Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

IMUNOLOGI PADA PASIEN HEPATITIS C

Pembimbing:

dr. H. Ruswhandi Martamala, Sp.PD

Disusun Oleh :

Salsabila Pratiwi

161.0221.076

(FK UPN)

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN PENYAKIT

DALAM

RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO

PERIODE 8 Agustus 2016 15 Oktober 2016


ii

KATAPENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat AllahSWT, karena atas karunia-

Nya saya dapat menyelesaikan laporan kasus mengenai Imunologi pada Pasien

Hepatitis C. Penulisan laporan kasus ini merupakan salah satu syarat mengikuti

ujian Program Studi Profesi Dokter dibagian Departemen Penyakit Dalam RSPAD

Gatot Soebroto. Saya berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk kepentingan

pelayanan kesehatan, pendidikan, penelitian dan dapat dipergunakan dengan

sebaikbaiknya oleh berbagai pihak yang berkepentingan.

Saya sadar sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat

kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, segala masukan yang bersifat

membangun dari pembaca, sangat diharapkan demi proses penyempurnaan

penulisan referat ini.

Terimakasih saya sampaikan kepada dokter konsulen yang telah menyediakan

waktunya untuk membantu secara langsung dalam proses membimbing

pembuatan makalah ini, yaitu kepada dr. H. Ruswhandi Martamala, Sp.PD atas

arahan dan kebijakan yang telah diberikan, sehingga tugas ini dapat diselesaikan

dengan baik.

Jakarta, 29 Agustus 2016


iii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................................... ii

Daftar Isi ........................................................................................................................iii

BAB I: Pendahuluan .............................................................................................. 1

I.1 Latar belakang.................................................................................................. 3

I.2 Rumusan masalah ............................................................................................ 3

I.3 Maksud dan tujuan penelitian .......................................................................... 3

I.4 Metode penelitian ............................................................................................ 3

I.5 Maksud penulisan ............................................................................................ 3

BAB II: Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 4

II.1 Pendahuluan .................................................................................................... 4

II.2 Virus hepatitis C ............................................................................................. 4

II.3 Patogenesis...................................................................................................... 5

II.4 Gambaran klinis .............................................................................................. 7

II.5 Imunologi VHC .............................................................................................. 9

II.6 Diagnostik ....................................................................................................... 12

II.7 Penatalaksanaan .............................................................................................. 14

II.8 Pencegahan ..................................................................................................... 18

II.9 Prognosis ......................................................................................................... 19

BAB III: Kesimpulan ............................................................................................. 20

Daftar Pustaka ....................................................................................................... 21


1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit hepatitis C biasanya tidak menunjukkan gejala (asimptomatik)
dan sangat jarang dikaitkan sebagai penyakit yang mengancam jiwa. Sekitar 20%
dari orang yang terinfeksi VHC akan memasuki fase respon imun yang
menguntungkan, ditandai dengan hilangnya virus dan tanda penyakit. Namun,
80% akan memasuki fase kronik (menahun), di mana sistem ketahanan tubuh
tidak mampu mengatasi infeksi sehingga perlu mendapatkan terapi
pengobatan.Bagi yang terkena infeksi VHC kronik, 30% di antaranya akan
mengalami sirosis hati (pengerasan hati) dalam kurun waktu 20 tahun.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2014
menyebutkan bahwa lebih dari 185 juta penduduk dunia telah terinfeksi virus
hepatitis C (VHC), dan sekitar 350.000 orang meninggal tiap tahunnya. Untuk
daerah Asia Tenggara, penyakit hepatitis C sebanyak 2.0% juta pada populasi
dewasa. Berdasarkan Riskesdas pada tahun 2007, Di Indonesia anti-VHC pada
kelompok laki-laki sekitar 1.7%, sedangkan pada kelompok perempuan sekitar
2.4%. Diperkirakan juga sekitar 2% dari jumlah penduduk atau sekitar 4-5 juta
jiwa menderita hepatitis C. Dari jumlah tersebut, sekitar 75-85% akan menjadi
penyakit hepatitis kronis. Bila tidak diobati dengan baik, 30% di antaranya dapat
memburuk menjadi sirosis hati dan 1-5% meninggal karena sirosis atau kanker
hati.1

Infeksi VHC adalah masalah yang cukup besar karena pada sebagian
besar kasus hepatits C menjadi hepatitis kronik yang dapat menghantarkan
pasien pada penyakit sirosis hati dan kanker hati. Di negara maju, apabila sudah
terinfeksi maka salah satu indikasi utama melakukan transplantasi hati. 1

Virus hepatitis C adalah salah satu virus RNA rantai tunggal. Berbentuk
sferis dengan selubung glikoprotein yang tergabung dalam famili Flaviviridae
dan memiliki genus Hepacivirus. Protein yang terdapat pada selubung akan
2

membantu terbentuknya antibodi anti-VHC. Target utama dari virus ini adalah
hepatosit. Namun virus ini juga dapat menginfeksi leukosit, limfosit T, Limfosit
B dan limpa.3

Berbeda dengan virus hepatitis B yang pada umumnya bersifat akut, VHC
lebih sering bersifat kronis. Masa inkubasi VHC yaitu rata-rata 50 hari (rentang
14-180 hari) dan mulai terdeteksi 7-10 hari seterlah terinfeksi, sehingga anti-VHC
dapat terdeteksi 2-8 minggu setelah paparan. Pada kasus hepatitis akut, RNA
VHC dapat terdeteksi selama sekitar 12 minggu pertama, dan kemudian akan
turun secara signifikan sehingga terjadi resolusi penaykit secara spontan. Sekitar
50% pasien hepatitis akut yang mempunyai anti-VHC positif. Sedangkan pada
kasus hepatitis C kronik, RNA VHC masih dapat terdeteksi sekitar 6 bulan.
Sekitar 95% kasus mempunyai nilai anti-VHC positif. Faktor penentu terinfeksi
VHC menjadi akut atau kronis belum secara pasti diketahui. Namun, resolusi
spontan sering ditemukan pada pasien simptomatis, perempuan, VHC genotipe 3.2
Infeksi VHC umumnya transmisi terbanyak berhubungan dengan transfusi
darah terutana yang didapatkan sebelum dilakukannya penapisan donor darah
untuk VHC oleh PMI. Terdeteksi secera sporadik atau tidak diketahui asal
infeksinya. Hal ini dihubungkan dengan sosial ekonomi rendah, pendidikan yang
kurang dan perilaku seksual yang beresiko tinggi. Infeksi dari ibu ke anak jarang
terjadi, biasanya dihubungkan dengan ibu yang menderita HIV, karena ibu yang
menderita HIV biasanya jumah VHC tinggi. Dilaporkan juga terinfeksi VHC pada
tindakan-tindakan medis seperti endoskopi, perawatan gigi, dialisis, maupun
operasi. Pasien pengguna narkotika suntik (>80%), pasien hemodialisa (70%),
penggunaan obat intranasal, pengunaan tatto atau tindik.2
Oleh karena itu, untuk mengetahui imunologi dari pasien hepatitis C serta
dibutuhkan diagnosis dan penatalaksanaan yang cepat dan tepat dalam penanganan
hepatits C.
3

I. 2. Rumusan Masalah
Bagaimana imunologi pada pasien hepatitis C?

1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan


Mengetahui imunologi pada pasien hepatitis C.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan tinjauan pustaka berdasarkan beberapa literatur.

1.5 Manfaat Penulisan


a) Manfaat teoritis
Referat ini diharapkan dapat menjadi salah satu informasi bagi tenaga kesehatan
dan mahasiswa kedokteran tentang imunologi pada pasien hepatitis C.
b) Manfaat praktis
Diharapkan dapat menjadi pengalaman dan menambah wawasan bagi penulis dan
pembaca tentang imunologi pada pasien hepatitis C.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Pendahuluan
Hepatitis virus akut merupakan infeksi sistemik yang dominan menyerang
hati. Hampir semua kasus hepatitis akut disebabkan oleh salah satu dari lima jenis
vints meliputi vints hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C
(HCV), virus hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis E (HEV). Semua virus
tersebut merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis B. Hepatitis viral akut
merupakan umtan pertama dari berbagai penyakit hati di seluruh dunia. Penyakit
tersebut atau gejala sisanya bertanggung jawab atas 1- 2 juta kematian setiap
tahunnya. Di Indonesia, prevalensi anti-HCV pada donor darah di beberapa
tempat di Indonesia menunjukkan angka diantara 0,5%-3,37%. Sedangkan
prevalensi anti-HCV pada hepatitis virus akut menunjukkan bahwa hepatitis C
(15,5%-46,4%) menempati urutan kedua setelah hepatitis A (39,8%-68,3%)
sedangkan urutan ketiga ditempati oleh hepatitis B (6,4%-25,9%).2

II.2 Virus Hepatitis C


Virus hepatitis C merupakan virus RNA untai tunggal, linear berdiameter
50-60 nm.

normal

Hati terinfeksi

Gambar 1. Virus Hepatitis C


Sumber: https://www.liferelayhealthcare.com
5

Target VHC adalah sel-sel hati dan mungkin juga limfosit B melalui
reseptor yang mungkin sekali sempa dengan CD81 yang terdapat di sel hati
maupm limfosit B atau reseptor LDL. Setelah berada dalam sitoplasma hati, VHC
akan melepaskan selubung virusnya dan RNA virus siap untuk melakukan
translasi protein dan kemudian replica RNA. Strulctur gen VHC adalah sebuah
RNA rantai tunggal, sepanjang kira-kira 10.000 pasang basa dengan daerah open
reading frame (ORF) diapit susunan nukleotida yang tidak ditranslasikan. Kedua
ujung VHC ini sangat terpelihara sehingga saat ini dipakai untuk identifikasi
adanya infeksi VHC. Transa1asi protein VHC dilalcukan oleh ribosom sel hati
yang akan membaca RNA VHC dari satu bagian spesifik tersebut.2

II.3 Patogenesis
Studi mengenai mekanisme kerusakan sel hati karena VHC masih sulit
dilakukan karena terbatasnya kultur sel untuk VHC dan tidak adanya hewan
model kecuali simpanse yang dilindungi. Kerusakan sel hati akibat VHC atau
partikel virus secara langsung masih belumjelas. Namun beberapa bukti
menunjukan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan sel
sel hati. Protein core misalnya ditenggarai dapat menimbulkan reaksi
pelepasan radikal oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini diketahui
pula mempengaruhi proses signaling dalam inti sel terutama berkaitan dengan
penekanan regulasi imunologik dan apoptosis, adanya bukti bukti ini
menyebabkan kontroversi apakah VHC bersifat sitotoksik atau tidak, terus
berlangsung.2
Reaksi cytokine T cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk
terjadinya eliminasi menyeluruh VHC pada infeksi akut. Pada infeksi kronik,
reaksi CTL yang relative lemah masih mampu merusak sel sel hati dan
melibatkan proses inflamasi di hati tetapi tidak bias menghilangkan virus
maupun menekan evolusi genetic VHC sehingga kerusakan sel hati berjalan
terus menerus. Kemampuan CTL tersebut dihubungkan dengan aktivasi
limfosit sel T helper (TH) spesifik VHC. Adanya pergeseran dominasi
6

aktivitas Th1 menjadi Th2 berakibat pada reaksi toleransi dan melemahnya
respon CTL.2
Reaksi yang dilibatkan melaluai sitokin sitokin pro-inflamasi seperti
TNF-, TGF-1, akan menyebabkan reksutmen sel sel inflamasi lainnya dan
menyebabkan aktivitas sel sel Stelata diruang disse hati. Sel-sel yang khas ini
yang sebelumnya dalam keadaan tenang (quicent) kemudian berpoliferasi
dan menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblast, yang dapat menghasilkan
matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan aktif dalam
menghasilkan sitokin-sitokin pro-inflamasi. Mekanisme ini dapat timbul terus
menerus karena reaksi inflamasi yang terjadi tidak berhenti sehingga fibrosis
semakin lama semakin banyak dan sel sel yang ada semakin sedikit. Proses ini
dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosi hati.2
Pada gambaran histopatologis hepatitis kronik dapat ditemukan proses
inflamasi berupa neksosis gergit, maupun lobular, disertai dengan fibrosis di
daerah portal yang lebih lanjut dapat masuk ke lobules hati (fibrosis septal)
dan kemudian dapat menyebabkan nekrosis dan fibrosis jembatan (bridging
fibrosis/nekrosis) gambaran yang khas untuk infeksi VHC adalah agregat
limfosit di lobules hati namun tidak didapatkan pada semua kasus inflamasi
akibat VHC.2
Gambaran histopatologis pada infeksi kronik VHC sangat berperan
dalam proses keberhasilan terapi dan prognosis. Secara histopatologis dapat
dilakukan scoring untuk inflamasi dan fibrosis dihati sehingga memudahkan
untuk keputusan terapi, evaluasi pasien maupun komunikasi antara ahli
patologi. Saat ini sistem scoring yang mempunyai variasi intra dan
interoobserver yang baik diantaranya adalah METAVIR dan ISHAK.2
Sistem skoring Metavir digunakan untuk menilai pasien dengan
hepatitis C. Tingkatan tersebut berdasarkan derajat inflamasi yang terjadi pada
hepar antara lain:
0 : yaitu tidak ada luka
1 : luka yang minimal
7

2 : luka yang terjadi dan meluas ke area dari hepar termasuk pembuluh
darah
3 : fibrosis sudah mulai menyebar dan menghubungkan dengan area lain
4 : sirosis dengan luka tingkat lanjut

II.4 Gambaran Klinis


Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi yang dibagi dalam
empat tahap yaitu:2
1. Fase Inkubasi
Fase inkubasi merupakan waktu diantara masuknya virus dan saat
timbulnya gejala atau ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya tiap hepatitis
virus tergantung pada dosis inokulan yang ditularkan dan jalur penularan.
Makin besar dosis inokulan makin pendek fase inkubasinya.
2. Fase Prodormal (Pre Ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan pertama dan gejala timbulnya ikterus.
Biasanya ditandai dengan malaise umum, mialgia, atralgia, mudah lelah,
gejala saluran napas atas dana anoreksia. Mual, muntah dan anoreksia
berhubungan dengan perubahan penghidu dan rasa kecap. Diare atau
konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di
kuadran kanan atas atau epigastrium yang kadang diperberat dengan
aktivitas.
3. Fase Ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari timbunya gejala atau dapat bersamaan
dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi.
Setelah timbulnya ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodormal dan
justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata.
4. Fase Konvalesen
Fase yang diawali dengan menghilangnya gejala dan ikterus, tetapi
hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Keadaan akut
biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada 5%-10% kasus
8

perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditanganim hanya kurang dari 1%


yang menjadi fulminan.4
Pada umumnya infeksi akut VHC tidak memberikan gejala atau
bergejala minimal. Hanya 20-30% yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis
akut 7-8 minggu setelah terjadinya paparan. Walaupun demikian, infeksi akut
sangat sukar dikenali karena pada umumnya tidak terdapat gejala sehingga
sulit pula menentukan perjalanan penyakit akibat infeksi HCV.4
Beberapa laporan menyatakan bahwa pada infeksi hepatitis C akut
didapatkan adanya gejala malaise, mual dan ikterus seperti halnya hepatitis
akut karena virus lain. Hepatitis fulminan sangat jarang terjadi. ALT
meningkat sampai beberapa kali di atas batas normal tetapi umumnya tidak
melebihi 1000U/ liter.2
Sekitar 70-80% orang yang terinfeksi HCV menjadi carrier kronis
dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan serta merupakan penyebab
utama sirosis hati, penyakit hati stadium akhir dan kanker hati. Sering kali
proses ini tidak menimbulkan gejala apapun walaupun proses kerusakan hati
berjalan terus. Hilangya VHC setelah hepatitis kronis sangat jarang terjadi.
Diperlukan waktu sekitar 20-30 tahun untuk terjadi sirosis hati yang akan
terjadi pada 15-20% pasien hepatitis C kronis. Sekitar 15-25% dari orang yang
terinfeksi dapat sembuh tanpa pengobatan dengan alasan yang tidak diketahui.
(CDC).2
Kerusakan hati akibat infeksi kronik tidak dapat tergambar pada
pemeriksaan fisik maupun labaratorik kecuali bila sudah terjadi sirosis hati.
Pada pasien dimana ALT selalu normal, 18-20% sudah terdapat kerusakan hati
bermakna, sedangkan diantara pasien dengan peningkatan ALT, hamper
semua sudah mengalami kerusakan hati sedang sampai berat. Progesivitas
hepatitis kronis menjadi sirosis tergantung beberapa faktor antara lain asupan
alcohol, koinfeksi dengan hepatitis B atau HIV, jenis kelamin laki-laki dan
usia tua saat terjadinya infeksi. Setelah terjadi sirosis hati, maka dapat timbul
kanker hati dengan frekuensi 1-4% tiap tahunnya. Kanker hati dapat terjadi
tanpa melalui sirosis hati walaupun kondisi seperti ini jarang terjadi.2
9

Koinfeksi HCV dengan HIV diketahui menjadi masalah karena dapat


memperburuk perjalanan penyakit hati yang kronik, mempercepat terjadinya
sirosis hati dan mungkin pula mempercepat penurunan sistem kekebalan
tubuh. Adanya koinfeksi tersebut juga mempersulit pengobatan dengan
antiretrovirus karena memperbesar porsi pasien yang menderita gangguan
fungsi hati dibandingkan dengan pasien tanpa koinfeksi HIV. Di Indonesia,
kasus ini sering terjadi pada pengguna jarum suntik yang menggunakan alat
suntik bergantian.
Selain gejala-gejala gangguan hati, dapat pula timbul manifestasi
ekstra hepatic antara lain crioglobunemia dengan komplikasi-komplikasinya
(glomerulopati, kelemahan, vaskulitis, purpura dan atralgia), sicca syndrome,
lichen planus dan porphyria cutanea tarda. Patofisiologi manifestasi gejala
ekstra hepatic belum diketahui dengan jelas namun dihubungkan dengan
kemampuan VHC untuk menginfeksi sel-sel limfoid sehingga mengganggu
respon sistem imunologis. Sel-sel limfoid yang terinfeksi dapat berubah
sifatnya menjadi ganas karena dilaporkan tingginya kejadian limfoma non
Hodgin pada pasien dengan infeksi HCV.

II.5 Imunologi VHC


Virus merupakan mikroorganisme yang mengadakan replikasi dalam sel
dan terkadang memakai asam nukleat atau protein pejamu. Sifat virus yang sangat
khusus antara lain:6
(l) dapat menginfeksi jaringan tanpa menimbulkan respons inflarnasi
(2) dapat berkembang biak dalam sel penjamu tanpa merusak
(3) mengganggu sel khusus tanpa merusak. Virus yang tidak menyebabkan
kerusakan sel, disebut non cytopathic virus. Bila terjadi kerusakan sel, maka hal
ini akibat reaksi antigen antibodi. Virus ini dapat menjadi persisten dan akhirnya
menjadi kronik, sebagai contoh adalah virus hepatitis B
(4) virus merusak sel atau mengganggu perkembangan sel kemudian menghilang
dari tubuh, dan virus seperti ini disebut cytopathic virus. Sebagai contoh infeksi
virus HIV, infeksi hepatitis virus lain, dsb.
10

Secara jelas terlihat respons imun yang terjadi adalah timbulnya interferon dan sel
natural killier (NK) dan antibodi yang spesifik terhadap virus tersebut (lihat
gambar 2).6

HIV
Interferon
Hepatitis Virus Antibodi sel Tc
Sel NK
Epstien-Barr Virus

Cytomegalo Virus

Gambar 2. Respon Imun terhadap Infeksi Virus


Sumber: Harsoyo Notoatmojo (2004)
Dua mekanisme utama respon nonspesifik terhadap virus, antara lain:
(1) infeksi virus secara langsung yang akan merangsang produksi IFN oleh sel-sel
terinfeksi. IFN berfungsi rnengharnbat replikasi virus
(2) sel NK mampu membunuh virus yang berada dalam sel, walaupun virus
menghambat presentasi antigen dan ekspresi MHC klas I.
IFN tipe I akan meningkatkan kemampuan sel NK untuk membunuh virus yang
berada daiam sel. Sebagai tambahan aktivasi komplemen dan fagositosis akan
menghilangkan virus yang datang dari ekstra seluler dan sirkulasi.

Perlindungan
terhadap infeksi

Eradikasi infeksi

Gambar 3. Imunitas terhadap infeksi virus


Sumber: Harsoyo Notoatmojo (2004)
11

Pada Gambar 3. terlihat bahwa mekanisme respons spesifik ada dua jenis ialah
respons imunitas humoral dan imunitas seluler. Respons spesifik ini mempunyai
peran penting ialah:
(1) menetralkan antigen virus, dengan berbagai cara antara lain menghambat
perlekatan virus pada reseptor yang terdapat pada permukaan sel, sehingga virus
tidak dapat menembus membran sel, juga dengan cara mengaktifkan komplemen
yang menyebabkan agregasi virus sehingga mudah difagositosis
(2) melawan virus sitopatik yang dilepaskan dari sel yang lisis.
Respon imunitas seluler juga merupakan respons imuritas yang penting terutama
pada infeksi virus yang nonsitopatik. Respons ini melibatkan sel T sitotoksik yang
bersifat protektif, sel NK, ADCC dan interaksi dengan MHC kelas I sehingga
menyebabkan kerusakan sel jaringan. Dalam respons infeksi virus pada jaringan
akan timbul IFN (IFN-a dan IFN-b) yang akan membantu terjadinya respons imun
yang bawaan dan aquisita. Peran antivirus dari IFN cukup besar terutama IFN-a
dan IFN-b. Kerja IFN sebagai antivirus adalah:
(1) meningkatkan ekspresi MHC kelas I
(2) aktivasi sel NK dan makrofag
(3) menghambat replikasi virus
(4) mengnambat penetrasi ke dalam sel atau budding virus dari sel yang terinfeksi.
Beberapa virus dapat menginfeksi sel-sel sistem imun sehingga mengganggu
fungsinya dan mengakibatkan imunodepresi, misal virus polio, influenza dan HIV
atau penyakit AIDS. Sebagian besar virus membatasi diri (self limiting) pada
sebagian lain sehingga menyebabkan gejala klinik atau subklinik. Penyembuhan
infeksi virus pada umumnya diikuti imunitas jangka panjang. Demikian juga
demam dengue dan demam berdarah dengue, merupakan infeksi virus akut yang
disebabkan oleh empat jenis virus dengue. Imunitas yang terjadi cukup lama,
apabila terkena infeksi virus dengan serotipe yang sama, tetapi bila dengan
serotipe yang berbeda, maka imunitas yang terjadi menjadi berbeda pula.
Gangguan pada organ hati pada dernarn berdarah dengue telah dibuktikan dengan
ditemukannya virus dengue RNA dalam jaringan sel hati dan organ limfoid. Virus
12

dengue teryata menyerang sel kupffer dan hepatosit, sehingga terjadi gangguan di
hati.6
Hepatitis virus C merupakan penyebab pcnyakit hati akut atau kronik yang
amat penting di Indonesia. Dalam bentuk akut insidennya relatif lebih besar
daripada hepatitis B, sedangkan bentuk kroniknya hampir sama dcngan hepatitis
B, hanya gejalanya lebih ringan. Mayoritas penderita hepatitis virus C
berkembang menjadi kronik dan secara aktif bereplikasi pada 90% penderita,
sehingga penyakit ini dikategorikan sebagai "silent killer". Bila virus hepatitis C
masuk dalam tubuh, maka respons imun yang terjadi hampir sama dengan
hepatitis B, artinya terjadi antibodi terhadap kapsul virus tersebut yang terdiri dari
protein CP9 dan CP10. Anti HCV-RNA yang tinggi dianggap mengidap infeksi
HCV bukan infeksi yang transien. Pada prinsipnya penularan hepatitis C hampir
sama dengan hepatitis B ialah melalui parenteral misalnya transfusi, henodialisis,
lewat hubungan seksual dan kadang-kadang lewat ibu ke bayi. Penularan dari ibu
ke anak berbeda dari pada penularan lewat transfusi, namun keadaan ini belum
dapat diterangkan dengan jelas. Menurunnya respons limfosit T dan kecendrungan
virus untuk bermutasi, tampaknya menyebabkan tingginya angka infeksi kronis.
Hepatitis C cenderung bereplikasi dengan sel hati, tapi tidak sitopatik secara
langsung, sehingga menyebabkan infeksi yang persisten selama infeksi kronis.
RNA-HCV mencapai titer yang tinggi, biasanya 105-107 IU/ ml. Namun faktor
pejamu juga megang peranan penting, misalnya usia yang lebih tua, jenis kelamin
dan keadaan imunokopromis.6

II.6 Diagnostik
Infeksi oleh VHC dapat diidentifikasikan dengan memeriksa antibodi
yang dibentuk tubuh terhadap VHC bila virus menginfeksi pasien. Antibodi
ini akan bertahan lama setelah infeksi terjadi dan tidak mempunyai arti
protektif. Walaupun pasien dapat menghilangkan infeksi VHC pada infeksi
akut, namun antibodi terhadap VHC masih terus bertahan bertahun tahun (18-
20 tahun). Deteksi antibodi terhadap VHC dilakukan umumnya dengan teknik
enzyme immune assay (EIA). Antigen yang digunakan untuk deteksi dengan
13

cara ini adalah antigen C-100 dan beberapa antigen non-struktural (ns 3,4 dan
5) sehingga tes ini menggunakan poliantigen dari VHC. Dikenal beberapa
generasi pemeriksaan antibodi VHC ini dimana antigen yang digunakan
semakin banyak sehingga saat ini generasi III mempunyai sensitivitas dan
spesivitas yang sangat tinggi antibodi terhadap VHC dapat dideteksi pada
minggu ke 4-10 dengan sensivitas mencapai 99% dan spesivitas 90%. Negatif
palsu dapat terjadi terrhadap pasien dengan difesiensi sistem kekebalan tubuh
seperti pada pasien HIV, gagal ginjal. Immunobolt assay dulu digunakan
untuk tes konfirmasi pada meraka dengan anti HCV positif dengan EIA. Saat
ini dengan tingkat spesifitas dan sensivitas EIA yang sudah sedemikian tinggi,
tes konfirmasi ini tidak diragukan lagi.6
Deteksi RNA VHC digunakan untuk mengetahui adanya virus ini
dalam tubuh pasien terutama dalam serum sehingga memberikan gambaran
infeksi sebenarnya. Jumlah VHC dalam serum maupun dalam hati relative
sangat kecilsehingga diperlukan teknik amplifikasi agar terdeteksi. Teknik
polymerase chain reaction (PHC) dimana gen VHC digandakan oleh enzyme
polymerase digunakan sejak ditemukan virus ini dan sat ini umumnya
digunakan untuk menentukan adanya VHC (secara kualitatif) maupun untuk
mengetahui jumlah virus VHC (secara kuantitatif). Teknik ini juga dipakai
dalam menentukan genotip VHC.teknik lain adalah dengan menggadakan
signal yang didapat dari gen VHC yang terikat pada probe RNA sehingga
dapat dihitung jumlah kuantitativ VHC . hasil kedua pemeriksaan ini sulit
dibandingkan satu dengan yang lainnya walupun saat ini ada standarisasi
dalam satuan pemeriksaan sehingga dimasa datang diharapkan satu
pemeriksaan dapat diikuti atau dilakukan pemeriksaan ulang dengan
pemeriksaan lain dengan hasil yang dapat dibandingkan. Untuk menentukan
genotip VHC selain dengan teknik VCR, juga digunakan teknik hibridasi atau
dengan melakukan sequencing gen VHC.6
Selain untuk pemeriksaan pada pasien, penentuan adanya infeksi VHC
dilakukan pada penapisan darah untuk tranfusi darah. Umumnya unit transfusi
darah menggunakan deteksi anti VHC dengan EIA maupun dengan cara
14

imunokomotrografi, namun hasil terdapat kasus kasus pasien yang terinfeksi


oleh VHC maupun deteksi VHC sudah dinyatakan negatif. Teknik deteksi
nukleotida lebih sensitif daripada deteksi anti VHC karna itu di dunia saat ini
telah dikembangkan teknik menggunakan real time PCR yang dapat
mendeteksi RNA VHC dalam jumlah yang sangat kecil (kurang dari 50
kopi/ml). selain itu, tekhnologi menggunakan teknik transcripted mediated
amplification (TMA) juga telah dikembangkan untuk meningkatkan
sensitivitas deteksi VHC. Teknik yang sangat sensitif ini berguna untuk
mendeteksi infeksi VHC dikalangan pasien maupun dikalangan masyarakat
umum untuk tranfusi darah.6
Anti- HCV RNA Interpretasi
HVC
Positif Positif Hepatitis C akut / kronis, bergantung pada gejala
klinis
Positif Negatif Resolusi VHC; status infeksi tidak dapat
ditentukan (kemungkinan status intermittent
verenia)
Negatif Positif Infeksi VHC akut awal; VHC kronis pada pasien
dengan status imunosupresi; atau pemeriksaan
RNA VHC positif palsu
Negatif Negatif Tidak terinfeksi HCV

Tabel 1. Interpretasi Pemeriksaan RNA VHC dan anti-VHC


Sumber: Kapita Selekta Kedokteran, 2014

II.7 Penatalaksanaan
Indikasi terapi pada hepatitis C kronik apabila didapatkan peningkatan
nilai ALT lebih dari batas atas nilai normal. Menurut panduan
penatalaksanaan, nilai ALT lebih dari 2 kali batas atas nilai normal. Hal ini
mungin tidak berlaku mutlak karena berapapun nilai ALT di atas batas nilai
normal biasanya sudah menunjukan adanya fibrosis yang nyata bila dilakukan
15

biopsi hati. Bila nilai ALT normal, harus diketahui terlebih dahulu apakah
nilai normal ini menetap (persisten) atau berfluktuasi dengan memonitor nilai
ALT setiap bulan untuk 4 5 kali pemeriksaan. Nilai ALT yang berfluktuasi
merupakan indikasi untuk, melakukan terapi namun bila nilai ALT tetap
normal, biopsi hati perlu dilakukan agar dapat lebih jelas diketahui fibrosis
yang sudah terjadi.3
Pada pasien yang tidak terjadi fibrosis hati (F0) atau hanya merupakan
fibrosis hati ringan (F1), mungkin terapi tidak perlu dilakukan karena mereka
biasanya tidak berkembang menjadi sirosis hati setelah 20 tahun menderita
infeksi HCV. Niali fibrosis hati pada tingkat menengah atau tinggi, sudah
merupakan indikasi untuk terapi sedangkan apabila sudah terdapat sirosis hati,
maka pemberian interferon harus berhati-hati karena dapat menimbulkan
penurunan fungsi hati secara bermakna. Pengobatan hepatitis C kronik adalah
dengan menggunakan interferon alfa dan ribavirin. Umumnya disepakati bila
genotype HCV adalah genotype 1 dna 4, maka terapi perlu diberikan selama
48 minggu dan bila genotype 2 dan 3, terpai cukup diberikan selama 24
minggu.3
Kontra indikasi terapi adalah berkaitan dengan penggunaan interferon
dan ribavirin tersebut. Pasien yang berumur lebih dari 60 tahun, Hb <10 g/dL,
lekousit darah <2500/uL, trombosit <100.000/uL, adanya gangguan jiwa yang
berat, dan adanya hipertiroid tidak diindikasikan untuk terapi dengan
interferon dan ribavirin. Pasien dengan gangguan ginjaljuga tidak
diindikasikan menggunakan ribavirin karena dapat memperberat gangguan
ginjal yang terjadi.Untuk interferon alfa yang konvensional, diberikan setiap 2
hari atau 3 kali seminggu dengan dosis 3 juta unit subkutan setiap kali
pemberian. Interferon yang telah diikat dengan poly-ethylen glycol (PEG) atau
dikenal dengan Peg-Interferon, diberikan setiap minggu dengan dosis 1,5
ug/kg BB/kali (untuk Peg-Interferon 12 KD) atau 180 g (untuk Peg-
Interferon 40 KD). Pemberian interferon diikuti dengan pemberian ribavirin
dnegan dosis pada pasien dengan berat badan <50 kg 800 mg setiap hari, 50-
16

70kg 1000 mg setiap hari, dan >70kg 1200 mg setiap hari dibagi dalam 2 kali
pemberian.
Pada akhir terapi dengan interferon dan ribavirin, perlu dilakukan
pemeriksaan RNA HCV secara kualitatif untuk mengetahui apakah HCV
resisten terhadap pengobatan dengan interferon dan tidak memerlukan
pemeriksaan RNA HCV 6 bulan kemudian. Keberhasilan terapi dinilai 6 bulan
setelah pengobatan dihentikan dengan memeriksa RNA HCV kualitatif. Bila
RNA HCV tetap negatif, maka pasien dianggap mempunyai respons virologik
yang menetap (sustained virological response atau SVR) dan RNA HCV
kembali positif, pasien dianggap kambuh (relapser). Mereka yang tergolong
kambuh ini dapat kembali diberikan Interferon dan ribavirin nantinya dengan
dosis yang lebih besar atau bila sebelumnya menggunakan Interferon
konvensional, Peg Interferon mungkin akan bermanfaat. Beberapa peneliti
menganjurkan pemeriksaan RNA HCV kuantitatif 12 minggu setelah terapi
dimulai untuk menentukan prognosis keberhasilan terapi dimana prognosis
dikatakan baik bila RNA HCV turun >2 log.
Efek samping penggunaan interferon adalah demam dan gejala-gejala
menyerupai flu (nyeri otot, malaise, tidak nafsu makan, dan sejenisnya),
depresi dan gangguan emosi, kerontokan rambut lebih dari normal, depresi
sumsum tulang, hiperurisemia, kadang-kadang timbul tiroiditis. Ribavirin
dapat menyebabkan penurunan Hb. Untuk mengantisipasi timbulnya efek
asmping tersebut, pemantauan pasien mutlak dilakukan. Pada awal pemberian
interferon dan ribavirin dilakukan pemantauan klinis, laboratories (Hb,
lekousit, trombosit, asam urat dan ALT) setiap 2 minggu yang kemudian dapat
dilakukan setiap bulan. Terapi tidak boleh dilanjutkan bila Hb<8 gr/dL,
lekousit <1500/uL atau kadar neutrofil <500/uL, trombosit <50.000/uL,
depresi berat yang tidak teratasi dengan pengobatan anti depresi, atau timbul
gejala-gejala tiroiditis yang tidak teratasi.
Keberhasilan terapi dengan interferon dan ribavirin untuk eradikasi
HCV lebih kurang 60%. Tingkat keberhasilan terapi tergantung pada beberapa
hal. Pada pasien dengan genotype 1 hanya 40% pasien yang berhail
17

dieradikasi sedangkan untuk genotype lain, tingkat keberhasilan terapi dapat


mencapai lebih dari 70%. Peg Interferon dilaporkan mempunyai tingkat
keberhasilan terapi yang lebih baik daripada interferon konvensional. Hal lain
yang juga berpengaruh dalam kurangnya keberhasilan respons terapi dengan
interferon adalah semakin tua umur, semakin lama infeksi terjadi, jenis
kelamin laki-laki, berat badan berlebih (obesitas), dan tingkat fibrosis hati
yang berat.
Pada hepatitis C akut, keberhasilan terapi dengan interferon lebih baik
daripada pasien pasien hepatitis C kronik hingga mencapai 100%. Pada
kelompok pasien ini interferon dapat digunakan secara monoterapi tanpa
ribavirin dan lama terapi pada satu laporan hanya 3 bulan. Namun sulit untuk
menentukan infeksi akut HCV karena tidak adanya gejala akibat infeksi virus
ini sehingga umunya tidak diketahui waktu yang pasti adanya infeksi. Apabila
jelas infeksi akut enjadi tersebut terjadi misalnya pada tenaga medis yang
secara rutin dilakukan anti HCV dengan hasil negatif dan kemudian setelah
tertusuk jarum anti-HCV menjadi positif maka monoterapi dengan interferon
dapat diberikan.
Pada ko-infeksi HCV-HIV, terapi dengan interferon dan ribavirin
dapat diberikan bila jumlah CD4 pasien ini >200 sel/mL. bila CD4 kurang dari
nilai tersebut, respons terapi sangat tidak memuaskan. Untuk pasien dengan
ko-infeksi HCV-HBV, dosis pemberian interferon untuk HCV sudah sekaligus
mencukupi untuk terapi HBV sehingga kedua virus dapat diterpai bersama-
sama sehingga tidak diperlukan nukleosida analog yang khusus untuk HBV.
18

Tabel 2. Interpretasi Pemeriksaan RNA VHC dan anti-VHC


Kondisi Peg-Interferon alfa Ribavirin
Kontraindikasi Depresi berat Kehamilan
absolut Psikotik atau riwayat psikotik Gagal ginjal
Kejang yang tidak terkontrol Gagal jantung
berat
Sirosis hati dekompensata Penyakit
vaskular yang
berat
Riwayat depresi Anemia
DM tidak terkontrol Penyakit
jantung iskemik
Hipertensi tidak terkontol
Retinopati
Psoriasis
Automun tiroditis, hepatitis, atau lainnya
Perhatian Netropenia (hitung neutrofil) <1.500
khusus sel/ L
Trombositopenia (jumlah trombosit
<85.000/ L)
Transplantasi organ
Riwayat penyakit autoimun
Adanya autoantibodi tiroid pada usia
>70 tahun
Sumber: Kapita Selekta Kedokteran, 2014

II.8 Pecegahan
Belum ada vaksin yang mampu mencegah infeksi VHC. Pencegahan yang
dapat dilakukan antara lain:6
(1) Skrinning darah dan produk darah
19

(2) Pencegahan universal terhadap pasien infeksi VHC


(3) Menghindari pengunaan alat cukur, sikat gigi, atau gunting kuku bersama
dengan pasien hepatitis C
(4) Tidak ada pencegahan khusus pada bayi baru lahir dari ibu hepatitis C

II.9 Prognosis
Sekitar 10-20% pasien hepatitis C akan mengalami sirosis dalam 20 tahun,
1-5% kasus sirosis dengan hepatitis C akan berkembang menjadi karsinoma
hepatoseluler (KHS) setiap tahunnya, khususnya pada infeksi VHC 30 tahun.
Mortalitas akibat kematian penyakit sirosis terkait hepatitis mencapai sekitar 4%
per tahun, sedangkan kematian pada KHS terjadi 1-5% pasien per tahun.5
20

BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Pada prinsipnya kekebalan tubuh terdiri dari bawaan dan didapat yang
bersifat spesifik dan non spesifik. Secara otomatis bila ada infeksi virus, tubuh
menyiapkan perangkat lunak atau keras untuk menghadapi infeksi tersebut.
Hepatitis C merupakan masalah kesehatan masyarakat dunia sekitar 2 milyar
penduduk dunia terinfeksi virus hepatitis, dengan angka kematian 1 sampai 2
juta orang. Pencegahan sangat penting dilakukan. Pencegahan sekunder untuk
mencegah terjadinya persistensi dan kronik, serta pencegahan tertier dalam
rangka mencegah terjadinya kanker hati sangat perlu dilakukan.
21

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. 2016. Hepatitis C.


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs164/en/

2. Gani, Rino A.2006.Hepatitis C. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam


Jilid I Edisi IV.Jakarta: FKUI. Hal. 662

3. Klarisa, C, Liwang F, Kurniawan J.2014. Hepatitis C. Dalam: Kapita


Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI. Hal. 689

4. Lindseth, G N. 2005. Gangguan Hati, Kandung Empedu dan Pankreas.


Dalam: Patofisilogi Konsep Proses-proses Penyakit Klinis. Jakarta: EGC.
Hal. 489

5. Abdurachman SA. 2004.Hepatitis Virus Kronis. Dalam:Buku Ajar


Penyakit Dalam Jilid I Edisi Ketiga.Jakarta: FKUI. Hal 262-3

6. Notoatmojo, H. 2004. Peran imunitas dalam pencegahan penyakit hepatitis


virus pada anak. Pidato pengukuhan. Fakultas kedokteran universitas
dipenogoro. Semarang.

Anda mungkin juga menyukai