Anda di halaman 1dari 45

Referat

Systemic Lupus Erythematosus

Oleh:

Tara Wahyudita Mentari

I4A013065

Pembimbing:

Dr. dr. Muh. Darwin Prenggono, SP.PD-KHOM

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN

BANJARMASIN

Juli, 2017

i
LEMBAR PENGESAHAN

Referat

Systemic Lupus Erythematosus

Oleh
Tara Wahyudita Mentari

Pembimbing

Dr. dr. M. Darwin Prenggono, Sp.PD-KHOM

Banjarmasin, Juli 2017


Telah setuju diajukan

.……………………….
Dr. dr. M. Darwin Prenggono, Sp.PD-KHOM

Telah selesai dipresentasikan

.………………………
Dr. dr. M. Darwin Prenggono, Sp.PD-KHOM

ii
iii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi 5
2. Etiologi dan Faktor Predisposisi 6
3. Epidemiologi 3
4. Patogenesis 13
5. Patofisiologi 15
6. Manifestasi Klinis 11
7. Diagnosis 21
8. Terapi 27
9. Diagnosis Banding ………………………………………... 34
10. Prognosis .............................................................................. 35
BAB III PENUTUP 37
DAFTARoPUSTAKA

iv
5
BAB I

PENDAHULUAN

Lupus Eritematosus Sistemik merupakan kondisi inflamasi yang

berhubungan dengan sistem imunologi yang dapat menyebabkan kerusakan multi

organ. Lupus Eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana

sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. LES tergolong penyakit

kolagenvaskular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem

muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi

klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.1,2

Penyebab LES masih belum diketahui. Ada sedikit keraguan bahwa

penyakit ini diperantarai oleh respons imun abnormal yang berkaitan dengan

adanya berbagai antibodi dan kompleks imun di dalam plasma yang menyebabkan

efek-efek patologik yang terlihat pada lupus eritematosus. Penyebab respons ini

banyak diyakini akibat autoimun, meskipun terdapat bukti adanya pengaruh virus

dan genetik. Etiologi lain yang diduga dapat menyebabkan LES antara lain

induksi obat, genetik, dan virus. Pada LES, antibodi ditunjukkan terhadap antigen

yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA,

protein histon dan non-histon. Ciri khas autoantigen ini adalah tidak spesifik pada

suatu jaringan dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini

secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya

yang spesifik, ANA membentuk komplek imun yang beredar dalam sirkulasi.

Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat

0
terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Bagian penting dalam

patogenesis LES adalah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan

normal mencegah automunitas patologis pada individu yang resisten.2,3

Manifestasi klini SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa,

sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun.

Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun,

manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam

malar 31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitivitas 22,9%, keterlibatan neurologik

19,4% dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai

adalah miositis 4,3%, ruam discoid 7,8%, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi

subkutaneus akut 6,7%. Morbiditas dan mortalitas pasien SLE masih cukup

tinggi.4

Tingkat LES sangat bervariasi antar negara, etnis, usia, gender, dan

perubahan dari waktu ke waktu. Penyakit ini terjadi sembilan kali lebih sering

pada wanita dibandingkan pria, terutama pada wanita di usia melahirkan anak

tahun 15 sampai 35. Sebanyak 90% pasien LES adalah perempuan usia muda

dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi. Rasio

penyakit LES pada perempuan dan laki-laki adalah 9:1.3 Angka morbiditas dan

mortalitas pasien LES masih cukup tinggi.1

Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dari

pengamatan 108 orang pasien yang berobat dari tahun 1990-2002 Berturut-turut

survival SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah 93-97%, 84-

95%, 18-19%, 64-80%, dan 53-64%. Survival rate 5 tahun pasien SLE di RSCM

1
adalah 88% dari pengamatan terhadap 108 orang pasien SLE yang berobat dari

tahun 1990-2002. Angka kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi

dibandingkin populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan

dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M. Tuberkulosis, virus,

jamur, dan protoza. Sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit

vaskular aterosklerosis. Mengingat manifestasi klinis, perjalanan penyakit SLE

sangat beragam dan risiko kematian yang tinggi maka diperlukan upaya

pengenalan dini serta pelakanaan yang tepat. Identifikasi dan penatalaksanaan dini

SLE biasanya dapat memberikan prognosis yang lebih baik.5

Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit multisistemik

yang mempengaruhi banyak organ. Namun, adanya keterlibatan dari ginjal, atau

yang biasa disebut nefritis lupus diketahui sebagai penyebab tersering dari

morbiditas dan mortalitas pada penderita SLE. Glomerulonephritis juga

merupakan manifestasi dari SLE yang sering dan merupakan keadaan serius.6

Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif dan memiliki risiko kematian

yang tinggi, oleh karena itu diperlukan upaya pengenalan dini serta

penatalaksanaan yang tepat. Untuk menegakkan diagnosis LES dilakukan melalui

kriteria yang ditetapkan oleh American College of Rheumatology (ACR) revisi

tahun 1997, ditegakkan bila ditemukan 4 dari 11 kriteria. Penatalaksanaan LES

dilaksanakan secara komprehensif meliputi non medika mentosa dan medika

mentosa. Untuk penatalaksanaan awal pasien LES yang baru terdiagnosis,

penyuluhan dan intervensi psikologis sangat diperlukan.1 Sedangkan untuk

pemilihan terapi ditentukan berdasarkan derajat beratnya LES dengan tujuan

2
terapi yaitu untuk mengontrol serangan akut, severe flare, dan mengontrol gejala

sehingga bisa ditoleransi oleh pasien.1,2

Angka bertahan hidup pada pasien SLE adalah 90 sampai 95% setelah 2

tahun,82 sampai 90% setelah 5 tahun, 71 sampai 80% setelah 10 tahun, dan 63

sampai 75%setelah 20 tahun. Prognosis buruk (sekitar 50% mortalitas dalam 10

tahun) dikaitkan dengan ditemukannya kadar kreatinin serum tinggi [>124 μmol/l

(>1,4 mgdl)], hipertensi, sindrom nefrotik (eksresi protein urin 24 jam >2,6 g),

anemia [hemoglobin<124 g/l (12,4g/dl)], hipoalbuminemia, hipokomplemenemia,

dan aPL pada saat diagnosis.6

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. SLE (Systemic Lupus Erythematosus)

1. Definisi SLE

Menurut kamus kedokteran Dorland, Lupus Eritematosus Sistemik adalah

gangguan jaringan penyambung generalisata kronik yang dapat bersifat ringan

hingga fulminans dimana adanya temuan autoantibodi yang menyerang komponen

sitoplasma dan inti sel, ditandai oleh adanya erupsi kulit, atralgia, arthritis,

nefritis, pleuritis, pericarditis, leucopenia atau trombositopenia, anemia hemolitik,

lesi organ, manifestasi neurologik, limfadenopati, demam dan berbagai gejala

konstitusional lainnya.7

Menurut para ahli reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit rematik

autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap

organ atau sisem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi

autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.

Perjalanan penyakit SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada

setiap penderita, peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda.

Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai

penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibody

yang muncul dan organ yang terlibat.8

Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau

lebih criteria sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:8

5
1. Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.

2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan

penurunanberat badan.

3. Muskuloskeletal: artritis, artralgia, myositis

4. Kulit: ruam kupu-kupu (butter•ly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi

membrane mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.

5. Ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria, sindroma nefrotik

6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen

7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.

8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis

9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)

10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia

11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversus,

gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.

Kecurigaan tersebut dilanjutkan dengan melakukan eksklusi terhadap

penyakit lainnya. Bagi dokter umum yang menemukan gejala-gejala di atas

dimintakan untuk mewaspadai kemungkinan penyakit SLE dan dilanjutkan

dengan melakukan rujukan.8

2.Etiologi dan Faktor Predisposisi

Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa

factor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini.

Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui

6
faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini.4 Berikut ini

beberapa factor predisposisi yang berperan dalam timbulnya penyakit SLE:

1. Faktor Genetik

Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga

timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk

menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar.

Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada

kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada

individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi

dibandingkan pada populasi umum.5

Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen

yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex)

kelas II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan

dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen

komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan

SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko

menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari

struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.5

2. Faktor Imunologi

Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :

a. Antigen

Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting

Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus,

7
beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan

pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal

tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di

permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.5

b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B

Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan

teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor

untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga

akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi

imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.5

c. Kelainan antibody

Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti

substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan

memicu limfosit Tuntuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi

terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih

mudah mengendap di jaringan.5

8
Tabel 2.1 Antibodi Antinuklear Pada Berbagai Penyakit Autoimun

9
3. Faktor Hormonal

Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa

studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen

yangt inggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang

abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.

Perempuan memiliki respon antibodi lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini

disebabkan oleh efek estrogen yang bermanfaat terhadap sintesis antibodi.

Perempuan yang mengkonsumsi kontrasepsi oral yang terdapat kandungan

estrogen atau yang menggunakan hormone replacement therapy memiliki risiko 2

kali lipat terkena LES. Estradiol akan berikatan pada reseptor sel T dan sel

limfosit B, meningkatkan aktivasi sel T dan sel limfosit B tersebut.5

4. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang

bereaksidalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan

tersebut terdiridari:5

a. Infeksi virus dan bakteri

Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya SLE.

Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri

Streptococcus dan Clebsiella.5

b. Paparan sinar ultra violet

Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi

menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah berat.

Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin

10
sehingga terjadiinflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran

pembuluh darah.5

c. Stress

Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki

kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh akan

terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak akan

mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada

gangguan sejak awal.5

d. Obat-obatan

Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat

menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang

dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,

prokainamid,dan isoniazid.5

3. Epidemiologi SLE

Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit rematik

utama di dunia dan dalam 40 tahun terakhir ini, insidensi LES meningkat tiga kali

lipat karena kemajuan ilmu kedokteran bidang reumatologi dalam mendiagnosis

LES melalui kriteria ACR. 5,3 Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu

52 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi per tahunnya sekitar 5.1 kasus

per 100.000 penduduk. Di negara Asia-Pasifik, prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-

45.3 kasus per 100.000 penduduk dengan Australia sebagai negara dengan

prevalensi tertinggi yaitu 45.3 kasus per 100.000 penduduk. Di Asia, prevalensi

11
LES yaitu sekitar 4.3-37.7 kasus per 100.000 penduduk dimana negara Cina

memiliki insidensi terbanyak yaitu 3.1 kasus per 100.000 penduduk.4

SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina,

dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi dan

geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat itemkan pada

semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (massa reproduksi). Onset

penyakit LES 65% terjadi antara usia 16-55 tahun, 20% sebelum usia 16 tahun

dan 15% setelah usia 55 tahun.4

Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar

antara (5,5-9) : 1. Rasio penyakit LES pada perempuan dan laki-laki adalah 9:1.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rupert W.Jakes, dilaporkan

prevalensi LES pada perempuan yaitu sekitar 7.7-68.4 kasus per 100.000

penduduk dengan insidensi 1.4-5.4 kasus, sedangkan prevalensi LES pada laki-

laki 0.8-7.0 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi 0.4-0.8 kasus tiap

tahunnya. Pada lupus eritematosus yang disebabkan obat (drug induced LE) rasio

ini lebih rendah, yaitu 3:2.9

Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di

rumah sakit. Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia/ RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang

melakukan penelitian pada peride yang berbeda diperoleh data sebagai berikut:

anara tahun 1969-190 doemukan 5 kasus SLE; selama periode 5 tahun (1972-

1976) ditemukan 1 kasus SLE dari setiap 666 kasus yang dirawat (insidensi

sebesar 15 per 10.000 peraaan): antara tahun 1988-1990 (3 tahun) insidensi rata-

12
rata ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan. Ketiganya menggunakan kriteria

yang berbeda-beda, yaitu berturut-turut kriteria Dubois, kriteria pendahuluan AR

dan kritrtia ARA yang telah diperbaiki. Insidensi di Yogyakarta antara tahun

1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 peraatan. Di Medan antara tahun 1984-1986

didapatkan insidensi sebesar 1,4 per 10.000 perawatan.5

4. Patogenesis SLE

Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan mempertahankan

toleransi-diri. Akibatnya terdapat autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat

merusak jaringan secara langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks imun.

Antibodi tersebut melawan komponen nuclear dan sitoplasma sel host yang tidak

spesifik terhadap organ.10 Proses ini diawali dengan faktor pencetus yang ada

dilingkungan, dapat berupa infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia.

Hal ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh yaitu 8:11

1. Sel T dan sel B menjadi autorektif

2. Pembentukan sitokin yang berlebihan

3. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain

a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun

sitokin di dalam tubuh

b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis

c. Hilangnya toleransi imun dimana sel T mengenali molekul tubuh sebagai

antigen kerena adanya mimikri molekuler.

13
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam

tubuh yang disebut autoantibodi. Selanjutnya antibodi tersebut akan membentuk

kompleks imun. Kompleks imun tersebut akan terdeposisi pada jaringan atau

organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.11

Karakteristik patogenesis dari LES yaitu sistem imun yang menyerang nuklear

endogen yang dianggap sebagai autoantigen. Autoantigen dikeluarkan oleh sel

yang mengalami apoptosis kemudian akan dipresentasikan oleh sel dendritik ke

sel T. Sel T mensekresikan sitokin yaitu interleukin 10 (IL10) dan IL23 yang

mengaktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Nukleosome endogen dapat

berikatan dengan molekular patogen reseptor dan dapat menstimulus pengeluaran

interferon α (IFN α) sehingga memicu terjadinya inflamasi. Selain itu juga

nucleosome dapat berikatan dengan reseptor permukaan sel seperti BCR (B cell

antigen reseptor) dan TLR (Toll like reseptor). Pada pasien dengan SLE yang

aktif terdapat peningkatan ekspresi TLR9.12 Pada LES sebagian besar

autoantibodi yang dihasilkan akan langsung menyerang kompleks DNA/protein

atau RNA/protein seperti nukleosome, nukleolar RNA, spliceosomal RNA. Saat

terjadi apoptosis, antigen tersebut bermigrasi ke permukaan sel dan mengaktivasi

sistem imun untuk produksi autoantibodi. Hiperreaktivitas dari sel T dan sel

limfosit B pada LES ditandai dengan meningkatnya ekspresi molekul HLA-D dan

CD40L. menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan. Hasil akhir dari

ini yaitu produksi autoantibodi dan pembentukan kompleks imun yang terdeposisi

di jaringan sehingga membuat (1) sequestrasi dan destruksi sel-sel yang

diselubungi Ig yang beredar di sirkulasi, (2) fiksasi dan cleaving komplemen, (3)

14
pengeluaran kemotoksin, peptide vasoaktif, dan enzim-enzim yang mendestruksi

jaringan.4

5. Patofisiologi SLE

Abnormalitas imun pada LES terbagi menjadi 2 fase yaitu (a)

meningkatnya serum antinuklear dan autoantibodi anti-glomerular, (b)

terbentuknya kompleks imun pada organ target yang menyebabkan kerusakan


12
organ. Defek mekanisme regulasi imun seperti klirens apoptosis dan kompleks

imun merupakan kontributor pada LES. LES ditandai dengan adanya produksi

autoantibodi, terbentuknya kompleks imun, dan aktivasi komplemen yang tidak

terkendali. LES disebabkan oleh interaksi antara gen dan faktor lingkungan

sehingga menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon tersebut terdiri dari

hiperaktivitas sel T helper sehingga terjadi hiperaktivitas sel B. Terjadi gangguan

mekanisme downregulating yang menimbulkan respon imun abnormal. 4

Pada LES penanganan pada komplek imun terganggu, dapat berupa

gangguan klirens kompleks imunt, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam

hati dan penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini

memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit

mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ

dan terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan

aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi

inflamasi. Reaksi inflamasi inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan atau

gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura,

kulit dan sebagainya.4

15
Gambar 5.1 Patofisiologi SLE

6. Manifestasi Klinis SLE

SLE adalah penyakit autoimun multisistem yang dapat bersifat

eksaserbasidan remisi. Penyakit ini menyerang berbagai macam organ seperti

kulit, ginjal,muskuloskeletal, saraf, kardiovaskular, serta rongga mulut.4,8

Sebanyak 50-70% pasien SLE mengalami gangguan pada

ginjalnya.Keterlibatan ginjal merupakan penyebab utama tingginya morbiditas

dan mortalitaspada populasi ini. Secara klinis, penyakit ginjal pada SLE berawal

dari proteinuriaasimtomatik yang kemudian berkembang dengan cepat menjadi

glomerulonephritisprogresif disertai dengan gagal ginjal.4

Sekitar 95% pasien SLE dapat menunjukkan manifestasi

padamuskuloskeletal. Arthralgia, deformitas sendi, kelainan sendi

temporomandibular dannekrosis avaskular telah dilaporkan terjadi pada pasien

SLE.4

16
Pada kulit, manifestasi SLE disebut juga lupus dermatitis.Lupus dermatitis

dapat dibagi menjadi discoid lupus erythematosus (DLE) dan subacute cutaneous

lupus erythematosus (SCLE). Kebanyakan gambaran klinis SLE pada kulit

berupalesi diskoid yang umum bersifat fotosensitif, eritema sedikit meninggi,

bersisik, pada wajah bagian pipi dan sekitar hidung yang disebut buterfly rash

karena membentuk seperti sayap kupu-kupu (Gambar 1), telinga, dagu, daerah

leher, punggung atas, danbagian ekstensor dari lengan. Sebanyak 5% individu

dengan DLE memiliki SLE namun, diantara individu dengan SLE, sebanyak 20%

memiliki DLE.4

Gambar 6.1.Butterfly Rush.8

Tingkat keparahan butterfly rush, kadang disertai dengan serangan

penyakit sistemik. SCLE dapat menimbulkan bercak merah bersisik mirip dengan

psoriasis atau lesi sirkuler datar kemerahan.Pasien dengan manifestasi ini sangat

fotosensitif;kebanyakan memiliki antibodi terhadap Ro (SS-A). Manifestasi SLE

pada kulitlainnya dapat ditemukan berupa urtikaria rekuren, dermatitis lichen

planus-like, bulla,dan panikulitis.4

Timbulnya manifestasi sistem saraf pusat (SSP) dapat terjadi pada sekitar

20% pasien SLE dan biasanya disebabkan oleh vaskulitis serebral atau kerusakan

17
saraf langsung. Manifestasi SSP terdiri dari psikosis, stroke, kejang, myelitis dan

dapat memperburuk keseluruhan prognosis dari penyakit SLE.4

SLE dapat melibatkan kardiovaskular, berupa vaskulitis dan perikarditis.

Selain itu, kerusakan endokardium, miokarditis, dan cacat konduksi biasanya juga

terjadi. Selama kelangsungan hidup pasien SLE, arterosklerosis akan

meningkatdengan dipercepat oleh penyakit arteri koroner, dan hal ini telah

menjadi masalahklinis yang penting. Berdasarkan sebuah studi, dinyatakan bahwa

infark miokardium,gagal jantung, dan stroke adalah 8,5, 13,2 dan 10,1 kali lebih

sering terjadi padaperempuan dengan SLE dibandingkan dengan populasi umum.

Kecenderungan peningkatan trombosis pada SLE dipengaruhi oleh adanya

kelainan pada fibrinolisis,protein antikoagulan (protein S), dan adanya antibodi

antifosfolipid. Sistem saraf pusat dan trombosis vena dengan emboli paru adalah

penyebab utama morbiditas pada pasien SLE. Sebagai pencegahan pasien SLE

membutuhkan antikoagulan tingkat tinggi.4

Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE

Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE,

terutamamenyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan

pemantauanefek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang

dilakukanuntuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan

ditetapkannyagambaran tingkat keparahan SLE.Penyakit SLE dapat dikategorikan

ringan atau berat sampai mengancam nyawa.8

Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:8

1. Secara klinis tenang

18
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa

3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,

gastrointestinal,susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.

Contoh SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.

Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:8

1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)

2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)

3. Serositis mayor

Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan


keadaansebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:8

a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,

tamponade jantung, hipertensi maligna.

b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli

paru,infark paru, fibrosis interstisial, shrinking lung.

c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.

d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.

e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).

f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,

mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.

g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),

trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, thrombosis

vena atau arteri.

19
Derajat Nefritis Lupus

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membagi nefritis lupus berdasarkan luas dan

lokasi perubahan proliferatif dalam glomeruli dan selaput basement :13

I. tidak ada keterlibatan ginjal

II. mesangial lupus nephritis

 mungkin bentuk paling awal

 menonjol mesangial dengan peningkatan matrix + mesangial sel, fokus

dan glomerulonefritis segmental

 sedikit proteinuria, hematuria minimal

III. fokus proliferasi lupus nephritis

 pasien SLE 50% di tahun pertama

 tajam digambarkan endotel segmental dan proliferasi sel mesangial,

biasanya melibatkan <50% glomeruli

 proteinuria tapi sindrom nefrotik jarang, hematuria, ginjal kadang-kadang

Insufisiensi ringan, tidak ada hipertensi.

IV. lupus nephritisberdifusi proliferatif

 bentuk yang paling parah, sering nefrotik dan nefritik sindrom, biasanya

pada tahun pertama

 proliferasi mesangial + sel endotel mempengaruhi sebagian glomeruli

(peradangan,trombosis, peningkatan sel mesangial), lumina kapiler

menghilang, crescent dihingga 30% glomeruli, micropscopy cahaya

menunjukkan kawat loop, mikroskop elektronmenunjukkan peningkatan

sel endotel + deposito subendothelial (deposito difusIgG, C3, C4, C1q)

20
 proteinuria, hematuria,> 50% sindrom nefrotik, hampir semua menjadi

nefrotik,azotemia, hipertensijarang

V membran lupus nephritis

 pasien SLE 50% selama tahun pertama

 temuan histologis mirip dengan idiopatik (atau primer)

berselaputglomerulonefritis

 proteinuria, hematuria,> 50-80% sindrom nefrotik, jarang hipertensi atau

ginjal

VI glomerular sclerosis

7. Diagnosis SLE

Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi ini

diartikan sebagai terpenuhinya minimum kriteria (definitif) atau banyak kriteria

terpenuhi (klasik) yang mengacu pada kriteria dari the American College of

Rheumbatology (ACR) revisi tahun 1997. Namun, mengingat dinamisnya keluhan

dan tanda SLE dan padakondisi tertentu seperti lupus nefritis, neuropskiatrik

lupus (NPSLE), maka dapat saja kriteria tersebut belum terpenuhi.8

Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini

tidaklah mudah ditegakkan.SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi

sebagai penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia,

dermatitis dan sebagainya.Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE

menjadi penting.8

Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain

dapatmenimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga

21
terlihatsangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita. Gejala yang dapat

timbul berupa demam berkepanjangan, foto sensitifitas, perubahan berat badan,

kelenjar limfe yang membengkak, dan terjadi perubahan terhadap beberapa organ

vital lainnya. SLE pada tahap awal, seringkali memberikan gambaran seperti

penyakit lainmisalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis,

dan sebagainya. Pada tahun 1982, American Collage Of Rheumatology membuat

suatu criteria yang dapat menjamin akurasi diagnosis lupus yaitu sampai ketepatan

98% dan padatahun 1997 telah di revisi. Tabel 2.1 merupakan tabel kriteria SLE

yang telah direvisi.8

22
Tabel 7.1.Kriteria Diagnosis SLE yang Sudah Direvisi.

Dari tabel tersebut, jika ditemukan 4 atau lebih kriteria, maka diagnosis

SLE mempunyai spesifisitas 95% dapat ditegakkan. Jika hanya 3 kriteria dan

salah satunya ANA positif, maka sangat tinggi kemungkinan diagnosis SLE dapat

ditegakkan dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Pada hasil tes

ANA, jika hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE, namun jika

hanya tes ANA positif dan tidak terlihat manifestasi klinis, maka belum tentu juga

SLE, sehingga hal ini memerlukan observasi jangka panjang.8

Sedangkan menurut kriteria SLE berdasarkan SLICC tahun 2012 dapat

dilihat di tabel 2.214

Tabel 7.2 Kriteria SLE berdasarkan SLICC tahun 2012

Kriteria Klinis Kriteria Immunologis

1. Lupus kutaneus akut, contoh: malar 1. ANA


rash, fotosensitive lupus rash
2. Lupus kutaneus kronis, contoh: 2. Anti-DNA
discoid rash

23
3. Ulserasi oral atau nasal 3. Anti-Sm
4. Alopesia 4. Antifosfolipid Ab
5. Arthritis 5. Komplemen rendah (C3, C4, CH50)
6. Serositis, contoh: efusi pleura, efusi 6. Direct Coombs’ test
pericardium
7. Kelainan Renal
8. Kelainan Neurologis
9. Anemia hemolitik
10. Leukopenia
11. Trombositopenia (<100.000/mm3)

Dari tabel tersebut, Apabila ditemukan ≥ 4 kriteria (minimal 1 kriteria klinis dan

minimal 1 kriteria laboratorium) atau biopsi yang membuktikan nefritis lupus

dengan ANA positif ata Anti-DNA yang positif maka dapat didiagnosis sebagai

SLE.14

Kelainan laboratorium pada LES diantaranya anemia hemolitik dan

anemia nomositer, leukopenia, trombositopenia, laju endap darah yang cepat,

hiperglobulinemia dan bila terdapat sindrom nefrotik, albumin akan rendah.

Biasanya kelainan faal hepar dan penurunan komplemen serum juga ada.

Proteinuria, biasanya bersifat gross proteinuria, merupakan gejala penting. Faktor

rematoid positif kira-kira 33% kasus. Urin diperiksa untuk mengetahui adanya

protein, leukosit, eritrosit dan silinder. Uji ini dilakukan untuk menentukan

adanya komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan penyakit LES.

Berikut pemeriksaan penunjang minimal yang diperlukan untuk diagnosis dan

monitoring LES:9

1. Hemoglobin. Leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)

24
2. Urin rutin dan mikroskopik protein kuantitatif 24 jam, bila diperlukan

pemeriksaan kreatinin darah

3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati dan profil lipid)

4. PT dan aPTT

5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen C3 C4

6. Foto polos toraks (pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis)

Keterangan Test ANA:9

- Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE

- Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE

- Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak

menyingkirkan diagnosis SLE

 Fenomena Sel S.E dan tes sel S.E

Sel L.E terdiri atas granulosit neutrofilik yang mengandung bahan nuclear

basofilik yang telah difagositosis, segmen nuklearnya berpindah ke perifer.

Fenomena ini disebabkan oleh factor antinuclear (factor L.E dan yang lain) yang

menyerang bahan nuclear di dalam sel yang rusak. Bahan nuclear yang berubah

dikelilingi neutrofil (bentuk rosette) yang memfagositosis bahan tersebut. Tes sel

L.E kini tidak penting karena pemeriksaan antibodi antinuclear lebih sensitif.15

 Antibodi antinuclear (ANA)

Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE

adalah tes ANA generic (ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA

dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada

SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan

25
tetapi hasil tes ANA dapat positif padabeberapa penyakit lain yang mempunyai

gambaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit

autoimun (misalnya Mixed connective tissuedisease (MCTD), artritis rematoid,

tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orangnormal.15

Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan,

tetapiperjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis dan

berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang

terutama jikadidapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA

dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis

tidak sesuai SLE umumnya diagnosis SLE dapat disingkirkan.15

Selain mendeteksi adanya ANA, test ini juga berguna untuk mengevaluasi

pola dari ANA dan antibody spesifik. Pola ANA dapat diketahui dari pemeriksaan

preparat yang diperiksa di bawah lampu ultraviolet.13 Terdapat 4 pola ANA ialah

membranosa (anular, peripheral), homogen, berbintik dan nuclear. Yang dianggap

spesifik untuk SLE ialah pola membranosa, terutama jika titernya tinggi. Pola

berbintik juga umum terdapat pada SLE.16

 Lupus band test

Pada pemeriksaan imunofluoresens langsung dapat dilihat pita terdiri atas

deposit granular immunoglobulin G, M atau A dan komplemen C3 pada taut

epidermal-dermal yang disebut lupus band. Caranya disebut lupus band test,

specimen diambil dari kulit yang normal. Tes tersebut positif pada 90-100%

kasus SLE dan 90-95% kasus L.E.D.16

26
 Anti-ds-DNA

Anti autoantibody yang lain selain ANA ialah anti-ds-DNA, yang spesifik

untuk S.L.E, tetapi hanya ditemukan pada 40-50% penderita. Antibodi ini

mempunyai hubungan dengan glomerulonefritis. Adanya antibodi tersebut dan

kadar komplemen yang rendah dapat meramalkan akan terjadinya hematuria

dan atau proteinuria16

 Anti-Sm

Selain anti-ds-DNA, masih ada antibody yang lain yang spesifik ialah anti-Sm,

tetapi hanya terjadi pada sekitar 20-30% penderita dan tidak ditemukan pada

penyakit lain.16

Rekomendasi9

- Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesi!ik untuk SLE

- Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE

- Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak

menyingkirkan diagnosis SLE

8. Terapi SLE

Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan

strategi pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini

seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan

pengobatan tercapai. Perlu dilakukanupaya pemantauan penyakit mulai dari

dokter umum di perifer sampai ke tingkatdokter konsultan, terutama ahli

reumatologi.8

27
Tabel 8.1.Pilar Pengobatan Lupus Eritematous Sistemik.8

Terapi SLE sebaiknya dilakukan secara bersamaan dan

berkesinambunganagar tujuan terapi dapat tercapai. Berikut pilar terapi SLE :8

a. Edukasi dan Konseling

Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan

olehpasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri. Beberapa

hal perludiketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik yang akan

dialami, perjalananpenyakit, cara mencegah dan mengurangi kekambuhan

seperti melindungi kulit daripaparan sinar matahari secara langsung,

memperhatikan jika terjadi infeksi, danperlunya pengaturan diet agar tidak

kelebihan berat badan, displidemia atauterjadinya osteoporosis.8

b. Program Rehabilitasi

Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan olehpasien

SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi fisik,

terapidengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan lain-lain.8

28
c. Terapi Medikasi8

Pengobatan LES Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.8

a. Pengobatan LES Ringan

Pilar pengobatan pada LES ringan dijalankan secara bersamaan dan

berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar

tujuan di atas tercapai, yaitu:8

Obat-obatan8

- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.

- Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan

pengelolaan nyeri dan inflamasi.

- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi

ringan)

- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin

250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat

awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara

hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa

mata setiap 6-12 bulan.

- Kortikortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang

setara .

- Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection faktor sekurang-

kurangnya 15 (SPF 15).5

29
b. Pengobatan LES Sedang8

Pilar penatalaksanaan LES sedang sama seperti pada LES ringan kecuali pada

pengobatan. Pada LES sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan

tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada

serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara.8

c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa8

Pilar pengobatan sama seperti pada LES ringan kecuali pada penggunaan obat-

obatannya. Pada LES berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-

obatan sebagaimana tercantum pada bagan.8

Gambar 8.1 Algoritma penatalaksanaan SLE

30
Tabel 8.2.Terapi Medikamentosa pada Pasien SLE.8

31
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID ( Non

Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid, imunosupresan dan obat

terapilain sesuai manifestasi klinis yang dialami.5

1. NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)

NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada

tingkatanyang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada

otot, sendi danjaringan lain. Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan

sulindac. Obat-obatantersebut dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada

saluran pencernaan sepertimual, muntah, diare dan perdarahan lambung.5

2. Kortikosteroid

Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama

dalampengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau

tinggi sesuaitingkat keparahan penyakit untuk pengendalian penyakit.

Penggunaan kortikosteroiddapat dilakukan secara oral, injeksi pada sendi,

dan intravena. Contoh:Metilprednisolon. Kesalahan yang sering terjadi

adalah pemberian dosis yang tinggi,namun tidak disertai kontrol dan dalam

waktu yang lama. Beberapa efek sampingdari mengonsumsi kortikosteroid

terdiri dari meningkatkan berat badan, penipisankulit, osteoporosis,

meningkatnya resiko infeksi virus dan jamur, perdarahan gastrointestinal,

memperberat hipertensi dan moon face.5

32
Tabel 8.3.Terminologi Pembagian Dosis Kortikosteroid.8

Tabel 8.4.Farmakodinamik Pemakaian Kortikosteroid pada Reumatologi8

Tabel 8.5. Efek Samping yang Sering Ditemui pada Pemakaian


Kortikosteroid.8

33
3. Antimalaria5

Antimalaria yang dapat digunakan untuk terapi SLE terdiri dari

hydroxychloroquinon dan kloroquin. Hydroxychloroquinon lebih sering

digunakan dibanding kloroquin karena resiko efek samping pada mata lebih

rendah.Obatantimalaria efektif untuk SLE dengan gejala fatigue, kulit, dan

sendi.Baik untukmengurangi ruam tanpa meningkatkan penipisan pembuluh

darah.Toksisitas padamata berhubungan dengan dosis harian dan kumulatif,

sehingga selama dosis tidakmelebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien

dianjurkan untuk memeriksakanketajaman visual setiap enam bulan untuk

identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan.5

4. Immunosupresan

Obat Immunosupresan merupakan obat yang berfungsi untuk menekan

sistemimun tubuh. Ada beberapa jenis obat immunosupresan yang biasa

dikonsumsi pasienSLE seperti azathioprine (imuran), mycophenolate

mofetil (MMF), methotrexate,cyclosporine, cyclophosphamide, dan

Rituximab.5

9. Diagnosis Banding SLE

Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan

diagnosisakibat gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang

serupa,yaitu:8

a. Undifferentiated connective tissue disease

b. Sindroma Sjögren

c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)

34
d. Fibromialgia (ANA positif)

e. Purpura trombositopenik idiopatik

f. Lupus imbas obat

g. Artritis reumatoid dini

h. Vaskulitis

Gambar 9.1.Sistem Rujukan dan Fungsi Konsultatif SLE.8

10. Prognosis Penyakit LES

Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat.

Apabila mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada pasien

dengan LES telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955, tingkat

kelangsungan hidup penderita pada 5 tahun pada LES kurang dari 50%. Saat ini,

tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir rata-rata melebihi

90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita pada 15 tahun terakhir adalah

sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir di Asia

35
dan Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan angka

kematian yang berhubungan dengan LES dapat dikaitkan dengan diagnosis yang

terdeteksi secara dini, perbaikan dalam pengobatan penyakit LES, dan kemajuan

dalam perawatan medis umum.17

36
BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN

Lupus Eritematosus Sistemik didefinisikan sebagai penyakit inflamasi

autoimun sistemik, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. Etiologi

penyakit LES merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor imunologis, faktor

lingkungan, dan faktor hormonal. Pada LES interaksi antar keempat faktor

tersebut merespon tubuh untuk membentuk autoantibodi, selanjutnya membentuk

kompleks imun yang terdeposisi pada jaringan atau organ yang akhirnya

menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.

Gejala klinis dan perjalanan penyakit LES sangat bervariasi. Penyakit

dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam

tubuh. Diagnosis LES menurut American College of Rheumatology (ACR)

ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ACR tersebut, meliputi :

butterfly rash, bercak diskoid, fotosensitf, ulkus mulut, arthritis, serositif,

gangguan ginjal, gangguan saraf, gangguan darah, gangguan imunologi dan

gangguan antinuklear.

Penatalaksanaan LES dilaksanakan secara komprehensif meliputi non

medika mentosa dan medika mentosa. Tujuan dari terapi LES yaitu untuk

meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien LES melalui pengenalan dini

dan pengobatan yang paripurna.


DAFTAR PUSTAKA

1. James MG, Anna MQ, Peter VR, Dene TW. Diagnosis of systemic lupus

erythematosus. AAFP 2013; 68

2. Bertsias G, et al. Systemic lupus erythematosus : pathogenesis and clinical

features. Eular textbook of rheumatic disease 2012; 20: 476-505.

3. Hom G, Graham RR, Modrek B, Taylor KE, Ortmann W, Garnier S, et al.

Association of Systemic Lupus Erythematosus with C8orf13-BLK and

ITGAM-ITGAX. N Engl J Med 2008 Jan 20; 358: 900

4. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In Longo D.L, Fauci A.S., Kasper

D.L, Hauser S.L, Jameson J.L, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal

Medicine. Edisi 18. United States of America; Mc Graw Hill Companies;

2012. H 2724-35.

5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku

ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia; 2009.

6. Mok Chi Chiu. Bookmarkes for lupus nephritis: a critical appraisal. Journal

of Biomedicine and Biotechnology 2010; 10(11):1

7. Dorland WAN. Kamus saku kedokteran dorland. 28th ed. Hartanto YB,

editor. Jakarta: EGC; 2012.

8. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus

Eritematosus Sistemik. Jakarta. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. 2011.


9. Jakes RW, et al. Systematic review of the epidemiology of systemic lupus

erythematosus in the Asia-Pasific region: prevalence, incidence, clinical

features, and mortality. Americam College of rheumatology 2012; 64(2) :

159-68.

10. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. 7th ed.

Jakarta: EGC; 2009.

11. Tjokoprawiro A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Surabaya : Universitas

Airlangga; 2007. h 235-41.

12. Pathak S. Cellular and molecular pathogenesis of systemic lupus

erythematosus: lessons from animal models. BioMed central 2011; 241(13) :

1-9.

13. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus

Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,

Philadelphia. 2003. p810-813.

14. Abari Iraj Salehi. 2015 ACR/SLICC revised criteria for diagnosis of systemic

lupus erythematosus. Autoimmune Disease and Therapeutic Approaches

2015; 2(1): 114

15. Gill JM, et al. Diagnosis of systemic lupus eritematosus. American family

physician 2003; 68(11) : 1-6.

16. Budianti WK. Lupus eritemarosus kutan dalam ilmu penyakit kulit dan

kelamin Ed 7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2015. h.300-302.


17. Petri MA, Systemic lupus erythematosus: Clinical aspects. In: Koopman WJ.

Editor.Arthritis and Allied conditions. 15th ed. Philadelphia: Lippincott

William & Wilkins. 2005:1473-147411.

Anda mungkin juga menyukai