REFERAT
DIABETES MELLITUS DAN KOMPLIKASINYA
Oleh :
Marcella Jane (406148022)
Stefanie (406161019)
Page 1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah yang dilimpahkanNya, sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya tulis yang berjudul Diabetes
dan Komplikasinya.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima segala kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan penulisan makalah ini.
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Noer Saelan Tadjudin, Sp. KJ, dr
Iswahyuni, dan dr Suryani yang telah memberikan bimbingannya selama siklus
Kepaniteraan Klinik Gerontologi Medik di panti Werdha Kristen Hana di Ciputat Periode 22
agustus 2016 24 september 2016.
Dalam menyusun karya tulis ini, penulis berdasarkan studi pustaka terhadap beberapa
literatur. Penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca
yang ingin lebih memahami tentang Diabetes dan komplikasinya pada Manula.
Penulis
Page 2
BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang berlangsung kronik dimana
penderita diabetes tidak bisa memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau tubuh tidak
mampu menggunakan insulin secara efektif sehingga terjadilah kelebihan gula di dalam darah
dan baru dirasakan setelah terjadi komplikasi lanjut pada organ tubuh.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator karena penyakit ini dapat
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan dengan gejala
sangat bervariasi. Gejala-gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan sampai
ketika orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya. Terkadang
gambaran klinik dari diabetes tidak jelas dan diabetes baru ditemukan pada saat pemeriksaan
penyaring atau pemeriksaan untuk penyakit lain.
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada
diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, dan disfungsi
beberapa organ
tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah, yang menimbulkan
berbagai macam komplikasi, antara lain aterosklerosis, neuropati, gagal ginjal, dan retinopati.
Sedikitnya setengah dari populasi penderita diabetes lanjut usia tidak mengetahui kalau
mereka menderita diabetes karena hal itu dianggap merupakan perubahan fisiologis yang
berhubungan dengan pertambahan usia.
Diabetes melitus pada lanjut usia umumnya adalah diabetes tipe yang tidak tergantung
insulin (NIDDM). Prevalensi diabetes melitus makin meningkat pada lanjut usia.
Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang akibat
peningkatan kemakmuran di negara yang bersangkutan dipengaruhi oleh banyak faktor antara
lain peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota besar
menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif. Jumlah penderita diabetes melitus
di Indonesia terus meningkat dimana saat ini diperkirakan sekitar 5 juta lebih penduduk
Indonesia atau berarti 1 dari 40 penduduk Indonesia menderita diabetes.
Data Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa proporsi diabetes di Indonesia pada tahun
2013 meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2007. Proporsi diabetes melitus di
Kepaniteraan Gerontologi Medik
Fakultas Kedokteran Universitas Taruma Negara
Panti Werdha Kristen Hana, Ciputat
Periode 22 agustus 2016 24 september 2016
Page 3
Indonesia sebesar 6,9 %, toleransi glukosa terganggu (TGT) sebesar 29,9% dan glukosa darah
puasa (GDP) terganggu sebesar 36,6%. Proporsi penduduk di pedesaan yang menderita
diabetes melitus hampir sama dengan penduduk di perkotaan. Prevalensi diabetes melitus
meningkat dari 1,1 persen (2007) menjadi 2,1 persen (2013).
Penemuan diagnosa dini dan penanganan yang adekuat pada lanjut usia yang menderita
DM dipandang cukup penting artinya bagi kelangsungan hidup penderita. Selain itu, skrining
pada lanjut usia yang termasuk ke dalam kategori resiko tinggi untuk menderita DM juga
sebaiknya dilakukan untuk menghindari terjadinya penyakit ataupun menghindari komplikasi
yang lebih lanjut.
Page 4
BAB II
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
2.1 Etiologi
Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan meningkatnya umur, maka intoleransi
terhadap glukosa juga meningkat. Jadi untuk golongan lanjut usia diperlukan batas glukosa
darah yang lebih tinggi dari pada batas yang dipakai untuk menegakkan diagnosis diabetes
melitus pada orang dewasa yang bukan merupakan golongan lanjut usia. Intoleransi glukosa
pada lanjut usia berkaitan dengan obesitas, aktivitas fisik yang kurang, berkurangnya massa
otot, penyakit penyerta, penggunaan obat-obatan, di samping karena pada lanjut usia sudah
terjadi penurunan sekresi insulin dan resistensi insulin. Pada lebih 50 % lanjut usia diatas 60
tahun yang tanpa keluhan ditemukan hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang
abnormal, namun intoleransi glukosa ini masih belum dapat dikatakan diabetes melitus.
Menurut Jeffrey, peningkatan kadar gula darah pada lanjut usia disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu:
Perubahan karena lanjut usia sendiri yang berkaitan dengan resistensi insulin, akibat
kurangnya massa otot dan perubahan vaskular
Keberadaan
penyakit lain
Genetik
Faktor-faktor
penyebab
DM pada usia
lanjut
Umur yang
berkaitan dengan
penurunan insulin
Umur yang
berkaitan dengan
resistensi insulin
Kegemukan
Obat
Aktivitas fisik
yang berkurang
Page 5
DM TIPE I
Mudah terjadi ketoasidosis
DM TIPE II
Sukar terjadi ketoasidosis
Onset akut
Onset lambat
Biasanya kurus
masih
muda
tahun
Page 6
BAB III
KLASIFIKASI DAN GAMBARAN KLINIS
4.1 Klasifikasi
Klasifikasi etiologis diabetes melitus menurut American Diabetes Association (1997):
Diabetes melitus tipe I:
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut baik melalui proses
imunologik maupun idiopatik.
Diabetes melitus tipe II:
Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif
sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin.
Diabetes melitus tipe lain:
1. Defek genetik fungsi sel beta :
Maturity onset diabetes of the young (MODY) 1,2,3
DNA mitokondria
Akromegali
Sindrom Cushing
Hipertiroidisme
Citomegalovirus
Rubela kongenital
Sindrom Down
Page 7
Sindrom Klinefelter
Sindrom Turner
Kelemahan tubuh
kulit lain, seperti di ketiak dan di bawah payudara, biasanya akibat tumbuhnya jamur. Sering
pula dikeluhkan timbulnya bisul-bisul atau luka lama yang tidak mau sembuh. Luka ini dapat
timbul akibat hal sepele seperti luka lecet karena sepatu, tertusuk peniti dan sebagainya. Rasa
baal dan kesemutan akibat sudah terjadinya neuropati juga merupakan keluhan pasien,
disamping keluhan lemah dan mudah merasa lelah. Keluhan lain yang mungkin
menyebabkan pasien datang berobat ke dokter ialah keluhan mata kabur yang disebabkan
oleh katarak ataupun gangguan-gangguan refraksi akibat perubahan-perubahan pada lensa
akibat hiperglikemia.
Tanda-tanda dan gejala klinik diabetes melitus pada lanjut usia:
1. Penurunan berat badan yang drastis dan katarak yang sering terjadi pada gejala awal
2. Infeksi bakteri dan jamur pada kulit (pruritus vulva untuk wanita) dan infeksi traktus
urinarius sulit untuk disembuhkan.
Kepaniteraan Gerontologi Medik
Fakultas Kedokteran Universitas Taruma Negara
Panti Werdha Kristen Hana, Ciputat
Periode 22 agustus 2016 24 september 2016
Page 8
Page 9
BAB IV
DIAGNOSA
Banyak pasien dengan Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) yang
asimptomatik dan baru diketahui adanya peningkatan kadar gula darah pada pemeriksaan
laboratorium rutin. Para ahli masih berbeda pendapat mengenai kriteria diagnosis DM pada
lanjut usia. Kemunduran, intoleransi glukosa bertambah sesuai dengan pertambahan usia, jadi
batas glukosa pada DM lanjut usia lebih tinggi dari pada orang dewasa yang menderita
penyakit DM.
Kriteria diagnostik diabetes mellitus dan gangguan toleransi glukosa menurut WHO
1985:
a. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200mg/ dl, atau
b. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl, atau
c. Kadar glukosa plasma 200 mg / dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada
TTGO
Menurut Kane et al (1989), diagnosis pasti DM pada lanjut usia ditegakkan kalau
didapatkan kadar glukosa darah puasa lebih dari 140 mg/dl. Apabila kadar glukosa puasa
kurang dari 140 mg/dl dan terdapat gejala atau keluhan diabetes seperti di atas perlu
dilanjutkan dengan pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Apabila TTGO
abnormal pada dua kali pemeriksaan dalam waktu berbeda diagnosis DM dapat ditegakkan.
Cara Pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):
a. Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup)
b. Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
c. Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih
diperbolehkan
d. Diberikan glukosa 75 gram ( orang dewasa ) atau 1,75 gram/ kgBB (anak anak),
dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit
e. Diperiksa kadar glukosa darah dua jam sesudah beban glukosa
f. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.
Kepaniteraan Gerontologi Medik
Fakultas Kedokteran Universitas Taruma Negara
Panti Werdha Kristen Hana, Ciputat
Periode 22 agustus 2016 24 september 2016
Page 10
Pada lanjut usia sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah puasa
secara rutin sekali setahun, karena pemeriksaan glukosuria tidak dapat dipercaya karena nilai
ambang ginjal meninggi terhadap glukosa.
Peningkatan TTGO pada lanjut usia ini disebabkan oleh karena turunnya sensitivitas
jaringan perifer terhadap insulin, baik pada tingkat reseptor (kualitas maupun kuantitas)
maupun pasca reseptornya. Ini berarti bahwa sel-sel lemak dan otot pada pasien lanjut usia
menurun kepekaannya terhadap insulin.
Pemeriksaan Penyaring :
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik
DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala dan tanda DM, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala yang
mempunyai resiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan pada mereka yang hasil
pemeriksaan penyaringnya positif.
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM sebagai
berikut:
1. Usia > 45 tahun
2. Berat badan lebih > 110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m2
3. Hipertensi ( > 140 / 90 mmHg )
4. Riwayat DM dalam garis keturunan
5. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi > 4000 gram
6. Kolesterol HDL 35 mg / dl dan atau trigliserida 250 mg / dl
Catatan:
Untuk
kelompok
risiko
tinggi
yang
hasil
pemeriksaan
penyaringnya
negatif,
pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun, sedangkan bagi mereka yang berusia >
45 tahun tanpa faktor resiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Page 11
Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM
Kadar glukosa (mg/dl )
Bukan DM
Belum pasti DM
Sewaktu
Plasma Vena
< 110
110 199
Darah Kapiler
< 90
90 199
Puasa
Plasma Vena
< 110
110 125
Darah Kapiler
< 90
90 109
Sumber : PERKENI, Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2, 2002
DM
200
200
126
110
Page 12
BAB V
PENATALAKSANAAN
Tujuan penanganan DM pada lanjut usia tidak jauh berbeda dengan orang dewasa
umumnya yaitu untuk mencegah terjadinya dekompensasi metabolik akut dan menurunkan
angka kesakitan dan angka kematian akibat komplikasi. Satu hal yang tidak boleh diabaikan,
yaitu walaupun pencapaian kualitas hidup yang lebih baik merupakan tujuan utama
penanganan DM pada lanjut usia, namun pemberiaan obat-obatan secara agresif dan non
prosedural adalah tidak benar.
Penanganan DM pada lansia seringkali kurang optimal, misalnya saja pada sebuah
penelitian oleh Cardiovascular Heart Study (CHS) di Amerika dari tahun 1996-1997
didapati hanya 12 % populasi lanjut usia dengan DM yang mencapai kadar gula darah di
bawah nilai acuan yang ditetapkan American Diabetes Association. Pada penelitaian tersebut
juga diketahui 50% dari lanjut usia dengan DM mengalami gangguan pembuluh darah besar
dan 33% dari jumlah tersebut aktif mengkonsumsi aspirin. Disisi lain banyak dari populasi
lanjut usia dengan DM memiliki tekanan darah > 140/90 mmHg, hanya 8% lanjut usia
dengan kadar kolesterol LDL < 100 mg/dl.
Saat ini, pola penanganan DM baik tipe 1 maupun tipe 2 telah maju sedemikian pesat
terutama dalam hal terapi farmakologis, namun intervensi obat-obatan bagi lansia mutlak
perlu dilakukan dengan lebih hati-hati. Untuk itu, American Geriatric Society (AGS)
menetapkan beberapa langkah-langkah dalam upaya memberikan pelayanan yang lebih baik
terhadap DM pada lansia.
Tabel 3. Langkah-Langkah Pokok untuk Meningkatkan Penanganan Diabetes
Melitus pada Lansia Menurut American Geriatric Society (AGS)
Edukasi dan penanganan individual
Pencegahan dan penanganan terhadap adanya faktor risiko kardiovaskuler
secara agresif
Mengendalikan stres glikemik sebagai elemen dalam mencegah dan
menangani komplikasi mikrovaskular
Penyaringan dan penanganan terhadap timbulnya sindroma geriatri yang
sering terjadi pada lansia yang menderita DM, misalnya depresi, gangguan
kognitif, inkontinensia urine, jatuh, nyeri, dan polifarmasi
Sumber : DE Elson, MD, PhD ; SL Norris, MD, MPH. Diabetes in Older Adults : Overviews of
AGS guidelines for the treatment of diabetes mellitus in geriatric populations,2004
Di samping langkah-langkah tersebut, juga terdapat nilai-nilai kunci yang digunakan untuk
meningkatkan tata penanganan DM pada lansia.
Kepaniteraan Gerontologi Medik
Fakultas Kedokteran Universitas Taruma Negara
Panti Werdha Kristen Hana, Ciputat
Periode 22 agustus 2016 24 september 2016
Page 13
Status fungsional
Dukungan sosial
Status fungsional
Beratnya penyakit yang diderita
Dilakukan pemeriksaan terhadap mata paling sedikit tiap 2 tahun atau tiap
tahun bila terdapat retinopati atau bila adanya gangguan penglihatan lain atau
bila anya faktor risiko seperti hipertensi dan kontrol glikemik yang buruk
Penyaringan terhadap adanya depresi dan memberikan penanganan setelah
diagnosa ditegakan
Mengatur pengobatan terkini dan memonitor secara teratur efek samping obat
Penyaringan terhadap timbulnya gangguan kognitif dan sindroma geriatrik
lain seperti : inkontinensia urine, nyeri, dan jatuh
Sumber : DE Elson, MD, PhD ; SL Norris, MD, MPH. Diabetes in Older Adults : Overviews of
AGS guidelines for the treatment of diabetes mellitus in geriatric populations,2004
Menilai penyakitnya secara menyeluruh dan memberikan pendidikan kepada pasien dan
keluarganya.
Lebih bersifat konservatif, usahakan agar glukosa darah tidak terlalu tinggi (200 220
mg/dl) dan tidak terlampau rendah karena bahaya terjadinya hipoglikemia
Mengendalikan glukosa darah dan berat badan sambil menghindari resiko hipoglikemi.
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (2 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
Kepaniteraan Gerontologi Medik
Fakultas Kedokteran Universitas Taruma Negara
Panti Werdha Kristen Hana, Ciputat
Periode 22 agustus 2016 24 september 2016
Page 14
dilakukan intervensi farmakologis dengan pemberian obat hipoglikemik oral (OHO) atau
suntikan insulin. Pada keadaan tertentu OHO dapat segera diberikan sesuai indikasi. Dalam
keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stress berat, berat badan yang
menurun cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada kedua keadaan tersebut perlu diwaspadai
kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan
secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
Pilar Pengelolaan DM
A. Edukasi
B. Perencanaan Makan
C. Latihan Jasmani
D. Intervensi Farmakologi
A.
Edukasi
Diabetes tipe II umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk
Page 15
Tingkat 0 :
Tingkat 1 :
Tingkat 2 :
Tingkat 3 :
Tingkat 4 :
Tingkat 5 :
B.
Perencanaan Makan
Terapi ini merupakan salah satu dari terapi non farmakologik yang sangat
Page 16
kehamilan, masa pertumbuhan, gangguan pencernaan pada usia tua, dan lainnya. Pada
keadaan infeksi berat dimana terjadi proses katabolisme yang tinggi perlu
dipertimbangkan pemberian nutrisi khusus.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :
Komposisi nutrien berdasarkan konsensus nasional adalah Karbohidrat 60-70%, Lemak 2025% dan Protein 10-15%.
KARBOHIDRAT (1 gram=40 kkal)
Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat lebih ditentukan oleh
PROTEIN
Kebutuhan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.
Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan
mg/kg BB/hari.
Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampa 0,85 gr/kg BB/hari
Latihan Jasmani
Page 17
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-5 hari seminggu
selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu, dengan jeda antar latihan
tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani
yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti
jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung
dengan cara = 220-usia pasien.
D.
Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
1.
beta pankreas.
Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Obat ini dapat
mengatasi hiperglikemia post prandial.
ii.
Page 18
Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal
hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.
iii.
iv.
v.
Penghambat
AlfaGlukosidase
Penurunan HbA1c
1,0%-2,0%
0,5-0,8%
0,5-1,5%
1,0-2,0%
Page 19
Tiazolidindion
Penghambat
DPP-IV
Penghambat
SGLT-2
2.
Menambah sensitifitas
terhadap insulin
Meningkatkan sekresi
insulin, menghambat
sekresi glucagon
Menghambat
reabsorpsi glukosa di
tubuli distal ginjal
Edema
0,5-1,4%
Sebah, muntah
0,5-0,8%
ISK
0,5-0,9%
Page 20
1-4 jam
NPH:neutral protamine Hagedorn; NPL:neutral protamine lispro. Nama obat disesuaikan dengan yang
tersedia di Indonesia. [Dimodifikasi dari Mooradian et al. Ann Intern Med. 2006;145:125-34].
3.
Terapi Kombinasi
Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik secara terpisah ataupun
fixed dose combination dalam bentuk tablet tunggal, harus menggunakan dua macam
obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu dapat terjadi sasaran
kadar glukosa darah yang belum tercapai, sehingga perlu diberikan kombinasi tiga obat
antihiperglikemia
oral
dari
kelompok
yang
berbeda
atau
kombinasi
obat
Page 21
insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, serta
pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan.
BAB VI
KOMPLIKASI
6.1 Komplikasi Akut
6.1.1
Ketoasidosis Diabetikum
Ketika kadar insulin rendah, tubuh tidak bisa menggunakan glukosa sebagai energi
dan karenanya lemak tubuh dimobilisasi tempat penyimpanannya. Penghancuran lemak untuk
melepas energi menghasilkan formasi asam lemak. Asam lemak ini melewati hepar dan
membentuk satu kelompok senyawa kimia bernama benda keton, benda keton dikeluarkan
lewat urin disebut ketonuria.
Kadar
benda keton yang meningkat dalam tubuh disebut ketosis. Ketosis bisa
meningkatkan keasaman cairan tubuh dan jaringan sehingga kadar yang sangat tinggi dan
Page 22
menyebabkan satu kondisi yang disebut asidosis. Asidosis akibat dari benda keton yang
meningkat disebut ketoasidosis.
Gejala-Gejalanya:
a. Dehidrasi: kekeringan di mulut dan hilangnya elastisitas kulit
b. Napas berbau kecut
c. Mual-mual, muntah-muntah dan rasa sakit di perut
d. Napas berat
e. Tarikan napas meningkat
f. Merasa sangat lemah dan mengantuk
6.1.2
Hipoglikemia
Merupakan salah satu komplikasi akut yang tidak jarang terjadi dan seringkali
membahayakan hidup penderitannya serta ditandai dengan kadar gula darah yang melonjak
turun di bawah 50-60 mg/dl. Komplikasi ini dapat disebabkan faktor eksogen maupun
endogen. Faktor eksogen diantaranya akibat pemakaian insulin atau obat hipoglikemia oral
yang tidak terkontrol dan tidak diikuti dengan asupan kalori yang memadai. Di negara maju,
hipoglikemia sering ditemukan pada penderita diabetes yang mengunakan insulin atau obat
hipoglikemia oral bersamaan dengan alkohol yang berlebihan tanpa asupan kalori yang baik.
Hipoglikemia Organik
Insulinoma
Keganasan Ekstrapankreatik
Gangguan Metabolisme Bawaan
- Intoleransi fruktosa herediter
- Defisiensi fruktosa-1,6-difosfatase
- Galaktosemia
- Defisiensi fosfoenolpiruvat
karboksikinase
Page 23
konsentrasi, gangguan kesadaran, gangguan sensorik dan motorik, bingung, kejang dan
bahkan koma.
6.1.3
Infeksi
Page 24
Definisi
Page 25
Neuropati diabetik adalah adanya gejala dan atau tanda dari disfungsi saraf
penderita diabetes tanpa ada penyebab lain selain diabetes mellitus, (setelah
dilakukan eksklusi penyebab lainnya).
6.2.3.2
Patogenesis
Gula darah tinggi menghancurkan serat saraf dan satu lapisan lemak di sekitar
saraf. Saraf yang rusak tidak bisa mengirimkan sinyal ke otak dan dari otak dengan
baik, sehingga akibatnya bisa kehilangan indra perasa, meningkatnya indra perasa
atau nyeri di bagian yang terganggu. Kerusakan saraf tepi tubuh lebih sering terjadi.
Kerusakan dimulai dari jempol kaki serta berlanjut hingga telapak kaki dan seluruh
kaki yang menimbulkan mati rasa, kesemutan, seperti terbakar, rasa sakit, rasa
tertusuk, atau kram pada otot kaki.
Lesi pada saraf perifer akan menimbulkan enam tingkat kerusakan yaitu:
a. Grade 1 (Neuropraksia)
Kerusakan paling ringan, terjadi blok fokal hantaran saraf, gangguan umumnya
secara fisiologis, struktur saraf baik. Karena tidak terputusnya kontinuitas
aksoplasmik sehingga tidak terjadi degenerasi wallerian. Pemulihan komplit
terjadi dalam waktu 1-2 bulan.
b. Grade II (Aksonometsis)
Kerusakan pada akson tetapi membrane basalis (Schwann cell tube),
perineurium dan epineurium masih utuh. Terjadi degenerasi wallerian di distal
sampai lesi, diikuti dengan regenerasi aksonal yang berlangsung 1 inch per
bulan. Regenerasi bisa tidak sempurna seperti pada orang tua.
c. Grade III
Seperti pada grade II ditambah dengan terputusnya membran basalis.
Regenerasi terjadi tetapi banyak akson akan terblok oleh skar endoneurial.
Pemulihan tidak sempurna.
d. Grade IV
Obliterasi endoneurium dan perineurium dengan skar menyebabkan kontinuitas
saraf berbagai derajat tetapi hambatan regemerasi komplit.
e. Grade V
Saraf terputus total, sehingga memerlukan operasi untuk penyembuhan.
f. Grade VI
Kombinasi dari grade II-IV dan hanya bisa didiagnosa dengan pembedahan.
Ada tiga proses patologi dasar yang bisa terjadi pada saraf perifer yaitu:
a. Degenerasi Wallerian
Kepaniteraan Gerontologi Medik
Fakultas Kedokteran Universitas Taruma Negara
Panti Werdha Kristen Hana, Ciputat
Periode 22 agustus 2016 24 september 2016
Page 26
Terjadi degenerasi senkunder pada mielin oleh karena penyakit pada akson yang
meluas ke proksimal dan distal dari tempat akson terputus. Perbaikan
membutuhkan waktu sampai tahunan, oleh karena pertama terjadi regenerasi
kemudian baru terjadi koneksi kembali dengan otot, organ sensoris, pembuluh
darah.
b. Demienilisasi segmental
Terjadi destruksi mielin tanpa kerusakan akson, lesi primer melibatkan sel
Schwann. Demielinisasi mulai dari nodus ranvier meluas tak teratur ke segmensegmen internodus lain. Perbaikan fungsi cepat karena tidak terjadi kerusakan
akson.
c. Degenerasi aksonal
Degenerasi pada bagian distal akson saraf perifer dan beberapa tempat ujung
akson sentral kolumna posterior medulla spinalis.
6.2.3.3
Gejala Klinis
Kesemutan
Kram
6.2.3.4 Penatalaksanaan
Langkah manajemen terhadap pasien adalah untuk menghentikan progresifitas
rusaknya serabut saraf dengan control gula darah secara baik. Mempertahankan
control glukosa darah ketat, HbA1c, tekanan darah, dan lipids dengan terapi
farmakologis dan perubahan pola hidup. Komponen manajemen diabetes lain yaitu
perawatan kaki, pasien harus diajar untuk memeriksan kaki mereka secara teratur.
Definisi
Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh
Page 27
6.2.4.2
Klasifikasi
Berkaitan dengan prognosis dan pengobatan, maka retinopati diabetik dibagi
menjadi:
1. Retinopati Diabetik Non Proliferatif
2. Retinopati Diabetik Proliferatif
6.2.4.3
Patofisiologi
1. Retinopati Diabetik Non Proliferatif
Merupakan bentuk yang paling umum dijumpai. Merupakan cermin klinis dan
hiperpermeabilitas dan inkompetens pembuluh yang terkena. Disebabkan oleh
penyumbatan dan kebocoran kapiler, Disini perubahan mikrovaskuler pada retina
terbatas pada lapisan retina (intraretinal), terikat ke kutub posterior dan tidak melebihi
membran internal.
Karakteristik pada jenis ini adalah dijumpainya mikroaneurisma multiple yang
dibentuk oleh kapiler-kapiler yang membentuk kantung-kantung kecil menonjol
seperti titik-titik, vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok, bercak
perdarahan intraretinal. Perdarahan dapat terjadi pada semua lapisan retina dan
berbentuk nyala api karena lokasinya didalam lappisan serat saraf yang berorientasi
horizontal. Sedangkan perdarahan bentuk titik-titik atau bercak-bercak terletak di
lapisan retina yang lebih dalam tempat sel-sel akson berorientasi vertical.
2. Retinopati Diabetik Proliferatif
Pada jenis ini iskemia retina yang progresif akhirnya merangsang pembentukan
pembuluh-pembuluh halus (neovaskularisasi) yang sering terletak pada permukaan
diskus dan di tepi posterior zona perifer disamping itu neovaskulariasi iris atau
rubeosis iridis juga dapat terjadi. Pembuluh-pembuluh baru yang rapuh berproliferasi
dan menjadi meninggi apabila korpus vitreum mulai berkontraksi menjauhi retina dan
darah keluar dari pembuluh tersebut maka akan terjadi perdarahan massif dan dapat
timbul penurunan penglihatan mendadak.
Disamping itu neovaskularisasi yang meninggi ini dapat mengalami fibrosis dan
membentuk pita-pita fibrovaskular rapat yang menarik retina dan menimbulkan
kontraksi terus-menerus pada korpus vitreum. Ini dapat menyebabkan pelepasan retina
akibat traksi progresif atau apabila terjadi robekan retina, terjadi ablasio retina
regmatogenosa. Pelepasan retina dapat didahului atau ditutupi oleh perdarhan korpus
vitreum.
6.2.4.4
Gejala Klinis
Page 28
Kesulitan membaca
Penglihatan kabur
Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata
Melihat lingkaran-lingkaran cahaya
Melihat bintik gelap & cahaya kelap-kelip
Mikroaneurisma
Dilatasi pembuluh darah dengan lumennya ireguler dan berkelok-kelok
Hard exudates merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya khusus
yaitu irregular, kekuning-kuningan. Pada permulaan eksudat pungtata membesar
dan bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.
Soft exudates yang sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia
retina. Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning
bersiat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah
Page 29
6.2.4.5
Tatalaksana
Fokus pengobatan bagi pasien retinopati diabetik non proliferatif adalah pengobatan
terhadap hiperglikemia dan penyakit sistemik lainnya. Terapi Laser argon fokal terhadap titiktitik kebocoran retina pada pasien yang secara klinis menunnjukkan edema bermakna dapat
memperkecil resiko penurunan penglihatan dan meningkatkan fungsi penglihatan. Sedangkan
mata dengan edema makula diabetik yang secara klinis tidak bermakna maka biasanya hanya
dipantau secara ketat tanpa terapi laser.
Untuk retinopati diabetik proliferatif biasanya diindikasikan pengobatan dengan
fotokoagulasi panrentina laser, yang secara bermakna menurunkan kemungkinan perdarahan
masif korpus vitreum dan pelepasan retina dengan cara menimbulkan regresi dan pada
sebgaian kasus dapat menghilangkan pembuluh-pembuluh baru tersebut.
Untuk penatalaksanaan konservatif penglihatan monokular yang disebabkan oleh
perdarahan korpus vitreum diabetes pada binokular adalah dengan membiarkan terjadinya
resolusi spontan dalam beberapa bulan. Disamping itu peran bedah vitreoretina untuk
retinopati diabetik proliferatif masih tetap berkembang, sebagai cara untuk mempertahankan
atau memulihkan penglihatan yang baik.
Page 30
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. Position statement: Standards of Medical Care in Diabetes
2010. Diab Care. 2010; 33 (Suppl.1).
DE Elson, SL Norris. Diabetes in Older Adults: Overviews of AGS guidelines for the
treatment of diabetes mellitus in geriatric populations. 2004.
Foster DW. Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Asdie,
A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000.
Gross JL, Canani LH, Caramori ML. 2005. Diabetic Nephropathy: Diagnosis, Prevention,
and Treatment. Diabetes Care. 2008; 28:164 - 75.
Gustaviani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : buku ajar ilmu penyakit
dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi V. Jakarta : balai penerbit
FKUI, 2009.
Harun A, Immanuel S. Tinjauan Laboratorik Kasus Diabetes Melitus Tipe 2 dengan
Komplikasi. Jakarta: Departemen patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2003.
PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.
Jakarta: Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2006.
Powers AC. 2004. Diabetes Mellitus. Di dalam:Braunwald E, Fauci A, editor. Harrison's
principles of internal medicine. Edisi ke-16. New York: McGraw-Hill. hlm. 2152 - 80.
Rhodes CJ. 2005. Type 2 diabetes - a matter of beta cell life and death? Science. 307:380-3.
Sitompul R. Diabetic Reinopathy. Jakarta: J Indon Med Assoc. 2011 Agustus; 61(8):337-41.
Soegondo S. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia
2011. Jakarta : PERKENI, 2011.
Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis dan strategi
pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I
dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai penerbit FKUI, 2006.
Kepaniteraan Gerontologi Medik
Fakultas Kedokteran Universitas Taruma Negara
Panti Werdha Kristen Hana, Ciputat
Periode 22 agustus 2016 24 september 2016
Page 31
Page 32