Anda di halaman 1dari 18

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN 14 Desember 2017


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

HEPATITIS C
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA

DISUSUN OLEH:
Juniarsih
111 2017 0002

PEMBIMBING:
Dr. dr. Fardah Akil, Sp. PD, K-GEH

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITRAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya saya dapat

menyelesaiakan referat yang berjudul ‘Hepatitis C Diagnosis dan Tatalaksana’. Referat ini saya

buat sebagai tugas dalam menjalankan kepaniteraan klinik tingkat 1 di bagian Ilmu Penyakit

Dalam RS IBNU SINA Makassar. Saya mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. dr. Fardah Akil, Sp. PD, K-GEH, selaku dosen pembimbing yang telah membantu

saya dalam dalam mengerjakan referat ini.

2. Orang tua yang telah memberikan support kepada saya dalam penyelesaian referat ini.

3. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan

kontribusi kepada penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses

pembuatan laporan referat ini.

Saya menyadari bahwa referat ini jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang

membangun sangat diperlukan demi kesempurnan referat ini. Semoga referat ini bermanfaat dan

dapat menambah informasi dan pengetahuan serta membuat kita mencapai kehidupan yang lebih

baik lagi.

Makassar, 14 Desember 2017

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………..i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang…………………………………………………………………………1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi………………………………………………………………………………...2

2.2. Etiologi………………………………………………………………………………...2

2.3. Epidemiologi…………………………………………………………………………..3

2.4. Patofisiologi…………………………………………………………………………...4

2.5. Gejala Klinis…………………………………………………………………………...6

2.6. Cara Penularan………………………………………………………………………...8

2.7. Diagnosis………………………………………………………………………………9

2.8. Penatalaksanaan……………………………………………………………………….10

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan……………………………………………………………………………14

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………......15
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Sebelum ditemukannya virus hepatitis C (VHC) dunia medis mengenal 2 jenis virus sebagai
penyebab hepatitis, yaitu virus hepatitis A dan juga virus hepatitis B. Namun demikian, terdapat
juga peradangan hati yang tidak disebabkan oleh kedua virus ini dan tidak dapat dikenal pada
saat itu sehingga dinamakan hepatitis Non-A, Non-B (hepatitis NANB).
Hepatitis NANB mempunyai sifat yang menyerupai hepatitis B yaitu didapatkan umumnya
pasca transfusi darah. Diketahui bahwa penyakit hepatitis tersebut dapat timbul dengan
menyuntikan serum dari pasien pada hewan percobaan (simpanse) sehingga diduga keras
penyebabnya adalah satu jenis virus. Pencarian penyebab hepatitis itu kemuadian dilakukan oleh
banyak institusi sampai kemudian virus baru ditemukan, dan kemudian dinamakan virus hepatitis
C (VHC).
Penemuan VHC didapatkan dengan melakukan identifikasi gen virus ini, hal yang biasanya
terbalik dalam mengidentifikasi mikroorganisme dimana identifikasi gen baru dilakukan setelah
mikroorganisme ditemukan secara fisis seperti dalam bentuk partikel-partikel virus. Peneliti dan
kawan – kawan berhasil mendapatkan sequence gen VHC dan kemudian mengembangkan teknik
deteksi virus ini untuk pertama kalinya dengan metode EIA menggunakan antigen yang didapat
dari virus ini. Dalam penelitian lebih lanjut ternyata hepatitis NANB sebagian besar (>80%)
disebabkan oleh VHC.Hal ini kemudian menyebabkan banyak penelitian mengenai virus ini dan
hepatitis yang ditimbulkannya.
Infeksi VHC merupakan masalah yang besar karena pada sebagian besar kasus menjadi
hepatitis kronik yang dapat membawa pasien pada sirosis hati dan kanker hati. Di Negara maju,
infeksi VHC merupakan salah satu indikasi utama transplantasi hati.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Hepatitis virus adalah radang hati yang disebabkan oleh virus. Dikatakan akut apabila
inflamasi (radang) hati akibat infeksi virus hepatitis yang berlangsung selama kurang dari 6
bulan, dan kronis apabila hepatitis yang tetap bertahan selama lebih dari 6 bulan. Keadaan
kronis pada anak-anak lebih sukar dirumuskan karena perjalanan penyakitnya lebih ringan
daripada orang dewasa.
Penyakit Hepatitis C adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis C (HCV=
Hepatitis C virus).

2.2. ETIOLOGI

Virus hepatitis C adalah adalah virus RNA berkapsul berdiameter 50-60 nm yang
mengandung RNA rantai tunggal yang dapat diproses secara langsung untuk memproduksi
protein-protein virus. Genom HCV digolongkan dalam Flavivirus bersama-sama dengan
virus hepatitis G, Yellow fever, dan Dengue. Virus ini umumnya masuk kedalam darah
melalui tranfusi atau kegiatan-kegiatan yang memungkinkan virus ini langsung masuk ke
sirkulasi darah.

Gambar 1. Model virus Hepatitis C pada manusia


Kecepatan replikasi HCV sangat besar, melebihi HIV maupun HBV. Virus ini
bereplikasi melalui RNA-dependent RNA polimerase yang akan menghasilkan salinan RNA
virus tanpa mekanisme proof-reading (mekanisme yang akan menghancurkan salinan
nukleotida yang tidak persis sama dengan aslinya). Kondisi ini akan menyebabkan timbulnya
banyak salinan-salinan RNA HCV yang sedikit berbeda namun masih berhubungan satu
sama lain pada pasien yang disebut quasispecies.

Sekarang ini ada sekurang-kurangnya enam tipe utama dari virus Hepatitis C (yang
sering disebut genotipe) dan lebih dari 50 subtipenya. Hal ini merupakan alasan mengapa
tubuh tidak dapat melawan virus dengan efektif dan penelitian belum dapat membuat vaksin
melawan virus Hepatitis C. Genotipe tidak menentukan seberapa parah dan seberapa cepat
perkembangan penyakit Hepatitis C, akan tetapi genotipe tertentu mungkin tidak merespon
sebaik yang lain dalam pengobatan. Genotipe 1a dan 1b adalah genotipe yang paling sering
ditemukan di Amerika Serikat dan Eropa Barat, diikuti oleh genotipe 2 dan 3. Genotipe lain
tampaknya tidak pernah ditemukan di negara-negara pada kedua kawasan tersebut, tapi
banyak ditemukan di negara atau kawasan lain. Genotipe 4 banyak ditemukan di Mesir,
genotipe 5 di Afrika Selatan sedangkan genotipe 6 di Asia Tenggara. Pengetahuan mengenai
genotipe ini sangat penting karena dapat dipakai untuk memprediksi respon terhadap
antivirus (sustained virological response = SVR) dan menentukan durasi terapi. Genotipe 2
dan 3 adalah genotipe yang telah diketahui memiliki respon lebih baik dibandingkan genotipe
1. Genotipe tidak akan berubah selama masa infeksi (course of infection) sehingga tidak perlu
pemeriksaan ulangan terhadap genotip. Derajat beratnya penyakit tidak memiliki kaitan
dengan genotipe virus.

2.3 EPIDEMIOLOGI

World Health Organization (WHO) melaporkan lebih kurang 170 juta jiwa di seluruh
dunia terinfeksi secara kronik oleh hepatitis C (Hepatitis C Virus = HCV). Prevalensi global
infeksi HCV adalah 2,9%.
Menurut data WHO, angka prevalensi ini amat bervariasi dalam distribusi secara
geografi, dengan seroprevalensi terendah di Eropa sekitar 1% hingga tertinggi 5,3% di
Afrika.

Prevalensi HCV di Indonesia sangat bervariasi, dikarenakan geografis negara Indonesia


yang sangat luas. Hasil pemeriksaan pendahulu anti-HCV pada donor darah di beberapa
tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensinya adalah antara 3,1%-4%. Dengan
bantuan Namru-2 dimana dimungkinkan untuk pengguna reagen anti-HCV generasi kedua
dan juga bantuan unit PUTD Palang Merah Indonesia, data donor darah di kota-kota besar
menunjukkan prevalensi yang lebih kecil 0,5-3,37% dibandingkan data yang sebelumnya.

2.4. PATOFISIOLOGI

Jika masuk ke dalam darah maka HCV akan segera mencari hepatosit (sel hati) dan
kemungkinan sel limfosit B. Hanya dalam sel hati HCV bisa berkembang biak. Sulitnya
membiakkan HCV pada kultur, juga tidak adanya model binatang non-primata telah
memperlambat lajunya riset HCV. Namun daur hidup HCV telah dapat dikemukakan seperti
penjelasan dibawah ini:

Gambar 2. Siklus hidup virus hepatitis C


Melalui gambar skematis di atas, proses siklus kehidupan HCV digambarkan secara alur
skematis.

1. HCV masuk ke dalam hepatosit dengan mengikat suatu reseptor permukaan sel yang
spesifik. Reseptor ini belum teridentifikasi secara jelas, namun protein permukaan CD8
adalah suatu HCV binding protein yang memainkan peranan dalam masuknya virus. Salah
satu protein khusus virus yang dikenal sebagai protein E2 menempel pada reseptor site di
bagian luar hepatosit.

2. Kemudian protein inti dari virus menembus dinding sel dengan suatu proses kimiawi
dimana selaput lemak bergabung dengan dinding sel dan selanjutnya dinding sel akan
melingkupi dan menelan virus serta membawanya ke dalam hepatosit. Di dalam hepatosit,
selaput virus (nukleokapsid) melarut dalam sitoplasma dan keluarlah RNA virus (virus
uncoating) yang selanjutnya mengambil alih peran bagian dari ribosom hepatosit dalam
membuat bahan-bahan untuk proses reproduksi.

3. Virus dapat membuat sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya sendiri.
Selama proses ini virus menutup fungsi normal hepatosit atau membuat lebih banyak lagi
hepatosit yang terinfeksi kemudian menbajak mekanisme sintesis protein hepatosit dalam
memproduksi protein yang dibutuhkannya untuk berfungsi dan berkembang biak.

4. RNA virus dipergunakan sebagai cetakan (template) untuk memproduksi masal


poliprotein (proses translasi).

5. Poliprotein dipecah dalam unit-unit protein yang lebih kecil. Protein ini ada 2 jenis
yaitu protein struktural dan regulatori. Protein regulatori memulai sintesis kopi virus RNA
asli.

6. Sekarang RNA virus mengopi dirinya sendiri dalam jumlah besar (miliaran kali) untuk
menghasilkan bahan dalam membentuk virus baru. Hasil kopi ini adalah bayangan cermin
RNA orisinil dan dinamai RNA negatif. RNA negatif lalu bertindak sebagai cetakan
(template) untuk memproduksi serta RNA positif yang sangat banyak yang merupakan kopi
identik materi genetik virus.
7. Proses ini berlangsung terus dan memberikan kesempatan untuk terjadinya mutasi
genetik yang menghasilkan RNA untuk strain baru virus dan subtipe virus hepatitis C. Setiap
kopi virus baru akan berinteraksi dengan protein struktural, yang kemudian akan membentuk
nukleokapsid dan kemudian inti virus baru. Amplop protein kemudian akan melapisi inti
virus baru.

8. Virus dewasa kemudian dikeluarkan dari dalam hepatosit menuju ke pembuluh darah
menembus membran sel.

Keluaran dan derajat keparahan dari infeksi virus hepatitis bergantung pada jenis virus,
jumlah virus dan faktor dari host.

2.5. GEJALA KLINIS

Manifestasi klinis hepatitis virus C dikenal mulai dari hepatitis akut, fulminan, kronis,
yang dapat berkembang menjadi sirosis atau kanker hati.

1. Infeksi Akut

Umumnya infeksi akut HCV tidak memberi gejala atau hanya bergejala minimal. Hanya
20-30% kasus yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis akut 7 – 8 minggu (berkisar 2 – 26
minggu) setelah terjadinya paparan. Infeksi virus hepatitis terbagi 3 fase, yaitu fase
prodormal, fase ikterik, dan fase convalescent.

Pada fase prodormal, onset terjadi pada hari 1-14, namun rata-rata timbul pada hari 5-7
setelah paparan. Keluhan yang sering yaitu malaise, fatique, mual dan muntah, kehilangan
selera makan, low grade fever, flu like symptoms, dan kebanyakan pasien mengeluh adanya
nyeri pada perut kanan atas.

Pada fase ikterik, gejala yang sering ditimbulkan yaitu warna kuning pada mukosa sklera
pada awalnya dan berlanjut pada perubahan warna pada kulit. Durasi ikterik bervariasi,
biasanya antara 4 hari sampai beberapa bulan, namun rata-rata 2-3 minggu. Urin menjadi
gelap, feses berwarna seperti dempol (pucat). Selama fase ini, setengah penderita
menunjukkan gejala gatal-gatal.
Pada fase convalescent, kebanyakan gejala di atas menghilang (resolve). Ikterik tidak
ditemukan, warna pada kulit, urin dan feses kembali ke warna yang semula.Kembalinya
nafsu makan dan adanya peningkatan berat badan menunjukkan sudah adanya tahap
penyembuhan.

Umumnya secara klinik gejala HCV akut lebih ringan daripada hepatitis virus akut
lainnya. Masa inkubasi HCV terletak antara HAV dengan HBV, yaitu sekitar 2 – 26 minggu,
dengan rata-rata 8 minggu. Pada penderita hepatitis akut ditemukan Anti HCV positif pada
75,5% HNANB pasca-tranfusi, 35% pada HNANB sporadik dan hanya 2,4 pada HBV.
Sebagian besar penderita yang terserang HCV akut akan menjurus menjadi kronis.

RNA virus hepatitis C dapat terdeteksi sebelum gejala muncul, namun level dari viremia
pada 6 bulan pertama dapat dorman dan tidak terdeteksi walaupun orang tersebut sedang
dalam infeksi yang persisten. Gejala awal yang ditunjukkan tergantung dari usia saat
terjadinya paparan, sistem imun penderita, adanya penyakit hati sebelumnya dan tingkat
inokulasi virus.

Level serum dari enzim hati seperti alanin aminotransferase (ALT) meningkat 10 kali
lebih tinggi dari pada normal, kemudian menurun, dan untuk orang dengan infeksi yang
persisten didapatkan kadar ALT naik turun (fluktuatif). Serum bilirubin juga dapat meningkat
setelah beberapa minggu gejala pertama muncul, namun akhirnya kembali ke level yang
normal. Secara garis besar, angka mortalitas pada infeksi akut tergolong rendah.

2. Infeksi kronis

Infeksi akan menjadi kronik pada 70 – 90% kasus dan sering kali tidak menimbulkan
gejala apapun walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Adapun kriteria dari hepatitis
kronis adalah naiknya kadar transaminase serum lebih dari 2 kali nilai normal, yang
berlangsung lebih dari 6 bulan. Hilangnya HCV setelah terjadinya hepatitis kronis sangat
jarang terjadi. Jangka waktu dimana berbagai tahap penyakit hati berkembang sangat
bervariasi. Diperlukan waktu 20 – 30 tahun untuk terjadinya sirosis hati yang sering tejadi
pada 15 – 20% pasien hepatitis C kronis. Progresivitas hepatitis kronik menjadi sirosis hati
tergantung beberapa faktor resiko yaitu: asupan alkohol, ko-infeksi dengan virus hepatitis B
atau Human Immunodeficiency Virus (HIV), jenis kelamin laki-laki, usia tua saat terjadinya
infeksi dan kadar CD4 yang sangat rendah. Bila telah terjadinya sirosis, maka risiko
terjadinya karsinoma hepatoselular adalah sekitar 1-4% pertahun. Karsinoma hepatoseluler
dapat terjadi tanpa diawali dengan sirosis, namun hal ini jarang terjadi.

3. Hepatitis C Fulminan

Hepatitis fulminan jarang terjadi. ALT (alanine amino-transferase) meninggi sampai


beberapa kali diatas batas atas normal tetapi umumnya tidak sampai lebih dari 1000 U/L.

Selain memiliki manifestasi hepatik, ada beberapa manifestasi ektrahepatik HCV yang
penting.

1. Mixed Cryoglobulinaemic vasculitis

Pada 50% pasien HCV umumnya terdeteksi cryoglobulin pada serum darah, dan
cryoprecipitates biasanya mengandung sejumlah besar antigen dan antibodi HCV,
namun hanya sebagian kecil pasien (10-15%) yang memiliki gejala. Gejala-gejala
biasanya terkait dengan vaskulitis, yaitu lemah, atralgia dan purpura.

2. Membranoproliferative glomerulonephritis

Pada kasus ini, telah terjadi peranan dari persarafan dan otak sehingga gejala yang
timbul lebih berat.

3. Poliarteritis Nodosa
4. Papular Acrodermatitis (Gianotti syndrome)

2.6. CARA PENULARAN

Pada umumnya cara penularan HCV adalah parental.Semula penularan HCV


dihubungkan dengan transfusi darah atau produk darah, melalui jarum suntik. Tetapi setelah
ditemukan bentuk virus dari hepatitis, makin banyak laporan mengenai cara penularan
lainnya, yang umumnya mirip dengan cara penularan HBV, yaitu:

1. Penularan horizontal
Penularan HCV terjadi terutama melalui cara parental, yaitu tranfusi darah atau
komponen produk darah, hemodialisa, dan penyuntikan obat secara intravena.
2. Penularan vertikal
Penularan vertikal adalah penularan dari seseorang ibu pengidap atau penderita
Hepatitis C kepada bayinya sebelum persalinan, pada saat persalinan atau beberapa saat
persalinan.

2.7. DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis pada hepatitis virus C berdasarkan uji serologi untuk
memeriksa antibodi dan Uji HCV RNA.
1. Uji serologi
Uji serologi yang berdasarkan pada deteksi antibodi telah membantu mengurangi
risiko infeksi terkait transfusi. Sekali pasien pernah mengalami serokonversi, biasanya
hasil pemeriksaan serologi akan tetap positif, namun kadar antibodi anti-HCV akan
menurun secara gradual sejalan dengan waktu pada sebagian pasien yang infeksinya
mengalami reaksi spontan.
Antibodi terhadap HCV biasanya dideteksi dengan metode enzyme immunoassay
yang sangat sensitif dan spesifik. Enzyme immunoassay generasi k-3 yang banyak
dipergunakan saat ini mengandung protein core dan protein struktural-struktural yang
dapat mendeteksi keberadaan antibodi dalam waktu 4-10 minggu infeksi. Antibodi anti-
HCV masih tetap dapat terdeteksi selama terapi maupun setelahnya tanpa memandang
respon terapi yang telah dialami, sehingga pemeriksaan anti-HCV tidak perlu dilakukan
kembali apabila sudah pernah dilakukan sebelumnya. Uji immunoblot rekombinan
(recombinant immunoblot assay, RIBA) dapat digunakan untuk mengkonfirmasi hasil uji
enzyme immunoassay yang positif. Penggunaan RIBA untuk mengkonfirmasi hasil hanya
direkomendasikan untuk setting populasi low-risk seperti pada bank darah. Namun
dengan tersedianya metode enzyme immunoassay yang sudah diperbaiki dan uji deteksi
RNA yang lebih baik saat ini, maka konfirmasi dengan RIBA telah menjadi kurang
diperlukan.
2. Uji HCV RNA
HCV RNA dapat terdeteksi dan diukur dengan teknik amplifikasi termasuk
reverse transcription polymerase chain reation (RT-PCR). Genotip HCV dapat dinilai
dengan analisis phylogenetic dari rantai nukleotida atau deteksi mutasi point spesifik
subtipe pada RT-PCR amplifikasi RNA. HCV RNA dideteksi dalam waktu 2 minggu
infeksi dan juga digunakan untuk konfirmasi terjadinya infeksi akut. Bagaimanapun uji
HCV RNA yang rutin tidak dianjurkan secara langsung karena standarisasi uji tersebut
yang masih rendah.
3. Biopsi Hati
Biopsi hati secara umum direkomendasikan untuk penilaian awal seorang pasien
dengan infeksi HCV kronis. Biopsi berguna untuk menentukan derajat beratnya penyakit
(tingkat fibrosis) dan menentukan derajat nekrosis dan inflamasi. Pemeriksaan ini juga
bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab hati yang lain, seperti
fitur alkoholik, non-alcoholic steatohepatits (NASH), hepatitis autoimun, penyakit hati
drug-induced atau overload besi.

2.8. PENATALAKSANAAN

Diagnosa dan pengobatan awal sangatlah mendesak dan penting. Persentase yang
signifikan dari orang yang melakukannya dapat sembuh dari Hepatitis C dan menunjukan
perbaikan hatinya. Tujuan pengobatan dari Hepatitis C adalah menghilangkan virus dari
tubuh sedini mungkin untuk mencegah perkembangan yang memburuk dan stadium akhir
penyakit hati.

Pengobatan hepatitis C akut menggunakan IFN (alfa dan beta) dengan dosis 6-10 juta
unit selama 6 bulan dapat memicu normalisasi SGPT dan hilangnya HCV RNA pada sekitar
50% pasien. Berdasarkan studi, dosis dari IFN-α, yang tiga kali seminggu, sama dengan
mereka yang menggunakan peg-IFN- α selama 24 minggu, telah meningkatkan angka rata-
rata SVR pada hepatitis C akut. Pegylated IFN- α lebih diutamakan dibandingkan IFN- α
konvensional maupun ribavirin. Penambahan ribavirin dengan IFN- α atau peg-IFN- α tidak
memperlihatkan angka perbaikan yang nyata dari rata-rata SVR. HCV genotip 2, 3, 4
merespon lebih baik dibandingkan HCV genotip 1 dan waktu pengobatan dapat lebih singkat
hingga 12 minggu dengan menggunakan peg-IFN-α pada orang yang terinfeksi HCV genotip
ini. IFN profilaksis tidak dianjurkan pada trauma tusuk karena bagaimanapun angka infeksi
HCV termasuk rendah. Pengobatan pada HCV akut harus ditunda selama 8-16 minggu untuk
melihat adanya resolusi spontan, terutama pada pasien yang memiliki manifestasi klinis.
Pada infeksi akut HCV genotip tipe 1, diberikan terapi selama 24 minggu, sedangkan pada
tipe 2 dan 3 diberikan terapi selama 12 minggu.

Tujuan pengobatan hepatitis C kronik adalah mencegah komplikasi penyakit hati,


termasuk HCC. Hal-hal yang mempengaruhi keberhasilan pengobatan: Umur, jenis kelamin,
genotip virus, jumlah virus, dan stadium fibrosis terutama fibrosis stadium 3 dan 4. Pasien
dengan stadium fibrosis F0 (fibrosis tidak ada) dan F1 (fibrosis hepar yang minimal) tidak
memerlukan terapi antiviral kecuali pada pasien yang gejala klinisnya berat atau dalam
stadium yang lebih lanjut pada hasil biopsi hatinya dan untuk orang-orang yang sangat
berharap pada pengobatan. Untuk semua pasien tersebut, mereka harus diberi informed
consent berupa:

1. Perjalanan penyakitnya, terutama tentang kemungkinan terjadinya komplikasi pada hati.


2. Kemanjuran dari pengobatan yang tersedia
3. Biaya pengobatan
4. Efek yang merugikan dari pengobatan dan membutuhkan pemakaian kontrasepsi
berkelanjutan setelah administrasi dari ribavirin.

Berdasarkan penelitian trial and eror, didapatkan angka SVR paling tinggi dicapai
dengan kombinasi peg-IFN- α dan ribavirin oral setiap harinya satu kali seminggu selama 1
tahun.

Pengobatan HCV kronik adalah dengan menggunakan infterferon alfa dan ribavirin.
Umumnya disepakati bila genotipe HCV adalah genotipe 1 dan 4, maka terapi perlu
diberikan selama 48 minggu dan bila genotipe 2 dan 3, terapi cukup diberikan selama 24
minggu.

1. Interferon alfa

Adalah suatu protein yang dibuat secara alami oleh tubuh manusia untuk meningkatkan
sistem daya tahan tubuh/imunitas dan mengatur fungsi sel lainnya.
2. Pegylated interferon alfa

Dibuat dengan menggabungkan molekul yang larut air yang disebut "polyethylene glycol
(PEG)" dengan molekul interferon alfa. Modifikasi interferon alfa ini lebih lama ada dalam
tubuh, dan beberapa penelitian menunjukkan lebih efektif dalam membuat respon bertahan
terhadap virus dari pasien Hepatitis C kronis dibandingkan interferon alfa biasa.

3. Ribavirin.

Obat anti virus yang digunakan bersama interferon alfa untuk pengobatan Hepatitis C
kronis. Ribavirin kalau dipakai tunggal tidak efektif melawan virus Hepatitis C, tetapi dengan
kombinasi interferon alfa, lebih efektif daripada inteferon alfa sendiri. Untuk Interferon alfa
yang konvensional, diberikan setiap 2 hari atau 3 kali seminggu dengan dosis 3 juta unit
subkutan setiap kali pemberian. Interferon yang telah diikat dengan poly-ethylen glycol
(PEG) atau dikenal dengan Peg-Interferon, diberikan setiap minggu dengan dosis 1,5
ag/kgBB/kali (untuk Peg-Interferon 12 KD) atau 180 ug (untuk PegInterveron 40 KD).
Pemberian Interferon diikuti dengan pemberian Ribavirin dengan dosis pada pasien berat
badan < 50 kg sebesar 800 mg setiap hari, 50 – 70 kg sebesar 1000 mg setiap hari, dan > 70
kg sebesar 1200 setiap hari dibagi dalam 2 kali pemberian.

Hati-hati pemberian IFN pada hal-hal di bawah ini:

· Neutopenia (jumlah netrofil < 1500 sel/uL)

· Trombositopenia (jumlah trombosit < 85.000 sel/uL)

· Transplantasi organ

· Penyakit autoimun

· Ditemukannya autoantibodi tyroid

· Umur lebih dari 70 tahun

Adapun efek samping yang berkaitan dengan IFN adalah: cytopenia, ganguan fungsi
tiroid, sepresi, irritability, gangguan ingatan dan konsentrasi, gangguan penglihatan, cepat
lelah, nyeri otot, sakit kepala, mual dan muntah, tidak selera makan dan penurunan berat
badan, demam derajat rendah, iritasi kulit, insomnia, pendengaran berkurang, tinitus, fibrosis
interstitial dan penipisan rambut. Efek samping yang berkaitan dengan ribavirin: anemia
hemolitik, cepat leleah, gatal-gatal, rash, batuk, faringitis, asam urat dan cacat pada waktu
lahir. Sangat penting pada pasien yang menggunakan ribavirin untuk memperketat
penggunaaan kontrasepsi selama pengobatan dan setelah 6 bulan setelah akhir pengobatan.
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Hepatitis virus adalah radang hati yang disebabkan oleh virus. Penyakit Hepatitis C
adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis C (HCV= Hepatitis C virus).Virus ini
umumnya masuk kedalam darah melalui tranfusi atau kegiatan-kegiatan yang memungkinkan
virus ini langsung masuk ke sirkulasi darah. Manifestasi klinis hepatitis virus C dikenal mulai
dari hepatitis akut, fulminan, kronis, yang dapat berkembang menjadi sirosis atau kanker hati.
Tujuan pengobatan dari Hepatitis C adalah menghilangkan virus dari tubuh sedini mungkin
untuk mencegah perkembangan yang memburuk dan stadium akhir penyakit hati.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sulaiman A. Hepatitis C. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati Edisi I. Pusat Penerbitan
Divisi Hepatologi Departemen ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta: 2007.
2. Thomas DL. Hepatitis C Virus. Oxford Textbook of Medicine 4th Edition. Oxford Press.
United State; 2003.
3. Dienstag JL, Isselbacer KJ. Acute Viral Hepatitis. Harrison’s Principles of Internal
Medicine 16th Edition. London; 2004.
4. Ghany MG, Liang TJ. Acute Viral Hepatitis. Yamada’s Textbook of Gastroenterology 4 th
Edition. United State; 2003.
5. Hassan A. Virus Hepatitis C pada Penyakit Hati Menahun Pasca Transfusi.
http://www.kalbe.co.id/cdk/files/07VirusHepatitisCTransfusi08.
6. Gani RA. Hepatitis C. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I edisi IV. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta;
2007.
7. Sujono. Mengenal Hepatitis C Pada Umumnya dan Tinjauan Kejadiannya di Indonesia.
Hepatologi. CV Mandar Maju Bandung. Bandung; 2000.
8. Mukherjee S. Hepatitis C. 2009. http://emedicine.medscape.com/article/177792-overview
9. Buggs AM. Viral Hepatitis. 7 Juli 2009. http://emedicine.medscape.com/article/775507-
overview.html
10. Troels KHS, Charles M. Understanding the hepatitis C virus life cycle paves the way for
highly effective therapies. NIH Public Access Author Manuscript. April; 2014.
11. Tomohisa T, Hirotake K, dkk. Hallmarks of Hepatitis C Virus in Equine Hepacivirus.
Journal of Virology. November; 2014.
12. Filippo A, Andrea O, dkk. Hepatitis C virus in the new era: Perspectives in epidemiology,
prevention, diagnostics and predictors of response to therapy. World Journal of
Gastroenterology. August; 2014.
13. Maria VP, Pamela V, dkk. Hepatitis C virus molecular evolution: Transmission, disease
progression and antiviral therapy. World Journal of Gastroenterology. November; 2014.
14. Reza T, Fatemeh F. Epidemiology of hepatitis C virus in Iran. World Journal of
Gastroenterology. October; 2015.
15. Chris W Green. Hepatitis dan Virus HIV. Spiritia. Desember; 2016.

Anda mungkin juga menyukai