Anda di halaman 1dari 34

ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI

Referat
FAKULTAS KEDOKTERAN
Oktober
UNIVERSITAS HASANUDDIN 2021

PENANGANAN DAN REHABILITASI PADA PASIEN


DENGAN CEDERA PLEKSUS BRAKIALIS

Disusun Oleh:

Alifiyah Mutmainnah S.Nemin C014202116


Laode Muh Irsyad C014202245

Supervisor Pembimbing :
dr. Husnul Mubarak, Sp. KFR(K)
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
DEPARTEMEN KEDOKTERAN FISIK & REHABILITASI MEDIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa :


Alifiyah Mutmainnah S.Nemin C014202116 Laode
Muh Irsyad C014202245

Dengan judul referat : Penanganan dan Rehabilitasi pada Pasein Dengan


Cedera Pleksus Brakialis
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen
Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin.

Makassar,Oktober 2021
Supervisor Pembimbing

dr. Husnul Mubarak, Sp. KFR(K)

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul...................................................................................i

Halaman Pengesahan........................................................................ii

DAFTAR ISI...................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................2

2.1 Definisi Cedera Pleksus Brakialis.....................................2

2.2 Anatomi Pleksus Brakialis................................................2

2.3 Dermatome Pleksus Brakialis...........................................4

2.3 Etiologi Pleksus Brakialis.................................................6

2.4 Patologi Pleksus Brakialis.................................................7

2.5 Manifestasi Klinik.............................................................8

2.6 Diagnosis Pleksus Brakialis............................................10

2.7 Penatalaksanaan..............................................................14

2.5 Prognosis.........................................................................24

BAB III PENUTUP.......................................................................23

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................25
BAB I

PENDAHULUA

Permasalahan yang ditimbulkan dari lesi Pleksus Brakialis ini meliputi


berbagai aspek kehidupan, terutama kelumpuhan anggota gerak atas. Kelumpuhan
anggota gerak atas tentunya akan berdampak pada fungsi kehidupan sehari-hari
dan bahkan dalam pekerjaan. Kehilangan waktu bekerja akan berdampak pada
kehidupan keluarga dan sosial. Tidak kalah berat juga terjadi dalam kehidupan
pribadi, bahkan penderita dengan kehidupan pribadi yang kurang matang dapat
mengakibatkan percobaan bunuh diri. Prevalensi cedera pleksus brakialis tertinggi
pada usia dewasa muda 19 – 34 tahun dengan angka kejadian pada laki –laki
sebesar 89%. 1,2

Penyebab tersering cedera pleksus brakialis adalah trauma, dapat


disebabkan oleh berbagai mekanisme, meliputi luka tembus, terjatuh, dan
1,2,3
terutama pada kecelakaan kendaraan bermotor Data mengenai insiden trauma
plekus brakialis sulit diketahui dengan pasti, Goldie dan Coates melaporkan 450-
500 kasus cedera supraklavikular tertutup terjadi setiap tahun di Inggris. Lesi
traumatik yang berhubungan dengan paralisis pleksus brakialis antara lain fraktur
klavikula (10%), fraktur humerus (10%), sublukasi cervical spine (5%), trauma
medula spinalis cervical (5-10%).2,4,5

Penatalaksanaan pasien dengan cedera pleksus brakialis merupakan


masalah kompleks yang memerlukan kerjasama yang erat dari sebuah tim terdiri
dari dokter-dokter ahli dari bagian yang berbeda dan diperlukan juga kolaborasi
dengan bidang lain seperti okupasional terapis, fisioterapis, psikolog, pekerja
sosial.1,2,6

Prognosis dari cedera pleksus brakialis bervariasi dan tergantung dari


letak, derajat kerusakan saraf dan kecepatan memperoleh terapi. Pasien yang tidak
mendapatkan penanganan yang tepat dapat memperburuk kondisinya, dengan
adanya kontraktur sendi, subluksasi sendi bahu serta bertambahnya kelemahan
dan atrofi otot-otot akibat difuse. 5,7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Cedera Pleksus Brakialis

Lesi Pleksus Brakialis adalah cedera anyaman saraf tepi di daerah leher
(Cervical) dan bahu yang berakibat pada kelumpuhan otot-otot bahu, siku,
pergelangan tangan, dan jari-jari tangan. Anyaman saraf tepi daerah cervical yang
dibentuk oleh akar saraf cervical 5,6,7,8, dan thorakal 1, dapat mengalami
kerusakan yang disebabkan oleh peregangan yang berlebihan, kompresi, atau
terkena benda tajam dan mengakibatkan terputus atau bahkan tercabut. Kerusakan
yang terjadi dapat Sebagian maupun total dengan level cedera yang bervariasi,
baik yang supraclavicular maupun yang infraclavicular. Kelumpuhan akan terjadi
pada daerah bahu dan siku, jika kerusakan anyaman saraf tepi terjadi pada
anyaman saraf tepi bagian atas. Kelumpuhan akan terjadi pada daerah pergelangan
dan jari-jari tangan, jika kerusakan anyaman saraf tepi leher bagian bawah.
Kelumpuhan pada seluruh anggota gerak atas, mulai dari bahu, siku, pergelangan
tangan, dan jari-jari tangan terjadi jika kerusakan anyaman saraf tepi terjadi pada
keseluruhan bagian anyaman tersebut.4

2.2 Anatomi Pleksus Brakialis

Pleksus brakialis biasanya memiliki panjang 15-18 cm pada pasien


dewasa,4 berbentuk segitiga dan berjalan ke arah anterior dan inferior, mulai
dari leher sampai axilla. Sel kornu anterior adalah sel neuron utama serabut
motorik yang ada di medula spinalis. Neuron utama untuk sensoris berada di
Dorsal Root Ganglion (DRG) yang ada di foramen intervertebra. Akar saraf
ventral dan dorsal menyatu pada level distal dan DRG untuk membentuk saraf
spinalis. Saraf spinalis mengeluarkan cabang tepat setelah keluar dari foramen
vertebalis ke posterior yaitu Posterior Primary Ramus (PPR) yang
mempersarafi otot-otot para spinalis. Saraf spinalis melanjutkan diri sebagai
Anterior Primary Ramus (APR). APR inilah yang dinamakan akar saraf (root)
Pleksus Brakialis. Akar saraf dari C5, C6, C7, C8, dan Th1 membentuk
anyaman yang saling berhubungan satu sama lain dan berada di daerah
Brakhii, sehingga disebut Pleksus Brakialis, sebelum akhirnya berakhir pada
cabang terminal. Berdasarkan urutannya, maka akar saraf C5 dan C6 akan
bergabung membentuk trunkus superior, namun akar saraf C5 sebelumnya
telah memberikan cabang ke Nervus (N) Thorakalis Longus dan N. Dorsal
Scapulae. N. Thorakalis Longus yang merupakan gabungan dari percabangan
akar saraf C5, C6, dan C7 yang akan menginervasi otot Seratus Anterior. N.
Dorsal Scapulae akan menginervasi otot Rhomboid. Trunkus proksimal
mengeluarkan cabang N. Suprascapular yang akan menginervasi otot

Supraspinatus dan Infraspinatus. Akar saraf C7 sebelum menjadi trunkus


medius telah memberikan percabangannya ke N. Thorakalis Longus. Akar
saraf C8 dan Th1 akan bergabung membentuk trunkus inferior.
Trunkus terbentang di antara otot scalenus anterior dan medius. Dibalik
klavikula trunkus proksimal, selanjutnya akan terbagi 2 yaitu devisi anterior
yang akan bergabung dengan devisi anterior trunkus medius membentuk
korda lateral, sementara devisi posterior dari trunkus proksimal akan
bergabung dengan devisi posterior trunkus medius dan inferior untuk
membentuk korda posterior. Sementara dari trunkus inferior akan melanjutkan
dirinya sebagai devisi anterior menjadi korda medialis. 4
Tidak ada percabangan yang keluar dari trunkus medius dan inferior.
Korda lateralis memberikan percabangannya ke N. Pektoralis lateralis yang
akan menginervasi otot Pektoralis Mayor, dan selanjutnya anyaman ini
diakhiri dengan cabang terminal ke N. Muskulocutaneous dan N. Medianus.
Korda posterior akan memberikan percabangannya ke N. Subscapularis
proksimal dan distal yang akan menginervasi otot Subscapularis. Corda
posterior juga akan memberikan percabangan ke N. Thoracodorsal yang
menginervasi otot Latissimus Dorsi. Korda posterior akan mengakhiri
anyaman pada cabang terminal menjadi N. Aksilaris dan
N. Radialis. Korda medialis akan memberikan percabangannya ke N.
Cutaneous Brachii medialis dan N. Cutaneous Antebrachii medialis untuk
selanjutnya akan mengakhiri ayamannya pada cabang terminal N. Ulnaris dan
N. Medianus. 4
Dari 5 buah akar saraf membuat 3 buah trunkus, lalu setiap trunkus akan
membuat dua buah cabang, ke sisi anterior atau posterior, untuk membuat tiga
buah bagian besar yang disebut korda. Semua trunkus akan memberikan
cabang posteriornya untuk membuat divisi posterior, yang akan bergabung dan
membuat korda posterior. Sedangkan untuk divisi anterior, trunkus superior
dan tengah akan bergabung untuk membuat korda lateralis, dan divisi anterior
dari trunkus inferior akan membuat korda medialis. Penting diketahui bahwa
semua divisi anterior adalah penggerak fleksor, dan semua divisi posterior
adalah antagonisnya, yaitu penggerak ekstensor.4

Gambar 1. Komponen dari pleksus brakialis

2.3 Dermatome Plexus Brakialis

Kulit secara anatomis dibagi menjadi pola yang berbeda berdasarkan


distribusi spesifik serabut saraf sensorik yang berasal dari saraf tulang belakang
tunggal. Pola-pola ini dipetakan dan dibahas paling menonjol pada tahun 1933
oleh O. Foerster dalam sebuah publikasi berjudul "The Dermatomes in Man"
dalam jurnal Brain, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai landasan yang
mendasari teori dermatomal.31

Pleksus brakialis adalah jaringan saraf yang sangat kompleks, terbentuk


dari akar ventral C5-C8, dengan kontribusi tambahan dari T1. Lima akar saraf
menyatu menjadi batang, divisi, tali, dan cabang yang mempersarafi sekitar 50
otot dan kulit di ekstremitas atas dan daerah dada. C5-C6 membentuk batang
superior, C7 memanjang sebagai batang tengah, dan C8 dan T1 bergabung
untuk membuat batang inferior. Beberapa saraf campuran yang signifikan
memanjang dari pleksus brakialis, termasuk aksila (C5, C6), muskulokutaneus
(C5, C6) radial (C6-C8), median (C5-T1), dan saraf ulnaris (C8, T1).
Sementara itu, ada beberapa saraf lain di pleksus yang hanya saraf sensorik otot
atau kulit.32

1. Cabang nervus muskulokutaneus

Nervus muskulokutaneus adalah saraf campuran yang mengandung akson


sensorik dan motorik. nervus muskulokutaneus berasal dari korda lateral.
nervus muskulokutaneus meninggalkan selubung pleksus brakialis tinggi di
aksila setinggi batas bawah otot teres mayor dan masuk ke otot
coracobrachialis. Nervus ini mempersarafi otot-otot di kompartemen fleksor
lengan dan membawa sensasi dari sisi lateral (radial) lengan bawah.33

1. Cabang nervus ulnaris


Nervus ulnaris berasal dari fasikulus medial. Persarafan motorik terutama
pada otot-otot intrinsik tangan . Persarafan sensorik ke medial (ulnaris) 1,5 jari
tangan (jari kelingking, setengah dari jari manis).33

2. Cabang nervus medianus


Nervus medianus berasal dari fasikulus lateral dan medial. Persarafan
motorik sebagian besar otot fleksor di lengan bawah dan otot intrinsik ibu jari
(otot tenar). Persarafan sensorik ke lateral (radial) 3,5 jari tangan (ibu jari,
telunjuk dan jari tengah, setengah dari jari manis).33

3. Cabang nervus aksilaris


Nervus aksilaris berasal dari fasikulus posterior. Nervus aksilaris
meninggalkan pleksus brakialis pada batas bawah muskulus subscapularis dan
berlanjut sepanjang permukaan inferior dan posterior arteri aksilaris sebagai
nervus radialis. Nervus aksilaris berfungsi sebagai persarafan motorik ke otot
deltoid dan teres minor, seperti terlihat pada gambar di bawah. Ini bertindak di
sendi glenohumeral. Persarafan sensorik berasal dari kulit tepat di bawah titik
bahu. Saraf aksila berlanjut sebagai saraf kutaneus brakialis lateral superior
lengan.33

4. Cabang nervus radialis

Nervus radialis juga berasal dari fasikulus posterior. Nervus radialis


berlanjut sepanjang permukaan posterior dan inferior arteri aksilaris dan
menginervasi otot ekstensor siku, pergelangan tangan, dan jari, seperti terlihat
pada gambar di atas. Persarafan sensorik berasal dari kulit pada dorsum tangan
pada sisi radial.33

Gambar 2. Dermatome Medulla Spinalis

2.3 Etiologi Pleksus Brakialis

Selain itu penyebab cedera pleksus brakialis juga dibedakan berdasarkan


mekanisme trauma, antara lain:2,7
1. Cedera akibat traksi / traumatic traction injuries – merupakan penyebab
yang terbanyak cedera pleksus brakialis yang disebabkan oleh dislokasi
bahu atau tangan kearah bawah karena adanya tarikan yang kuat,
seringkali disertai fleksi lateral leher pada arah yang berlawanan.7
2. Trauma penetrasi pada bahu atau leher - luka trauma akibat tusukan pisau,
laserasi kaca, atau luka tembak pada regio supra atau infraklavikula
menyebabkan kontusio atau robeknya pleksus brakialis.7
3. Tumor

a. Tumor neural sheath: neurofibroma, schwannoma, malignant


peripheral nerve sheath tumor dan meningioma
b. Tumor non neural : kanker mammae, kanker paru

4. Radiation-induced, insidensi cedera pleksus brakialis yang dipicu oleh


radiasi diperkirakan sebanyak 1,8 - 4,9 %, paling sering terjadi pada pasien
dengan kanker pada thoraks atau paru.12
5. Entrapment, postur tubuh dengan bahu yang lunglai dan dada kolaps
menyebabkan thoracic outlet menyempit sehingga menekan struktur
neurovaskuler.12,13
6. Idiopatik, pada Parsonage Turner Syndrome terjadi pleksitis brakialis
tanpa diketahui penyebab yang jelas, namun diduga terdapat infeksi virus
yang mendahului.7

2.4 Patofisiologi Pleksus Brakialis

Sebagian besar patologi dari lesi pleksus brakialis pada orang dewasa
adalah karena trauma tertutup. Lesi pada saraf dalam kasus ini disebabkan oleh
traksi (95% kasus) atau kompresi. Pada kasus traksi, saraf dapat mengalami
ruptur, avulsi pada tingkat medulla spinalis, atau tertarik secara signifikan tetapi
tetap intak.8,9 Terdapat lima tingkat dimana pleksus dapat mengalami lesi, yaitu :
5,9

1. Akar saraf: merupakan ramus primer anterior dari saraf spinal C5-T1

2. Trunkus: superior, tengah, dan inferior

3. Divisi: anterior dan posterior dari setiap bagian trunkus

4. Korda: medial, lateral, dan posterior


5. Beberapa cabang saraf tepi yang di derivasi dari akar, trunkus, divisi, dan
korda.
David Chuang juga membagi 2 tipe lesi pada cedera pleksus brakialis yang
dibedakan untuk tujuan perbedaan pengobatannya : 3,11
1. Avulsi : mengacu pada saraf yang robek dari perlekatannya (disebut avulsi
proksimal jika perlekatannya terlepas dari medulla spinalis, disebut avulsi
distal jika perlekatannya terlepas dari otot)

2. Ruptur : adalah cedera saraf yang diakibatkan oleh trauma traksi yang
terbelah secara inkomplit sehingga menyebabkan bentuk akhir iregular
proksimal dan distal.

Cedera paling banyak mengenai daerah supraklavikuler. Daerah


supraklavikuler ini dibagi menjadi menjadi preganglionik dan postganglionik.
Pada lesi preganglionik, akar saraf tertarik dari medulla spinalis sehingga serabut
saraf motorik terpisah dengan badan sel motorik pada kornu anterior. Serabut dan
badan sel sensorik masih terhubung dengan ganglion akar saraf dorsalis, namun
serabut eferen yang memasuki kolumna dorsalis terputus. Karena inilah maka
masih terdapat potensi aksi saraf sensorik (SNAP) pada pemeriksaan EMG. Lesi
ini menyebabkan paralisis yang menetap pada otot yang dipersarafi dan hilangnya
sensorik sesuai dermatomnya.5,10

Sebaliknya, pada lesi postganglionik menunjukkan bahwa sel-sel saraf


motorik maupun sensorik terputus dengan serabut sarafnya sehingga terdapat
abnormalitas baik pada potensi aksi motorik maupun sensorik dan badan sel
secara anatomis masih baik sehingga diharapkan terjadi regenerasi saraf.5,10

2.5 Manifestasi Klinik

Pasien dengan cedera pleksus brakialis biasanya akan mengeluhkan gejala


berupa kelemahan motorik, gangguan sensorik, dan bahkan autonomik pada bahu
dan atau ekstremitas atas yang terkena. Gambaran klinisnya mempunyai banyak
variasi tergantung dari letak lesi dan derajat kerusakan pleksus brakialis.4,10,11,17
1. Nyeri

Sebagian besar pasien dengan gangguan pleksus brakialis merasakan nyeri


berupa sakit, rasa terbakar di sekitar bahu, lengan atas, atau lengan bawah,
yang bertambah berat bila menggerakkan lengan atas atau bahu, dan jarang
diperburuk oleh Valsava maneuver yang lebih khas pada akar sarafulopati.1,5,17
2. Gangguan Sensorik dan Parestesia

Kehilangan sensorik secara umum mengikuti distribusi dermatom. Pasien


dengan lesi pleksus brakialis trunkus superior mengalami kehilangan sensori
pada lateral lengan atas dan lengan bawah, lesi pleksus trunkus brakialis
medial pada dorsal lengan bawah dan tangan, serta lesi pleksus brakialis
trunkus inferior pada medial tangan dan lengan bawah.1,5,17
3. Kelemahan dan Atrofi

Secara umum, kelemahan mengikuti distribusi miotom, dengan kelemahan


pada pleksus brakialis secara menonjol mengenai abduksi, eksternal rotasi dan
fleksi lengan pada lesi pleksus superior; fleksi dan ekstensi lengan dan jari-
jari tangan dengan lesi trunkus media, dan kelemahan instrinsik tangan
.
dengan lesi pleksus inferior 1,5,10,17

AVULSI RUPTUR

Saraf terlepas dari perlekatannya atau Saraf terbelah + tertarik


margin tulangnya
Pada operasi, ditemukan hanya 1 ujung Dua ujung terputus dapat dilihat saat
terputus yang terlihat. operasi
Cedera level 1 merupakan avulsi proksimal, Cedera level 2,3, dan 4
level 4 merupakan avulsi distal dari otot atau
margin tulang
Tabel 1. Perbandingan Avulsi dan Ruptur

Berdasarkan terjadinya maka cedera pleksus brakialis dibedakan

menjadi17,18,21

1. Compressive brachial pleksus neuropaty (CBPN), adalah tipe yang biasa


disebut thorasic outlet syndrome (TOS) yaitu neuropati atau vaskulopati
kompresi yang mengenai pleksus brakialis dan pembuluh darah subklavia.

Brachial pleksus traction Injury (BPTI), merupakan trauma tarikan pada


pleksus brakialis. BPTI akan mengganggu neural tissue gliding dan
kemampuan untuk mentoleransi tekanan. Hal ini dapat disebabkan oleh fibrosis
intra dan ekstraneural akibat trauma langsung, patologi lokal pada vertebra
servikal atau thorak atau kompresi yang berlebihan atau overuse. Brachial
plexopathy dibagi berdasarkan region yang terkena, misalnya supraklavikular
(akar saraf dan trunkus), retroklavikular (divisi), dan infraklavikular (corda dan
cabang terminal saraf). Pleksus supraklavikular dibagi lagi menjadi bagian atas
(akar saraf C5, C6 dan trunkus superior), bagian tengah (akar saraf C7 dan
trunkus tengah), dan bagian bawah (C8 dan akar saraf T1 dan trunkus inferior).
Karena mayoritas kasus pleksopathy brakial adalah lesi pada akson, pada
pemeriksaan saraf biasanya ditemukan gangguan sensorik dan kelemahan.
Dengan lesi supraklavikular, pola kerusakan sensorik dan motoric adalah
segmental- dermatom dan myotome, di mana pada pleksopathy infraklavikular
biasanya gejala kehilangannya sensorik dan motoriknya bersifat nonsegmental
(dengan keterlibatan satu atau lebih cabang saraf terminal). 21

2.6 Diagnosis Pleksus Brakialis

1. Anamnesis

Pada anamnesis yang penting untuk ditanyakan adalah riwayat trauma


sebelumnya, kronologi kejadian / mekanisme trauma dan gejala klinis yang
dirasakan pasien, dan tanda reinervasi. Nyeri yang dirasakan pasien biasanya
berupa nyeri neuralgik seperti terbakar, atau tertusuk-tusuk. Nyeri hebat
merupakan tanda avulsi saraf. Pada bayi baru lahir dengan dugaan cedera
pleksus brakialis, perlu diketahui riwayat kehamilan, riwayat persalinan, usia
kehamilan, berat badan lahir, presentasi bayi, riwayat penggunaan forceps atau
vakum, distosia bahu, Apgar skor, dan kebutuhan akan resusitasi saat
kelahiran.1,4,24
Seseorang dengan cedera bahu berat, khususnya pada kecelakaan
bermotor. Mekanisme cedera harus dipertimbangkan, karena dapat terjadi
pada multiple trauma. Pasien dapat memberikan gejala-gejala berupa:1,20,21
a. Nyeri, khususnya leher dan bahu. Nyeri saraf umumnya disebabkan
adanya ruptur.
b. Parestesia dan distesia.

c. Kelemahan atau rasa berat pada ekstremitas.


d. Menurunnya nadi, disebabkan cedera pembuluh darah yang
menyertainya.

2. Pemeriksaan Klinis

Secara klinis trauma pleksus brakhialis dibagi sesuai lokasi trauma yaitu
pleksus brakhialis tipe upper (Erb`s Palsy) dan pleksus brakhialis tipe lower
(Klumpke`s palsy). Dalam trauma supraklavukula bahu akan adduksi dan
internal rotasi yang akan mengakibatkan pronasi siku. Trauma nervus
supraskapular yang berlokasi di posterior suprascapular notch akan
memberikan gambaran klinis nyeri diatas notch, kelemahan otot saat abduksi
bahu, dan eksternal rotasi. Lesi pada level spinoglenoid notch memberikan
gambaran klinis kelemahan otot infraspinatus. Trauma pada tingkat
infraklavikula mungkin disebabkan oleh mekanisme trauma energi tinggi pada
bahu dan berhubungan dengan rupturnya arteri aksilaris. Nervus aksilaris,
supraskapular, dan muskulokutaneus akan terpengaruh pada trauma tersebut.
Evaluasi nervus medianus, ulnaris, dan radialis dilakukan pada pemeriksaan
pergelangan tangan dan jari tangan. Lesi nervus muskulokutaneus dan lesi pada
nervus medianus diperiksa dengan fleksi dan ekstensi pada siku. Nervus
aksilaris diperiksa dengan abduksi bahu secara aktif dan peregangan otot
deltoid. Latisimus dorsi diinervasi oleh nervus thorakodorsal yang merupakan
cabang bagian posterior dan berlokasi di dalam dinding posterior fossa
aksilaris. Pektoralis mayor menerima inervasi dari saraf medial dan lateral.
Nervus lateral anterior thoracic menginervasi klavikula, nervus medial anterior
thoracic menginervasi otot sternokostal kepala. 4

14
Saraf Otot Aksi
Skapular Dorsal (C5) Rhomboid Stabilisasi Skapula
Long Thoracic (C5) Serratus Anterior Abduksi skapula
Supraskapular (C5) Supraspinatus Abduksi bahu

Infraspinatus Eksternal rotasi bahu


Medialis (C8) dan Pektoralis mayor Adduksi bahu

Pektoralis lateral (C7) Pektoralis minor Stabilisasi skapula


Subskapular (C5) Subskapular dan teres Internal rotasi bahu

mayor
Thorakodorsal (C7) Latissimus dorsi Adduksi bahu
Muskulokutaneus (C5) Biceps brakhii dan Fleksi siku

brakhialis
Ulnar (C8,T1) Fleksor karpi ulnaris Fleksi pergelangan dan
Otot instrinsik pada jari
tangan Abduksi jari
Medianus (C6, C7, C8, Pronator lengan Pronasi lengan
T1) Otot fleksi pergelangan Fleksi pergelangan dan
dan jari jari
Radial (C6,C7,C8) Supinator Supinasi lengan
Triceps brachii
Eleksi siku, pergelangan
Otot ekstensi
dan jari
pergelangan dan jari
Aksilari (C5) Deltoid dan teres minor Abduksi bahu

15
3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan foto rontgen vertebra regio servikal diperlukan untuk


identifikasi trauma osteal di daerah pleksus brakialis dan
menyingkirkan adanya kemungkinan fraktur yang tidak stabil atau
dislokasi. Adanya fraktur pada prosessus transversus meningkatkan
kecurigaan kemungkinan avulsi atau ruptur neural root. Fraktur
klavikula, fraktur humerus atau dislokasi dari sendi bahu mungkin
berkaitan dengan cedera pleksus pada tingkat yang sama. Elevasi satu
sisi diafragma yang terlihat dari hasil foto rontgen thoraks
mengindikasikan paralisis nervus frenikus, sehingga kemungkinan
terjadi cedera pada roots bagian atas pleksus brakialis.17,23

b. CT scan dapat menunjukkan fraktur pada prosessus transversus yang


tidak tampak dari foto rontgen. MRI dapat mendeteksi hematom ekstra
atau intradural, edema dan perdarahan pada jaringan lunak.5,17,19
c. Standard Myelography dan CT Myelography Standard myelography
berguna untuk melihat saraf ventral dan dorsal yang tidak dapat
dievaluasi secara terpisah. CT myelography merupakan modalitas yang
paling terpercaya untuk mendeteksi cedera avulsi. CT myelography
memungkinkan penilaian terpisah pada akar saraf ventral dan dorsal
dan deteksi defek saraf intradural. Modalitas ini memiliki akurasi
diagnostik yang lebih baik dibandingkan dengan standard
myelographydan MR imaging, khususnya pada level C5 dan C6,
walaupun artifak tulang dari bahu kadang memberi gangguan pada
level C8 dan T1.Perkembangan terbaru pada multi–detector row CT
memungkinkan perolehan gambaran yang resolusi spasial longitudinal
yang lebih baik dan besar.17,20
d. Conventional MR Imaging merupakan rekomendasi terhadap
pemeriksaan radiologi yang optimal pada cedera pleksus brakialis
berupa pemeriksaan CT myelography sebagai modalitas pemeriksaan
awal, dengan menambahkan standard myelography dan MRI kontras.
CT myelography merupakan pilihan pertama untuk evaluasi kecurigaan
terdapat cedera preganglion karena merupakan modalitas radiologik
yang paling terpercaya untuk mendeteksi cedera avulsi. Jika CT
myelography tidak dapat dilakukan, maka MR myelography harus
dilakukan sebagai pemeriksaan tambahan terhadap MRI konvensional
untuk mengevaluasi nerve roots.14,16,17,20
e. USG muskuloskeletal, dapat digunakan untuk melakukan efaluasi pada
daerah Thorasic Outlet. Pemeriksaan ini memiliki peranan yang
terbatas terutama karena keterbatasan tampilan serta keterbatasan
dalam visualisasi struktur seperti tulang dan abnormalitas pleura yang
disebabkan oleh invasi dari tumor.17,23

f. Pemeriksaan elektrodiagnostik berguna untuk menentukan diagnostik


maupun prognosis. Pemeriksaan elektrodiagnosa dapat membantu
diagnosa, menentukan lokasi, menentukan derajat kerusakan akson,
komplit atau tidak lesi yang terjadi, menyingkirkan kondisi lain sebagai
diagnosa banding, menunjukan perbaikan subklinis, atau tidak
ditemukan kelainan subklinis.19 Pemeriksaan elektrodiagnosa secara
serial dapat dilakukan bersama dengan pemeriksaan fisik ulangan
dalam beberapa bulan untuk mendokumentasikan dan mengkuantifikasi
proses reinervasi atau denervasi yang sedang terjadi.19 EMG dapat
membantu untuk membedakan lesi preganglioner dan lesi
12,19
postganglioner.

2.7 Penatalaksanaan

Tatalaksana pada cedera pleksus brakialis dibagi menjadi 2 bagian besar,


operatif dan non operatif. Beberapa faktor penting sebagai panduan dalam
menentukan pilihan penanganan pada lesi pleksus brakialis yaitu mekanisme
trauma, lama waktunya dari cidera dan prioritas penanganan. 20,22
1. Rehabilitasi Medik

Untuk semua pasien dengan cedera pleksus brakialis, ada sejumlah tujuan
rehabilitasi yang perlu dicapai tanpa membedakan etiologi, lokasi, luasan lesi,
atau kronisitas dari pleksopati. Prinsip ini meliputi: 6,18,20,22
a. Manajemen nyeri (penilaian dengan VAS).6

Nyeri merupakan gejala yang umum dikeluhkan oleh pasien cedera


pleksus brakialis. Nyeri yang dikaitkan dengan pleksopati sering
6,12
dideskripsikan sebagai nyeri neuropatik. Penanganan non farmakologis
untuk nyeri tipe ini dapat menggunakan :
1) Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)

TENS mengaktivasi serabut saraf diameter besar (A- beta) yang


menginhibisi interneuron (substantia gelatinosa) pada medulla spinalis.
Pada giliranya menghasilkan inhibisi pada serabut saraf diameter kecil
(A-delta) dan C (serabut saraf nyeri), bersama dengan inhibisi presinaps
dari T-cells untuk menutup gerbang dan mengatur nyeri. TENS diberikan
dengan implus frekuensi tinggi (50-100Hz) selama 30 menit sampai 1
jam per sesi, maksimal 2 jam per sesi, dengan total 8 jam perhari. Terapi
dilanjutkan selama 3 minggu dan dikurangi bertahap setelah 8 – 12
minggu.6,22
2) Terapi low-level laser
Terapi berguna untuk mengurangi nyeri, mempercepat penyembuhan,
membantu mengembalikan fungsi saraf, stimulasi pelepasan
endorphin.adalah merupakan terapi cahaya dalam spektrum
elektromagnetik. Dosis dari low level laser terapi yang digunakan 6
J/cm2, 90 detik tiap titik, 3 kali per minggu, diberikan pada titik
penjalaran saraf yang mengalami cedera. 22
b. Imobilisasi (Fase akut)

Imobilisasi (3-6 minggu pertama setelah cedera) merupakan terapi


yang efektif untuk mengurangi nyeri akut. Pada trauma pleksus brakialis
dilakukan positioning, yakni lengan diletakkan dalam sikap adduksi,
posisikan lengan di sisi badan dengan fleksi siku pada 90 derajat. Sambil
menjaga lengan atas dekat dengan tubuh, dengan tangan posisi nyaman
untuk mencegah peregangan saraf spinal dan membantu mengembalikan
fungsi saraf.1,25
c. Mempertahankan lingkup gerak sendi (Range of motion/ROM)
ektremitas
Terapi untuk mempertahankan lingkup gerak sendi dapat dimulai
sejak awal. Pada fase cedera akut, latihan LGS mungkin terbatas akibat
nyeri atau karena ada kontraindikasi medis atau bedah yang berkaitan
dengan manajemen cedera lain yang diderita pasien. 6,22,25 Untuk
pasien yang telah terjadi kekakuan diperlukan latihan peregangan secara
progresif untuk mendapatkan kembali LGS yang normal. Modalitas
terapi seperti hot pack, atau diatermi dapat digunakan sebelum exercise
untuk meningkatkan elastisitas jaringan yang akan diregang. pemakaian
modalitas ini harus dengan hati-hati

untuk mencegah terjadinya luka bakar. Seringkali diperlukan pasif


positioning atau dynamic splint sebagai bagian dari program
mengurangi kontraktur.6,20,27 Tahapan-tahapan latihan LGS 22,25,29 :
1) Latihan LGS pasif : yaitu gerakan dalam lingkup gerak sendi
yang dilakukan dengan kekuatan dari luar, tidak ada kontraksi
otot volunter. Kekuatan dari luar bisa berasal dari orang lain,
bantuan bagian tubuh lain dari penderita atau dari mesin. Latihan
LGS pasif dikerjakan bila penderita tidak dapat menggerakkan
anggota tubuhnya, dengan kekuatan otot ≤ 1
2) Latihan LGS aktif dibantu : yaitu latihan LGS aktif dengan
bantuan dari kekuatan luar, baik secara manual atau mesin,
karena kekuatan otot penderita memerlukan bantuan untuk
memenuhi LGS. Latihan ini diperuntukkan bagi penderita
dengan kekuatan otot < 3
3) Latihan LGS aktif : yaitu gerakan dalam LGS yang dilakukan
dengan kontraksi aktif dari otot yang bekerja pada sendi tersebut.
Jadi hanya menggunakan tenaga penderita. Dapat dikerjakan bila
kekuatan otot penderita ≥ 3.
d. Memberikan support ekstremitas dengan perhatian khusus pada sendi
yang mengalami kelemahan atau paralisis. Terdapat beberapa jenis
sling dan shoulder support yang dapat digunakan untuk mencegah atau
meminimalkan subluksasi bahu. Tujuan dari orthosis ini adalah
memberi support berat ekstremitas dan counteract gaya tarik akibat
berat ekstremitas. Selain untuk support sendi yang mengalami
kelemahan atau paralisis, sling dapat juga digunakan untuk melindungi
ekstremitas yang mengalami paresis dari luka akibat gerakan tidak
terkontrol.25,29

Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan otot yang mengalami


kelemahan Masih memungkinkan untuk melakukan penguatan otot
pada pasien dengan cedera inkomplit pleksus brakialis yang sebagian
kontinuitas saraf dan fungsi ototnya masih ada. Perubahan adaptif yang
terjadi pada otot selama latihan penguatan awalnya didapatkan dari
peningkatan efisiensi dan hipertrofi dari serabut otot yang masih
memiliki inervasi. 25,29
Latihan penguatan otot dibagi menjadi :20,28

1) Latihan isotonic : suatu bentuk latihan yang dinamik, yang


dilakukan melawan beban konstan sepanjang LGS tanpa
memperhitungkan kecepatan gerak.
2) Latihan isometric : suatu bentuk latihan statik, dimana terjadi
kontraksi otot tanpa terjadinya perubahan panjang otot atau
tanpa disertai gerakan sendi.
3) Latihan isokinetic : suatu bentuk latihan dinamik dimana
kecepatan pemendekan atau pemanjangan otot tetap (statik),
dimana diperlukan suatu alat untuk mengontrol kecepatan
anggota gerak tubuh.

Gambar 3. Posisi imobilisasi pasien cedera pleksus brakialis


Gambar 4. Latihan Fisik Otot Penunjang akibat Cedera Pleksus Brakialis
e. Pada otot dengan kekuatan di bawah 2, pasien seringkali mengalami
kesulitan berpartisipasi dalam program penguatan karena mereka tidak
mendapatkan feedback bahwa mereka telah mengkontraksikan otot.
Penggunaan biofeedback misalnya dengan EMG atau elektrostimulasi bagian
otot untuk menghasilkan kontraksi dapat membantu untuk kasus semacam
ini.1,19 Neuromuscular Electrical Stimulation (NMES) merupakan stimulasi
listrik yang lebih kuat dari pada Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation
(TENS). Alat ini digunakan untuk menambah kekuatan dan memelihara
massa otot walaupun tanpa usaha volunter dari subyek. Pada penderita cedera
pleksus brakialis berat dengan adanya denervasi otot, terapi NMES berguna
untuk mencegah terjadinya atrofi otot. Diberikan minimal 10
kontraksi/repetisi sebanyak 3 set per hari dengan waktu istirahat antar set
selama 2 menit, 3 kali per minggu.6,10,18

Gambar 5. Elektrikal stimulasi


f. Mencegah edema pada esktremitas yang mengalami kelemahan atau
paralisis Edema yang terjadi dapat memperberat penurunan
fleksibilitas sendi, nyeri dan penurunan aktivitas lebih lanjut.
Penanganan edema refrakter dapat berupa manual lymphatic drainage,
limfedema wrapping, seccuential lymphatic compression pump, dan
pemakaian compression garment.1,22,23
g. Latihan ADL mandiri merupakan salah satu tujuan rehabilitasi pada
pasien cedera pleksus brakialis adalah mendukung pasien untuk dapat
mengkontrol kehidupan dan lingkungannya sehingga tetap tidak
tergantung. Okupasional terapi dan rehabilitasi vokasional memiliki
peran yang sangat penting dalam bagian rehabilitasi ini. Terapis juga dapat
menyarankan teknik-teknik baru, teknik adaptasi dan peralatan- peralatan
adaptasi khusus yang memungkinkan pasien untuk dapat melakukan aktivitas
ADL. Secara umum tujuannya adalah untuk membantu pasien tetap dapat
mengkontrol kehidupannya dan tidak menjadi handicap.6,22,23
h. Edukasi penggunaan ekstremitas superior sisi yang sehat secara
proporsional untuk mencegah terjadinya gangguan muskuloskeletal
akibat overuse.23

2. Pembedahan

Trauma saraf perifer dapat dibagi menjadi trauma terbuka dan trauma
tertutup. Repair secepat mungkin pada trauma laserasi akut harus dilakukan
dengan tujuan end-to-end suture repair primer jika memungkinkan. Repair
pleksus brakialis dapat ditempuh dengan beberapa cara, antara lain :21
a. Nerve Grafts

Graft saraf merupakan teknik yang paling banyak dilakukan pada repair
pleksus brakialis. Tension free nerve graft lebih baik dibandingkan dengan
repair under tension. Graft saraf yang tervaskularisasi sesuai untuk
jaringan skar dan untuk memperbaiki defek ukuran besar pada saraf.
Komplikasi vaskuler dapat menyebabkan hilangnya graft secara
keseluruhan, untuk menjembatani defek yang panjang (30 cm atau lebih),
seperti pada transfer kontralateral, graft saraf tervaskularisasi terbukti lebih
baik. 21
b. Nerve Transfers

Neurotisasi (atau transfer saraf) dilakukan pada repair cedera pleksus


brakialis yang berat, dimana akar saraf spinal proksimal robek dari
medulla spinalis. Saraf proksimal yang sehat kemudian disambungkan ke
distal untuk menginervasi saraf yang tidak menerima innervasi melalui
akson yang didonorkan. Konsep ini adalah dengan mengorbankan fungsi
dari otot donor yang kurang berguna untuk menghidupkan kembali fungsi
saraf dan otot resipien melalui re-innervasi. 21 Idealnya transfer saraf harus
dilakukan sebelum 6 bulan paska trauma. Neurotisasi bertujuan untuk
meng-inervasi kembali saraf resipien sedekat mungkin dengan otot target.
Pasien juga perlu dipersiapkan pre operasi untuk melakukan latihan
induksi sebelum neurotisasi dilakukan. 21

Donor Resipien
Nervus Aksesori spinal Nervus Supraskapular atau muskulokutaneus
Nervus frenikus atau Radix C5 Nervus Aksilaris
Nervus Interkostal Nervus Musculokutaneus, Nervus Medial

dan Radial
Kontralateral Radix C7 Nervus Medial
Nervus untuk biseps Nervus aksilaris cabang anterior
Tabel 3. Donor dan Resipen pada Nerve Transfers

c. Free Functioning Muscle Transfers

Free Functioning Muscle Transfer (FFMT) adalah sebuah teknik bedah


mikroneurovaskular yang ditujukan untuk pasien yang mengalami cedera
saraf dan otot dengan disertai hilangnya fungsi sebagian atau seluruh
kelompok otot fungsional atau denervasi otot dan pada kondisi di mana
tidak ada unit donor muskulotendineus lokal yang tersedia. Dalam
pemilihan otot donor, sangat penting untuk membandingkan luas
penampang dari donor yang umum digunakan dengan resipien, dalam hal
ini otot biseps. Letak origo dan insersio otot serta jarak dari pusat rotasi
sendi juga merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan. Otot
gracilis yang paling sering digunakan dan disusul otot latissimus yang
masih kurang cocok dengan otot biseps berdasarkan perbandingan luas
penampang mereka dengan fleksor siku, sedangkan rektus femoris
merupakan otot yang paling cocok untuk kekuatan tetapi tidak dengan
ekskursinya. Pengalaman menunjukkan bahwa baik otot gracilis maupun
latissimus dapat memberikan kekuatan yang masih dapat diterima. Hasil
yang memuaskan pada transfer gracilis untuk fungsi siku. Tampaknya
otot yang biasa digunakan dapat memberikan kekuatan yang dapat
diterima untuk berfungsi dikarenakan panjang yang luar biasa, adanya
pedikel neurovaskular yang proksimal, dan tendon distal yang sangat
baik, otot gracilis telah menjadikannya pilihan yang lebih disukai. 22,26
Skema 1. Algoritma timing penatalaksanaan cedera pleksus brakialis

1. Penanganan Rehabilitasi Berkaitan Dengan Tindakan Pembedahan

Banyak pasien dengan cedera pleksus brakialis memerlukan beberapa tipe


pembedahan. Pada saat pre operatif, tujuan dari rehabilitasi adalah untuk
mencegah kontraktur sendi dan mempertahankan kekuatan dan trofi otot
semaksimal mungkin. Secara umum tujuh prinsip rehabilitasi tetap harus
diupayakan selama masa pre operatif maupun post operatif. Setelah tindakan
pembedahan reparasi saraf atau pembedahan rekonstruksi, sendi-sendi perlu
diimobilisasi selama periode waktu yang diperlukan untuk penyembuhan
saraf, tendon otot atau tulang sehingga tidak terjadi disrupsi. 26
a. Pasca operasi Nerve repair dan graft

Rehabilitasi pasca nerve repair akan memerlukan upaya menjaga ROM


fungsional sembari menunggu reinervasi otot yang mengalami denervasi.
Setelah otot mengalami reinervasi, terapi ditujukan untuk memfasilitasi
dan memperkuat kontraksi otot. Tergantung dari tempat repair lokasi
otot, pemulihan mungkin tidak terjadi dalam 12 sampai 18 bulan atau
21
lebih pasca operasi. Pasien ini memerlukan reedukasi mengenai
kontraksi otot, fungsi dan kontrol dengan menggunakan elektrostimulasi
dan atau biofeedback.1,21 Setelah pembedahan immobilisasi bahu
dilakukan selama 3-4 minggu. Terapi rehabilitasi dilakukan setelah 4
minggu pasca operasi dengan gerakan pasif pada semua sendi anggota
gerak atas untuk mempertahankan luas gerak sendi. Stimulasi elektrik
diberikan pada minggu ketiga sampai ada perbaikan motorik. Apabila
terdapat perbaikan motorik, latihan aktif bisa segera dimulai. 18,26
b. Pasca Operasi Free Muscle Transfer

Setelah transfer otot, ekstremitas atas diimobilisasi dalam posisi bahu


abduksi 30, fleksi 60 dan rotasi internal, siku fleksi 100. Pergelangan
tangan posisi neutral, jari-jari dalam posisi fleksi atau ekstensi tergantung
jenis rekonstruksinya.21,26 Ekstremitas dibantu dengan arm brace dan cast
selama 8 minggu, selanjutnya dengan sling untuk mencegah subluksasi
sendi glenohumeral sampai pulihnya otot gelang bahu. Statik splint pada
pergelangan tangan dengan posisi netral dan ketiga sendi-sendi dalam
posisi intrinsik plus untuk mencegah deformitas intrinsik minus selama
rehabilitasi.21 Dilakukan juga latihan gerak sendi gentle pasif pada sendi
bahu, siku dan semua jari-jari, kecuali pada pergelangan tangan.
22,26.
Pemberian elektrostimulasi pada transfer otot dan saraf yang di repair
dilakukan pada target otot yg paralisa seperti pada otot gracilis, tricep
brachii, supraspinatus dan infraspinatus. Elektrostimulasi intensitas
rendah diberikan mulai pada minggu ketiga pasca operasi dan tetap
19
dilanjutkan sampai EMG menunjukkan adanya reinervasi. Enam
minggu pasca operasi selama menjaga regangan berlebihan dari jahitan
otot dan tendon, dilakukan ekstensi pergelangan tangan dan mulai dilatih
pasif ekstensi siku. Sendi metakarpal juga digerakkan pasif untuk
mencegah deformitas claw hand.21 Ortesa fungsional digunakan untuk
imobilisasi ekstremitas atas. Dapat digunakan tipe airbag (nakamura
brace) untuk imobilisasi sendi bahu dan siku. Sembilan minggu pasca
operasi, ortesa airbag dilepas dan ortesa elbow sling dipakai untuk
mencegah subluksasi bahu.21,23

c. Pasce Operasi Nerve Transfers

Pada transfer saraf, terdapat istilah latihan induksi (Induction or


motivation exercise). Hal ini merupakan latihan otot yang penting pada
prosedur transfer saraf. Latihan pada otot atau otot-otot yang diinervasi
oleh saraf yang ditransferkan dimulai ketika otot baru yang diinervasi
tersebut teraba kontraksinya (M1). Aksi ini dapat disamakan dengan
internal electrical stimulation. Berbagai transfer saraf mempunyai latihan
induksi masing masing23

Tabel 4. Latihan Induksi pada Nerve Transfers

d. Setelah Reinervasi 19

Setelah EMG menunjukkan reinervasi pada transfer otot, biasanya 3 - 8


bulan pasca operasi, EMG biofeedback dimulai untuk melatih transfer otot
menggerakkan siku dan jari. Latihan EMG biofeedback dilakukan 4 kali
seminggu dan tiap sesi selama 10 – 70 menit, dan latihan segera dihentikan
bila ada tanda-tanda kelelahan. Efektivitas latihan biofeedback tidak dapat
dicapai bila pasien tidak mempunyai motivasi dan konsentrasi yang cukup.
23

e. Reedukasi otot

Diindikasikan saat pasien menunjukkan kontraksi aktif minimal yang


tampak pada otot dan group otot. Tujuan reedukasi otot untuk pasien
adalah mengaktifkan kembali kontrol volunter otot. Waktu sesi terapi
seharusnya pendek dan dihentikan saat terjadi kelelahan dengan ditandai
penurunan kemampuan pasien mencapai tingkat yang diinginkan.22,28
f. Electrical Muscle Stimulation (EMS) Manfaat dari EMS :
1) Relaksasi otot yang mengalami ketegangan/kejang,

2) Pencegahan atrofi otot karena tidak digunakan / kelumpuhan,

3) meningkatkan sirkulasi darah lokal,

4) stimulasi pasca operasi otot betis untuk mencegah thrombosis


vena,
5) mempertahankan atau meningkatkan jangkauan gerak.12

Stimulasi otot listrik pada dasarnya dilakukan dengan merangsang


beberapa bagian tubuh.6,10,22 Alat ini dapat mengatur tegangan listrik yang
ditimbulkan untuk disesuaikan dengan lokasi otot yang dirangsang.
Menggunakan EMS sangat dianjurkan pada kasus-kasus cedera, dan
gangguan pergerakan yang disebabkan oleh kerusakan saraf pusat.6,10

ME Sembuh Waktu Penyembuhan Pembedahan


Spontan
I (Neuropraksia) Penuh Dalam hitungan hari sampai 4 bulan setelah Tidak
cedera
II (Aksonotmesis) Penuh Regenerasi kira-kira 1 inci per bulan Tidak

III Parsial Regenerasi kira-kira 1 inci per bulan Ya

IV Tidak ada Setelah tindakan bedah, regenerasi terjadi kira- Ya


kira 1 inci per bulan
V Tidak ada Setelah tindakan bedah, regenerasi terjadi kira- Ya
kira 1 inci per bulan

Tabel 5. Perbedaan Penyembuhan Cedera Saraf menurut Derajatnya8

2.4 Prognosis

Keluaran dan prognosis cedera pleksus brakialis bervariasi tergantung dari


10
letak, derajat kerusakan saraf dan kecepatan memperoleh terapi. Faktor- faktor
yang mempengaruhi keluaran yaitu luasnya cedera jaringan saraf, usia (regenerasi
akson menurun sejalan dengan menngkatnya usia), status medis pasien, kepatuhan
10
dan motivasi pasien dalam menjalani terapi. Untuk lesi pleksus brakialis yang
berat, hasil yang memuaskan dapat terjadi pada lebih dari 70% pasien postoperatif
setelah perbaikan primer dan 48% setelah nerve graft.12,15
BAB III
KESIMPULAN
1. Cedera pleksus brakialis dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Prevalensi
tertinggi pada usia dewasa muda 19 – 34 tahun dengan angka kejadian pada
laki –laki sebesar 89%.
2. Secara klinis trauma pleksus brakhialis dibagisesuai lokasi trauma yaitu
pleksus brakhialis tipe upper (Erb`sPalsy) dan pleksus brakhialis tipe lower
(Klumpke`s palsy). Pada trauma supraklavukula akan menjadi pronasi siku
dimana pada trauma nervus nervus supraskapul akan terjadi kelemahan otot
saat abduksi bahu, dan eksternal rotasi. Trauma pada tingkat infraklavikula
menyebabkan rupturnya arteri aksilaris. Nervus aksilaris, supraskapular, dan
muskulokutaneus akan terpengaruh pada trauma tersebut.Pemeriksaan
penunjang pada trauma plexuas brakialis adalah pemeriksaan imaging,tes
histamin, elektrodiagnostik. Seterusnya penalataksanaan pada lesi pleksus
brakhialis adalah terapi kosnservatif dan terapi pembedahan.Faktor-faktor
yang menpengaruhi prognosis cedera pleksus brakhialis adalah mekanisme
trauma, usia, tipe nervus, level trauma, nyeri, durasi pembedahan dan faktor
lain.
3. Rehabilitasi pasien dengan cedera pleksus brakialis memerlukan kerjasama
yang erat dari sebuah tim terdiri dari dokter-dokter ahli dari bagian yang
berbeda dan diperlukan juga kolaborasi dengan bidang lain seperti
okupasional terapis, fisioterapis, psikolog, pekerja sosial dan konselor
vokasional.

4. Strategi rehabilitasi harus disusun secara khas dan spesifik untuk tiap-tiap
pasien, dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah dilakukan evaluasi
menyeluruh kondisi pasien.
5. Prinsip rehabilitasi meliputi: mempertahankan lingkup gerak sendi (Range of
Motion/ROM) ektremitas, memberikan support ekstremitas dengan perhatian
khusus pada sendi yang mengalami kelemahan atau paralisis, mempertahan
atau meningkatkan kekuatan otot yang mengalami kelemahan, mencegah
edema pada esktremitas yang mengalami kelemahan atau paralisis, latihan
ADL mandiri, edukasi penggunaan ekstremitas superior sisi yang sehat secara

23
proporsional untuk mencegah terjadinya gangguan muskuloskeletal akibat
overuse, dan manajemen nyeri.5,6,9
6. Permasalahan yang ditimbulkan dari lesi Pleksus Brakialis ini meliputi
berbagai aspek kehidupan, terutama kelumpuhan anggota gerak atas.
Kelumpuhan anggota gerak atas tentunya akan berdampak pada fungsi
kehidupan sehari-hari dan bahkan dalam pekerjaan. Kehilangan waktu bekerja
akan berdampak pada kehidupan keluarga dan sosial. Tidak kalah berat juga
terjadi dalam kehidupan pribadi, bahkan penderita dengan kehidupan pribadi
yang kurang matang dapat mengakibatkan percobaan bunuh diri.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Rehabilitation of Brachial Plexus Injury in Adult and Children. EUR Journal


Phys Rehabilitation, 2012. 48:483-506.
2. Foster, M. Traumatic Brachial Pleksus Injuries. 2011, emedicine. p. 1-4.

3. Martini, F. Fundamentals of Anatomy and Physiology Fifth edition. New


Jersey : Prenticle Hall. 2001.
4. (Suroto, H. Lesi Pleksus Brakialis: Tata Laksana Komprehensif. Airlangga
University Press. 2019; (20); P:1.)Scott KR, Ahmed A, Scott L, Kothari
MJ. Rehabilitation of brachial plexus and peripheral nerve disorders.
Handb Clin Neurol. 2013;110:499–514.
5. Wahyuni, L, Panduan Pelayanan Klinis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi.
Jakarta ; PERDOSRI, 2012.
6. Ensrud E, King JC. Plexopathy - Brachial. In: Frontera WR, Silver JK,
Rizzo TD, editors. Essentials of Physical Medicine and Rehabilitation. 2nd
ed. Philadelphia (PA): Saunders Elsevier; 2010.
7. Snell, R., Ekstremitas superior, in Anatomi Klinik untuk Mahasiswa
Kedokteran, J. Oswari, Editor. 1998, Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
p. 132-253.
8. Moore, K. and A. Agur, Essential Clinical Anatomy ed. 3. 2007, Baltimore:
Lippincott Williams & Wilkins.
9. Cuccurullo S, Physical Medicine and Rehabilitation Board Review. New
Jersey : Demos; 2004.
10. Wood, M. and P. Murray, Current Concepts in the Surgical Management of
Brachial Pleksus Injuries. 2006, www. DCMSonline.org. p. 31-4.
11. Murad, G., S. Yamada, and R. Lonser, Brigde Bypass Coaptation for Upper
Trunk Cervical Nerve Root Avulsion, in Neurosurgical Operative Atlas Spine
and Peripheral Nerves, B. Brandenburg, Editor. 2007, Thieme Medical
Publisher: New York. p. 396-401.
12. Aulina, S. and A. Pratiwi, Rehabilitasi pada nyeri dalam nyeri
neuropatik. 2001: Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI.
13. Van, H., et al. MRI of the brachial pleksus. Volume, 84-90

14. Grant, G., R. Goodkin, and M. Kliot, Evaluation and treatment of traumatic
peripheral nerve injuries, in Neurosurgical Operative Atlas Spine and
Peripheral Nerves, B. Brandenburg, Editor. 2007, Thieme Medical Publisher:
New York. p. 888-94.
15. Baehr M, Frotscher M. DUUS’ Topical Diagnosis in Neurology. Germany:
Thieme; 2005.
16. Yoshikawa, T., et al., Brachial Pleksus Injury: Clinical Manifestations,
Conventional Imaging Findings, and the Latest Imaging
Techniques. Radiographics, 2006. 26: p. 133-44.
17. Bhandari, P., et al., Current trends in the management of brachial pleksus
injuries. Indian Journal of Neurotrauma, 2008. 5(1): p. 21-5.
18. Weiss, L. and J. Silver, Brachial Plexopathies in Easy EMG. 2004,
Eidenburgh: Butterworth Heinemann.
19. Kelly BM, Leonard JA. Rehabilitation Concept In Adult Brachial Pleksus
Injury. In: Chung KC, Yang LJ, McGillicuddy JE. Practical Management Of
Pediatrics And Adults Brachial Palsies. Elsevier Saunders. Philadelphia, 2012;
301-17
20. Spinner RJ, Shin AY, Hybert-Blouin MN, Elhassan BT, Bishop AT.
Traumatic Brachial Pleksus Injury. In: Wolfe SW, Hotchkiss RM, Pederson
WC, Kozin SH (Editor). Green’s Operative Hand Surgery. Elsevier Churchill
Livingstone, 2011. Chapter 38
21. Ensrud E, King JC. Plexopathy Brachial. In: Frontera WR, Silver JK, Rizzo
DR. Essential Of Physical Medicine And Rehabilitation. Elsevier Saunders.
Philadelphia, 2008;773-78
22. Baxter T, Jonathan K, Gerald Y, Brachial Plexopathy : A review of traumatic
and nontraumatic causes. 2012.
23. Jabaley ME. Primary Nerve Repair. In: Slutsky DJ, Hentz VR, editors.
Peripheral Nerve Surgery: Practical Applications in the Upper Extremity.
Philadelphia (PA): Churchill Livingstone; 2006. p. 23–38.

24. Thomas MA, Therattil M. Peripheral Neuropathy. In: Frontera WR, DeLisa
JA, Gans BM, Walsh NE, Robinson LR, editors. DeLisa’s Physical Medicine
& Rehabilitation: Principles and Practice. 5th ed. Philadelphia (PA):
Lippincott Williams & Wilkins; 2010. p. 741–56.
25. Kisner C, Colby L. Therapeutic Exercise Foundation and Techniques 6th ed.
Philadelphia : Davis Company : 2012.
26. Nath R. Family Guide Brachial Plexus Palsies. 2010. Texas Nerve & Paralysis
Institute.
27. Treatment Option for Brachial Plexus Injuries. ISRN Orthopedics. 2012; 11.

28. Kang L, Wolfe S. Traumatic Brachial Plexus Injuries. In: Skirven TM,
Osterman AL, Fedorczyk JM, Amadio PC, editors. Rehabilitation of the Hand
and Upper Extremity. 6th ed. Philadelphia (PA): Elsevier Mosby; 2011. p.
749–59.
29. Craig A, Richardson JK, Ayyangar R. Rehabilitation in Patients with
Peripheral Neuropathy. In: Cifu DX, editor. Braddom’s Physical Medicine &
Rehabilitation. 5th ed. Philadelphia (PA): ELSEVIER; 2016. p. 907–4
30. Tan TC, Black PM. The contributions of Otfrid Foerster (1873-1941) to
neurology and neurosurgery. Neurosurgery. 2001 Nov;49(5):1231-5;
discussion 1235-6.
31. Johnson EO, Vekris M, Demesticha T, Soucacos PN. Neuroanatomy of the
brachial plexus: normal and variant anatomy of its formation. Surg Radiol
Anat. 2010 Mar;32(3):291-7.
32. Leffert, Robert. The Anatomy of the Brachial Plexus. Brachial Plexus Injuries.
New York, NY: Churchill Livingstone; 1985.
28

Anda mungkin juga menyukai