesinya.
Terapi medikamentosa yang diberikan adalah ketokonazol krim 2% dioles 2 kali sehari siang
dan malam pada area kulit yang mengalami lesi.

DISKUSI

Dermatofita adalah kelompok fungi tinggi keratin sehingga mampu hidup di area
tinggi keratin seperti pada kuku, rambut dan kulit. Transmisi dermatofita dapat terjadi melalui
tiga cara yaitu secara antrofilik, zoofilik, dan geofilik. Transmisi secara antrofilik merupakan
transmisi dari manusia ke manusia, zoofilik yaitu dari hewan ke manusia dan geofilik artinya
transmisi dari tanah ke manusia. Tinea korporis adalah jenis dermartofitosis yang paling sering
terjadi dan paling sering disebabkan oleh dermatofita jenis Tricophyton. Spesies Tricophyton
menghasilkan makrokonidia halus, berdinding tipis dan berseptum dengan bentuk yang
beragam. Inokulasi dermatofita terjadi umumnya pada daerah yang lembab dengan maserasi
atau trauma sebelumnya.10
Tinea korporis merupakan dermatofitosis yang paling sering terjadi di berbagai
belahan dunia, terutama sering diderita penduduk di area tropis. Manusia bisa terinfeksi
melalui kontak erat dengan individu yang terinfeksi baik itu manusia, hewan, dan benda atau

4
tanah yang terkontaminasi. Infeksi bisa didapatkan akibat persebaran dari infeksi dermatofita
di tempat lain seperti tinea kapitis, tinea pedis, atau onikomikosis. Transmisi jamur yang
menyebabkan terjadinya tinea difasilitasi oleh lingkungan yang lembab, hangat, pakaian dan
handuk yang digunakan bergantian, dan penggunaan pakaian yang tertutup. 4 Kasus pada
pasien ini, tinea korporis mungkin terjadi akibat iklim negara tropis, pasien tidak
menggunakan alas kaki ketika bekerja di sawah serta kebiasaan mandi pasien yang hanya satu
kali sehari yaitu pada sore hari yang menyebabkan kulit pasien lembab sehingga memfasilitasi
timbulnya tinea.
Gejala klinis yang muncul pada pasien dengan tinea korporis dipengaruhi oleh
kondisi imun dari pasien dan juga lokasi infeksi. Pasien tinea korporis akan mengalami gejala
ruam yang gatal di area leher, badan atau ekstremitas dan keluhan semakin memberat ketika
berkeringat. Gambaran lesi pada tinea korporis yaitu plak anular dengan tepi polisiklik, tepi
aktif dan pada bagian tengah tampak lebih tenang (central healing). Selain itu dapat juga
ditemukan gambaran lesi berupa pustul atau vesikel dengan tepi yang bersisik. Garukan pada
lesi dapat menyebabkan lesi menjadi semakin luas terutama pada daerah kulit yang lembab
dan juga menimbulkan terjadinya erosi dan krusta.7,11 Kasus pada pasien tersebut didapatkan
lesi berupa plak eritem berbatas tegas dengan central healing disertai skuama di atasnya.
Keluhan gatal dirasakan semakin memberat ketika siang hari saat pasien berkeringat banyak.
Pasien juga memiliki riwayat menggaruk bagian yang gatal.
Diagnosis tinea umumnya dapat ditegakkan melalui hasil anamnesis yaitu berupa lesi
kulit yang semakin gatal ketika berkeringat dan gambaran pemeriksaan fisik berupa central
healing.6 Pada kasus ini, pasien mengeluhkan bahwa lesi semakin gatal apabila berkeringat
dan terdapat adanya central healing pada gambaran klinis lesi pasien. Pemeriksaan penunjang
tinea korporis antara lain adalah sediaan langsung kerokan kulit menggunakan KOH 10%
yang mana di bawah mikroskop akan menunjukkan gambaran hifa panjang bersekat dan atau
spora berderet (artrospora) dengan pengambilan sampel terbaik di bagian tepi lesi.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan pembiakan yang diperlukan untuk
menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Kultur
terbaik dibuat dengan medium agar dekstrosa Sabouraud.6 Pada pasien ini dilakukan kerokan
kulit dengan pemeriksaan mikroskopis menggunakan KOH 10%. Pada hasil pemeriksaan
KOH 10% ditemukan adanya hifa yang panjang dan bersekat.
Diagnosis banding yang mungkin terjadi pada pasien adalah dermatitis numularis
dan psoriasis vulgaris. Dermatitis numularis merupakan suatu kelainan kulit inflamatif berupa
papul dan papulovesikel yang berkonfluens membentuk plak berbentuk koin berbatas tegas
dengan oozing, krusta, dan skuama. Predileksi dari dermatitis numularis yaitu pada ekstremitas
atas dan bawah.9 Pada kasus ini, tidak ditemukan lesi oozing dan krusta sehingga diagnosis
banding dermatitis numularis disingkirkan. Psoriasis vulgaris adalah kelainan kulit autoimun
5
dengan tampak lesi plak eritem dengan skuama yang tebal berwarna perak (psoriasiform).
Pada psoriasis vulgaris lesi yang ditemukan lebih eritem. Psoriasis vulgaris dapat dikenal dari
kelainan kulit pada tempat predileksi, yaitu daerah ekstensor, misalnya lutut, siku, dan
punggung. Kulit kepala berambut juga sering terkena pada penyakit ini.9 Pada kasus ini, tidak
ditemukan gambaran skuama yang tebal dan berwarna keperakan. Berdasarkan pada
anamnesis didapatkan lesi yang semakin gatal apabila berkeringat dan terdapat central healing
pada gambaran klinis lesi pasien. Pada pemeriksaan fisik status dermatologi didapatkan pada
regio ekstremitas inferior bilateral tampak plak eritema dan sebagian hiperpigmentasi multipel
diskrit disertai skuama tipis diatasnya, tepi aktif, central healing. Pada pemeriksaan penunjang
KOH 10% ditemukan adanya hifa panjang bersekat sehingga diagnosis banding psoriasis
vulgaris dapat disingkirkan.
Terapi non-medikamentosa yang dapat diberikan ke pasien antara lain adalah dengan
menghindari agen penyebab. Pasien dianjurkan untuk menggunakan pakaian yang longgar dan
mudah menyerap keringat agar jamur tidak semakin berkolonisasi, menghindari penggunaan
handuk secara bergantian dengan orang lain, dan mematuhi pengobatan yang diberikan.9
Pemberian terapi medikamentosa bertujuan untuk mencapai resolusi klinis dari gejala
pasien. Terapi medikamentosa yang diberikan meliputi antifungal topikal dan sistemik. Untuk
obat antifungal topikal yang dapat diberikan adalah golongan alillamin (butenafin dan
terbinafin) dan imidazol (ekonazol, ketokonazol, mikonazol). Penggunaan terapi topikal
dilakukan dengan cara dioleskan pada lesi dan 2 cm di sekitar lesi, diberikan satu sampai dua
kali sehari selama minimal 1-4 minggu. Pilihan terapi untuk golongan alillamin adalah
butenafin krim 1% 1-2 kali sehari selama 1-4 minggu atau terbinafin krim 1% 1-2 kali sehari
selama 1-2 minggu. Pilihan terapi alternatif dapat diberikan ekonazol krim 1% 1-2 kali sehari
selama 2-4 minggu, ketokonazol krim 1% 1-2 kali sehari atau mikonazol 2 kali sehari selama
4 minggu. Terapi sistemik diberikan bila lesi kronik, luas atau sesuai indikasi. Tatalaksana
sistemik pada tinea korporis diberiksan selama 1-6 minggu. Pilihan terapinya antara lain
terbinafin 1x250 mg/hari selama 2-4 minggu, itrakonazol 1x100 mg/hari selama 1 minggu,
flukonazol 1-2x150 mg/hari selama 4-6 minggu, dan griseofulvin 1x500 mg/hari selama 2-4
minggu.3 Antifungal topikal yang diberikan pada pasien ini adalah ketokonazol krim 2%
dioles 2 kali sehari siang dan malam pada area kulit yang mengalami lesi.

6
DAFTAR PUSTAKA

1. Saraswat YE, Darmada Ig, Rusyati LMM. Tinea Korporis. E-Jurnal Medika Udayana
[Internet]. 2013. [cited 2023 Jun 13];2(11):1957–1970. Available from:
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/7035.

2. Sahoo AK, Mahajan R. Management of tinea corporis, tinea cruris, and tinea pedis: A
comprehensive review. Indian Dermatology Online Journal. Mar-Apr;7(2):77-86. 2016.

3. Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, et al., editors.
Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2019.

4. Leung AK, Lam JM, Leong KF, Hon KL. Tinea corporis: an updated review. Drugs
Context. 2020. [cited 2023 Jun 13].

5. Yee G, Al Aboud AM. Tinea Corporis. [Updated 2023 Apr 16]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544360/.

6. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2016.

7. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi-2. Jakarta: EGC. 2013.

8. Ely, J., Rosenfeld, S., dan Stone, M. Diagnosis and Management of Tinea Infections.
American Family Physician. 90(10): 702-711. 2014.

9. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, et al., ed. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter
Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit
dan Kelamin Indonesia: 2017.

10. Sanggarwati, S., Wahyunitisari, M., Astari, L. and Ervianti, E., Profile of Tinea Corporis
and Tinea Cruris in Dermatovenereology Clinic of Tertiery Hospital: A Retrospective
Study. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 33(1), p: 34. 2021.

11. Al-Janabi AA, Al-Khikani FH. Dermatophytoses: A short definition, pathogenesis, and
treatment. Int J Health Allied Sci. 9(2).p:10-14. 2020.

Anda mungkin juga menyukai