Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Juli, 2021

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

DERMATITIS ATOPIK

Oleh :

ANDI RIDWAN JALAL, S.Ked


USAMAH BIN ISMAN, S.Ked
MUHAMMAD ZAINUL MUTTAQIN, S.Ked

Pembimbing :
dr. Helena Kendengan, Sp. KK

(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021
Referat dengan judul
DERMATITIS ATOPIK

oleh:

Andi Ridwan Jalal, S.Ked


Usaman Bin Isman, S.Ked
Muhammad Zainul Muttaqin, S.Ked

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan
Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Makassar, Rumah Sakit Umum Daerah Syekh Yusuf.

Makassar, Juli

dr. Helena Kendengan, Sp. KK


BAB I
PENDAHULUAN
DA merupakan penyakit inflamasi kulit kronis, ditandai dengan adanya lesi
eksim yang gatal dan sering terjadi eksaserbasi pada perjalanan penyakitnya. Pada
tahun 2010, diperkirakan sebanyak 230 juta penduduk dunia mengalami DA.
Prevalensi DA secara global sebesar 25% - 35%. Menurut studi yang dilakukan oleh
International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan
prevalensi DA yang bervariasi pada beberapa negara dan terjadi peningkatan
pravalensi DA terutama pada kelompok usia 6 – 7 tahun. Selain itu, prevalensi DA
semakin meningkat selama 6 dekade terakhir1.
Terjadinya peradangan pada kulit, lesi ekzema, pruritus intens, dan gejala
yang sering kambuh berulang dari perjalanan penyakit, serta penyakit atopik terkait di
riwayat pribadi atau keluarga, adalah karakteristik dermatitis atopik (AD). AD
mempengaruhi sekitar 20% dari semua anak di usia 6 tahun dan 5% orang dewasa di
kawasan industri negara barat. Perkembangan AD didasarkan pada kecenderungan
genetik yang menentukan baik buruknya fungsi pelindung pada kulit manusia2.
Angka kunjungan pasien DA di Poliklinik Dermatologi dan Venereologi (DV)
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Moh. Hoesin (RSUP MH) Palembang tahun 2011
adalah 116 (1,73%) pasien di antara 6713 kunjungan, tahun 2012 sebanyak 150
(2,31%) pasien di antara 6497 kunjungan, tahun 2013 sebesar 62 (1,07%) pasien di
antara 5784 kunjungan, dan tahun 2014 sebesar 57 (1,38%) pasien di antara 4142
kunjungan. Berdasarkan data kunjungan pasien rawat jalan di Poliklinik DV RSUP
MH Palembang dari tahun 2011 sampai 2012 tampak terdapat peningkatan frekuensi
kunjungan pasien DA, tetapi pada tahun 2013 dan 2014 mengalami penurunan3.
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Dermatitis atopik (DA) adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang kronis
residif, disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu terutama di wajah pada
bayi (fase infantil) dan bagian fleksural ekstremitas (pada fase anak). Dermatitis
atopik kerap terjadi pada bayi dan anak, sekitar 50% menghilang pada saat remaja,
kadang dapat menetap, atau bahkan baru mulai muncul saat dewasa. Istilah "atopy'
telah diperkenalkan oleh Coca dan Cooke pada tahun 1923, asal kata "atopos" (out of
place) yang berarti berbeda; dan yang dimaksud adalah penyakit kulit yang tidak
biasa, baik lokasi kulit yang terkena, maupun perjalanan penyakitnya4.

B. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan International Study of Ashma and Allergies in Children prevalensi
gejala dermatitis atopik pada anak usia enam atau tujuh tahun sejak periode tahun
pertama bervariasi yakni kurang dari 2% di Iran dan Cina, kira-kira 20% di Australia,
Inggris dan Skandinavia. Data di Inggris, pada survey populasi pada 1760 anak-anak
yang menderita dermatitis atopik dari usia satu hingga lima tahun ditemukan kira-
kira84% kasus ringan, 14% kasus sedang, 2% kasus berat. Standardisasi diagnosis
dermatitis atopik di Eropa (The Europian Task Force on AtopicDermatitis)
menggunakan indek dengan sebutan SCORAD (Score of AtopicDermatitis). Kejadian
dermatitis atopik sering dijumpai pada bayi dan anak-anak. Berdasarkan data
gambaran kasus penyakit kulit dan subkutan lainnya merupakan peringkat ketiga dari
sepuluh penyakit utama dengan 86% adalah dermatitis atopik diantara 192.414 kasus
penyakit kulit di beberapa Rumah Sakit Umum di Indonesia tahun 2013 kejadian
dermatitis atopik mencapai 36% angka kejadian5.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar oleh Depertemen Kesehatan 2013 prevalensi
nasional dermatitis adalah 6,8% (berdasarkan keluhan responden). Sebanyak
13provinsi mempunyai prevalensi dermatitis di atas prevalensi nasional,yaitu,
Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan
Tengah, Nusa Tenggara Timur, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta,
Bangka Belitung, Nanggro Aceh Darussalam, dan termasuk Sumatera Barat5.
Data dari dinas kesehatan kota Padang tahun 2012, dermatitis menempati 10
penyakit terbanyak di kota Padang, yaitu sebesar 11.471 kasus. Pada tahun 2013
dermatitis menempati 10 penyakit terbanyak di Sumatera Barat yaitu sebesar 9.644
kasus. Data dermatitis pada tahun 2014 menempati 10 penyakit terbanyak di
Sumatera Barat yaitu sebesar 11.922 kasus5.

C. ETIOLOGI
Sampai saat ini etiologi DA dianggap multifaktor, namun patogenesis yang pasti
masih diteliti para pakar, baik di bidang genetik, maupun berbagai faktor eksternal
dan internal, termasuk sawar kulit. Perjalanan penyakit bervariasi, dipengaruhi
berbagai faktor tersebut serta berkaitan erat dengan penyakit atopi Iainnya, yakni
asma bronkial, rinitis alergik, urtikaria, dan hay fever4.
Timbulnya inflamasi dan rasa gatal merupakan hasil interaksi berbagai faktor
internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor predisposisi genetik (melibatkan
banyak gen) yang menghasilkan disfungsi sawar kulit serta perubahan pada sistem
imun, khususnya hipersensitivitas terhadap berbagai alergen dan antigen mikroba.
Faktor psikologis dapat merupakan penyebab atau sebagai dampak DA. Adanya
hubungan disfungsi sawar kulit dan patogenesis DA meliputi perubahan pada sistem
imun (imunopatologik), alergen dan antigen, predisposisi genetik, mekanisme
pruritus, dan faktor psikologis. Faktor higiene akhir-akhir ini diduga merupakan salah
satu faktor risiko DA di dalam keluarga4.
AD dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu tipe ekstrinsik/alergi dan tipe
intrinsik/non-alergi. Tipe ekstrinsik ditemukan pada 70-80% AD pasien. Pada tipe
ini, terjadi sensitisasi terhadap alergen lingkungan dan peningkatan IgE serum.
sedangkan tipe intrinsik ditemukan pada 20-30% AD pasien. Pada tipe intrinsik,
tidak ada sensitisasi terhadap alergen lingkungan dan kadar serum IgE rendah6.

D. PATOGENESIS
Berbagai faktor turut berperan pada patogenesis DA, antara lain faktor genetik
terkait dengan kelainan sawar kulit, kelainan imunologik, dan faktor lingkungan.
Terdapat peningkatan transepidermal water loss (TEWL), kulit kering, dan
peningkatan kadar serum IgE pada pasien DA. Kulit kering memudahkan masuknya
alergen, iritan, dan keadaan patologik kulit. Sitokin IL-2, IL-6, dan IL-8 berperan
pada pruritus pasien DA4.
a. Sawar kulit
Dermatitis atopik erat kaitannya dengan gangguan fungsi sawar kulit
akibat menurunnya fungsi gen yang meregulasi amplop keratin (filagrin dan
lorikrin), berkurangnya volume seramid serta meningkatnya enzim proteolitik
dan trans-epidermal-water loss (TEWL). TEWL pada pasien DA meningkat 2-5
kali orang normal. Sawar kulit dapat juga menurun akibat terpajan protease
eksogen yang berasal dari tungau debu rumah (house dust mite) dan superantigen
Staphylococcus aureus (SA) serta kelembaban udara. Perubahan sawar kulit
mengakibatkan peningkatan absorpsi dan hipersensitivitas terhadap alergen
(misalnyaalergen hiruptungau debu rumah). Peningkatan TEWL dan penurunan
kapasitas kemampuan menyimpan air (skin capacitance), seda perubahan
komposisi lipid esensial kulit, menyebabkan kulit DA lebih kering dan
sensitivitas gatal terhadap berbagai rangsangan bertambah. Garukan akibat gatal
menimbulkan erosi atau ekskoriasi yang mungkin dapat meningkatkan penetrasi
mikroba dan kolonisasi mikroba di kulit. Peningkatan hipersensitivitas tersebut
berdampak pula pada meningkatnya sensitivitas respirasi pasien DA terhadap
alergen di kemudian hari4.
b. Imunologi
Pada kulit pasien DA terjadi perubahan sistem imun yang erat
hubungannya dengan faktor genetik, sehingga manifestasi fenotip DA
bervariasi. Penelitian genetik terhadap pasien asma memperlihatkan gen yang
sama dengan pasien dermatitis atopik, yaitu gen pada 11q13 sebagai gen
pengkode reseptor lgE. Ekspresi reseptor lgE tersebut pada sel penyaji antigen
dapat memicu terjadinya rangkaian peristiwa imunologi pada DA. Kerusakan
sawar kulit menyebabkan produksi sitokin keratinosit {IL-I, 11--6, IL-8,
tumor necrosis factor-a (TNF-a)} meningkat dan selanjutnya merangsang
molekul adhesi sel endotel kapiler dermis sehingga terjadi regulasi limfosit
dan leukosit. Ishizaka dkk. tahun 1996 menyatakan bahwa pada DA terdapat
peningkatan kadar lgE yang menyebabkan reaksi eritema di kulit. Terjadi
stimulasi interleukin-4 (IL-4) terhadap sel T(CD4+) dan IL-13 terhadap sel B
untuk memproduksi lgE, sebaliknya interferon y (IFNY) dapat mensupresi sel
B. Jumlah dan potensi IL-4 lebih besar daripada IFNY. IL-5 berfungsi
menginduksi proliferasi sel eosinofil yang merupakan salah satu parameter
DA4.
c. Alergen dan superantigen
1) Alergen
Faktor eksogen, terutama alergen hirup (debu rumah, tungau debu rumah)
berperan penting pada terjadinya DA. Alergen hirup lainnya yang sering
memengaruhi adalah human dander, animal dander, molds, grasses, trees,
ragweed, dan polien. Beberapa penelitian membuktikan peningkatan kadar
lgE spesifik (lgE RAST) terhadap tungau debu rumah (D.pteronyssinus) lebih
tinggi pada pasien DAdibandingkan dengan kondisi lain (OR»20). Kadar lgE
spesifik meningkat terhadap debu rumah, bulu anjing, bulu kucing, bulu kuda,
dan jamur. Hasil uji tempel terhadap alergen tungau debu rumah mengindüksi
perubahan histopatologik berupa pembentukan infiltrat selular yang
diperantarai sel T (TH-2) serta ditemukan eosinofil dan basofil. Bukti lain
adalah berkurangnya reaksi alergi bila menghindari alergen. Penelitian
Ridhawati Muchtar tahun 2000 di Divisi Kulit Anak, Poliklinik limu
Kesehatan Kulit dan Kelamin RSCM, pada 20 DA anak kelompok usia 4-7
tahun didapatkan hasil uji tusuk terhadap TDR postif pada 14 (70%) DA anak,
dan uji atopic patch test (APT) positif pada 10 (50%) DA anak, lgE spesifik
terhadap TDR positif pada 12 (60%) DA anak4.
2) Superantigen
Berbagai hasil penelitian pada lesi DA menunjukkan peningkatan
kolonisasi Stapylococcus aureus (SA). Walaupun demikian sangat jarang
terjadi komplikasi sepsis. Hasil intervensi antibiotik menurunkan jumlah
kolonisasi tersebut. Yang menarik adalah jumlah kolonisasi SA tersebut juga
menurun setelah pemberian kortikosteroid topikal poten atau trakolimus
topikal. Stapy/ococcus aureus mampu melekat di kulit karena interaksi antara
protein A2 dan asam teikoik (teichoic acid) pada dinding sel dengan
fibronektin, laminin, dan fibrinogen. Pada DA perubahan kompisisi lipid serta
berkurangnya sfongosin dan natural antimicrobial agent memungkinkan SA
tumbuh dan berkolonisasi4.
d. Genetik
Penelitian genetik berdasarkan silsilah keluarga menyatakan, bahwa
risiko DA pada kembar monozigot sebesar 77% dan pada kembar dizigot
25%. Dermatitis atopik sering dijumpai pada sebuah keluarga, namun
penurunannya tidak mengikuti hükum Mendel. Ada kecenderungan lebih
banyak terjadi pada perempuan dan ditemukan banyak gen yang terlibat pada
DA, sehingga dapat disimpulkan bahwa pola warisan DA bersifat
multifaktorial. Uehara dan Kimura (1993) menyatakan bahwa 60% pasien DA
mempunyai anak atopi. Jika kedua orangtuanya menderita DA, maka 81 %
anaknya berisiko menderita DA. Apabila hanya salah satu orang tuanya
menderita DA maka risiko menderita DA menjadi 59%4.
e. Mekanisme pruritus pada dermatitis atopik
Penelitian genetik berdasarkan silsilah keluarga menyatakan, bahwa
risiko DA pada kembar monozigot sebesar 77% dan pada kembar dizigot
25%. Dermatitis atopik sering dijumpai pada sebuah keluarga, namun
penurunannya tidak mengikuti hükum Mendel. Ada kecenderungan lebih
banyak terjadi pada perempuan dan ditemukan banyak gen yang terlibat pada
DA, sehingga dapat disimpulkan bahwa pola warisan DA bersifat
multifaktorial. Uehara dan Kimura (1993) menyatakan bahwa 60% pasien DA
mempunyai anak atopi. Jika kedua orangtuanya menderita DA, maka 81 %
anaknya berisiko menderita DA4.
E. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis yang utama adalah adanya gatal, yang berhubungan dengan
kronisitas penyakit, morfologi dan distribusi lesi. Dermatits atopic dapat dibagi dalam
3 tipe berdasarkan umur penderita dan gambaran klinis, yaitu:
a. Tipe bayi (infantile type, 0-2 tahun)
Lesi dimulai dari wajah, diawali suatu plak eritema, papul, dan vesikel yang
sangat gatal di pipi, dahi, dan leer, tetapi dapat pula mengenai badan, lengan dan
tungkai. Bila anak mulai merangkak lesi dapat di tangan dan lutut. Karena
garukan terjadi erosi dan ekskoriasi atau krusta, tidak jarang mengalami infeksi.
Xerosis dapat terjadi menyeluruh, termasuk rambut dan kulit kepala kering. Tipe
ini cenderung kronis dan residif8.

(Gambar 1.1)
b. Tipe anak (childhood type, 3-12 tahun)
Predileksi pada fossa kubiti dan popliteal, daerh fleksor pergelangan tangan,
wajah, dan leher. Lesi kering, likenifikasi, batas tidak tegas, karena garukan

terlihat pula ekskoriasi dan krusta. Dapat merupakan lanjutan dari tipe bayi atau
timbul pertama kali. Sering ditemukan lipatan Dennie Morgan yaitu lipatan kulit
dibawah kelopak mata. Kuku dapat menjadi lebih mengkilap dan kasar akinat
gesekan yang konstan. Sebagian besar dari tipe ini akan menghilang pada usia
puberitas8.

c. Bentuk dewasa (adult type, >12 tahun)


Kelainan kulit berupa likenifikasi, papul, eksema, dan krusta. Predileksi lesi
secara klasik ditemukan pada daerah fossa kubiti dan popliteal, leher depan
dan belakang, dahi serta daerah sekitar mata. Tipe ini adalah kelanjutan dari
tipe bayi dan tipe anak aaupun dapat timbul pertama kali8.
(Gambar 2.3)

Gambar 2.1
F. LANGKAH DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan mengenali kriteria mayor dan minor.
1. Kriteria mayor (harus terdapat tiga) (menurut Hanifin dan Rajka) adalah:
a. Pruritus
b. Morfologi dan distribusi lesi:
 Wajah dan ekstensor pada bayi
 Likenifikasi fleksural pada dewasa
c. Dermatitis kronik atau kronik residif
d. Stigmata atopi pada pasien DA atau keluarganya (asma, rinitis alergi,
dermatitis atopik)9
2. Kriteria minor (tiga atau lebih)
a. Xerosis, fisura periaurikular
b. Hiperlinearitas palmaris, garis Dennie-Morgan
c. IgE reaktif (peningkatan kadar di serum, RAST dan uji kulit positif)
d. Dermatitis di daerah palmo-plantar, kulit kepala, puting susu
e. Kheilitis, keratosis pilaris, ptiriasis alba
f. Kemudahan terinfeksi S. aureus dan herpes simpleks
g. White dermographism
h. Katarak dan keratokonus
i. Kemerahan atau pucat di wajah
j. Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan emosi
k. Gatal bila berkeringat
l. Intoleransi terhadap bahan wol dan pelarut lipid
m. Intoleransi makanan9.
Dalam Praktik sehari-hari dapat digunakan kriteria wiliam guna menetapkan
diagnosis DA, Yaitu :
1. Harus ada :
Kulit yang gatal (atau tanda garukan pada anak kecil)
2. Ditambah 3 atau lebih tanda berikut :
a. Riwayat perubahan kulit/kering di fossa kubiti, fossa popolitea, bagian
anterior dorsum pedis, atau seputar leher (termasuk kedua pipi pada anak <
10 tahun)
b. Riwayat asma atau hay fever pada anak (riwayat atopi pada anak < 4 tahun
pada generasi-1 dalam keluarga)
c. Riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun
d. Dermatitis fleksural (pipi, dahi, dan paha bagian lateral pada anak < 4 tahun)
e. Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak dinyatakan pada anak <4 tahun)10,4.
Pemeriksaan penunjang
1. Immunoglobulin
Kadar Ig E biasanya meningkat pada 80 sampai 90% penderita DA.
Peningkatan kadar Ig E erat hubungannya dengan tingkat keparahan penyakit,
dan tidak mengalami fluktuasi baik pada saat eksaserbasi, remisi, ataupun
sedang mendapat pengobatan. Kadar Ig E ini biasanya akan kembali normal 6
sampai 12 bulan setelah remisi. Beberapa tehnik pemeriksaan terhadap kadar
Ig E ini dapat dilakukan dengan metode ELISA (Enzyme-linked
immunosorbent assay), ataupun RAST (Radio allergosorbent test)11.
2. Bakteriologi
Pada kulit penderita DA yang aktif biasanya sering dijumpai bakteri patogen
seperti Staphylococcus aureus walaupun tanpa gejala klinis infeksi11.
3. Uji tusuk (Skin Prick Test)
Merupakan uji kulit yang sering dilakukan pada anak yang dicurigai
menderita DA. Tempat uji adalah pada volar lengan bawah dengan jarak 2 cm
dari pergelangaan tangan dan lipat siku.Setelah meletakkan alergen pada
permukaan kulit kemudian kulit ditusuk dengan kedalaman 1 mm dengan
menggunakan lanset.Sebagai kontrol positif digunakan histamin dan untuk
kontrol negatif digunakan larutan gliserin. Reaksi terhadap alergen dibaca 15
menit kemudian dan dikatakan positif bila dijumpai rasa gatal, eritema dan
urtikaria11.
4. Uji tempel ( AtopyPatch Test)
Uji ini banyak digunakan untuk mengidentifikasi reaksi alergi terhadap
aeroalergen pada DA. Uji dilakukan selama masa remisi penyakit. Sekitar 25
sampai 150 alergen pada plastik uji ditempelkan pada punggung bagian atas
penderita dengan menggunakan bahan perekat yang hipoalergenik. Sebagai
kontrol positif di gunakan histamin sedangkan sebagai kontrol negatif
digunakan larutan salin. Hasil pembacaan dilakukan pada 48 jam, 72 jam
dan 96 jam kemudian. reaksi dikatakan positif apabila dijumpai eritema,
papul, kulit terasa gatal, dan pada yang ekstrim dapat dijumpai vesikel,reaksi
seperti terbakar dan kulit melepuh11
5. Uji Eliminasi dan Provokasi
Uji ini biasanya dilakukan untuk mengidentifikasi reaksi alergi terhadap
makanan sebagai salah satu pencetus terjadinya DA.Eliminasi makanan
dilakukan selama tiga minggu sebelum dilakukan uji provokasi. Uji
provokasi makanan (food challenge) dimulai dengan makanan yang paling
tidak dicurigai akan menimbulkan reaksi alergi. Bila setelah 1 minggu
dijumpai gejala alergi maka makanan tersebut dicurigai sebagai penyebab
alergi dan apabila dalam tiga kali provokasi di waktu yang berbeda dijumpai
reaksi yang sama maka makanan tersebut dinyatakan definitif penyebab
alergi11.

G. DIAGNOSIS BANDING
1. Dermatitis seboroik
a. Definisi
adalah peradangan superfisial pada kulit yang bersifat kronik yang sering
terdapat pada daerah tubuh berambut, seperti pada wajah (kelopak mata,
alis mata, dahi, dagu) dan kepala (kulit kepala, telinga bagian luar, kulit
dibelakang telinga)12
b. Etiologi
Etiologi dermatitis seboroik belum diketahui pasti tapi umumnya
disebabkan oleh produksi kelenjar sebasea yang berlebih1 dan dikaitkan
dengan peningkatan jumlah jamur Malassezia spp12
c. Epidemiologi
Prevalensi tertinggi terjadi pada tiga bulan pertama dan membaik pada
usia 8-12 bulan.Pada dewasa terjadi di usia 20-50 tahun, lebih sering
terjadi pada laki-laki dibanding wanita12
d. Gejala singkat penyakit
Penderita dermatitis seboroik akan memperlihatkan gejala seperti eritema
pada kulit, berskuama halus hingga kasar, tampak berminyak dan
penderita mengeluh gatal. Dermatitis seboroik mempunyai predileksi
pada daerah berambut karena banyak kelenjar sebasea yaitu kulit kepala,
retroaurikula, alis mata, bulu mata, sulkus nasolabialis, telinga, leher,
dada, daerah lipatan, aksila, inguinal, glutea, dibawah buah dada.1,23,24
Distribusinya bilateral dan simetris berupa bercak ataupun plakat dengan
batas yang tidak jelas, eritema ringan dan sedang, skuama berminyak dan
kekuningan. Pada dermatitis seboroik ringan, didapatkan skuama pada
kulit kepala. Skuama berwarna putih dan merata tanpa eritema. Dermatitis
seboroik berat dapat mengenai alis mata, kening, pangkal hidung, sulkus
nasolabialis, belakang telinga, daerah presternal dan daerah di antara
skapula. Blefaritis ringan sering terjadi12
e. Penatalaksanaan
Untuk dewasa :
1) Dermatitis seboroik ringan di kulit kepala umumnya berespon
terhadap berbagai sampo antiseboroik, antiketombe. Dan dermatitis
seboroik berat di kulit kepala, dapat diberikan steroid topikal poten
(kelas 2) misalnya gel fluosinonid 0,05%.
2) Dermatitis seboroik di daerah wajah diberikan steroid topikal
potensi rendah dan dapat di selingi oleh anti jamur misalnya krim
ketokonazol 2%, gel ketokonazol 2%
3) Daerah lipatan Lipatan tubuh dan genitalia diterapi serupa dengan
steroid yaitu steroid topikal potensi rendah12

Untuk infantile :
1) Daerah skalp diberikan baby oil dan sisir yang lembut yang dapat
mengangkat skuama/krusta dan ntuk anak dapat menggunakan
sampo yang mengandung selenium sulfida, zink pyrithione, tar atau
ketokonazole 2- 3x/minggu dan menggunakan lotion kortikosteroid
2) Daerah wajah & area popok diberikan ketokonazol krim dan topikal
steroid potensi rendah12.

2. Dermatitis numularis
a. Definisi
Dermatitis merupakan suatu respons dari kulit, sifatnya inflamasi13
b. Etiologi
Disebabkan oleh berbagai faktor baik dari dalam maupun dari luar, bisa
salah satu atau keduanya13
c. Predileksi
Tempat predileksi terdapat pada bagian dorsal tangan, permukaan
ekstensor lengan, kaki, paha, bahu dan dada13
d. Gejala singkat penyakit
Terdapat lesi bentuk bulat seperti uang logam, batas relatif tegas, dan
bersifat simetris dapat pola soliter dengan diameter bervariasi dari ½ - 5
cm atau lebih. Lesi numular (bentuk koin) dengan eritem, bersisik,
krusta13

e. Penatalaksanaan
Sistemik :
1) Pemberian sedatif ringan
2) Antihistamin
3) Kortikosteroid diberikan jangka pendek dan hanya untuk kasus
yang berat13

Topikal :
1) Bila akut dan basa : Berikan kompres dengan boor water,
RBWC.
2) Pemberian koertikosteroid krim
3) Bila stadium kronis berikan ointment
4) Bila terdapat infeksi sekunder berikan antibiotic13.
3. Liken simplek kronik
a. Definisi
Liken simpleks kronik (LSK) merupakan peradangan kulit kronis, gatal,
dan sirkumskrip yang ditandai dengan penebalan kulit dan kulit tampak
lebih menonjol (likenifikasi) menyerupai kulit batang kayu akibat
garukan atau gososkan yang berulang karena rangsangan14
b. Etilogi
Garukan dan gesekan karena perasaan gatal yang hebat, bisa disebabkan
karena rasa panas, keringat, iritasi, emosi, dan psikologis, ataupun iritasi
pakaian14
c. Epidemiologi
Umumnya terdapat pada usia dewasa dengan puncak insidens pada usia
30 tahun hingga 50 tahun dan relatif jarang terjadi pada anak-anak.
Wanita lebih banyak dibandingkan dengan pria14
d. Gejala singkat penyakit
Lesi yang ditemukan pada kulit berupa likenifikasi, bersisik, erosi,
eskoroasi. Biasa hanya ditemukan 1 plak, tapi dapat juga lebih dan
mengenai sisi lainya14

Penatalaksanaan
1) kortikosteroid topical poten (lebih baik bila dilakukan secara oklusif).
Oklusi yang umumnya digunakan, Unna boot (dressing pasta zink
oksida), kombinasi tar 5% pasta zink oksida, dan glukokortikoid
kelas II serta oklusi politen. Kortikosteroid topical potensi tinggi
seperti krim/salep klobetasol proprionate atau betametason
diproplonat harus segera diaplikasikan, namun harus diwaspadai
adanya atrofi akibat steroid dan diganti dengan menggunakan
kortikosterois potensi sedang-rendah ketika lesi mulai menyembuh14
2) Untuk mengurangi rasa gatal dapat diberikan antipruritus berupa
antihistamin seperti hidroksizin oral 25-50 gram atau antidepresan
trisiklik seperti doksepin ataus serotonin reuptake inhibitor. Pasien
juga dapat diberikan antipruritus topical, seperti krim doksepin 5%,
pimekrolimus, dan pramoksin14

E. TATALAKSANA
1. Efektivitas obat sistemik yang aman, bertujuan untuk mengurangi rasa
gatal, reaksi alergik dan inflamasi. Sebagai terapi sistemik dapat diberikan
antihistamin (generasi sedatif atau non-sedatif sesuai kebutuhan) dan
kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid sistemik bukan merupakan hal
yang rutin, digunakan terutama pada kasus yang parah atau rekalsitrans,
dengan memperhatikan efek samping jangka panjang4.
2. Jenis terapi topical, berupa :
 Kortikosteroid (sebagai anti inflamasi, anti pruritus dan imunosupresif,
dipilih yang aman untuk dipakai dalam jangka panjang). Bahan
vehikulum disesuaikan dengan fase dan kondisi kulit.
 Pelembab (digunakan untuk mengatasi gangguan sawar kulit)
 Obat penghambat kalsineurin (pimekrolimus atau takrolimus)4.
3. Hindari semua factor luar yang mungkin menimbulkan manifestasi klinis15
4. Menjauhi alergen pencetus15
5. Hindari pemakain bahan yang merangsang seperti sabun keras dan bahan
pakaian dari wol15.
F. EDUKASI
Sangat penting dilakukan.
1. Penjelasan kepada pasien, keluarga, dan/atau caregivers mengenai
penyakit, terapi, serta prognosis. Memberi edukasi cara merawat kulit,
menghindari penggunaan obat-obat tanpa sepengetahuan dokter10.
2. Penjelasan mencakup semua masalah yang berkaitan dengan DA; gejala,
penyebab, faktor pencetus, prognosis dan tatalaksana10.
3. Perawatan kulit pasien DA: mandi menggunakan air hangat kuku, tidak
lebih dari 10 menit, menggunakan sabun netral, pH rendah, hipoalergenik,
berpelembab, segera setelah mandi 3 menit mengoleskan pelembab 2-3
kali sehari atau bila masih teraba kering. Pelembab efektif dan aman
digunakan untuk terapi DA pada anak dan dewasa dengan gejala ringan
sedang10.
4. Jenis pelembab: mengandung humektan, emolien dan oklusif atau generasi
baru yang mengandung antiinflamasi dan antipruritus (glycerrhectinic
acid, telmestein dan vitis vinifera) atau yang mengandung bahan fisiologis
(lipid, seramid, Natural Moisturizing Factor)10.
5. Menghindari faktor pencetus: berdasarkan riwayat (bahan iritan, bahan
alergen, suhu ekstrim, makanan, stres), manifestasi klinis dan hasil tes
alergi10.
6. Terkait dengan terapi DA, dosis, cara pakai, lama terapi, cara menaikkan
dan menurunkan potensi, serta penghentian terapi10.

G. PROGNOSIS
Sebagian besar pasien DA akan membaik dengan tatalaksana yang tepat.
Meskipun demikian, pasien dan orang tua pasien harus memahami bahwa
penyakit ini tidak dapat sembuh sama sekali16.
DAFTAR PUSTAKA

1. Teng VC. Pengaruh Exposome Terhadap Dermatitis Atopik. Jurnal Medical


Hutama. 2021 Jan 06; 2(2): 588p.
2. Simon D, Wollenberg A, Renz H, Simon HU. Atopic Dermatitis: Collegium
Internationale Allergologicum (CIA) Upadate 2019. International Archives of
Allergy and Immunology. 2019 Feb 08; 178: p207-18.
3. Budiman C, Thaha HA, Zulkarnain HM, Toruan TL. Hubungan Kadar -33
Serum Dengan Derajat Keparahan Klinis Dermatitis Atopik.
Bagian/Departemen Dermatologi Dan Venerologi FK Universitas Sriwijaya.
2018; 45(3): p116-20
4. Staf Departemen Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin FKUI. Ilmu Penyakit
Kulit Dan Kelamin. Menaldi SLSW. 7th ed. Jakarta. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2019. 167-9p.
5. Sari D, Rita N. Analiysis Of Risk Factors Attenistic Dermatitis Attendance
On The Center In Puskesmas Pauh Padang. Jurnal Endurance. 2017 Oct; 2(3):
324p
6. Irawan Y, Rihatmadja R, et al. Atomic Dermatitis In The Elderly. J Gen Pro
DVI. 2016; 1(2): 55p
7. Herwanto N, Marsudi H. Studi Retrospektif: Penaatalaksanaan Dermatitis
Atopik. 2016 Apr; 28(1): 45
8. Lestari W. Manifestasi Klinis dan Tatalaksana Dermatitis Atopik. Vol. 1, J.
Ked. N. Med. 2018. p. 89.
9. Waspodo NN. Dermatitis Atopik pada Anak. UMI Med J. 2019;3(1):59–67.
10. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Dalam:
PERDOSKI. Pedoman Pelayanan Medis Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
Tahun 2017. Jakarta: PP Perdoski. 2017.
11. Evalina R. Dermatitis Atopi. Departemen ilmu Kesehatan anak Fakultas
Kedokteran Univ.sumatera utara, Medan. 2017;9–10.
12. Roswinda R. Gambaran karakteristik penderita dermatitis seboroik di RSUD
dr.pirngadi Medan Tahun. 2019;1–12.
13. Harlim A. Buku ajar ilmu kesehatan kulit dan kelamin (Alergi Kulit). Jakarta;
2016. 83–84 .
14. Diagnosis dan penatalaksanaan neurodermatitis sirumskripta. Indonesia
Med.student J. 2015;3(1):71–5.
15. R.S. Siregar, Sp.KK(K). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Dermatitis
Atopik. Jakarta : EGC. Edisi 2; 2004.
16. Movita Theresia. Tatalaksana dermatitis atopik. Cermin Dunia Kedokteran,
2014, 41.11: 828-831.

Anda mungkin juga menyukai