Pembimbing:
Disusun Oleh :
Salsabila Pratiwi
161.0221.076
(FK UPN)
DALAM
KATAPENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat AllahSWT, karena atas karunia-
Nya saya dapat menyelesaikan laporan kasus mengenai Imunologi pada Pasien
Hepatitis C. Penulisan laporan kasus ini merupakan salah satu syarat mengikuti
ujian Program Studi Profesi Dokter dibagian Departemen Penyakit Dalam RSPAD
Gatot Soebroto. Saya berharap makalah ini dapat bermanfaat untuk kepentingan
Saya sadar sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat
kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, segala masukan yang bersifat
pembuatan makalah ini, yaitu kepada dr. H. Ruswhandi Martamala, Sp.PD atas
arahan dan kebijakan yang telah diberikan, sehingga tugas ini dapat diselesaikan
dengan baik.
DAFTAR ISI
II.3 Patogenesis...................................................................................................... 5
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi VHC adalah masalah yang cukup besar karena pada sebagian
besar kasus hepatits C menjadi hepatitis kronik yang dapat menghantarkan
pasien pada penyakit sirosis hati dan kanker hati. Di negara maju, apabila sudah
terinfeksi maka salah satu indikasi utama melakukan transplantasi hati. 1
Virus hepatitis C adalah salah satu virus RNA rantai tunggal. Berbentuk
sferis dengan selubung glikoprotein yang tergabung dalam famili Flaviviridae
dan memiliki genus Hepacivirus. Protein yang terdapat pada selubung akan
2
membantu terbentuknya antibodi anti-VHC. Target utama dari virus ini adalah
hepatosit. Namun virus ini juga dapat menginfeksi leukosit, limfosit T, Limfosit
B dan limpa.3
Berbeda dengan virus hepatitis B yang pada umumnya bersifat akut, VHC
lebih sering bersifat kronis. Masa inkubasi VHC yaitu rata-rata 50 hari (rentang
14-180 hari) dan mulai terdeteksi 7-10 hari seterlah terinfeksi, sehingga anti-VHC
dapat terdeteksi 2-8 minggu setelah paparan. Pada kasus hepatitis akut, RNA
VHC dapat terdeteksi selama sekitar 12 minggu pertama, dan kemudian akan
turun secara signifikan sehingga terjadi resolusi penaykit secara spontan. Sekitar
50% pasien hepatitis akut yang mempunyai anti-VHC positif. Sedangkan pada
kasus hepatitis C kronik, RNA VHC masih dapat terdeteksi sekitar 6 bulan.
Sekitar 95% kasus mempunyai nilai anti-VHC positif. Faktor penentu terinfeksi
VHC menjadi akut atau kronis belum secara pasti diketahui. Namun, resolusi
spontan sering ditemukan pada pasien simptomatis, perempuan, VHC genotipe 3.2
Infeksi VHC umumnya transmisi terbanyak berhubungan dengan transfusi
darah terutana yang didapatkan sebelum dilakukannya penapisan donor darah
untuk VHC oleh PMI. Terdeteksi secera sporadik atau tidak diketahui asal
infeksinya. Hal ini dihubungkan dengan sosial ekonomi rendah, pendidikan yang
kurang dan perilaku seksual yang beresiko tinggi. Infeksi dari ibu ke anak jarang
terjadi, biasanya dihubungkan dengan ibu yang menderita HIV, karena ibu yang
menderita HIV biasanya jumah VHC tinggi. Dilaporkan juga terinfeksi VHC pada
tindakan-tindakan medis seperti endoskopi, perawatan gigi, dialisis, maupun
operasi. Pasien pengguna narkotika suntik (>80%), pasien hemodialisa (70%),
penggunaan obat intranasal, pengunaan tatto atau tindik.2
Oleh karena itu, untuk mengetahui imunologi dari pasien hepatitis C serta
dibutuhkan diagnosis dan penatalaksanaan yang cepat dan tepat dalam penanganan
hepatits C.
3
I. 2. Rumusan Masalah
Bagaimana imunologi pada pasien hepatitis C?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pendahuluan
Hepatitis virus akut merupakan infeksi sistemik yang dominan menyerang
hati. Hampir semua kasus hepatitis akut disebabkan oleh salah satu dari lima jenis
vints meliputi vints hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C
(HCV), virus hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis E (HEV). Semua virus
tersebut merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis B. Hepatitis viral akut
merupakan umtan pertama dari berbagai penyakit hati di seluruh dunia. Penyakit
tersebut atau gejala sisanya bertanggung jawab atas 1- 2 juta kematian setiap
tahunnya. Di Indonesia, prevalensi anti-HCV pada donor darah di beberapa
tempat di Indonesia menunjukkan angka diantara 0,5%-3,37%. Sedangkan
prevalensi anti-HCV pada hepatitis virus akut menunjukkan bahwa hepatitis C
(15,5%-46,4%) menempati urutan kedua setelah hepatitis A (39,8%-68,3%)
sedangkan urutan ketiga ditempati oleh hepatitis B (6,4%-25,9%).2
normal
Hati terinfeksi
Target VHC adalah sel-sel hati dan mungkin juga limfosit B melalui
reseptor yang mungkin sekali sempa dengan CD81 yang terdapat di sel hati
maupm limfosit B atau reseptor LDL. Setelah berada dalam sitoplasma hati, VHC
akan melepaskan selubung virusnya dan RNA virus siap untuk melakukan
translasi protein dan kemudian replica RNA. Strulctur gen VHC adalah sebuah
RNA rantai tunggal, sepanjang kira-kira 10.000 pasang basa dengan daerah open
reading frame (ORF) diapit susunan nukleotida yang tidak ditranslasikan. Kedua
ujung VHC ini sangat terpelihara sehingga saat ini dipakai untuk identifikasi
adanya infeksi VHC. Transa1asi protein VHC dilalcukan oleh ribosom sel hati
yang akan membaca RNA VHC dari satu bagian spesifik tersebut.2
II.3 Patogenesis
Studi mengenai mekanisme kerusakan sel hati karena VHC masih sulit
dilakukan karena terbatasnya kultur sel untuk VHC dan tidak adanya hewan
model kecuali simpanse yang dilindungi. Kerusakan sel hati akibat VHC atau
partikel virus secara langsung masih belumjelas. Namun beberapa bukti
menunjukan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan sel
sel hati. Protein core misalnya ditenggarai dapat menimbulkan reaksi
pelepasan radikal oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini diketahui
pula mempengaruhi proses signaling dalam inti sel terutama berkaitan dengan
penekanan regulasi imunologik dan apoptosis, adanya bukti bukti ini
menyebabkan kontroversi apakah VHC bersifat sitotoksik atau tidak, terus
berlangsung.2
Reaksi cytokine T cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk
terjadinya eliminasi menyeluruh VHC pada infeksi akut. Pada infeksi kronik,
reaksi CTL yang relative lemah masih mampu merusak sel sel hati dan
melibatkan proses inflamasi di hati tetapi tidak bias menghilangkan virus
maupun menekan evolusi genetic VHC sehingga kerusakan sel hati berjalan
terus menerus. Kemampuan CTL tersebut dihubungkan dengan aktivasi
limfosit sel T helper (TH) spesifik VHC. Adanya pergeseran dominasi
6
aktivitas Th1 menjadi Th2 berakibat pada reaksi toleransi dan melemahnya
respon CTL.2
Reaksi yang dilibatkan melaluai sitokin sitokin pro-inflamasi seperti
TNF-, TGF-1, akan menyebabkan reksutmen sel sel inflamasi lainnya dan
menyebabkan aktivitas sel sel Stelata diruang disse hati. Sel-sel yang khas ini
yang sebelumnya dalam keadaan tenang (quicent) kemudian berpoliferasi
dan menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblast, yang dapat menghasilkan
matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan aktif dalam
menghasilkan sitokin-sitokin pro-inflamasi. Mekanisme ini dapat timbul terus
menerus karena reaksi inflamasi yang terjadi tidak berhenti sehingga fibrosis
semakin lama semakin banyak dan sel sel yang ada semakin sedikit. Proses ini
dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosi hati.2
Pada gambaran histopatologis hepatitis kronik dapat ditemukan proses
inflamasi berupa neksosis gergit, maupun lobular, disertai dengan fibrosis di
daerah portal yang lebih lanjut dapat masuk ke lobules hati (fibrosis septal)
dan kemudian dapat menyebabkan nekrosis dan fibrosis jembatan (bridging
fibrosis/nekrosis) gambaran yang khas untuk infeksi VHC adalah agregat
limfosit di lobules hati namun tidak didapatkan pada semua kasus inflamasi
akibat VHC.2
Gambaran histopatologis pada infeksi kronik VHC sangat berperan
dalam proses keberhasilan terapi dan prognosis. Secara histopatologis dapat
dilakukan scoring untuk inflamasi dan fibrosis dihati sehingga memudahkan
untuk keputusan terapi, evaluasi pasien maupun komunikasi antara ahli
patologi. Saat ini sistem scoring yang mempunyai variasi intra dan
interoobserver yang baik diantaranya adalah METAVIR dan ISHAK.2
Sistem skoring Metavir digunakan untuk menilai pasien dengan
hepatitis C. Tingkatan tersebut berdasarkan derajat inflamasi yang terjadi pada
hepar antara lain:
0 : yaitu tidak ada luka
1 : luka yang minimal
7
2 : luka yang terjadi dan meluas ke area dari hepar termasuk pembuluh
darah
3 : fibrosis sudah mulai menyebar dan menghubungkan dengan area lain
4 : sirosis dengan luka tingkat lanjut
Secara jelas terlihat respons imun yang terjadi adalah timbulnya interferon dan sel
natural killier (NK) dan antibodi yang spesifik terhadap virus tersebut (lihat
gambar 2).6
HIV
Interferon
Hepatitis Virus Antibodi sel Tc
Sel NK
Epstien-Barr Virus
Cytomegalo Virus
Perlindungan
terhadap infeksi
Eradikasi infeksi
Pada Gambar 3. terlihat bahwa mekanisme respons spesifik ada dua jenis ialah
respons imunitas humoral dan imunitas seluler. Respons spesifik ini mempunyai
peran penting ialah:
(1) menetralkan antigen virus, dengan berbagai cara antara lain menghambat
perlekatan virus pada reseptor yang terdapat pada permukaan sel, sehingga virus
tidak dapat menembus membran sel, juga dengan cara mengaktifkan komplemen
yang menyebabkan agregasi virus sehingga mudah difagositosis
(2) melawan virus sitopatik yang dilepaskan dari sel yang lisis.
Respon imunitas seluler juga merupakan respons imuritas yang penting terutama
pada infeksi virus yang nonsitopatik. Respons ini melibatkan sel T sitotoksik yang
bersifat protektif, sel NK, ADCC dan interaksi dengan MHC kelas I sehingga
menyebabkan kerusakan sel jaringan. Dalam respons infeksi virus pada jaringan
akan timbul IFN (IFN-a dan IFN-b) yang akan membantu terjadinya respons imun
yang bawaan dan aquisita. Peran antivirus dari IFN cukup besar terutama IFN-a
dan IFN-b. Kerja IFN sebagai antivirus adalah:
(1) meningkatkan ekspresi MHC kelas I
(2) aktivasi sel NK dan makrofag
(3) menghambat replikasi virus
(4) mengnambat penetrasi ke dalam sel atau budding virus dari sel yang terinfeksi.
Beberapa virus dapat menginfeksi sel-sel sistem imun sehingga mengganggu
fungsinya dan mengakibatkan imunodepresi, misal virus polio, influenza dan HIV
atau penyakit AIDS. Sebagian besar virus membatasi diri (self limiting) pada
sebagian lain sehingga menyebabkan gejala klinik atau subklinik. Penyembuhan
infeksi virus pada umumnya diikuti imunitas jangka panjang. Demikian juga
demam dengue dan demam berdarah dengue, merupakan infeksi virus akut yang
disebabkan oleh empat jenis virus dengue. Imunitas yang terjadi cukup lama,
apabila terkena infeksi virus dengan serotipe yang sama, tetapi bila dengan
serotipe yang berbeda, maka imunitas yang terjadi menjadi berbeda pula.
Gangguan pada organ hati pada dernarn berdarah dengue telah dibuktikan dengan
ditemukannya virus dengue RNA dalam jaringan sel hati dan organ limfoid. Virus
12
dengue teryata menyerang sel kupffer dan hepatosit, sehingga terjadi gangguan di
hati.6
Hepatitis virus C merupakan penyebab pcnyakit hati akut atau kronik yang
amat penting di Indonesia. Dalam bentuk akut insidennya relatif lebih besar
daripada hepatitis B, sedangkan bentuk kroniknya hampir sama dcngan hepatitis
B, hanya gejalanya lebih ringan. Mayoritas penderita hepatitis virus C
berkembang menjadi kronik dan secara aktif bereplikasi pada 90% penderita,
sehingga penyakit ini dikategorikan sebagai "silent killer". Bila virus hepatitis C
masuk dalam tubuh, maka respons imun yang terjadi hampir sama dengan
hepatitis B, artinya terjadi antibodi terhadap kapsul virus tersebut yang terdiri dari
protein CP9 dan CP10. Anti HCV-RNA yang tinggi dianggap mengidap infeksi
HCV bukan infeksi yang transien. Pada prinsipnya penularan hepatitis C hampir
sama dengan hepatitis B ialah melalui parenteral misalnya transfusi, henodialisis,
lewat hubungan seksual dan kadang-kadang lewat ibu ke bayi. Penularan dari ibu
ke anak berbeda dari pada penularan lewat transfusi, namun keadaan ini belum
dapat diterangkan dengan jelas. Menurunnya respons limfosit T dan kecendrungan
virus untuk bermutasi, tampaknya menyebabkan tingginya angka infeksi kronis.
Hepatitis C cenderung bereplikasi dengan sel hati, tapi tidak sitopatik secara
langsung, sehingga menyebabkan infeksi yang persisten selama infeksi kronis.
RNA-HCV mencapai titer yang tinggi, biasanya 105-107 IU/ ml. Namun faktor
pejamu juga megang peranan penting, misalnya usia yang lebih tua, jenis kelamin
dan keadaan imunokopromis.6
II.6 Diagnostik
Infeksi oleh VHC dapat diidentifikasikan dengan memeriksa antibodi
yang dibentuk tubuh terhadap VHC bila virus menginfeksi pasien. Antibodi
ini akan bertahan lama setelah infeksi terjadi dan tidak mempunyai arti
protektif. Walaupun pasien dapat menghilangkan infeksi VHC pada infeksi
akut, namun antibodi terhadap VHC masih terus bertahan bertahun tahun (18-
20 tahun). Deteksi antibodi terhadap VHC dilakukan umumnya dengan teknik
enzyme immune assay (EIA). Antigen yang digunakan untuk deteksi dengan
13
cara ini adalah antigen C-100 dan beberapa antigen non-struktural (ns 3,4 dan
5) sehingga tes ini menggunakan poliantigen dari VHC. Dikenal beberapa
generasi pemeriksaan antibodi VHC ini dimana antigen yang digunakan
semakin banyak sehingga saat ini generasi III mempunyai sensitivitas dan
spesivitas yang sangat tinggi antibodi terhadap VHC dapat dideteksi pada
minggu ke 4-10 dengan sensivitas mencapai 99% dan spesivitas 90%. Negatif
palsu dapat terjadi terrhadap pasien dengan difesiensi sistem kekebalan tubuh
seperti pada pasien HIV, gagal ginjal. Immunobolt assay dulu digunakan
untuk tes konfirmasi pada meraka dengan anti HCV positif dengan EIA. Saat
ini dengan tingkat spesifitas dan sensivitas EIA yang sudah sedemikian tinggi,
tes konfirmasi ini tidak diragukan lagi.6
Deteksi RNA VHC digunakan untuk mengetahui adanya virus ini
dalam tubuh pasien terutama dalam serum sehingga memberikan gambaran
infeksi sebenarnya. Jumlah VHC dalam serum maupun dalam hati relative
sangat kecilsehingga diperlukan teknik amplifikasi agar terdeteksi. Teknik
polymerase chain reaction (PHC) dimana gen VHC digandakan oleh enzyme
polymerase digunakan sejak ditemukan virus ini dan sat ini umumnya
digunakan untuk menentukan adanya VHC (secara kualitatif) maupun untuk
mengetahui jumlah virus VHC (secara kuantitatif). Teknik ini juga dipakai
dalam menentukan genotip VHC.teknik lain adalah dengan menggadakan
signal yang didapat dari gen VHC yang terikat pada probe RNA sehingga
dapat dihitung jumlah kuantitativ VHC . hasil kedua pemeriksaan ini sulit
dibandingkan satu dengan yang lainnya walupun saat ini ada standarisasi
dalam satuan pemeriksaan sehingga dimasa datang diharapkan satu
pemeriksaan dapat diikuti atau dilakukan pemeriksaan ulang dengan
pemeriksaan lain dengan hasil yang dapat dibandingkan. Untuk menentukan
genotip VHC selain dengan teknik VCR, juga digunakan teknik hibridasi atau
dengan melakukan sequencing gen VHC.6
Selain untuk pemeriksaan pada pasien, penentuan adanya infeksi VHC
dilakukan pada penapisan darah untuk tranfusi darah. Umumnya unit transfusi
darah menggunakan deteksi anti VHC dengan EIA maupun dengan cara
14
II.7 Penatalaksanaan
Indikasi terapi pada hepatitis C kronik apabila didapatkan peningkatan
nilai ALT lebih dari batas atas nilai normal. Menurut panduan
penatalaksanaan, nilai ALT lebih dari 2 kali batas atas nilai normal. Hal ini
mungin tidak berlaku mutlak karena berapapun nilai ALT di atas batas nilai
normal biasanya sudah menunjukan adanya fibrosis yang nyata bila dilakukan
15
biopsi hati. Bila nilai ALT normal, harus diketahui terlebih dahulu apakah
nilai normal ini menetap (persisten) atau berfluktuasi dengan memonitor nilai
ALT setiap bulan untuk 4 5 kali pemeriksaan. Nilai ALT yang berfluktuasi
merupakan indikasi untuk, melakukan terapi namun bila nilai ALT tetap
normal, biopsi hati perlu dilakukan agar dapat lebih jelas diketahui fibrosis
yang sudah terjadi.3
Pada pasien yang tidak terjadi fibrosis hati (F0) atau hanya merupakan
fibrosis hati ringan (F1), mungkin terapi tidak perlu dilakukan karena mereka
biasanya tidak berkembang menjadi sirosis hati setelah 20 tahun menderita
infeksi HCV. Niali fibrosis hati pada tingkat menengah atau tinggi, sudah
merupakan indikasi untuk terapi sedangkan apabila sudah terdapat sirosis hati,
maka pemberian interferon harus berhati-hati karena dapat menimbulkan
penurunan fungsi hati secara bermakna. Pengobatan hepatitis C kronik adalah
dengan menggunakan interferon alfa dan ribavirin. Umumnya disepakati bila
genotype HCV adalah genotype 1 dna 4, maka terapi perlu diberikan selama
48 minggu dan bila genotype 2 dan 3, terpai cukup diberikan selama 24
minggu.3
Kontra indikasi terapi adalah berkaitan dengan penggunaan interferon
dan ribavirin tersebut. Pasien yang berumur lebih dari 60 tahun, Hb <10 g/dL,
lekousit darah <2500/uL, trombosit <100.000/uL, adanya gangguan jiwa yang
berat, dan adanya hipertiroid tidak diindikasikan untuk terapi dengan
interferon dan ribavirin. Pasien dengan gangguan ginjaljuga tidak
diindikasikan menggunakan ribavirin karena dapat memperberat gangguan
ginjal yang terjadi.Untuk interferon alfa yang konvensional, diberikan setiap 2
hari atau 3 kali seminggu dengan dosis 3 juta unit subkutan setiap kali
pemberian. Interferon yang telah diikat dengan poly-ethylen glycol (PEG) atau
dikenal dengan Peg-Interferon, diberikan setiap minggu dengan dosis 1,5
ug/kg BB/kali (untuk Peg-Interferon 12 KD) atau 180 g (untuk Peg-
Interferon 40 KD). Pemberian interferon diikuti dengan pemberian ribavirin
dnegan dosis pada pasien dengan berat badan <50 kg 800 mg setiap hari, 50-
16
70kg 1000 mg setiap hari, dan >70kg 1200 mg setiap hari dibagi dalam 2 kali
pemberian.
Pada akhir terapi dengan interferon dan ribavirin, perlu dilakukan
pemeriksaan RNA HCV secara kualitatif untuk mengetahui apakah HCV
resisten terhadap pengobatan dengan interferon dan tidak memerlukan
pemeriksaan RNA HCV 6 bulan kemudian. Keberhasilan terapi dinilai 6 bulan
setelah pengobatan dihentikan dengan memeriksa RNA HCV kualitatif. Bila
RNA HCV tetap negatif, maka pasien dianggap mempunyai respons virologik
yang menetap (sustained virological response atau SVR) dan RNA HCV
kembali positif, pasien dianggap kambuh (relapser). Mereka yang tergolong
kambuh ini dapat kembali diberikan Interferon dan ribavirin nantinya dengan
dosis yang lebih besar atau bila sebelumnya menggunakan Interferon
konvensional, Peg Interferon mungkin akan bermanfaat. Beberapa peneliti
menganjurkan pemeriksaan RNA HCV kuantitatif 12 minggu setelah terapi
dimulai untuk menentukan prognosis keberhasilan terapi dimana prognosis
dikatakan baik bila RNA HCV turun >2 log.
Efek samping penggunaan interferon adalah demam dan gejala-gejala
menyerupai flu (nyeri otot, malaise, tidak nafsu makan, dan sejenisnya),
depresi dan gangguan emosi, kerontokan rambut lebih dari normal, depresi
sumsum tulang, hiperurisemia, kadang-kadang timbul tiroiditis. Ribavirin
dapat menyebabkan penurunan Hb. Untuk mengantisipasi timbulnya efek
asmping tersebut, pemantauan pasien mutlak dilakukan. Pada awal pemberian
interferon dan ribavirin dilakukan pemantauan klinis, laboratories (Hb,
lekousit, trombosit, asam urat dan ALT) setiap 2 minggu yang kemudian dapat
dilakukan setiap bulan. Terapi tidak boleh dilanjutkan bila Hb<8 gr/dL,
lekousit <1500/uL atau kadar neutrofil <500/uL, trombosit <50.000/uL,
depresi berat yang tidak teratasi dengan pengobatan anti depresi, atau timbul
gejala-gejala tiroiditis yang tidak teratasi.
Keberhasilan terapi dengan interferon dan ribavirin untuk eradikasi
HCV lebih kurang 60%. Tingkat keberhasilan terapi tergantung pada beberapa
hal. Pada pasien dengan genotype 1 hanya 40% pasien yang berhail
17
II.8 Pecegahan
Belum ada vaksin yang mampu mencegah infeksi VHC. Pencegahan yang
dapat dilakukan antara lain:6
(1) Skrinning darah dan produk darah
19
II.9 Prognosis
Sekitar 10-20% pasien hepatitis C akan mengalami sirosis dalam 20 tahun,
1-5% kasus sirosis dengan hepatitis C akan berkembang menjadi karsinoma
hepatoseluler (KHS) setiap tahunnya, khususnya pada infeksi VHC 30 tahun.
Mortalitas akibat kematian penyakit sirosis terkait hepatitis mencapai sekitar 4%
per tahun, sedangkan kematian pada KHS terjadi 1-5% pasien per tahun.5
20
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Pada prinsipnya kekebalan tubuh terdiri dari bawaan dan didapat yang
bersifat spesifik dan non spesifik. Secara otomatis bila ada infeksi virus, tubuh
menyiapkan perangkat lunak atau keras untuk menghadapi infeksi tersebut.
Hepatitis C merupakan masalah kesehatan masyarakat dunia sekitar 2 milyar
penduduk dunia terinfeksi virus hepatitis, dengan angka kematian 1 sampai 2
juta orang. Pencegahan sangat penting dilakukan. Pencegahan sekunder untuk
mencegah terjadinya persistensi dan kronik, serta pencegahan tertier dalam
rangka mencegah terjadinya kanker hati sangat perlu dilakukan.
21
DAFTAR PUSTAKA