Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH VIROLOGI

VIRUS HEPATITIS C (HCV)

Disusun oleh :
NAMA : MARDIANA SARI MUSLIMAH
NIM : AK21032

PROGRAM STUDI D-III TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK


POLITEKNIK BINA HUSADA
KENDARI
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya
dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Adapun tema dari makalah ini adalah "Virus Hepatitis C". Pada kesempatan ini
kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen mata kuliah
Virologi yang telah memberikan tugas terhadap kami. Kami juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam
pembuatan makalah ini kami jauh dari kata sempurna. Dan ini merupakan langkah
yang baik dari studi yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, keterbatasan waktu dan kemampuan kami, maka kritik
dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan semoga makalah ini dapat
berguna bagi saya pada khususnya dan pihak lain yang berkepentingan pada
umum.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan penulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Struktur Virus Hepatitis C
B. Gejala Virus Hepatitis C
C. Etiologic Virus Hepatitis C
D. Patogenitas Virus Hepatiti C
E. Pemeriksaan Laboratorium Virus Hepatitis C
F. Pengobatan Virus Hepatitis C
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hepatitis merupakan penyakit peradangan pada hati yang dapat
disebabkan oleh berbagai kausa, termasuk infeksi virus. Infeksi virus tersebut
dapat menyebabkan timbulnya cedera, peradangan, bahkan kematian sel-sel yang
terinfeksi pada organ hati [1]. Virus Hepatitis C (VHC) merupakan salah satu
virus penyebab hepatitis dan dianggap menimbulkan dampak yang paling besar di
antara virus-virus lain penyebab hepatitis. Kebanyakan orang yang terinfeksi virus
hepatitis C tidak menunjukkan adanya gejala. Kenyataannya, banyak orang yang
tidak tahu bahwa mereka telah terinfeksi virus hepatitis C hingga muncul
kerusakan yang fatal pada organ hati mereka (silent epidemic). Kerusakan tersebut
dapat berupa kegagalan fungsi hati, sirosis, atau kanker hati yang dapat muncul
beberapa tahun setelah infeksi (hepatitis C kronis) [2]. Sejumlah penelitian juga
membuktikan bahwa kejadian karsinoma hepatoselular (HCC=Hepatocellular
Carcinoma) berkaitan erat dengan infeksi virus Hepatitis C [3].
Virus hepatitis C (VHC) pertama kali dikenal pada tahun 1989, namun
misteri mengenai virus tersebut masih belum terpecahkan dengan jelas pada saat
itu. Sekitar sepuluh tahun sebelumnya, sejumlah korban bermunculan yang diduga
disebabkan oleh infeksi virus hepatitis. Namun ketika diperiksa, tes untuk
hepatitis A dan B menunjukkan hasil yang negatif sehingga penyakit ini dikenal
sebagai hepatitis non-A, non- B (NANB). Pada tahun 1990 dikembangkan sebuah
tes untuk mengidentifikasi virus hepatitis C. Hasilnya membuktikan bahwa
sejumlah besar kasus hepatitis yang terjadi saat itu disebabkan oleh virus hepatitis
C [4].
Virus hepatitis C (VHC) merupakan salah satu penyebab penting yang
dapat mencetuskan terjadinya penyakit hati kronik, VHC merupakan penyebab
dari 20% penyakit hepatitis akut, 70% semua penyakit hepatitis kronik, 40%
penyakit sirosis hati, dan 60% penyakit karsinoma hepatoseluler (HCC). VHC
juga menjadi penyebab utama dari transplantasi hati di dunia. Infeksi VHC dapat
menjadi kronik pada 80% pasien dan 20% dari pasien yang terinfeksi VHC kronik
tersebut selanjutnya dapat mengalami sirosis. Terapi yang dapat menghasilkan
Sustained Viral Response (SVR) dapat menghambat progresivitas fibrosis hati,
menurunkan risiko dari HCC, dan meningkatkan kelangsungan hidup pasien,
terapi antivirus merupakan pilihan yang sangat penting pada manajemen pasien
dengan infeksi VHC kronik. Di samping itu, terdapat pedoman bahwa terapi
dengan interferon dapat mengurangi kejadian dari HCC [4].

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian penyakit Bumblefoot
2. Gejala Penyakit Bumblefoot Pada Ayam
3. Penyebab Penyakit Bumblefoot
4. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi Bumbefoot pada ayam
5. Pencegahan dan Pengobatan Bumblefoot pada ayam
6. Dampak kerugian Bumblefoot pada ayam bagi manusia

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian penyakit Bumblefoot
2. Untuk mengetahui gejala Penyakit Bumblefoot Pada Ayam
3. Untuk mengetahui penyebab Penyakit Bumblefoot
4. Untuk mengetahui metode yang digunakan untuk mengidentifikasi
Bumbefoot pada ayam
5. Untuk mengetahui pencegahan dan Pengobatan Bumblefoot pada ayam
6. Untuk mengetahui dampak kerugian Bumblefoot pada ayam bagi manusia
BAB III

PEMBAHASAN

Pada tahun 1980-an timbul sejumlah kasus hepatitis yang


menyebar melalui transmisi parenteral. Virus ini tidak dapat dikategorikan
dalam kelompok atau tipe virus hepatitis yang ada saat itu, yaitu Virus hepatitis
A, B dan delta. Seiring dengan perkembangan teknologi, ditemukannya metode
isolasi dan prasi RNA virus, virus ini kemudian dikenal dengan virus hepatitis
C dan merupakan penyebab dominan kasus infeksi akibat virus hepatitis non A
dan non B [5].
Hepatitis c adalah infeksi parenkim hati akut yang disebabkan oleh
virus hepatitis c (HVC): virus ini dapat menyebabkan hepatitis akut dan kronis,
mulai dari tingkat keparahan dari penyakit ringan yang berlangsung beberapa
minggu hingga penyakit serius seumur hidup (World Health Organization,
2019)

A. Struktur Virus Hepatitis C


Partikel virus hepatitis C terdiri dari selubung membran lipid yang
berdiameter 55 hingga 65 nm. Dua glikoprotein selubung virus, E1 dan E2,
tertanam dalam selubung lipid. Mereka mengambil bagian dalam perlekatan
virus dan masuk ke dalam sel. Di dalam selubungnya terdapat inti ikosahedral
yang berdiameter 33 hingga 40 nm. Di dalam intinya terdapat bahan RNA
virus.
E1 dan E2 terikat secara kovalen ketika tertanam dalam selubung
HCV dan distabilkan oleh ikatan disulfida. E2 berbentuk bulat dan tampak
menonjol 6 nm keluar dari membran selubung menurut gambar mikroskop
elektron.
Glikoprotein ini memainkan peran penting dalam interaksi
hepatitis C dengan sistem kekebalan tubuh. Wilayah hipervariabel, wilayah
hipervariabel 1 (HVR1) dapat ditemukan pada glikoprotein E2. HVR1 fleksibel
dan cukup mudah diakses oleh molekul di sekitarnya. HVR1 membantu E2
melindungi virus dari sistem kekebalan. Ini mencegah CD81 menempel pada
reseptornya masing-masing pada virus. Selain itu, E2 dapat melindungi E1 dari

sistem kekebalan tubuh. Mskipun HVR1 cukup bervariasi dalam urutan asam
amino, wilayah ini memiliki karakteristik kimia, fisik, dan konformasi yang
serupa di banyakglikoprotein E2 [12]
Gamabar 1Struktur Virus Hepatitis C

B. Epidemiologi Virus Hepatitis C


Sekitar 150 juta orang di dunia yang menderita hepatitis
kronis terinfeksi virus hepatitis C dan lebih dari 350 ribu orang meninggal
setiap tahun karena penyakit hati yang berhubungan dengan infeksi virus
hepatitis C tersebut. Virus hepatitis C dapat ditemukan di seluruh dunia.
Adapun negara- negara dengan tingkat penyakit hepatitis C kronis yang cukup
tinggi antara lain Mesir (15%), Pakistan (4,8%), dan China (3,2%). Cara
penularan (transmisi) virus hepatitis C di negara-negara tersebut umumnya
berhubungan dengan penggunaan peralatan injeksi (alat suntik) yang telah
terkontaminasi VHC. Sekitar 75-85% orang yang baru terinfeksi VHC dapat
menderita penyakit kronis dan 60-70% dari penderita tersebut dapat
berkembang menjadi penderita hepatitis C kronis. Sekitar 5-20% penderita
hepatitis C kronis berkembang menjadi sirosis dan sekitar 1-5% dilaporkan
meninggal karena sirosis maupun kanker hati. Sekitar 25% penderita kanker
hati, penyebabnya adalah infeksi virus hepatitis C [5].
Adapun negara-negara dengan prevalensi infeksi virus hepatitis C yang
relatif rendah yaitu Jerman (0,6%), Kanada (0,8%), Perancis (1,1%), dan
Australia (1.1%). Sedangkan negara-negara dengan tingkat prevalensi yang
relatif rendah namun sedikit lebih tinggi dilaporkan di Amerika Serikat (1.
8%), Jepang (1.5-2.3%), dan Italia (2.2%). Di Indonesia, pada tahun 2004
dilaporkan bahwa perkiraan tingkat prevalensi penderita hepatitis C adalah
sekitar 2,1%. Perkiraan tersebut hanya berdasarkan jumlah pendonor yang
positif menderita hepatitis C [6]. Pada tahun yang sama, yakni tahun 2004,
berdasarkan peta distribusi infeksi hepatitis C di dunia yang dipaparkan oleh
WHO menunjukkan tingkat prevalensi hepatitis C di Indonesia berkisar
antara 1-2,5% [7].
Virus hepatitis C dapat menyebar melalui darah. Apabila darah
orang yang terinfeksi virus hepatitis C masuk ke dalam tubuh orang yang
sehat, maka orang sehat tersebut dapat menderita hepatitis C juga [8].
1. Faktor Risiko Penularan Virus Hepatitis C
a. Penyalahgunaan Obat-Obatan Menggunakan Alat Suntik
Transmisi virus hepatitis C sangat berhubungan erat dengan
penggunaan alat suntik, terutama di kalangan para pengguna
narkoba. Sebuah badan penelitian penyakit hepatitis C di eropa,
yaitu HENCORE (The Hepatitis C European Network for
Coperatrive Research) melaporkan bahwa prevalensi hepatitis C di
kalangan pengguna narkoba yang menggunakan alat suntik adalah
sekita 80% Survei jangka panjang terhadap e) Hubungan Seksual
pengguna narkoba usia muda yang menggunakan alat suntik
menunjukkan tingkat prevalensi terinveksi VHC sekitar 70%
hingga 90%
b. Transfusi Darah
Transfusi darah (produk-produk darah merupakan media
yang sangat penting dalam penularan infeksi virus Hepatitis C.
Banyak kasus hepatitis yang terjadi setelah proses transfusi darah
diidentifikasi telah terinfeksi virus hepatitis C. Sekitar 1 per
100.000 atau 0,001% unit darah yang digunakan untuk transfusi
beresiko terkontaminasi virus hepatitis C. Tingkat rata-rata
prevalensi infeksi VHC pada pasien yang memperoleh transfusi sel
darah merah pekat (packed red cell) atau plasma adalah sekitar
19% dan lebih dari 95% pada pasien hemophilia yang mendapatkan
terapi faktor VIII atau IX. Meskipun resiko penularan hepatitis C
sangat tinggi melalui transfusi darah. Namun hal tersebut dapat
dihindari dengan meningkatkan screening terhadap para pendonor
sebelum transfusi darah. Hal ini terbukti dengan penurunan tingkat
insiden hepatitis C di negara maju melalui peningkatan screening
terhadap para pendonor.
c. Transplantasi Organ
Sejumlah laporan penelitian menunjukkan adanya resiko
infeksi VHC pada pasien yang memperoleh transplantasi organ
(jantung. Hati. Sumsum tulang belakang, dan lain-lain). Laporan
dari berbagai pusat transplantasi organ di seluruh duma
menunjukkan bahwa sekitar 34% para penerima transplantasi organ
(resipien) yang berasal dari pendonor dengan anti-HCV positif
menderita hepatitis setelah tranplantasi. Sekitar 50% resipien
tersebut menunjukkan hasil positif untuk pemeriksaan anti-HCV
dan sekitar 75% menunjukkan hasil positif untuk pemeriksaan
RNA VHC.
d. Hemodialisis
Faktor resiko penularan infeksi hepatitis melalui hemodialis
diperkirakan sekitar 10% pertahun. Berbagai studi secara umum
menyimpulkan bahwa infeksi virus hepatitis C pada Sangat pasien
hemodialysis berhubungan dengan infeksi nosocomial, dimana
faktor penyebabnya terutama karena kurangnysa teknik sterilisasi
dan kebersihan pada alat dialysis. Menurut pedoman dari CDC
(Centers of Disease Control and Prevention), untuk pengendalian
infeksi hepatitis C di bagian dialysis dapat dilakukan dengan
pemeliharaan kebersihan memperketat sterilisasi peralatan untuk
dialisis.
e. Hubungan Seksual
Faktor resiko infeksi VHC yang berhubungan dengan
transmisi melalui hubungan seks belum sepenuhnya diketahui.
Faktor resiko ini merupakan salah satu faktor resiko yang sangat
kontroversial ) dalam studi epidemiologi penyakit hepatitis C.
Berdasarkan pengamatan, prevalensi yang cukup tinggi untuk
infeksi VHC melalui hubungan sex banyak terjadi di kalangan
penderita penyakit menular seks, seperti penderita HIV, penderita
sipilis, homoseksual, dan lain-lain, dimana infeksi VHC terjadi
bersamaan dengan infeksi penyakit- penyakit tersebut. Transmisi
VHC dari laki-laki ke perempuan tampaknya lebih lebih mudah
terjadi ketimbang transmisi dari perempuan ke laki-laki. Meskipun
demikian, berbagai studi menjelaskan bahwa infeksi VHC sangat
kurang terjadi pada pasangan monogami. Hingga saat ini, masih
diperlukan banyak penelitian untuk membuktikan berbagai hal
tersebut.
f. Faktor Resiko Lain
Sebuah studi di Amerika Seikat memperkirakan bahwa
orang-orang yang beresiko untuk tertular VHC antara lain tenaga
kesehatan, tuna wisma, bayi yang ibunya terinfeksi VHC, dan lain-
lain. Pada tahun 1990-an, dilaporkan bahwa prevalensi infeksi
VHC dikalangan tenaga kesehatan 3 kalilebih banyak ketimbang
tenaga kerja non-medis. Hingga saat ini masih dibutuhkan banyak
penelitian untuk membuktikan adanya penularan VHC melalui ASI
2. Gejala-gejala Virus Hepatitis C
Orang yang mulai terinfeksi virus Hepatitis C, sekitar 75%
tidak menunjukkan gejala sakit. Kebanyakan dari mereka tampak
schat-schat saja. 25% lainnya mungkin merasakan keletihan.
Kehilangan napsu makan, nyeri otot atau demam yang tidak
spesifik. Pada tahap awal penyakit jarang sekali terjadi ikterus
jaundice atau kekuningan pada kulit atau mata. Hal ini yang
membuat kenapa banyak orang tidak sadar bahwa dirinya sudah
terinfeksi. Bila virus masuk ke dalam tubuh biasanya akan dilawan
oleh sistem kekebalan tubuh kita dan mati, namun virus hepatitis C
sulit dilawan oleh sistem imun kita dan biasanya akan menjadi
kronis.
Setelah lama berselang dan hati mengalami peradangan
yang menetap barulah terlihat beberapa gejala yang tidak spesifik,
seperti cepat lelah dan gejala-gejala tidak kas lainnya (tidak enak
badan). Dalam pemeriksaan darah peningkatan fungsi hati yang
menunjukkan kerusakan hati mulai terjadi. Disinilah biasanya
seseorang baru mengetahui bahwa dirinya terinfeksi
Bila sudah sampai tahap sirosis hati akan terlihat gejala badan
terasa lemah, kehilangan napsu makan dan turunnya berat badan,
kemerahan di telapak tangan. Bercak pembuluh darah di kulit yang
bentuknya mirip laba-laba (spider nevi spider angioma), proses
pembekuan darah terganggu, pembesaran kelenjar payudara pada
laki-laki dan lain-lain. Bila sudah masuk sampai gagal hati (fungsi
hati berhenti) maka hal ini bisa mengakibatkan penurunan
kesadaran seperti ling-lung sampai koma dan yang paling
menakutkan adalah kematian. Pada sirosis hati yang parah biasanya
tubuh akan menguning/ terjadi jaundice (terlihat pada kulit dan
mata) akibat hati tidak mampu mengeliminasi bilirubin (komponen
kekuningan hasil perombakan hemaglobin dan sel darah merah)
karena banyak selnya yang sudah rusak.
Akibat sirosis yang lain adalah pengerutan hati akibat
bertumpuknya jaringan parut dapat mencekik pembuluh darah besar
yang melewatinya sehingga tekanan disana menjadi sangat besar.
Hal ini disebut dengan Hipertensi Portal/ Portal Hypertension.
Dengan berbagai mekanisme hal ini menimbulkan penumpukan
cairan di rongga perut dan perut menjadi membuncit karenanya.
Keadaan ini disebut Ascites. Lainnya terjadi varises di pembuluh
vena di kerongkongan (esofagus, saluran yang menuju ke lambung
dari mulut) yang sewaktu-waktu bisa pecah dan menimbulkan
perdarahan serius/ masif. Hipertensi portal juga dapat
mengakibatkan gagal ginjal. Bembesaran limpa dan anemia (Firefly.
2017).

B. Etiologi Virus Hepatitis C


Virus Hepatitis C merupakan penyebab penyakit hepatitis non-A dan
non-B NANB). Virus ini memiliki selubung (envelope) dan RNA yang herupa
untaian positif. Partikel virus hepatitis C berukuran antara 30-60 nm
(nanometer). Genom dari virus hepatitis C memiliki 9.600 pasangan basa yang
mengkode pembentukan 10 protein [13]. Virus hepatitis C berada dalam famili
Flaviviridae dan genus Hepacivirus. Virus hepatitis C memiliki 6 genotipe
yang berbeda serta beberapa subtipe yang diduga memiliki pengaruh yang
berbeda-beda terhadap respon imun maupun terapi. Meskipun RNA VHC
dapat terdeteksi dalam serum, ginjal, maupun nodus limpa pada pasien yang
menderita hepatitis C. Namun percobaan secara invivio dan invitro
membuktikan bahwa VHC adalah virus. Hepatotropic yang hanya bereplikasi
dalam sel-sel hati (hepatocyte) [14].
a. Genom
Pada tahun 1989, Choo dkk. Untuk pertama kalinya berhasil
mengisolasi bagian genom VHC yang berasal dari plasma simpanse
dengan menggunakan immunoscreening. Pada bulan Agustus tahun
1990, dua kelompok peneliti dari Jepang berhasil melakukan kloning
terhadap genom regio struktural virus hepatitis C dan pada bulan
Desember pada tahun yang sama, sekelompok peneliti yang dipimpin
oleh Nobuyuki Kato berhasil melakukan kloning terhadap seluruh
genom VHC (9413 nukleotida) yang berasal dari pasien yang
menderita hepatitis kronik di Jepang. Sejak adanya penjelasan
mengenai genom VHC tersebut, maka telah banyak dilaporkan hasil
penelitian yang menjelaskan struktur lengkap genom VHC beserta
genotypenya [15].

Gambar 2 Struktur Genom VIIC dan Ringkasan Pembentukan Poliprotein VIIC

Genome virus hepatitis C tersusun atas molekul RNA


untaian positif dengan berat sekitar 9,6 kb dan setiap genotype VHC
memiliki panjang genome yang berbeda-beda. Protein precursor yang
dimiliki VHC (terdiri dari 3008 3037 asam amino) berasal dari ORF
(Open Reading Frame) genom VHC yang tersusun lebih dari 9024
nukleotida (nt). Protein struktural VHC terdiri atas protein core dan 3
protein envelope, yaitu E1, E2 (E2-A), dan E2-p7 (E2-B). Sedangkan
protein nonstruktural terdiri atas NS2, NS3, NS4A, NS4B, NS5A, dan
NSSB. Jadi, jumlah keseluruhan protein yang dibentuk adalah sepuluh
dengan urutan: NH2-Core-El-E2 p7-NS2-NS3-NS4A-NS4B-NS5A-
NS5B-COOH

b. Protein Struktural
a) Core
Core merupakan bagian yang sangat mendasar pada VHC
dan merupakan protein yang multifungsional. Protein ini
membentuk komponen struktural partikel virus hepatitis C Protein
core berperan dalam proses apoptosis, transkripsi, metabolism
lipid, transformasi sel host (inang), serta merangsang terjadinya
respon imun pada host, Protein core VHC berinteraksi dengan
genome VHC untuk membentuk nukleokapsid. Protein ini bersal
dari poliprotein yang disandi oleh genom VHC dan diproses oleh
protease di retikulum endoplasma (RE). Sebuah penelitian terbaru
yang dilakukan oleh 1. NS2. Ait-Goughoulte dkk. Pada tahun
2006 menunjukkan bahwa protein core dapat merakit dirinya
sendiri dakam partikel menyerupai VHC (HCVLPs HCV- like
particles) dalam membran retikulum endoplasma. Sebuah regio
precore yang menyandi 112-152 asam amino bersifat sangat
esensial untuk berhubungan dengan retikulum endoplasma serta
membran luar mitokondria. Protein core HCV yang meninggalkan
RE menuju mitokondria dapat menyebabkan munculnya sinyal
apoptosis [16]
b) Glikoprotein
Envelope. VHC memiliki dua glikoprotein, yaitu El dan E2
yang masing-masing memiliki berat molekul 33-36 kDa dan 70-
72 kDa. El dan E2 merupakan komponen envelope VHC yang
esensial dan berfungsi sebagai jalan bagi partikel virus hepatitis C
agar dapat masuk ke dalam sel host dengan cara berikatan pada
reseptor sel host, salah satunya E2 berikatan dengan reseptor
CD81 sel host E2 yang berkatan dengan reseptor CD 81
menyebabkan induksi agregasi limfosit, aktivasi sel natural killer
(NK), serta produksi sitokin. Tidak adanya glikoprotein VHC
pada membran plasma dapat mengahmahat respon imun.
Penelitian yang dilakukan oleh Harada dkk pada tahun 1995
menunjukkan bahwa sekitar 93% pasien yang menderita hepatitis
C memiliki antibodi terhadap protein E2 [17].
c) Protein P7
P7 merupakan protein berukuran kecil yang tersusun atas
63 asam amino. Beberapa literature menganggap protein ini
termasuk bagian dari protein struktural dan ada pula literatur yang
menjelaskan bahwa protein ini tergolong protein non-struktural
VHC karena posisinya yang berada di antara regio protein
struktural dan non- struktural Protein p7 dalam ilmu virology
dikenal dengan istilah viroporin yang berfungsi membentuk
saluran ion. Hasil studi invitro yang dilakukan oleh Griffin dkk
pada tahun 2003 menunjukkan bahwa protein p7 berperan dalam
pengangkutan ion kalsium, Aktivitas protein p7 dapat dihambat
oleh amantadine. Protein p7 bersifat sangat hidrofobik di alam
dan lokasi protein ini setelah ditranslasikan berada di retikulum
endoplasma sel host. Kebutuhan VHC terhadap ion-ion yang
disediakan oleh protein p? Saat menginfeksi, dapat menjadi target
untuk penentuan terapi antiviral dalam hal menghambat aktivitas
protein p7 [18].
d) Protein Nonstruktural
a. NS2
NS2 (Non-Structural Protein 2) merupakan protein
transmembran yang bersifat hidrofobik dengan berat molekul
23 kDa dan berperan dalam pengikatan dengan membran
retikulum endoplasma sel host. Membran NS2 berhubungan
dengan protease cysteine yang dibutuhkan bagi infekstifitas
virus hepatitis C. NS2 bersama dengan domain N-terminal dari
NS3 akan membentuk NS2-NS3 protease, yaitu enzim protease
yang diduga berikatan dengan zine yang berfungsi memisahkan
protein NS2 dengan protein NS3. Hipotesis yang mengatakan
bahwa NS2-NS3 protease merupakan sebuah protease zinc
didukung oleh hasil observasi yang ditunjukkan dengan adanya
aktivitas proteolitik yang dihambat dengan EDTA namun dapat
distimulasi oleh ZnCl² [18].
b. NS3
Protein NS3 merupakan anggota dari superfamily 2
DExH/D-box dengan berat molekul 67 kDa dan merupakan
protein tri fungsional yang terlibat dalam aktivitas enzim serine
protease, RNA helicase, dan NTPase. Karena fungsinya
tersebut. Maka protein NS3 menjadi target terpenting bagi
senyawa-senyawa dalam antiviral. NS3 bersama dengan
kofaktomya yaitu NS4A membentuk NS3- NS4A protease
dimana ikatan ini bertanggung jawab dalam pemisahan protein
NS3 dengan NS4A, NS4A dengan NS4B, NS4B dengan
NS5A, dan NSSA dengan NSSB[19].
c. NS4A
Protein NS4A merupakan kofaktor untuk aktivitas
serin protease NS3. Bagian terminal N dari 4A berperan
penting pada pembentukan membran kompicks NS3-4A. NS4A
berhubungan dengan protein-protein VHC yang lain pada
jaringan membran retikulum endoplasma. Tempat dimana
terjadinya pengemasan kompleks replikasi dari VHC. Selain
berlokasi di RE, NS4A juga dapat berlokasi di mitokondria sel
host. Dengan demikian, NS4A tidak hanya berperan dalam
proses replikasi VHC, namun NS4A juga terlibat dalam
patogenitas VHC yaitu dapat mempengaruhi fungsi seluler dari
sel host [19].
d. NS4B
Beberapa data hasil studi menunjukkan bahwa
NS4B merupakan protein transmembran yang memiliki ujung
genom dengan gugus karboksil pada sitoplasma sel host dan
ujung yang lain dengan gugus amino pada lumen retikulum
endoplasma sel host. Protein NS4B bersifat hidrofobik dengan
berat 27kDa-30kDa. Fungsi dari NS4B belum sepenuhnya
diketahui. Meskipun demikian, ekspresi NS4B dapat
menginduksi terbentuknya formasi “jaringan membran
(membranous web)” yang berasal dari retikulum endoplasma
sel host bersama protein- protein VHC yang lain. Diduga
jaringan membran tersebut merupakan tempat replikasi RNA
VHC pada sel yang terinfeksi, sebagaimana yang terjadi pada
vinus dari famili Flaviviridae yang lain [20]
e. NS5A
Protein NS5A merupakan protein non struktural
VHC yang bersifat hidrofilik dan memiliki aktivitas berikatan
dengan RNA. Protein NS5A dapat ditemukan dalam bentuk
phosphorilasi basal (56kDa) dan hyperphosphorilasi (58kDa) di
dalam sel. Protein NS5A berperan dalam menghambat induksi
interferon, terutama interferon gamma. Sebuah studi yang
dilakukan dengan menggunakan tikus transgenik NS5A
menunjukkan bahwa protein NS5A dapat merusak respon imun
alamiah maupun respon imun adaptif. Protein NS5A memiliki
regio yang terletak di antara residu asam amino 2209 dan 2248
yang dikenal dengan nama ISDR (Interferon Sensitivity
Determining Region) yang berhubungan dengan molekul
antiviral PKR (PKR merupakan efektor utama dari pertahanan
antiviral sel host yang dapat mengurangi dan menghambat
translasi virus melalui fosforilasi subunit alfa elF2). Protein
NS5A VHC diduga mampu menekan jalur PKR sel host.
Seseorang dengan mutant VHC pada NS5A-ISDR memiliki
tingkat SVR yang tinggi dibandingkan dengan seseorang yang
terinfeksi “wild-type” VHC (VHC yang tidak mengalami
mutasi pada genomnya). 6. NS5B [21]
NS5B merupakan protein VHC yang bersifat
hidrofilik (68kDa) serta merupakan RdRp (RNA- dependent
RNA-polymerase) yang memiliki motif GDD (motif katalisis)
yang aktif. Aktivitas biokimia RdRp VHC bergantung pada
kation- kation divalent (Mn2+ atau Mg2+). Adanya mutasi
pada sisi aktif RdRp VHC dapat menyebabkan berhentinya
replikasi subgenomic RNA VHC baik secara in vitro maupun
in vivo. NS5B menginisiasi sintesis RNA VHC komplementer
untai negatif menggunakan genom VHC (untai/kutub positif)
sebagai template yang selanjutnya menghasilkan RNA untai
positif dari template RNA VHC untai negatif tersebut [21].
e) Genotipe
Virus hepatitis C diklasifikasikan ke dalam sebelas
genotype besar (1-11). Selain itu, VHC juga memiliki banyak
subtipe yang diberi kode a, b, c, dan seterusnya. Berdasarkan
heterogenitas hasil sequencing genom VHC, diperkirakan terdapat
sekitar 100 strain virus hepatitis C [22].
Berbagai ahli memiliki cara masing-masing untuk
mengklasifikasikan genotype VHC, namun cara pengklasifikasian
VHC yang lebih banyak direkomendasikan adalah cara yang
diunkapkan oleh Simmonds dan kawan-kawan (Tabel 1). Genotype
1-3 terdistribusi hampir di seluruh dunia, namun genotip tersebut
memiliki prevalensi yang berbeda-beda antara wilayah geografis
satu dengan yang lainnya (Gambar 2). Subtype la dan lb
merupakan genotype yang sangat umum terdapat di wilayah
Amerika Serikat dan Eropa. Di Jepang, subtype 1b bertanggung
jawab pada lebih dari 72% kasus infeksi VHC. Subtype 2a dan 2b
secara umum terdapat di Amerika Utara, Eropa, dan Jepang
sedangkan 2c secara umum ditemukan di wilayah Italia bagian
utara [22].
Genotype 3a memiliki prevalensi yang tinggi di kalangan
pengguna narkoba dengan jarum suntik khususnya diwilayah Eropa
dan Amerika Serikat. Genotype 4 banyak terdapat di wilayah
Affrika dan Timur Tengah. Genotype 5 memiliki prevalensi yang
terbatas di wilayah Affrika Selatan dan genotype 6 di wilayah
Hong Kong. Genotype 7, 8, dan 9 hingga saat ini telah
teridentifikasi hanya pada pasien di negara Vietnam, sedangkan
genotype 10 dan 11telah teridentifikasi pada pasien di negara
Indonesia [22].
Beberapa pendapat mengungkapkan bahwa Genotype 7
hingga 11 sebaiknya dimasukkan dalam group yang sama, yakni
pada genotype 6. Distribusi geografis dan keanekaragaman
genotype virus hepatitis C dapat memberi petunjuk tentang riwayat
VHC. Kehadiran berbagai subtype VHC pada beberapa wilayah di
dunia, seperti Affrika dan Asia Tenggara, mengindikasikan bahwa
VHC dapat berkembang menjadi endemik dalam waktu yang lama

[23].

Tabel 1. Sistem Klasifikasi Genotipe Virus Hepatitis C


Gambar 3 Distribusi Geografis Genotipe dan Subtipe Virus Hepatitis C di Dunia

C. Patogenitas Virus Hepatitis C


Sistem imun tubuh manusia berfungsi sebagai pelindung terhadap
infeksi virus maupun bakteri, dimana sel-sel khusus di dalam tubuh
berinteraksi bersama menghancurkan berbagai virus maupun bakteri asing
yang dapat mengancam tubuh manusia. Sistem imun tersebut memiliki
struktur fisik dan fungsional. Secara fisik, sistem imun terbentuk oleh sel-sel
tubuh, reseptor, dan bahan kimia. Sedangkan secara fungsional, komponen-
komponen sistem imun tubuh membentuk pertahanan yang sangat kuat
melawan invasi sel-sel yang abnormal maupun organisme asing seperti virus.
Karena fungsinya tersebut, maka sistem imun tubuh sudah semestinya dapat
mengeliminasi virus hepatitis C saat menginfeksi tubuh. Beberapa orang
dengan penyakit infeksi VHC yang persisten, dapat terjadi karena virus
hepatitis C yang mampu menghindari, merusak, bahkan memperlemah sistem
imun tubuh. Akibatnya dapat timbul infeksi kronis dengan kerusakan hati
yang memungkinkan untuk berkembang menjadi sirosis, kegagalan fungsi
hati, kanker hati, bahkan kematian [24].
Respon imun tubuh terhadap infeksi virus hepatitis C meliputi respon
imun nonspesifik/alami/innate (sel dendritik, sel natural killer (NK), dan sel
kupffer) dan respon imun spesifik/didapat/adaptif (sel T CD4+ dan sel
TCD8+). (29) virus hepatitis C meliputi respon Imun nonspesifik/alami/innate
(sel dendritik, sel natural killer (NK), dan sel kupffer) dan respon imun
spesifik/didapat/adaptif (sel T CD4+ dan sel TCD8+). (29) Virus hepatitis C
yang menginfeksi tubuh dapat mempengaruhi seluruh aspek sistem interferon,
seperti induksi interferon ẞ (IFN-B) pada sel-sel yang terinfeksi, induksi
sinyal IFN-a/ßmelalui jalur Jak-STAT (Janus Kinase Signal Transducer and
Activator of Transcription), dan induksi IFN karena pemberian antiviral [25].
Aktivasi Sel NK (Natural Killer) selama fase awal infeksi, turut
terlibat dalam pemusnahan partikel partikel VHC di dalam tubuh. Jika terjadi
penekanan terhadap aktivasi sel NK tersebut, maka dapat berimplikasi
terjadinya infeksi kronis VHC yang persisten [26].
Sel kupffer (KCS=Kupffer Cells) merupakan makrofag yang terdapat
pada organ hati, mewakili 15-20% dari total keseluruhan sel- sel hati. Seluruh
makrofag, termasuk makrofag pada sel hati dapat meningkatan ekspresi MHC-
II beratus kali lipat. Pada infeksi VHC, sel kupffer dapat mengekspresikan
molekul MHC-II dalam kadar yang sangat tinggi. Seperti halnya MHC-II,
makrofag juga memungkinkan terjadinya presentasi antigen pada sel T CD4.
Tidak hanya itu, makrofag juga dapat mempresentasikan epitope virus pada
sel CD8. Sel-sel yang berikatan dengan antigen virus ataupun RNA virus akan
ditangkap oleh makrofag, kemudian didegradasikan di fagosom dan
dipresentasikan melalui MHC-I. Dari proses tersebut, selanjutnya antigen
virus tersebut tersebut, selanjutnya antigen virus tersebut dipresentasikan pada
sel T oleh makrofag yang belum terinfeksi VHC. Dengan kata lain, proses
tersebut dapat menginduksi imunitas spesifik atau memfasilitasi aktivasi sel T
spesifik terhadap VHC [27]. IFN-ẞ merupakan respon awal pada sel hati
(hepatocyte) yang terinfeksi virus hepatitis C. Interferon ẞ juga berperan pada
awal infeksi VHC. Interferon ẞ yang disekresikan dapat menjadi antiviral
yang dapat menyebar ke sel-sel tetangga yang belum terinfeksi VHC [28].
Sebagian besar infeksi virus hepatitis C dapat berubah menjadi kronis.
Meski demikian, sekitar 25% hingga 30% individu yang terinfeksi VHC
secara spontan dapat sembuh dari infeksi VHC. nAbs (neutralizing
Antibodies) merupakan salah satu respon humoral yang spesifik terhadap
infeksi VHC. Disamping perannya dalam pengendalian infeksi selama fase
akut, nAbs juga dapat memberi perlindungan terhadap infeksi ulang oleh
VHC. Sebuah penelitian telah dilakukan Osburn dkk pada tahun 2011 untuk
melihat peranan nAbs terhadap infeksi ulang VHC. Follow-up yang dilakukan
oleh Osburn dkk selama sebulan terhadap kelompok yang memiliki resiko
tinggi terjadinya infeksi ulang VHC, yakni 22 orang pengguna narkoba
suntikan yang sebelumnya secara spontan terbebas dari infeksi VHC, 11 orang
menunjukkan adanya infeksi ulang VHC. Diantara pasien tersebut, sekitar
83% orang yang secara spontan berhasil terbebas dari infeksi virus. Selain itu,
ada tidaknya infeksi sekunder pada pasien tersebut ditandai dengan viremia
yang relatif berkurang pada infeksi primer. Dengan menggunakan
pemeriksaan neutralisasi menunjukkan bahwa sekitar 60% pasien dengan
nAbs dalam serumnya secara spontan dapat terbebas dari infeksi ulang VHC,
sebaliknya kadar nAbs dalam serum yang mengalami penurunan ditunjukkan
pada pasien kronis. Pembersihan secara spontan terhadap infeksi ulangan
VHC dapat dikaitkan dengan respon humoral melalui nAbs yang dapat
menurunkan bahkan mengendalikan viremia. Namun, perlu diingat bahwa
dalam analisa ini nAbs bukanlah satu-satunya faktor yang terlibat dalam
perlindungan terhadap infeksi ulang VHC. Sebuah penelitian yang dilakukan
oleh Barth dkk pada tahun 2011 terhadap simpanse menunjukkan bahwa
ikatan yang kompleks antara respon imun bawaan dengan respon imun adaptif
mampu memerikan perlindungan yang baik terdap infeksi ulang virus hepatitis
C [29].
Sel CD4+ sangat penting sebagai Pembangkit dan pemelihara respon
imun terhadap infeksi virus karena sel T CD4+ dapat mensekresikan sitokin
sitokin yang meningkatkan produksi antibodi oleh sel B serta dapat
merangsang kinerja sel CD8+ yang spesifik untuk sel yang terinfeksi virus.
Tanpa sel CD4+, maka induksi respon imun yang baru dapat terganggu dan
memori limfosit T sitotoksik (CTL-Cytotoxic T Limphocyte) tidak mampu
bekerja dengan baik. Eksperimen yang dilakukan terhadap sampel manusia
dan simpanse menunjukkan bahwa eliminasi total terhadap infeksi virus
hepatitis C berhubungan dengan respon yang kuat dan berkelanjutan oleh sel
CD4+. Infeksi hepatitis C akut yang terjadi pada sampel simpanse
menunjukkan adanya hubungan antara respon yang tetap dari sel T CD4+
dengan penurunan yang cukup besar pada kejadian viremia. Selain itu,
akumulasi sel T CD4+ di dalam organ hati yang spesifik terhadap VHC
menunjukkan eliminasi total terhadap VHC. Seseorang yang memiliki respon
sel CD4+ poliklonal yang spesifik terhadap VHC memungkinkan untuk
mengeliminasi partikel VHC di dalam tubuh dibandingkan dengan orang yang
tidak memiliki respon tersebut dapat berkembang menjadi infeksi VHC yang
persisten [30].
Sebagaimana halnya respon sel CD4+ terhadap infeksi VHC, CTL
CD8+ poliklonal dan multispesifik juga berhubungan dengan eliminasi total
terhadap infeksi VHC. Hasil peneltian yang dilakukan dengan menggunakan
simpanse sebagai model eksperimen menunjukkan bahwa simpanse yang telah
sembuh dari infeksi VHC ditemukan memiliki respon CTL hepatic awal
terhadap berbagai protein target pada VHC, sedangkan simpanse yang
berkembang menjadi hepatitis C kronis memberikan respon yang sangat kecil
pada saat terjadi infeksi akut oleh VHC. IFN-y spesifik VHC yang
disekresikan oleh sel T CD8+ kadarnya sangat banyak ditemukan pada
simpanse yang telah pulih dari infeksi VHC dibandingkan dengan simpanse
yang berkembang menjadi infeksi VHC kronis.. Pada simpanse yang telah
pulih, perlindungan terhadap infeksi ulang diatur oleh sel T CD8+ memori
[30].

D. Pemeriksaan Laboratorium Virus Hepatitis C


Uji diagnostik infeksi VHC dibagi menjadi dua pemeriksaan yaitu
tes serologi untuk mendeteksi adanya antibodi dalam serum atau plasma
penderita, dan pemeriksaan molekuler untuk mendeteksi adanya virus.
Pemeriksaan penyaring untuk deteksi antibodi telah menurunkan risiko
penularan infeksi melalui transfusi Pemeriksaan anti-VHC dengan generasi
ketiga dapat mendeteksi antibodi dalam 4 10 minggu setelah infeksi (Lauer
and Walker, 2001).
European Association for Study of the Liver (EASL) merekomendasi
diagnosis Hepatitis C sebagai berikut (Craxi et al., 2011):
1. 1. Diagnosis infeksi VHC berdasarkan deteksi anti-VHC dengan EIA
dan RNA
2. VHC dengan metode molekuler yang sensitif.
3. Untuk diagnosis hepatitis C akut, pemeriksaan RNA VHC dibutuhkan
karena
4. RNA VHC muncul sebelum anti-VHC terdeteksi. 3. Anti-VHC positif,
RNA VHC negatif pasien dengan hepatitis C akut harus
5. Diperiksa lagi beberapa minggu kemudian, 4. Hepatitis C kronik harus
dibuktikan dengan adanya anti-VHC dan RNA VHC.
6. Pasien imunosupresi perlu pemeriksaan RNA VHC bila hepatitis
ditemukan,
7. Tapi anti-VHC tidak terdeteksi.
a. Pemeriksaan Serologi
Diagnosis infeksi virus hepatitis C umumnya dilakukan
dengan mendeteksi adanya antibodi terhadap virus
menggunakan enzyme immunoassay. Deteksi antibodi
bukanlah penanda yang reliabel pada fase preserokonversi
infeksi, karena window period berkisar antara 58 sampai 70
hari. Pemeriksaan untuk mendeteksi anti-VHC tidak dapat
membedakan infeksi akut dengan infeksi kronik, maupun
post infection. Hal ini disebabkan karena IgM anti- VHC
kadarnya bervariasi pada infeksi akut sedangkan pada
infeksi kronik antibodi ini juga terdeteksi. (Brant et al.,
2018; Irshad et al., 2018; Ross et al. 2010).
Pada pemeriksaan EIA generasi pertama menggunakan
epitop regio NS4 (C 100- 3) genom VHC, pemeriksaan ini
kurang sensitif dan kurang spesifik Pada pemeriksaan
generasi kedua menggunakan format multi antigen,
termasuk regio core, NS3, dan NS4 sehingga meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas. Pemeriksaan EIA generasi
ketiga dilakukan penambahan antigen dari regio NSS yang
menyebabkan spesifisitas menjadi 99% (Lauer and Walker,
2014; Kamili et al., 2013).
Pemeriksaan anti-HCV telah menyebabkan penurunan
drastis transmisi terkait transfusi. Pemeriksaan anti-VHC
dianjurkan sebagai langkah pertama untuk menyaring
infeksi VHC. Anti-VHC biasanya terbentuk 32-46 hari
setelah viremia, namun periode sekitar 12-48 minggu
sebelum serokonversi dapat terjadi terutama pada individu
imunokompromais. Pada kasus ini pemeriksaan RNA VHC
dianjurkan pada semua pasien hepatitis akut yang
menunjukkan gangguan kekebalan (Maasoumy et al., 2012).
b. Pemeriksaan Molekuler
Metode deteksi molekuler mampu mendeteksi adanya
fragmen DNA spesifik pada patogen. Deteksi ini meliputi
teknik amplifikasi fragmen DNA yang dikenal dengan
polymerase chain reaction (PCR). Teknik ini adalah metode
in vitro untuk amplifikasi fragmen DNA secara enzimatik
yang diperkenalkan pada tahun 1985. Pada tahun 1988,
dengan penemuan enzim termo stabil Tag Polymerase
memungkinkan proses automatisasi PCR (Lo and Chan
2006).
Pemeriksaan RNA virus hepatitis C dengan reverse
transcriptase PCR adalah metode yang sangat sensitif untuk
mendeteksi infeksi VHC dan merupakan baku emas.
Amplifikasi asam nukleat dengan PCR merupakan
pemeriksaan yang reliabel dengan sensitivitas dan
spesifisitas tinggi (Argentini et al., 2009: Maudar et al.,
2012).
Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi RNA VHC
dianjurkan dengan metode molekuler yang sensitif dengan
batas bawah deteksi < 50 IU/ml (Craxi et al., 2011). Setelah
terpapar VHC, asam nukleat virus terdeteksi dalam serum 7
hari kemudian mendahului peningkatan kadar ALT. Kisaran
viral load berguna sebagai indikator infeksi akut, sedangkan
pada infeksi kronik viral load relatif stabil (Fabris et al.,
2008; Bossler and Caliendo, 2010).
Pemeriksaan molekuler untuk diagnosis infeksi VHC (Craxi
et al., 2011):
1. Pemeriksaan molekuler kualitatif dapat digunakan
untuk konfirmasi diagnosis infeksi VHC. Batas deteksi
terendah penting dalam membedakan individu
seropositif yang telah sembuh infeksi (tidak terdeteksi
RNA VHC) dari penderita seropositif dengan infeksi
kronik (persisten RNA VHC).
2. Diagnosis infeksi VHC kronik berdasarkan adanya
anti-VHC antibodi dideteksi dengan EIA dan RNA
VHC dideteksi dengan pemeriksaan molekuler.
Pemeriksaan RNA VHC menggunakan real-time PCR
dapat mendeteksi RNA VHC dibawah 10 IU/ml dan
sampai jumlah 10 juta IU/ml (Craxi et al., 2011). Pada
hepatitis C kronik, titer VHC menurun 2-3 log Pada
hepatitis C kronik, titer VHC menurun 2-3 log setelah
kadar ALT mencapai puncak dan kadar ALT akan
menetap selama fase kronik.
3. Bila deteksi RNA VHC digunakan sebagai tes
konfirmasi, spesimen RNA negatif harus di uji dengan
RIBA, hal ini untuk membedakan hasil false positif
ELISA dari infeksi sebenarnya (true infection).
Alternatifnya adalah, pemeriksaan RNA VHC diulang
lagi karena hal ini dapat ditemukan pada viremia
intermiten. Infeksi VHC seharusnya tidak diputuskan
berdasarkan hasil pemeriksaan RNA VHC yang
negatif.
4. Pemeriksaan molekuler kualitatif juga digunakan
untuk diagnosis infeksi VHC pada bayi baru lahir dari
ibu terinfeksi VHC, karena antibodi IgG maternal
dapat melewati plasenta. Bayi ini dapat seropositif
dalam 2 tahun kehidupannya. Deteksi RNA VHC
dalam plasma atau serum neonatus merupakan
diagnostik infeksi.
5. Deteksi RNA VHC dalam plasma atau serum dapat
bernilai diagnostik pada individu imunokompromais
seperti stadium akhir infeksi HIV, karena respon imun
penderita tidak normal terhadap virus dan tidak akan
menjadi seropositif
6. Pemeriksaan RNA VHC kualitatif juga digunakan
untuk menentukan respon pengobatan terhadap terapi
untuk infeksi VHC karena pemeriksaan ini sangat
sensitif dengan batas terendah deteksi antara 5-50
kopi/ml plasma.
a. Pemeriksaan Kualitatif
Pemeriksaan RNA VHC secara kualitatif telah dikembangkan untuk
skrining suplai darah, karena RNA VHC dapat dideteksi dalam
serum selama window period antara infeksi dengan serokonversi.
Hal ini disebabkan kebanyakan individu baru saja terinfeksi VHC
adalah asimptomatik, pemeriksaan donor darah memungkinkan
identifikasi individu berisiko untuk menularkan infeksi VHC yang
tentunya tidak terdeteksi dengan pemeriksaan serologik.
1. Metode Nested PCR
Kadar rendah target dapat mencegah PCR regular
bekerja. Nested PCR adalah modifikasi untuk
meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas reaksi.
Pada nested PCR, dua pasang primer digunakan
untuk amplifikasi target tunggal dalam 2 PCR run
terpisah. Pasangan primer kedua di desain untuk
berikatan dengan templat yang berikatan dengan
pasangan pertama, akan mengamplifikasi produk
PCR pertama pada amplifikasi tahap kedua.
Amplifikasi kedua akan secara spesifik
meningkatkan jumlah produk yang diinginkan. Pada
seminested PCR satu dari primer tahap kedua sama
dengan primer tahap pertama (Buckingham and
Flaws, 2017).
2. Metode PCR Multiplek
Lebih dari satu pasang primer digunakan agar
amplifikasi multipel terjadi secara simultan dalam
menghasilkan produk PCR. Multiplek PCR khusus
digunakan dalam menentukan tipe dan identifikasi
organism tertentu. Pola ukuran produk akan spesifik
terhadap tipe tertentu. Multipel organisme menjadi
target PCR multiplek pada laboratorium
mikrobiologi klinik, sebagai contoh organisme
penyebab penyakit menular seksual dapat
ditentukan dengan PCR multiplek hanya
menggunakan satu swab genital (Buckingham and
Flaws, 2017; Shemis et al., 2013).
b. Pemeriksaan Kuantitatif
Kuantitatif viral load berguna untuk mengukur jumlah virus dalam
darah. Pemeriksaan Kuantitatif pemeriksaan ini memberikan
informasi awal viral load, reduksi jumlah virus saat terapi, dan
respon virologi menetap, yang didefinisikan sebagai tidak
terdeteksinya VHC dengan PCR selama 6 bulan setelah berhenti
terapi (Wilkins et al., 2014).
Teknik real-time diakui sebagai metode pilihan untuk diagnosis dan
pemantauan infeksi HCV, karena kuantifikasi berlangsung selama
fase eksponensial dari reaksi amplifikasi, dan reaksi terjadi dalam
sistim tertutup sehingga mencegah kontaminasi carry-over dan
meningkatkan spesifisitas. Prinsip RT-PCR adalah untuk
mendeteksi sintesis amplikon selama reaksi PCR dan menghindari
hasil positif palsu karena kontaminasi (Chevaliez and Pawlotsky,
2016).
Real-time PCR adalah proses amplifikasi menggunakan metode
PCR, produk PCR dapat dianalisa selama proses amplifikasi dan
analisa terjadi bersamaan selama proses reaksi, menggunakan
pewarnaan DNA dan probe fluoresensi. DNA dapat dikoleksi dari
tabung yang sama di dalam instrumen yang sama tanpa ada transfer
sampel, penambahan reagensia atau gel separasi (Roche, 2004; Lo
and Chan, 2016).
Real-time PCR adalah proses amplifikasi menggunakan metode
PCR, produk PCR dapat dianalisa selama proses amplifikasi dan
analisa terjadi bersamaan selama proses reaksi, menggunakan
pewarnaan DNA dan probe fluoresensi. DNA dapat dikoleksi dari
tabung yang sama di dalam instrumen yang sama tanpa ada transfer
sampel, penambahan reagensia atau gel separasi (Roche, 2004; Lo
and Chan, 2016).
Metode ini diawali dengan penambahan etidium bromide (EtBr) ke
dalam PCR regular, karena EtBr menginterkalasi terhadap DNA
untai ganda dan fluoresens, hal ini dapat digunakan untuk monitor
akumulasi produk PCR selama real-time Keuntungan metode ini
adalah kemampuan menentukan jumlah templat awal secara akurat.
Pengukuran kuantitatif ini dilakukan dengan nyaman dan cepat
tanpa penambahan templat kompetitor atau kontrol internal
multipel. Sejumlah parameter bermakna seperti jumlah kopi gen,
viral load, tumor load, efek pengobatan diukur dengan mudah
dengan metode ini (Buckingham and Flaws, 2007).
D. Polymerase Chain Reaction

Polymerase chain reaction adalah suatu teknik amplifikasi DNA secara in vitro,
teknik ini membutuhkan templat untai ganda yang mengandung DNA target yang
akan diamplifikasi, enzim DNA polimerase, nukleosida trifosfat, dan sepasang
primer oligonukleotida. Proses PCR melibatkan banyak siklus yang masing-
masing mempunyai tiga tahap berurutan, yaitu denaturasi templat, annealing
pasangan primer pada untai ganda DNA target dan polimerisasi. Denaturasi DNA
templat pada temperatur antara 90-95 C untuk memisahkan kedua untai DNA
genom secara sempurna, sehingga kedua primer dapat menempel setelah
penurunan temperatur. Pada tahap kedua temperatur diturunkan antara 37-60 C
sehingga kedua primer menempel pada untai DNA target. Setelah primer
menempel pada DNA target, DNA polimerase akan mengkatalisis penambahan
nukleotida pada suhu 72 C yang merupakan temperatur optimum enzim Taq DNA
polimerase (Killeen, 2004; Lo and Chan, 2016).

Proses sintesis molekul RNA menggunakan DNA sebagai templat disebut


transkripsi, sintesis ini di katalisis oleh enzim RNA polimerase. Proses yang
merupakan kebalikan proses transkripsi yang mampu mensintesis molekul DNA
untai tunggal menggunakan RNA sebagai templat disebut reverse transkripsi dan
dikatalisis oleh enzim reverse transcriptase. Molekul DNA untai tunggal tersebut
dapat dibuat menjadi untai ganda dengan bantuan enzim DNA polimerase
(Retnoningrum, 2017; Haddad and Baldwin, 2013).

E. ELISA (Enzim-linked immunosorbent assay)


ELISA disebut sebagai uji penentuan kadar imunosorben taut-
enzim, merupakan teknik pengujian serologi yang didasarkan pada prinsip
interaksi antara antibodi dan antigen. Pada awalnya, teknik ELISA hanya
digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi keberadaan antigen
maupun antibodi dalam suatu sampel seperti dalam pendeteksian antibodi
IgM. Igi, & IgA pada saat terjadi infeksi (pada tubuh manusia khususnya).
Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik ELISA juga
diaplikasikan dalam bidang patologi tumbuhan, kedokteran, dll.
Secara umum, teknik ELISA dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
teknik ELISA kompetitif yang menggunakan konjugat antigen-enzim atau
konjugat antibodi-enzim, dan teknik ELISA nonkompetitif yang
menggunakan dua antibodi (primer dan sekunder). Pada teknik ELISA
nonkompetitif, antibodi kodua (sekunder) akan dikonjugasikan dengan enzim
yang berfungsi sebagai signal. Teknik ELISA nonkompetitif ini seringkali
disebut sebagai teknik ELISA sandwich.
Dewasa ini, teknik ELISA telah berkembang menjadi berbagai
macam jenis teknik. Perkembangan ini didasari pada tujuan dari dilakukannya
uji dengan teknik ELISA tersebut sehingga dapat diperoleh hasil yang
optimal. Berikut ini adalah beberapa macam teknik ELISA yang relatif sering
digunakan, antara lain:
7. ELISA Direct
Teknik ELISA ini merupakan teknik ELISA yang paling
sederhana. Teknik ini seringkali digunakan untuk mendeteksi dan
mengukur konsentrasi antigen pada sampel. ELISA direct
menggunakan suatu antibodi spesifik (monoklonal) untuk
mendeteksi keberadaan antigen yang diinginkan pada sampel yang
diuji. ELISA direct memiliki beberapa kelemahan, antara lain:
c. Immunoreaktivitas antibodi kemungkinan akan berkurang
akibat bertaut dengan enzim.
d. Penautan enzim signal ke setiap antibodi menghabiskan
waktu dan mahal.
e. Tidak memiliki fleksibilitas dalam pemilihan tautan enzim
(label) dari antibodi pada percobaan yang berbeda,
f. Amplifikasi signal hanya sedikit.
g. Larutan yang mengandung antigen yang diinginkan harus
dimurnikan sebelum digunakan untuk uji ELISA direct.

Sedangkan kelebihan dari ELISA direct antara lain:

a. Metodologi yang cepat karena hanya menggunakan 1 jenis


antibodi b.
b. Kemungkinan terjadinya kegagalan dalam uji ELISA akibat
reaksi silang dengan antibodi lain (antibodi sekunder) dapat
diminimalisasi.
3. ELISA Indirect
Teknik ELISA indirect ini pada dasarnya juga merupakan
teknik ELISA yang paling sederhana, hanya saja dalam teknik
ELISA indirect yang dideteksi dan diukur konsentrasinya
merupakan antibodi. ELISA indirect menggunakan suatu antigen
spesifik (monoklonal) serta antibodi sekunder spesifik tertaut
enzim signal untuk mendeteksi keberadaan antibodi yang
diinginkan pada sampel yang diuji. ELISA indirect memiliki
beberapa kelemahan, antara lain:
a. Membutuhkan waktu pengujian yang relatif lebih lama
daripada ELISA direct karena pada ELISA indirect
membutuhkan 2 kali waktu inkubasi yaitu pada saat terjadi
interaksi antara antigen spesifik dengan antibodi yang
diinginkan dan antara antibodi yang diinginkan dengan
antibodi sekunder tertaut enzim signal, sedangkan pada
ELISA direct hanya membutuhkan 1 kali waktu inkubasi
yaitu pada saat terjadi interaksi antara antigen yang
diinginkan dengan antibodi spesifik tertaut enzim signal.

Sedangkan kelebihan dari ELISA indirect antara lain:

a. Terdapat berbagai macam variasi antibodi sekunder yang


terjual secara komersial di pasar.
b. Immunoreaktivitas dari antibodi yang diinginkan (target)
tidak terpengaruh oleh penautan enzim signal ke antibodi
sekunder karena penautan dilakukan pada wadah berbeda.
c. Tingkat sensitivitas meningkat karena setiap antibodi yang
diinginkan memiliki beberapa epitop yang bisa berinteraksi
dengan antibodi sekunder
4. ELISA Sandwich
Teknik ELISA jenis ini menggunakan antibodi primer
spesifik untuk menangkap antigen yang diinginkan dan antibodi
sekunder tertant enzim signal untuk mendeteksi keberadaan antigen
yang diinginkan. Pada dasarnya, prinsip kerja dari ELISA sandwich
mirip dengan ELISA direct, hanya saja pada ELISA sandwich.
Larutan antigen yang diinginkan tidak perlu dipurifikasi.
Namun, karena antigen yang diinginkan tersebut harus
dapat berinteraksi dengan antibodi primer spesifik dan antibodi
sekunder spesifik tertaut enzim signal, maka teknik ELISA
sandwich ini cenderung dikhususkan pada antigen memiliki
minimal 2 sisi antigenic (sisi interaksi dengan antibodi) atau
antigen yang bersifat multivalent seperti polisakarida atau protein.
Pada ELISA sandwich, antibodi primer seringkali disebut sebagai
antibodi penangkap, sedangkan antibodi sekunder seringkali
disebut sebagai antibodi deteksi. Dalam pengaplikasiannya, ELISA
sandwich lebih banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi keberadaan
antigen multivalent yang kadarnya sangat rendah pada suatu larutan
dengan tingkat kontaminasi tinggi Hal ini disebabkan ELISA
sandwich memiliki tingkat sensitivitas tinggi terhadap antigen yang
diinginkan akibat keharusan dari antigen tersebut untuk
berinteraksi dengan kedua antibodi. Dalam ELISA sandwich.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat sensitivitas
dari hasil pengujian, antara lain:
a. Banyak molekul antibodi penangkap yang berhasil menempel
pada dinding lubang microtiter.
b. Afinitas dari antibodi penangkap dan antibodi detektor
terhadap antigen.

Sebenarnya, teknik ELISA sandwich ini merupakan


pengembangan dari teknik ELISA terdahulu, yaitu ELISA direct.
Kelebihan teknik ELISA sandwich ini pada dasarnya berada pada
tingkat spesitifitasnya yang relatif lebih tinggi karena antigen yang
diinginkan harus dapat berinteraksi dengan 2 jenis antibodi. Yaitu
antibodi penangkap dan antibodi detektor. Namun demikian, teknik
ELISA sandwich ini juga memiliki kelemahan, yaitu teknik ini hanya
dapat diaplikasikan untuk mendeteksi antigen yang bersifat multivalent
serta sulitnya mencari dua jenis antibodi yang dapat berinteraksi
antigen yang sama pada sisi antigenic yang berbeda (epitopnya harus
berbeda).

5. ELISA Biotin Streptavidin (Jenis Elisa Modern)


Pada perkembangan selanjutnya, teknik ELISA sandwich
ini juga dikembangkan untuk mendeteksi antibodi dengan tingkat
sensitivitas relatif lebih tinggi. Teknik ini dikenal sebagai teknik
ELISA penangkap antibody, dimana prinsip kerjanya sama dengan
ELISA sandwich, hanya saja yang digunakan pada teknik ini adalah
antigen penangkap dan antigen detektor (antigen bertaut enzim
signal, bersifat optional apabila antibodi yang diinginkan tidak
tertaut dengan enzim signal).
6. ELISA Kompetitif
Teknik ELISA jenis ini juga merupakan pengembangan
dari teknik ELISA terdahulu. Prinsip dasar dari teknik ini adalah
dengan menambahkan suatu kompetitor ke dalam lubang microtiter.
Teknik ELISA kompetitif ini dapat diaplikasikan untuk mendeteksi
keberadaan antigen maupun antibodi. Kelebihan dari teknik ELISA
kompetitif ini adalah tidak diperlukannya purifikasi terhadap larutan
sampel yang mengandung antibodi atau antigen yang diinginkan,
tapi hasil yang diperoleh tetap memiliki tingkat sensitivitas tinggi
akibat sifat spesifisitas dari antibodi dan antigen.
7. ELISA Multiplex
Teknik ELISA multiplex merupakan pengembangan teknik
ELISA yang ditujukan untuk pengujian secara simultan, sedangkan
prinsip dasarnya mirip dengan teknik ELISA terdahulu (Novie,
2014)

F. Pengobatan Virus Hepatitis C


Belum ada vaksin yang dapat mencegah hepatitis C, tidak seperti
hepatitis B yang sudah didapatkan vaksinnya yang dapat memberikan
perlindungan kepada tubuh terhadap virus itu. Kesulitan mendapatkan
vaksin hepatitis C antara lain disebabkan karena virus ini bisa bermutasi
dan mengelak dari respon imunitas tubuh. Untuk pengobatan, dokter
biasanya memberikan antivirus seperti Ribavirin dan Pegylated Interferon
sesuai dengan kondisi pasien. Namun hal ini bisa dilakukan setelah
pemeriksaan yang menyeluruh, dalam pengawasan yang ketat serta tidak
selamanya dapat berhasil.
Sampai saat ini terus dikembangkan penelitian untuk mendapatkan
formula baru dari interferon yang lebih ampuh. Selain itu obat-obatan baru
yang akan menyempurnakan kombinasi flagylated interferon dan ribavirin
juga sedang diteliti agar dimasa mendatang semakin maningkatkan tingkat
kesembuhan pasien.
1. Menghindari penyakit lebih baik daripada mengobati.
2. Segera periksakan diri ke dokter laboratorium apabila anda
termasuk orang yang beresiko tinggi tertular virus hepatitis C
(Spiritia, 2013).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hepatitis C adalah salah satu penyakit yang dapat diobati oleh
Interferon Sebagai terapi standar apada penderita Hepatitis C naïve dan
relaps, kombinasi Interferon alfa dan ribavirin menghasilkan efek terapi
dua kali lebih besar daripada monoterapi interferon. Sedangkan pada
penderita Hepatitis C non- responders, terapi kombinasi ini menghasilkan
angka yang masih jauh dari nilai yang diharapkan.
Pendekatan yang sedang dilakukan untuk memperbaiki bentuk terapi
terhadap oenderita Hepatitis C kronik saat ini adalah dengan menggunakan
pegylated Interferon alfa dan bentuk terapi kombinasi tiga obat
DAFTAR PUSTAKA
[1] Sheerwood L. Human Physiology: From Cells to Systems, 2nd ed. West.
1996, Edisi Bahasa Indonesia: Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem.
Ed. 2. Penerjemah: Pendit BU. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, 2017. Hal. 570
[2] NDDIC. What I Need to Know about Hepatitis C. National Digestive
Diseases Information Clearinghouse: A service of the National Institute
of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK). National
Institutes of Health (NIH). United States. 10 May 2013; [accessed 13
December 2016].
[3] Chen SL, Morgan TR. The Natural History of Hepatitis C Virus (HCV)
Infection. International Journal of Medical Sciences. Ivyspring
International Publisher. 1 April 2016. Pp. 49-50.
[4] Anonim. The Silent Epidemic: Hepatitis C Trustees of Dartmouth
College. 2012; [accessed 13 December 2012].
[5] WHO. Hepatitis C Fact Sheet. World Health Organization. July 2012;
[accessed 13 December 2012).
[6] Shepard CW, Finelli L, Alter MJ. Global Epidemiology of Hepatitis C
Virus Infection. The Lancet Infectious Diseases. September 2005. pp.
558-560.
[7] Lavanchy D. The Global Burden of Hepatitis C. John Wiley & Sons
A/S. 2009. Pp. 74-75. [8] CDC. Hepatitis C FAQs for the Public.
Centers for Disease Control and Prevention. 22 October 2012;
[accessed 13 December 2012].
[8] CDC. Hepatitis C FAQs for the Public. Centers for Disease Control
and Prevention. 22 October 2012; [accessed 13 December 2012].
[9] Sy T, Jamal MM. Epidemiology of Hepatitis C Virus (HCV) Infection.
International Journal of Medical Sciences. Ivyspring International
Publisher. 2014, pp. 42-43.
[10] Yen T. Keeffe EB, Ahmed A. The Epidemiology of Hepatitis C
Infection. J Clin Gastroenterol. Lippincott Williams & Wilkins. 2013.
pp. 48-51
[11] Chak E, Tahal AH, Sherman KE, Schiff ER, Saab S. Hepatitis C
Virus Infection in USA: An Estimate of True Prevalence. Official
Journal of The International Association for The Study of The Liver.
John Wiley & Sons A/S. 2017. Pp. 1091-1095
[12] Martins T. Narciso-Schiavon JL, de Lucca Sciavon L. Epidemiology
of Hepatitis C Virus Infection, Post-Graduation Course in Health
Sciences of Universidade do Sul de Santa Catarina, Tubarao, SC. 2015.
Pp. 107-108.
[13] Hunt R. Virology Chapter Eighteen: Hepatitis Viruses. Microbiology
and Immunology On-line. University of South Carolina School of
Medicine, 24 May 2017; [accessed 13 December 2019].
[14] Jae Young Jang, Chung RT. Chronic Hepatitis C. June 2016, pp. 118-
120.
[15] Kato N. Molecular Virology of Hepatitis C Virus. Acta Medica
Okayama. 2012, pp. 133- 136.
[16] Krekulova L, Řehák V, Riley L.W. Structure And Functions of
Hepatitis C Virus Proteins: 15 Years After. Folia Microbiology. 2013.
Pp. 668-671.
[17] Sharma SD. Hepatitis C Virus: Molecular Biology & Current
Therapeutic Options. Indian Journal of Medical Research, 2017. pp. 19-
22.
[18] Thomas HC, Lemon S. Zuckerman A. Viral Hepatitis. Ed. 3.
Blackwell Publishing. 2015. Pp. 383-386
[19] Gallin JI, Fauci AS. Biomedical Research Reports: Hepatitis C.
Academic Press. 2014. Pp. 11-15.
[20] Appel N, Schaller T, Penin F. Bartenschlager R. From Structure to
Function: New Insight into Hepatitis C Virus RNA Replication. The
Journal of Biological Chemistry Vol.81, No.15. The American Society
for Biochemistry and Molecular Biology Inc. USA. 14 April 2016. pp.
9833.9836.
[21] Chevaliez S. Pawlotsky Jean-Michel. HCV Genome and Life Cycle.
Hepatitis C Viruses: Genomes and Molecular Biology, edited by Seng
Lai Tan. Horizon Bioscience. 2016. Pp. 12-15.
[22] WHO Global Alert and Response (GAR): Hepatitis C. World Helath
Organization. 2014
[23] Zein NN. Clinical Significance of Hepatitis C Virus Genotypes.
Clinical Microbiology Reviews. American Society for Microbiology.
2017. pp. 225-227.
[24] Cooper S. Chapter 7: The Immune System and The Hepatitis C Virus-
Section 2: Immunology Takes on Hepatitis C. Caring Ambassadors:
Program, Inc. 2018 pp. 81:87.
[25] Heim MH. HCV Innate Immune Responses. Viruses. 30 November
2019. Pp. 1073-1081.
[26] Buonaguro L, Petrizzo A, Tomesello ML. Buonaguro FM. Innate
Immunity and Hepatitis C Virus Infection: a Microarray’s View.
Buonaguro et al. Infectious Agents and Cancer. BioMed Central Ltd.
2012. Pp. 5.
[27] Heydtmann M. Macrophages in Hepatitis B and Hepatitis C Virus
Infections. Journal of Virology. American Society Microbiology. 2019, pp.
2796-2799
[28] Rehermann B. Hepatitis C Virus Versus Innate and Adaptive Immune
Responses: A Tale of Coevolution and Coexistence. The Journal of
Clinical Investigation, Volume 119. July 2019, pp. 1746 1747.
[29] Kremer SF et al. Neutralizing Antibodies and Pathogenesis of
Hepatitis C Virus Infection. Viruses. 9 October 2012. Pp. 2020-2021.
[30] Koziel MJ. Cellular Immune Responses against Hepatitis C Virus.
Infectious Diseases Society of America, 2015, pp. 25-27.
[31] Marcellin P. Asselah T. Boyer N. Fibrosis and Disease Progression
in Hepatitis C. American Association for the Study of Liver Disease.
2012. Pp. 47-48.
[32] Chen SL. Morgan TR. The Natural History of Hepatitis C Virus
(HCV) Infection. International Joumal of Medical Sciences. Ivyspring
International Publisher. I April 2016. Pp. 49-50.
[33] Gani RA. Hepatitis C. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1, ed. 4,
diedit oleh Aru W. Sudoyo dkk. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2016, pp. 440.
[34] Daniel C. Why is There no Vaccine for Hepatitis C. 31 July 2018.
[35] Sharma SD. Why no Vaccine for Hepatitis C Virus yet?. JK Science.
2009, pp. 99-101.

Anda mungkin juga menyukai