Anda di halaman 1dari 32

DEPARTEMEN ILMU PATOLOGI KLINIK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2021

UNIVERSITAS HASANUDDIN

ASPEK LABORATORIUM HEPATITIS C

Disusun Oleh :

Vidia Maharani S C014202049

Nurqolby Athiya Patyapali C014202074

Fany Mayanti C014202141

Residen Pembimbing :

dr. Nefie

Supervisor Pembimbing

dr. Uleng Bahrun,Sp.PK (K),PhD

DEPARTEMEN ILMU PATOLOGI


KLIK FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


Vidia Maharani S C014202047
Nurqolby Athiya Patypali C014202074
Fany Mayanti C014202141

Judul Referat :Aspek Laboratorium Hepatitis C

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada


departemen Ilmu Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.
Makassar, September 2021

Mengetahui,

Supervisor Pembibing, Residen Pembimbing,

dr. Uleng Bahrun, Sp.PK (K), PhD dr. Nefie


DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................................2
BAB IPENDAHULUAN..............................................................................................4
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................6
2.1 Definisi................................................................................................................6
2.2 Epidemiologi........................................................................................................6
2.3 Etiologi.................................................................................................................7
2.4 Faktor Resiko.......................................................................................................8
2.5 Patogenesis.........................................................................................................11
2.6 Manifestasi Klinis..............................................................................................15
2.7 Kriteria Diagnosis..............................................................................................16
2.8 Laboratorium......................................................................................................17
2.8.1 Pemeriksaan Laboratorium Klinik Umum..................................................17
2.8.2 Pemeriksaan Penyaring (Screening Test)...................................................18
2.8.3 Pemeriksaan Konfirmasi.............................................................................20
2.8.4 Penanda Serologi Infeksi.............................................................................21
2.9 Tatalaksana........................................................................................................24
2.10 Komplikasi.......................................................................................................27
2.11 Prognosis..........................................................................................................28
BAB III KESIMPULAN.............................................................................................29
Daftar Pustaka..............................................................................................................30
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hepatitis merupakan penyakit peradangan pada hati yang dapat
disebabkan oleh berbagai kausa, termasuk infeksi virus. Infeksi virus tersebut dapat
menyebabkan timbulnya cedera, peradangan, bahkan kematian sel - sel yang
terinfeksi pada organ hati. Hepatitis C merupakan penyakit infeksius akibat virus
RNA yang sering tidak bergejala dan dapat menimbulkan komplikasi serius.Penyakit
hepatitis C masih sering dijumpai di negara berkembang, salah satunya Indonesia.
Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis C (hepatitis C virus, HCV) yang
tergolong dalam virus Ribonucleid Acid (RNA). Masuknya virus ini akan
menimbulkan antibodi terhadap HCV yang dapat diukur melalui pemeriksaan
serologi yang menandakan riwayat infeksi.1,2
Virus Hepatitis C (VHC) merupakan salah satu virus penyebab hepatitis dan
dianggap menimbulkan dampak yang paling besar di antara virus – virus lain
penyebab hepatitis. Kebanyakan orang yang terinfeksi virus hepatitis C tidak
menunjukkan adanya gejala. Kenyataannya, banyak orang yang tidak tahu bahwa
mereka telah terinfeksi virus hepatitis C hingga muncul kerusakan yang fatal pada
organ hati mereka (silent epidemic). Kerusakan tersebut dapat berupa kegagalan
fungsi hati, sirosis, atau kanker hati yang dapat muncul beberapa tahun setelah
infeksi (hepatitis C kronis). Sejumlah penelitian juga membuktikan bahwa kejadian
karsinoma hepatoselular (HCC=Hepatocellular Carcinoma) berkaitan erat dengan
infeksi virus hepatitis C.3
Virus hepatitis C (VHC) pertama kali dikenal pada tahun 1989, namun misteri
mengenai virus tersebut masih belum terpecahkan dengan jelas pada saat itu. Sekitar
sepuluh tahun sebelumnya, sejumlah korban bermunculan yang diduga disebabkan
oleh infeksi virus hepatitis. Namun ketika diperiksa, tes untuk hepatitis A dan
menunjukkan hasil yang negatif sehingga penyakit ini dikenal sebagai hepatitis non -
A, non – B (NANB). Pada tahun 1990 dikembangkan sebuah tes untuk
mengidentifikasi virus hepatitis C. Hasilnya membuktikan bahwa sejumlah besar
kasus hepatitis yang terjadi saat itu disebabkan oleh virus hepatitis C.3
Hepatitis C paling mudah ditularkan melalui rute parenteral seperti
penggunaan narkotika suntik dan transfusi darah, akan tetapi sulit ditularkan melalui
rute seksual. Masih terdapat pro kontra mengenai transmisi seksual virus hepatitis C.
Beberapa studi mendapatkan bahwa risiko transmisi seksual hepatitis C memang ada,
namun risiko tersebut rendah. Adanya infeksi HIV dapat meningkatkan risiko
transmisi seksual virus hepatitis C. Prevalensi hepatitis C pada pasangan seksual
pengguna narkotika suntik dengan koinfeksi HIV/HCV sebesar 9,5%. Pada kelompok
pasangan seksual dengan status HIV positif didapatkan prevalensi hepatitis lebih
tinggi dibandingkan dengan yang HIV negatif (28,6% vs 12,8%).10 Namun beberapa
studi mendapatkan bahwa koinfeksi HIV/HCV tidak meningkatkan risiko transmisi
seksual virus hepatitis C.3
Ditemukannya Anti HCV sangat menolong karena dilakukannya pemeriksaan
ini untuk uji saring pada darah donor sangat menurunkan insidensi hepatitis pasca
transfusi. Pemeriksaan laboratorium mempunyai peran yang sangat penting dalam
pencegahan penularan, untuk menegakkan diagnosis, monitoring terapi dan
memperkirakan prognosis infeksi HCV.4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Hepatitis C adalah kondisi inflamasi hepar yang disebabkan oleh infeksi virus
hepatitis C (HCV). Virus Hepatitis C adalah virus RNA berenveloped yang
ditransmisikan melalui kontak darah ke darah. Virus ini hanya menginfeksi manusia
dan target utamanya adalah sel hati.. Hepatitis C dapat ditularkan melalui media
darah dan cairan tubuh dari orang yang terkontaminasi virus. Hepatitis C dapat
bersifat akut, dan 80% pasien akan berkembang menjadi hepatitis C kronik. WHO
memperkirakan ada 71 juta individu di seluruh dunia mengidap hepatitis C kronik,
dimana hampir 400.000 di antaranya meninggal karena sirosis dan karsinoma
hepatoselular.5,6
2.2 Epidemiologi

Sekitar 150 juta orang di dunia yang menderita hepatitis kronis


terinfeksi virus hepatitis C dan lebih dari 350 ribu orang meninggal setiap
tahun karena penyakit hati yang berhubungan dengan infeksi virus hepatitis
C tersebut. Virus hepatitis C dapat ditemukan di seluruh dunia. Adapun
negara - negara dengan tingkat penyakit hepatitis C kronis yang cukup tinggi
antara lain Mesir (15%), Pakistan (4,8%), dan China (3,2%). Cara penularan
(transmisi) virus hepatitis C di negara - negara tersebut umumnya
berhubungan dengan penggunaan peralatan injeksi (alat suntik) yang telah
terkontaminasi VHC.3
Sekitar 75 - 85% orang yang baru terinfeksi VHC dapat menderita penyakit
kronis dan 60 - 70% dari penderita tersebut dapat berkembang menjadi penderita
hepatitis C kronis. Sekitar 5 - 20% penderita hepatitis C kronis berkembang
menjadi sirosis dan sekitar 1 - 5% dilaporkan meninggal karena sirosis
maupun kanker hati. Sekitar 25% penderita kanker hati, penyebabnya adalah
infeksi virus hepatitis C. Adapun negara - negara dengan prevalensi infeksi
virus hepatitis C yang relatif rendah yaitu Jerman (0,6%), Kanada (0,8%),
Perancis (1,1%), dan Australia (1.1%). Sedangkan negara - negara dengan
tingkat prevalensi yang relatif rendah namun sedikit lebih tinggi dilaporkan di
Amerika Serikat (1.8%), Jepang (1.5 - 2.3%), dan Italia (2.2%).3
Di Indonesia, pada tahun 2004 dilaporkan bahwa perkiraan tingkat
prevalensi penderita hepatitis C adalah sekitar 2,1%. Perkiraan tersebut hanya
berdasarkan jumlah pendonor yang positif menderita hepatitis C. Pada tahun
yang sama, yakni tahun 2004, berdasarkan peta distribusi infeksi hepatitis C
di dunia yang dipaparkan oleh WHO menunjukkan tingkat prevalensi hepatitis
C di Indonesia berkisar antara 1 - 2,5%.3
Virus hepatitis C dapat menyebar melalui darah. Apabila darah orang
yang terinfeksi virus hepatitis C masuk ke dalam tubuh orang yang sehat, maka
orang sehat tersebut dapat menderita hepatitis C juga.3

2.3 Etiologi
Infeksi hepatitis C disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV) yang merupakan
RNA beruntai tunggal dari genus Hepacivirus dalam family Flaviviridae (gambar 1).
HCV memiliki diameter 30 - 60nm dan panjang genom 10kb yang terdiri dari 3011
asam amino dengan 9033 nukleotida.3

Gambar 2.1. Morfologi Virus Hepatitis C (Jurnalis)


Sruktur genom HCV terdiri dari satu open reading frame (ORF) yang memberi
kode pada polipeptida yang termasuk komponen struktural terdiri dari nukleokapsid
(inti/core), envelope (E1 dan E2), serta bagian non struktural (NS) yang dibagi
menjadi NS2, NS3, NS4a, NS4b, NS5a, dan NS5b. Pada kedua ujung terdapat daerah
non coding (NC) yang pendek yaitu daerah 51 dan 31 terminal yang sangat stabil dan
berperan dalam replikasi serta translasi RNA. Nukleokapsid digunakan untuk deteksi
antibodi dalam serum pasien. Karakteristik HCV yang paling penting adalah adanya
variasi sekuens nukleotida, Genetik HCV yang heterogen secara garis besar dibagi
menjadi genotip dan quasispesies. Telah diidentifikasi 6 genotip HCV dengan
beberapa subtype yang diberi kode dengan huruf. Genotip yang paling sering
ditemukan adalah genotip 1a, 1b, 2a, dan 2b. genotip 1,2, dan 3 dengan subtipenya
masing-masing merupakan genotip yang tersebar diseluruh dunia, genotip 4 dan 5 di
Afrika, dan genotip 6 terutama di Asia. Genotip 3a lebih banyak terjadi pada
pemakaian obat terlarang intravena. Quasispesies menunjukkan heterogenisitas
populasi HCV pada seseorang yang terinfeksi HCV, yang terjadi akibat sifat HCV
yang mudah mengadakan mutasi. Hal ini merupakan mekanisme HCV untuk
meloloskan diri dari sistem imun atau limfosit T sitolitik seseorang, sehingga infeksi
HCV bersifat persisten dan berkembang menjadi hepatitis kronik.3

Gambar 2.2.Genom virus hepatitis C.

2.4 Faktor Resiko

a) Penyalahgunaan Obat – Obatan Menggunakan Alat Suntik.


Transmisi virus hepatitis C sangat berhubungan erat dengan penggunaan alat
suntik, terutama di kalangan para pengguna narkoba. Sebuah badan penelitian
penyakit hepatitis C di eropa, yaitu HENCORE (The Hepatitis C European
Network for Coperatrive Research) melaporkan bahwa prevalensi hepatitis C di
kalangan pengguna narkoba yang menggunakan alat suntik adalah sekita
80%. Survei jangka panjang terhadap pengguna narkoba usia muda yang
menggunakan alat suntik menunjukkan tingkat prevalensi terinveksi VHC
sekitar 70 % hingga 90%.3

b) Transfusi Darah
Transfusi darah (produk-produk darah) merupakan media yang
sangat penting dalam penularan infeksi virus Hepatitis C. Banyak kasus
hepatitis yang terjadi setelah proses transfusi darah diidentifikasi telah terinfeksi
virus hepatitis C.3
Sekitar 1 per 100.000 atau 0,001% unit darah yang digunakan untuk transfusi
beresiko terkontaminasi virus hepatitis C. Tingkat rata-rata prevalensi infeksi
VHC pada pasien yang memperoleh transfusi sel darah merah pekat
(packed red cell) atau plasma adalah sekitar 19% dan lebih dari 95% pada pasien
hemophilia yang mendapatkan terapi faktor VIII atau IX. Meskipun resiko
penularan hepatitis C sangat tinggi melalui transfusi darah, namun hal tersebut
dapat dihindari dengan meningkatkan screening terhadap para pendonor sebelum
transfusi darah. Hal ini terbukti dengan penurunan tingkat insiden hepatitis C di
negara maju melalui peningkatan screening terhadap para pendonor.3

c) Transplantasi Organ
Sejumlah laporan penelitian menunjukkan adanya resiko infeksi VHC
pada pasien yang memperoleh transplantasi organ (jantung, hati, sumsum
tulang belakang, dan lain - lain). Laporan dari berbagai pusat transplantasi organ
di seluruh dunia menunjukkan bahwa sekitar 34% para penerima
transplantasi organ (resipien) yang berasal dari pendonor dengan anti-HCV
positif menderita hepatitis setelah tranplantasi. Sekitar 50% resipien tersebut
menunjukkan hasil positif untuk pemeriksaan anti-HCV dan sekitar 75%
menunjukkan hasil positif untuk pemeriksaan RNA VHC.3

d) Hemodialisis
Faktor resiko penularan infeksi hepatitis melalui hemodialis diperkirakan
sekitar 10% pertahun. Berbagai studi secara mum menyimpulkan bahwa infeksi virus
hepatitis C pada pasien hemodialysis berhubungan dengan infeksi nosocomial,
dimana faktor penyebabnya terutama karena kurangnysa teknik sterilisasi dan
kebersihan pada alat dialysis. Menurut pedoman dari CDC (Centers of Disease
Control and Prevention), untuk pengendalian infeksi hepatitis C di bagian dialysis
dapat dilakukan dengan pemeliharaan kebersihan memperketat sterilisasi peralatan
untuk dialisis.3

e) Hubungan Seksual
Faktor resiko infeksi VHC yang berhubungan dengan transmisi melalui
hubungan seks belum sepenuhnya diketahui. Faktor resiko ini merupakan salah satu
faktor resiko yang sangat kontroversial dalam studi epidemiologi penyakit
hepatitis C. Berdasarkan pengamatan, prevalensi yang cukup tinggi untuk infeksi
VHC melalui hubungan sex banyak terjadi di kalangan penderita penyakit
menular seks, seperti penderita HIV, penderita sipilis, homoseksual, dan lain-
lain, dimana infeksi VHC terjadi bersamaan dengan infeksi penyakit-penyakit
tersebut. Transmisi VHC dari laki - laki ke perempuan tampaknya lebih lebih
mudah terjadi ketimbang transmisi dari perempuan ke laki - laki. Meskipun
demikian, berbagai studi menjelaskan bahwa infeksi VHC sangat kurang terjadi
pada pasangan monogami. Hingga saat ini, masih diperlukan banyak
penelitian untuk membuktikan berbagai hal tersebut.3

f) Faktor Risiko Lain


Sebuah studi di Amerika Serikat memperkirakan bahwa orang-orang yang
bere
siko untuk tertular VHC antara lain tenaga kesehatan, tuna wisma, bayi yang
ibunya terinfeksi VHC, dan lain-lain. Pada tahun 1990-an, dilaporkan bahwa
prevalensi infeksi VHC dikalangan tenaga kesehatan 3 kali lebih
banyak ketimbang tenaga kerja non-medis. Hingga saat ini masih dibutuhkan
banyak penelitian untuk membuktikan adanya penularan VHC melalui ASI.3
2.5 Patogenesis
Virus hepatitis C adalah virus RNA dari keluarga Flaviviridae. Virus ini
memiliki partikel untuk menyelimuti untaian RNA yang panjangnya 9.600 basa
nukleotida. Genom VHC terdiri dari protein struktural (C, E1 dan E2) dan protein
non-struktural (NS1, NS2, NS3, NS4A, NS4B, NSSA dan NS5B) yang terletak di
dalam poliprotein 5'NTR dan 3'NTR. Protein non-struktural dan RNA virus hepatitis
C telah terbukti ditemukan pada hati pan yang terinfeksi hepatitis C sehingga
membuktikan bahwa hati adalah tempat replikasi virus hepatitis C.7

Gambar 2.3 siklus hidup hepatitis C

Melalui gambar skematis di atas, proses siklus kehidupan HCV digambarkan


secara alur skematis8 :

1) HCV masuk ke dalam hepatosit dengan mengikat suatu reseptor


permukaan sel yang spesifik. Reseptor ini belum teridentifikasi secara
jelas, namun protein permukaan CD8 adalah suatu HCV binding protein
yang memainkan peranan dalam masuknya virus. Salah satu proteinkhusus
virus yang dikenal sebagai protein E2 menempel pada reseptor site
di bagian luar hepatosit.
2) Kemudian protein inti dari virus menembus dinding sel dengan suatu
proses kimiawi dimana selaput lemak bergabung dengan dinding sel
danselanjutnya dinding sel akan melingkupi dan menelan virus serta
membawanya ke dalam hepatosit. Di dalam hepatosit, selaput virus
(nukleokapsid) melarut dalam sitoplasma dan keluarlah RNA virus (virus
uncoating) yang selanjutnya mengambil alih peran bagian dari ribosom
hepatosit dalam membuat bahan-bahan untuk proses reproduksi
3) Virus dapat membuat sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya
sendiri. Selama proses ini virus menutup fungsi normal hepatosit atau
membuat lebih banyak lagi hepatosit yang terinfeksi kemudian menbajak
mekanisme sintesis protein hepatosit dalam memproduksi protein yang
dibutuhkannya untuk berfungsi dan berkembang biak.
4) RNA virus dipergunakan sebagai cetakan (template) untuk memproduksi
masal poliprotein (proses translasi).
5) Poliprotein dipecah dalam unit-unit protein yang lebih kecil. Protein ini
ada 2 jenis yaitu protein struktural dan regulatori. Protein regulatori
memulai sintesis kopi virus RNA asli.
6) Sekarang RNA virus mengopi dirinya sendiri dalam jumlah besar untuk
menghasilkan bahan dalam membentuk virus baru. Hasil kopi ini adalah
bayangan cermin RNA orisinil dan dinamai RNA negatif. RNA negatif
lalu bertindak sebagai cetakan (template) untuk memproduksi serta RNA
positif yang sangat banyak yang merupakan kopi identik materi genetik
virus.
7) Proses ini berlangsung terus dan memberikan kesempatan untuk terjadinya
mutasi genetik yang menghasilkan RNA untuk strain baru virus
dansubtipe virus hepatitis C. Setiap kopi virus baru akan berinteraksi
dengan protein struktural, yang kemudian akan membentuk nukleokapsid
dan kemudian inti virus baru. Amplop protein kemudian akan melapisi inti
virus baru.
8) Virus dewasa kemudian dikeluarkan dari dalam hepatosit menuju ke
pembuluh darah menembus membran sel.
9) Keluaran dan derajat keparahan dari infeksi virus hepatitis bergantungpada
jenis virus, jumlah virus dan faktor dari host.

Respon imun pada kondisi infeksi HCV Baik respons imun bawaan maupun
adaptif penting untuk pembersihan virus HCV. Untuk respon imun bawaan, sel
natular killer (NK) tampaknya terlibat dalam menyelesaikan infeksi HCV; telah
ditunjukkan bahwa gen reseptor sel NK tertentu (yang mengkode reseptor mirip
imunoglobulin sel2DL3 (KIR2DL3) dan HLAC1) terkait dengan pembersihan
virus. Untuk respon imun adaptif, antibodi humoral dan respon sel T biasanya
terlibat dalam pengendalian infeksi virus. Untuk infeksi HCV, sebagian besar
antibodi tampaknya tidak memiliki aktivitas yang relevan terhadap HCV karena
variabilitas virus yang tinggi dan populasi spesies pada satu pasien. Namun
demikian, antibodi penetralisir terhadap epitop tertentu mungkin bersifat
protektif, dan cepat di induksi antibodi penetralisir yang telah dikaitkan dengan
pengendalian infeksi. Respons sel Tdikaitkan dengan pembersihan virus spontan,
dan infeksi yang menetap dikaitkan dengan hilangnya respons sel T yang tidak
cukup. Beberapa penelitian telah menunjukkan penurunan frekuensi dan proporsi
subpopulasi sel T dalam sirkulasi ketika infeksi HCV akut berkembang menjadi
kronis.9

HCV telah mengembangkan strategi menghindari kekebalan yang terkait


dengan persistensi infeksi. Misalnya, protein HCV NS3/4A dapat secara efisien
membelah dan menonaktifkan dua jalur pensinyalan inang yang bereaksi terhadap
pola molekuler terkait patogen HCV untuk menginduksi jalur IFN. Namun
demikian, stimulasi IFN gen yang diinduksi selama infeksi HCV akut, tetapi
respons ini tidak terlalu efektif untuk membersihkan virus. Ekspresi gen responsif
IFN tetap tinggi pada infeksi kronis yang dikaitkan dengan respons yang buruk
terhadap pengobatan berbasis IFN. Selain itu, evolusi menjadi infeksi HCV kronis
dikaitkan dengan kelelahan yang cepat atau perubahan respons imun. Tingkat sel
T invarian yang berhubungan dengan mukosa (sel T efektor bawaan) sangat
berkurang pada infeksi HCV kronis. Sel NK menunjukkan perubahan fenotipe
dan fungsi selama infeksi HCV kronis. Selain itu, sel T intrahepatik secara
fenotipik kelelahan; protein kematian sel terprogram 1 dan penanda lain dari
kelelahan fungsional dan apoptosis diregulasi. Meskipun penelitian intensif
tentang bawaan dan adaptif respons imun pada infeksi HCV akut dan kronis,
interaksi yang tepat antara bawaan dan adaptif respons imun yang menentukan
resolusi versus persistensi virus masih belum sepenuhnya dipahami.9

Proses HCV menyebabkan kelainan pada hati pada Fibrogenesis yang


merupakan aktivasi hati sel stelata menjadi miofibroblas, yang menghasilkan
fibrosa matriks ekstraseluler secara berlebihan dan merupakan komplikasi utama
infeksi HCV kronis. Kondisi ini menyebabkan progresif fibrosis hati yang dan,
pada akhirnya, perkembangan sirosis dan komplikasinya. HCV kronis dikaitkan
dengan peradangan hati kronis, sebagai akibat dari stres oksidatif dan imun yang
respon oleh hepatosit terinfeksi yang mengekspresikan epitop virus. Respon sel T
helper 2 yang diamati selama infeksi HCV kronis tampaknya memiliki peran
penting dalam peradangan kronis. Selain itu, banyak faktor pertumbuhan,
kemokin dan sitokin diproduksi di dalam hepatosit yang terinfeksi; faktor-faktor
ini berpartisipasi dalam perekrutan sel-sel kekebalan, kelangsungan respon
inflamasi lokal dan aktivasi sel-sel stelata hati ke dalam miofibroblas. Sel CD8+
Apoptosis hepatosit yang diinduksi mungkin juga memiliki peran penting dalam
mempertahankan peradangan dan mengaktifkan sel stellata hati. Selain itu, virus
itu sendiri dapat berpartisipasi dalam proses fibrogenik. HCV telah berinteraksi
langsung dengan sel stellata hati dan interaksi ini dapat mempercepat proses
fibrogenik. Akhirnya, perubahan proliferasi hepatosit selama infeksi HCV juga
tampaknya terlibat dalam perkembangan fibrosis hati. Perubahan ini dapat
disebabkan oleh interaksi langsung antara intraselule protein HCV dan protein
yang terlibat dalam regulasi siklus sel, dan disorganisasi pos pemeriksaan siklus
sel oleh kerusakan DNA yang diinduksi oleh stres oksidatif yang dihasilkan
selama infeksi.8,10

Pasien dengan sirosis hati yang berhubungan dengan hepatitis memiliki4-5%


insiden tahunan kumulatif karsinoma hepatoseluler. Sirosis merupakan
determinan utama karsinoma hepatoseluler, mengingat karsinoma ini jarang
terjadi pada pasien terinfeksi HCV yang tidak memiliki sirosis. Infeksi HCV
tampaknya memiliki peran dalam proses karsinogenik HCV dapat menguasai
jalur molekuler yang terlibat dalam kontrol siklus sel dan kerusakan siklus DNA
menyebabkan transformasi hepatosit. Selain itu, peningkatan proliferasi karena
hilangnya terinfeksi sel yang dapat berpartisipasi, bersama dengan peradangan
lokal dan stres oksidatif, dalam memicu transformasi hepatosit. Peran respon
imun lokal dalam perkembangan tumor selanjutnya masih belum jelas.8,10

2.6 Manifestasi Klinis


Umumnya infeksi akut VHC tidak memberi gejala atau hanya bergejala
minimal. Hanya 20 - 30% kasus saja yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis akut 7
- 8 minggu (berkisar 2 - 26 minggu) setelah terjadi paparan. Walaupun demikian,
infeksi akut sangat sukar dikenal karena pada umumnya tidak terdapat gejala
sehingga sulit pula menentukan perjalanan penyakit akibat infeksi VHC.10
1. Hepatitis C akut (80% bersifat simptomatis)11
 Fase pre ikterik (1-2 minggu sebelum ikterik). Gejala prodromal berupa
anoreksi, mual dan muntah, kelemahan, malaise, arthralgia, myalgia, demam,
sakit kepala, fotofobia, faringitis, serta batuk dan flu. 1- 5 hari sebelum
kuning, dapat muncul warna urin yang lebih gelap dan feses berwarna pucat.
 Fase ikterik, sering disertai dengan hepatosplenomegaly dan nyeri di kuadran
kanan atas. Gambaran klinis virus hepatitis akutpada umumnya tidak jauh
berbeda kecuali durasi keluhan pasca ikterik lebih panjang pada hepatitis B
dan C akut
 Fase perbaikan (konvalesens)
2. Hepatitis C kronik
Umumnya asimptomatik, dapat pula berpa gejala tidak spesifik seperti
malaise dan keletihan. Pada kondisi lanjut, dapat ditemui tanda dan gejala serta
komplikasi sirosis hepatis yang mudah dikenali: edema ekstremitas, ascites,
hematemesis – melena, perubahan status mental dan sebagainya.11

2.7 Kriteria Diagnosis


Anamnesis dan pemeriksaan fisis penting untuk diagnosis hepatitis C
sekaligus untuk menyingkirkan diagnosis banding lainnya. Pada infeksi hepatitis C
akut, RNA VHC dapat terdeteksi dalam 7-10 hari setelah paparan kemudian anti-
HCV mulai dapat terdeteksi di dalam darah 2-8 minggu setelah paparan. Saat
diagnosis awal hepatitis C akut, pemeriksaan anti-HCV positif hanya ditemukan pada
sekitar 50% pasien.7
Diagnosis hepatitis C akut dapat ditegakkan jika terjadi serokonversi anti-
HCV pada pasien yang sebelumnya telah diketahui anti-HCV negatif, oleh karena
tidak adanya penanda serologi yang dapat membuktikan infeksi akut VHC. Pada
kasus pasien dengan gejala yang sesuai (alanine aminotransferase (ALT) > 10x nilai
batas atas normal, ikterik) tanpa adanya riwayat penyakit hati kronik atau penyebab
lain hepatitis akut, dan/atau sumber penularan dapat diidentifikasi maka dapat
dicurigai hepatitis C akut, meskipun 80% infeksi hepatitis C akut bersifat
asimptomatik.12
Diagnosis hepatitis C kronik dapat ditegakkan apabila anti-HCV dan RNA
VHC tetap terdeteksi > 6 bulan sejak terinfeksi dengan atau tanpa gejala gejala
penyakit hati kronik.12
Gambar 2.4 Perjalanan penyakit dan profil serologis hepatitis C

2.8 Laboratorium
2.8.1 Pemeriksaan Laboratorium Klinik Umum

1. Pemeriksaan Darah lengkap

Indikasi : untuk mendeteksi komplikasi dari kegagalan fungsi organ

seperti hepar.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan : hitung jumlah eritrosis,

hematocrit, hemoglobin, indeks eritrosit, jumlah leukosit dan

differential counting, gitung trombosit, serta laju endap darah.13

2. Pemeriksaan Kimia Darah

Indikasi : Untuk menilai fungsi hati dan dapat digunakan sebagai

diagnosis dini apabila gejala klinik tidak has dan didapatkan

peningkatan pada pemeriksaan fungsi hati.

Pemeriksaan yang dapat digunakan : bilirubin, alkali fosfatase dan

alkali transaminase. 13
2.8.1.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Klinik Umum

1. Pemeriksaan Kimia darah

Pada pemeriksaan kimia darah terlihat adanya peningkatan bilirubin, alkali

posfatase (ALP) dan transaminase (ALT), terutama serum transaminase terjadi

kenaikan yang bervariase, kemudian menurun diatas nilai normal atau terus

meningkat secara berfluktuasi.13

Pada hepatitis C akut peningkatan ALT terjadi pada 7-8 minggu setelah infeksi

dan peningkatannya bisa mencapai 10-15 kali nilai normal. Sedangkan pada kasus

Hepatitis C kronik dimana pola kenaikan enzim ALT yang bersifat polifasik, turun

naik selama 6 bulan atau lebih.13

Sebelum ditemukan penanda serologi yang spesifik, apabilah terjadi kenaikan

serum transaminase sedikitnya dua kali diatas nilai normal pada dua kali pemeriksaan

secara terpisah memiliki nilai diagnostic yang penting yaitu apabilah tidak

ditemukannya sebab lain yang dapat menyebabkan peningkatan enzim hati tersebut.13

2.8.2 Pemeriksaan Penyaring (Screening Test)

Indikasi : Untuk mendeteksi dini adanya infeksi oleh virus hepatitis C

Pemeriksaan yang bisa dilakukan : ELISA (Enzyme Linked

Immunosorbent Assay)

2.8.2.1 Hasil Pemeriksaan Penyaring (Screening Test)

a. Pemeriksaan antibody spesifik yaitu Anti HCV bisa dilakukan dengan

metode ELISA/ Enzyme Linked Immuno Assay. Tes ini memakai serum
atau plasma yang telah diencerkan, kemudian diinkubasi dengan bead

yang telah dilapisi dengan antigen HCV. Bila terdapat antibody didalam

serum, maka immunologi penderita akan terikat dengan bead tadi.

Pemeriksaan anti HCV terdiri atas 2 macam yaitu; IgM anti HCV dan IgG

Anti HCV. Dimana selama fase infeksi akut yang terdeteksi adalah IgM

Anti HCV yang kemudian akan berkurang dengan timbulnya IgG Anti

HCV.4

Tes screening test untuk hepatitis perlu dilakukan pada :

1) Anak dari ibu penderita hepatitis C

2) Pasien yang akan di hemodialisis

3) Pasien yang masih atau menggunakan obat secara intravena

4) Donor transplantasi organ maupun jaringan.

b. Recombinant Immunoblot Assay (RIBA)

Suatu tes terhadap protein viru Hepatitis C dengan cara Recombinant

Immunoblot Assay yang prinsipnya adalah suatu Immunoelektroforesis

untuk mendeteksi amtibodi Virus Hepatitis C. RIBA berupa

stri[ nitrocellulose yang mengandung pita-pita (bands) yang dilapisi

dengan atigen-antigen spesifik dan kemudian direaksikan dengan serum

pasien.

1) RIBA 1

Menggunakan antigen rekombinan C 100-2, 5-1-1 dan superoxide

dismutase (SOD). RIBA 1 dilaporkan lebih spesifik dan lebih

sensitive dibandingan dengan ELISA


2) RIBA 2

RIBA 2 menggunakan antigen rekombinan C 100-3,5-1-1, SOD, C-

33c dan C-22. RIBA 2 lebig sensitif (sensitifitas 98%) dan lebih

spesifik dibandingan RIBA 1.

3) RIBA 3

RIBA 3 menggunakan 2 macam antigen, yaitu antigen Sinthetic

peptides C100-3 dan C-22 dan anti NS-5. RIBA 3 dila[orkan lebih

sensitif dari RIBA 2 karena penambahan bahan senthetic peptides.

Walaupun RIBA lebih sensitive terhadap ELISA, namun RIBA bukan


merupakan “true confirmation Test” karena masih menggunakan antigen yang sama
pada ELISA. Sehingga RIB hanya dijadikan sebagai supplement test dan sudah
jarang digunakan.14

2.8.3 Pemeriksaan Konfirmasi

Indikasi : Sebagai test diagnosis yang digunakan untuk menegakkan


diagnosis hepatitis C.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan : HCV RNA

2.8.3.1 Hasil Pemeriksaan Test Konfirmasi

Pemeriksaan HCV RNA merupakan pemeriksaan antigen terhadap HCV-

RNA yang dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif.

Peneriksaan ini dilakukan dengan metode biologi mulekuler seperti PCR

dan branched-DNA.

Manfaat pemeriksaan HCV RNA diantaranya adalah untuk menentukan

tingkat aktifitas penyakit secara kuantitatif pada penderita hepatitis C


kronik, membantu menentukan prognosis setelah pengobatan dengan

interferon, mengukur respon penderita hepatitis C kronik dengan a-

interferon, dan merupakan pemeriksaan tambahan terhadap pemeriksaan

fungsi hati.15

2.8.3.2 Hasil laboratorium penentuan genotif HCV


Berdasarkan homologi urutan nukleotidanya, HCV diklasifikasikan
kedalam genotype-genotipenya. Secara internasional HCV
diklasifikasikan menjadi genotype 1a, 1b, 2a, 2b, 3 dan 4 . dimana
genotype 1b merupakan varian terbanyak diseluruh dunia. Pembagian
genotype-genotipe ini memberikan respon yang berbeda-beda pada
pengobatan dengan interferon. Dimana didapatkan bahwa genotype 1
memeberikan respons yang buruk terhadap pengobatan, sedangkan
genotype 2 dan 3 memberikan hasil yang baik dengan terapi interferon. 15

2.8.4 Penanda Serologi Infeksi

1) Hepatitis C akut

Dengan masa inkubasi sekitar 7 minggu (2-26 minggu) gejala hepatitis

C akut pada umumnya ringan dan hanya sekitar 20% yang icterus denga

disertasi gejala-gejala lain seperti, malaise, nusease, nyeri perut kanan atas

diikuti urin berwarna tua, dll. Sehingga diagnosis klinis hepatitis C akut

jarang dan sulit dibuat tanpa pemeriksaan serologi.

Penanda dari infeksi virus hepatitis C yaitu HCV RNA yang dapat

dideteksi dengan menggunakan PCR pada minggu pertama sampai kedua

setelah terpapar dan kadarnya terus meningkat. Anti HCV antibody dapat

dideteski pada fase akut berupa kenaikan titer IgM Anti HCV tetapi
muncul setelah beberapa minggu. Sedangkan untuk serum alanine amino

transferase (ALT=SGPT) akan meningkat sebelum timbul gejala klinis

dan puncaknya bisa sampai 10 kali dari nilai normal.

Pada penderita self-limiting hepatitis kadar serum ALT menjadi

normal dan serum HCV RNA tidak terdeteksi lagi sedangkan anti HCV

akan menurun tetapi bisa terdeteksi sampai bertahun-tahun.

Gambar 2.5 penanda serologi pada hepatitis C akut

2) Hepaititis Kronis

terdapat dua pola hepatitis C kronik yang tergantung dari tingginya kadar

ALT serum.
a. Hepatitis C kronik dengan ALT serum normal.

Terjadi sekitar 25 % kasus dimana ALT serum normal sedangkan

HCV RNA terdeteksi. Pada umumnya asimptomatis dan dianggapk

kedalam keadaan carier HCV.

b. Hepatitis C kronik dengan ALT serum meningkat

Terjadi pada 75% kasus hepatitis C, dimana pada kondisi ini ALT

serum meningkat. Keadaan ini terdiri atas 2 kondisi :

1) Hepatitis C kronis ringan

2) Hepatitis C kronis sedang sampai berat

Perubahan serologic pada infeksi HCV ditandai dengan timbulnya HCV

RNA pada fase dinis , sebelum terjadi peningkatan aktivitas serum

transaminase yaitu ALT/ SGPT yaitu karakteristik fluktuatif untuk

beberapa bulan sampai tahun.4


Gambar 2.6 penanda serologi pada hepatitis C kronik

2.9 Tatalaksana
Pengobatan Hepatitis C sedini mungkin sangatlah penting. Meskipun tubuh
telah melakukan perlawanan terhadap infeksi, tetapi hanya 20% yang berhasil,
pengobatan tetap diperlukan untuk mencegah Hepatitis C kronis dan membantu
mengurangi kemungkinan hati menjadi rusak.14
Senyawa-senyawa yang digunakan dalam pengobatan Hepatitis C adalah:14
1. Interferon alfa
Adalah suatu protein yang dibuat secara alami oleh tubuh manusia untuk
meningkatkan sistem daya tahan tubuh/imunitas dan mengatur fungsi sel lainnya.
Obat yang direkomendasikan untuk penyakit Hepatitis C kronis adalah dari inteferon
alfa bisa dalam bentuk alami ataupun sintetisnya.
2. Pegylated interferon alfa
Dibuat dengan menggabungkan molekul yang larut air yang disebut
"polyethylene glycol (PEG)" dengan molekul interferon alfa. Modifikasi interferon
alfa ini lebih lama ada dalam tubuh, dan penelitian menunjukkan lebih efektif dalam
membuat respon bertahan terhadap virus dari pasien Hepatitis C kronis dibandingkan
interferon alfa biasa.
Ada dua macam pegylated interferon alfa yang tersedia:

 Peginterferon alfa-2a
 Peginterferon alfa-2b
Meskipun kedua senyawa ini efektif dalam pengobatan Hepatitis C kronis, ada
perbedaan dalam ukurannya, tipe pegylasi, waktu paruh, rute penbersihan dari tubuh
dan dosis dari kedua pegylated interferon. Karena metode pegylasi dan tipe molekul
PEG yang digunakan dalam proses dapat mempengaruhi kerja obat dan
pembersihannya dalam tubuh.
Perbedaan besar antar dua pegylated interferon adalah dosisnya. Dosis dari
pegylated interferon alfa-2a adalah sama untuk semua pasien, tidak
mempertimbangkan berat dan ukuran pasien. Sedangkan dosis pegylated interferon
alfa-2b disesuaikan dengan berat tubuh pasien secara individu.
3. Ribavirin
Adalah obat anti virus yang digunakan bersama interferon alfa untuk
pengobatan Hepatitis C kronis. Ribavirin kalau dipakai tunggal tidak efektif melawan
virus Hepatitis C, tetapi dengan kombinasi interferon alfa, lebih efektif daripada
inteferon alfa sendiri.
Efek samping penggunaan interferon adalah demam dan gejala-gejala
menyerupai flu (nyeri otot, malaise, tidak napsu makan dan sejenisnya), depresi dan
gangguan emosi, kerontokan rambut lebih dari normal, depresi sumsum tulang,
hiperuresemia, kadang-kadang timbul tiroiditis. Ribavirin dapat menyebabkan
penurunan Hb. Untuk mengatasi efek samping tersebut, pemantauan pasien mutlak
perlu dilakukan.
Indikasi terapi
Didapatkan peningkatan nilai ALT lebih dari batas atas nilai normal. Pada
pasien yang tidak terjadi fibrosis hati atau hanya fibrosis hati ringan tidak perlu
diberikan terapi karena mereka biasanya tidak berkembang menjadi sirosis hati
setelah 20 tahun menderita infeksi VHC. 14
Pengobatan pada hepatitis C
Akut, keberhasilan terapi dengan interferon lebih baik dari pada pasien·
Hepatitis C kronik hingga mencapai 100%. Interferon dapat digunakan secara
monoterepi tanpa ribavirin dan lama terapi hanya 3 bulan. Namun sulit untuk
menentukan menentukan infeksi akut VHC karena tidak adanya gejala akibat virus ini
sehingga umumnya tidak diketahui waktu yang pasti adanya infeksi.14
Kronik adalah dengan menggunakan interferon alfa dan ribavirin. Umumnya·
disepakati bila genotif I dan IV, maka terapi diberikan 48 minggu dan bila genotip II
dan III, terapi cukup diberikan 24 minggu.14
Kontraindikasi terapi
Adalah berkaitan berkaitan dengan penggunaan interferon dan ribavirin, yaitu:

 Pasien yang berusia lebih dari 60 tahun


 Hb <10g/dL, leukosit darah <2500/uL, trombosit <100,000/uL
 Adanya hipertiroid
 Pasien dengan gangguan ginjal
Untuk interferon alfa yang konvensional, diberikan setiap 2 hari atau 3 kali
seminggu dengan dosis 3 juta unit subkutan setiap kali pemberian. Interferon yang
telah diikat dengan poly-ethylen glycol (PEG) atau dikenal dengan Peg-Interferon,
diberikan setiap minggu dengan dosis 1,5 ug/kgBB/kali ( untuk Peg-Interferon 12 KD
) atau 180 ug ( untuk Peg-Interferon 40 KD ).
Pemberian interferon diikuti dengan pemberian ribavirin dengan dosis pada
pasien dengan berat badan 70 kg 1200 mg setiap hari dibagi dalam 2 kali pemberian.
Pada akhir terapi dengan interferon dan ribavirin perlu dilakukan pemeriksaan
RNA VHC secara kualitatif untuk mengetahui apakah VHC resisten. Keberhasilan
terapi dinilai 6 bulan setelah pengobatan dilakukan dengan memeriksa RNA VHC
kualitatif. Bila :
- RNA VHC tetap (-) : pasien dianggap mempunyai respon virulogik yang
menetap (sustained virulogical response atau SVR)
- RNA VHC kembali (+) : pasien dianggap relapser
Pasien yang tergolong kambuh dapat kembali diberikan interferon dan ribavirin
nantinya dengan dosis yang lebih besar atau bila sebelumnya menggunakan interferon
konvensional, Peg-Interferon mungkin akan bermanfaat.
Pada ko-infeksi HCV-HIV, terapi dengan interferon dan ribavirin dapat
diberikan bila jumlah CD4 pasien ini > 200 sel/mL. Bila CD4 kurang dari nilai
tersebut, respon terapi sangat kurang memuaskan.
Untuk pasien dengan ko-infeksi VHC-VHB, dosis pemberian interferon untuk
VHC sudah sekaligus mencukupi untuk terapi VHB sehingga kedua virus dapat
diterapi bersama-sama sehingga tidak diperlukan nukleosida analog yang khusus
untuk VHB. 14

2.10 Komplikasi
Sekitar 75-85% penderita hepatitis C akut berkembang menjadi kronik.Dari
hepatitis C kronik 10-20% akan berlanjut menjadi sirosis hati dalam 15-20tahun, dan
setelah menjadi sirosis hati sebanyak 1-5% per tahun berkembangmenjadi karsinoma
hati seluler. Sirosis terkait dengan infeksi HCV kronis juga sangat terkait dengan
perkembangan HCC, yang biasanya berkembang setelah 30 tahun pada pasien yang
terinfeksi kronis. Dari pasien dengan sirosis terkait HCV, 20-25% dapat berkembang
menjadi gagal hati dan kematian.7
Sirosis hepatis merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang
ditandai oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif. Selama 20-
30 tahun, sebagian pasien akan berkembang menjadi sirosis hati dan konsekuensi lain
dari sirosis, seperti dekompensasi hati (yang ditandai dengan asites, perdarahan
saluran cerna bagian atas,hepatorenalsindrom dan ensefalopati hepatik) dan
karsinoma hepatoseluler. Sebelum mengembangkan gejaladekompensasi, pasien
mungkin mengalami gejalaseperti kelelahan, penurunan berat badan, nyeri otot dan
sendi,atau ketidaknyamanan perut kanan atas, nyeri atau gatal.16
Risikoterjadinya karsinoma hati pada penderita sirosis akibat hepatitis C
kronikdiperkirakan sekitar 1-4%. Perkembangan sejak terjadinya infeksi HCV
sampaitimbulnya karsinoma hati berkisar antara 10-50 tahun. Perkembangan HCC
yang diinduksi HCV adalah proses bertahap dan dipengaruhi oleh durasi penyakit dan
genotipe virus. Gambaran klinis pasien HCC seperti nyeri perut, berat bdan turun
drastic, terdapat gejala sirosis, temuan pada pemeriksaan fisik (hepatomegaly, teraba
massa pada hepar, dll) serta peningkatan pemeriksaan fungsi hati.17
Infeksi HCV kronis juga mempengaruhi sistem organ di luar hati dan dapat
berkontribusi pada perkembangan berbagai penyakit ekstrahepatik. Mekanisme
komorbiditas ekstrahepatik yang terkait dengan infeksi HCV kronis tidak sepenuhnya
dipahami tetapi kemungkinan multifaktorial. Replikasi HCV dalam sel ekstrahepatik,
interaksi antara protein HCV dan jalur sinyal intraseluler, stimulasi limfosit B yang
diinduksi HCV, dan aktivasi imun yang mengarah ke peradangan kronis semuanya
telah dihipotesiskan berperan dalam perkembangan kondisi ini. Faktor gaya hidup,
seperti penyalahgunaan obat dan alkohol, merokok, dan gizi buruk, mungkin juga
menjadi kontributor penting untuk perkembangan penyakit ekstrahepatik terkait
HCV. Gejala ekstrahepatik bisa meliputigejala hematologis, autoimun, mata,
persendian, kulit, ginjal, paru, dan sistemsaraf.18

2.11 Prognosis
Hampir 80% pasien hepatitis C akut akan menjadi hepatitis C kronik. Faktor
yang meningkatkan risiko kronisitas meliputi jenis kelamin laki-laki, usia >25 tahun
saat mengalami infeksi, pasien asimptomatik, etnis Afrika Amerika, koinfeksi dengan
HIV, kondisi imunosupresi, alkoholisme, obesitas, dan resistensi insulin.19

Sebanyak 10-20% hepatitis C kronik akan berkembang menjadi sirosis hati


dalam kurun waktu 15-20 tahun. Setelah menjadi sirosis hati, sebanyak 1-5% per
tahun berkembang menjadi karsinoma hepatoselular. Angka mortalitas karena sirosis
akibat hepatitis C kronik diperkirakan sebesar 4% per tahun.19

BAB III KESIMPULAN

Hepatitis virus C adalah kondisi inflamasi hepar yang disebabkan oleh infeksi
virus hepatitis C (HCV). Virus Hepatitis C adalah virus RNA berenveloped yang
ditransmisikan melalui kontak darah yang ditularkan lewat kulit atau selaput lendir
yang terluka. Cara penularan lain dapat melalui jarum suntik, transfusi darah yang
tidak aman, sedangkan untuk penularan melalui selaput lendir disebabkan oleh
hubungan seksual, infeksi perinatal dari ibu ke bayi dan penggunaan pisau cukur serta
sikat gigi secara bersamaan. Virus hepatitis C merupakan salah satu virus penyebab
hepatitis dan dianggap menimbulkan dampak yang paling besar diantara virus-virus
lain dari penyebab hepatitis. Sekitar 150 juta orang di dunia menderita hepatitis C
kronis dan lebih dari 350 ribu orang meninggal setiap tahunnya. Sedangkan di
Indonesia angka prevalensi kasus hepatitis C sangat bervariasi yaitu berkisar 2,1 %
dari total penduduk di Indonesia.

Metode dalam menegakkan diagnosis hepatitis C sangat diperlukan dalam


melakukan manajemen terapi dengan tepat. Untuk menentukan keberhasilan terapi
interferon dan antivial, sangat diperlukan penentuan genotipe dari HCV, sedangkan
untuk identifikasi dini menggunakan metode Enzyme Linked Immuno Assay (ELISA),
melekuler seperti jumlah HCV RNA,genotype HCV, dan penanda serologi untuk
fungsi hati sangat diperlukan.

Tujuan dari pengobatan hepapitis C adalah menekan secara permanen angka


kejadian hepatitis C. Hal ini akan mengurangi patogenitas, infektivitas, dan akhirnta
menghentikan atau mengurangi nekroinflamasi hati. Sedangkan untuk indikasi dari
pemberian terapi pada hepatitis C ditentukan berdasarkan : nilai HCV RNA, ELISA,
genotype dan penanda serologi pada fungsi hati.
Daftar Pustaka

1. Alhawaris. Hepatitis C: epidemiologi, etiologi dan patogenitas. Jurnal Sains


dan Kesehatan. 2019: 2 (2); 139-150
2. Dany F, Handayani S. Seroprevalensi hepatitis C pada populasi perkotaan dan
perdesaan di Indonesia Tahun 2013: kajian determinan sosiodemografi,
lingkungan, pejamu dan komorbiditas (analisis lanjut riskesdas 2013). Media
Litbangkes. 2017: 27 (4); 197-208
3. Jurnalis YD, Sayoeti Y, Russelly A. hepatitis c pada anak. Jurnal Kesehatan
Andalas. 2014; 3(2)2): 257-261
4. Brataatmadja D. Aspek laboratorium pada infeksi virus hepatitis C. Jurnal
JKM. 2003: 3 (1); 13-25
5. Pietschmann, T., & Brown, R. J. P. (2019). Hepatitis C Virus. Trends in
Microbiology, 27(4), 379–380.doi:10.1016/j.tim.2019.01.001
6. World Health Organization. Guidelines for the care and treatment of persons
diagnosed with chronic hepatitis c virus infection. 2018.
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/273174/9789241550345-
eng.pdf?ua=1
7. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI). Konsensus nasional
penatalaksanaan hepatitis C di Indonesia. Jakarta: PPHI; 2017
8. Manns, MP., Buti, M., Gane, Ed. Hepatitis C virus infection. Macmilan
Publisher Limited. 2017;(3): 1-19
9. Hengst, J. et al. Nonreversible MAIT cell-dysfunction in chronic hepatitis C
virus infection despite successful interferon-free therapy. Eur. J. Immunol. 46,
2204–2210 (2016).
10. Gani, RA. Hepatitis C. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.6. Intema
Publishing. 2014;1972-7.
11. Longo DL, Fauci AS. Chronic Hepatitis. Dalam: Harrison’s gastroenterology
and hepatology. Edisi ke-2. Philadelphia: McGraw-Hill;2013.
12. Europian Association for the Study of the Liver (EASL). EASL
recommendations on treatment of hepatitis C infection 2014. J Hepatol.
2014;61 (2): 373-95
13. Rosida, A. (no date) ‘Pemeriksaan laboratorium penyakit hati’, pp. 123–131.
14. Wahyudi H, Saturti TIA. Hepatitis. FK UNUD. 2017. 1-41
15. Of, I. J. (2015) ‘CLINICAL PATHOLOGY AND Majalah Patologi Klinik
Indonesia dan Laboratorium Medik’, 21(3).
16. Boyer, T. D., Manns, M. P. & Sanyal, A. J. (eds) Zakim and Boyer’s
Hepatology, A Textbook of LiverDisease. Elsevier Saunders Philadelphia.
(2012).
17. Axley, P., Ahmed, Z., Ravi, S. Hepatitis C virus and Hepatocellular
Carcinoma: A narrative review. Journal of Clinical and Translational
Hepatology. 2018; (6): 79-84
18. Re, VL. Extrahepatic Complications of Hepatitis C Virus Infection in HIV
and the Impact ofSuccessful Antiviral Treatment. Published by Oxford
University Press for the Infectious Diseases Society of America. 2016
19. Kementrian Kesehatan RI. Panduan Singkat Tatalaksana Hepatitis C. 2017

Anda mungkin juga menyukai