Anda di halaman 1dari 20

REFERAT PATOGENESIS DAN PEMERIKSAAN MORBUS HANSEN

KOAS FK UNTAR RSUD CIBINONG

BAB I
PENDAHULUAN
Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang secara primer menyerang
saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas,
sistem retikuloendotel, mata, otot, tulang, dan testis.
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India, kustha,
yang sudah dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata lepra juga disebut dalam
kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup
beberapa penyakit kulit lainnya.
Kusta terdapat di mana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah
tropis dan subtropis, serta masyarakat yang social ekonominya rendah.
Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang
berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 baru tercatat
249.007. Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat akhir tahun 2008 adalah
22.359 orang dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 16.668 orang.
Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti karena dapat terjadi
ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya
saja, tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya.

Sandy Laveda 406151065

REFERAT PATOGENESIS DAN PEMERIKSAAN MORBUS HANSEN


KOAS FK UNTAR RSUD CIBINONG

BAB II
PEMBAHASAN
I.

DEFINISI
Kusta atau Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan

penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. 1
II.

EPIDEMIOLOGI
Masalah epidemiologi masih belim terpecahkan, cara penularan belum diketahui

pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang
lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, beberapa tahun, rata-rata 3-5
tahun. sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. 1
Masa tunasnya sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya
kelompok umur terbanyak yang menderita penyakit ini adalah usia 25-35 tahun.
Frekuensi pada jenis kelamin pria atau pun wanita adalah sama. 2
III.

ETIOLOGI
Kuman

penyebab adalah

Mycobacterium

G.A.HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia.

leprae

yang

ditemukan

oleh

Kuman ini bersifat obligat intrasel,

aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro , berbentuk basil gram positif dengan ukuran
3-8m x 0,5m, bersifat tahan asam dan alkohol. Kuman ini mempunyai afinitas
terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat di sel Schwann menstimulasi
cell-mediated immune response, yang menyebabkan reaksi inflamasi kronik. 3
IV.

PATOFISIOLOGI

M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita
yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat,
bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang memicu timbulnya

Sandy Laveda 406151065

REFERAT PATOGENESIS DAN PEMERIKSAAN MORBUS HANSEN


KOAS FK UNTAR RSUD CIBINONG
reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif.
Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut penyakit imunologik.
Kusta bukanlah penyakit yang sangat menular. Sarana utama penularan adalah
dengan penyebaran aerosol dari sekret hidung yang terinfeksi pada mukosa hidung dan
mulut terbuka. Kusta umumnya tidak menyebar melalui kontak langsung melalui kulit
utuh, meskipun kontak dekat adalah yang paling rentan.
Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan sampai 40 tahun atau lebih. Masa inkubasi
rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan 10 tahun untuk kusta lepromatosa.
Daerah yang paling sering terkena kusta adalah saraf perifer dangkal, kulit,
selaput lendir saluran pernapasan bagian atas, ruang anterior dari mata, dan testis.
Daerah-daerah tersebut cenderung bagian dingin dari tubuh. Kerusakan jaringan
tergantung pada sejauh mana imunitas diperantarai sel diungkapkan, jenis dan luasnya
penyebaran bacillary dan perkalian, penampilan yang merusak jaringan komplikasi
imunologi dan pengembangan kerusakan saraf dan juga gejala sisa.
M. leprae adalah bakteri intraseluler obligat, asam-cepat, gram positif basil
dengan afinitas untuk makrofag dan sel Schwann. Untuk sel Schwann pada khususnya,
mengikat mikobakteri ke domain G dari rantai alpha laminin-2 (hanya ditemukan di
saraf perifer) dalam lamina basal. Replikasi lambat mereka dalam sel Schwann akhirnya
merangsang respon kekebalan yang dimediasi sel, yang menciptakan reaksi peradangan
kronis. Akibatnya, pembengkakan terjadi di perineurium, menyebabkan iskemia,
fibrosis, dan kematian aksonal.
Urutan genom M. leprae hanya selesai dalam beberapa tahun terakhir. Satu
penemuan penting adalah bahwa meskipun itu tergantung pada host untuk metabolisme,
mikroorganisme mempertahankan gen untuk pembentukan dinding sel mikobakteri.
Komponen dinding sel merangsang antibodi immunoglobulin M dan host diperantarai
sel respon imun, sementara juga moderator kemampuan bakterisidal makrofag.
Kekuatan dari sistem kekebalan inang mempengaruhi bentuk klinis dari penyakit
ini. Kuat diperantarai sel imunitas (interferon-gamma, interleukin [IL] -2) dan hasil
respon humoral yang lemah dalam bentuk ringan dari penyakit, terdefinisi dengan baik
saraf yang terlibat dan beban bakteri yang lebih rendah. Sebuah respon humoral yang
kuat (IL-4, IL-10), tetapi hasil kekebalan yang relatif tidak ada sel-dimediasi pada kusta
lepromatosa, dengan lesi luas, kulit yang luas dan keterlibatan saraf, dan beban bakteri
tinggi. Oleh karena itu, spektrum penyakit yang ada seperti yang diperantarai sel
Sandy Laveda 406151065

REFERAT PATOGENESIS DAN PEMERIKSAAN MORBUS HANSEN


KOAS FK UNTAR RSUD CIBINONG
imunitas mendominasi dalam bentuk ringan kusta dan menurun dengan meningkatnya
keparahan klinis. Sementara itu, kekebalan humoral relatif tidak ada pada penyakit
ringan dan meningkat dengan tingkat keparahan penyakit.
Toll-like receptors (TLRs) juga mungkin memainkan peran dalam patogenesis
kusta. M. leprae mengaktifkan TLR2 dan TLR1, yang ditemukan pada permukaan sel
Schwann, terutama dengan kusta tuberkuloid. Meskipun ini pertahanan kekebalan yang
dimediasi sel yang paling aktif dalam bentuk ringan dari kusta, juga mungkin
bertanggung jawab untuk aktivasi gen apoptosis dan akibatnya timbul kerusakan saraf
yang cepat ditemukan pada orang dengan tingkat ringan. Alpha-2 reseptor laminin
ditemukan dalam lamina basal sel Schwann juga merupakan target masuk untuk M.
leprae ke dalam sel, sedangkan aktivasi dari jalur erbB2 reseptor tirosin kinase signaling
telah diidentifikasi sebagai mediator dari demielinasi pada kusta.
Aktivasi makrofag dan sel dendritik, baik antigen-penyajian sel, terlibat dalam
respon kekebalan host terhadap M. leprae. IL-1beta diproduksi oleh antigen-penyajian
sel yang terinfeksi oleh mikobakteri ditunjukkan untuk merusak pematangan dan fungsi
sel dendritik. Karena basil telah ditemukan dalam endotelium kulit, jaringan saraf, dan
mukosa hidung, sel-sel endotel juga berperan pada patogenesis kusta. Jalur lain
dimanfaatkan oleh M. leprae adalah jalur ubiquitin-proteasome, dengan menyebabkan
apoptosis sel imunitas tubuh dan tumor necrosis factor (TNF) -alpha/IL-10 sekresi.
Bila basil M. leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis
sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem
imunitas seluler (SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah
tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa. 1

Sandy Laveda 406151065

REFERAT PATOGENESIS DAN PEMERIKSAAN MORBUS HANSEN


KOAS FK UNTAR RSUD CIBINONG

Patofisiologi Lepra, sumber: http://mmbr.asm.org/content/74/4/589.full

V.

KLASIFIKASI
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit

lepra yang terdiri berbagai tipe, yaitu :


TT
: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti
: tuberkuloid indefinite
BT
: borderline tuberculoid
BB
: mid borderline
BL
: borderline lepromatous
Li
: lepromatosa indefinite
LL
: lepromatosa polar, bentuk yang stabil
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi
tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni
lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau
campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe
campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak
tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran
ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL.
Menurut WHO (1981), lepra dibagi 2 menjadi multibasilar (MB) dan
pausibasilar (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks bakteri
(IB) lebih dari 2+, yaitu tipe LL, BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Joping.
Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB kurang dari 2+, yaitu tipe TT, BT, dan
I. 1

Sandy Laveda 406151065

REFERAT PATOGENESIS DAN PEMERIKSAAN MORBUS HANSEN


KOAS FK UNTAR RSUD CIBINONG
Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang
dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kulit,
yaitu tipe TT, BT, dan I, sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB,
BL, LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus diobati dengan
rejimen MDT-MB. 1
Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995) 1
1. Lesi kulit
(makula datar, papul
yang meninggi,
nodus)
2. Kerusakan saraf
(menyebabkan
hilangnya
sensasi/kelemahan
otot yang dipersarafi
oleh saraf yang
terkena)

PB
1-5 lesi
Hipopigmentasi/eritema
Distribusi tidak simetris
Hilangnya sensasi jelas
Hanya satu cabang saraf

MB
> 5 lesi
Distribusi lebih
simetris
Hilangnya sensasi
kurang jelas
Banyak cabang saraf

Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MultiBasilar (MB) 1


Lesi

Lepromatosa (LL)

Bentuk

Jumlah

Distribusi
Permukaan

Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
Tidak terhitung,
praktis tidak ada kulit
sehat
Simetris
Halus berkilat

Batas
Anestesia
BTA
Lesi kulit
Sekret hidung
Tes Lepromin

Borderline
Lepromatosa (BL)
Makula
Plakat
Papul
Sukar dihitung,
masih ada kulit
sehat
Hampir simetris
Halus berkilat

Mid Borderline
(BB)
Plakat
Dome-shape (kubah
)
Punched-out
Dapat dihitung, kulit
sehat jelas ada

Tidak jelas
Biasanya tidak jelas

Agak jelas
Tak jelas

Asimetris
Agak kasar, agak
berkilat
Agak jelas
Lebih jelas

Banyak (ada globus)


Banyak (ada globus)
Negatif

Banyak
Biasanya negatif
Negatif

Agak banyak
Negatif
Negatif

Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta PausiBasilar (PB) 1

Sandy Laveda 406151065

REFERAT PATOGENESIS DAN PEMERIKSAAN MORBUS HANSEN


KOAS FK UNTAR RSUD CIBINONG
Lesi

Tuberkuloid
(TT)
Makula ; makula
dibatasi infiltrat

Borderline
Tuberkuloid (BT)
Makula dibatasi
infiltrat saja; infiltrat
saja
Beberapa atau satu
dengan lesi satelit
Asimetris

Indeterminate (I)

Tipe

Jumlah

Distribusi

Permukaan

Batas

Jelas

Jelas

Anestesia

Jelas

Jelas

BTA
Lesi kulit

Hampir selalu
negatif
Positif kuat (3+)

Negatif atau hanya 1+

Biasanya negatif

Positif lemah

Dapat positif lemah atau


negatif

Tes lepromin

VI.
VI.1

Satu atau dapat


beberapa
Terlokalisasi &
asimetris
Kering, skuama

Kering, skuama

Hanya Infiltrat

Satu atau beberapa


Bervariasi
Dapat halus agak
berkilat
Dapat jelas atau dapat
tidak jelas
Tak ada sampai tidak
jelas

DASAR DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Masa inkubasi 2 - 40 tahun dengan rata - rata 5 - 7 tahun. Onset terjadinya

perlahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem saraf perifer dengan
parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat gejala klinis.
Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa macula dan bula yang
bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot,
nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan kaki.
Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi ke
kutan terjadi. Sembilan puluh persen pasien biasanya mengalami keluhan pada pertama
kalinya adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan
panas dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada
tangan dan kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada ekstremitas
yang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah daerah yang
dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuping hidung, daun telinga, dan lutut.
Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa:

Sandy Laveda 406151065

REFERAT PATOGENESIS DAN PEMERIKSAAN MORBUS HANSEN


KOAS FK UNTAR RSUD CIBINONG
o Pembesaran saraf tepi yang asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia
posterior, radial kutaneus,
o Kerusakan sensorik pada lesi kulit
o Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi berupa neuropati,
kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur
o Kerusakan sensorik dengan pola stocking-glove
o Acral distal symmethric anesthesia
(hilangnya sensasi panas dan dingin, serta nyeri dan raba)

VI.2

Pemeriksaan Fisik 4
1. Tuberculoid Leprosy (TT, BT)
Pada TT, imunitas masih baik, dapat sembuh spontan dan masih mampu

melokalisir sehingga didapatkan gambaran batas yang tegas. Mengenai kulit atau saraf.
Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plak, dan pada bagian
tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central clearing. Permukaan lesi dapat
bersisik, dengan tepi yang meninggi. Dapat disertai penebalan saraf tepi yang biasanya
teraba. Kuman BTA negatif merupakan tanda terdapatnya respon imun yang adekuat
terhadap kuman kusta. Pada BT, tidak dapat sembuh spontan, lesi menyerupai tipe TT
namun dapat disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi
gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas TT.

Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular

Sandy Laveda 406151065

REFERAT PATOGENESIS DAN PEMERIKSAAN MORBUS HANSEN


KOAS FK UNTAR RSUD CIBINONG

Lesi Kulit pada Tuberculoid Leprosy

Lesi Borderline Tuberculoid Leprosy

2. Borderline Leprosy (BL)


Pada tipe BB borderline, merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga
bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid dan lepromatous. Terdiri dari
makula infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang tegas, jumlah banyak melebihi tipe BT
dan cenderung simetris. Lesi bervariasi, dapat membentuk punch out yang khas. Pada
tipe ini terjadi anestesia dan berkurangnya keringat.

Lesi Kulit pada Borderline BB Leprosy


3. Lepromatous Leprosy (LL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dengan
cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih bervariasi bentuknya. Distribusi lesi
hampir

simetris.

Lesi

infiltrat,

dan

plak

seperti

punched

out.

Tanda-

Sandy Laveda 406151065

REFERAT PATOGENESIS DAN PEMERIKSAAN MORBUS HANSEN


KOAS FK UNTAR RSUD CIBINONG
tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi,

hipopigmentasi,

berkurangnya

keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul.


Penebalan saraf tepi teraba pada tempat predileksi. Pada Tipe LL jumlah lesi
sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm, simetris, permukaan halus, lebih
eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan
anestesi dan anhidrosis. Ditemukan juga lesi dematofibroma-like multipel, batas tegas,
nodul,

eritem.

Distribusi lesi khas pada wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping

telinga. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif membentuk facies
leonine. Kerusakan saraf menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia.

Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy


Deformitas pada kusta
Deformitas dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas
primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap
M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa
traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat perubahan saraf, umumnya
deformitas terjadi diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.
Gejala-gejala kerusakan pada saraf:
1. N. Ulnaris
Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
Clawing kelingking dan jari manis
Sandy Laveda 406151065

10

REFERAT PATOGENESIS DAN PEMERIKSAAN MORBUS HANSEN


KOAS FK UNTAR RSUD CIBINONG
Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial
2. N. Medianus
Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
Tidak mampu aduksi ibu jari
Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
Ibu jari kontraktur
Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
3. N. Radialis
Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
Tangan gantung (wrist drop)
Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
4. N. Poplitea Lateralis
Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
Kaki gantung (foot drop)
Kelemahan otot peroneus
5. N. Tibialis Posterior
Anestesia telapak kaki
Claw toes
Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
6. N. fasialis
Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
7. N. Trigeminus

Anestesia kulit wajah, kornea,


dan konjungtiva mata
Sandy Laveda 406151065

11

REFERAT PATOGENESIS DAN PEMERIKSAAN MORBUS HANSEN


KOAS FK UNTAR RSUD CIBINONG
Kerusakan mata pada kusta juga dapat terjadi secara primer dan sekunder.
Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak
jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat
membuat

paralisis

N.

orbicularis

palpebrarum

sebagian

atau

seluruhnya,

mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian-bagian


mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan
kebutaan. 1
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat,
kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada
tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal
dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus semineferus testis. 1

Kusta Histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang ditandai
dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik
positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relapse resistent. 1
Pemeriksaan Saraf Tepi 4
a. N. Auricularis magnus
Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka saraf yang
terlibat akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga dapat terlihat
pembesaran saraf. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf
dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka akan teraba jaringan seperti kabel atau
kawat. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.
b. N. Ulnaris
Tangan yang diperiksa rileks, sedikit fleksi dan diletakkan di atas satu
tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi ulnaris dan merasakan
adanya penebalan atau tidak Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk,
serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
c. N. Peroneus lateralis
Sandy Laveda 406151065

12

REFERAT PATOGENESIS DAN PEMERIKSAAN MORBUS HANSEN


KOAS FK UNTAR RSUD CIBINONG
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral
dari capitulum fibulae, dan merasakan ada penebalana atau tidak. Bandingkan
kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
d. N. Tibialis posterior
Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua tangan,
meraba bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah tumit. Bandingkan
kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
Pemeriksaan Fungsi Saraf 4
a. Tes Sensorik
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke kulit pasien.
Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang sehat, kemudian pasien
disuruh menunjuk kulit yang disinggung dengan mata terbuka. Jika hal ini
telah dimengerti, tes kembali dilakukan dengan mata pasien tertutup.
- Rasa tajam
Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien. Setelah disentuhkan
bagian tajamnya, lalu disentuhkan bagian tumpulnya, kemudia pasien diminta
menentukan tajam atau tumpul. Tes dilakukan seperti pemeriksaan rasa raba.
- Suhu
Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas dan air dingin.
Tabung reaksi disentuhkan ke kulit yang lesi dan sehat secara acak, dan pasien
diminta menentukan panas atau dingin.
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta,
pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis, yaitu:
1. Tes keringat dengan tinta (tes Gunawan)
2. Tes Pilokarpin
3. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis,
dan n. peroneus4
VI.3

Pemeriksaan Penunjang
1.

Pemeriksaaan bakterioskopik

Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat.


Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai
dengan pewarnaan ZIEHL NEELSON. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita,
bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M. leprae. Pertama -tama harus
ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu
Sandy Laveda 406151065

13

REFERAT PATOGENESIS DAN PEMERIKSAAN MORBUS HANSEN


KOAS FK UNTAR RSUD CIBINONG
menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan
untuk rutin sebaiknya minimal 4 - 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah
dan 2 - 4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di
tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae. 1
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila
tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1+

Bila 1 10 BTA dalam 100 LP

2+

Bila 1 10 BTA dalam 10 LP

3+

Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP

4+

Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP

5+

Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP

6+

Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah


solid dan non solid.
IM = Jumlah solid x 100 % / Jumlah solid + non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+
tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam
1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.
2.

Pemeriksaan histopatologi

Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS tinggi,
makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman
disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau
datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah
bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat
berubah menjadi sel datia Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita
dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang
sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai
sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. 1
Sandy Laveda 406151065

14

REFERAT PATOGENESIS DAN PEMERIKSAAN MORBUS HANSEN


KOAS FK UNTAR RSUD CIBINONG
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa
terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah
langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel
virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur unsur
tersebut.
3. Pemeriksaan serologik
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.
leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu
antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD.
Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan
(LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang
meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Pemeriksaan serologik
adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme
Linked Immuno-Sorbent Assay) dan ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick). 1
4. Tes lepromin
Tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk
diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.
leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan
intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam (reaksi Fernandez) atau 3 4 minggu
(reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang
menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. leprae, yaitu respon imun tipe
lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkolosis. 3
Reaksi Kusta
Merupakan interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik.

Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan

(cellular response) atau reaksi antigen antibodi (humoral response). Reaksi ini dapat
terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan.
Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu
pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan
pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral. 4
Sandy Laveda 406151065

15

REFERAT PATOGENESIS DAN PEMERIKSAAN MORBUS HANSEN


KOAS FK UNTAR RSUD CIBINONG
a. Reaksi tipe 1
Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity reaction
yang disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal upgrading) seperti
halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal dari kuman yang telah
mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai
perubahan sistem imun selular yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe I terjadi
akibat perubahan keseimbangan antara imunitas dan basil. Dengan demikian, sebagai
hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/reversal. Pada kenyataannya reaksi tipe I
ini diartikan dengan reaksi reversal oleh karena paling sering dijumpai terutama pada
kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan, sedangkan down grading reaction lebih
jarang dijumpai oleh karena berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasuskasus yang tidak mendapat pengobatan.
Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta
yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk yang
lain sehingga disebut reaksi borderline.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah
ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya
lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih eritematosa, lesi
makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah
lesi luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup 4.
b. Reaksi tipe II
Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral, yaitu reaksi
hipersensitivitas tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang
melibatkan komplemen. Terjadi lebih banyak pada tipe lepromatous juga tampak pada
BL. Reaksi tipe II sering disebut sebagai Eritema Nodosum Leprosum (ENL) dengan
gambaran lesi lebih eritematosa, mengkilap, tampak nodul atau plakat, ukuran
bermacam-macam, pada umunnya kecil, terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di
daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan paha, serta dapat pula muncul di hampir
seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang berambut, aksila, lipatan paha, dan
daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri, pustulasi dan ulserasi, juga disertai
gejala sistematik seperti demam dan malaise. Perlu juga memperhatikan keterlibatan
organ lain seperti saraf, mata, ginjal, sendi, testis, dan limfe.4
Sandy Laveda 406151065

16

REFERAT PATOGENESIS DAN PEMERIKSAAN MORBUS HANSEN


KOAS FK UNTAR RSUD CIBINONG
Tabel perbedaan reaksi kusta tipe 1 dan tipe 2 4
No. Gejala/tanda
1
Kondisi umum
2

Peradangan

Tipe I (reversal)
Baik atau demam ringan

Tipe II (ENL)
Buruk, disertai malaise

dan febris
di Bercak kulit lama menjadi Timbul nodul kemerahan,

kulit

lebih meradang (merah), lunak, dan nyeri tekan.


dapat timbul bercak baru

Biasanya pada lengan dan


tungkai.

Waktu terjadi

Nodul

dapat

pecah (ulserasi)
Setelah pengobatan yang

Awal pengobatan MDT

lama, umumnya lebih dari


4
5

Tipe kusta
Saraf

PB atau MB
Sering terjadi
Umumnya berupa
tekan

Keterkaitan

organ lain
Faktor pencetus

saraf

6 bulan
MB
Dapat terjadi
nyeri

dan

atau

gangguan fungsi saraf


Hampr tidak ada

Melahirkan
Obat-obat

Terjadi pada mata, KGB,


sendi, ginjal, testis, dll
Emosi
yang
Kelelahan
dan

meningkatkan
kekebalan tubuh

stress fisik lainnya


kehamilan

Tabel Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2 4
No
1.

Gejala
/tanda
Kulit

Tipe I

Tipe II

Ringan
Bercak:

Berat
Bercak:

Ringan
Nodul:

Berat
Nodul: merah,

merah,

merah, tebal,

merah,

panas, nyeri yang

tebal,

panas, nyeri

panas, nyeri

bertambah parah

panas,

yang

nyeri

bertambah

sampai pecah

parah sampai
2
3

Saraf tepi

Nyeri pada

pecah
Nyeri pada

Keadaan

perbaan (-)
Demam (-)

perabaan (+)
Demam (+)

Nyeri pada

Nyeri pada

perabaan (-)
Demam (+)

perabaan (+)
Demam (+)

Sandy Laveda 406151065

17

REFERAT PATOGENESIS DAN PEMERIKSAAN MORBUS HANSEN


KOAS FK UNTAR RSUD CIBINONG

umum
Keterlibatan

+
mata :

organ lain

iridocyclitis
testis :
epididimo
-orchitis
ginjal : nefritis
kelenjar limpa :
limfadenitis
gangguan pada
tulang, hidung,
dan
tenggorokan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan
sebagai reaksi berat
Fenomena Lucio
Merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe
lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus,
bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di
ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih
eritematous disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta
ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh
darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun
tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi
tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah. 1

Sandy Laveda 406151065

18

REFERAT PATOGENESIS DAN PEMERIKSAAN MORBUS HANSEN


KOAS FK UNTAR RSUD CIBINONG

BAB III
KESIMPULAN
Kusta merupakan penyakit yang disebablan oleh kuman Mycobacterium leprae.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius
bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Klasifikasi bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai dalam bidang penelitian
adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta
menjadi 7 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis, dan
imunologis, yaitu tipe tuberkuloid (TT), tuberkuloid indefinite (Ti), tipe borderline
tuberkuloid (BT), tipe mid borderline (BB), tipe borderline lepromatosa (BL), tipe
lepromatosa indefinite (Ti), dan tipe lepromatosa (LL).
Penegakan diagnosis dari penyakit ini adalah gejala klinis, pemeriksaan saraf
perifer, pemeriksaan bakteriologis, pemeriksaan histopatologis, pemeriksaan serologis.
Pemeriksaan saraf tepi diperiksa dari mulai fungsi sensorik, motorik, dan otonom
untuk mengetahui apakahh fungsi tersebut masih baik atau tidak. Pemeriksaan gram
(Ziehl-Neelsens) dan pemeriksaan histopatologis digunakan untuk mengidentifikasi
adanya bakteri untuk membantu menegakkan diagnosis, klasifikasi, serta membantu
menilai hasil pengobatan. Sedangkan pemeriksana serologi digunakan untuk
mendiagnosis penyakit kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik
tidak jelas.1

Sandy Laveda 406151065

19

REFERAT PATOGENESIS DAN PEMERIKSAAN MORBUS HANSEN


KOAS FK UNTAR RSUD CIBINONG

DAFTAR PUSTAKA
1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe, Sri Linuwih Menaldi. Kusta.
Dalam : Djuanda, Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
Kelima Cetakan Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010; 73-80
2. Siregar, Saripati Penyakit Kulit, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2003 : 124-126
3. Lewis. S.Leprosy. Update Feb 4, 2010. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall
4. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe, Sri Linuwih Menaldi. Kusta.
Dalam : Djuanda, Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
Keenam Cetakan Ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2013; 73-83

Sandy Laveda 406151065

20

Anda mungkin juga menyukai