LEPRA
Disusun Oleh:
Sulthan Salsabil Neza
H1AP20056
Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan tugas SMF Bagian
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, RSUD Dr. M. Yunus, Fakultas Kedokteran
Universitas Bengkulu, Bengkulu..
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan referat ini. Referat ini
disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian Kepaniteraan Klinik di
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. M. Yunus, Fakultas
Kedokteran Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Pada kesempatan ini Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................2
KATA PENGANTAR...........................................................................................3
DAFTAR ISI..........................................................................................................4
BAB I. PENDAHULUAN.....................................................................................5
2.1 Definisi.........................................................................................................7
2.2 Epidemiologi................................................................................................7
2.3 Etiologi.......................................................................................................10
2.5 Patogenesis.................................................................................................10
2.7 Diagnosis....................................................................................................13
2.9 Penatalaksanaan.........................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................28
4
BAB I. PENDAHULUAN
Lepra atau yang disebut juga Morbus Hansen atau di Indonesia lebih dikenal
dengan penyakit kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan
Mycobacterium leprae dan telah menjangkiti manusia sejak 4000 tahun yang lalu.
Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang sebenarnya
mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan istilah
kusta yang berasal dari bahasa India, kushtha. Nama Morbus Hansen ini sesuai
dengan nama yang menemukan kuman, yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen
pada tahun 1874.1,2
Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh dan
diobati, namun sejak tahun 1980, dimana program Multi Drug Treamtment
(MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis dan diterapi secara adekuat,
tetapi sayangnya meskipun telah dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko
untuk terjadi kerusakan sensorik dan motorik yaitu disabilitas dan deformitas
masih dapat terjadi sehingga gejala tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan tersebut
yang membuat timbulnya stigma terhadap penyakit kusta Meskipun 25 tahun
terakhir banyak yang telah dikembangkan mengenai kusta, pengetahuan mengenai
patogenesis, penyebab, pengobatan, dan pencegahan lepra masih terus diteliti.5,6
Pada tahun 2016, tercatat sebanyak 11.755 kasus baru penyakit kusta dari
seluruh penduduk Indonesia dengan angka insidensi pada pasien dengan riwayat
5
familial contact (FC) adalah 67,6 per 10.000 penduduk, sedangkan pada pasien
dengan riwayat non-familial contact (NFC) adalah 4,6 per 10.000 penduduk.4
satu dari tanda kardinal, yaitu lesi kulit yang mati rasa, penebalan saraf dengan
fungsi saraf abnormal, dan ditemukannya BTA pada slit-skin smear.2,4 Namun
sekitar 70% pasien kusta dapat didiagnosis berdasarkan adanya lesi kulit dengan
gangguan sensitivitas, tetapi 30% lainnya tidak mempunyai lesi kulit.7 World
Health Organization (WHO) mengkategorikan kusta berdasarkan jumlah lesi
kulit dan kelemahan saraf tepi. Kusta pausibasiler (PB) menimbulkan lesi kulit
dengan jumlah kurang dari 5 dan atau keterlibatan satu saraf tepi. Kusta
multibasiler (MB) melibatkan lebih dari lima lesi dan atau keterlibatan lebih dari
satu saraf tepi. Klasifikasi lainnya, yaitu klasifikasi Ridley-Jopling, membagi
kusta menjadi tuberculoid leprosy (TT), borderline tuberculoid (BT),
borderline borderline (BB), borderline lepromatous (BL), and lepromatous
leprosy (LL).1,6
6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, namun dapat juga terjadi sistem pernapasan bagian atas, dan
organ-organ lain kecuali susunan saraf pusat.1
2.2 Epidemiologi
7
Indonesia sendiri pada tahun 2012 mencatatkan kasus baru sejumlah
18.994 kasus, sedangkan di Jawa Tengah pada tahun 2012 dilaporkan terdapat
kasus baru tipe Multibasilar (MB) sebanyak 1.308 kasus dan pada lepra tipe
Pausibasilar (PB) sebanyak 211 kasus dengan Newly Case Detection Rate
(NCDR) sebesar 4,57 per 100.000 penduduk. Indonesia berhasil mencapai
eliminasi lepra pada tahun 2000 di 19 provinsi dan sekitar 300 kabupaten/kota.
Eliminasi dilakukan dengan menurunkan angka kesakitan lebih kecil dari 1 per
10.000 penduduk dan lebih dari 10 juta penderita telah disembuhkan dan lebih
dari 1 juta penderita telah diselamatkan dari kecacatan. Prevalensi penderita lepra
di Indonesia turun sebesar 81% dari 107.271 pada tahun 1990 menjadi 21.026
pada tahun 2009. Hal itu dicapai setelah dilakukan program rehabilitasi melalui
8
Distribusi menurut waktu seperti terlihat pada tabel di bawah. Angka
prevalensi dan penemuan penderita baru Kusta cenderung statis tiap tahunnya.11
Kusta sendiri diketahui dapat terjadi pada hampir segala usia, dengan
prevalensi terbanyak pada usia muda dan produktif. Insiden maupun prevalensi
pada laki-laki lebih banyak dari wanita. Di Indonesia sendiri, insiden laki – laki
lebih tinggi pada usia 15 – 19 tahun dan sebaliknya pada wanita menurun pada
rentang usia tersebut.10 Di Indonesia, proporsi Penderita Kusta pada anak masih di
atas
5%,
yang
9
Gambar 2.4 Trend Penderita Lepra Anak di Indonesia Tahun 2011-2018
2.3 Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat
obligat intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro , berbentuk basil
Gram positif dengan ukuran 3 – 8 μm x 0,5 μm, bersifat tahan asam dan alkohol.2
Kuman ini memunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang
lambat di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune response, yang
menyebabkan reaksi inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan di
perineurium, dapat ditemukan iskemia, fibrosis, dan kematian akson. 3
Mycobacterium leprae dapat bereproduksi maksimal pada suhu 27°C – 30°C,
tidak dapat dikultur secara in vitro, menginfeksi kulit dan sistem saraf kutan
Tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf
perifer,hidung, cuping telinga, anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki,
dan testis), dan tidak mengenai area yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis
tengah punggung.1,12
2.4 Klasifikasi
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada
penyakit lepra yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti: tuberkuloid indefinite
BT: borderline tuberculoid
BB: mid borderline bentuk yang labil
BL: borderline lepromatous
Li: lepromatosa indefinite
LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil.
Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar,
yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline
atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah
10
tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak
tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe
campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT
maupun LL.13
Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan
pausibasilar (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks
biposi (IB), ditemukan bakteri lebih dari +2, yaitu tipe LL, BL, dan BB pada
klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB
kurang dari +2, yaitu tipe TT, BT, dan I klasifikasi Ridley-Joping.13
2.5 Patogenesis
Cara penularan belum diketahui secara pasti hanya beranggapan dari
anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat.
Anggapan kedua adalah secara inhalasi, sebab M. Leprae dapat hidup beberapa
hari didalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40
tahun, rata-rata 3,5 tahun.
Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M. Leprae pada kaki
mencit dan berkembang baik disekitar suntikan. Dari berbagai macam spesimen,
bentuk lesi maupun negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan spesies.
Agar dapat tumbuh diperlukan jumlah minimum M. Leprae yang disuntikan dan
kalau mencapai jumlah maksimum tidak berarti meningkatkan
perkembangbiakan.
Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti radiasi
(900 r) sehingga kehilangan respon imun selularnya, akan menghasilkan
granuloma penuh basil terutama di bagian tubuh yang relatif dingin yaitu hidung,
cuping telinga, kaki dan ekor.
Sebenarnya M. Leprae mempunyai patogenisitas dan daya invasi yang
rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.
Ketidakseimbangan derajat infeksi dan derajat penyakit, tidak lain disebabkan
11
karena respon imun yang berbeda, yang mencetuskan timbulnya granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena
itu, kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.
Area yang sering terkena kusta adalah saraf perifer superfisial, kulit,
membran mukosa dari saluran napas atas, ruang anterior mata, dan testes. Area-
area tersebut merupakan bagian yang dingin dari tubuh (Lewis, 2010). Kerusakan
jaringan tergantung pada sistem simunitas selular, tipe penyebaran bakeri, adanya
komplikasi reaksi lepra, dan kerusakan saraf. Afinitas pada sel Schwann,
mycobacteria berikatan dengan Domain G rantai alpha laminin 2 yang ditemukan
di saraf perifer di lamina basal. Replikasi di dalam sel ini menyebabkan respon
sistem imunitas selular yang menyebabkan reaksi inflamasi, yang menyebabkan
pembengkakan perineureum, iskemia, fibrosis, dan kematian akson.
Kekuatan dari sistem imun hospes mempengaruhi manifestasi klinis dari
kusta. Cell-mediated immunity (interferon-gamma, interleukin (IL)-2) yang kuat
dengan respon humoral yang lemah akan menyebabkan bentuk yang ringan dari
penyakit ini, sedangkan respon humoral yang kuat (IL-4, IL-10) dengan cell-
mediated immunity yang lemah/tidak ada, akan menyebabkan bentuk lepromatous
dengan lesi yang luas, mengenai kulit dan saraf secara ekstensif, dan kadar bakteri
yang banyak.5 Sistem imunitas selular (SIS) yang baik akan tampak gambaran ke
arah tuberkuloid, sedangkan SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa.13
Pada kusta tipe LL, terjadin kelumpuhan sistem imunitas selulae, dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman
bermultiplikasi dengan bebas dan merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT terjadi sebaliknya, kemampuan imunitas selular tinggi,
sehingga makrofag mampu menghancurkan kuman. Namun setelah kuman
difagositosis, makrofag berubah menjadi sel epiteloid dan kadang bersatu
membentuk sel datia Langhans. Massa epiteloid dapat menimbulkan kerusakan
saraf dan jaringan di sekitarnya.5
Munculnya gejala kusta terjadi karena perkembangan granuloma, dan
pasien mungkin mengalami reactional state, yang dapat terjadi pada sekitar >50%
pasien tertentu. Spektrum granuloma lepra terdiri dari 1) a high-resistance
12
tuberculoid response (TT), 2) a low- or absent-resistance lepromatous pole (LL),
3) a dimorphic or borderline region (BB), 4) borderline lepromatous (BL), dan 5)
borderline tuberculoid (BT). Berdasarkan dari yang paling tinggi resistensinya
hingga ke yang paling rendah resistensinya, yaitu TT, BT, BB, BL, LL.12
Respon imun terhadap M. leprae dapat menghasilkan beberapa tipe reaksi
yang berhubungan dengan status klinis. Reaksi lepra tipe 1 (downgrading and
reversal reactions) terjadi pada individu dengan BT dan BL, inflamasi terjadi
diantara lesi kulit yang sudah ada. Downgrading reaction terjadi sebelum terapi,
reversal reaction terjadi karena respon terhadap terapi. Reaksi tipe 1 berhubungan
dengan demam derajat rendah, lesi satelit makulopapular baru yang kecil dan
banyak, dan/ atau neuritis. Reaksi tipe 2 (Erythema Nodosum Leprosum, ENL)
terjadi pada sebagian individu dengan LL, biasanya timbul setelah awal
pemberian terapi antilepra, umumnya dalam 2 tahun pertama terapi. Terdapat
inflamasi yang hebat mirip seperti lesi eritema nodosum. Reaksi lucio merupakan
rekasi yang terjadi pada individu dengan LL yang meluas. Pada individu tersebut
terjadi ulserasi yang dangkal, large polygonal sloughing pada kaki. Reaksi ini
timbul baik sebagai varian dari ENL atau sekunder terhadap oklusi arteriol.
Ulserasi ini sulit membaik, sering rekuren, dan distribusinya dapat general akibat
infeksi bakteri sekunder dan sepsis.5,12
13
ke kutan terjadi. 90% psien biasanya mengalami keluhan pafda pertama kalinya
adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas
dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan
dan kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada ekstremitas
yang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah daerah yang
dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuoing hidung, daun telinga, dan lutut.5
Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa (1) pembesaran saraf tepi
yang asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia posterior, radial kutaneus, (2)
Kerusakan sensorik pada lesi kulit (3) Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda
inflamasi berupa neuropati, kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur (4)
kerusakan sensorik dengan pola Stocking-glove (4) Acral distal symmethric
anesthesia (hilangnya sensasi panas dan dingin, serta nyeri dan raba). 5
2.7 Diagnosis
1. Tuberculoid Leprosy (TT, BT)
Pada TT, imunitas masih baik,dapat sembuh spontan dan masih mampu
melokalisir sehingga didapatkan gambran batas yang tegas. Mengenai kulit
maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plak,
dan pada bagian tengah dapat ditemukam lesi yang regresi atau central clearing.
Permukaan lesi dapat bersisik, dengan tepi yang meninggi. Dapat disertai
penebalan saraf tepi yang biasanya teraba. Kuman BTA negatif merupakan tanda
terdapatnya respon imun yang adekuat terhadap kuman kusta. Pada BT, tidak
dapat sembuh spontan, Lesi menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi satelit
di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi,
kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas TT. Gangguan saraf tidak berat dan
asimetris.
14
Gambar 2.1 Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular
15
Gambar 2.3 Borderline Tuberculoid Leprosy, gambaran anular inkomplit dengan
papul satelit12
Pada tipe BB borderline,meruapakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga
bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid dan lepromatous. Terdiri
dari macula infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang tegas, jumlah banyak melebihi
tipe BT dan cenderung simetris. Lesi bervariasi, dapat perbentuk punch out yang
khas.. Pada tipe ini terjadi anestesia dan berkurangnya keringat.
16
1. Lepromatous Leprosy
Tipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit drngan
cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih bervariasi bentuknya. Distribusi
lesi hampir seimetris. Lesi innfiltrat, dan plak seperti punched out. Tanda-tanda
kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat
dan hilangnya rambut lebih cepat muncul. Penebalan saraf tepi teraba pada tempat
predileksi. Tipe LL, jumlah lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm,
simetris, permukaan halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas dan
pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan juga lesi
Dematofibroma-like multipel, batas tegas, nodul eritem. Distribusi lesi khas pada
wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Pada stadium lanjut tampak
penebalan kulit yang progresif membentuk facies leonine. Kerusakan saraf
menyebabkan gejalan stocking and glove anesthesia.12
17
Gambar 2.5 Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy12
Pada reaksi lepra tipe 1, terjadi inflamasi akut pada lesi kulit, terdapat edema dan
nyeri, bisa ulserasi. Edema paling berat terjadi di wajah, tangan, dan kaki. Pada
reaksi lepra tipe 2, terdapat nodul yang nyeri dan berwarna merah, bisa abses atau
ulserasi. Paling sering timbul di wajah dan ekstremitas bagian ekstensor.12
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan 1) ekstremitas: neuropati
sensoris, ulserasi telapak kaki, infeksi sekunder, ulnar and peroneal palsies, sendi
Charcot, 2) hidung: kongesti kronik, epistaksis, destruksi kartilago dengan
deformitas saddle-nose, 3) mata: kelumpuhan nervus kranialis, lagoftalmus,
insensitivitas kornea. Pada LL, dapat terjadi uveitis, glaucoma, pembentukan
katarak. Kerusakan kornea dapat terjadi sekunder terhadap trichiasis dan
neuropati sensoris, infeksi sekunder, dan paralisis otot, 4) testis: terjadi
hipogonadisme pada pasien LL, 5) amiloidosis sekunder karena gangguan hepar/
ginjal.12
Tabel 2.1 Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta Multibasile
(MB)
SIFAT LL BL BB
Lesi
Bentuk Makula, Infiltrat Makula, Plakat, Plakat, Dome
Difus, Papul, Nodul Papul Shaped (Kubah),
Tidak terhitung, Punched Out
Jumlah praktis tidak ada Sukar dihitung, Dapat dihitung,
kulit sehat masih ada kulit kulit sehat jelas ada
sehat Asimetris
Distribusi Simetris Hampir simetris Agak
Permukaan Halus Berkilat Halus Berkilat Kasar/berkilat
Batas Tidak Jelas Agak Jelas Agak Jelas
Anestesia Biasanya Tak Jelas Tak Jelas Lebih Jelas
BTA
Lesi kulit Banyak (ada Banyak Agak Banyak
Sekret hidung globus) Biasanya Negatif Negatif
18
Banyak (ada
globus)
Tes Negatif Negatif Biasanya negatif
Lepromin
19
yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa
menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga
biasanya didapati banyak M. Leprae.5
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut
Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan
jumlah solid dan non solid.
IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA,
I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari
dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100
lapangan.
Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah
tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit
dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal
clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya
tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe
borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut. Sel virchow adalah histiosit
yang dijadikan M. leprae sebagai tempat berkembangbiak dan sebagai alat
pengangkut penyebarluasan.
Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick, PCR.
20
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra
tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun
penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil
organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari
(reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif
bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi
terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD)
pada tuberkolosis.5
2.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya
penyakit, untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan
atas deteksi dini dan pengobatan penderita.14
Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu
mengahalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan
antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah
penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri. Efek samping dari dapson
adlah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit kepala, dan
vertigo.14
Lamprene atau Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan
reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari
NA/K ATPase.Efek sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu
21
kehitaman,warna kulit akan kembali normal bila obat tersebut dihentikan, diare,
nyeri lambung.14
Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja
dengan cara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri
dengan berikatan pada subunit beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan
nefrotoksik.
Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus
untuk penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn
kekeringan kulit dan bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk
penderita kusta tipe PB I.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan
oleh WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan
menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment. Kegunaan
MDT untuk mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi
ketidakteraturan penderita dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada
pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta
dalam jaringan.5,14
22
Tabel 2.3 Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut
WHO/DEPKES RI
(50-70 kg)
Anak 300 mg 200 mg 50 mg
(5-14 th)
Rifampicin Dapson
MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa
diselesaikan selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini,
dinyatakan RFT/=Realease From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa
pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan
tipe MB selama 5 tahun.
23
Rifampicin Dapson Lamprene
24
Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka dapat timbul
kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw
toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan
pengobatan “Prinsip pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat,
pemberian analgesik dan sedatif, pemberian obat-obat anti reaksi, MDT
diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik
dan obat-obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1
selama 3-5 hari, dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak
diubah.
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik
dan sedative, MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian
obat-obat anti reaksi dan pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya
prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin dengan dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4
– 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari, Antimon yaitu stibophen
(8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang-seling dan dosis
total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena toksik.
Thalidomide juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400
mg/hari kemudian diturunkan sampai mencapai 50 mg/hari.
Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan
prednison atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih
baik walaupun dapat juga diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-
lahan (tapering off) setelah terjadi respon maksimal.5,12,13
25
Gambar 2.6 Regimen MDT
2.10 Prognosis
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit.
Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan.
Terkadang asien dapat mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas
hidup pasien menurun13.
26
BAB III. KESIMPULAN
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. Insidensi puncak pada usia 10-20 tahun dan 30-50 tahun.
Berdasarakan Ridley aand Jopling kusta dibagai menjadi TT,Ti,BT,BB,BI,Li,LL,
dan menurut WHO dibagi menjadi Multibasiler dan Pausibasiler. Diagnosis Kusta
dilakukan berdasarkam pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan histopatologis.
Penatalksanaan kusta dengan terapi regimen Multi Drug Treatment mulai
diterapkan untuk mencegah kemungkinan timbul resistensi.
27
DAFTAR PUSTAKA
3. Salgado CG, Brito AC, Salgado UI, Spencer JS. Leprosy. In: Kang S,
Amagai , Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer
JS, editors. Fitzpatrick’s Dermatology 9th Ed. New York: McGraw-Hill
Companies; 2019: 2892-924
4. Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Pusat data dan
informasi Kementerian Kesehatan RI. 2017
28
12. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick. Fitzpatrick's Color
Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed. USA: McGraw-Hill.
2007. P 665-671
13. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine 7th ed. USA : McGraw Hill 2008. P 17889-1796
29