Anda di halaman 1dari 25

EPIDEMIOLOGI

"KUSTA"

Dr.dr.Tri Astuti Sugiyatmi, MPH

Disusun Oleh

Nama: Niken Ramawati

NPM: 2040704010

PROGRAM S1 KEBIDANAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN

TARAKAN

2021
Kusta
A. Definisi Kusta

Penyakit kusta adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh bakteri Mycobacterium
leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada syaraf tepi dan mukosa dari saluran
pernapasan atas, dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta
dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, syaraf- syaraf, anggota gerak, dan mata.

Penyakit kusta, oleh sebagian besar orang lebih dikenal dengan istilah penyakit lepra (leprosy), sampai
saat ini masih merupakan penyakit yang ditakuti oleh masyarakat, bahkan oleh sebagian petugas kesehatan.
Selama ini di masyarakat berkembang stigma bahwa kusta merupakan penyakit kutukan Tuhan, penyakit
keturunan atau karena ilmu gaib yang sulit disembuhkan bahkan tidak bisa disembuhkan, dianggap
memalukan dan menimbulkan aib bagi keluarga. Dampaknya masyarakat cenderung bersikap negatif
terhadap penderita kusta. Menolak, menjauhi, memandang rendah dan mencela, merupakan contoh nyata
yang sering ditemukan. Tak jarang perlakuan diskriminatif justru dilakukan oleh keluarganya sendiri.
Stigma negatif tersebut mencerminkan tingkat pengetahuan masyarakat tentang kusta masih rendah.
Ironisnya, stigma yang diberikan oleh masyarakat terhadap penderita penyakit kusta akan tetap melekat
meskipun penderita tersebut secara medis telah dinyatakan sembuh dari penyakit yang dideritanya. Hal ini
memperburuk psikologi penderita.

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit infeksi kronis pada kulit dan saraf tepi disebabkan oleh
Mycobacterium Lepra. Penderita kusta mengalami cacat tubuh, kulit, kaki, tangan dan jari-jari karena
hilangnya perlindungan sensasi nyeri, dampak sosial yang menjadi sumber permasalahan kehidupan
penderita kusta yaitu kecacatan pada tubuhpenderita yang membuat sebagian besar masyarakat merasa jijik
dan umumnya akan menyebabkan penderita dijauhi, dikucilkan oleh masyarakat, dan timbulnya
tindakandiskriminasi dan sulit mendapatkan pekerjaan (Kemenkes RI, 2015).

Kuman kusta dapat menyebar secara langsung maupun tidak langsung dengan penggunaan peralatan
pribadi (sabun, handuk, sisir) secara bersama yang terkontaminasi kuman. Kuman kusta lebih cepat
menyebar pada kelompok padat huni. Kepadatan hunian yang tidak memenuhi standar berisiko menularkan
kusta multibasiler 3x lebih cepat (Rismawati, 2014).
B. Sejarah

Penyakit kusta telah dikenal sejak zaman purbakala. Saat itu masyarakat hanya mengetahui akibat
yang terjadi pada penderita kusta karena menimbulkan kecacatan sehingga menyebabkan leprophobia bagi
masyarakat (Muharry, 2014). GBahkan dalam kitab Perjanjian Lama pada Leveticus XIII-XIV disebutkan
kusta sebagai suatu yang najis dan merupakan kutukan dari Tuhan, sehingga tindak lanjutnya adalah dengan
membuang para penderita ini dan tidak diperbolehkan berkumpul dengan masyarakat (Singh et al 2013).
Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang kusta merupakan hambatan dalam program pengendalian
penyakit kusta. Penelitian Sulidah (2007) di wilayah kerja Puskesmas Juata Permai mengidentifikasi 71,1%
masyarakat belum mengenal tentang penyakit kusta dan 59,2% menunjukkan sikap negatif pada penderita
kusta.

Jumlah penderita kusta pada tahun 2016 yang dilaporkan dari 143 negara di semua regional WHO
adalah sebanyak 214.783 kasus baru kusta dan prevalensi terlapor adalah 171.948 kasus, dengan angka
cacat tingkat 2 sebesar 12.819 per 1.000.000 penduduk dan jumlah kasus anak di antara kasus baru
mencapai 18.230 (WHO, Weekly Epidemiological Record, 1 September 2017 Penyakit menahun (kronis),
menyerang syaraf tepi, kulit & organ tubuh lain (kecuali sistem saraf pusat) Gejala awal : seperti panu,
berkembang lambat. Masa tunas : 2-5 tahun Kuman kusta bersarang di kulit -> hidung keropos, kulit
anggota gerak rusak, saraf kulit mati -> tidak merasakan apa2 -> luka tanpa disadari -> cacat fisik

C. Penyebab Kusta

Penyebab dari penyakit ini adalah kuman kusta yang berbentuk batang di kelilingi oleh membran
sel lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium, dan biasa berkelompok dan ada yang tersebar
satu – satu dengan ukuran panjang 1-8 mic, lebar 0,2 - 0,5 mic yang bersifat tahan asam, Mycobacterium
leprae juga merupakan bakteri aerobik, tidak membentuk spora. Sifat tahan asam Mycobacterium leprae
disebabkan adanya asam mikolat dan komponen seperti lilin yang mengikat karbol fuksi ini Kuman
Mycobacterium leprae dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1 – 9 hari tergantung pada suhu dan cuaca
dan di ketahui kuman kusta yang utuh yang dapat menimbulkanpenularan. Kuman Mycobacterium leprae
menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita dan melalui pernapasan, kemudian
kuman membelah dalam jangka 14 – 21 hari dengan masa inkubasi rata- rata dua hingga lima tahun. Setelah
lima tahun, tanda-tanda seorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit mengalami bercak
putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

D. Klasifikasi kusta
Klasifikasi Ridley-Jopling, penyakit kusta dapat di klasifikasikan dalam tiga tipe, yaitu : Kusta tipe
indetermnate (I), Tuberculoid (TT), Borderline Lepramatause (BL), dan Lepramatouse (LL).4Sedangkan
menurut WHO penyakit kusta di klasifikasikan dalam dua tipe yaitu : tipe Pausi Basiler (PB), dan tipe Multi
Basiler(MB).

1). Klasifikasi Ridley-Jopling

a) Penyakit KustaIndeterminate
Lesi kulit terdiri dari suatu makula yang pipih dan tunggal, biasanya sedikit hipopigmentasi ataupun
sedikit erythematose, sedikit oval ataupun bulat dalam hal bentuk. Permukaannya rata dan licin,
tidak di temukan tanda-tanda ataupun perubahan tekstur kulit. Pemeriksaan Basil Tahan Asam
(BTA) pada umumnya negatif atau sedikit positif.
b) Penyakit Kusta TipeTubercoloid
Jenis Lesi ini pada umumnya bersifat stabil, lesi pada umumnya berwarna kemerah-merahan dan
kecoklat-coklatan ataupun mengalami hipopigmentasi berbentuk oval atau bulat, berbatas tegas
dari kulit yang normal disekitarnya.
c) Penyakit Kusta TipeBordeline
Tipe ini sangat labil (tidak stabil), lesi-lesi kulit pada umumnya sukkulent atau eras, pleimorfik
menebal secara seragam (uniform) atau pun dengan suatu daerah penyambuhan sentral.
d) Penyakit Kusta Tipe Bordeline Tuberculoid(BT)
Lesi kulit dapat ditentukan dari beberapa sampai banyak berwarna kemerah–merahan sampai
kecoklat-coklatan atau hypochronik, dan ada lesi-lesi yang tersendiri yang dapat meninggi batasnya
tampak dengan nyata apabila dibandingkan dengan kulit yang sehat di sekelilingnya. Syaraf–syaraf
tepi kadang dapat terus menebal, dengan hasil pemeriksaan BTA positif yang ringan.
e) Penyakit Kusta Tipe Bordeline Lepramatouse(BL)
Lesi kulit bentuknya berbagai ragam, bervariasi dalam hal ukuran, menebal atau mengalami
infitrasi, berwarna kemerah- merahan ataupun kecoklatan, sering banyak dan meluas. Hasil
pemeriksaan BTA adalah positif.
f) Penyakit Kusta Tipe Lepramatouse(LL)
Pada tipe penyakit kusta Lepramatouse yang sub polar, lesi- lesi kulit sangat menyerupai lesi-lesi
penyakit kusta Lepramatouse yang polar, namun masih dijumpai sejumlah kecil sisa lesi-lesi dari
kusta yang asimetrik, juga kerusakan syaraf (tepi yang asimetrik dengan pembesaran syaraf dapat
pula diperlihatkan pada tipe kusta ini.E. Klasifikasi menurut WHO

2). Klasifikasi kusta menurut WHO dapat di golongkan dalam dua tipe yaitu
1. Tipe Pause Basiler(PB)
2. tipe Multi Basiler (MB).

E. Gambar Klasifikasi menurut WHO Tipe Pause Basiler


F. Cara Penularan

Cara penularan penyakit kusta belum di ketahui dengan jelas. Penularan dapat terjadi di dalam
rumah tangga maupun kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama. Basil di keluarkan melalui lendir
hidung pada penderita kusta tipe lepramatouse yang tidak di obati dan basil terbukti dapat hidup selama 7
hari pada lendir hidung yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta lepramatouse dapat menjadi sumber
penyebar basil. Organisme kemungkinan masuk melalui saluran pernapasan atas dan juga melalu kulit yang
terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun, penularannya diduga melalui plasenta.
mycobacterium leprae keluar dari tumbuh manusia melalui kulit dan mukosa hidung. Pada kasus
lepramatouse menunjukkan adanya sejumlah organisme di dermis kulit dan di buktikan bahwa organisme
tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun terdapat laporan bahwa di temukannya bakteri
tahan asam di epitel.17Hal ini membentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar
melalui kelenjar keringat. Jumlah dari bakteri dari lesi mukosa hidung di kusta lepramatou seantara
10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Sebagian besar pasien lepramatouse memperlihatkan adanya bakteri di
sekret hidung mereka dan mengindikasi bahwa sekret hidung dari pasien lepramatouse
dapatmemproduksi 10.000.000 organisme perhari.

Penyakit kusta dapat di tularkan dari penderita kusta tipe Multi Basiler (MB) kepada orang lain
dengan cara penularan langsung. Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu
ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain adalah penderita kusta tipe MB. Penderita Multi Basiler
(MB) tidak akan menularkan kusta apabila berobat teratur.

G. Diagnosa Penyakit Kulit

Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan banyak penyakit lain. Sebaliknya banyak
penyakit lain dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit kusta. Oleh karena itu dibutuhkan
kemampuan untuk mendiagnosis penyakit kusta secara tepat dan membedakannya dengan berbagai
penyakit yang lain agar tidak membuat kesalahan yang merugikan pasien. Diagnosis penyakit kusta
didasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda utama), yaitu : 2

1. Lesi (Kelainan) kulit yang matirasa


Kelainan kulit dapat berbentuk bercak keputih–putihan (hipopigmentasi) atau kemerah – merahan
(eritematous). Mati rasa dapat bersifat kurang rasa (nipestesi) atau tidak merasa sama sekali
(anestesi)
Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf Gangguan fungsi saraf ini
merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf bisa
berupa gangguan fungsi sensorik seperti mati rasa, gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot
(Parese) atau kelumpuhan (Paralise), gangguan fungsi otonom seperti kulit kering, retak,
pembengkakan (edema).
2. Basil tahan asam (BTA)positif
Bahan pemeriksaan BTA diambil dari kerokan kulit (skin smear), cuping telinga dan bagian aktif
suatu lesi kulit. Untuk tujuan tertentu kadang diambil dari bagian tubuh tertentu (biopsi). Seseorang
dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat sekurang- kurangnya dua dari tanda-tanda
kardinal diatas atau bila terdapat tanda (BTA positif) diambil dari bagian kulit yang dicurigai.
Bilamana terdapat hanya salah satu dari empat tanda pertama 1- 4, maka pemeriksaan laboratium
diulangi lagi, terutama bila hanya terdapat tanda infiltrat. Dan apabila tidak adanya cardinal sign
bisa dinyatakan tersangka (suspek) kusta.

Tanda-tanda tersangka (suspek) pada kulit.

Tanda-tanda pada kulit

 Kelainan kulit berupa bercak merah atau putih, atau benjolan


 Kulit mengkilap
 Bercak yang tidak gatal
 Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut
 Tanda-tanda pada saraf
 Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk, dan nyeri pada anggota badan atau bagian muka
 Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka.

Diagnosa kusta di lapangan dengan menggunakan jenis pemeriksaanyaitu

 Anamnesis
Dengan mencatat identitas penderita, riwayat tanda-tanda kulit/saraf yang dicurigai, riwayat kontak
dengan penderita.
 Pemeriksaan klinis
Dengan melakukan periksa raba pada kelainan kulit untuk mengetahui hilangnya rasa (dengan
menggunakan kapas yang di runcingkan ujungnya, maupun dengan lidi, Periksa saraf tepi dengan
perabaan, apakah ada penebalan atau nyeri raba. Untuk dapat membedakan dengan mudah apakah
ada penebalan/pembesaran perbandingan dengan yang normal pada orang sehat

Gejala-gejala klinis kusta meliputi :

a. Kehilangan perasaan
Kehilangan perasaan baik total maupun partial terhadap rasa sakit atau suhu, tanpa menifestasi pada
kulit. selain pada penyakit lepra dapat terjadi pada penyakit-penyakit dari sistem saraf pusat atau
tepi. Jika inimenunjukan gejala-gejala neurologis, sebaiknya dievakuasi oleh seseorang neurolog
yang berkompeten.
b. Hipopigmentasi
Hipopigmentasi terdapat pada anak-anak dengan riwayat keluarga positif menderita lepra suatu
waktu dapat dikacaukan dengan lesi-lesi karena fungsi, bakteri, alergi, dan kelainan-kelainan
kongenital.
c. Impetigofurfurace
Terutama terdapat pada wajah atau pada sebagian dari tumbuh, dan terutama pada anak-anak
disebabkan oleh sterpyococus, dan mempunyai gambaran yang khas, berupamakula.
d. Nevusanemicus
Dapat terlihat pada waktu lahir atau tampak pada usia yang lebih tua. Lesi-lesi terlihat bulat, atau
geometris dan ukuran bertambah besar sejalan dengan bertambahnya usia penderita. Lesi tersebut
tidak bersisik, tidak gatal, dan tidak anestetik, dan kerokan pada kulit memberi hasil yangnegative.
e. Depigmentasi (leukoderma atauvitiligo)
Leukoderma dapat merupakan keadaan sekunder dari penyakit kulit yang lebih dulu, sedangkan
vitiligo merupakan suatu penyakit primer yang disebabkan karena ketidakmampuan untuk
membentuk melanin. Kedua penyakit tersebut tidak anestetik, dan pemeriksaan laborat
menunjukkan penemuan-penemuan yang negative.
f. Tineasirsinata
Merupakan lesi bulat dan eritermatosa dengan atau tanpa cekungan atau tepi yang infiltratif sering
diduga lesi leprae khususnya jenis tuberkuloid. Tinea sirsinata disebabkan karena suatu jamur
dermatofit yang biasanya ditandai dengan sisik – sisik atau dibatasi vesikel – vesikel.
g. Erythemamultiforme
Tipe ini merupakan suatu keadaan kulit yang akut yang menunjukkan pruritus atau lebih sakit dari
anestetik bercak – bercak infiltrate terutama terdapat bilateral.
h. Dermatorniositis
Mulai muncul di wajah seperti udema, tetapi kelainan ini segera diikuti dengan nyeri otot
khususnya pada daerah dada dan pelvic, kemudian berkembang menjadi atrofi.
i. Periarteritisnodosa
Ditandai adanya nodul-nodul sepanjang rute arteri yang mirip dengan Eritema Nodosum Leprosum
sebab keduanya ada rasa sakit dan timbul secara berkelompok. Eritema Nodosum Leprosum
terdapat pada beberapa penderita dengan penyakit leprae lepromatosa yang sebelumnya sudah ada
infiltrasi yang menyeluruh atau oleh adanya nodul-nodul.
H. Faktor-faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kejadian Kusta

1. Umur
Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun demikian jarang dijumpai pada umur yang sangat
muda. Frekuensi terbanyak adalah pada umur 15-29 tahun. Pada beberapa penelitian dilaporkan
bahwa prevalensi kusta meningkat sampai usia 20 tahun, kemudian mendatar antara 20-50 tahun
dan setelah itu menurun. Kejadian kusta lebih sering terjadi pada penderita orang tua dibandingkan
pada anak-anak dan dewasa muda. terjadinya kecacatan kusta pada usia yang lebih tua tergantung
pada kondisi fisik seseorang (daya tahan tubuh), terjadinya penurunan berbagai fungsi organ tubuh
yang akan mempermudah kelompok usia tua jatuh dalam kondisi yang lebih parah dengan penyakit
yang cenderung bersifat progresif dan irreversible.
2. Jenis Kelamin
Penyakit kusta dapat menyerang semua orang. Laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan wanita.
Perbandingan 2 : 1, walaupun ada beberapa daerah yang menunjukkan insiden ini hampir sama,
bahkan ada daerah yang menunjukkan penderita wanita lebih banyak.
3. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan dianggap sebagai salah satu unsur yang ikut menentukan pengalaman dan
pengetahuan seseorang, baik dalam ilmu pengetahuan maupun kehidupan sosial.
4. Jenis lantai
Lantai merupakan dinding penutup ruangan bagian bawah, kontruksi lantai rumah harus kedap air
dan selalu kering agar mudah dibersihkan dari kotoran dan debu. Keadaan lantai rumah perlu dibuat
dari bahan yang kedap terhadap air seperti tegel, semen, keramik. Lantai yang tidak memenuhi
syarat dapat dijadikan tempat hidup dan perkembangbiakan kuman dan vektor penyakit. Selain itu
dapat menyebabkan meningkatnya kelembaban dalam ruangan.28
5. Faktor Imunitas
Pada individu dengan respon imunitas selular baik akan menjadi kusta tuberkuloid, sedang bila
respon imunitas jelek menjadi kusta lepromatosa. Respon imunitas selular meningkat sesuai dengan
bertambahnya umur, tetapi pada usia tertentu akan mengalami penurunan. Respon imun tersebut
tidak berbeda antara laki-laki dan wanita.21
6. Faktor Kuman Kusta
Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman-kuman kusta yang masih utuh kemungkinan dapat
menimbulkan penularan, sedangkan bentuk yang tidak utuh tidak menular. Suatu kenyataan kuman
bentuk utuh yang keluar dari tubuh yang sakit tidak banyak. Juga faktor lamanya kuman kusta di
luar badan manusia memegang peranan pula
dalam hal penularan ini, yaitu bila kuman keluar dari badan penderita maka kuman dapat bertahan
1-2 hari dan ada pula yang berpendapat 7 hari, hal ini tergantung dari suhu/cuaca di luar, maka
panas cuaca di luar makin cepat kuman kusta akan mati.27
7. Kelembaban
Kelembaban sangat penting untuk pertumbuhan kuman penyebab penyakit. Kelembaban yang
tinggi dapat menjadi tempat yang disukai oleh kuman untuk pertumbuhan dan
perkembangbiakannya.29Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan
hygrometer. Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang memenuhi syarat
kesehatan dalam rumah adalah 40-70% dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat
kesehatan adalah <40% atau >70%. Komponen rumah harus memenuhi persyaratan fisik dan
biologis agar aman bagi penguhinya, salah satunya adalah lantai harus kedap air. Jenis lantai tanah
menyebabkan kondisi rumah menjadi lembab yang memungkinkan segala bakteri berkembangbiak.
Hal ini menyebabkan kondisi ketahanan tubuh menjadi lebih buruk, sehingga dapat menyebabkan
gangguan atau penyakit terhadap penghuninya dan memudahkan seseorang terinfeksi
penyakit.30Kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering
sehingga kurang efektif dalam menghadang mikro organism.Kelembaban unutk Mycobactrium
leprae dapat hidup dalam secret hidung yang dikeringkan pada temperature kamar 36,70C dengan
kelembaban 77,6%.30Mycobacterium leprae hidup diluar hospes dengan temperature dan
kelembaban yang bervariasi. Mycobacterium leprae dapat bertahan hidup 7-9 hari pada
kelembaban 70,9%. Sedangkan pada temperatur kamar dibuktikan dapat bertahan hidup sampai
46hari.
8. Ventilasi
Ventelasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan
manusia. Berdasarkan kejadiannya, maka ventelasi dapat dibagi ke dalam dua jenis yaitu
a. Ventilasi alam.
Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu: daya difusi dari gas-gas, gerakan angin dan
gerakan massa di udara karena perubahan temperatur. Ventilasi alam ini mengandalkan pergerakan
udara bebas (angin). temperatur udara dan kelembabannya. Selain melalui jendela, pintu dan lubang
angin, maka ventilasi pun dapat diperoleh dari pergerakan udara sebagai hasil sifat porous dinding
ruangan, atap dan lantai.
b. Ventilasi buatan.
Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan dengan menggunakan alat mekanis maupun
elektrik. Alat-alat tersebut diantaranya adalah kipas angin, exhauster dan AC (Air
Conditioner).Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa
pengaruh bagi penghuninya. Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi yaitu:
 Menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetep segar / bersih, ini berarti keseimbangan
oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan
menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah yang berarti kadar CO2yang bersifat racun
bagi penghuni rumah akan meningkat. Disamping itu tidak cukupnya ventilasi akan
menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan
cairan dari kulit.
 Membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri pathogen karena terjadinya
aliranudara
 yang terus-menerus sehingga bakteri yang terbawa udara akan selalu mengalir.
 Menjaga agar ruangan rumah selalu tetap di dalam kelembaban yang optimum.
 Tersedianya udara segar dalam rumah atau ruangan amat dibutuhkan manusia. Suatu ruangan
yang tidak mempunyai ventilasi yang baik akan menyebabkan kadar oksigen yang kurang,
kadar karbondioksida meningkat, ruangan akan berbau dan kelembaban udara akan meningkat.
 Menurut indicator penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah
≥10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah <
10%luas lantai rumah (Depkes RI, 2005). Menurut Lubis (1989), luas ventilasi yang tidak
memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran aliran udara
dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman kusta yang ada di dalam
rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.
 Rumah atau bangunan yang sehat haruslah mempunyai suhu yang diatur sedemikian rupa
sehingga suhu badan dapat dipertahankan. Jadi suhu dalam ruangan harus dapat diciptakan rupa
sehingga tubuh tidak terlalu banyak kehilangan panas atau sebaliknya tubuh tidak sampai
kepanasan.33
9. Kepadatan hunian
Kuman M.lepra sebagai penyebab penyakit kusta merupakan kuman yang hidup dengan baik di
suhu 27-300C. Maka jika suhu di suatu rumah tidak memenuhi suhu normal (18-200C), rumah atau
ruangan tersebut berpotensi untuk menularkan penyakit menular, seperti
kusta.33Ketidakseimbangan antara luas rumah dengan jumlah penghuni akan menyebabkan suhu
didalam rumah menjadi tinggi dan hal ini dapat mempercepat penularan kusta. Tidak padat hunian
(memenuhi syarat ) adalah jika luas >9 m2per orang dan padat penghuni jika luas < 9 m2per
orang.34
10. Riwayat Kontak dengan penderita
Riwayat kontak adalah riwayat seseorang yang berhubungan dengan penderita kusta baik serumah
maupun tidak. Sumber penularan kusta adalah kusta utuh yang berasal dari penderita kusta, jadi
penularan kusta lebih mudah terjadi jika kontak dengan penderita kustalangsung.35
11. Jumlah kontak serumah pada penderita lepramatouse sebesar 4 kali lebih banyak yang kemudian
menderita kusta disbanding dengan tiap tuberkuloid dengan adanya hal tersebut dapat dipastikan
bahwa kontak serumah merupakan kelompok yang paling terancam (high risk) untuk menderita
penyakit kusta.36
12. Lama kontak
Lama kontak adalah jumlah waktu kontak dengan penderita kusta. Penyakit kusta menular melalui
kontak yang lama (2-5 tahun). penyakit kusta mempunyai masa inkubasi 2-5 tahun.36
13. Personal hygiene
Personal hygiene (kebersihan perorangan) merupakan tindakan pencegahan yang menyangkut
tanggung jawab individu untuk meningkatkan kesehatan serta membatasi penyebaran penyakit
menular. Pencegahan penyakit kusta dapat dilakukan dengan meningkatkan personal hygiene,
diantaranya pemeliharaan kulit, pemeliharaan rambut dan pemeliharaankuku.

I. Tata laksana
1. Farmakologis
Multi drug therapy Multi Drug Therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat anti kusta,
salah satunya rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti
kusta lain bersifat bakteriostatik. Obat MDT tersedia dalam bentuk blister untuk pasien dewasa
dan anak berusia 10-14 tahun.Berikut ini merupakan kelompok orang yang membutuhkan
MDT:

1) Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.
2) Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal di bawah ini:
a) Relaps
b) Masuk kembali setelah putus obat/default (dapat PB maupun MB)
c) Pindah berobat (pindah masuk)
d) Ganti klasifikasi/tipe.
Sebagai pedoman praktis untuk dosis MDT bagi pasien kusta.

Dapat dilihat pada tabel 5.


Tabel 5. Dosis MDT pada pasien kusta tipe PB
Jenis Obat 10 -< 15 Tahun < 15 Tahun Keterangan

(Anak) (Dewasa)

Rifampisin 450 mg/bln 600 mg/bln Minum di depan


petugas

Dapson (DDS) 50 mg/bln 100 mg/bln Minum di depan


petugas

50 mg/hari 100 mg/hari Minum di rumah

Sesuaikan dosis bagi anak dengan usia yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya Depson 25 mg/hari dan
rifampisin 300 mg/bulan ( diawasi)

6. Dosis MDT pada pasien kusta Tipe MB

Jenis Obat 10 -< 15 Tahun < 15 Tahun Keterangan

(Anak) (Dewasa

Rifampisin 450 mg/bln 600 mg/bln Minum di depan


petugas

Dapson (DDS) 50 mg/bln 100 mg/bln Minum di depan


petugas

50 mg/hari 100 mg/hari Minum di rumah

Klofazimin 150 mg/bln 300 mg/bln Minum di depan


petugas

50 mg setiap 2 hari 50 mg/hari Minum di rumah

Sesuaikan dosis bagi anak yang berusia 10 tahun. Misalnya, dapson 25mg/hari dan rifampisin 300
mg/bulan (diawasi). Klofazimin 50 mg 2 kali seminggu, dan Klofazimin 100 mg/bulan (diawasi).
J. Tata Laksana Reaksi Kusta

Tatalaksana reaksi ringan Prinsip pengobatan reaksi ringan

 Berobat jalan, istirahat di rumah

 Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu

 MDT diberikan terus dengan dosis tetap


 Menghindari/menghilangkan faktor pencetus

Tatalaksana reaksi berat

Tatalaksana yang dapat diberikan ialah:

 MDT tetap diberikan dengan dosis tidak diubah

 Menghindari/menghilangkan faktor pencetus

 Memberikan obat anti reaksi (Prednison, Klofazimin)

 Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila perlu

 Bila ada indikasi rawat inap pasien

Non Farmakologis

a. Tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi


Tujuan tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi ialah agar penderita kusta dapat kembali ke
masyarakat sebagai manusia yang produktif dan berguna, melalui layanan rehabilitasi medik berupa
terapi fisik, terapi okupasi, pemberian ortosis dan prosthesis, perawatan luka, supporting psikologis
melalui peresepan latihan yang sesuai.
Tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi sebagai berikut:

b. Konseling dan Edukasi


Konseling membantu pasien agar menyadari potensi yang dimiliki dan memanfaatkan potensi
mentalnya seoptimal mungkin untuk meningkatkan kualitas penyesuaian baik dengan dirinya sendiri
maupun lingkungannya. Konseling juga diberikan dengan tujuan untuk mengurangi tingkat antisosial
pasien kusta dengan disabilitas.
Daftar Pustaka

Sulidah. 2016. “Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Masyarakat Terkait Kusta Terhadap Perlakuan
Diskriminasi Pada Penderita Kusta.” Jurnal Medika Respati 11(3): 53–65.

Jufrizal, dan Nurhasanah. 2019. “Stigma Masyarakat Pada Penderita Kusta.” Idea Nursing Journal 10(1):
27–31.

GUNAWAN, HENDRA, Pati Aji Achdiat, dan Rachel Marsella Rahardjo. 2018. “Tingkat pengetahuan
penyakit kusta dan komplikasinya pada siswa sekolah menengah atas negeri Jatinangor.”
Dharmakarya 7(2): 101–5.

Childs, Leonard Wood Memorial-eversley et al. 2013. “ATLAS KUSTA.”

Novita, Amilia Intan. 2019. “Penanganan Pasien Kusta.” Unit Rehabilitasi Kusta RSUD Kelet 53(9): 1–
28.

Aprizal, Aprizal, Lutfan Lazuardi, dan Hardyanto Soebono. 2017. “Faktor risiko kejadian kusta.” Berita
Kedokteran Masyarakat 33(9): 427.

Muta’afi, Fithri, dan Pambudi Handoyo. 2015. “Konstruksi Sosial Masyarakat Terhadap Penderita
Kusta.” Paradigma 03(03): 1–7.
https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/paradigma/article/view/12376/11434.

Aprizal, Lutfan Lazuardi, dan Hardyanto Soebono. 2017. “Faktor risiko kejadian kusta di kabupaten
Lamongan Risk factors of leprosy in district of Lamongan.” Berita Kedokteran Masyarakat (BKM
Journal of Community Medicine and Public Health) 33(9): 427–32.
https://journal.ugm.ac.id/bkm/article/view/25569.

Yuniarasari, Yessita. 2014. “Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kusta.” Unnes Journal of
Public Health 3(1): 1–10.

Zaidatul, Fadilah. Superzeki. 2013. “Hubungan dukungan keluarga dengan depresi penderita kusta di dua
wilayah tertinggi kusta di kabupaten jember.” Universitas Jember: 1–177.

Rismawati, Dwina. 2014. “Hubungan Antara Sanitasi rumah dan Personal Hygiene dengan kejadian
Kusta Multibasiler.” Unnes Journal of Public Health 2(1).

Robikhati Zakiyyah, Naeli, Irwan Budiono, Intan Zainafree Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, dan
Fakultas Ilmu Keolahragaan. 2015. “Unnes Journal of Public Health FAKTOR-FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEPATUHAN MINUM OBAT PENDERITA KUSTA
DI KABUPATEN BREBES.” Ujph2 2(3): 58–66. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph.

Muntasir, Muntasir, Edwinandro V Salju, dan Luh Putu Rulianti. 2018. “Studi Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Kusta Pada Wilayah Kerja Puskesmas Bakunase Kota
Kupang Tahun 2017.” Jurnal Info Kesehatan 16(2): 197–213.

Khotimah, Ma’rifatul. 2014. “Hubungan Antara Dukungan Keluarga dan Peran Petugas Kesehatan
dengan Kepatuhan Minum Obat Kusta.” Unnes Journal of Public Health 3(2): 1–5.

Kurnia Cahyana, Muhammad Angga, dan Pastima Simanjuntak. 2020. “Aplikasi Sistem Pakar Untuk
Mendiagnosis Penyakit Kusta Dengan Metode Forward Chaining.” Computer and Science
Industrial Engineering (COMASIE) 3(1): 31–37.
https://ejournal.upbatam.ac.id/index.php/comasiejournal/article/view/1703.

Tarigan, Nuah P., Hermen Hutabarat, dan Purwanto. 2021. “Komunitas Penyandang Disabilitas Kusta
Dalam Membangun Komunitas Sitanala.” International Journal of Disabilities and Social Inclusion
(Ijodasi) 1(01): 41–48.

Anda mungkin juga menyukai