Anda di halaman 1dari 42

Case Report Session

Morbus Hansen

Oleh :
Muhammad Arif Shah Bin Jamaludin 2040312154
Salsabila Oktaverina 2140312114

Preseptor :

dr. Ennesta Asri, SpKK(K), FINSDV


dr. Rina Gustia, SpKK(K), FINSDV, FAADV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL
PADANG
2021
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus
Hansen merupakan penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari
4000 tahun yang lalu. Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew,
zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta
juga dikenal dengan istilah kusta yang berasal dari bahasa India, kushtha.
Nama Morbus Hansen ini sesuai dengan nama yang menemukan kuman, yaitu
Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874.1
Morbus Hansen (MH) merupakan penyakit infeksi kronik
granulomatosa yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat
intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan
mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali
susunan saraf pusat.2 Jumlah kasus kusta yang tercatat WHO pada tahun 2014
di dunia sebanyak 213.899 orang pasien baru. Kemudian pada tahun 2015
jumlah penderita kusta baru tercatat sebanyak 210.578 orang.4,5
Status kusta di Indonesia tahun 2000 adalah eliminasi, dimana terdapat
<1 kasus per

10.000 penduduk. Angka prevaensi kusta tahun 2017 merupakan angka


terendah dalam 5 tahun terakhir yaitu sebesar 0,70 kasus/10.000 penduduk.
Jumlah kasus kusta yang tercatat permulaan tahun 2009 adalah 21.538 orang.
Menurut data Depkes, pada tahun 2013 Sumatera Barat merupakan provinsi
dengan peringkat ke-19.2-5
Untuk menegakkan diagnosis kusta, setidaknya ditemukan satu tanda
kardinal, yaitu bercak kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi, dan adanya
basil tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear). Obat
antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (diaminodifenil
sulfon) kemudian klofazimin dan rifampisin. Untuk mencegah resistensi,
pengobatan tuberkulosis telah menggunakan multidrug treatment (MDT) sejak

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


tahun 1951, sedangkan untuk kusta baru di mulai pada tahun 1971.2,3
Morbus Hansen adalah penyakit yang ditakuti karena dapat
menyebabkan ulserasi, multilasi, dan deformitas. Kerusaan saraf yang terjadi
dapat bersifat irreversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik.
Sehingga diperlukan pengetahuan mengenai etiologi, patogenesis, diagnosis,
dan pengobatan penyakit tersebut.2

1.2 Batasan Masalah

Penulisan case report session ini membahas tentang definisi,


epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis,
penatatalaksanaan, komplikasi dan prognosis morbus Hansen.
1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan case report session ini bertujuan untuk mengetahui dan


memahami mengenai morbus Hansen. Penulisan case report session ini disusun
berdasarkan studi kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur.
1.4 Metode Penulisan

Penulisan case report session ini bertujuan untuk mengetahui dan


memahami mengenai morbus Hansen. Penulisan case report session ini disusun
berdasarkan studi kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Morbus Hansen

Morbus Hansen atau dengan nama lain kusta atau lepra adalah
penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang
bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit
dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain
kecuali susunan saraf pusat.7

2.2. Epidemiologi Morbus Hansen

Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai


tersebar diseluruh dunia disebabkan oleh perpindahan penduduk yang
terinfeksi penyakit tersebut. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur
14 tahun didapatkan kurang lebih 13%, tetapi jarang pada anak dibawah umur
1 tahun. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur 23-35 tahun. 7
Kusta terdapat diseluruh dunia terutama Asia, Afrika, Amerika latin
daerah tropis dan subtropis serta sosial ekonominya rendah. 7 Kusta terdapat di
120 negara di seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis dengan
hotspot di Afrika Tengah, sebagian Asia dan Brasil. 7
Jumlah kasus kusta
diseluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini menurun disebagian besar negara
atau daerah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat
213.036 penderita yang berasal dari 121 negara sedangkan jumlah kasus baru
tahun 2008 tercatat 249.007.
Berdasarkan Global Leprosy Update tahun 2017 yang dikeluarkan oleh
WHO di dapatkan bahwa jumlah pasien baru yang di diagnosis kusta sebanyak
192.713 orang yang tersebar di 150 negara. Persebaran terbanyak pasien kusta
baru diketahui berada di daerah Asia Tenggara (119.055 kasus), kemudian
disusul dengan Amerika (31.527 kasus), Afrika (30.654 kasus), Pasifik Barat
(7.040 kasus), Timur Tengah (4.0405 kasus) dan Eropa (32 kasus). Terdapat
peningkatan kejadian di seluruh dunia kecuali Eropa. 9

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat permulaan tahun 2009
adalah 21.538 orang dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 17.441 orang. 7
Selama periode 2008 – 2013 di Indonesia, angka penemuan kasus baru kusta
pada tahun 2013 merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.00
penduduk dengan prevalensi berkisar 0,79-0,96 per 10.000 penduduk.8
Indonesia merupakan negara yang menjadi salah satu dari 22 negara yang
menjadi prioritas global dalam 10 tahun terakhir. Status kusta di Indonesia
tahun 2000 adalah eliminasi, dimana terdapat <1 kasus per 10.000 penduduk.
Angka prevalensi kusta tahun 2017 merupakan angka terendah dalam 5 tahun
terakhir yaitu sebesar 0,70 kasus/10.000 penduduk (Gambar 2.1). Jumlah
kasus kusta yang tercatat permulaan tahun 2009 adalah 21.538 orang. Menurut
data Depkes, dalam tahun 2015-2017 jumlah penderita baru kusta tidak
mengalami perubahan signifikan. 7-10

Gambar 2.1 Jumlah pasien baru kusta di indonesia 5 tahun terakhir

2.3. Etiologi

Penyebab morbus Hansen adalah Mycobacterium leprae yang


ditemukan oleh G.A Hansen tahun 1874 di Norwegia. M.leprae berupa
batang lurus dengan panjang sekitar 1 sampai 8 μm dan diameter 0,3 μm. 10

Kuman ini merupakan basil gram positif yang tahan asam dan alkohol.7

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


2.4. Patofisiologi

M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah,


sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, ataupun sebaliknya.
Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain
disebabkan oleh respon imun yang berbeda, sehingga mempengaruhi
timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh
sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai
penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi
selularnya daripada intensitas infeksinya. 6,7
Masuknya kuman penyebab kusta yang dikenal dengan M. leprae
sampai sekarang masih belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian
telah memperlihatkan M. leprae masuk kedalam tubuh paling sering melalui
kulit terutama kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan
juga melalui mukosa nasal. Adanya kuman didalam tubuh akan menyebabkan
terjadinya suatu reaksi antara tubuh dengan kuman penyebab dengan
mengeluarkan makrofag untuk melakukan proses fagositosis. 11,12,13

M.leprae memiliki sel target untuk pertumbuhannya yaitu sel Schwann,


disamping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit
fungsinya sebagai fagositosis. Apabila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam
sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Sehingga kondisi ini
menyebabkan aktifitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf
yang progresif.12 Gejala klinis klinis yang timbul akibat terinfeksi M.leprae
bergantung dari respon tubuh terhadap mikroorganisme tersebut. Jika imunitas
seluler orang tersebut bagus dan kuat, maka gejala klinis yang terjadi adalah
MH tipe tuberkuloid. Apabila imunitas selulernya lemah, maka gejala
klinisnya adalah MH tipe lepramatosa.12

a. Patogenesis MH tipe tuberkuloid

MH tipe tuberkuloid (TT), memiliki fungsi sistem imunitas seluler


yang tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman melalui
proses fagositosis. Setelah semua kuman difagositosis, makrofag berubah

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan terkadang bersatu
membentuk sel datia Langhans. Apabila kondisi infeksi ini tidak segera
diatasi maka akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya
akibat reaksi berlebihan dan masa epiteloid.12
Kuman masuk ke dalam tubuh melalui kontak langsung dengan kulit
penderita atau melalui inhalasi, kemudian masuk melalui pembuluh limfe dan
darah kemudian mencapai target dari basal antara lain :12
1. Sel Schwann saraf tepi
2. Sel endotel pembuluh darah
3. Sel pericytes pembuluh darah
4. Sel monosit dan makrofag
Imunitas seluler seseorang pada MH tipe TT menjadi kompenen
cukup penting dalam mengatasi kuman. Imunitas seluler yang tinggi ditandai
dengan uji lepromin yang positif. Hal ini dapat mengakibatkan dalam waktu
yang singkat sel- sel radang akan berkumpul ke sekitar makrofag atau sel
Schwann. Tujuan sel radang tersebut adalah memfagosit kuman-kuman dan
mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan kuman M. leprae. Efek
samping dari peradangan tersebut akan menyebabkan penekanan pada saraf
sehingga proses anestesinya terjadi lebih cepat dan berat. 12
Peradangan terjadi hanya disekitar sel Schwann yang terbatas pada
saraf kulit saja, tidak masuk ke pembuluh darah. Hal ini menyebabkan lesi
hanya sedikit dan asimetris, dengan batas tegas karena dibatasi oleh sel radang,
kelenjar ekrin dan pilosebaseus akan tertekan sehingga menyebabkan keringat
berkurang, kulit kering dan rambut kulit tidak ada.

b. Patogenesis MH tipe lepramatosa

Pada MH tipe lepramatosa (LL) terjadi kelumpuhan sistem imunitas


selular sehingga makrofag yang berperan dalam proses fagositosis tidak
mampu menghancurkan kuman. Hal ini menyebabkan terjadinya multifikasi
kuman secara bebas yang kemudian dapat merusak jaringan. Sistem imun
seluler yang rendah dan ditandai dengan uji lepromin negatif menyebabkan
proses fagositasis menjadi lemah, sehingga kuman bermultiplikasi lebih

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7


banyak di dalam sel makrofag atau sel Schwann. 11,12

Makrofag yang tidak mampu melakukan proses fagositosis berubah


menjadi sel Virchow atau Foam cell yang mengandung banyak kuman basil
sehingga apabila kondisi ini terus berlanjut maka kuman basil yang banyak
akan menyebabkan pecahnya Foam cell sehingga kuman basil akan keluar
kemudian di tangkap oleh sel Schwann yang lain sehingga terjadi penyebaran
sesuai dengan jaras saraf tepi. Kemudian kuman basil akan masuk kedalam
aliran darah dan menimbulkan lesi pada kulit dengan jumlah banyak, simteris,
batas tegas, dengan anestesi yang lama terjadi. 11,12

c. Patogenesis MH tipe Borderline

Pada MH tipe ini klinisnya berada di antara tipe tuberkuloid dan


lepromatosa dapat berubah tipe karena merupakan tipe yang tidak stabil. 7,13
2.5. Manifestasi Klinis

Diagnosis penyakit kusta didasarkan atas gambaran klinis,


bakterioskopis, histopatologis, dan serologis. Jika memungkinkan dapat
dilakukan tes lepromin untuk membantu penentuan tipe. Namun hasilnya
cukup lama diketahui hyaitu sekitar 3 minggu. M. Leprae yang masuk
kedalam tubuh seseorang, dapat menimbulkan gejala klinis sesuai dengan
kerentanan atau imunitas orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada
sistem imunitas seluler penderita. Bila imunitas seluler baik akan tambah
gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya jika sistem imunitas seluler
rendah memberikan gambaran lepromatosa. Manifestasi klinis penyakit MH
pada pasien mencerminkan tingkat kekebalan selular pasien tersebut. Gejala
dan keluhannya tergantung pada: 12,13,14
1. Multifikasi dan diseminasi kuman M.leprae
2. Respon imun penderita terhadap kuman M.leprae
3. Komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.
Terdapat tiga tanda kardinal pada penyakit kusta. Jika terdapat 1 dari 3
tanda tersebut sudah cukup untuk menetapkan diagnosis penyakit MH ini.
Tanda kardinal tersebut diantaranya: 12,13,14

1. Lesi kulit yang anestesi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


2. Penebalan saraf perifer
3. Ditemukan M. leprae (bakteriologis positif)

Adapun klasifikasi yang banyak dipakai adalah klasifikasi menurut


Ridley dan Jopling yang mengelompokan penyakit MH menjadi 5 kelompok
berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis, dan imunologis. 7

1. Tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah
dapat ditemukan lesi yang regrasi atau central healing. Permukaan lesi dapat
bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran
psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang
biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi
tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon
imun pejamu yang adekuat terhadap kuman MH. 14

2. Tipe Boderline Tuberkuloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak
yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau
beberapa, tetapi hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas
tipe tuberkuloid. Gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya
asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang
menebal. 14

3. Tipe Mid Borderline (BB)

Tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe penyakit MH.
Merupakan bentuk dimorfik. Lesi dapat berupa makula infiltratif, permukaan
lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi
tipe BT dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi baik dalam ukuran,

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang
merupakan ciri khas tipe ini. 14

4. Tipe Borderline Lepromatous (BL)

Lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan
dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih
bervariasi bentuknya. Papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang
hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah.
Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan bagian pinggir dalam infiltrat
lebih jelas dibandingkan dengan pingir luarnya, dan beberapa plak tampak
seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa kerusakan sensasi,
hipopigmentasi, berkurangnya keringat, dan hilangnya rambut lebih cepat
muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada
tempat-tempat penebalan saraf.

5. Tipe Lepromatosa (LL)

Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih


eritematosa, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak
ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah,
mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan di badan mengenai
bagian yang dingin seperti lengan, punggung tangan, dan permukaan
ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut terdapat penebalan kulit yang
progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar, dan cekung
membentuk facies leonina yang dapat disertai dengan madarosis, iritis,
keratitis. Lebih lanjut dapat terjadi deformitas hidung.13
Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya
dapat terjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala
stocking and glove anaesthesia. Bila menjadi progresif, muncul makula dan
papula baru sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium
lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis
yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.6,13

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 10


Tabel 2.1 Klasifikasi Morbus Hansen 6

Gambar 2.2 Soliter, anestesi dan lesi anular pada tuberkuloid polar leprosy,
yang telah ada sejak 3 bulan. Tepi yang tajam, dan eritem. Pinprick
perception pada sentral lesi tidak ada. Sentral lesi lebih hipopigmentasi jika
dibandingkan dengan kulit sekitarnya yang normal.11

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 11


Gambar 2.3 beberapa lesi Borderline leprosy (BT), ysng memiliki
konfigurasi anular yang inkomplit dengan papul satelit. bandingan dengan
TT lesi, lesi in lebih kurang eritema. 11

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 12


Tabel 2.2 Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta Pausibasiler 7

Tabel 2.3 Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta multibasiler 7

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 13


Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan
kedalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe
BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus di
obati dengan regimen MDT-TB.7
Tabel 2.4 Klasifikasi Klinis Kusta Berdasarkan WHO 1995 7

2.6. Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan


penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum
jelas, terminologi dan klasifikasi masih bermacam-macam. Mengenai
patofisiologinya yang belum jelas tersebut akan dijelaskan secara
imunologik. Reaksi imun dapat menguntungkan tetapi dapat juga merugikan
yang disebut reaksi imun patologik dan reaksi kusta ini tergolong di
dalamnya. Dalam klasifikasi yang bermacam-macam itu yang tampaknya
paling banyak di anut pada akhir – akhir ini, yaitu ENL (eritema nodusum
leprosum) dan reaksi reversal atau reaksi upgrading.7
ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada
BL, berarti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan
timbul ENL. Secara imunopatologis, ENL termasuk respon imun humoral,
berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. Leprae +
antibodi (IgM, IgG) + Komplemen → kompleks imun.7
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema dan
nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ
lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis,

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 14


artritis, orkitis dan nefritis akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai
gejala konsitusi dari ringan sampai berat. Gejala klinis reaksi reversal ialah
umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau
timbul lesi baru yang relatif singkat, artinya lesi hipopigmentasi menjadi
eritema, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi
lama menjadi bertambah luas.7
Reaksi ENL dan reversal secara klinis, ENL dengan lesi eritema
nodusum sedangan reversal tanpa nodusm sehingga disebut reaksi lepra
nodular, sedangkan reaksi reversal adalah reaksi non nodular. Hal ini penting
membantu menegakkan diagnosis atas dasar lesi ada atau tidaknya nodus.
Kalau ada berarti reaksi non nodular atau reaksi reversal atau reaksi
borderline.7

2.7. Diagnosis

Diagnosa pasien kusta dapat ditegakkan berdasarkan pada penemuan tanda


kardinal (minimal 1 tanda kardinal) yaitu: 6,7,13
1. Bercak kulit yang mati rasa
Ditemukannya bercak kulit yang hipopigmentasi atau
eritematosa,mendatar atau meninggi.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan juga disertai atau tanpa gangguan fungsi
saraf yang terkena:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa/rasa berkurang
b. Gangguan fungsi motorik
Adanya pembesaran saraf perifer yang diketahui dengan cara palpasi
bisanya mengindikasikan adanya kelainan fungsi saraf yang
bersangkutan. Untuk itu perlu untuk melakukan voluntary muscle test.
Saraf perifer yang diperiksa antara lain : n. fasialis, n. Aurikularis
magnus, n. radialis, n. ulnaris, n. medianus, n. poplitea lateralis, dan n.
tibialis posterior. Pada pemeriksaan akan dinilai hal-hal sebagai
berikut:
• Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 15


• Ada pembesaran saraf atau tidak
• Bentuk pembesaran regular (smooth) atau irregular,bergumpal
• Perabaan keras atau kenyal
• Nyeri atau tidak
• Gangguan fungsi otonom kulit kering,edema, pertumbuhan rambut
terganggu.

3. Adanya basil tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (slit skin
smear)
Lokasi pengambilan kerokan jaringan kulit adalah kulit cuping telinga
dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Bahan kadang-kadang diperoleh
dari biopsi kulit atau saraf. Untuk menegakkan diagnosis kusta,
setidaknya ditemukan satu tanda kardinal, bila tidak maka kita hanya
dapat mengatakan tersangka kusta dan perlu diperhatikan klinisnya dan
diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat
ditegakkan atau disingkirkan, dibuat sediaan mikrokopis pada gelas
alas dan diwarnai dengan pewarnaan Ziehl Neelsen. 6,7,13,14
Bila
ditemukan tanda kardinal di atas maka pasien adalah tersangka
kusta,observasi dan periksa ulang setelah 3-6 bulan.14

Cara Pemeriksaan Kusta

1. Cara Pemeriksaan :

a. Anamnesis: 7,14
- Keluhan yang ada/kapan timbul bercak .
- Apakah ada riwayat kontak .
- Riwayat pengobatan sebelumnya.

b. Pemeriksaan kulit / rasa raba.


Untuk memeriksa rasa raba dengan memakai ujung kapas yang
dilancipkan kemudian disentuhkan secara tegak lurus pada kelainan kulit
yang dicurigai, sebaiknya penderita duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih
dulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa disentuh bagian tubuh
dengan kapas, ia harus menunjuk kulit yang disentuh dengan jari

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 16


telunjuknya,menghitung jumlah sentuhan atau dengan menunjukkan jari
tangan keatas untuk bagian yang sulit dijangkau, ini dikerjakan dengan mata
terbuka bilamana hal ini telah jelas,maka ia diminta menutup matanya.
Kelainan-kelainan dikulit diperiksa secara bergantian untuk mengetahui ada
tidaknya anestesi. Pada telapak tangan dan kaki memakai bolpoin karena
pada tempat ini kulit lebih tebal. 7,14

c. Pemeriksaan saraf (nervus )

Peroneus, dan tibialis posterior, namun pemeriksaan yang sering


diutamakan pada saraf ulnaris, peroneus, tibialis posterior, pada umumnya
cacat kusta mengikuti kerusakan pada saraf-saraf utama. 7,14

2. Teknik Pemeriksaan Saraf: 6,14


a. Saraf Ulnaris.
Tangan kanan pemeriksa memegang lengan kanan bawah penderita
dengan posisi siku sedikit ditekuk sehingga lengan penderita rileks. Dengan
jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri pemeriksa mencari sambil meraba
saraf ulnaris di dalam sulkus nervi Ulnaris yaitu lekukan diantara tonjolan
tulang siku dan tonjolan kecil di bagian medial (epicondilus medialis). 6,14
Dengan memberi tekanan ringan pada saraf Ulnaris sambil digulirkan
dan menelusuri keatas dengan halus sambil melihat mimik / reaksi penderita
adalah tampak kesakitan atau tidak. 6,14
b. Saraf Peroneus Communis (Poplitea Lateralis). 6,14
1) Penderita diminta duduk disuatu tempat (kursi, dll.) dengan kaki dalam
keadaan rileks.

2) Pemeriksa duduk di depan penderita dengan tangan kanan memeriksa


kakikiri penderita dan tangan kiri memeriksa kaki kanan .
3) Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada pertengahan
betis bagian luar penderita sambil pelan-pelan meraba keatas sampai
menemukan benjolan tulang (caput fibula) setelah menemukan tulang
tersebut jari pemeriksa meraba saraf peroneus 1 cm ke arah belakang .

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17


4) Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut digulirkan bergantian
kekanan dan kiri sambil melihat mimik / reaksi penderita.
c. Saraf Tibialis Posterior. 6,14
1) Penderita masih duduk dalam posisi rileks .
2) Dengan jari telunjuk dan tengah pemeriksa meraba saraf Tibialis
Posterior dibagian belakang bawah dari mata kaki sebelah
dalam(maleolus medialis)dengan tangan menyilang (tangan kiri
memeriksa saraf tibialis kiri dan tangan kanan pemeriksa memeriksa
saraf tibialis posteior kanan pasien )
3) Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat mimik
/ reaksi dari penderita.
3. Pemeriksaan Gangguan Fungsi Saraf
Untuk mengetahui adanya gangguan pada fungsi saraf yang perlu
diperiksa adalah Mata, Tangan, dan Kaki, Pemeriksaan Fungsi Rasa Raba
dan Kekuatan Otot. Alat yang diperlukan : ballpoint yang ringan dan kertas
serta tempat duduk untuk penderita. 6,14

Cara pemeriksaan Fungsi Saraf. Periksa secara berurutan agar


tidak ada yang terlewatkan mulai dari kepala sampai kaki. 6,14
1. Mata

Fungsi Motorik (Saraf Facialis )

a. Penderita diminta memejamkan mata.


b. Dilihat dari depan / samping apakah mata tertutup dengan sempurna /
tidak, perhatikan apakah ada celah atau tidak.
c. Bagi mata yang menutup tidak rapat, diukur lebar celahnya lalu dicatat,
misal lagofthalmus ± 3 mm, mata kiri atau kanan. 6,14

Catatan : Untuk fungsi sensorik mata (pemeriksaan kornea, yaitu fungsi


saraf Trigeminus) tidak dilakukan dilapangan. 6,14

2. Tangan
1) Fungsi Sensorik (Saraf Ulnaris dan Medianus ) 6,14
a. Posisi penderita: Tangan yang akan diperiksa diletakkan diatas
meja/paha penderita atau tertumpu pada tangan kiri pemeriksa

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 18


sedemikian rupa, sehingga semua ujung jari tersangga.
b. Menjelaskan kepada penderita apa yang akan dilakukan padanya,
sambil memperagakan dengan menyentuhkan ujung ballpoint pada
lengannya dan satu atau dua titik pada telapak tangan
c. Bila penderita merasakan sentuhan tersebut diminta untuk menunjukkan
tempat sentuhan tersebut dengan jari tangan yang lain .
d. Tes diulangi sampai penderita mengerti dan kooperatif.
e. Penderita diminta tutup mata atau menoleh kearah berlawanan dari
tangan yang diperiksa.
f. Penderita diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh .
g. Usahakan pemeriksaan titik tersebut acak dan tidak berurutan
h. Penyimpangan letak titik yang bisa diterima < 1,5 cm.

2) Fungsi Motorik (Kekuatan Otot)Saraf Ulnaris, Medianus dan Radialis.


a. Saraf Ulnaris (Kekuatan Otot Jari kelingking).
- Tangan kiri pemeriksa memegang ujung jari 2, 3, dan 4 tangan kanan
penderita dengan telapak tangan penderita menghadap keatas dan
posisi ektensi (jari kelingking / 5 bebas bergerak tidak terhalang oleh
tangan pemeriksa .
- Minta penderita mendekatkan dan menjauhkan kelingking dari jari-
jari lainnya,bila penderita dapat melakukannya minta ia menahan
kelingkingnya pada posisi jauh dari jari lainnya , dan kemudian ibu
jari pemeriksa mendorong pada bagian pangkal kelingking. 6,14
Penilaian :

- Bila jari kelingking penderita tidak dapat mendekat atau menjauh


berarti dari jari lainnya berarti lumpuh.
- Bila jari kelingking penderita tidak dapat menahan dorongan pemeriksa
berarti lemah

- Bila jari kelingking penderita dapat menahan doronga pemeriksa ibu


jari bisa maju dan dapat menahan dorongan ibu jari pemeriksa berarti
masih kuat. 6,14

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 19


Bila masih ragu, penderita diminta menjepit sehelai kertas yang
diletakkan diantara jari manis dan jari kelingking tersebut, lalu pemeriksa
menarik kertas tersebut sambil menilai ada tidaknya tahanan / jepitan
terhadap kertas tesebut. 6,14 Penilaian :
- Bila kertas terlepas dengan mudah berarti kekuatan otot lemah .
- Bila ada tahanan terhadap kertas tersebut berarti otot masih kuat. 6,14

b. Saraf Medianus (Kekuatan Otot Ibu Jari )


- Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk sampai kelingking
tangan kanan penderita agar telapak tangan penderita menghadap
keatas,dan dalam posisi ekstensi

- Ibu jari penderita ditegakkan keatas sehingga tegak lurus terhadap


telapak tangan penderita (seakan-akan menunjuk kearah hidung) dan
penderita diminta untuk mempertahankan posisi tersebut.
- Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari yaitu dari bagian
batas antara punggung dengan telapak mendekati telapak tangan. 6,14
Penilaian :

- Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat .


- Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti sudah lemah .
- Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh. 6,14

c. Saraf Radialis ( Kekuatan otot Pergelangan tangan ).


- Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah tangan
kanan penderita .

- Penderita diminta menggerakkan pergelangan tangan yang terkepal


keatas (ektensi).

- Penderita diminta bertahan pada posisi ektensi (keatas) lalu dengan


tangan kanan pemeriksa menekan tangan penderita kebawah kearah
fleksi. 6,14
Penilaian :

- Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat .

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 20


- Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah .

- Bila tidak ada gerakan dan tahanan berarti lumpuh (pergelangan tangan
tidak bisa digerakkan keatas). 6,14

3. Kaki

a) Fungsi Rasa Raba (Saraf Tibialis Posterior)


- Kaki kanan penderita diletakan pada paha kiri, usahakan telapak
kaki menghadap keatas .
- Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki penderita .
- Cara pemeriksaan sama seperti pada rasa raba tangan.
- Pada daerah yang menebal sedikit menekan dengan cekungan
berdiameter 1 cm.

- Jarak penyimpangan yang bisa diterima maksimal 2,5 cm. 6,14

b) Fungsi Motorik: Saraf Peroneus (Saraf Poplitea Lateralis)


- Dalam keadaan duduk ,penderita diminta mengangkat ujung kaki
dengan tumit tetap terletak dilantai / ektensi maksimal (seperti
berjalan dengan tumit).
- Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu
pemeriksa dengan kedua tangan menekan punggung kaki penderita
kebawah/lantai. 6,14
Keterangan:

- Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kuat.


- Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah .
- Bila tidak ada gerakan dan tahanan lumpuh (ujung kaki tidak bisa
ditegakkan keatas).

6,14

2.8. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit). 6


Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu penegakan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21


diagnosis dan followup pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan
kulit yang di warnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA),
antara lain dengan Ziehl-Neelsen. Hasil pemeriksaan bakterioskopik yang
negatif pada seorang penderita, belum tentu orang tersebut tidak mengandung
kuman lepra.7,14
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai 6+
menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP). 7,14
Tabel 2.5 Kepadatan BTA 6,7

Indeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan


dengan jumlah solid dan nonsolid. 6,7
Rumus : Jumlah BTA solid x 100% =x%
Jumlah BTA solid + non solid

Syarat perhitungan:

a) Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA

b) IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk medapat 100 BTA harus
mencari dalam 1000 sampai 10.000 lapangan

c) Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+ maksimum


harus dicari dalam 100 lapangan. 6,7

b. Pemeriksaan Histopatologik
Granuloma adalah akumulasi makrofag atau derivat-derivatnya.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 22


Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan bersifat non solid.
Pada tipe lepromatosa terdapat zona sunyi subepidermal (subepidermal clear
zone), yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak
patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline,
terdapat campuran unsur-unsur tersebut.7
Tabel 2.6 Karakteristik histologis berbagai tipe kusta menurut Ridley-Jopling.7

c. Pemeriksaan Serologik

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi


pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk
dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic
glycolipid-1 (PGL1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan
antibodi tidak spesifik antara lain antibodi anti- lipoarabinomanan (LAM),
yang juga dihasilkan oleh kuman M. Tuberculosis. 7
Kegunaan pemeriksaan serologik ini adalah dapat membantu
diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak
jelas. Di samping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis karena
tidak didapati lesi kulit, misalnya pada kontak serumah. 7
Macam-macam pemeriksaan serologik kusta adalah uji MLPA

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 23


(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked
Immunosorbent Assay) dan uji ML dipstick (Mycobacterium Leprae
Dipstick). 7
2.9. Tatalaksana

Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin dan rifampisin. Untuk
mencegah resistensi , pengobatan tuberkulosis telah menggunakan multidrug
treatment (MDT) sejak tahun 1951, sedangkan untuk kusta baru di mulai
pada tahun 1971. 7

Regimen pengobatan MDT

Kombinasi obat dapson (DDS), rifampisin, dan klofazimin (lampren)


bertujuan untuk mengurangi resistensi dapson, memperpendek masa
pengobatan, mempercepat memutus mata rantai penularan, serta mengurangi
ketidak-taatan pasien dan menurunkan angka putus obat. 12
Berdasarkan
klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan pengobatan, penderita kusta
dibagi menjadi 3 grup, yaitu pausibasilar dengan lesi tunggal, pausibasilar
dengan lesi 2-5 buah dan penderita multibasilar dengan lesi lebih dari 5 buah.
Oleh sebab itu skema rejimen MDT- WHO menjadi sebagai berikut: 14
1. Rejimen PB dengan lesi kulit 2-5 buah, terdiri atas rifampisin 600 mg
sebulan sekali, di bawah pengawasan, ditambah dengan DDS 100 mg/hari
(1-2 mg/kgBB) swakelola selama 6 bulan.
a) Rejimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah, terdiri atas kombinasi
rifampisin 600 mg sebulan sekali di bawah pengawasan, DDS 100
mg/hari swakelola ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi
dan 50 mg/hari swakelola. Lama pengobatan 1 tahun.
b) Rejimen PB dengan lesi tunggal, terdiri atas rifampisin 600 mg
ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg (ROM)
dosis tunggal.
c) Dosis tersebut merupakan dosis dewasa, untuk anak-anak disesuaikan
dengan berat badan. 14

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 24


Berikut merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT: 12,14
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.
2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal dibawah ini:

a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
c. Pindahan (pindah masuk)
d. Ganti klasifikasi/tipe

Berikut merupakan regimen pengobatan MDT di Indonesia


sesuai dengan yang direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut
adalah sebagai berikut: 13,14
Tabel 2.7 Pengobatan Morbus Hansen Pausibasiler 13,14

Keterangan:

Dewasa

Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum diminum didepan petugas)


- 2 kapsul rifampisin @ 300mg (600 mg)
- 1 tablet dapson/DDS 100mg Pengobatan harian: hari ke 2-28
- 1 tablet dapson/DDS 100 mg

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 25


Tabel 2.8 Pengobatan Morbus Hansen Multibasiler. 13,14

Keterangan:

a. Dewasa
- Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
• 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
• 3 tablet lampren @ 100mg (300 mg)
• 1 tablet dapson/DDS 100 mg - Pengobatan harian: hari ke 2-28
• 1 tablet lampren50 mg
• 1 tablet dapson/DDS 100 mg 13,14

b. Dosis MDT MB untuk anak (10-14 tahun)


- Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminumdi depan petugas)
• 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
• 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)
• 1 tablet dapson/DDS 50 mg - Pengobatan harian: hari ke 2-28
• 1 tablet lampren 50 mg selang sehari
• 1 tablet dapson/DDS 50 mg 13,14

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 26


Pengobatan Reaksi Kusta

Prinsip pengobatan reaksi kusta : 13,14


• Pemberian obat antireaksi
• Istirahat atau imobilisasi
• Analgetik, sedatif untuk mengatasi rasa nyeri
• Obat anti kusta diteruskan

Pada Reaksi ENL obat yang sering dipakai adalah prednison. Dosisnya
tergantung kepada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg
sehari, kadang-kadang lebih tergantung makin beratnya reaksi. Klofazimin
sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti reaksi ENL, tetapi
dengan dosis yang lebih tinggi, biasanya 200-300 mg sehari.
7,13
Lampren/ klofazimin diberikan dengan cara: 14
• 3 x 100 mg/hari selama 2 bulan
• 2x 100 mg/hari selama 2 bulan
• 1 x 100 mg/hari selama 2 bulan

Pada reaksi reversal perlu diperhatikan, apakah reaksi disertai neuritis atau
tidak. Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberikan pengobatan
tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid
yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya neuritis. Biasanya
diberikan prednison 40-60 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-perlahan.
Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan
sedatif kalau diperlukan dapat diberikan, klofazimin untuk reaksi reversal
kurang efektif.7 Cara pemberian kortikosteroid : 14
• Dimulai dengan dosis tinggi atau sedang
• Gunakan prednison atau prednisolon
• Gunakan sebagai dosis tunggal pagi hari
• Dosis diturunkan setelah terjadi respon maksimal
• Dosis dapat dimulai antara 40-80 mg prednison/ hari dan diturunkan 5-
10 mg/ 2 minggu.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 27


Tabel 2.9 Pemberian prednison 6,13

2.10. Pencegahan Kecacatan

Cara terbaik untuk melakukan pencegahan kecacatan atau prevention


of disabilities adalah (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini
kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat, selanjutnya dengan
mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta
memulai pengobatan sesegera mungkin. 6
WHO expert Committee on leprosy (1997) membuat klasifikasi
kecacatan pada penderita kusta, yaitu: 6
Cacat pada tangan dan kaki
a. Tingkat 0: tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau
deformitas yang terlihat.
b. Tingkat 1: ada gangguan sensibilitas tanpa kerusakan atau deformitas yang
terlihat
c. Tingkat 2: terdapat kerusakan atau deformitas

Cacat pada mata

a. Tingkat 0: tidak ada kelainan / kerusakan pada mata (termasuk visus)


b. Tingkat 1: ada kelainan / kerusakan pada mata tetapi tidak terlihat dengan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 28


visus sedikit berkurang
c. Tingkat 2: ada kelainan mata yang terlihat dan atau visus yang terganggu
Kerusakan pada tangan atau kaki dapat berupa ulserasi, absorbs,
mutilasi, dan kontraktur.Kerusakan pada mata dapat berupa anestesi kornea,
iridosiklitis, dan lagoftalmos. 6,7

2.11. Prognosis

Pada penderita yang tidak diberi pengobatan maka pasien dapat


sembuh sendirinya yaitu pada tipe TT atau pasien BT yang beralih ke TT. Di
lain hal penyakit ini dapat menjadi progresif dengan kejadian morbiditas pada
kerusakan saraf dan reaksi kusta. 6,7

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 29


BAB 3

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. SE

Umur

Jenis Kelamin : Perempuan


Pekerjaan :-
Pendidikan : SMA
Alamat : Jl. Kampung Dalam, Kota Pariaman
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Suku
Asal
No. HP : 085265437213

ANAMNESIS

Seorang pasien perempuan berusia 21 tahun rujukan dari Puskesmas


Kampung Dalam datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP. Dr. M.
Djamil, dengan:

KELUHAN UTAMA
Bercak berwarna keputihan dengan pinggir kemerahan yang terasa kebas tanpa
disertai nyeri ataupun gatal di tangan kanan atas.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

 Awalnya bercak muncul dengan diameter kurang lebih 1 cm yang tidak


gatal, nyeri dan kurang rasa di lengan kanan atas sejak 3 tahun yang
lalu.
 Bercak membesar sejak 1 tahun yang lalu. Bercak terasa tebal dan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 30


kurang berasa saat dipegang, nyeri tidak ada, gatal tidak ada.

 Pasien mengeluhkan sering kebas pada tangan kanan sejak 1 tahun yang
lalu, kebas muncul tiba-tiba dan hilang dengan sendirinya.
 Penurunan tajam penglihatan tidak ada

 Riwayat kelopak mata tidak dapat menutup sempurna tidak ada.

 Demam dan riwayat demam disangkal.

 Riwayat kerontokan alis tidak ada.

 Riwayat tangan yang susah digerakkan tidak ada

 Riwayat tungkai yang susah digerakkan tidak ada

 Nyeri sendi tidak ada

 Riwayat memakai alat mandi bersama tidak ada

 Riwayat sering meminjam baju orang lain tidak ada

 Pasien mandi 2x sehari


 Riwayat memeliki hewan peliharaan ada, pasien memelihara kucing
sejak 3 tahun yang lalu, tidak ada riwayat bulu rontok pada kucing.
 Pasien datang ke Puskesmas Kampung Dalam, Pariaman kemudian
dirujuk ke RSUD Kota Pariaman kemudian ke RSUP Dr. M. Djamil
Padang untuk pemeriksaan dan tatalaksana lanjutan.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

 Keluhan dan lesi serupa sebelumnya tidak ada

 Riwayat kontak lama dengan orang yang memiliki keluhan seperti pasien
ada

 Pasien sudah mendapatkan imunisasi BCG

 Riwayat batuk-batuk lama dan minum obat paket 6 bulan tidak ada

 Riwayat hipertensi, DM dan penyakit jantung tidak ada.

 Riwayat pengobatan tidak ada, riwayat pengobatan tradisional tidak ada.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 31


RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA

 Riwayat anggota keluarga dengan keluhan yang sama ada, ibu pasien
mengalami keluhan yang sama 5 tahun yang lalu dan telah didiagnosis
kusta. Ibu pasien telah mengonsumsi obat selama 1 tahun. Saat ini
keluhan pada Ibu pasien tidak ada.

 Riwayat anggota keluarga dengan batuk lama dan konsumsi obat paket
6 bulan tidak ada
 Riwayat atopik pada keluarga tidak ada.

RIWAYAT PEKERJAAN, SOSIAL, EKONOMI

 Pasien tinggal di Kampung Dalam, Kota Pariaman. Sebelumnya, pada


tahun 2011 pasien tinggal di Jakarta. Ibu pasien sehari-hari bekerja
sebagai penjual nasi yang lokasinya di dekat Rumah Sakit Kusta di
Jakarta. Pasien dan keluarga baru pindah ke Padang tahun 2015

 Pasien belum menikah

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalisata

Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Komposmentis Kooperatif

Nadi : 80x/menit

Napas : 18x/menit

Berat Badan : 53 kg

Tinggi badan : 163 cm

IMT : 19,95 kg/m2

Status gizi : Normoweight

Kepala : Normosefal, rambut hitam dan tidak mudah

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 32


dicabut

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),


lagoftalmus (-), proptosis (-), visus tidak
dilakukan

Hidung : Tidak ada deviasi, krepitasi (-)


KGB : Tidak ada pembesaran
Pemeriksaan thorak : Dalam batas normal
Pemeriksaan abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : CRT < 2 detik, edema (-)

Status Dermatologikus
Lokasi : Lengan kanan atas
Distribusi : terlokalisir
Bentuk : Tidak khas
Susunan : Tidak khas
Batas : Tegas
Ukuran : Plakat
Efflorosensi : plak hipopigmentasi dengan pinggir eritem

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 33


Gambar 3.1 Makula hipopigmentasi dengan pinggir kemerahan pada
lengan kanan atas.

Status Venerologikus : Tidak dilakukan pemeriksaan


Kelainan selaput : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan kuku : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan rambut : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan Kelenjar Limfe : Tidak terdapat pembesaran KGB

Pemeriksaan Sensoris
 Rasa raba : Hipostesi pada lesi di lengan atas kanan
 Rasa nyeri : Hipostesi pada lesi di lengan atas kanan
 Perbedaan suhu : Tidak dilakukan pemeriksaan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 34


Pemeriksaan Saraf Tepi

 N. Fasialis : penebalan (-/-), nyeri (-/-)

 N. Trigeminus : penebalan (-/-), nyeri (-/-)

 N. Ulnaris : penebalan (-/-), nyeri (-/-)

 N. Medianus : penebalan (-/-), nyeri (-/-)

 N. Radialis : penebalan (-/-), nyeri (-/-)

 N. Tibialis Posterior : penebalan (-/-), nyeri (-/-)


Pemeriksaan Motoris:
 M. Orbiculari oculi : 5/5

 M. Extensor of wrist joint : 5/5

 M. Flexor digitorum superficialis-profundus : 5/5

 M. Abductor pollicis brevis : 5/5

 M. Opponens pollicis : 5/5

 M. Palmar interossei & adductor pollicis : 5/5

 M. Lumbricals + interossei : 5/5

 M. Palmar interossei : 5/5

 M. Dorsal interossei : 5/5

 M. Dorsiflexors of ankle : 5/5

 M/ Extensir hallucis longus : 5/5

 M. Peronei longus & brevis : 5/5

 M. Intrinsic muscle of feet : 5/5

Pemeriksaan kecacatan :

 Mutilasi : Tidak ada

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 35


 Absorbsi : Tidak ada

 Atrofi otot : Tidak ada

 Xerosis kutis : Tidak ada

 Ulkus trofik : Tidak ada

 Madarosis : Tidak ada

 Lagoftalmus : Tidak ada

 Claw hand : Tidak ada

 Ape hand : Tidak ada

 Wrist drop : Tidak ada

 Dropped foot : Tidak ada

 Facies leonina : Tidak ada

RESUME

Dari pemeriksaan fisik didapatkan status generalisata pasien normoweight,


organ lain dalam batas normal dan status dermatologikus yaitu: ditemukan lesi
yang berlokasi di lengan kanan atas dengan distribusi terlokalisir. Bentuk dan
susunan lesi tidak khas, batas tegas, dengan ukuran plakat, dan efflorosensi
makula hipopigmentasi dengan pinggir kemerahan di lengan kanan atas.

DIAGNOSA KERJA

Suspek Morbus Hansen tipe PB

DIAGNOSIS BANDING

Suspek Morbus Hansen tipe PB dd tinea korporis

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Histopatologi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 36


Makroskopik:

Sepotong jaringan berkulit, berlemak, putih kecokelatan, kenyal


padat ukuran 2,5 x1,5 x 1 cm penampang putih kecokelatan, ada bagian
kekuningan.
Mikroskopik:

Tampak jaringan kulit dengan permukaan dilapisi epitel berlapis


gepeng berkeratin yang seagian atrofi. Dibawahnya pada lapisan dermis
tampak adneksa kulit dan granuloma yang terdiri dari histosit, epitheliod da
sel sel limfosit terutama periadneksa dan perineural. Tampak juga adanya
kapiler – kapiler hiperemis.
Kesan : Morbus Hansen tipe PB

2. Pemeriksaan Anjuran

 Pemeriksaan slit skin smear test

 Pro biopsi
DIAGNOSIS

Morbus Hansen tipe PB dengan kecatatan derajat 0

TATALAKSANA

Tatalaksana Umum

• Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit kusta disebabkan oleh


infeksi M. Leprae dan komplikasinya dapat menyebabkan kecacatan.
• Menjelaskan kepada pasien untuk berobat secara teratur dan tidak boleh
putus obat serta menjelaskan mengenai efek samping obat yang dapat
membaik setelah obat dihentikan.
• Menyarankan untuk melakukan pemeriksaan pada anggota keluarga
serumah karena penyakit ini merupakan penyakit yang menular pada
kontak lama dan erat.
Tatalaksana Khusus

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 37


 MDT-PB selama 6-9 bulan
Pengobatan bulanan :
o Hari 1 2 Kapsul Rifampisin 300 mg (600mg) per oral
o 1 Tablet Dapson 100 mg/ hari per oral
Pengobatan harian: hari ke 2-28:
o 1 Tablet Dapson 100 mg/ hari per oral

PROGNOSIS

• Quo ad Vitam : Bonam


• Quo ad Sanationam : Bonam
• Quo ad Functionam : Dubia ad malam
• Quo ad kosmetikum : Dubia ad bonam

RESEP

Praktek Umum
dr. Salsabila Oktaverina
SIP: 014/04/22020
Praktek Senin – Jumat 16.00 – 20.00
Jalan Minahasa II No. 9, Jati, Padang Telp. 0751-9653

Padang, 12 Januari 2022


R/ Rifampisin cap 300 mg No. VI
S1dd cap II £

R/ Dapson tab 100 mg no. XXX


S1dd tab 1 £

Pro

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 38


Umur : 21 tahun
Alamat : Kampung Dalam, Pariaman

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 39


BAB 4
DISKUSI

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 40


DAFTAR PUSTAKA

1. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatrick’s Dermatology


in General Medicine 8th ed. New York : McGraw Hill 2011.
2. Wisnu I, Daili ESS, Menaldi. Kusta. Dalam: Menaldi SL (eds). Ilmu
Penyakit kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2017.
3. Kusta. Pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015.pp: 1-
8.

4. Global Leprosy Strategy 2016-2020. World Health Organization. 2016.

5. Global Leprosy Update. World Health Organization. 2017

6. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatrick’s


Dermatology in General Medicine 8th ed. New York : McGraw Hill
2011.

7. Wisnu I, Daili ESS, Menaldi. Kusta. Dalam: Menaldi SL (eds). Ilmu


Penyakit kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2017.

8. Kusta. Pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015.pp: 1-


8.

9. Global Leprosy Strategy 2016-2020. World Health Organization. 2016.

10. Global Leprosy Update. World Health Organization. 2017

11. Hajar,S. Morbus Hansen Biokimia dan Imunopatogenesis. Journal


Kedokteran Syiah Kuala. 2017. Vol.17(3), p.190-4.

12. Schieke SM, Garg A. Fungal disease: superficial fungal infection.


In:Goldsmith
13. LA, Katz SI,Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds.
Fitzpatrick’s Dermatology in GeneralMedicine. 8th Ed: Volume 2.
New York: McGraw-Hill; 2012.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 41


14. James WD, Berger TG, Elston DM, eds. Andrews’ Disease of the
Skin, Clinical Dermatology.12th Ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2015.

15. Burns T., B.S., Cox N. et al,Rook’s Textbook of Dermatology.9th


Edition.2016.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 42

Anda mungkin juga menyukai