BAB I
PENDAHULUAN
Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang secara primer menyerang
saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas,
sistem retikuloendotel, mata, otot, tulang, dan testis.
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India, kustha,
yang sudah dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata lepra juga disebut dalam
kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup
beberapa penyakit kulit lainnya.
Kusta terdapat di mana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah
tropis dan subtropis, serta masyarakat yang social ekonominya rendah.
Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang
berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 baru tercatat
249.007. Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat akhir tahun 2008 adalah
22.359 orang dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 16.668 orang.
Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti karena dapat terjadi
ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya
saja, tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya.
BAB II
PEMBAHASAN
I.
DEFINISI
Kusta atau Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan
penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. 1
II.
EPIDEMIOLOGI
Masalah epidemiologi masih belim terpecahkan, cara penularan belum diketahui
pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang
lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, beberapa tahun, rata-rata 3-5
tahun. sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. 1
Masa tunasnya sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya
kelompok umur terbanyak yang menderita penyakit ini adalah usia 25-35 tahun.
Frekuensi pada jenis kelamin pria atau pun wanita adalah sama. 2
III.
ETIOLOGI
Kuman
penyebab adalah
Mycobacterium
leprae
yang
ditemukan
oleh
aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro , berbentuk basil gram positif dengan ukuran
3-8m x 0,5m, bersifat tahan asam dan alkohol. Kuman ini mempunyai afinitas
terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat di sel Schwann menstimulasi
cell-mediated immune response, yang menyebabkan reaksi inflamasi kronik. 3
IV.
PATOFISIOLOGI
M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita
yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat,
bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat
penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang memicu timbulnya
V.
KLASIFIKASI
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit
PB
1-5 lesi
Hipopigmentasi/eritema
Distribusi tidak simetris
Hilangnya sensasi jelas
Hanya satu cabang saraf
MB
> 5 lesi
Distribusi lebih
simetris
Hilangnya sensasi
kurang jelas
Banyak cabang saraf
Lepromatosa (LL)
Bentuk
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
Tidak terhitung,
praktis tidak ada kulit
sehat
Simetris
Halus berkilat
Batas
Anestesia
BTA
Lesi kulit
Sekret hidung
Tes Lepromin
Borderline
Lepromatosa (BL)
Makula
Plakat
Papul
Sukar dihitung,
masih ada kulit
sehat
Hampir simetris
Halus berkilat
Mid Borderline
(BB)
Plakat
Dome-shape (kubah
)
Punched-out
Dapat dihitung, kulit
sehat jelas ada
Tidak jelas
Biasanya tidak jelas
Agak jelas
Tak jelas
Asimetris
Agak kasar, agak
berkilat
Agak jelas
Lebih jelas
Banyak
Biasanya negatif
Negatif
Agak banyak
Negatif
Negatif
Tuberkuloid
(TT)
Makula ; makula
dibatasi infiltrat
Borderline
Tuberkuloid (BT)
Makula dibatasi
infiltrat saja; infiltrat
saja
Beberapa atau satu
dengan lesi satelit
Asimetris
Indeterminate (I)
Tipe
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Batas
Jelas
Jelas
Anestesia
Jelas
Jelas
BTA
Lesi kulit
Hampir selalu
negatif
Positif kuat (3+)
Biasanya negatif
Positif lemah
Tes lepromin
VI.
VI.1
Kering, skuama
Hanya Infiltrat
DASAR DIAGNOSIS
Gejala Klinis
Masa inkubasi 2 - 40 tahun dengan rata - rata 5 - 7 tahun. Onset terjadinya
perlahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem saraf perifer dengan
parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat gejala klinis.
Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa macula dan bula yang
bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot,
nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan kaki.
Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi ke
kutan terjadi. Sembilan puluh persen pasien biasanya mengalami keluhan pada pertama
kalinya adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan
panas dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada
tangan dan kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada ekstremitas
yang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah daerah yang
dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuping hidung, daun telinga, dan lutut.
Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa:
VI.2
Pemeriksaan Fisik 4
1. Tuberculoid Leprosy (TT, BT)
Pada TT, imunitas masih baik, dapat sembuh spontan dan masih mampu
melokalisir sehingga didapatkan gambaran batas yang tegas. Mengenai kulit atau saraf.
Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plak, dan pada bagian
tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central clearing. Permukaan lesi dapat
bersisik, dengan tepi yang meninggi. Dapat disertai penebalan saraf tepi yang biasanya
teraba. Kuman BTA negatif merupakan tanda terdapatnya respon imun yang adekuat
terhadap kuman kusta. Pada BT, tidak dapat sembuh spontan, lesi menyerupai tipe TT
namun dapat disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi
gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas TT.
simetris.
Lesi
infiltrat,
dan
plak
seperti
punched
out.
Tanda-
hipopigmentasi,
berkurangnya
eritem.
Distribusi lesi khas pada wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping
telinga. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif membentuk facies
leonine. Kerusakan saraf menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia.
10
11
paralisis
N.
orbicularis
palpebrarum
sebagian
atau
seluruhnya,
Kusta Histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang ditandai
dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik
positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relapse resistent. 1
Pemeriksaan Saraf Tepi 4
a. N. Auricularis magnus
Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka saraf yang
terlibat akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga dapat terlihat
pembesaran saraf. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf
dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka akan teraba jaringan seperti kabel atau
kawat. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.
b. N. Ulnaris
Tangan yang diperiksa rileks, sedikit fleksi dan diletakkan di atas satu
tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi ulnaris dan merasakan
adanya penebalan atau tidak Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk,
serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
c. N. Peroneus lateralis
Sandy Laveda 406151065
12
Pemeriksaan Penunjang
1.
Pemeriksaaan bakterioskopik
13
2+
3+
4+
5+
6+
Pemeriksaan histopatologi
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS tinggi,
makrofag akan mampu memfagosit M. leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman
disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau
datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah
bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat
berubah menjadi sel datia Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita
dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang
sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai
sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. 1
Sandy Laveda 406151065
14
(cellular response) atau reaksi antigen antibodi (humoral response). Reaksi ini dapat
terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan.
Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu
pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan
pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral. 4
Sandy Laveda 406151065
15
16
Peradangan
Tipe I (reversal)
Baik atau demam ringan
Tipe II (ENL)
Buruk, disertai malaise
dan febris
di Bercak kulit lama menjadi Timbul nodul kemerahan,
kulit
Waktu terjadi
Nodul
dapat
pecah (ulserasi)
Setelah pengobatan yang
Tipe kusta
Saraf
PB atau MB
Sering terjadi
Umumnya berupa
tekan
Keterkaitan
organ lain
Faktor pencetus
saraf
6 bulan
MB
Dapat terjadi
nyeri
dan
atau
Melahirkan
Obat-obat
meningkatkan
kekebalan tubuh
Tabel Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2 4
No
1.
Gejala
/tanda
Kulit
Tipe I
Tipe II
Ringan
Bercak:
Berat
Bercak:
Ringan
Nodul:
Berat
Nodul: merah,
merah,
merah, tebal,
merah,
tebal,
panas, nyeri
panas, nyeri
bertambah parah
panas,
yang
nyeri
bertambah
sampai pecah
parah sampai
2
3
Saraf tepi
Nyeri pada
pecah
Nyeri pada
Keadaan
perbaan (-)
Demam (-)
perabaan (+)
Demam (+)
Nyeri pada
Nyeri pada
perabaan (-)
Demam (+)
perabaan (+)
Demam (+)
17
umum
Keterlibatan
+
mata :
organ lain
iridocyclitis
testis :
epididimo
-orchitis
ginjal : nefritis
kelenjar limpa :
limfadenitis
gangguan pada
tulang, hidung,
dan
tenggorokan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan
sebagai reaksi berat
Fenomena Lucio
Merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe
lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus,
bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di
ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih
eritematous disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta
ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh
darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun
tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi
tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah. 1
18
BAB III
KESIMPULAN
Kusta merupakan penyakit yang disebablan oleh kuman Mycobacterium leprae.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius
bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Klasifikasi bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai dalam bidang penelitian
adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta
menjadi 7 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis, dan
imunologis, yaitu tipe tuberkuloid (TT), tuberkuloid indefinite (Ti), tipe borderline
tuberkuloid (BT), tipe mid borderline (BB), tipe borderline lepromatosa (BL), tipe
lepromatosa indefinite (Ti), dan tipe lepromatosa (LL).
Penegakan diagnosis dari penyakit ini adalah gejala klinis, pemeriksaan saraf
perifer, pemeriksaan bakteriologis, pemeriksaan histopatologis, pemeriksaan serologis.
Pemeriksaan saraf tepi diperiksa dari mulai fungsi sensorik, motorik, dan otonom
untuk mengetahui apakahh fungsi tersebut masih baik atau tidak. Pemeriksaan gram
(Ziehl-Neelsens) dan pemeriksaan histopatologis digunakan untuk mengidentifikasi
adanya bakteri untuk membantu menegakkan diagnosis, klasifikasi, serta membantu
menilai hasil pengobatan. Sedangkan pemeriksana serologi digunakan untuk
mendiagnosis penyakit kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik
tidak jelas.1
19
DAFTAR PUSTAKA
1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe, Sri Linuwih Menaldi. Kusta.
Dalam : Djuanda, Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
Kelima Cetakan Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2010; 73-80
2. Siregar, Saripati Penyakit Kulit, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2003 : 124-126
3. Lewis. S.Leprosy. Update Feb 4, 2010. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall
4. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe, Sri Linuwih Menaldi. Kusta.
Dalam : Djuanda, Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
Keenam Cetakan Ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2013; 73-83
20