Anda di halaman 1dari 52

Tinjauan Pustaka

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN HEPATITIS C

Disusun Oleh:
Anisa Ferli Yolanda
(H1AP20002)

Pembimbing :
dr. Ety Febrianti, Sp.PD, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD DR. M. YUNUS BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2022

i
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Anisa Ferli Yolanda


NPM : H1AP20002
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Judul : Diagnosis dan Penatalaksanaan Hepatitis C
Bagian : Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Pembimbing : dr. Ety Febrianti, Sp.PD, FINASIM

Bengkulu, Juli 2022


Pembimbing

dr. Ety Febrianti, Sp.PD FINASIM

ii
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Alhamdulillah, segala puji hanyalah milik Allah SWT,


karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan
judul “Diagnosis dan Penatalaksanaan Hepatitis C” ini dengan baik.
Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus, Fakultas
Kedokteran Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Pada kesempatan ini Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Ety Febrianti, Sp. PD, FINASIM sebagai pembimbing utama yang telah
bersedia membimbing penulis, meluangkan waktu dan telah memberikan
masukan-masukan, petunjuk serta bantuan dalam penyusunan tugas ini.
2. Teman–teman koas penyakit dalam yang telah memberikan bantuan baik
material maupun spiritual kepada penulis dalam menyusun laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini,
maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Penulis sangat
berharap agar laporan ini dapat bermanfaat bagi semua.

Bengkulu, Juli 2022


Penulis

Anisa Ferli Yolanda

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................................1
BAB II. DIAGNOSIS.............................................................................................................2
2.1. Definisi.....................................................................................................................2
2.2. Epidemiologi............................................................................................................3
2.3. Etiologi.....................................................................................................................4
2.4. Patofisiologi.............................................................................................................9
2.5. Manifestasi Klinis..................................................................................................10
2.6. Pemeriksaan penunjang..........................................................................................13
2.7. Diagnosis Banding.................................................................................................16
2.8. Prognosis................................................................................................................19
BAB III. PENATALAKSANAAN.....................................................................................20
3.1. Penatalaksanaan Hepatitis C Akut..........................................................................20
3.2. Penatalaksanaan Infeksi Hepatitis C Kronik...........................................................21
3.3. Penatalaksanaan pada Kondisi Khusus...................................................................29
3.3.1. Pasien dengan Koinfeksi HIV-VHC...............................................................29
3.3.2. Pasien dengan Koinfeksi VHC-VHB..............................................................32
3.3.3. Pasien dengan Penyakit Gagal Ginjal Kronik.................................................34
3.3.4. Pasien dalam keadaan Hamil..........................................................................37
3.3.5. Pasien Pasca Transplantasi Organ..................................................................38
3.3.6. Pasien Koinfeksi VHC-TB.............................................................................42
3.3.7. Talasemia dan Hemofilia................................................................................42
BAB IV. KESIMPULAN.....................................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................45

iv
BAB I. PENDAHULUAN

Hepatitis merupakan penyakit peradangan pada hati yang dapat disebabkan oleh
berbagai kausa, termasuk infeksi virus. Infeksi virus tersebut dapat menyebabkan
timbulnya cedera, peradangan, bahkan kematian sel-sel yang terinfeksi pada organ
hati.1,2
Virus Hepatitis C (VHC) merupakan salah satu virus penyebab hepatitis dan
dianggap menimbulkan dampak yang paling besar di antara virus-virus lain penyebab
hepatitis. Kebanyakan orang yang terinfeksi virus hepatitis C tidak menunjukkan
adanya gejala. Kenyataannya, banyak orang yang tidak tahu bahwa mereka telah
terinfeksi virus hepatitis C hingga muncul kerusakan yang fatal pada organ hati
mereka (silent epidemic). Kerusakan tersebut dapat berupa kegagalan fungsi hati,
sirosis, atau kanker hati yang dapat muncul beberapa tahun setelah infeksi (hepatitis C
kronis). Sejumlah penelitian juga membuktikan bahwa kejadian karsinoma
hepatoselular (HCC=Hepatocellular Carcinoma) berkaitan erat dengan infeksi virus
hepatitis C.2,3
Virus hepatitis C (VHC) pertama kali dikenal pada tahun 1989, namun misteri
mengenai virus tersebut masih belum terpecahkan dengan jelas pada saat itu. Sekitar
sepuluh tahun sebelumnya, sejumlah korban bermunculan yang diduga disebabkan
oleh infeksi virus hepatitis. Namun ketika diperiksa, tes untuk hepatitis A dan B
menunjukkan hasil yang negatif sehingga penyakit ini dikenal sebagai hepatitis non-
A, non-B (NANB). Pada tahun 1990 dikembangkan sebuah tes untuk
mengidentifikasi virus hepatitis C. Hasilnya membuktikan bahwa sejumlah besar
kasus hepatitis yang terjadi saat itu disebabkan oleh virus hepatitis C.1,2,4
World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2015, 71
juta orang hidup dengan infeksi VHC kronis di seluruh dunia (prevalensi global: 1%)
dan 399.000 meninggal karena sirosis atau karsinoma hepatoseluler (HCC) yang
berhubungan dengan infeksi virus hepatitis C tersebut.2,5,6

1
BAB II. DIAGNOSIS

2.1. Definisi
Hepatitis merupakan penyakit peradangan pada hati yang dapat
disebabkan oleh berbagai penyebab antara lain infeksi virus (hepatotropik dan
non-hepatotropik), bakteri atau jamur, autoimun, toksin, dan lain-lain. Infeksi
virus dapat menyebabkan timbulnya cedera, peradangan, bahkan kematian sel-
sel yang terinfeksi pada organ hati. Virus Hepatitis C (VHC) merupakan salah
satu virus penyebab hepatitis dan dianggap menimbulkan dampak yang paling
besar di antara virus-virus lain penyebab hepatitis. Kebanyakan orang yang
terinfeksi virus hepatitis C tidak menunjukkan adanya gejala. Kenyataannya,
banyak orang yang tidak tahu bahwa mereka telah terinfeksi virus hepatitis C
hingga muncul kerusakan yang fatal pada organ hati mereka (silent epidemic).
Kerusakan tersebut dapat berupa kegagalan fungsi hati, sirosis, atau kanker hati
yang dapat muncul beberapa tahun setelah infeksi (hepatitis C kronis).
Sejumlah penelitian juga membuktikan bahwa kejadian karsinoma
hepatoselular (HCC=Hepatocellular Carcinoma) berkaitan erat dengan infeksi
virus hepatitis C.3,7
Infeksi VHC menyebabkan hepatitis akut dan kronis. Infeksi insiden
terkait dengan gejala awal pada sekitar 20% orang. Pembersihan spontan terjadi
dalam enam bulan setelah infeksi pada 15-45% individu yang terinfeksi tanpa
adanya pengobatan. Sisanya 55-85% mengembangkan infeksi kronis, yang
dapat menyebabkan fibrosis progresif dan sirosis. Risiko sirosis berkisar antara
15% sampai 30% setelah 20 tahun terinfeksi VHC. Awalnya, sirosis dapat
dikompensasi. Dekompensasi dapat terjadi kemudian, menyebabkan perdarahan
varises, asites atau ensefalopati. Setiap tahun, sekitar 1-3% orang dengan sirosis
berkembang menjadi karsinoma hepatoseluler (HCC). Risiko perkembangan
menjadi sirosis dan HCC bervariasi sesuai dengan karakteristik dan perilaku
orang tersebut. Penggunaan alkohol, koinfeksi HBV atau HIV dan
imunosupresi dapat meningkatkan risiko perkembangan menjadi sirosis atau
HCC.5

2
Virus hepatitis C ditemukan pada tahun 1989, dan menjadi penyebab
kasus hepatitis Non-A, Non-B (hepatitis NANB). Hepatitis NANB mempunyai
sifat yang menyerupai hepatitis B yaitu didapatkan umumnya pasca transfusi.
Pada tahun 1970 dikenal kasus hepatitis pasca transfusi. VHC adalah virus
RNA yang digolongkan dalam Flavivirus bersama-sama dengan virus hepatitis
G, yellow fever, dan dengue. Virus ini umumnya masuk ke dalam darah melalui
transfusi atau kegiatan-kegiatan yang memungkinkan virus ini langsung
terpapar dengan sirkulasi darah. Target utama VHC adalah sel-sel hati dan
mungkin juga sel limfosit B melalui reseptor yang mungkin sekali serupa
dengan CD81 yang terdapat di sel - sel hati maupun limfosit sel B atau reseptor
LDL (LDLR).2,3
2.2. Epidemiologi
World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun
2015, 71 juta orang hidup dengan infeksi VHC kronis di seluruh dunia
(prevalensi global: 1%) dan 399.000 meninggal karena sirosis atau karsinoma
hepatoseluler (HCC) yang berhubungan dengan infeksi virus hepatitis C
tersebut. Virus hepatitis C dapat ditemukan di seluruh dunia. Prevalensi VHC
berbeda-beda di seluruh dunia. Di Indonesia belum ada data resmi mengenai
infeksi VHC tetapi dari laporan pada lembaga tranfusi darah didapatkan lebih
kurang 2% positif terinfeksi oleh VHC. Pada studi umum di Jakarta prevalensi
VHC lebih kurang 4%. 2,5,6
WHO memperkirakan pada tahun 2015, 1,75 juta infeksi VHC baru
terjadi, sebagian besar karena penggunaan narkoba suntik dan perawatan
kesehatan yang tidak aman. Umumnya transmisi terbanyak berhubungan
dengan transfusi darah terutama yang didapatkan sebelum dilakukannya
penapisan donor darah untuk VHC oleh PMI. Infeksi VHC juga didapatkan
secara sporadik atau tidak diketahui asal infeksinya. Hal ini dihubungkan
dengan sosial ekonomi rendah, pendidikan kurang, dan perilaku seksual yang
berisiko tinggi. Infeksi dari ibu ke anak juga dilaporkan namun sangat jarang
terjadi, biasanya dihubungkan dengan ibu yang menderita HIV karena jumlah

3
VHC di kalangan ibu yang menderita HIV biasany tinggi. Dilaporkan pula
terjadinya infeksi VHC pada tindakan-tindakan medis seperti endoskopi,
perawatan gigi, dialisis, maupun operasi. VHC dapat bertransmisi melalui luka
tusukan jarum namun diketahui risikonya relatif lebih kecil dari pada VHB
namun lebih besar dari pada VHC.2,6
Umumnya genotipe yang didapatkan di Indonesia adalah genotipe 1
(lebih kurang 60-70 %) diikuti oleh genotipe 2 dan genotipe 3. Dilaporkan
adanya genotipe khas untuk Indonesia yaitu genotipe 1c tetapi sebagian para
ahli menganggap genotipe ini sama dengan genotipe 1 lainnya yang sudah
dilaporkan hanya saja laporan terdahulu menggunakan metode yang hanya
melihat sebagian kecil gen VHC saja.2
Prevalensi yang tinggi didapatkan pada beberapa kelompok pasien
seperti pengguna narkotika suntik (> 80 %) dan pasien hemodialisis (70 %).
WHO memperkirakan pada tahun 2015, 1,75 juta infeksi VHC baru terjadi,
sebagian besar karena penggunaan narkoba suntik dan perawatan kesehatan
yang tidak aman. Pada kelompok pengguna narkotika suntik ini selain infeksi
VHC yang tinggi, ko-infeksi dengan HIV juga dilaporkan tinggi (> 80 %).
VHC didapatkan pada saliva pasien tetapi infeksi VHC melalui saliva dan
kontak-kontak lain dalam rumah tangga diketahui sangat tidak efisien untuk
terjadinya infeksi dan transmisi VHC sehingga amat jarang ditemukan adanya
transmisi VHC melalui hubungan dalam rumah tangga.2

2.3. Etiologi
Virus Hepatitis C merupakan penyebab penyakit hepatitis non-A dan
non-B NANB). Virus ini memiliki selubung (envelope) dan RNA yang berupa
untaian positif. Partikel virus hepatitis C berukuran antara 30-60 nm
(nanometer). Genom dari virus hepatitis C memiliki 9.600 pasangan basa yang
mengkode pembentukan 10 protein. Virus hepatitis C berada dalam famili
Flaviviridae dan genus Hepacivirus. Virus hepatitis C memiliki 6 genotipe yang
berbeda serta beberapa subtype yang diduga memiliki pengaruh yang berbeda-

4
beda terhadap respon imun maupun terapi (gambar 2.1). Meskipun RNA VHC
dapat terdeteksi dalam serum, ginjal, maupun nodus limpa pada pasien yang
menderita hepatitis C, namun percobaan secara invivio dan invitro
membuktikan bahwa VHC adalah virus hepatotropic yang hanya bereplikasi
dalam sel-sel hati (hepatocyte).2,3,5

Gambar 2.1. Distribusi genotipe VHC di seluruh dunia.5


Virus ini umumnya masuk ke dalam darah melalui transfusi atau
kegiatan-kegiatan yang memungkinkan virus ini langsung terpapar dengan
sirkulasi darah. Target utama VHC adalah sel-sel hati dan mungkin juga sel
limfosit B melalui reseptor yang mungkin sekali serupa dengan CD81 yang
terdapat di sel-sel hati maupun limfosit sel B atau reseptor LDL ( LDLR ).2
Setelah berada dalam sitoplasma sel hati, VHC akan melepaskan
selubung virusnya dan RNA virus siap untuk melakukan translasi protein dan
kemudian replikasi RNA. Struktur gen VHC adalah sebuah RNA untai tunggal,
positif sepanjang kira-kira 10.000 pasang basa dengan daerah open reading
frame (ORF) diapit oleh susunan nukleotida yang tidak ditranslasikan

5
(untranslated region atau UTR) pada masing - masing ujung 5' dan 3'. Kedua
ujung gen VHC yang tidak ditranslasikan ini diketahui sangat terpelihara
(conserved) sehingga saat ini dipakai untuk identifikasi adanya infeksi VHC,
terutama pada ujung 5'. Regio ini juga sedang diteliti untuk digunakan dalam
terapi hepatitis C karena berperan dalam replikasi virus ini.2
Translasi protein VHC dilakukan oleh ribosom sel hati yang akan mulai
membaca RNA VHC dari satu bagian spesifik (internal ribosom entry site atau
IRES) yang terdapat di regio 5'UTR.2
Daerah ORF akan menghasilkan satu poliprotein yang terdiri dari 3011
asam amino. Asam-asam amino yang dihasilkan ORF ini akan diproses oleh
peptidase sel hati untuk protein-protein struktural VHC (dari core dan envelope
region ) dan protease-protease yang dikode oleh VHC untuk protein-protein
regulator dari regio non-struktural (NS region). Sampai saat ini telah dikenal 3
macam protein struktural (core , E1 dan E2) maupun 7 protein non-struktural
(regulator) yaitu: NS2, NS3, p7, NS4a, NS4b, NS5a, dan NS5b.2
Protein core dalam proses pengemasan virus setelah keluar dari sel akan
membungkus RNA VHC untai tunggal positif di retikulum endoplasma. Protein
ini juga ditemukan dalam nukleus sel hati dan mungkin bertanggung jawab
dalam timbulnya kerusakan sel hati atau dalam fungsi penekanan imunoregulasi
dan apoptosis sel hati yang terinfeksi VHC.2
Dua bagian dari regio E2 dikenal sebagai hypervariable region (HVR1
dan HVR2) karena susunan nukleotidanya sangat bervariasi dan merupakan
hasil interaksi antara virus dengan sistem imunologik yang khas untuk VHC.
Regio E2 juga mentranslasikan CD81 yang berperan sebagai reseptor virus
untuk infeksi ke dalam sel. Antibodi terhadap protein E2 ini dapat protektif
pada percobaan dengan simpanse. Regio E2 ini juga memuat sequence yang
identik dengan tempat fosforilasi protein kinase interferon (PKR) yang
mungkin berperan dalam kerentanan VHC terhadap terapi interferon.2
Regio NS2,3 dan 4A menghasilkan protease, NS3 menghasilkan
helikase dan NS5B menghasilkan RNA dependent RNA polymerase. Di antara

6
regio NS2 dan E, terdapat regio yang menghasilkan protein p7 mungkin
berfungsi sebagai saluran (chanel) ion di membran selular. Bagian dari regio
NS5A juga ditengarái mempunyai hubungan dengan keberhasilan terapi dengan
interferon sehingga disebut sebagai interferon sensitivity determining region
(ISDR) walaupun hal ini masih kontroversial.2
Protein-protein yang dihasilkan VHC berfungsi penting dalam siklus
hidup virus ini sehingga banyak penelitian yang berusaha memanfaatkan
protein-protein tersebut maupun regio dalam gen VHC itu untuk membuat
antivirus yang efektif. Virus ini bereplikasi melalui RNA dependent RNA
polymerase yang akan menghasilkan salinan RNA virus tanpa mekanisme
proof-reading (mekanisme yang akan menghancurkan salinan nukleotida yang
tidak persis sama dengan aslinya). Kondisi ini akan menyebabkan timbulnya
banyak salinan-salinan RNA VHC yang sedikit berbeda namun masih
berhubungan satu sama lain pada seorang pasien yang disebut sebagai
quasispecies. Perbedaan nukleotida di antara quasispecies tidak lebih dari 10 %
namun menimbulkan masalah pada pengenalan sistem imunologik pasien
terhadap virus ini karena perbedaan struktur antigen yang di ekspresikan oleh
VHC.2
Kecepatan replikasi VHC sangat besar, melebihi HIV maupun VHB.
Data yang ada menunjukkan replikasi VHC terjadi dalam sitoplasma sel hati
dengan membuat salinan RNA negatif sementara yang dilakukan oleh RNA
dependent RNA polymerase; protein yang dikode oleh regio NS5B pada gen
VHC. Melalui salinan RNA negatif ini dibuat salinan-salinan RNA positif.
Untuk kegiatan replikasi ini, VHC memerlukan semua aktivitas enzim-
enzimnya, gen p7 dan susunan ujung 3' yang tepat. Untai ganda RNA ini akan
diurai oleh helikase VHC (hasil translasi NS3) dan dalam proses pengeluaran
virus dari sel, untai RNA positif tunggal yang dimasukkan dalam protein C
(core) dan E (envelope).2
Susunan gen-gen yang berbeda pada regio 5'UTR, core maupun NS5B
diketahui dapat menggolongkan VHC dalam beberapa genotipe dan subtipe.

7
Genotipe dipisahkan oleh perbedaan susunan gen lebih kurang 30% sedangkan
subtipe dipisahkan oleh perbedaan susunan gen < 10%. Saat ini telah
diidentifikasi 6 genotipe yang berbeda dengan subtipe yang banyak dan setiap
saat bertambah terus. Di Indonesia, Amerika serikat, dan Eropa barat terbanyak
adalah genotipe 1a dan 1b. Lebih dari 60% diantara genotipe yang berhasil
diidentifikasi pada beberapa studi di Indonesia merupakan genotipe 1a dan 1b.2

Gambar 2.2. Siklus hidup virus hepatitis C (HCv) dan target potensial untuk antivirus kerja
langsung (DAA). Catatan: (A) Virus masuk melalui endositosis yang diperantarai reseptor. (B)
Fusi dan uncoating terjadi dan RNA genomik HCv dilepaskan dari nukleokapsid ke dalam
sitoplasma. (C) Translasi menjadi satu poliprotein besar terjadi di retikulum endoplasma. (D)
Poliprotein ini kemudian dipecah oleh virus dan protease inang menjadi 10 protein HCv
matang, termasuk protein struktural (protein inti HCv dan protein amplop E1 dan E2) dan
protein non-struktural (P7, NS4A, NS4B, NS5A, dan NS5B) . (E) Protein virus dan pejamu ini
membentuk kompleks replikasi terikat membran. (F) Transkripsi berlangsung, bergantung pada
RNA helicase (RNA-dependent RNA polymerase atau NS5B polimerase) di mana RNA untai
positif berfungsi sebagai cetakan untuk transkripsi. (G) perakitan virion terjadi di aparatus
Golgi ketika glikoprotein virus bergabung dengan RNA yang baru diproduksi. (H) pematangan
virion, tunas dan pelepasan dari hepatosit terjadi.8

8
2.4. Patofisiologi
Studi mengenai mekanisme kerusakan sel-sel hati oleh VHC masih
belum jelas karena terbatasnya kultur sel untuk VHC. Namun beberapa bukti
menunjukkan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan sel-
sel hati.2
Protein core misalnya, diperkirakan menimbulkan reaksi pelepasan
radikal oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini mampu berinteraksi
pada mekanisme signaling dalam inti sel terutama berkaitan dengan penekanan
regulasi imunologik dan apoptosis.2
Jika masuk ke dalam darah maka VHC akan segera mencari hepatosit
dan mengikat suatu reseptor permukaan yang spesifik (reseptor ini belum
diidentifikasi secara jelas). Protein permukaan sel CD81 adalah suatu VHC
binding protein yang memainkan peranan masuknya virus. Protein khusus virus
yaitu protein E2 nenempel pada receptor site di bagian luar hepatosit. Virus
dapat membuat sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya sendiri.
Selama proses ini virus menutup fungsi normal hepatosit atau membuat lebih
banyak lagi hepatosit yang terinfeksi.1,2
Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk
terjadinya eliminasi menyeluruh pada infeksi akut. Reaksi inflamasi yang
dilibatkan meliputi rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya dan menyebabkan
aktivitas sel-sel stelata di ruang disse hati. Sel-sel yang khas ini sebelumnya
dalam keadaan tenang (quiescent) kemudian berploriferasi menjadi aktif
menjadi sel-sel miofibroblas yang dapat menghasilkan matriks kolagen
sehingga terjadi fibrosis dan berperan aktif menghasilkan sitokin pro-inflamasi.
Proses ini berlangsung terus-menerus sehingga dapat menimbulkan kerusakan
hati lanjut dan sirosis hati.2
Sama seperti virus hepatitis lainnya, VHC dapat menyebabkan suatu
hepatitis akut yang sulit dibedakan dengan hepatitis virus akut lain. Gejala
hanya dilaporkan terjadi pada 15% kasus, sehingga diagnosa harus tergantung
pada positifnya hasil pemeriksaan anti-HCV atau pemeriksaan VHC RNA yang

9
biasanya terdeteksi lebih awal sebelum munculnya antibodi anti-HCV
(serokonversi). Dari semua individu dengan infeksi hepatitis C akut, 75-80%
akan berkembang menjadi infeksi kronik.1,2
2.5. Manifestasi Klinis
Sama seperti virus hepatitis yang lain, HCV dapat menyebabkan suatu
penyakit hepatitis akut yang kemungkinannya, sulit dibedakan dengan hepatitis
virus akut lain. Manifestasi klinis infeksi hepatitis C akut bervariasi mulai dari
asimptomatik (80%) sampai bergejala (20%). Manifestasi klinis bisa saja
muncul dalam waktu 7-8 minggu (dengan kisaran 2-26 minggu) setelah
terpapar dengan HCV, namun sebagian besar penderita umumnya tidak
menunjukkan gejala atau hanya menunjukkan gejala yang ringan (gambar 2.3).
Selama masa inkubasi ini, HCV RNA pasien bisa positif dan meningkat hingga
munculnya jaundice. Selain itu juga bisa muncul gejala-gejala fatique, tidak
napsu makan, mual dan nyeri abdomen kuadran kanan atas. Dari semua
individu dengan hepatitis C akut, 70-90% akan berkembang menjadi infeksi
kronis.1,2,9
Infeksi kronik sering kali tidak menimbulkan gejala apapun walaupun
proses kerusakan hati berjalan terus. Hilangnya VHC setelah terjadinya
hepatitis kronik sangat jarang terjadi. Diperlukan waktu 20-30 tahun untuk
terjadinya sirosis hati yang akan terjadi pada 15-20% pasien hepatitis C kronik.
Kerusakan hati akibat infeksi kronik tidak dapat tergambar pada pemeriksaan
fisis maupun laboratorik kecuali bila sudah terjadi sirosis hati. Pada pasien
dimana ALT selalu normal, 18-20% sudah terdapat kerusakan hati yang
bermakna, sedangkan diantara pasien dengan peningkatan ALT, hampir
semuanya sudah mengalami kerusakan hati sedang sampai berat.2,9

10
Gambar 2.3. Infeksi akut VHC dengan resolusi dan Infeksi kronik VHC1.
Progresifitas hepatitis kronik menjadi sirosis hati tergantung beberapa
faktor risiko yaitu asupan alkohol, ko - infeksi dengan virus hepatitis B atau
Human Immunodeficiency Virus (HIV), jenis kelamin laki - laki, dan usia tua
saat terjadinya infeksi. Setelah terjadi sirosis hati sebanyak 1-5% per tahun
berkembang menjadi karsinoma hepatoselular (KHS). Kanker hati dapat terjadi
tanpa melalui sirosis hati walaupun hal ini amat jarang terjadi. Ko - infeksi
VHC dengan HIV diketahui menjadi masalah karena dapat memperburuk
perjalanan penyakit hati yang kronik, mempercepat terjadinya sirosis hati dan
mungkin pula mempercepat penurunan sistem kekebalan tubuh erutama infeksi
oleh VHC genotype 1. Adanya ko-infeksi VHC dan HIV juga menyulitkan
terapi dengan obat-obatan anti retrovirus karena memperbesar proporsi pasien
yang menderita gangguan fungsi hati dibandingkan dengan mereka yang tidak
terdapat ko-infeksi VHC-HIV. Di Indonesia permasalahan ko-infeksi VHC dan
HIV banyak ditemukan pada pengguna narkotika suntik yang menggunakan
alat suntik bergantian. Lebih dari 80% pengguna narkotika suntik terinfeksi
oleh VHC. Pada populasi ini juga ditemukan semakin tingginya proporsi
kejadian hepatotoksisitas penggunaan obat antiretroviral (ALT > 5 kali nilai
normal) pada mereka dengan ko-infeks VHC-HIV dibandingkan dengan
mereka yang hanya menderita infeksi HIV saja. Proporsi hepatotoksisitas juga
narkotika di Indonesia . semakin meningkat bila terdapat ko-infeksi VHC - HIV

11
dan VHB yang juga tidak jarang ditemukan pada pengguna narkotika di
Indonesia.2,9
Ko-infeksi VHC dengan virus hepatitis B (VHB) juga memperburuk
perjalanan penyakit pasien. Dilaporkan kejadian sirosis hati relatif lebih banyak
ditemukan pada mereka yang menderita ko-infeksi VHC-VHB dibandingkan
dengan VHC atau VHB saja. Selain itu, risiko terjadinya kanker hati meningkat
menjadi amat tinggi pada mereka yang menderita ko-infeksi ini dibandingkan
hanya terinfeksi salah satu virus tersebut saja.2
Superinfeksi oleh virus hepatitis A (VHA) pada pasien yang telah
terinfeksi VHC dilaporkan dapat menjadi hepatitis akut yang berat maupun
hepatitis fulminant. Untuk itu, pasien VHC yang belum pernah terinfeksi VHA
(anti-HAV total negatif) dianjurkan untuk vaksinasi terhadap infeksi VHA.2
Selain gejala-gejala gangguan hati, dapat pula timbul manifestasi
ekstrahepatik, yaitu krioglobulinemia dengan komplikasi-komplikasinya
(glomerulopati, kelemahan, vaskulitis, purpura, atau artralgia), porphyria
cutanea tarda , sicca syndrome , atau lichen planus. Patofisiologi gangguan-
gangguan ekstra hepatik ini belum diketahui pasti, namun dihubungkan dengan
kemampuan VHC untuk menginfeksi sel-sel limfoid sehingga mengganggu
respons sistem imunologis. Sel-sel limfoid yang terinfeksi dapat berubah
sifatnya menjadi ganas karena dilaporkan tingginya angka kejadian limfoma
nonHodgkin pada pasien dengan infeksi VHC.2,9

Gambar 2.4. Perjalanan alamiah infeksi virus hepatitis C.1

12
2.6. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan anti-HCV merupakan pilihan utama alat diagnostik untuk
mendeteksi infeksi hepatitis C. Apabila pemeriksaan awal terdeteksi anti-HCV
positif harus dilanjutkan dengan pemeriksaan HCV RNA. Pada infeksi hepatitis
C akut , RNA VHC dapat terdeteksi dalam 7-10 hari setelah paparan kemudian
anti-HCV mulai dapat terdeteksi di dalam darah 2-8 minggu setelah paparan.
Saat diagnosis awal hepatitis C akut, pemeriksaan anti-HCV positif hanya
ditemukan pada sekitar 50 % pasien. Diagnosis hepatitis C akut dapat
ditegakkan jika terjadi serokonversi anti-HCV pada pasien yang sebelumnya
telah diketahui anti-HCV negatif , oleh karena tidak adanya penanda serologi
yang dapat membuktikan infeksi akut VHC. Pada kasus pasien dengan gejala
yang sesuai (alanine aminotransferase ( ALT ) > 10x nilai batas atas normal ,
ikterik) tanpa adanya riwayat penyakit hati kronik atau penyebab lain hepatitis
akut, dan /atau sumber penularan dapat diidentifikasi maka dapat dicurigai
hepatitis C akut, meskipun 80% infeksi hepatitis C akut bersifat asimptomatik.9
Diagnosis hepatitis C kronik harus dibuktikan dengan keberadaan anti-
HCV dan HCV RNA positif>6 bulan dan atau disertai dengan gejala penyakit
hati kronik.1,2,9
Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi anti-HCV dengan
menggunakan tekhnik enzyme linkage immunosorbent assay (ELISA) atau
chemiluminescent immunoassay (CLIA). Apabila dari pemeriksaan ELISA atau
CLIA didapatkan hasil anti-VHC positif maka seseorang dapat dinyatakan
terinfeksi virus hepatitis C dan dilanjutkan dengan pemeriksaan RNA VHC.
Apabila terdapat keterbatasan akses pemeriksaan laboratorium, dapat
dipertimbangkan pemeriksaan anti VHC menggunakan uji diagnostik
cepat/rapid diagnostic test (RDT). Pemeriksaan tes serologis tunggal, baik RDT
maupun tes immunoassay, dapat digunakan untuk skrining anti-HCV. Adapun
RDT yang digunakan harus memenuhi standar performa yang baik, yaitu
sensitivitas minimal 98% dan spesifisitas 97%, sesuai rekomendasi WHO.
Skrining diutamakan untuk setiap populasi dengan kecurigaan klinis hepatitis

13
viral kronik, populasi remaja dan dewasa dengan perilaku berisiko, atau
merupakan bagian dari populasi dengan prevalensi tinggi. Pemeriksaan RDT
tunggal dalam hal ini dapat menjembatani akses menuju konfirmasi penegakan
diagnosis melalui pemeriksaan RNA VHC untuk kemudian dilanjutkan dengan
terapi.9
Mengingat masa serokonversi anti-HCV 5-10 minggu setelah paparan
sehingga pemeriksaan anti-HCV saja dapat menyebabkan terjadinya
misdiagnosis pada sekitar 30% kasus hepatitis C akut. Selain itu, pada pasien
dengan imunodefisiensi (pasien HIV, pasien hemodialisis dan penggunaan
obat-obat imunosupresan) pemeriksaan anti-HCV dapat memberikan hasil
negatif palsu. Pada kondisi tersebut atau apabila kecurigaan infeksi hepatitis C
cukup besar maka diperlukan pemeriksaan lanjutan yaitu pemeriksaan RNA
VHC. Pemeriksaan RNA VHC dengan real time-PCR dapat mendeteksi
keberadaan jumlah virus VHC sampai muatan <15 IU/mL. Pemeriksaan ini
penting untuk menegakkan diagnosis maupun pemantauan terapi antivirus.
Pada era Direct Acting Antiviral (DAA), kebutuhan kuantifikasi RNA menjadi
berkurang, melainkan lebih diutamakan untuk deteksi dan pemantauan respons
pengobatan. Dengan demikian, pemeriksaan RNA VHC kualitatif serta
pemeriksaan antigen core VHC berpotensi untuk dipakai. Pada infeksi hepatitis
C kronik didapatkan bukti anti-HCV dan RNA VHC positif disertai tanda-tanda
hepatitis kronik. Interpretasi hasil anti-HCV dan RNA VHC dapat dilihat pada
tabel 2.1.9
Tabel 2.1. Interpretasi hasil anti-HCV dan RNA VHC.9

14
Untuk meminimalkan risiko penularan hepatitis C melalui donor darah,
maka Palang Merah Indonesia (PMI) melakukan penapisan terhadap darah
donor menggunakan Nucleic Acid Testing (NAT). Keunggulan utama NAT
adalah kemampuannya mendeteksi keberadaan RNA VHC pada masa window
period (sejak terinfeksi sampai anti-HCV positif di dalam darah = 60 hari).9

Identifikasi derajat keparahan penyakit hati kronik atau sirosis hati


penting untuk menilai prognosis, respon terapi dan kesintasan karsinoma
hepatoselular. Pemeriksaan awal menggunakan ultrasonografi (USG) abdomen
dilakukan untuk mengidentifikasinya. Biopsi hati merupakan baku emas untuk
menilai derajat nekroinflamasi (grading) dan fibrosis (staging) hati. Menilai
derajat fibrosis hati pada infeksi hepatitis C kronik penting dalam membuat
keputusan untuk memulai terapi antivirus dan juga menentukan prognosis.
Seiring dengan ditemukannya berbagai metode non-invasif yang mampu
menilai derajat fibrosis hati, biopsi hati mulai ditinggalkan. Saat ini untuk
menilai derajat fibrosis hati dapat menggunakan pemeriksaan transient

15
elastography (fibroscan). Alat ini dapat secara akurat membedakan antara tahap
fibrosis ringan dengan sirosis, namun kurang baik dalam membedakan antara
derajat fibrosis sedang dan berat. Keakuratan hasil pemeriksaan transient
elastography dipengaruhi oleh faktor usia, obesitas aktivitas nekroinflamasi.
Beberapa pemeriksaan penanda fibrosis seperti Aspartate Aminotransferase -
Platelet Ratio index/APRI, FIBROSpect II, Hepascore, FibroMeter, FIB-4 dan
FibroTest juga dapat digunakan untuk menilai derajat fibrosis. Penggunaan
kombinasi antara transient elastography dengan penanda fibrosis dapat
meningkatkan akurasi dalam menilai derajat fibrosis hati. Pemeriksaan non-
invasif yang lazim dilakukan di Indonesia adalah USG, transient elastography
(fibroscan) dan Aspartate Aminotransferase - Platelet Ratio index /APRI .9
Deteksi RNA VHC digunakan untuk mengetahui adanya virus ini dalam
tubuh pasien terutama dalam serum sehingga memberikan gambaran infeksi
sebenarnya. Jumlah VHC dalam serum maupun hati relatif sangat kecil
sehingga diperlukan teknik amplifikasi agar dapat terdeteksi. Teknik
polymerase chain reaction (PCR) dimana gen VHC digandakan oleh enzim
polimerase digunakan sejak ditemukannya virus ini dan saat ini umumnya
digunakan untuk menentukan adanya VHC (secara kualitatif) maupun
menentukan jumlah virus dalam serum (kuantitatif). Teknik ini juga dipakai
dalam menentukan genotipe VHC.2
2.7. Diagnosis Banding
 Kolesistitis
Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung mpedu
yag disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam.
Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya
kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi
kandung empedu. Sering dilaporkan bahwa pasien kolesistitis akut
umumnya perempuan, gemuk dan berusia di atas 40 tahun. Pada
pemeriksaan fisis teraba masa kandung empedu , nyeri tekan disertai
tanda-tanda peritonitis lokal (tanda Murphy). Ikterus dijumpai pada 20%

16
kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila
konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran
empedu ekstra hepatik. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya
leukositosis serta kemungkinan peninggian serum transaminase dan
fosfatase alkali. Apabila keluhan nyeri bertambah hebat disertai suhu
tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi
empiema dan perforasi kandung empedu perlu dipertimbangkan.2
 Hepatitis autoimun
Hepatitis autoimun adalah penyakit hati kronik yang menunjukkan
gambaran histologis yang tidak dapat dibedakan dari hepatitis virus
kronik. Perjalanan penyakit ini dapat terlihat tenang namun bisa juga
berat dan biasanya merespons secara dramatis terhadap terapi
imunosupresif. Gambaran khasnya adalah:1
• Didominasi oleh wanita (70%)
• Tidak adanya bukti serologis infeksi virus
• Peningkatan serum Ig-G (kadarnya lebih besar dari 2,5 g/dL)
• Titer autoantibodi tinggi pada 80% kasus
• Keberadaannya bersama-sama dengan penyakit autoimun lain
mencapai 60% dari pasien, penyakit autoimun lain yang dapat
terjadi bersama-sama, antara lain artritis reumatoid, tiroiditis,
sindrom Sjogren, dan kolitis ulseratif.
Hepatitis autoimun dapat dibagi dalam beberapa subtipe berdasarkan
autoantibodi yang dihasilkan, akan tetapi kepentingan klasifikasi ini
dalam penatalaksanaan klinis tidak jelas. Pada kebanyakan pasien
ditemukan antibodi antinukleus/antinuclear antibodies (ANA) yang
beredar, antiantibodi otot polos /anti smooth muscle antibodies
(ASMA), antibodi microsomal liver/kidney, dan atau anti-soluble liver/
pancreas antigen. Antibodi ini dapat dideteksi dengan
imunofIuoresensi atau tes immunosorhent enzim-linked. Diyakini
efektor utama kerusakan seI pada hepatitis autoimun adalah sel T

17
helper CD4 +. Hepatitis autoimun dapat bermanifestasi klinis ringan
sampai hepatitis kronik yang parah. Respons terhadap terapi
imunosupresif biasanya dramatis, meskipun demikian emisi penuh
penyakit ini tidak dimungkinkan. Berisiko menjadi sirosis
dan sebagai penyebab kematian berkisar 5%.1
Walaupun hepatitis autoimun memperlihatkan pola jejas yang
mirip dengan hepatitis virus akut dan kronik namun perjalanan
atau progresi perubahan histologisnya berbeda. Fibrosis khas
pada hepatitis virus terjadi dalam beberapa tahun atau dekade
karena merupakan akumulasi jejas parenkim yang berlangsung
perlahan. Berbeda pada hepatitis autoimun yang pada tahap
awal sudah memperlihatkan jejas seluler dan peradangan yang
berat serta diikuti oleh fibrosis yang terjadi dengan cepat.1
Table 2.2. Virus Hepatitis

18
2.8. Prognosis
Hanya 10-15% pasien yang terinfeksi HCV memiliki infeksi yang
sembuh sendiri, sedangkan pada lainnya, infeksi bersifat progresif. Sekitar 20%
akan mengembangkan sirosis dalam 20 tahun, dan 1 sampai 5% lainnya akan
mengembangkan kanker hati dalam tiga dekade. Perkembangan penyakit ini
lebih sering terjadi pada alkoholik, sirosis, dan mereka yang hidup bersama
dengan infeksi HBV. Individu yang memiliki viral load yang tidak terdeteksi
umumnya memiliki penurunan risiko terkena sirosis dan kematian.10

19
BAB III. PENATALAKSANAAN

3.1. Penatalaksanaan Hepatitis C Akut


Sebagian besar pasien hepatitis C akut adalah asimtomatik. Tatalaksana
hepatitis C akut dapat ditunda sampal 8-16 minggu untuk menunggu terjadinya
resolusi spontan terutama pada pasien hepatitis C akut yang simptomatik. Namun
apabila tidak diterapi, sebanyak 50-90% cenderung akan berlanjut menjadi
kronis. Oleh karenanya, terapi antivirus harus dipertimbangkan untuk mencegah
progresi hepatitis C akut menjadi kronis. Pemberian monoterapi dengan Peg-IFN
dapat diberikan dalam tatalaksana hepatitis akut, diberikan dengan dosis peg-
IFN-α2a 180 mcg / minggu atau peg-IFN- α2b 1.5 mcg/kg/minggu . Monoterapi
dengan Peg-IFN berhasil mencapai SVR24>90%, terlepas dari genotipe VHC
tersebut. Durasi terapi hepatitis C akut diberikan selama 12 minggu tanpa
memandang genotipe. Akan tetapi, pada pasien dengan genotipe IL28B non-CC
pemberian terapi antivirus dapat diberikan lebih awal yaitu 12 minggu karena
kemungkinan terjadinya resolusi spontan lebih rendah. SVR24 pada regimen
monoterapi juga lebih rendah pada pasien dengan koinfeksi HIV.9
Kombinasi Peg-IFN dengan ribavirin dilaporkan tidak meningkatkan SVR24
pada pasien monoinfeksi VHC, namun dipertimbangkan pada pasien dengan
respon lambat dan koinfeksi HIV, diberikan dengan dosis 1000 atau 1200 mg
pada pasien < 75 kg atau > 75 kg. Studi pada pasien dengan koinfeksi VHC
genotipe 1 dan HIV menunjukkan peningkatan SVR24 pada pasien yang
diberikan tambahan ribavirin dengan durasi pemberian 24 minggu. Hasil SVR
yang tinggi (>90 %) dilaporkan pada sejumlah studi kecil menggunakan regimen
berbasis sofosbuvir. Waktu yang ideal untuk memulai terapi saat ini masih belum
dapat ditentukan secara pasti, demikian pula halnya dengan durasi terapi optimal.
Meskipun demikian, pasien dengan infeksi VHC akut dapat diterapi
menggunakan regimen sofosbuvir/ledipasvir (genotipe 1, 4, 5, atau 6), sofosbuvir
daclatasvir (semua genotipe), dan sofosbuvir/velpatasvir (semua genotipe)
selama 8 minggu. Apabila terdapat koinfeksi HIV atau kadar RNA VHC > 1 juta
9
Waktu yang ideal untuk memulai terapi memang belum disepakati. Namun

20
beberapa peneliti menganjurkan onset peningkatan ALT dengan atau tanpa gejala
klinis adalah waktu yang tepat untuk memulai terapi. Selain itu tidak ada bukti
yang menunjukkan perlunya terapi antivirus sebagai profilaksis paska pajanan
apabila memang tidak ditemukan bukti adanya transmisi VHC.9
3.2. Penatalaksanaan Infeksi Hepatitis C Kronik
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, pilihan terapi standar untuk hepatitis C
kronik adalah terapi kombinasi antara Pegylated Interferon (Peg-IFNα) dan
ribavirin (RBV). Terapi ini memberikan hasil yang kurang memuaskan pada
pasien dengan genotipe 1 karena hanya 40-50 % pasien yang berhasil mencapai
sustained virological respons (SVR24) sedangkan pada genotipe 2 dan 3 sekitar
80% dapat mencapal SVR24. Kemajuan yang dicapai pada terapi hepatitis C
kronik adalah penemuan agen direct acting antivirus (DAA). DAA yang pertama
kali dipakai di Indonesia adalah boceprevir, yang merupakan kelompok obat
generasi pertama. Pada awalnya, boceprevir diberikan sebagai tambahan bagi
kelompok pasien yang tidak merespons terapi peg-IFN dan ribavirin. Seiring
dengan perkembangan DAA, muncul kelompok DAA generasi baru, yaitu
simeprevir, sofosbuvir, ledipasvir, daclatasvir, elbasvir, dan grazoprevir. Obat-
obat ini memiliki angka SVR12 yang lebih tinggi dibandingkan dengan terapi
berbasis interferon, waktu pengobatan yang lebih singkat, tersedia dalam sediaan
oral dan memiliki efek samping yang lebih sedikit. DAA yang tersedia di
Indonesia saat ini adalah sofosbuvir, ledipasvir/sofosbuvir, simeprevir, dan
daclatasvir, sementara elbasvir/grazoprevir dan velpatasvir/sofosbuvir
direncanakan untuk masuk ke Indonesia di masa yang akan datang.9
Mekanisme obat antivirus yang digunakan pada pengobatan hepatitis C
kronik, antara lain:
A. Mekanisme Kerja Pegylated Interferon (Peg-IFN) Interferon merupakan
protein yang dihasilkan oleh tubuh dan bersifat sebagai imunomodulator.
Mekanisme kerja interferon adalah menghambat berbagai tahap replikasi
virus meliputi saat virus masuk dalam sel tubuh, uncoating, sintesis
mRNA dan sintesis protein. Pegylated ditambahkan dalam formula obat

21
untuk membuat interferon bertahan lebih lama di dalam tubuh . Manfaat
lainnya meliputi penurunan toksisitas, meningkatkan stabilitas obat,
perlindungan terhadap proteolisis dan memperbaiki daya larut. Pemberian
Peg-IFN 1x/minggu juga membantu meningkatkan kepatuhan pasien dan
memberikan kenyaman bagi pasien. Terdapat beberapa tipe Peg-IFN,
namun yang sering digunakan dalam pengobatan hepatitis C adalah Peg-
IFNα2a dan Peg-IFNα2b.9
B. Mekanisme kerja ribavirin masih belum sepenuhnya dimengerti. Saat ini
terdapat beberapa hipotesis mengenal mekanisme kerja ribavirin yaitu:
 Menghambat langsung replikasi VHC
 Menghambat enzim inosine monophosphate dehydrogenase pada
tubuh pasien
 Menginduksi mutagenesis RNA virus
 Imunomodulasi melalui induksi sel respon imun T- helper 1 (Thl)
Ribavirin cepat diabsoprsi (waktu paruh sekitar 2 jam) dan
didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh setelah pemberian
oral, metabolisme utama terjadi di ginjal.
C. Mekanisme Kerja DAA.
DAA merupakan tulang punggung utama dalam terapi hepatitis C saat
ini. Setidaknya terdapat lebih dari 30 jenis pilihan DAA, dengan tiga
mekanisme kerja utama. Kelompok pertama merupakan NS3/4A protease
inhibitor (berakhiran-previr). NS3 serine protease adalah suatu enzim
yang mengkatalisasi proses post-transkripsi protein yang penting untuk
replikasi virus hepatitis C dan NS4A adalah kofaktor dari NS3 untuk
mempercepat proses tersebut. Kelompok obat ini secara langsung
menghambat kerja enzim dan kofaktor tersebut sehingga akan menekan
proses replikasi VHC. NS3/4A protease inhibitor ini terdiri atas dua
generasi yaitu boceprevir dan telaprevir sebagai generasi pertama dengan
bentuk linear dan barrier genetik rendah; serta generasi ke dua yang
memiliki bentuk makrosiklik, aktivitas pan-genotipik, dan barrier genetik

22
menengah atau tinggi, yaitu faldaprevir, simeprevir, asunaprevir,
vaniprevir, paritaprevir, grazoprevir, dan sovaprevir.9
Kelompok ke dua merupakan NSSA protein inhibitor (berakhiran-
asvir), terbagi atas dua generasi, yaitu generasi pertama dengan barrier
genetik menengah yang terdiri atas daclatasvir, ledipasvir, dan
ombitasvir, dan generasi ke dua dengan aktivitas pan-genotipik dan
barrier genetik tinggi yang terdiri atas elbasvir, velpatasvir, dan
odalasvir.9
Kelompok ke tiga merupakan analog NSSB polymerase inhibitor
(berakhiran-buvir), yaitu golongan nukleotida/inhibitor kompetitif dengan
aktivitas genotipik luas dan barrier resistensi tinggi, misalnya sofosbuvir;
serta non-nukleotida/inhibitor alosterik dengan barrier resistensi
menengah, misalnya becalbuvir dan dasabuvir. Sofosbuvir merupakan
prodrug nukleotida uridine inhibitor NS5B. Setelah diabsorbsi, sofosbuvir
dimetabolisme di hepar, untuk kemudian dikonversi menjadi bentuk
nukleosida trifosfat aktif. Struktur NS5B polymerase menyerupai
karakteristik "tangan kanan" yang tersusun atas domain jari, telapak
tangan, dan ibu jari, dengan setidaknya 5 situs potensial untuk pengikatan
inhibisi alosterik, yaitu ibu jari (situs 1 dan 2) , telapak tangan (situs 3,4 ,
dan 5) . Adapun situs yang dijadikan target inhibisi oleh becalbuvir dan
dasabuvir ialah situs 1, 3, dan 2.

Gambar 3.1.
Mekanisme kerja
direct acting
antivirus.9

23
Tabel 3.1 Farmakologis DAA.9

Terkait dengan barrier resistensinya, regimen DAA berhadapan dengan risiko


resistensi apabila diberikan pada kelompok yang terinfeksi oleh varian khusus
yang dikenal sebagai resistant associated variants (RAV). Pada NS3/4A
inhibitor, varian yang memiliki susbtitusi Q80K dikaitkan memiliki potensi
resistensi atau kegagalan terapi yang lebih tinggi. Demikian pula halnya dengan
inhibitor NS5A yang berhadapan dengan risiko resistensi akibat substitusi
M28T, Q30R, 131M / V, dan Y93H / N untuk infeksi virus genotipe 1, dimana
RAV ini juga dapat mempengaruhi repsons terapi. Dengan demikian, pada
setiap kasus kecurigaan resistensi atau kegagalan terapi dengan regimen DAA,
diperlukan pemeriksaan resistensi genotipik . Hasil pemeriksaan ini akan
dijadikan sebagai pertimbangan untuk modifikasi terapi, baik melalui
pemanjangan durasi, penambahan agen lain terutama ribavirin, maupun
substitusi regimen.9

24
Terapi hepatitis C saat ini dapat dilakukan dengan strategi pengobatan dual
therapy (kombinasi Peg-IFN dan ribavirin) atau non dual therapy (kombinasi DAA
dengan atau tanpa regimen Peg-IFN).9

25
26
Gambar 3.2. algoritma untuk diagnosis, terapi, dan pemantauan infeksi kronik HVC5
 Terapi pada HVC dengan dekompensata

27
28
29
30
Gambar3.3. Alur tatalaksana pasien hepatitis C.9
3.3. Penatalaksanaan pada Kondisi Khusus

3.3.1. Pasien dengan Koinfeksi HIV-VHC


Pada dasarnya , seluruh pasien koinfeksi VHC - HIV merupakan
kandidat untuk terapi hepatitis C terlepas dari status fibrosisnya, namun
umumnya terapi berbasis interferon baru dapat dimulai apabila hitung CD4 telah
melebihi 350 sel/mm³. Pada kondisi dimana terapi VHC dan HIV dimulai
bersama-sama, dianjurkan penggunaan ARV terlebih dahulu, menggunakan
regimen yang tidak menyebabkan terjadinya hepatotoksiz. Terapi VHC dimulai
setelah 1-2 bulan setelah dimulainya terapi ARV. Regimen terapi yang
digunakan dalam pengobatan koinfeksi VHC-HIV umumnya sama dengan
pasien pada monoinfeksi VHC, yaitu dengan terapi berbasis DAA sesuai

31
genotipe. Terapi menggunakan regimen DAA dapat dilakukan tanpa
memandang CD4.9

Gambar 3.4. Inisiasi terapi VHC interferon-base pada pasien koinfeksi VHC-HIV.9
Salah satu alternatif pengobatan untuk hepatitis C kronik apabila DAA
tidak tersedia ialah Peg-IFN dan ribavirin , diberikan selama 48 minggu.
Pemberian pegylated interferon dan ribavirin pada beberapa studi terbukti
membantu menurunkan jumlah virus RNA HIV sebesar 1 log. Umumnya
SVR24 yang diperoleh pada kombinasi terapi ini 15-20 % lebih rendah
dibandingkan pasien monoinfeksi . Dalam hal ini RVR , genotipe VHC , muatan
virus, gen IL28B, dan derajat keparahan penyakit hati dapat menjadi prediktor
respons terapi. Adapun terapi antar genotip VHC dimulai dengan syarat yang
berbeda pada koinfeksi HIV - VHC ( gambar 3.5 ). Pada infeksi genotipe 1
dengan jumlah virus yang tinggi, terapi perlu dipertimbangkan untuk ditunda
apabila hasil penilaian fibrosis masih menunjukkan penyakit hati awal (F0/F1),
oleh karena SVR24 yang rendah pada kelompok pasien ini. Ribavirin diberikan
dalam dosis yang disesuaikan dengan genotipe, yaitu sesuai berat badan dan
kadar RNA VHC pada genotipe 1, atau pada dosis D 800 mg/hari pada infeksi
genotipe 2 dan 3.9

32
Gambar 3.5. terapi VHC interferon based antar genotype pada koinfeksi HIV-VHC.9
Pada penggunaan regimen terapi hepatitis C dan HIV secara bersamaan,
diperlukan perhatian khusus pada interaksi obat yang mungkin terjadi (table 3.2).
Tabel 3.2. Interaksi antar obat pada terapi hepatitis C dan HIV.9

Tabel 3.2. Interaksi antar obat pada terapi hepatitis C dan HIV.

33
3.3.2.

Pasien dengan Koinfeksi VHC-VHB


Terapi pada kasus koinfeksi VHC-VHB disesuaikan dengan virus yang lebih
dominan. Umumnya, infeksi VHC lebih dominan ditemukan sebagai penyebab utama
hepatitis kronik. Pada kondisi tersebut, kriteria serta pilihan terapi pada koinfeksi
VHC-VHB sama seperti terapi untuk pasien monoinfeksi VHC. Tingkat SVR12 pada
pasien koinfeksi VHC-VHB pun umumnya sebanding dengan pasien monoinfeksi
VHC.9

34
Terdapat risiko kemungkinan terjadinya reaktivasi VHB selama atau setelah
SVR12 tercapai pasca terapi VHC. Pada kasus tersebut, atau pada kondisi dimana
replikasi VHB terdeteksi secara signifikan, analog nukleosida/nukleotida dapat
diberikan. Diperlukan perhatian khusus terhadap interaksi obat VHB-VHC secara
bersamaan. Terdapat peningkatan risiko neuropati pada pemakaian regimen interferon
bila dikonsumsi bersama dengan telbivudin. Apabila pasien mengonsumsi tenofovir
bersamaan dengan terapi VHC termasuk di dalamnya DAA, diperlukan evaluasi dan
monitoring fungsi ginjal berkala. Koadministrasi ledipasvir dan tenofovir tidak
direkomendasikan pada pasien dengan klirens kreatinin < 60 ml/menit. Sejauh ini,
tidak ditemukan interaksi klinis yang signifikan antara simeprevir dan
lamivudin/tenofovir.9
Pasien dengan kedua hasil anti-HCV dan HBsAg positif, tetapi dengan kadar
serum DNA VHB signifikan dan RNA VHC serum tidak terdeteksi maka dilakukan
kembali pemeriksaan RNA VHC tiga bulan kemudian. Bila pada pemeriksaan
berikutnya ditemukan RNA VHC tetap tidak terdeteksi maka tatalaksana hepatitis B
kronis diberikan pada pasien tersebut.
Pada setiap pasien dengan koinfeksi VHC-VHB , diperlukan pemeriksaan
skrining karsinoma hepatoselular, yang mencakup USG hati dan kadar alfa feto
protein/AFP. Pada pasien yang mengalami infeksi VHC kronik dengan HBsAg dan
anti-HBs negatif , direkomendasikan untuk mendapat vaksinasi hepatitis B. Selain itu,
vaksinasi hepatitis A juga disarankan untuk pasien dengan hepatitis C kronik.9
Tabel 3.3. Interaksi antar obat pada terapi hepatitis C dan VHB.9

35
3.3.3. Pasien dengan Penyakit Gagal Ginjal Kronik
Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
berisiko tinggi terinfeksi VHC. Semakin lama pasien menjalani hemodialisis maka
risiko terinfeksi VHC akan semakin meningkat. Kerusakan hati terkait VHC
menyebabkan penurunan fungsi sistem imun dan terapi dengan IFN-a dapat memicu
penolakan terhadap ginjal cangkok. Oleh karena itu, pasien hemodialisis harus
dilakukan penapisan hepatitis C dengan tes serologi dan RT - PCR saat hemodialisis
pertama atau ketika dikirim dari unit hemodialisis lainnya serta terapi antivirus harus
dipertimbangkan untuk semua pasien hemodialisis yang akan menjadi kandidat
transplantasi ginjal. Pasien hemodialisis yang menjadi kandidat transplantasi ginjal
harus dilakukan pemeriksaan anti HCV setiap 6-12 bulan, dan RT - PCR harus
dilakukan pada pasien dengan peningkatan aminotransferase yang penyebabnya tidak
diketahui.9
Komorbid infeksi VHC dan penyakit ginjal kronik dapat terjadi dalam 2 cara,
yaitu infeksi VHC yang didapat dari prosedur hemodialisis dan penyakit ginjal terkait
VHC. Pasien hemodialisis dengan infeksi VHC, sirosis, ras Asia, dan riwayat
penyalahgunaan alkohol berisiko tinggi menderita karsinoma hepatoselular. Angka
mortalitas pasien hemodialisis dengan infeksi VHC lebih tinggi dibandingkan tanpa
infeksi VHC. Meskipun penyakit kardiovaskular tetap merupakan penyebab utama
kematian pada pasien hemodialisis terlepas dari status VHC.9
Sebelum era DAA berkembang dengan pesat, terapi berbasis Peg-IFN
memiliki efikasi buruk dan efek samping yang tinggi pada penderita PGK dengan
SVR setelah 12 minggu rata-rata 30-50% . Efek samping yang timbul mengakibatkan
pasien tidak melanjutkan pengobatan sehingga angka mortalitas tetap tinggi. Setelah
DAA berkembang, muncullah terapi yang bebas dari Peg-IFN dan / atau ribavirin.
Terapi berbasis DAA banyak diteliti, terutama mengenal efikasi dan keamanan pada
pasien PGK. Berikut ini adalah tabel mengenai farmakokinetik masing-masing
DAA:11

36
Tabel 3.4. Farmakokinetik DAA11

 Tatalaksana infeksi VHC pada GFR ≥30 ml/menit/1,73 m²


Pada penurunan fungsi ginjal ringan-sedang (GFR≥30 ml/menit/1,73 m²)
tidak diperlukan penyesuaian dosis pada kombinasi obat sofosbuvir ribavirin
(SOF -RBV), sofosbuvir dan ledipasvir (SOF-LDV), sofosbuvir dan velpatasvir
(SOF-VEL), sofosbuvir dan daclatasvir (SOF-DCV), grazoprevir dan elbasvir,
sofosbuvir dan simeprevir (SOF-SIM) atau ritonavir-boosted paritaprevir,
ombitasvir, dan dasabuvir (PROD). Penggunaan DAA diberikan sama seperti
penderita non PGK.11
 Tatalaksana infeksi VHC pada GFR <30 ml/menit/1,73 m²
Pasien dengan penurunan fungsi ginjal berat ( eGFR < 30 ml/menit/1,73 m²),
data mengenai keamanan dan e ikasi DAA berbasis sofosbuvir masih terbatas.
Studi TARGET 2.0 melaporkan terdapat penurunan fungsi ginjal disertai gejala
gangguan ginjal pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal berat yang
mendapat regimen berbasis sofosbuvir, meskipun efikasi obat tersebut sama
dengan pasien tanpa gangguan ginjal.11
Terbatasnya data penelitian mengenai regimen sofosbuvir pada pasien
penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) membuat regimen obat tanpa sofosbuvir
menjadi pilihan saat ini. Namun, pada pasien PGK stadium 4 dan 5 dengan
genotipe HCV 2, 3, 5, dan 6, khususnya pasien sirosis dan gagal terapi dimana

37
sofosbuvir menjadi satu-satunya pilihan terapi, maka pemberian sofosbuvir harus
mempertimbangkan risiko dan keuntungan yang didapatkan pasien karena
penurunan fungsi ginjal sewaktu-waktu dapat terjadi. Sedangkan, dasabuvir,
daclatasvir, dan simeprevir yang tidak dieliminasi di ginjal dinyatakan aman pada
pasien PGK stadium 4 dan 5.11
Pasien yang terinfeksi VHC genotipe 1 dan 4 dengan eGFR < 30 ml/menit/
1,73 m², tanpa Indikasi transplantasi ginjal, diberikan terapi kombinasi
grazoprevir/elbasvir selama 12 minggu. Pada pasien yang terinfeksi VHC
genotipe 2 dan memiliki eGFR <30 ml/menit/1,73 m², tanpa indikasi
transplantasi ginjal dan membutuhkan pengobatan infeksi VHC segera, diberikan
terapi kombinasi sofosbuvir dan velpatasvir atau kombinasi sofosbuvir dan
daclatasvir selama 12 minggu. Pengobatan harus dihentikan apabila terdapat
perburukan fungsi ginjal. Pada pasien yang terinfeksi VHC genotipe 3 dan
memiliki eGFR <30 ml/menit/1,73 m², tanpa indikasi transplantasi ginjal dan
membutuhkan pengobatan infeksi VHC segera, diberikan kombinasi sofosbuvir
dan velpatasvir atau kombinasi sofosbuvir dan daclatasvir selama 12 minggu
dengan ribavirin (200 mg / hari) jika Hb >10 g/dl atau selama 24 minggu tanpa
ribavirin. Fungsi ginjal dapat menurun dan harus dimonitor secara ketat.
Pengobatan harus dihentikan segera apabila terdapat perburukan.11
 Regimen Grazoprevir / Elbasvir11
Akibat keterbatasan DAA yang dapat diberikan pada penderita PGK stadium
lanjut, maka banyak penelitian mulai melirik ke regimen grazoprevir/elbasvir,
dimana <1 % regimen tersebut diekskresi ke ginjal. Grazoprevir / elbasvir adalah
kombinasi tetap DAA yang terdiri dari NS3/4A protease inhibitor (grazoprevir
100 mg) dan NS5A replication complex inhibitor (elbasvir 50 mg). Keduanya
memilki sifat antivirus pada virus hepatitis C genotipe 1 dan 4, dimana beberapa
negara sudah menggunakan kombinasi dosis tersebut untuk pengobatan infeksi
VHC. Dosis yang dapat diberikan adalah sekali sehari sebelum atau sesudah
makan. Grazoprevir dan elbasvir dimetabolisme sebagian besar oleh CYP3A4.
Eliminasi obat ini melalui bilier dan feses. Perlu diperhatikan bahwa regimen

38
NS3-4A protease inhibitor seperti simeprevir, PrOD, atau grazoprevir tidak
dapat diberikan pada pasien Child Pugh B dan C sirosis dekompensata atau pada
sirosis kompensata dengan riwayat dekompensasi sebelumnya. Sementara untuk
penderita PGK sendiri, dikatakan tidak diperlukan penyesuaian dosis, baik pada
penurunan ginjal ringan, sedang berat, bahkan pada pasien yang menjalani HD
dan dialisis peritoneal.

3.3.4. Pasien dalam keadaan Hamil


Ribavirin berpotensi teratogenik (kategori X), dan oleh karenanya
dikontraindikasikan untuk digunakan sebagai terapi selama kehamilan. Dalam hal ini,
kehamilan juga menjadi kontraindikasi penggunaan Peg-IFN. Obat DAA generasi
pertama yaitu boceprevir dan telaprevir dimasukan oleh FDA ke dalam kategori B
pada kehamilan. Berdasarkan studi pada hewan, sofosbuvir dan ledipasvir tidak
memiliki efek teratogenik atau embriotoksik. Sofosbuvir dan ledipasvir tampak
memiliki profil farmakokinetik yang cenderung aman, sebaliknya obat lain yaitu
simeprevir dan daclatasvir sepertinya tidak dianjurkan pada kehamilan karena
memiliki sifat teratogenik dengan dosis 4 kali lipat pada hewan. Oleh karena itu FDA
memasukan simeprevir dan daclatasvir ke dalam kategori C, sementara sofosbuvir
dan ledipasvir dikatakan cukup aman (kategori B). Akan tetapi hingga saat ini belum
tersedia data yang adekuat terkait penggunaan DAA selama kehamilan pada manusia.
Dengan demikian, pasien dalam keadaan hamil sebaiknya tidak diberikan terapi
antiviral.9,12
Pada wanita usia reproduktif, tes kehamilan harus dilakukan sebelum memulai
pengobatan VHC dan pada wanita hamil atau yang ingin hamil tidak dapat diberikan
terapi. Kehamilan juga harus dihindari jika pasangan seksual terinfeksi VHC dan
sedang mendapatkan terapi. Kontrasepsi bagi kedua pasangan diperlukan dan harus
mencakup setidaknya dua metode kontrasepsi (metode penghalang berupa kondom
pria, atau penggunaan kondom wanita ditambah spermisida, atau kontrasepsi
intrauterus) yang harus digunakan selama pengobatan VHC dan sampai enam bulan
pasca pengobatan dihentikan, mengingat lamanya waktu paruh dari ribavirin. Tes
kehamilan harus dilakukan rutin setiap bulan dan jika pasien atau pasangan pasien

39
hamil, maka terapi harus dihentikan segera. Adapun kelangsungan kehamilan
dipertimbangkan dengan pasien, keluarga pasien dan pihak lain yang terkait.9
Tabel 3.5. Efek DAA pada kehamilan dan kategori dari FDA9,12

3.3.5. Pasien Pasca Transplantasi Organ


Prevalensi infeksi hepatitis C pada resipien transplantasi organ bervariasi,
tergantung pada organ yang diterima. Belakangan ini, sebanyak 40 % 50 % resipien
transplantasi hati terinfeksi VHC, sedangkan pada resipien transplantasi jantung, paru
atau ginjal ditemukan lebih rendah. Pasien dengan infeksi VHC berulang pasca
transplantasi hati mengalami percepatan terjadinya fibrosis dimana sebanyak 6%-
23% pasien akan berkembang menjadi sirosis. Mengingat penyakit hati terkait infeksi
VHC diketahui sangat progresif dan membuat kesintasan pasien rendah, banyak ahli
menganjurkan terapi antivirus berbasis interferon. Akan tetapi, perihal indikasi terapi,
waktu pengobatan yang tepat dan durasi terapi untuk pasien dengan infeksi VHC
berulang pasca transplantasi masih tidak jelas.9
Penggunaan kombinasi Peg-IFN dan RBV tidak lebih unggul dibandingkan
monoterapi Peg-IFN pada pasien pasca transplantasi. Tingkat SVR24 pada
monoterapi (38 %) serupa dengan terapi kombinasi (33 %). Hasil akhir dari
pemberian terapi berbasis interferon setelah transplantasi hati relatif buruk
dibandingkan pada pasien yang tidak membutuhkan transplantasi hati. Kemunculan
terapi DAA memungkinkan kesuksesan terapi pada pasien kandidat transplantasi dan
setelah transplantasi hati.9

40
 Kandidat Transplantasi Hati
Transplantasi hati merupakan terapi pilihan untuk pasien penyakit hati lanjut .
Akan tetapi, seringkali pasca transplantasi hati mengalami re-infeksi hepatitis C.
Pemberian terapi antivirus pada pasien kandidat transplantasi hati dapat
mencegah re-infeksi hepatitis C jika SVR12 tercapai. Terapi antivirus
diindikasikan pada pasien hepatitis C dengan sirosis hati Child Pugh A yang
menjadi kandidat transplantasi hati akibat adanya karsinoma hepatoselular dan
pada pasien hepatitis C dengan sirosis hati Child Pugh B berdasarkan
pertimbangan pengalaman klinisi (terutama pada pasien yang diprediksi memiliki
respons terapi yang baik , seperti pasien hepatitis C dengan genotipe 2/3). Pasien
hepatitis C dengan sirosis hati Child Pugh C dikontraindikasikan dengan
pemberian interferon akibat risiko tinggi terjadinya komplikasi yang mengancam
jiwa . Pada pasien hepatitis C dengan penyakit hati lanjut, termasuk pasien
dengan karsinoma hepatoselular, yang merupakan indikasi pemberian antivirus
sebelum transplantasi hati maka sebaiknya pemberian antivirus dilakukan secepat
mungkin. Target terapi adalah SVR12 tercapai atau setidaknya sebelum
dilakukan transplantasi hati muatan virus RNA VHC sudah tidak terdeteksi.9
Untuk mencegah rekurensi VHC pada pasien pasca transplantasi hati , pasien
dengan sirosis dekompensata diberikan terapi dengan regimen tanpa interferon
dengan target sebelum transplantasi virus sudah tidak terdeteksi selama minimal
4 minggu. Pasien dengan indikasi transplantasi karena KHS dapat diterapi
dengan regimen yang sama dengan terapi hepatitis C tanpa sirosis atau dengan
sirosis kompensata.P asien dengan indikasi transplantasi karena KHS dapat
diterapi dengan regimen yang sama dengan terapi hepatitis C tanpa sirosis atau
dengan sirosis kompensata.9
 Re-infeksi Hepatitis C Pasca Transplantasi Hati
Pasien pasca transplantasi hati seringkali mengalami reinfeksi hepatitis C,
sekitar sepertiga pasien mengalami sirosis dalam waktu 5 tahun pasca
transplantasi hati. Pasien pasca transplantasi hati yang mengalami re-infeksi
hepatitis C harus dipertimbangkan pemberian terapi antivirus setelah diagnosis

41
hepatitis C kronik ditegakkan dan telah dibuktikan dengan histologi. Adanya
fibrosis secara signifikan atau hipertensi portal setahun pasca transplantasi
merupakan penanda terjadinya kerusakan hati yang cepat dan memerlukan
pemberian terapi antivirus segera. Sekitar 30 % pasien pasca transplantasi hati
yang diberikan dual therapy dapat mencapai SVR12 dan pasien dengan genotipe
2/3 memiliki respons pengobatan yang lebih baik dibandingkan genotype 1.9
Angka SVR12 yang tinggi didapatkan pada penggunaan terapi kombinasi
sofosbuvir dan ledipasvir. Studi terapi berbasis sofosbuvir pada pasien setelah
transplantasi dengan penyakit hati yang berat seperti hepatitis C kolestatik
menunjukkan angka SVR12 sebesar 60-70 %. Ribavirin harus ditambahkan pada
terapi berbasis sofosbuvir dan regimen diberikan selama 24 minggu pada pasien
sirosis dekompensata atau dengan genotipe 3 setelah transplantasi.9
Penggunaaan kombinasi sofosbuvir dan RBV setelah transplantasi selama 24
minggu dalam suatu studi menunjukkan sebanyak 70 % pasien mencapai SVR12.
Pada genotipe 2 , penggunaan kombinasi sofosbuvir dan RBV pada pasien pasca
transplantasi hati memiliki angka SVR12 yang tinggi. Studi lain yang menilai
efikasi dari kombinasi sofosbuvir, ledipasvir, dan RBV selama 12 atau 24
minggu pada genotipe 1 dan 4 menunjukkan angka SVR12 sebesar 97% pada
pasien dengan F0-F3, 96 % pada pasien Child-Pugh A, dan 84 % pada pasien
Child-Pugh B. Data lain dari suatu penelitian yang menilai efikasi dari sofosbuvir
dan simeprevir dengan atau tanpa RBV selama 12 minggu, didapatkan bahwa
angl SVR12 dicapai oleh 91% pasien dengan genotipe 1. Beberapa DAA dapat
mengalami interaksi obat jika diberikan bersama dengan obat imunosupresan
seperti yang terlihat pada table 3.5.9

42
Tabel 3.6. Interaksi DAA dan obat imunosupresan9

 Transplantasi Organ Lainnya.


Terapi VHC kronik dengan kombinasi Peg-IFN/RBV pada resipien
transplantasi ginjal dihubungkan dengan risiko adanya penolakan selular akut
atau kronik sebesar 30% atau lebih. Oleh karena itu, pemberian terapi kombinasi
Peg-IFN/RBV sangat berisiko pada pasien tersebut, sehingga perlu pertimbangan
risiko dan manfaatnya dalam pemberian terapi. Terapi antiviral dapat diberikan
dengan pilihan terapi berbasis DAA sesuai dengan pedoman untuk transplantasi
hati.9
Data mengenai infeksi VHC setelah transplantasi jantung masih langka dan
kontroversial, dan berdasarkan data yang ada tersebut menunjukkan penurunan
angka kesintasan pada pasien yang terinfeksi VHC. Tidak ada studi mengenai
risiko dan manfaat pemberian terapi antivirus untuk pasien tersebut. Pada kondisi
ini, terapi VHC kronik terhadap resipien transplantasi jantung tidak dapat
direkomendasikan dan indikasi harus dinilai berdasarkan kasus per kasus. 9

43
Berdasarkan pada pedoman internasional, infeksi VHC kronik merupakan
kontraindikasi transplantasi paru. Terapi antivirus terhadap kandidat transplantasi
paru sebelum transplantasi dilakukan telah dilakukan oleh beberapa klinisi, tetapi
hal ini masih sangat terbatas dilakukan. Tidak ada data 1 tersedia yang mengenai
pengaruh infeksi VHC dan terapi setelah transplantasi pankreas atau usus halus.9

3.3.6. Pasien Koinfeksi VHC-TB


Infeksi tuberkulosis (TB) ditemukan memiliki peningkatan risiko pada
kelompok berisiko VHC, dengan proporsi sebanyak 2 dari 3 penasun (pengguna
jarum suntik), dan risiko 2-6x lipat pada pasien dengan HIV. Sebagian besar DAA
berinteraksi dengan obat anti tuberkulosis, terutama rifampisin. Pada kasus koinfeksi
VHC-TB terapi obat anti tuberkulosis (OAT) perlu diselesaikan terlebih dahulu
sebelum terapi VHC dimulai. Monitor fungsi hati perlu dilakukan lebih ketat
mengingat risiko induksi hepatotoksisitas yang lebih tinggi dibandingkan pada kasus
monoinfeksi, walaupun kasus hepatotoksisitas berat jarang terjadi.9
Tabel 3.7. Interaksi DAA dan Obat anti tuberculosis.9

3.3.7. Talasemia dan Hemofilia


Terapi standar pasien hepatitis C kronik yang juga menderita talasemia atau
hemophilia adalah kombinasi Peg-IFN dan ribavirin. Studi meta-analisis

44
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat pencapaian SVR24 pada populasi
ini maupun pada populasi umum dengan pemberian terapi kombinasi Peg-IFN dan
ribavirin. Pemberian ribavirin pada populasi ini meningkatkan kebutuhan transfusi
darah sebesar 30 40 % (transfusi darah setiap 3-4 minggu untuk mempertahankan
kadar hemoglobin 9-10 mg / mdL). Saat ini belum ada studi dengan antivirus yang
dipublikasi pada populasi ini, namun uji terkait hal ini sedang berjalan. Dengan
kurangnya data yang tersedia mengenai keamanan penggunaan regimen IFN-free
pada populasi ini, tidak ada alasan untuk mengkontraindikasikan regimen ini. Oleh
karena itu, regimen DAA tanpa ribavirin dapat digunakan pada populasi ini karena
tidak akan memperburuk keadaan anemia.9
Pada pasien hemophilia, perjalanan penyakit hingga end-stage liver disease
serupa dengan pasien VHC positif pada populasi umum. Manajemen hepatitis C
kronik pada pasien hemaofilia sama seperti pada pasien tanpa hemophilia.
Penggunaan DAA dapat diaplikasikan pada populasi ini.9

45
BAB IV. KESIMPULAN
Hepatitis merupakan penyakit peradangan pada hati yang dapat disebabkan oleh
berbagai penyebab antara lain infeksi virus (hepatotropik dan non-hepatotropik),
bakteri atau jamur, autoimun, toksin, dan lain-lain. Virus Hepatitis C (VHC)
merupakan salah satu virus penyebab hepatitis dan dianggap menimbulkan dampak
yang paling besar di antara virus-virus lain penyebab hepatitis.
World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2015, 71
juta orang hidup dengan infeksi VHC kronis di seluruh dunia (prevalensi global: 1%)
dan 399.000 meninggal karena sirosis atau karsinoma hepatoseluler (HCC) yang
berhubungan dengan infeksi virus hepatitis C tersebut. World Health Organization
(WHO) memperkirakan bahwa pada tahun 2015, 71 juta orang hidup dengan infeksi
VHC kronis di seluruh dunia (prevalensi global: 1%) dan 399.000 meninggal karena
sirosis atau karsinoma hepatoseluler (HCC) yang berhubungan dengan infeksi virus
hepatitis C tersebut. Virus ini umumnya masuk ke dalam darah melalui transfusi atau
kegiatan-kegiatan yang memungkinkan virus ini langsung terpapar dengan sirkulasi
darah.
Manifestasi klinis infeksi hepatitis C akut bervariasi mulai dari asimptomatik
(80%) sampai bergejala (20%). Selama masa inkubasi ini, HCV RNA pasien bisa
positif dan meningkat hingga munculnya jaundice. Selain itu juga bisa muncul gejala-
gejala fatique, tidak napsu makan, mual dan nyeri abdomen kuadran kanan atas. Dari
semua individu dengan hepatitis C akut, 70-90% akan berkembang menjadi infeksi
kronis.
Pemeriksaan anti-HCV merupakan pilihan utama alat diagnostik untuk
mendeteksi infeksi hepatitis C. Apabila pemeriksaan awal terdeteksi anti-HCV positif
harus dilanjutkan dengan pemeriksaan HCV RNA.
Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, pilihan terapi standar untuk hepatitis C
kronik adalah terapi kombinasi antara Pegylated Interferon (Peg-IFNα) dan ribavirin
(RBV) (kurang berhasil) dan terapi yang terbaru yaitu agen direct acting antivirus
(DAA) dengan nilai keberhasilan yang sangat tinggi.

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Kumar V, Abbas A k., Aster JC. Buku Ajar Patologi Robbins. 9th ed. Elsevier
Inc.; 2013.

2. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setyohadi B, Syam AF. Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. 6th ed. Interna Publising; 2016.

3. Alhawaris. Hepatitis C: Epidemiologi, Etiologi, dan Patogenitas. J Sains dan


Kesehat. 2019;2(2):139-150. doi:10.25026/jsk.v2i2.132

4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


6th ed. EGC; 2005.

5. WHO guidelines. Guidelines for the Care and Treatment of Persons


Diagnosed with Chronic Hepatitis C Virus Infection. World Health
Organization; 2018.
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/273174/9789241550345-
eng.pdf?ua=1

6. World Health Organization. Global Hepatitis Report. World Health


Organization; 2017.
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/255016/1/9789241565455- eng.pdf?
ua=1, accessed 15 July 2022

7. Pawlotsky JM, Negro F, Aghemo A, et al. EASL Recommendations on


Treatment of Hepatitis C 2018. J Hepatol. 2018;69(2):461-511.
doi:10.1016/j.jhep.2018.03.026

8. Interferon-free combination therapies for the treatment of hepatitis C: Current


insights - Scientific Figure on ResearchGate. from: https://www.
https://www.researchgate.net/figure/Hepatitis-C-virus-HCv-lifecycle-and-
potential-targets-for-direct-acting-antivirals_fig1_283480425 [accessed 19 Jul,
2022]

9. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan


Hepatitis C Di Indonesia. erhimpunan Peneliti Hati Indonesia; 2017.

10. Basit H, Tyagi I, Koirala J. Hepatitis C. [Updated 2022 May 2]. In: StatPearls
Publishing. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430897/

11. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI). Penatalaksanaan Hepatitis C


pada Penyakit Gagal Ginjal Kronik di Indonesia. In: Konsensus
Penatalaksanaan Nasional. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia dan
Perhimpunan Nefrologi Indonesia; 2019:12-14.

47
12. Spera AM, Eldin TK, Tosone G, Orlando R. Antiviral therapy for hepatitis C:
Has anything changed for pregnant/lactating women? World J Hepatol.
2016;8(12):557-565. doi:10.4254/wjh.v8.i12.557

48

Anda mungkin juga menyukai