Anda di halaman 1dari 12

TUGAS INDIVIDU

FARMAKOLOGI

INTERAKSI OBAT ANTI JAMUR DENGAN OBAT KEBIDANAN

DOSEN PENGAMPU: WULAN PRATIWI, M.Farm., Apt

Nama : Niken Rahmawati

NPM : 2040704010

Lokal : B1

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN

2021
Interaksi

Interakasi obat adalah Efek suatu obat akibat adanya obat lain yang diberikan
secara bersamaan atau terpisah obat berinteraksi sehingga efektivitas atau
toksisitas obat berubah

Interaksi obat merupakan interaksi yang dapat terjadi apabila efek oleh obat lain,
makanan, atau minuman. Interaksi obat ini dapat menyebabkan beberapa masalah
antara lain penurunan efek terapi, peningkatan toksisitas, atau efek farmakologis
yang tidak diharapkan.

Interaksi obat berdasarkan level signifikansi klinis atau tingkat keparahan dapat
diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan yaitu minor jika interaksi mungkin terjadi
tetapi bisa dianggap tidak berbahaya, interaksi moderate dimana interaksi ini
dapat terjadi sehingga bisa meningkatkan efek samping obat. Interaksi mayor
merupakan potensi berbahaya dari interaksi obat yang dapat terjadi pada pasien
sehingga cara yang diperlukan adalah dilakukannya monitoring/intervensi.

(Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung


Semarang, November 2017)

1. AMFOTERISIN B

Amfoterisin B merupakan poliena antibiotik kompleks yang disintesis oleh


actinomycetes aerobik, Streptomyces nodosus dan memiliki sifat antibakteri yang
dapat diabaikan. Obat ini menghambat pertumbuhan beberapa jamur patogenik
secara kuat dalam in vitro maupun in vivo. Amfoterisin B berikatan dengan sterol
pada selaput sel jamur dan mengganggu kerjanya.

Mekanisme kerja

Amfoterisin B diberikan secara intravena dalam bentuk micelles dengan


natrium deoksikolat yang dicairkan dalam cairan dekstrosa. Walaupun obat
tersebar secara luas dalam jaringan, obat ini tidak begitu baik memasuki cairan
serebrospinal. Ketika memasuki sel jamur, amfoterisin B berikatan secara kuat
dengan ergosterol pada selaput sel. Interaksi ini memberikan perubahan pada
kandungan cairan selaput dan barangkali pengenalan “kutub amfoterisin”.
Molekul kecil dan ion terlepas dari sel jamur, yang sesungguhnya mengakibatkan
kematian sel. Sel mamalia relatif resisten terhadap kerja obat ini karena mereka
tidak mempunyai ergosterol. Amfoterisin B berikatan secara lemah dengan
kolesterol pada selaput sel mamalia, barangkali interaksi ini yang menyebabkan
efek toksiknya.

Indikasi

Amfoterisin B adalah obat antijamur berspektrum luas dan bermanfaat


untuk menghadapi sebagian besar mikosis sistemik utama, termasuk,
koksidiodomikosis, blastomikosis, histoplasmosis, sporotrikosis, kriptokokosis,
mukormikosis dan kandidiasis. Respon terhadap infeksi utama bergantung pada
pemberian amfoterisin B yang cepat, tempat infeksi, keadaan imun pasien dan
sensitivitas bawaan terhadap pathogen. Untuk meningitis jamur akibat
Coccidioides diperlukan pemberian secara intratekal. Terapi intraartikular berguna
pada infeksi sendi oleh jamur. Terapi kombinasi dengan flusitosin barangkali
bermanfaat untuk infeksi akibat Candida dan Cryptococcus. Infeksi jamur akibat
Pseudallescheria boydii tampaknya sukar disembuhkan oleh amfoterisin B.

Efek Samping

Reaksi akut yang biasanya menyertai pemberian amfoterisin B intravena


antara lain demam, menggigil, dispnea dan hipotensi. Efek samping ini biasanya
dapat dikurangi dengan pemberian hidrokortison atau asetaminofen secara
bersamaan atau sebelumnya. Toleransi terhadap efek samping akut timbul selama
terapi. Efek samping kronik biasanya mengakibatkan nefrotoksisitas. Azotemia
hampir selalu terlihat pada terapi amfoterisin B, dan kadar kreatinin serum serta
kadar ion harus dipantau secara ketat. Juga sering terlihat hipokalemia, anemia,
asidosis tubuler ginjal, sakit kepala, mual dan muntah. Walaupun beberapa kasus
nefrotoksisitas dapat pulih kembali, terjadi penurunan fungsi tubuler dan
glomerulus yang menetap. Kerusakan ini dapat dikorelasikan dengan dosis total
amfoterisin B yang diberikan.

Interkasi obat

Mengonsumsi amphotericin B dengan obat lain bersamaan dapat menyebabkan


beberapa interaksi meliputi:

 Furosemide

Penggunaan amphotericin B bersama furosemide dapat meningkatkan risiko


rendahnya kadar kalium dalam darah (hipokalemia).

 Amiodarone

Penggunaan bersama amphotericin B dapat meningkatkan risiko irama


jantung tidak teratur.

 Cidofovir dan tacrolimus

Obat di atas dapat menyebabkan masalah ginjal. Menggunakannya bersama


obat lain yang juga dapat memengaruhi ginjal, seperti amphotericin B dapat
meningkatkan risiko tersebut.

2. FLUSITOSIN

Flusitosin (5-fluorositosin) merupakan derivate sitosin yang terfluorinasi. Obat


ini merupakan senyawa antijamur yang secara primer digunakan dalam ikatan
dengan amfoterisin B pada infeksi yang disebabkan oleh Candida dan
Cryptococcus. Obat ini berpenetrasi dengan baik ke dalam seluruh jaringan,
termasuk cairan serebrospinal.

Mekanisme kerja

Jamur yang rentan mampu mengakumulasikan flusitosin melalui permease


terikat selaput. Flusitosin kemudian dikonversikan menjadi fluorourasil melalui
sitosin deaminase. Fluorourasil merupakan penghambat kuat dari sintetase
timidilat, dan penghambatan ini mengakibatkan kematian sel. Sel mamalia tidak
memiliki sitosin deaminase dan karena itu terlindung dari efek toksik fluorourasil.
Sayangnya, mutan resisten timbul dengan cepat sehingga membatasi kerja
flusitosin.

Indikasi

Flusitosin digunakan secara primer dalam ikatan dengan amfoterisin B


untuk pengobatan infeksi Candida dan Cryptococcus. Flusitosin bekerja secara
sinergistik dengan amfoterisin B in vitro terhadap organismo ini, dan percobaan
klinik menunjukkan efek yang bermanfaat dari kombinasi tersebut, terutama pada
meningitis kriptokokus. Kombinasi ini juga terlihat memperlambat dan
mengeliminasi timbulnya mutan resisten flusitosin.

Efek samping

Walaupun flusitosin sendiri mungkin memiliki sedikit toksisitas terhadap


sel mamalia dan relatif dapat ditoleransi dengan baik, konversinya menjadi
fluorourasil menghasilkan senyawa yang sangat toksik yang mungkin
mengakibatkan efek samping utama dari obat ini. Pemberian flusitosin jangka
lama mengakibatkan penekanan sumsum tulang, kerontokan rambut, dan fungsi
hati yang abnormal. Konversi flusitosin menjadi fluorourasil oleh bakteri enterik
dapat menyebabkan colitis. Pasien dengan AIDS mungkin lebih rentan terhadap
supresi sumsum tulang oleh flusitosin dan kadar serum harus dipantau secara
ketat.

Interaksi obat

 Echinocandin

Obat antijamur ini bekerja dengan cara merusak dinding sel jamur.
Jika digunakan bersamaan dinding sel jamur tidak dapat dibentuk, sel
tersebut akan mati.
3. ANTIJAMUR AZOL

Antijamur imidazol (ketokonazol) dan triazol (flukonazol dan itrakonazol)


merupakan obat yang aktif secara oral dan bermanfaat untuk terapi pada infeksi
jamur setempat atau sistemik luas. Indikasi untuk penggunaannya masih
dievaluasi, tetapi ada kecendrungan bahwa obat ini akan menggantikan
amfoterisin B pada banyak infeksi jamur karena obat ini dapat diberikan secara
oral dan dengan sedikit toksisitas. Imidazol lain (mikonazol dan kotrimazol) yang
sangat toksik untuk pemberian sistemik berguna sebagai obat topikal.

Mekanisme kerja

Semua antijamur azol bekerja melalui penghambatan biosíntesis ergosterol


jamur. Penghambatan ini dicapai melalui pengikatan obat dan pengaruhnya
terhadap fungsi kelompok heme pada sitokrom P450 oksidase. P450 oksidase
jamur yang paling sensitif terhadap penghambatan adalah 14-lanosterol
demetilase. Enzim P450 lainnya (termasuk enzim mamalia yang terlibat dalam
steroidogenesis) dapat dihambat pada konsentrasi tinggi. Penghambatan ergosterol
menimbulkan gangguan pada struktur dan fungsi selaput jamur.

Indikasi

Ketokonazol bermanfaat pada pengobatan kandidiasis mukokutan kronik


dan pada bentuk ekstrameningeal kronik dari blastomikosis, koksidioidomikosis,
parakoksidioidomikosis, dan histoplasmosis. Flukonazol merupakan bentuk unik
dari antijamur azol yang baru saja ditemukan karena kemampuannya dalam
memasuki cairan serebrospinal. Sifat ini dan manfaat kliniknya membuat
flukonazol menjadi alternatif yang baik untuk amfoterisin B dalam pengobatan
meningitis kriptokokus dan koksidioidal. Pada pasien AIDS dengan meningitis
kriptokokus, terapi rematan dengan flukonazol dapat mencegah kekambuhan.
Kandidiasis orofaring pada pasien AIDS dan kandidemia pada pasien dengan
fungsi imun yang baik dapat juga diobati dengan flukonazol.
Indikasi

itrakonazol bertumpang tindih dengan yang ditujukan bagi flukonazol,


tetapi mungkin memiliki aktivitas melawan aspergilosis. Walaupun percobaan
klinik dalam skala besar belum sempurna, hewan percobaan dan laporan kasus
menunjukkan bahwa itrakonazol dapat bermanfaat pada pengobatan aspergilosis
yang invasif, yang umumnya tidak berespon dengan amfoterisin B. Itrakonazol
telah memperlihatkan manfaatnya pada terapi primer dan terapi rumatan bagi
histoplasmosis pada penderita AIDS, histoplasmosis pada pasien dengan fungsi
imun yang baik, koksidioidomikosis ekstrameningeal, sporotrikosis dan
blastomikosis.

Mukormikosis tidak berespon terhadap antijamur azol dan amfoterisin B


karena mikosis ini berkaitan langsung dengan pembuangan jeringan mati secara
pembedahan.

Efek samping

Efek tambahan antijamur azol secara primer berkaitan dengan


kemampuannya menghambat enzim P450 sitokrom mamalia. Ketokonazol
merupakan yang paling toksik dalam hal ini dan pada dosis terapeutiknya akan
menghambat síntesis testosteron dan kortisol. Penghambatan ini mengakibatkan
ginekomastia, penurunan libido, impotensi, menstruasi yang tidak teratur dan
kadang-kadang insufisiensi adrenal. Flukonazol dan itrakonazol pada dosis
terapeutik yang dianjurkan tidak memperlihatkan gangguan yang bermakna
terhadap steroidogenesis mamalia, tetapi hal ini dapat berubah jika dosis yang
digunakan untuk pengobatan infeksi recalcitran diturunkan. Semua antijamur azol
dapat menyebabkan peningkatan fungsi hati yang asimtomatik dan kasus hepatitis
yang jarang.

Karena antijamur azol berinteraksi dengan enzim P450 yang juga


mengakibatkan metabolisme obat, maka dapat terjadi interaksi antara beberapa
obat yang penting. Peningkatan konsentrasi antijamur azol dapat terlihat bila
digunakan isoniazid, fenitoin, atau rifampisin. Terapi antijamur azol dapat juga
mengakibatkan kadar yang lebih tinggi daripada kadar serum siklosporin, fenitoin,
hipoglikemik oral, antikoagulan, digoksin dan barangkali banyak lagi yang lain
yang diharapkan. Diperlukan pemantauan serum kedua obat tersebut untuk
mencapai kisaran terapeutik yang sesuai.

Reaksi Obat

 Interaksi obat Penurunan efek samping clindamycin, bila digunakan


bersama ketoconazole
 Menurunkan kadar ketoconazole dalam darah, jika digunakan bersama
rifampicin, isoniazid, efavirenz, nevirapine, dan phenytoin.
 Nevirapine Meningkatkan risiko terjadinya hiperkalemia dan hipotensi,
bila digunakan dengan eplerenone.

4. GRISEOFULVIN
Griseofulvin merupakan antibiotik yang diberikan secara oral yang diperoleh
dari spesies Penicillium tertentu. Obat ini tidak berpengaruh terhadap bakteri atau
jamur yang mengakibatkan mikosis sistemik tetapi menekan dermatofita tertentu.
Mekanisme kerja
Setelah pemberian peroral, griseofulvin disebarkan ke seluruh tubuh. Obat ini
berakumulasi di epidermis dan jeringan keratinisasi lainnya (rambut dan kuku).
Keratin merupakan sumber nutrisi utama untuk dermatofita dan degradasi keratin
oleh jamur ini mengakibatkan dicernakannya obat. Dalam organisme, griseofulvin
diduga berinteraksi dengan mikrotubula dan mengganggu fungsi mitosis
gelendong, menimbulkan penghambatan pertumbuhan.
Indikasi
Griseofulvin bermanfaat secara klinik untuk mengobati infeksi dermatofita
pada kulit, rambut dan kuku yang disebabkan oleh spesies Trichophyton,
Epidermophyton dan Microsporum. Obat ini tidak berpengaruh pada kandidiasis
superficial atau kandidiasis sistemik atau setiap mikosis sistemik lainnya.
Biasanya diperlukan terapi oral selama berminggu-minggu sampai berbulan-
bulan.2
Efek samping

Griseofulvin biasanya ditoleransi dengan baik.Efek samping yang paling sering


adalah sakit kepala, yang biasanya timbul kembali bila obat tidak dihentikan.
Jarang terjadi gangguan pencernaan, mengantuk dan hepatotoksisitas.

Ketoconazole adalah obat untuk mengatasi infeksi jamur. Obat ini berfungsi untuk
mengatasi beragam jenis infeksi jamur di kulit, seperti panu, kurap, kutu air, dan
infeksi jamur di bagian tubuh lain, seperti kandidiasis pada vagina.

Interkasi Obat

Griseofulvin dapat menimbulkan interaksi obat jika digunakan dengan obat-


obatan lain. Berikut ini adalah beberapa efek interaksi antarobat yang dapat
terjadi:

 Penurunan efektivitas obat antikoagulan, salisilat, atau ciclosporin

 Berkurangnya penyerapan griseofulvin jika digunakan bersama dengan


fenilbutazon, barbiturat, atau obat penenang

 Penurunan efektivitas atazanavir, darunavir, gefinitib, atau nilotinib

 Penurunan efektivitas pil KB

 Peningkatan risiko terjadinya sunburn jika digunakan bersama asam


aminolevulinic

Ketoconazole

Ketoconazole adalah obat antijamur yang digunakan untuk mengobati infeksi


tertentu yang disebabkan oleh jamur. Ketoconazole harus digunakan hanya ketika
Anda tidak dapat menggunakan obat antijamur lainnya. Ketoconazole dapat
menyebabkan kerusakan serius pada hati Anda yang dapat menyebabkan
transplantasi hati atau menyebabkan kematian. Ketoconazole tidak untuk
digunakan dalam mengobati infeksi jamur kuku atau kuku kaki. Obat ini juga
tidak untuk digunakan dalam mengobati kanker prostat atau sindrom Cushing.

Efek samping yang umum mungkin termasuk: mual, diare, pembengkakan


payudara sakit perut; sakit kepala, pusing; atau tes fungsi hati yang abnormal.

Penelitian pada hewan mengungkapkan bukti embriotoksisitas dan teratogenikitas.


Tidak ada data yang terkontrol dalam kehamilan manusia.

AU TGA kategori kehamilan B3: Obat-obatan yang telah diambil oleh hanya
sejumlah wanita hamil dan wanita usia subur, tanpa peningkatan frekuensi
malformasi atau efek berbahaya langsung atau tidak langsung lainnya pada janin
manusia yang telah diamati. Studi pada hewan telah menunjukkan bukti
peningkatan terjadinya kerusakan janin, yang signifikansinya dianggap tidak pasti
pada manusia.

untuk ibu hamil dan menyusui Kategori C: Studi pada binatang percobaan
memperlihatkan adanya efek samping terhadap janin, namun belum ada studi
terkontrol pada wanita hamil.

Obat hanya boleh digunakan jika besarnya manfaat yang diharapkan melebihi
besarnya risiko terhadap janin. Ketoconazole oral dapat terserap ke dalam ASI.
Bila Anda sedang menyusui, jangan menggunakan obat ini tanpa berkonsultasi
dulu dengan dokter

Interaksi obat

Jika dikonsumsi dengan obat-obatan lain, ketoconazole dapat menimbulkan


sejumlah efek interaksi obat, yaitu:

 Meningkatkan risiko terjadinya hiperkalemia dan hipotensi, bila digunakan


dengan eplerenone.
 Meningkatkan risiko terjadinya perpanjangan interval QT,jika digunakan
dengan cisapride, quinidine, ranolazine,dan terfenadine

 Meningkatkan risiko terjadinya gangguan otot, jika digunakan bersama


lovastatin dan simvastatin.

 Meningkatkan risiko terjadinya perdarahan, bila digunakan dengan


dabigatran.
Daftar pustaka

(Kang & Jipyeong, 2019) Kang, S., & Jipyeong, H. (2019). Obat Anti Jamur.
Farmakologi, 116–120.

(Utara, 2009)Utara, U. S. (2009). Penyaji : Pengobatan Dermatomikosis, 1–29.

(Zakaria, 2016)Zakaria, Y. N. (2016). PROFIL PENGGUNAAN FLUKONAZOL


PADA PASIEN HIV/AIDS DENGAN KANDIDIASIS (Penelitian dilakukan
di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang). Universitas Airlangga.

(Nugraha, 2009)Nugraha, M. W. D. (2009). Evaluasi Penggunaan Obat Pada


Masa Kehamilan Pasien Rawat Jalan Di RSU Santa Elisabeth Purwokerto
Periode Oktober-Desember 2008. 14–15.

Anda mungkin juga menyukai