Anda di halaman 1dari 54

Case Report

ANEMIA KEGANASAN HEMATOLOGI EC CRHONIC MYIELOID


LEUKIMIA FASE AKSELERASI

Disusun Oleh :
AHMAD FANDI
H1AP20033

Pembimbing :
dr. Mulya Sundari, Sp. PD, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN PENYAKIT DALAM TERINTEGRASI
RSUD DR. M. YUNUS BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Ahmad Fandi


NPM : H1AP2003
Fakultas : Kedokteran
Judul : Anemia ec chronic mieloid leukimia
Bagian : Ilmu Penyakit Dalam
Pembimbing : dr. Mulya Sundari, Sp. PD, FINASIM

Bengkulu, Agustus 2022


Pembimbing

dr. Mulya Sundari, Sp. PD, FINASIM

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. M. Yunus, Fakultas
Kedokteran Universitas Bengkulu, Bengkulu.
Pada kesempatan ini Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Mulya Sundari, Sp. PD, FINASIM sebagai pembimbing utama yang telah
bersedia membimbing penulis, meluangkan waktu dan telah memberikan
masukan-masukan, petunjuk serta bantuan dalam penyusunan tugas ini.
2. Teman–teman koas penyakit dalam yang telah memberikan bantuan baik
material maupun spiritual kepada penulis dalam menyusun laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini,
maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Penulis sangat
berharap agar laporan ini dapat bermanfaat bagi semua.

Bengkulu, Agustus 2022


Penulis

Ahmad Fandi

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................................1
BAB II. LAPORAN KASUS.................................................................................................3
2. 1. Identitas........................................................................................................................3
2. 2. Anamnesis (Autoanamnesis dan Alloanamnesis).........................................................3
2. 3. Pemeriksaan Fisik........................................................................................................5
2. 4. Pemeriksaan Penunjang................................................................................................8
2.5. Diagnosis.....................................................................................................................11
2. 6 Diagnosis Banding......................................................................................................11
2. 7 Terapi..........................................................................................................................11
2 .8 Prognosis.....................................................................................................................15
2.9 Rencana pemeriksaan khusus.......................................................................................15
2.10.Follow Up..................................................................................................................15
BAB III. PEMBAHASAN....................................................................................................23
3.1 Definisi Anemia....................................................................................................23
3.2 Etiologi................................................................................................................24
3.3 Epidemiologi.........................................................................................................24
3.4 Klasifikasi Anemia............................................................................................25
3.4.2 Gambaran morfologik (melalui indeks eritrosit atau hapusan darah tepi).........26
3.5 Gejala Klinis.......................................................................................................30
3.7 Diagnosa...............................................................................................................34
3.8 Pemeriksaan Untuk Diagnosis Anemia.................................................................36
3.9 Tatalaksana...........................................................................................................37
3.9 Leukemia Mieloid Kronik.....................................................................................40
3.9.1 Etiologi.............................................................................................................41

iii
3.9.2 Patogenesis.......................................................................................................41
3.9.3 Klasifikasi.........................................................................................................43
3.9.4 Tanda dan gejala...............................................................................................44
3.9.5 Diagnosis..........................................................................................................45
3.9.6 Tatalaksana.......................................................................................................46
3.9.7 Prognosis..........................................................................................................47
BAB IV KESIMPULAN......................................................................................................48
DAFTAR ISI........................................................................................................................51

iv
BAB I. PENDAHULUAN

Anemia adalah suatu masalah kesehatan global yang terjadi pada negara
berkembang maupun negara maju, dapat terjadi pada seluruh fase kehidupan, namun
paling sering terjadi pada wanita hamil dan anak-anak. Anemia merupakan salah satu
indikator buruknya nutrisi dan status kesehatan seseorang. Anemia dapat
meningkatkan risiko mortalitas ibu dan anak menghambat perkembangan kognitif dan
psikologis anak, dan menurunkan produktifitas seseorang.1 Secara global, berdasarkan
data WHO tahun 1993 hingga 2005, anemia diderita oleh 1,62 milyar orang.
Prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia belum sekolah, dan prevalensi terendah
pada laki-laki dewasa. Asia tenggara merupakan salah satu daerah yang dikategorikan
berat dalam prevalensi anemia.2

Anemia didefinisikan sebagai suatu kondisi di mana jumlah sel darah merah
atau konsentrasi hemoglobin di dalamnya lebih rendah dari biasanya. 3 Anemia secara
fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak
dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke
jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Kriteria World Health
Organization (WHO) untuk anemia pada pria adalah kurang dari 13 g/dL, sedangkan
untuk wanita kurang dari 12 g/dL dan diklasifikasikan menjadi anemia mikrositik,
normositik, dan makrositik1,3.

Anemia dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab, dan biasanya setiap
kejadian anemia terjadi akibat beberapa kemungkinan penyebab. Pada tahun 2002,
defisiensi besi diketahui paling banyak menyebabkan anemia dibanding penyebab
lainnya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa 50% kasus anemia disebabkan oleh anemia
defisiensi besi. Penyebab lain dari anemia yang sering terjadi antara lain akibat
kehilangan darah banyak saat menstruasi, infeksi parasit, infeksi kronik, keganasan,
defisiensi mikronutrien (asam folat, vitamin B12, vitamin A, riboflavin), dan
hemoglobinopati.1

1
Berbagai macam komplikasi dapat terjadi akibat anemia, maka diagnosis dan
tatalaksana anemia menjadi sangat penting untuk dilakukan dengan tepat dan sedini
mungkin. Konsentrasi hemoglobin, hematokrit, dan jumlah eritrosit merupakan
indikator yang digunakan dalam diagnosis anemia. Namun, hemoglobin paling sering
digunakan. Tatalaksana anemia harus dilakukan sesegera mungkin sesuai dengan
etiologi dasar yang diketahui.1

2
BAB II. LAPORAN KASUS
2. 3. Identitas
Nama : Tn. JS
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tanggal lahir : 05 Mei 1975
Alamat : Tanjun anam, Bengkulu Utara
No. Reg RS : 799363
Tanggal Masuk RS : 20 Juli 2022
Tanggal Keluar RS : 25 Juli 2022
Ruang Perawatan : Melati 2
2. 3. Anamnesis (Autoanamnesis dan Alloanamnesis)
2.2. 1. Keluhan Utama
Lemas yang memberat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit
2.2. 2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien kurang lebih 4 tahun yang lalu mengalami batuk terus menerus, batuk
tidak berdahak dan berdarah. Keluhan disertai lemas, mudah lelah, dan keringat
malam. Pasien juga mengeluhkan nafsu makan turun dan penurunan berat badan yang
signifikan yaitu dari 65 Kg menjadi 50 Kg 1 bulan terakhir sebelum masuk rumah
sakit. Pasien kemudian berobat ke rumah sakit charitas argamakmur dan didapatkan
leukosit meningkat yaitu 320.000. lalu pasien di rujuk ke rumah sakit M. yunus kota
Bengkulu. Setelah dirawat 3 hari pasien kemudian di rujuk ke rumah sakit Palembang
untuk dilakukan pemeriksaan BMP (Bone marrow puncture) dan tatalaksana lebih
lanjut. Setelah hasil pemeriksaan keluar pasien di diagnosis Chronic Myeloid
Leukimia (CML). Setelah rutin kontrol 3 bulan di Palembang pasien dialihkan untuk
mengambil obat rutin di RSUD M. yunus kota Bengkulu.
Sejak 3 bulan terakhir pasien sering merasakan lemas dan mudah lelah. Pasien
juga mengeluhkan sering demam menggigil hilang timbul. Demam muncul tidak
menentu, namun setelah minum obat demam langsung turun. Pasien sering berobat ke

3
mantra jika demam dan lemas, lalu pasien di berikan obat paracetamol, antibiotik, dan
suntik vitamin neurobion.
Sejak satu bulan terakhir, demam terus menerus. Saat demam badan terasa
menggigil, demam naik turun dan mencapai suhu normal, demam muncul tidak
menentu dan tibatiba, saat demam turun pasien merasakan keringat dingin. Keluhan
disertai badan semakin lemas, mudah lelah, dan bibir pucat. Pasien juga mengeluhkan
batuk terus menerus, batuk tidak berdahak dan tidak berdarah. Pasien juga
mengeluhkan penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan yang signifikan.
Saat malam hari pasien sering berkeringat. Pasien juga mengeluhkan muncul benjolan
di leher kanan, benjolan sebesar kelereng, benjolan nyeri berdenyut saat demam.
Selain itu, pasien juga mengeluhkan perut terasa begah, tegang dan membesar.
Keluhan perut begah dan besar hilang timbul, pasien mengatakan perut terasa besar
hilang timbul sejak pertama kali di diagnosa leukemia. Pasien juga mengeluhkan
BAB sedikit encer namun masih ada ampasnya dan berwarna kecoklatan, BAB
berwarna hitam disangkal, BAB bercampur darah disangal, BAB berlendir dan
berbau asam disangkal. Buang air kecil (BAK) pasien tidak ada keluhan, lancar, tidak
tersendat, berwarna kuning terkadang seperti teh, pasien merasa puas saat setelah
BAK, BAK berpasir disangkal, berbuih disangkal, BAK berdarah disangkal. Pasien
kemudian berobat ke charitas dan diagnosa typhoid. Setelah di rawat 5 hari pasien
dan dilakukan transfusi darah 1 kolf pasien pulang.
Sejak 1 minggu yang lalu pasien kembali berobat dengan keluhan yang sama,
dan benjolan di leher bertambah banyak, benjolan disertai nyeri saat muncul demam
dan panan lalu pasien di rujuk ke RSMY.

2.2. 3. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat leukemia sejak 4 tahun yang lalu
 Riwayat maag
 Riwayat diabetes melitus disangkal

4
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat tubelculosis disangkal
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat penyakit ginjal disangkal
 Riwayat keganasan disangkal
 Riwayat Tranfusi darah
 Riwayat luka sulit berhenti darah disangkal

2.2. 4. Riwayat Penyakit Keluarga


 Keluhan serupa disangkal
 Riwayat diabetes melitus disangkal
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat tubelculosis disangkal
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat penyakit ginjal disangkal
 Riwayat keganasan disangkal

2.2. 5. Riwayat Sosial dan Kebiasaan


 Pasien memiliki riwayat bekerja di pabrik pupuk kimia 2 tahun yang lalu
sebelum di diagnosis leukemia
 Pasien memiliki riwayat merokok 20 yang tahun lalu dan sudah berhenti

2. 3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 10 Juni 2022, pukul 14.30 WIB
2.3. 1. Status Present
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang.
Kesadaran : Compos mentis

5
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 89 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 38.2oC
SpO2 : 96%
VAS : 5
2.3. 2. Status Generalis
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva palpebra pucat (+/+), sclera ikterik (-/-),
strabismus (-/-), eksoftalmus (-/-), edema palpebra (-/-)
Hidung : Deformitas (-/-), secret (-/-), napas cuping hidung (-)
nyeri tekan (-)
Mulut : Bibir pucat (+), bibir kering (+),Sianosis (-), stomatitis
(-), lidah kotor (-), papil atrofi (-), faring hiperemis (-),
jamur (-)
Telinga : Nyeri tekan tragus (-), sekret (-), deformitas (-)

Leher : Pembesaran tiroid (-), Deviasi trakea (-),Pembesaran


KGB (+)
1. Mandibula
Terdapat sebuah massa dengan konsistensi padat
ukuran 2x2 cm, tidak berdungkul-dungkul,
immobile, warna sesuai kulit sekitar, tidak
tedapat nyeri tekan.
2. M. sternocleidomastoideus dextra
Terdapat massa multiple, konsistensi padat,
ukuran sebesar kelereng, tidak berdungkul-
dungkul, warna sesuai kulit sekitar, tidak terdapat

6
nyeri tekan
3. Supraclavicular dextra
Terdapat sebuah massa, konsistensi padat, ukuran
sebesar kelereng, tidak berdungkul, immobile,
warna sesuai kulit sekitar. Tidak terdapat nyeri
tekan.
4. Axilla bilateral
Terdapat sebuah massa, konsistensi padat, ukuran
sebesar kelereng, tidak berdungkul, immobile,
warna sesuai kulit sekitar. Tidak terdapat nyeri
tekan.
5. Inguinal bilateral
Terdapat sebuah massa, konsistensi padat, ukuran
sebesar kelereng, tidak berdungkul, immobile,
warna sesuai kulit sekitar. Tidak terdapat nyeri
tekan.

Thorax-Paru
Inspeksi : Dinding dada simetris, gerakan dinding dada saat statis
dan dinamis, retraksi dinding dada (-), deformitas (-),
sela iga melebar (-), spider nevi (-), scar (-).
Palpasi : Stem fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : Sonor, batas paru normal
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

7
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas kiri : ICS 6 linea axilaris anterior sinistra
Batas kanan : ICS 4 line midclavicula dextra
Batas atas : ICS 2 linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Cembung, simetris, permukaan licin, caput medusa (-),
scar (-).
Palpasi : Teraba tegang, nyeri tekan (-), defans muskular (-),
teraba hepar 2 jari di bawah arcus costae, permukaan
licin, konsiternsi padat, sudut masih tajam, teraba lien di
schufner 2, ballotement ginjal (-), undulasi (-).
Perkusi : Pekak di regio hipokondrium kanan dan region lumbal
kiri, ludwigsign (-), shiffting dullnes (-), nyeri ketok
CVA (-/-).
Auskultasi : Bising usus (+) normal.

Ekstremitas
Ekstremitas superior : Akral hangat (+/+), sianosis (-/-), pitting edema (-/-),
CRT < 2 detik, clubbing finger (-), palmar eritem (-/-),
Ekstremitas inferior : Akral hangat (+/+), sianosis (-/-), pitting edema (-/-),
CRT < 2 detik
2.3. 3. Status Gizi
Berat badan : 56 kg
Tinggi badan : 156 cm
BMI : 20,82 kg/m2
Status gizi : normal

8
2. 3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Hasil laboratorium 10 Juni 2022 11:07:29 AM
JENIS PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
Hematologi:
Hemoglobin 7.3 gr/dl 12,0-15,0 g/dl
Hematocrit 19 % 40-54%
Leukosit 215000/ul 4000-10000/ul
Trombosit 323.000/ul 150000-450000/ul
Hitung Jenis
Basophil 1.0 0.0-1.0%
Eosinophil 1.0 1.0-6.0%
Batang 3 3-5%
Segmen 51.0 35.0-70.0%
Limfosit 4.0 20.0-45.0%
Monosit 40.0 2.0-10.0%
KIMIA DARAH
Fungsi Hati
SGOT 25 <50 U/L
SGPT 11 <50 U/L
GDS 104 <160 mg/dL
FungsiGinjal
Ureum 49 20-40mg/dl
Kreatinin 2.3 0,5-1,2mg/dl
Uric acid 11.5 4.4-7,5 mg/dl
Elektrolit
Natrium 131 135-145 mmol/L

9
Kalium 3,3 3.4-5.3 mmol/L
Chlorida 103 50-200 mmol/L

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan rontgen thoraks PA tanggal 20 Juli 2022

Gambar 2.1.Gambar rontgen


Expertise:
• Foto simetris dan insprirasi cukup
• Trakea masih di tengah
• Cor membesar
• Sinus dan diafragma kanan berselung, kiri normal
• Pulmo:
Hilli normal
Corakan bronkovaskuler normal
Tidak tampak pembercakan di kedua lapang paru
Perselubungan opak homogeny di hemitoraks bawah kanan

10
Kranialisasi (-)
 Skeletal yang tervisualisasi tidak tampak kelainan
Kesan :
 Efusi pleura kanan
• Kardiomegali

2.5. Diagnosis
 Diagnosa utama:
1. Anemia keganasan hematologi
2. Limfadenopati ec Limfadenitis TB
2. 6 Diagnosis Banding
1. Anemia defisiensi besi
2. Anemia penyakit kronik
3. Anemia aplasik
4. Anemia defisiensi asam folat
5. Anemia defisiensi B12
6. Limfadenopati ec kegananasan
7. Limfadenopati ec viral infecion
2. 7 Terapi
Non Farmakologi: o Penyebab dari penyakit pasien
 Tirah Baring o Perjalanan penyakit serta
 Observasi TTV komplikasi yang dialami
 Memberikan diet terapi sesuai o Intervensi non-farmakologis dan
dengan kebutuhan kalori dan zat farmakologis serta target
gizi. pengobatan.
 Pembatasan asupan cairan
 Edukasi pasien dan keluarga
mengenai:

11
Farmakologi:
 Ivfd RL gtt xx/m
 Paracetamol infus (prn)
 Inj omeprazole 1x 40 mg
 Inj ceftriaxone 2x1 gr
 Inj dexametason 1x5 mg
 Paracetamol tab 500 mg 3x1
2 .8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
2.9 Rencana pemeriksaan khusus
1. Darah perifer lengkap
2. Urinalisis
3. Pemeriksaan sputum
4. FNAB
5. Transfusi PRC 3kolf

2.10.Follow Up
Jumat, 22 Juli 2022
Pukul 06.00 WIB
S Lemas (+), demam (+) hilang timbul, batuk sesekali, muncul benjolan di leher
kanan dan kiri, benjolan kadang” nyeri perut begah dan tegang (+), mual (-),
muntah (-),
O Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah: 110/50 mmHg
Nadi : 93x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36.5 oC
SpO2 : 98%
Pemeriksaan Fisik

15
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), edema palpebra
(-/-)
Hidung : Deviasi (-), sekret (-), nafas cuping hidung (-)
Telinga : Nyeri tekan mastoid (-) secret(-)
Mulut : Sianosis (-), bibir kering (-), stomatitis angularis(-), atrofi papil

lidah (-)
Leher : Pembesaran KGB (+), pembesaran tiroid (-).

Pulmo
Inspeksi :dinding dada asismetris, gerakan dinding dada saat statis dan dinamis,
retraksi dinding dada (-) , spider nevi (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri normal
Perkusi : Sonor (+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)

Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
Batas kiri : ICS 6 linea axilaris anterior sinistra
Batas kanan : ICS 5 line midclavicula dextra
Batas atas : ICS 2 linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi: Cembung, simetris, permukaan licin, caput medusa (-), scar (-).
Palpasi : Teraba tegang, nyeri tekan (-), defans muskular (-), teraba hepar 2 jari
di bawah arcus costae, permukaan licin, sudut tajam. teraba lien di schufner 2,
ballotement ginjal (-), undulasi (-).
Perkusi: Pekak di regio hipokondrium kanan dan region lumbal kiri, ludwigsign
(-), shiffting dullnes (-), nyeri ketok CVA (-/-).

16
Auskultasi : BU (+) normal

Ekstremitas Superior : Akral hangat (+/+), sianosis (-/-), pitting edema (-/-),
CRT < 2 detik, clubbing finger (-), palmar eritem (-/-)
Ekstremitas Inferior : Akral hangat (+/+), sianosis (-), pitting edema (-/-),CRT
<2”

A 1. Anemia normokromik normositer ec keganasan hematologi


2. Lympadenopati ec lympadenitis kronik
P Non farmakologi
 Tirah Baring
 Observasi TTV
 Memberikan diet terapi sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi.
Farmakologi
 Ivfd RL gtt xx/m
 Paracetamol infus (prn)
 Inj omeprazole 1x 40 mg
 Inj ceftriaxone 2x1 gr
 Inj dexametason 1x5 mg
 Paracetamol tab 500 mg 3x1
 Transfusi PRC 2 kolf
R  Pemeriksaan morfologi darah tepi
 Transfusi PRC 1 kolf
Post pemeriksaan darah perifer lengkap 20 Juni 2022 (10.43 WIB)
 Didapatkan hasil HT : 19%, hb 7,3 g/dl, eritrosit 2.30, leukosit 215000, limfosit
4.0, monosit 40.0, MCV 84.3, MCH 31.7, MCHC 37.6, RDW-CV 19.0

Post pemeriksaan FNAB 20 juli 2022


Kesan : lympadenitis kronik granulomatous

Sabtu 23 Juli 2022


Pukul 06.00 WIB
S Lemas (+), demam (+) hilang timbul, batuk sesekali, nyeri kepala jika batuk,

17
muncul benjolan di ketiak kanan, benjolan kadang” nyeri, perut begah dan
tegang (+), mual (-), muntah (-),
O Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah: 129/66 mmHg
Nadi : 98x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 38.5 oC
SpO2 : 98%
Pemeriksaan Fisik
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), edema palpebra
(-/-)
Hidung : Deviasi (-), sekret (-), nafas cuping hidung (-)
Telinga : Nyeri tekan mastoid (-) secret(-)
Mulut : Sianosis (-), bibir kering (-), stomatitis angularis(-), atrofi papil

lidah (-)
Leher : Pembesaran KGB (+), pembesaran tiroid (-).

Pulmo
Inspeksi :dinding dada asismetris, gerakan dinding dada saat statis dan dinamis,
retraksi dinding dada (-) , spider nevi (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri normal
Perkusi : Sonor (+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)

Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
Batas kiri : ICS 6 linea axilaris anterior sinistra
Batas kanan : ICS 5 line midclavicula dextra

18
Batas atas : ICS 2 linea parasternalis sinistra
Auskultasi : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi: Cembung, simetris, permukaan licin, caput medusa (-), scar (-).
Palpasi : Teraba tegang, nyeri tekan (-), defans muskular (-), teraba hepar 2 jari
di bawah arcus costae, permukaan licin, sudut tajam. teraba lien di schufner 2,
ballotement ginjal (-), undulasi (-).
Perkusi: Pekak di regio hipokondrium kanan dan region lumbal kiri, ludwigsign
(-), shiffting dullnes (-), nyeri ketok CVA (-/-).
Auskultasi: BU (+) normal

Ekstremitas Superior : Akral hangat (+/+), sianosis (-/-), pitting edema (-/-),
CRT < 2 detik, clubbing finger (-), palmar eritem (-/-)
Ekstremitas Inferior : Akral hangat (+/+), sianosis (-), pitting edema (-/-),CRT
<2”

A 1. Anemia keganasan hematologi ec suspek CML


2. Lypadenopati ec lympadenitis kronik
P Non farmakologi
 Tirah Baring
 Observasi TTV
 Memberikan diet terapi sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi.
Farmakologi
 Ivfd RL gtt xx/m
 Paracetamol infus (prn)
 Inj omeprazole 1x 40 mg
 Inj ceftriaxone 2x1 gr
 Inj dexametason 1x5 mg
 Paracetamol tab 500 mg 3x1
 Transfusi PRC 2 kolf
R  Transfusi PRC 1 kolf

19
 Bone marrow puncture
Post pemeriksaan morfologi darah tepi
Kesimpulan : suspek gambaran keganasan hematologi kronik sero myeloid (CML)

Minggu 24 Juli 2022


Pukul 06.00 WIB
S Lemas (+), demam (+) hilang timbul, batuk sesekali, nyeri kepala jika batuk,
benjolan masih nyeri, perut begah dan tegang (+), mual (-), muntah (-),
O Keadaan umum: Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah: 129/66 mmHg
Nadi : 98x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 38.5 oC
SpO2 : 98%
Pemeriksaan Fisik
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), edema palpebra
(-/-)
Hidung : Deviasi (-), sekret (-), nafas cuping hidung (-)
Telinga : Nyeri tekan mastoid (-) secret (-)
Mulut : Sianosis (-), bibir kering (-), stomatitis angularis (-), atrofi papil

lidah (-)
Leher : Pembesaran KGB (+), pembesaran tiroid (-).

Pulmo
Inspeksi: dinding dada asismetris, gerakan dinding dada saat statis dan dinamis,
retraksi dinding dada (-), spider nevi (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri normal
Perkusi: Sonor (+)
Auskultasi: Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-)

20
Cor
Inspeksi: Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi:
Batas kiri: ICS 6 linea axilaris anterior sinistra
Batas kanan: ICS 5 line midclavicula dextra
Batas atas: ICS 2 linea parasternalis sinistra
Auskultasi: BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi: Cembung, simetris, permukaan licin, caput medusa (-), scar (-).
Palpasi : Teraba tegang, nyeri tekan (-), defans muskular (-), teraba hepar 2 jari
di bawah arcus costae, permukaan licin, sudut tajam. teraba lien di schufner 2,
ballotement ginjal (-), undulasi (-).
Perkusi: Pekak di regio hipokondrium kanan dan region lumbal kiri, ludwigsign
(-), shiffting dullnes (-), nyeri ketok CVA (-/-).
Auskultasi: BU (+) normal

Ekstremitas Superior : Akral hangat (+/+), sianosis (-/-), pitting edema (-/-),
CRT < 2 detik, clubbing finger (-), palmar eritem (-/-)
Ekstremitas Inferior : Akral hangat (+/+), sianosis (-), pitting edema (-/-),
CRT <2”

A 1. CML
2. Lypadenopati ec lympadenitis kronik
P Non farmakologi
 Tirah Baring
 Observasi TTV
 Memberikan diet terapi sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi.
Farmakologi
 Ivfd RL gtt xx/m

21
 Paracetamol infus (prn)
 Inj omeprazole 1x 40 mg
 Inj ceftriaxone 2x1 gr
 Inj dexametason 1x5 mg
 Paracetamol tab 500 mg 3x1
 Transfusi PRC 2 kolf
R  Transfusi PRC 1 kolf
 Bone marrow puncture
Post pemeriksaan bone marrow pucture
Kesimpulan : CML (fase akselarasi)

22
BAB III. PEMBAHASAN

Pasien dalam kasus ini di diagnosis dengan Penyakit anemia keganasan hematologi tipe
CML Fase krisis blast, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.

3.1 Definisi Anemia


Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya satu atau lebih parameter sel darah
merah, yaitu konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah. Anemia
menyebabkan menurunnya kemampuan pengangkutan oksigen yang fisiologis di dalam darah
dan berkurangnya suplai oksigen ke jaringan.5

Tebel 1. Kriteria WHO untuk diagnosis anemia

Usia Non- Anemia Anemia Anemia


Anemia Ringan Sedang Berat
6-59 bulan ≥ 11 10-10,9 7-9,9 <7
5-11 tahun ≥ 11,5 11-11,4 8-10,9 <8
12-14 tahun ≥ 12 11-11,9 8-10,9 <8
Wanita ≥ 15 tahun ≥ 12 11-11,9 8-10,9 <8
(tidak hamil)
Wanita ≥ 15 tahun ≥ 11 10-10,9 7-9,9 <8
(hamil)
Laki-laki ≥ 15 tahun ≥ 13 11-12,9 8-10,9 <8

Anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 13 g% pada pria dan di bawah 12 g%


pada wanita (WHO). Berdasarkan kriteria WHO yang direvisi/ kriteria National Cancer
Institute, anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 14 g% pada pria dan di bawah 12 g%
pada wanita. Kriteria ini digunakan untuk evaluasi anemia pada penderita dengan
keganasan. Anemia merupakan gejala dan tanda penyakit tertentu yang harus dicari
penyebabnya agar dapat diterapi dengan tepat.6 Anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih
dari 3 mekanisme independen yaitu berkurangnya produksi sel darah merah, meningkatnya
destruksi sel darah merah dan kehilangan darah.6

23
3.2 Etiologi
Penyebab terjadinya anemia sangat bervariasi, bisa oleh karena gangguan produksi sel
darah merah atau rusaknya jumlah eritrosit yang bermakna. Jika seseorang terlihat pucat,
penting menentukan inti permasalahannya, baik itu disatu alur sel (misalnya sel darah merah,
sel darah putih atau trombosit). Jika dua atau tiga alur sel terganggu, kemungkinan
menunjukkan adanya keterlibatan sumsum tulang (misalnya leukemia, penyakit metastase,
anemia aplastik).5

3.3 Epidemiologi
Berdasarkan data WHO sejak tahun 1993 hingga 2005, anemia diderita oleh 1,62
milyar orang di dunia. Prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia belum sekolah, dan
prevalensi terendah pada laki-laki dewasa. Asia tenggara merupakan salah satu daerah yang
dikategorikan berat dalam prevalensi anemia, termasuk Indonesia, yang tergambar pada
gambar di bawah ini dengan warna merah tua 2

Anemia terjadi pada 58% populasi di Asia, dimana prevalensi tertinggi terjadi pada anak usia
belum sekolah (47,7%), wanita hamil (41,6%), dan wanita dewasa tidak hamil (33,0%). Di
Indonesia, sekitar 44,5% populasi diperkirakan mengalami anemia dengan kadar Hb < 11,0
gr/dl sehingga Indonesia dikategorikan anemia berat.2 Pada penelitian di rumah sakit di

24
Ethiopia, didapatkan 23% pasien anemia pada pasien dengan keganasan, dengan prevalensi
sebanyak 37,7% pada pasien keganasan ginekologi disusul sebanyak 26,7% pada keganasan
kolorektal. Rerata kasus anemia berada di derajat ringan hingga sedang dengan haemoglobin
rata-rata 7,7 g/dL. Penelitian ini juga menjelaskan bahwa sebanyak 22,7% merupakan
anemia jenis normositik normokromik, 26,8% normositik hipokromik, 30,9% mikrositik
hipokromik, 16,5% mikrositik normokromik, dan 2,1% anemia makrositik5.

Penelitian di beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan hasil sebanyak 48,5%


pasien mengalami anemia pada pasien dengan kanker limfoma di RS Sardjito, Yogyakarta6.
Sementara penelitian pada pasien karsinoma nasofaring stadium akhir di RS Nusa Tenggara
Barat memperoleh hasil sebanyak 87,51% anemia dan 59,38% anemia ringan hipokromik
mikrositik dan diikuti jenis normositik normokromik4.

Jenis kelamin laki-laki menyumbang prevalensi kejadian anemia pada keganasan


mencapai 3 kali lebih tinggi dibandingkan perempuan4,5,6,.

1. Adanya hipovolemia (pada penderita dengan perdarahan akut dan masif)


Anemia yang disebabkan perdarahan akut berhubungan dengan komplikasi
berkurangnya volume intraseluler dan ekstraseluler. Keadaan ini menimbulkan gejala
mudah lelah, lassitude (tidak bertenaga), dan kram otot. Gejala dapat berlanjut
menjadi postural dizzines, letargi, sinkop, pada keadaan berat dapat terjadi hipotensi
persisten, syok, dan kematian. 8

3.4 Klasifikasi Anemia


Anemia adalah suatu kondisi dimana jumlah sel darah merah atau konsentrasi
hemoglobin di dalamnya lebih rendah dari biasanya. Anemia secara fungsional didefinisikan
sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen
carrying capacity). Nilai haemoglobin pada laki-laki usia di atas 15 tahun < 13mg/dL dan
perempuan diatas 15 tahun < 12 mg/dL disebut anemia. Berdasarkan klasifikasi WHO,
anemia dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu anemia ringan, sedang, dan berat1,9.
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan etiopatogenesis dan morfologi anemia:13
3.4.1 Etiopatogenesis
A. Gangguan pembentukan eritrosit di sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit

25
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastic
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloplastik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
4. Anemia akibat kekurangan eritropoietin
B. Anemia hemoragik
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati)
Anemia akibat defisiensi G6PD
c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
- Thalassemia
- Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopati
c. ainnya
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang kompleks11

3.4.2 Gambaran morfologik (melalui indeks eritrosit atau hapusan darah tepi)

Berdasarkan morfologi sel darah merah, anemia dapat diklasifikasikan sebagai anemia
mikrositik, makrositik, dan normositik berdasarkan perhitungan MCV dan MCHC. MCV

26
merupakan pengukuran terhadap rerata ukuran sel darah merah, sementara MCHC digunakan
untuk mengukur rerata haemoglobin di dalam sel darah merah. Sel darah merah normal
(normosit) berdiameter sekitar 7-8 mikron. Ukuran sel darah merah yang mengecil disebut
mikrositosis, sementara peningkatan diameter sel darah merah diatas normal disebut
makrositosis. Ukuran sel darah merah membentuk dasar untuk klasifikasi morfologis atau
sitometrik anemia10,11.

Anemia normokromik normositik (MCV 76–96 fL, MCHC 30–35 g/dL), makrositik (MCV
>96, MCHC 30–35 g/dL), dan mikrositik (MCV <76 fL, MCHC 30 g/dL). Berikut ini tabel
2.2 menjelaskan jenis anemia dan penyebabnya12.

27
Tabel 2. 1 Jenis anemia berdasarkan penyebabnya10

Jenis Nilai laboratorium Penyebab

Makrositik ↑ MCV Defisiensi vitamin B12 dan asam folat,


normokromik anemia pada penyakit hati kronis,
(n) MCHC
anemia pada hipotiroidisme, anemia
pada sindrom mielodisplastik

Mikrositik ↓ MCV Thalassemia, defisiensi zat besi, anemia


hipokromik penyakit kronis (jarang), anemia
↓ MCHC
sideroblastik

Normositik (n) MCV Anemia penyakit kronis, perdarahan


normokromik akut, anemia aplastik, anemia hemolitik,
(n) MCHC
anemia gagal ginjal kronik, anemia
sindrom mielodisplastik, anemia
keganasan hematologi

A. Anemia hipokromik mikrositer

28
II. Anemia normokromik normositer

III. Anemia makrositer

29
Secara garis besar, anemia dibagi menjadi 5 berdasarkan penyebabnya, yaitu anemia
defisiensi zat besi, anemia pernisiosa, anemia aplastik, anemia keganansan dan anemia
haemolitik. Anemia defisiensi besi merupakan anemia karena defisiensi zat besi yang
berguna untuk membuat hemoglobin sel darah merah. Anemia pernisiosa terjadi karena
defisiensi vitamin B12 dan asam folat yang berguna untuk membuat sel darah merah yang
sehat. Anemia apalstik adalah kondisi dimana sumsum tulang yang memproduksi stem sel
mengalami kerusakan, sehingga tidak terbentuk sel darah-sel darah merah, sel darah putih ,
dan trombosit yang cukup. Anemia haemolitik digambarkan sebagai kondisi hancurnya sel
darah merah sebelum waktunya (normalnya memiliki umur sekitar 120 hari)11.

3.5 Gejala Klinis


Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya anemia,
juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan pada anemia yang terjadi
perlahan-lahan, karena ada kesempatan bagi mekanisme homeostatik untuk menyesuaikan
dengan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen.

30
Gejala anemia disebabkan oleh 2 faktor :
2. Berkurangnya pasokan oksigen ke jaringan
Pasokan oksigen dapat dipertahankan pada keadaan istirahat dengan mekanisme
kompensasi peningkatan volume sekuncup, denyut jantung dan curah jantung pada
kadar Hb mencapai 5 g% (Ht 15%). Gejala timbul bila kadar Hb turun di bawah 5 g
%, pada kadar Hb lebih tinggi selama aktivitas atau ketika terjadi gangguan
mekanisme kompensasi jantung karena penyakit jantung yang mendasarinya. 8
Gejala utama adalah sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat istirahat, fatigue,
gejala dan tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat, jantung berdebar, dan
roaring in the ears). Pada anemia yang lebih berat, dapat timbul letargi, konfusi, dan
komplikasi yang mengancam jiwa (gagal jantung, angina, aritmia dan/ atau infark
miokard).

Pasien dengan anemia biasanya datang dengan gejala yang tidak jelas seperti lesu,
lemah, dan lelah. Anemia berat dapat hadir dengan sinkop, sesak napas, dan toleransi latihan
berkurang. Kegiatan ini menguraikan evaluasi dan pengobatan anemia dan menjelaskan peran
tim interprofessional dalam mengelola pasien dengan kondisi ini9.

Tanda-tanda berikut dapat diamati pada fisik umum pasien dengan anemia,

a. Muka pucat
Berkurangnya jumlah hemoglobin teroksigenasi pada individu menghasilkan
pengembangan nonspesifik pucat pada selaput lendir. Pemeriksaan klinis dapat
mengungkapkan pucat konjungtiva palpebra bawah, kuku pucat, permukaan telapak
tangan pucat, lidah pucat, bibir, alas kuku, dan lain-lain.
b. Perubahan Epitel
Jaringan epitel kuku, lidah, mulut, hipofaring, dan perut yang terkena,
mengakibatkan epitel menjadi rapuh. Ditandai dengan ulserasi atau fisura di sudut-
sudut mulut merupakan tanda anemia yang kurang spesifik. Hal ini biasanya
berhubungan dengan defisiensi riboflavin atau piriksodin.
c. Perubahan Kuku
Penipisan, perataan, dan kuku menjadi cekung berbentuk sendok (koilonychias)
d. Sindrom Plummer-Vinson
Sindrom ini juga dikenal sebagai sindrom Paterson-Brown-Kelly ditandai dengan
kondisi yang ditandai dengan adanya kekurangan zat besi, kelainan kuku, dan

31
disfagia. Beberapa gejala lain adalah nyeri di tenggorokan saat menelan, sensasi
terbakar saat menelan, sensasi makanan tersangkut di laring, kelelahan, pucat,
kesulitan menelan, pengembangan jaringan mukosa di kerongkongan, dan lain-lain12.

32
33
3.7 Diagnosa
Diagnosis dapat ditegakkan setelah adanya gejala, pemeriksaan fisik, dan didukung
dengan pemeriksaan penunjang.

a. Pemeriksaan darah rutin


Pemeriksaan rutin meliputi hitung darah lengkap dengan jumlah darah putih, jumlah
trombosit, dan darah merah (MCV/MCHC) dan jumlah retikulosit.

b. Sapuan Perifer
Pemeriksaan apusan perifer adalah metode sederhana lainnya untuk diagnosis anemia.
Pemeriksaan perifer smear adalah bagian penting dari pemeriksaan pasiendengan anemia.

c. Pemeriksaan Sumsum Tulang


Dapat dilakukan pada pasien kecurigaan penyakit sumsum tulang primer (anemia aplastik
dan myelodisplastik) atau penyakit non sumsum (limfoma, infeksi). Sumsum tulang
digunakan untuk menghitung penyimpanan besi dan dan proses malignansi sumsum tulang
(sindrom hemofagorik, penyakit Gaucher). Indikasi pemeriksaan ini adalah transfusi RBC,
anemia makrositik yang tidak dapat dijelaskan, trombositopenia, neutropenia, dan
splenomegali, serta kondisi demam, nyeri tulang, dan penurunan berat badan12.

Terdapat dua pendekatan untuk menentukan penyebab anemia :

1. Pendekatan kinetik, pendekatan ini didasarkan pada mekanisme yang berperan dalam
turunnya Hb.
2. Pendekatan morfologi, pendekatan ini mengkategorikan anemia berdasarkan
perubahan ukuran eritrosit (Mean corpuscular volume/ MCV) dan respon retikulosit.

34
Gambar 2. 2 Algoritma Anemia pada Keganasan2

35
3.8 Pemeriksaan Untuk Diagnosis Anemia
Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis
anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari:

1). Pemeriksaan penyaring {screening test)

Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar


hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya
anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan
diagnosis lebih lanjut.13

2). Pemeriksaan darah seri anemia


Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit
dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer yar\g
dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.13

3). Pemeriksaan sumsum tulang


Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai
keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada
beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis
anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta pada kelainan hematologik yang dapat
mensupresi sistem eritroid, seperti sindrom mielodisplastik (MDS).13

4). Pemeriksaan khusus.

Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada:

 Anemia defisiensi besi : serum iron. TIBC {total iron binding capacity), saturasi
transferin, protoporfirin er itrosit, feritin serum, reseptor transferin dan pengecatan
besi pada sumsum tulang {Perl's stain).
 Anemia megaloblastic: folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksiuridin dan
tes Schiling.
 Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin dan Iain-
Iain.
 Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang.

Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti misalnya pemeriksaan fungsi


hati, fungsi ginjal atau fungsi tiroid.13

36
Gambar 2. 3 Algoritma Anemia pada Keganasan2

37
3.9 Tatalaksana
Tatalaksana anemia pada keganasan dilakukan berdasarkan tipe dan penyebab
anemia13.

a. Anemia penyakit kronis atau inflamasi


Tatalaksana pada anemia ini adalah erythropoietin. Erythropoietin adalah pengobatan
pilihan pada dosis 50 hingga 150 U/kg tiga kali seminggu secara subkutan. Dosis yang
dibutuhkan untuk anemia pada pasien kanker hingga 300 U/kg.

Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian eritropoietin bermanfaat dan sudah


disepakati untuk diberikan pada pasien kanker, gagal ginjal, mieloma multipel, rematoid
artritis, maupun HIV. Keuntungannya selain untuk mengurangi transfusi adalah menekan
inflamasi3. Eritropoietin bekerja dengan menekan produksi TNF alfa dan interferon gamma.
Namun, dapat menambah proliferasi sel-sel kanker ginjal serta meningkatkan rekurensi
kanker kepala dan leher. Terdapat tiga jenis eritropoietin, yakni alfa, beta, dan darbopoietin3.

b. Anemia aplastik
Pilihan pengobatan pada dewasa muda adalah transplantasi sumsum tulang. Pada lansia
dianjurkan pemberian imunosupresi dengan antitimosit, globulin, dan siklosporin. Androgen
oxymetholone 2 sampai 3 mg/kg per oral

c. Anemia megaloblastik
Pengobatan dikelola dengan menggunakan vitamin B12 oral dan intravena dan terapi
asam folat untuk memperbaiki defisit dan mengganti simpanan di tubuh.

- Diberikan dua preparat B12 (hidroksil dan cyanocobalamin 100-1000 g) diberikan


setiap hari selama 2 minggu, kemudian setiap minggu sampai nilai hematokrit
normal, kemudian bulanan hingga seumur hidup.
- Asam folat 3 sampai 5 mg per oral setiap hari
d. Anemia defisiensi besi
Sediaan besi oral dan parenteral (ferrous sulfate, ferro fumarat, dan glukonat besi). Pada
pasien tanpa gejala, zat besi oral cukup; hingga 300 mg zat besi/hari dapat diberikan
tergantung pada kebutuhan pasien.

Zat besi intravena diindikasikan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi zat besi
oral, dalam kebutuhan yang relatif akut, defisit absorpsi, perdarahan terus-menerus.

38
Gambar 2. 4 Tatalaksana anemia defisiensi besi pada pasien keganasan dengan
kemoterapi11

Jumlah zat besi yang dibutuhkan dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

BB (kg) × 2,3 × (15-pasien Hb) + 50

Indikasi dilakukan transfusi darah adalah kondisi sebagai berikut :

– Bila Hb <7 gm/dL pada pasien tanpa gejala

– Bila Hb <10 gm/dL pada kasus peningkatan risiko iskemia (yaitu, penyakit jantung
iskemik, penyakit paru).

Selain itu, terdapat 3 pedoman transfusi darah, diantaranya14

1. Asimtomatis tanpa komorbid signifikan. Kategori ini membutuhkan observasi dan


reevaluasi periodik

2. Asimtomatis dengan komorbid dan risiko tinggi, perlu pertimbangan untuk transfusi.

3. Simtomatik, pasien harus mendapat transfusi Packaged Red Cell (PRC).

39
Gambar 2. 5 Tatalaksana anemia defisiensi besi pada pasien keganasan setelah
dioperasi11
Satu unit PRC (300mL) memiliki hematokrit 50%-80% dan mengandung 42,5 g – 80
g Hb (dengan 147-278 mg besi) atau 128 mL – 240 mL eritrosit murni. Manfaat
utama transfusi PRC adalah meningkatkan Hb dan hematokrit dengan cepat. Transfusi
PRC adalah satu-satunya terapi untuk pasien kemoterapi yang membutuhkan koreksi
anemia segera. Transfusi 1 unit PRC dapat meningkatkan Hb sekitar 1gr/dL atau
hematokrit sebanyak 3% pada orang dewasa dengan ukuran tubuh standar tanpa
perdarahan. Tujuan transfusi secara umum adalah untuk mencegah defisit kapasitas
hantaran oksigen ke jaringan14.

3.9 Leukemia Mieloid Kronik


CML adalah salah satu bentuk dari leukemia yang ditandai dengan meningkatnya dan
pertumbuhan yang tidak teratur dari sel mieloid di dalam sumsum tulang dan terakumulasi
juga di dalam darah. CML adalah gangguan pada sumsum tulang dimana terjadi proliferasi
dari granulosit yang matur (neutrofil, eosinofil, dan basofil). CML adalah salah satu tipe

40
penyakit mieloproliferasi yang dihubungkan dengan adanya translokasi kromosom yang
disebut dengan philadelphia chromosome.16

Sejak dahulu, penyakit ini telah diterapi dengan kemoterapi, interferon, dan
transplantasi sumsum tulang, walaupun targeted therapy telah diperkenalkan pada awal abad
21 secara radikal telah merubah menejemen dari CML

CML disebut juga sebagai chronic granulocytic leukemia adalah gangguan


mieloproliferasi yang ditandai oleh peningkatan proliferasi dari granulosit tanpa
menghilangnya kemampuan granulosit untuk berdiferensiasi. Pada pemeriksaan darah tepi
dijumpai peningkatan jumlah granulosit dan adanya sel-sel imatur termasuk sel blast.

CML merupakan translokasi dari kromosom 9 dan 22 yang disebut dengan kromosom
Philadelphia. CML dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase, yaitu:

1. Fase kronik, dimana 85% pasien didiagnosa pada fase ini.


2. Fase akselerasi, dan
3. Krisis blast, dimana merupakan tahapan akhir dari perjalanan penyakit CML, serupa

seperti leukemia akut dengan progresifitas yang cepat.16

3.9.1 Etiologi
CML lebih sering terjadi pada orang dewasa dan bertanggung jawab hanya untuk 3%

dari kasus leukemia pada masa kanak-kanak. Penyebab dari CML pada anak-anak belum
diketahui. Tidak ada bukti klinis yang jelas tentang faktor predisposisi keturunan, juga tidak
dijumpai peningkatan resiko terhadap CML pada gangguan kromosom preleukemik seperti
pada anemia Fanconi dan Down syndrome. Pada kebanyakan kasus, tidak terdapat faktor
predisposisi.16

Pada kasus tertentu, hubungan CML dengan paparan radiasi telah dijelaskan, terutama
pada anak umur 5 tahun, seperti yang telah dilaporkan di Jepang pada saat adanya ledakan
hebat pada tahun 1940, juga telah dilaporkan CML terjadi pada anak-anak dengan
immunosuppresed, termasuk anak dengan infeksi HIV, dan imunosupresi pada transplantasi
ginjal.16,17

3.9.2 Patogenesis
CML adalah malignansi pertama yang dihubungkan dengan gen yang abnormal,
translokasi kromosom tersebut diketahui sebagai Philadelphia kromosom yang merupakan

41
translokasi kromosom 9 dan 22. Pada CML juga ditandai oleh hiperplasia mieloid dengan
kenaikan jumlah sel mieloid yang berdiferensiasi dalam darah dan sumsum tulang.

Kromosom Philadelphia

Pada translokasi ini, bagian dari dua kromosom yaitu kromosom 9 dan 22 berubah
tempat. Hasilnya, bagian dari gen BCR (breakpoint cluster region) dari kromosom 22
bergabung dengan gen ABL pada kromosom 9. Penyatuan abnormal ini menyebabkan
penyatuan protein tyrosine kinase yang meregulasi proliferasi sel, penurunan sel adherens dan

apoptosis. Hal ini karena pada bcr-abl produk penyatuan gen adalah juga tyrosine kinase.
15,16,17

Penyatuan protein bcr-abl berinteraksi dengan 3beta (c) subunit reseptor. Transkrip
bcr-abl aktif secara terus-menerus dan tidak membutuhkan aktivasi oleh protein sel yang
lainnya. Bcr-abl mengaktivasi kaskade dari protein yang mengontrol siklus sel, mempercepat
pembelahan sel. Kemudian, protein bcr-abl menghambat perbaikan DNA, menyebabkan
instabilitas gen dan menyebabkan sel dapat berkembang lebih jauh menjadi gen yang
abnormal. Tindakan dari protein bcr-abl adalah penyebab patofisiologi dari CML. Dengan
pemahaman tentang protein bcr-abl dan tindakannya sebagai tyrosine kinase, targeted
therapy dikembangkan yang secara spesifik menghambat aktifitas dari protein bcr-abl.
Inhibitor dari tyrosine kinase dapat menyembuhkan CML, karena bcr-abl tersebut adalah
penyebab dari CML.15,16

42
3.9.3 Klasifikasi
CML sering dibagi menjadi tiga fase berdasarkan karakteristik klinis dan hasil
laboratorium. CML dimulai dengan fase kronik, dan setelah beberapa tahun berkembang
menjadi fase akselerasi dan kemudian menjadi fase krisis blast. Krisis blast adalah tingkatan
akhir dari CML, dan mirip seperti leukemia akut. Perkembangan dari fase kronik melalui
akselerasi dan krisis blast diperoleh kromosom abnormal yang baru yaitu kromosom
philadelphia. Beberapa pasien datang pada tahap akselerasi ataupun pada tahapan krisis blast

pada saat mereka didiagnosa.16

1. Fase Kronis

85% pasien dengan CML berada pada tahapan fase kronik pada saat mereka
didiagnosa dengan CML. Selama fase ini, pasien selalu tidak mengeluhkan gejala atau hanya
ada gejala ringan seperti cepat lelah dan perut terasa penuh. Lamanya fase kronik bervariasi
dan tergantung seberapa dini penyakit tersebut telah didiagnosa dan terapi yang digunakan
pada saat itu juga. Tanpa adanya pengobatan yang adekuat, penyakit dapat berkembang
menuju ke fase akselerasi.

2. Fase Akselerasi

Pada fase akselerasi hitung leukosit menjadi sulit dikendalikan dan abnormalitas
sitogenik tambahan mungkin timbul. Kriteria diagnosa dimana fase kronik berubah menjadi
tahapan fase akselerasi bervariasi. Kriteria yang banyak digunakan adalah kriteria yang
digunakan di MD Anderson Cancer Center dan kriteria dari WHO.

Kriteria WHO untuk mendiagnosa CML, yaitu :

 10-19% myeloblasts di dalam darah atau pada sumsum tulang.


 >20% basofil di dalam darah atau sumsum tulang.
 Trombosit <100.000, tidak berhubungan dengan terapi.
 Trombosit >100.000, tidak respon terhadap terapi.
 Evolusi sitogenik dengan adanya abnormal gen yaitu kromosom philadelphia.
 Splenomegali atau jumlah leukosit yang meningkat.

Pasien diduga berada pada fase akselerasi berdasarkan adanya tanda- tanda yang telah
disebutkan di atas. Fase akselerasi sangat signifikan karena perubahan menjadi krisis blast
berjarak berdekatan.

43
3. Krisis blast

Krisis blast adalah fase akhir dari CML, dan gejalanya mirip seperti leukemia akut,
dengan progresifitas yang cepat dan dalam jangka waktu yang pendek. Krisis blast
didiagnosa apabila ada tanda-tanda sebagai berikut pada pasien CML :

 24 >20% myeloblasts atau lymphoblasts di dalam darah atau sumsum tulang.


 Sekelompok besar dari sel blast pada biopsi sumsum tulang.
 Perkembangan dari chloroma.

3.9.4 Tanda dan gejala


Umumnya gejala CML biasanya tidak spesifik, gejalamya tergantung dari
progresifitas penyakit yang sesuai dengan fase-fasenya. Gejala CML pada fase kronik adalah
fatigue, malaise dan penurunan berat badan. Abdominal discomfort, yang disebabkan oleh
splenomegali, biasanya juga dijumpai. Gejala biasanya tidak nyata, dan diagnosis sering
ditegakkan bila pemeriksaan darah dilakukan atas alasan lain. Penderita mungkin datang
dengan splenomegali (yang dapat masif) atau dengan gejala hipermetabolisme termasuk
kehilangan berat badan, anoreksia, dan keringat malam. Gejala leukostasis seperti gangguan

penglihatan atau priapismus, jarang terjadi.15,16

Pasien sering asimptomatik pada saat pemeriksaan, hanya ditemukan peningkatan


leukosit pada pemerikasaan jumlah leukosit dalam pemeriksaan darah. Pada keadaan ini
CML harus dibedakan dari reaksi leukemoid, yang mana pada pemeriksaan darah tepi
memiliki gambaran yang serupa. Gejala dari CML adalah malaise, demam, gout atau nyeri
sendi, meningkatnya kemungkinan infeksi, anemia, trombositopenia, mudah lebam, dan
didapatnya splenomegali pada pemeriksaan fisik, gejala ini timbul seiring dengan

perkembangan penyakitnya. 15,16,17

Mayoritas dijumpai splenomegali, penemuan lain biasanya tidak spesifik.


Hepatomegaly teraba (1-2 cm) tetapi hepatomegali hebat dan limfadenopati sangat tidak
umum, kecuali penyakit itu sudah fase lanjut atau blast krisis. Tanda leukositosis (e.g. retinal
hemoragik, papil edema, priapismus). Biasanya hanya kelihatan jika leukosit sangat tinggi
(>300×10 9/L). Beberapa laporan menduga bahwa tanda-tanda CML lebih umum pada anak-
anak daripada dewasa.

44
3.9.5 Diagnosis
Diagnosa CML diperoleh berdasarkan pemeriksaan histopatologik darah tepi dan

pemeriksaan sumsum tulang. Kelainan laboratorium biasanya mula-mula terbatas pada

kenaikan hitung leukosit, yang dapat melebihi 100.000/mm3, dengan semua bentuk sel
mieloid tampak di apus darah. CML sering didapat diagnosanya berdasarkan pemeriksaan
darah, yang mana menunjukkan peningkatan granulosit dari berbagai jenis, termasuk sel
mieloid yang matur. Basofil dan eosinofil biasanya meningkat. Peningkatan ini dapat menjadi
indikasi untuk membedakan CML dari reaksi leukemoid. Biopsi sumsum tulang sering
dilakukan sebagai evaluasi dari CML. Pada pemeriksaan sumsum tulang CML ditandai
dengan hiperseluler di dalam semua fase. Pada fase kronis terjadi peningkatan terutama
hiperplasia dari sel granulositik.16

Temuan pada apusan darah tepi dan hitung jenis :

 jumlah basofil dan eosinofil


 Leukosit total 20.000-60.000 sel/μL, dengan sedikit peningkatan pada jumlah
basophil dan eosinofil
 Anemia ringan hingga sedang, biasanya normokromik normositer
 Trombosit rendah, normal, atau meningkat
 Leukocyte alkaline phospatase sangat rendah hingga tidak ada
 Leukoerythroblastosis, dengan sel imatur pada sumsum tulang
 Sel mieloid muda (mieloblas, mielosit, metamielosit, nucleated RBC)

Temuan pada sumsum tulang :

 Kromosom Ph (kromosom translokasi resiprok diantara kromosom


 Mutasi BCR/ABL
 Hiperseluler, yang dipenuhi oleh sel mieloid (neutrofil, eosinofil, basofil) dan sel
progenitornya
 Fibrosis sedang pada retikulin15

45
Diagnosa utama dari CML diperoleh dari ditemukannya kromosom philadelphia.
Kromosom abnormal yang khas ini dapat didetekesi dari pemerikasaan sitogenetik rutin,
dengan hibridisasi fluoresen in situ atau dengan PCR untuk gen bcr-abl yang menyatu.

Terdapat kontroversi terhadap Ph-negatif CML, atau kasus terhadap kecurigaan CML
dimana kromosom philadelphia tidak dapat dideteksi. Banyak pasien yang faktanya memiliki
kromosom abnormal yang kompleks yang menutupi translokasi kromosom 9 dan kromosom
22, atau mempunyai bukti dari translokasi oleh FISH atau oleh RT-PCR sehubungan dengan

karyotyping rutin yang normal.16

3.9.6 Tatalaksana
Tujuan dari penatalaksanaan CML adalah :

- Perbaikan hematologi (darah rutin dan pemeriksaan fisik normal, tidak terdapat
organomegaly)
- Perbaikan sitogenetik (susunan kromosom normal dengan sel Ph 0%)
- Perbaikan molekuler (PCR untuk BCR/ABL mRNA negatif)15

Pada fase kronis CML diterapi dengan inhibitor tyrosine kinase, yang pertama adalah
imatinib mesylate (Gleevec, Glivec). Penggunaan Imatinib telah disetujui oleh FDA Amerika
Serikat dan dikhususkan untuk bcr-abl, yang mengaktifkan penyatuan protein tyrosine kinase
yang disebabkan oleh translokasi kromosom philadelphia. Imatinib ini dapat ditolerir lebih
baik dan lebih efektif dibandingkan terapi sebelumnya. Transplantasi sumsum tulang juga
digunakan sebagai terapi pilihan untuk CML.

Pada sindrom tumor lysis diberikan hidrasi, alkalinisasi, dan allopurinol. Pada

hiperleukositosis pada CML yang ditandai dengan jumlah leukosit >200.000/mm3 mulai
diberikan hydroxyurea 50-75 mg/kgBB/hari. Imatinib mulai diberikan setelah diagnosis dari
Ph-positif CML telah ditegakkan. Bila terdapat respon yang kurang memuaskan terhadap

Imatinib maka digunakan IFN-α atau IFN-α dan Ara-C 5×10 6 unit/m2 per hari secara
subcutan atau intramuskular. Hydroxyurea digunakan untuk menurunkan jumlah leukosit

menjadi 10.000- 20.000 /mm3 dan dapat diturunkan dosisnya secara bertahap dan tidak
dilanjutkan kembali.

46
Respon terhadap pengobatan dapat diketahui berdasarkan beberapa kriteria,

diantaranya kriteria secara hematologi. Apabila leukosit kurang dari 9000/mm 3, tidak
dijumpai splenomegali dan morfologi normal maka hal ini menunjukkan adanya respon

pengobatan secara keseluruhan (complete response). Bila leukosit kurang dari 20.000/mm 3,
dijumpai splenomegali maka terdapat respon pengobatan parsial (partial respon). Dikatakan

pengobatan gagal apabila leukosit lebih dari 20.000/mm 3 dan dijumpai splenomegali. Pada
pasien muda atau pasien yang tidak toleransi atau resistensi terhadap tyrosine kinase inhibitor
dapat dilakukan transplantasi sel induk untuk memberikan hasil yang lebih baik.

Pada fase akselerasi, penyakit ini akan berkembang lebih cepat sehingga
membutuhkan pendekatan yang lebih intensif. Pengobatan pada fase akselerasi dan fase blast
adalah kombinasi obat kemoterapi yang diberikan secara intravena. Tujuan terapi pada fase
ini adalah untuk menghancurkan sel leukemik dan mengembalikan fungsi sumsum tulang
normal lagi, atau untuk mengembalikan pasien pada fase kronik penyakitnya.16

3.9.7 Prognosis
Angka harapan hidup rata-rata pada pasien dengan CML adalah 3-5 tahun sejak
didiagnosis. Akhir-akhir ini, rata-rata angka harapan hidup pada pasien CML mencapai 5
tahun atau lebih (50-60%). Hal ini dapat dicapai jika pasien dapat didiagnosa lebih awal,
pemberian terapi dengan interferon dan transplantasi sumsum tulang, serta perawatan pasien
yang baik. Pasien yang sudah masuk pada fase blast yang memiliki manifestasi yang mirip
dengan leukemia akut, mempunyai prognosis yang sangat buruk. Pemberian terapi tidak
memberikan hasil yang memuaskan, dan pada umumnya pasien mempunyai angka harapan
hidup antara 3-6 bulan.15

47
BAB IV KESIMPULAN

Tn. JS Umur 42 Tahun tinggal di tanjung anam Bengkulu utara, Sengeti, masuk tanggal 8
November 2015. Pasien datang dengan keluhan tubuhnya lemas yang memeberst sejak 2 hari
SMRS. Pasien kurang lebih 4 tahun yang lalu mengalami batuk terus menerus, batuk tidak
berdahak dan berdarah. Keluhan disertai lemas, mudah lelah, dan keringat malam. Pasien
juga mengeluhkan nafsu makan turun dan penurunan berat badan yang signifikan yaitu dari
65 Kg menjadi 50 Kg 1 bulan terakhir sebelum masuk rumah sakit. Pasien kemudian berobat
ke rumah sakit charitas argamakmur dan didapatkan leukosit meningkat yaitu 320.000. lalu
pasien di rujuk ke rumah sakit M. yunus kota Bengkulu. Setelah dirawat 3 hari pasien
kemudian di rujuk ke rumah sakit Palembang untuk dilakukan pemeriksaan BMP (Bone
marrow puncture) dan tatalaksana lebih lanjut. Setelah hasil pemeriksaan keluar pasien di
diagnosis Chronic Myeloid Leukimia (CML). Setelah rutin kontrol 3 bulan di Palembang
pasien dialihkan untuk mengambil obat rutin di RSUD M. yunus kota Bengkulu.

Sejak 3 bulan terakhir pasien sering merasakan lemas dan mudah lelah. Pasien juga
mengeluhkan sering demam menggigil hilang timbul. Demam muncul tidak menentu, namun
setelah minum obat demam langsung turun. Pasien sering berobat ke mantra jika demam dan
lemas, lalu pasien di berikan obat paracetamol, antibiotik, dan suntik vitamin neurobion.

Sejak satu bulan terakhir, demam terus menerus. Saat demam badan terasa menggigil,
demam naik turun dan mencapai suhu normal, demam muncul tidak menentu dan tibatiba,
saat demam turun pasien merasakan keringat dingin. Keluhan disertai badan semakin lemas,
mudah lelah, dan bibir pucat. Pasien juga mengeluhkan batuk terus menerus, batuk tidak
berdahak dan tidak berdarah. Pasien juga mengeluhkan penurunan nafsu makan dan
penurunan berat badan yang signifikan. Saat malam hari pasien sering berkeringat. Pasien
juga mengeluhkan muncul benjolan di leher kanan, benjolan sebesar kelereng, benjolan nyeri
berdenyut saat demam. Selain itu, pasien juga mengeluhkan perut terasa begah, tegang dan
membesar. Keluhan perut begah dan besar hilang timbul, pasien mengatakan perut terasa
besar hilang timbul sejak pertama kali di diagnosa leukemia. Pasien juga mengeluhkan BAB
sedikit encer namun masih ada ampasnya dan berwarna kecoklatan, BAB berwarna hitam
disangkal, BAB bercampur darah disangal, BAB berlendir dan berbau asam disangkal. Buang
air kecil (BAK) pasien tidak ada keluhan, lancar, tidak tersendat, berwarna kuning terkadang

48
seperti teh, pasien merasa puas saat setelah BAK, BAK berpasir disangkal, berbuih disangkal,
BAK berdarah disangkal. Pasien kemudian berobat ke charitas dan diagnosa typhoid. Setelah
di rawat 5 hari pasien dan dilakukan transfusi darah 1 kolf pasien pulang.
Sejak 1 minggu yang lalu pasien kembali berobat dengan keluhan yang sama, dan
benjolan di leher bertambah banyak, benjolan disertai nyeri saat muncul demam dan pana lalu
pasien di rujuk ke RSMY.

Pasien didiagnosis sebagai anemia e.c CML fase akselarasi. Didapatkan dari
pemeriksaan fisik ditemukan adanya konjungtiva anemis pada kedua mata, bibir pucat,
mukosa mulut kering, terdapat pembesaran KGB di colli bilateral, axila bilateral,
submandibular, inguinal bilateral. abdomen yang membesar, nyeri tekan epigastrium
(+),hepar teraba 2 jari dibawah arcus costae, lien teraba keras pada schuffner 3 dengan
permukaan licin dan perkusi pekak pada hampir seluruh abdomen. Pada pemeriksaan darah
rutin didapatkan peningkatan jumlah sel darah putih dan RDW serta penurunan sel darah
merah, hemoglobin dan peningkatan leukosit. Dari hasil pemeriksaan Aspirasi Sumsum
Tulang didapatkan rasio antara Myeloid dan Eritrosit 186 : 7 dengan nilai normal 3:1 atau
4:1. Dan pada pasien disertai juga splenomegali atau jumlah leukosit yang meningkat yang
menandakan CML fase akselarasi. Untuk memastikan lagi didiagnosis, perlu dilakukan
pemeriksaan BCR-ABL. Tatalaksana yang diberikan pada pasien adalah terapi dengan
kemoterapi, antibiotik, analgetik, antiemetik, sukralfat, dan rencana transfusi darah.

Anemia didefinisikan sebagai suatu kondisi di mana jumlah sel darah merah atau
konsentrasi hemoglobin di dalamnya lebih rendah dari biasanya. 3 Anemia secara fungsional
didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi
fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan
oxygen carrying capacity).

Anemia dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab, dan biasanya setiap kejadian
anemia terjadi akibat beberapa kemungkinan penyebab. Pada tahun 2002, defisiensi besi
diketahui paling banyak menyebabkan anemia dibanding penyebab lainnya. Bahkan, dapat
dikatakan bahwa 50% kasus anemia disebabkan oleh anemia defisiensi besi. Penyebab lain
dari anemia yang sering terjadi antara lain akibat kehilangan darah banyak saat menstruasi,
infeksi parasit, infeksi kronik, keganasan, defisiensi mikronutrien (asam folat, vitamin B12,
vitamin A, riboflavin), dan hemoglobinopati.1 CML adalah gangguan pada sumsum tulang dimana
terjadi proliferasi dari granulosit yang matur (neutrofil, eosinofil, dan basofil). CML adalah salah satu

49
tipe penyakit mieloproliferasi yang dihubungkan dengan adanya translokasi kromosom 9 dan 22 yang
disebut dengan philadelphia chromosome.

CML dapat diklasifikasikan menjadi tiga fase, yaitu fase kronik (85% pasien didiagnosa pada
fase ini), fase akselerasi, dan krisis blast, dimana merupakan tahapan akhir dari perjalanan penyakit
CML. Gambaran klinis CML antara lain splenomegali, anemia, memar, demam, epistaksis,
menorhagia, gout, nyeri tulang dan gejala-gejala lain yang berhubungan dengan hipermetabolisme
(penurunan berat badan, anoreksia, atau keringat malam) tuan protein tyrosine kinase yang meregulasi
proliferasi sel.

Diagnosa CML diperoleh berdasarkan pemeriksaan histopatologik darah tepi dan pemeriksaan
sumsum tulang. Diagnosa utama dari CML diperoleh dari ditemukannya kromosom philadelphia.
Pada fase kronis CML diterapi dengan inhibitor tyrosine kinase. Pengobatan pada fase akselerasi dan
fase blast adalah kombinasi obat kemoterapi yang diberikan secara intravena. Tujuan terapi pada fase
ini adalah untuk menghancurkan sel leukemik dan mengembalikan fungsi sumsum tulang normal lagi,
atau untuk mengembalikan pasien pada fase kronik penyakitnya.

50
DAFTAR ISI

1. World Health Organization. Iron Deficiency Anaemia : Assessment, Prevention, and


Control. Switzerland : WHO, 2001.
2. Benoist B, dkk. Worldwide Prevalence of Anaemia 1993-2005. Switzerland : WHO,
2008.
3. Gaspar BL, Sharma P, Das R. Anemia in malignancies: Pathogenetic and Diagnostic
Considerations. Hematology. 2015 ; 20 (1) : 18-25
4. Susilawati & Kadriyan H. Incidence of Anemia in Patient With Nasopharyngeal
Carcinoma at Ent-Hns Department West Nusa Tenggara. Iternational Journal Of
Nasopharyngeal Carcinoma (Ijnpc).2019 ; 01 (01) : 33-35
5. Kiffle E, Hussein M, Tigeneh W. Prevalence of Anemia and Associated Factors
among Newly Diagnosed Patients with Solid Malignancy at Tikur Anbessa
Specialized Hospital, Radiotherapy Center, Addis Ababa, Ethiopia. Adv Hematol.
2019 ; 2019 : 1-8
6. Hardianti MS, Rizki SHM, Arkananda H, et al. Anemia in Lymphoma Patients in
Indonesia: The Prevalence and Predictive Factors. Asian Pacific Journal of Cancer
Biology. 2021 ; 6 (4) : 235-241

7. Rosdiana, N. Pendekatan diagnosa pucat pada anak. MKN 2008 Jun:41(2).


8. Oehadian, A. Pendekatan klinis dan diagnosa anemia. CDK 2012 Agus 6:39(6).

9. Turner J, Parsi M, Badireddy M. Anemia. StatPearls Publishing LLC. 2022


10. Ademola AS & Abiola OA. Morphologic Evaluation of Anemia – I. Biol Med
(Aligarh). 2016 ; 8 (6) : 1-7
11. National Institute of Health. Your Guide to Anemia. NIH Publication. 2011. (11-
7629)
12. Saxena R, Chamoli S, Batra M. Clinical Evaluation of Different Types of
13. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II. Jakarta : FKUI, 2009.
14. Febriani A & Rahmawati Y. Efek Samping Hematologi Akibat Kemoterapi dan
Tatalaksananya. Jurnal Respirasi JR. 2019 ; 5 (1) : 22-28
15. Besa, EC, et al. Chronic myelogenous leukemia. Medscape 2015 Okt 13. Diunduh
dari URL: http://emedicine.medscape.com/article/199425- overview. Diakses 10
November 2015

51
16. eslop, E. Leukemia myeloid kronik. Dalam nelson ilmu kesehatan anak, editor:
Nelson, Waldo E. Ed 15 vol 3. Jakarta: EGC;2005.
17. Leukaemia Foundation. Chronic myeloid leukaemia (CML). Diunduh dari
URL:http://www.leukaemia.org.au/blood-cancers/leukaemias/chronic- myeloid-
leukaemia-cml. Diakses 10 November 2015.

52

Anda mungkin juga menyukai