Anda di halaman 1dari 10

Pendahuluan

Hepatitis merupakan penyakit peradangan pada hati yang dapat


disebabkan oleh berbagai kausa, termasuk infeksi virus. Infeksi virus tersebut dapat
menyebabkan timbulnya cedera, peradangan, bahkan kematian sel - sel yang terinfeksi
pada organ hati. (Alhawaris) Hepatitis C merupakan penyakit infeksius akibat virus
RNA yang sering tidak bergejala dan dapat menimbulkan komplikasi serius.Penyakit
hepatitis C masih sering dijumpai di negara berkembang, salah satunya Indonesia.
Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis C (hepatitis C virus, HCV) yang tergolong
dalam virus Ribonucleid Acid (RNA). Masuknya virus ini akan menimbulkan antibodi
terhadap HCV yang dapat diukur melalui pemeriksaan serologi yang menandakan
riwayat infeksi. (Dany F)
Virus Hepatitis C (VHC) merupakan salah satu virus penyebab hepatitis dan
dianggap menimbulkan dampak yang paling besar di antara virus – virus lain penyebab
hepatitis. Kebanyakan orang yang terinfeksi virus hepatitis C tidak menunjukkan
adanya gejala. Kenyataannya, banyak orang yang tidak tahu bahwa mereka telah
terinfeksi virus hepatitis C hingga muncul kerusakan yang fatal pada organ hati mereka
(silent epidemic). Kerusakan tersebut dapat berupa kegagalan fungsi hati, sirosis, atau
kanker hati yang dapat muncul beberapa tahun setelah infeksi (hepatitis C kronis).
Sejumlah penelitian juga membuktikan bahwa kejadian karsinoma hepatoselular
(HCC=Hepatocellular Carcinoma) berkaitan erat dengan infeksi virus hepatitis C.
(Jurnalis)
Virus hepatitis C (VHC) pertama kali dikenal pada tahun 1989, namun misteri
mengenai virus tersebut masih belum terpecahkan dengan jelas pada saat itu. Sekitar
sepuluh tahun sebelumnya, sejumlah korban bermunculan yang diduga disebabkan oleh
infeksi virus hepatitis. Namun ketika diperiksa, tes untuk hepatitis A dan menunjukkan
hasil yang negatif sehingga penyakit ini dikenal sebagai hepatitis non - A, non – B
(NANB). Pada tahun 1990 dikembangkan sebuah tes untuk mengidentifikasi virus
hepatitis C. Hasilnya membuktikan bahwa sejumlah besar kasus hepatitis yang terjadi
saat itu disebabkan oleh virus hepatitis C. (Jurnalis)
Hepatitis C paling mudah ditularkan melalui rute parenteral seperti penggunaan
narkotika suntik dan transfusi darah, akan tetapi sulit ditularkan melalui rute seksual.
Masih terdapat pro kontra mengenai transmisi seksual virus hepatitis C. Beberapa studi
mendapatkan bahwa risiko transmisi seksual hepatitis C memang ada, namun risiko
tersebut rendah. Adanya infeksi HIV dapat meningkatkan risiko transmisi seksual virus
hepatitis C. Prevalensi hepatitis C pada pasangan seksual pengguna narkotika suntik
dengan koinfeksi HIV/HCV sebesar 9,5%. Pada kelompok pasangan seksual dengan
status HIV positif didapatkan prevalensi hepatitis lebih tinggi dibandingkan dengan
yang HIV negatif (28,6% vs 12,8%).10 Namun beberapa studi mendapatkan bahwa
koinfeksi HIV/HCV tidak meningkatkan risiko transmisi seksual virus hepatitis C
(Jurnalis
Ditemukannya Anti HCV sangat menolong karena dilakukannya pemeriksaan
ini untuk uji saring pada darah donor sangat menurunkan insidensi hepatitis pasca
transfusi. Pemeriksaan laboratorium mempunyai peran yang sangat penting dalam
pencegahan penularan, untuk menegakkan diagnosis, monitoring terapi dan
memperkirakan prognosis infeksi HCV.(Braatmajaya)

Definisi
Virus Hepatitis C adalah virus RNA berenveloped yang ditransmisikan melalui ko
ntak darah ke darah. Virus ini hanya menginfeksi manusia dan target utamanya adalah s
el hati. (Pietscmann)
Sekitar 150 juta orang di dunia yang menderita hepatitis kronis
terinfeksi virus hepatitis C dan lebih dari 350 ribu orang meninggal setiap tahun
karena penyakit hati yang berhubungan dengan infeksi virus hepatitis C
tersebut. Virus hepatitis C dapat ditemukan di seluruh dunia. Adapun negara -
negara dengan tingkat penyakit hepatitis C kronis yang cukup tinggi antara lain
Mesir (15%), Pakistan (4,8%), dan China (3,2%). Cara penularan (transmisi)
virus hepatitis C di negara - negara tersebut umumnya berhubungan dengan
penggunaan peralatan injeksi (alat suntik) yang telah terkontaminasi VHC.
Sekitar 75 - 85% orang yang baru terinfeksi VHC dapat menderita penyakit
kronis dan 60 - 70% dari penderita tersebut dapat berkembang menjadi penderita
hepatitis C kronis. Sekitar 5 - 20% penderita hepatitis C kronis berkembang
menjadi sirosis dan sekitar 1 - 5% dilaporkan meninggal karena sirosis
maupun kanker hati. Sekitar 25% penderita kanker hati, penyebabnya adalah infeksi
virus hepatitis C. Adapun negara - negara dengan prevalensi infeksi virus
hepatitis C yang relatif rendah yaitu Jerman (0,6%), Kanada (0,8%), Perancis
(1,1%), dan Australia (1.1%). Sedangkan negara - negara dengan tingkat
prevalensi yang relatif rendah namun sedikit lebih tinggi dilaporkan di Amerika
Serikat (1.8%), Jepang (1.5 - 2.3%), dan Italia (2.2%).
Di Indonesia, pada tahun 2004 dilaporkan bahwa perkiraan tingkat
prevalensi penderita hepatitis C adalah sekitar 2,1%. Perkiraan tersebut hanya
berdasarkan jumlah pendonor yang positif menderita hepatitis C. Pada tahun yang
sama, yakni tahun 2004, berdasarkan peta distribusi infeksi hepatitis C di dunia
yang dipaparkan oleh WHO menunjukkan tingkat prevalensi hepatitis C di
Indonesia berkisar antara 1 - 2,5%.
Virus hepatitis C dapat menyebar melalui darah. Apabila darah orang
yang terinfeksi virus hepatitis C masuk ke dalam tubuh orang yang sehat, maka
orang sehat tersebut dapat menderita hepatitis C juga. (Jurnalis)

ETIOLOGI
Infeksi hepatitis C disebabkan oleh virus hepatitis C (HCV) yang merupakan
RNA beruntai tunggal dari genus Hepacivirus dalam family Flaviviridae (gambar 1).
HCV memiliki diameter 30 - 60nm dan panjang genom 10kb yang terdiri dari 3011
asam amino dengan 9033 nukleotida.
Gambar 1. Morfologi Virus Hepatitis C (Jurnalis)
Sruktur genom HCV terdiri dari satu open reading frame (ORF) yang memberi
kode pada polipeptida yang termasuk komponen struktural terdiri dari nukleokapsid
(inti/core), envelope (E1 dan E2), serta bagian non struktural (NS) yang dibagi menjadi
NS2, NS3, NS4a, NS4b, NS5a, dan NS5b. Pada kedua ujung terdapat daerah non
coding (NC) yang pendek yaitu daerah 51 dan 31 terminal yang sangat stabil dan
berperan dalam replikasi serta translasi RNA. Nukleokapsid digunakan untuk deteksi
antibodi dalam serum pasien. Karakteristik HCV yang paling penting adalah adanya
variasi sekuens nukleotida, Genetik HCV yang heterogen secara garis besar dibagi
menjadi genotip dan quasispesies. Telah diidentifikasi 6 genotip HCV dengan beberapa
subtype yang diberi kode dengan huruf. Genotip yang paling sering ditemukan adalah
genotip 1a, 1b, 2a, dan 2b. genotip 1,2, dan 3 dengan subtipenya masing-masing
merupakan genotip yang tersebar diseluruh dunia, genotip 4 dan 5 di Afrika, dan
genotip 6 terutama di Asia. Genotip 3a lebih banyak terjadi pada pemakaian obat
terlarang intravena. Quasispesies menunjukkan heterogenisitas populasi HCV pada
seseorang yang terinfeksi HCV, yang terjadi akibat sifat HCV yang mudah mengadakan
mutasi. Hal ini merupakan mekanisme HCV untuk meloloskan diri dari sistem imun
atau limfosit T sitolitik seseorang, sehingga infeksi HCV bersifat persisten dan
berkembang menjadi hepatitis kronik. (Jurnalis)
Gambar 2.Genom virus hepatitis C. (Jurnalis)

FAKTOR RESIKO
a) Penyalahgunaan Obat – Obatan Menggunakan Alat Suntik.
Transmisi virus hepatitis C sangat berhubungan erat dengan penggunaan alat
suntik, terutama di kalangan para pengguna narkoba. Sebuah badan penelitian
penyakit hepatitis C di eropa, yaitu HENCORE (The Hepatitis C European Network
for Coperatrive Research) melaporkan bahwa prevalensi hepatitis C di kalangan
pengguna narkoba yang menggunakan alat suntik adalah sekita 80%. Survei
jangka panjang terhadap pengguna narkoba usia muda yang menggunakan alat
suntik menunjukkan tingkat prevalensi terinveksi VHC sekitar 70 % hingga
90%. (Jurnalis YD)
b) Transfusi Darah
Transfusi darah (produk-produk darah) merupakan media yang sangat
penting dalam penularan infeksi virus Hepatitis C. Banyak kasus hepatitis yang
terjadi setelah proses transfusi darah diidentifikasi telah terinfeksi virus hepatitis
C. (Jurnalis YD)
Sekitar 1 per 100.000 atau 0,001% unit darah yang digunakan untuk transfusi
beresiko terkontaminasi virus hepatitis C. Tingkat rata-rata prevalensi infeksi
VHC pada pasien yang memperoleh transfusi sel darah merah pekat (packed
red cell) atau plasma adalah sekitar 19% dan lebih dari 95% pada pasien hemophilia
yang mendapatkan terapi faktor VIII atau IX. Meskipun resiko penularan hepatitis
C sangat tinggi melalui transfusi darah, namun hal tersebut dapat dihindari
dengan meningkatkan screening terhadap para pendonor sebelum transfusi darah. Hal
ini terbukti dengan penurunan tingkat insiden hepatitis C di negara maju melalui
peningkatan screening terhadap para pendonor. (Jurnalis YD)
c) Transplantasi Organ
Sejumlah laporan penelitian menunjukkan adanya resiko infeksi VHC
pada pasien yang memperoleh transplantasi organ (jantung, hati, sumsum tulang
belakang, dan lain - lain). Laporan dari berbagai pusat transplantasi organ di
seluruh dunia menunjukkan bahwa sekitar 34% para penerima transplantasi
organ (resipien) yang berasal dari pendonor dengan anti-HCV positif
menderita hepatitis setelah tranplantasi. Sekitar 50% resipien tersebut
menunjukkan hasil positif untuk pemeriksaan anti-HCV dan sekitar 75%
menunjukkan hasil positif untuk pemeriksaan RNA VHC. (Jurnalis YD)
d) Hemodialisis
Faktor resiko penularan infeksi hepatitis melalui hemodialis diperkirakan sekitar
10% pertahun. Berbagai studi secara mum menyimpulkan bahwa infeksi virus hepatitis
C pada pasien hemodialysis berhubungan dengan infeksi nosocomial, dimana faktor
penyebabnya terutama karena kurangnysa teknik sterilisasi dan kebersihan pada alat
dialysis. Menurut pedoman dari CDC (Centers of Disease Control and Prevention),
untuk pengendalian infeksi hepatitis C di bagian dialysis dapat dilakukan dengan
pemeliharaan kebersihan memperketat sterilisasi peralatan untuk dialisis. (Jurnalis YD)
e) Hubungan Seksual
Faktor resiko infeksi VHC yang berhubungan dengan transmisi melalui
hubungan seks belum sepenuhnya diketahui. Faktor resiko ini merupakan salah satu
faktor resiko yang sangat kontroversial dalam studi epidemiologi penyakit
hepatitis C. Berdasarkan pengamatan, prevalensi yang cukup tinggi untuk infeksi
VHC melalui hubungan sex banyak terjadi di kalangan penderita penyakit
menular seks, seperti penderita HIV, penderita sipilis, homoseksual, dan lain-
lain, dimana infeksi VHC terjadi bersamaan dengan infeksi penyakit-penyakit
tersebut. Transmisi VHC dari laki - laki ke perempuan tampaknya lebih lebih
mudah terjadi ketimbang transmisi dari perempuan ke laki - laki. Meskipun
demikian, berbagai studi menjelaskan bahwa infeksi VHC sangat kurang terjadi
pada pasangan monogami. Hingga saat ini, masih diperlukan banyak
penelitian untuk membuktikan berbagai hal tersebut. (Jurnalis YD)
f) Faktor Risiko Lain
Sebuah studi di Amerika Serikat memperkirakan bahwa orang-orang yang bere
siko untuk tertular VHC antara lain tenaga kesehatan, tuna wisma, bayi yang
ibunya terinfeksi VHC, dan lain-lain. Pada tahun 1990-an, dilaporkan bahwa
prevalensi infeksi VHC dikalangan tenaga kesehatan 3 kali lebih banyak
ketimbang tenaga kerja non-medis. Hingga saat ini masih dibutuhkan banyak
penelitian untuk membuktikan adanya penularan VHC melalui ASI. (Jurnalis YD)

TATALAKSANA
Pengobatan Hepatitis C sedini mungkin sangatlah penting. Meskipun tubuh telah
melakukan perlawanan terhadap infeksi, tetapi hanya 20% yang berhasil, pengobatan
tetap diperlukan untuk mencegah Hepatitis C kronis dan membantu mengurangi
kemungkinan hati menjadi rusak.
Senyawa-senyawa yang digunakan dalam pengobatan Hepatitis C adalah:
1. Interferon alfa
Adalah suatu protein yang dibuat secara alami oleh tubuh manusia untuk
meningkatkan sistem daya tahan tubuh/imunitas dan mengatur fungsi sel lainnya. Obat
yang direkomendasikan untuk penyakit Hepatitis C kronis adalah dari inteferon alfa bisa
dalam bentuk alami ataupun sintetisnya.
2. Pegylated interferon alfa
Dibuat dengan menggabungkan molekul yang larut air yang disebut "polyethylene
glycol (PEG)" dengan molekul interferon alfa. Modifikasi interferon alfa ini lebih lama
ada dalam tubuh, dan penelitian menunjukkan lebih efektif dalam membuat respon
bertahan terhadap virus dari pasien Hepatitis C kronis dibandingkan interferon alfa
biasa.
Ada dua macam pegylated interferon alfa yang tersedia:
 Peginterferon alfa-2a
 Peginterferon alfa-2b
Meskipun kedua senyawa ini efektif dalam pengobatan Hepatitis C kronis, ada
perbedaan dalam ukurannya, tipe pegylasi, waktu paruh, rute penbersihan dari tubuh
dan dosis dari kedua pegylated interferon. Karena metode pegylasi dan tipe molekul
PEG yang digunakan dalam proses dapat mempengaruhi kerja obat dan pembersihannya
dalam tubuh.
Perbedaan besar antar dua pegylated interferon adalah dosisnya. Dosis dari
pegylated interferon alfa-2a adalah sama untuk semua pasien, tidak mempertimbangkan
berat dan ukuran pasien. Sedangkan dosis pegylated interferon alfa-2b disesuaikan
dengan berat tubuh pasien secara individu.
3. Ribavirin
Adalah obat anti virus yang digunakan bersama interferon alfa untuk pengobatan
Hepatitis C kronis. Ribavirin kalau dipakai tunggal tidak efektif melawan virus
Hepatitis C, tetapi dengan kombinasi interferon alfa, lebih efektif daripada inteferon alfa
sendiri.
Efek samping penggunaan interferon adalah demam dan gejala-gejala menyerupai
flu (nyeri otot, malaise, tidak napsu makan dan sejenisnya), depresi dan gangguan
emosi, kerontokan rambut lebih dari normal, depresi sumsum tulang, hiperuresemia,
kadang-kadang timbul tiroiditis. Ribavirin dapat menyebabkan penurunan Hb. Untuk
mengatasi efek samping tersebut, pemantauan pasien mutlak perlu dilakukan.
Indikasi terapi
Didapatkan peningkatan nilai ALT lebih dari batas atas nilai normal. Pada pasien
yang tidak terjadi fibrosis hati atau hanya fibrosis hati ringan tidak perlu diberikan
terapi karena mereka biasanya tidak berkembang menjadi sirosis hati setelah 20 tahun
menderita infeksi VHC.
Pengobatan pada hepatitis C
Akut, keberhasilan terapi dengan interferon lebih baik dari pada pasien Hepatitis
C kronik hingga mencapai 100%. Interferon dapat digunakan secara monoterepi tanpa
ribavirin dan lama terapi hanya 3 bulan. Namun sulit untuk menentukan menentukan
infeksi akut VHC karena tidak adanya gejala akibat virus ini sehingga umumnya tidak
diketahui waktu yang pasti adanya infeksi.
Kronik adalah dengan menggunakan interferon alfa dan ribavirin. Umumnya
disepakati bila genotif I dan IV, maka terapi diberikan 48 minggu dan bila genotip II
dan III, terapi cukup diberikan 24 minggu.
Kontraindikasi terapi
Adalah berkaitan berkaitan dengan penggunaan interferon dan ribavirin, yaitu:
 Pasien yang berusia lebih dari 60 tahun
 Hb <10g/dL, leukosit darah <2500/uL, trombosit <100,000/uL
 Adanya hipertiroid
 Pasien dengan gangguan ginjal
Untuk interferon alfa yang konvensional, diberikan setiap 2 hari atau 3 kali
seminggu dengan dosis 3 juta unit subkutan setiap kali pemberian. Interferon yang telah
diikat dengan poly-ethylen glycol (PEG) atau dikenal dengan Peg-Interferon, diberikan
setiap minggu dengan dosis 1,5 ug/kgBB/kali ( untuk Peg-Interferon 12 KD ) atau 180
ug ( untuk Peg-Interferon 40 KD ).
Pemberian interferon diikuti dengan pemberian ribavirin dengan dosis pada pasien
dengan berat badan 70 kg 1200 mg setiap hari dibagi dalam 2 kali pemberian.
Pada akhir terapi dengan interferon dan ribavirin perlu dilakukan pemeriksaan
RNA VHC secara kualitatif untuk mengetahui apakah VHC resisten. Keberhasilan
terapi dinilai 6 bulan setelah pengobatan dilakukan dengan memeriksa RNA VHC
kualitatif. Bila :
- RNA VHC tetap (-) : pasien dianggap mempunyai respon virulogik yang
menetap (sustained virulogical response atau SVR)
- RNA VHC kembali (+) : pasien dianggap relapser
Pasien yang tergolong kambuh dapat kembali diberikan interferon dan ribavirin
nantinya dengan dosis yang lebih besar atau bila sebelumnya menggunakan interferon
konvensional, Peg-Interferon mungkin akan bermanfaat.
Pada ko-infeksi HCV-HIV, terapi dengan interferon dan ribavirin dapat diberikan
bila jumlah CD4 pasien ini > 200 sel/mL. Bila CD4 kurang dari nilai tersebut, respon
terapi sangat kurang memuaskan.
Untuk pasien dengan ko-infeksi VHC-VHB, dosis pemberian interferon untuk
VHC sudah sekaligus mencukupi untuk terapi VHB sehingga kedua virus dapat diterapi
bersama-sama sehingga tidak diperlukan nukleosida analog yang khusus untuk VHB.
(Wahyudi)

1. Pietschmann, T., & Brown, R. J. P. (2019). Hepatitis C Virus. Trends in


Microbiology, 27(4), 379–380. doi:10.1016/j.tim.2019.01.001 
2. World Health Organization. Guidelines for the care and treatment of pers
ons diagnosed with chronic hepatitis c virus infection. 2018. https://apps.who.int/iri
s/bitstream/handle/10665/273174/9789241550345-eng.pdf?ua=1
3. Alhawaris. Hepatitis C: epidemiologi, etiologi dan patogenitas. Jurnal Sa
ins dan Kesehatan. 2019: 2 (2); 139-150
4. Dany F, Handayani S. Seroprevalensi hepatitis C pada populasi perkotaa
n dan perdesaan di Indonesia Tahun 2013: kajian determinan sosiodemografi, lingk
ungan, pejamu dan komorbiditas (analisis lanjut riskesdas 2013). Media Litbangkes.
2017: 27 (4); 197-208
5. Jurnalis YD, Sayoeti Y, Russelly A. hepatitis c pada anak. Jurnal Keseha
tan Andalas. 2014; 3(2)2): 257-261
6. Brataatmadja D. Aspek laboratorium pada infeksi virus hepatitis C. Jurna
l JKM. 2003: 3 (1); 13-25
7. Wahyudi H, Saturti TIA. Hepatitis. FK UNUD. 2017. 1-41

Anda mungkin juga menyukai