Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

POLIP NASI SINISTRA, SINUSITIS MAKSILARIS


SINISTRA

Oleh
Qamara Kalehismaningrat
H1A 009 046

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
MATARAM
2015

POLIP NASI SINISTRA, SINUSITIS MAKSILARIS SINISTRA


Qamara Kalehismaningrat
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram

PENDAHULUAN
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari
hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh
dunia. Sinusitis didefiniskan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai
atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut (common cold) yang merupakan infeksi virus,
yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Sinusitis yang paling banyak ditemukan
adalah sinusitis maksilaris. 1,2
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi, seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osteo-meatal
(KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada
sindroma Kartagener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. 3
Polip hidung adalah masa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga
hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Polip dapat
timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut.4
Diduga predisposisi timbulnya polip nasi ialah adanya rinitis alergi atau penyakit
atopi, akan tetapi banyak penelitian yang mengemukakan berbagai teori dan para ahli sampai
saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan pasti.
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom
serta predisposisi genetik. Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif
atau reaksi alergi pada mukosa hidung. 5

LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. H

Umur

: 50 Th

Jenis Kelamin : Laki laki


Agama

: Islam

Alamat

: Dompu

Pekerjaan

: PNS

ANAMNESIS

Keluhan utama :
Hidung tersumbat
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke poliklinik THT RSUP NTB dengan keluhan hidung tersumbat yang
dirasakan sejak 4 bulan yang lalu. Keluhan hidung tersumbat ini dirasakan terutama pada
hidung sebelah kiri. Awalnya dirasakan ringan, namun semakin lama semakin memberat.
Pasien juga mengeluh pilek yang terus-menerus. Selain itu juga keluar cairan dari
lubang hidung, kadang kental kadang cair; warna cairan bening, tidak ada darah, dan
berbau sejak kurang lebih 4 bulan yang lalu. Selain itu pasien mengeluh penciuman
berkurang pada hidung kiri.
Pasien terkadang mengeluhkan nyeri di sekitar hidung ketika pilek kambuh. Nyeri
lebih dirasakan dalam keadaan menunduk. Kadang pasien merasakan demam. Keluhan
mata berair, suara sengau, keluar darah dari hidung, dan sesak disangkal. Keluhan pada
telinga dan tenggorokan tidak ada. Pasien mengatakan sering bersin-bersin terutama jika

terkena debu dan saat udara dingin. Tidak ada keluhan mual ataupun muntah.
Riwayat penyakit dahulu:
Pernah merasakan keluhan yang sama sebelumnya pada 9 tahun yang lalu dan sudah
pernah di operasi dan di drainase. Sering pilek yang kambuh-kambuhan bila terpapar

debu dan udara dingin, Asma (-), HT (-), DM (-), Sakit gigi atau gigi bolong (-).
Riwayat penyakit keluarga:
Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit yang sama dengan pasien,
Asma (-), HT (-), DM (-).

Riwayat alergi:
Pasien mengaku alergi terhadap debu dan udara dingin. Alergi makanan (+) ikan laut,
obat-obatan (-).
Riwayat Pengobatan

Pasien pernah berobat ke rumah sakit dan gejalanya tidak berkurang

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien bekerja sebagai PNS, Sering terpapar debu terutama saat mengendarai motor.

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis

Keadaan umum : Baik


Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital :
Tensi : 130/70 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Respirasi: 18 x/menit
Suhu: 36,8 oC

Status Lokalis
Pemeriksaan telinga
No

Pemeriksaan

Telinga kanan

Telinga kiri

.
1.

Telinga
Tragus

Nyeri tekan (-), edema(-)

Nyeri tekan (-), edema (-)

2.

Daun telinga

Bentuk dan ukuran

Bentuk dan ukuran dalam

dalam batas normal,

batas normal, hematoma (-),

hematoma (-), nyeri tarik

nyeri tarik aurikula (-)

aurikula (-)
Serumen(-),hiperemis(-),

Serumen (-), hiperemis (-),

furunkel (-), edema(-),

furunkel (-), edema (-),

otorhea (-)

otorhea (-)

Retraksi (-), bulging (-),

Retraksi (-), bulging (-),

hiperemi (-), edema (-),

hiperemi (-), edema (-),

perforasi (-),cone of light

perforasi (-),cone of light

(+)

(+)

3.

4.

Liang telinga

Membran timpani

Pemeriksaan hidung

Pemeriksaan
Hidung
Hidung luar

Hidung kanan

Hidung kiri

Bentuk (N), inflamasi (-), Bentuk (N), inflamasi (-),


nyeri tekan (-), deformitas nyeri tekan (-),deformitas
(-)

(-)

Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi
Hiperemis (-), sekret (-)

Hiperemis

(-),

sekret

mukopurulen (+)
Cavum nasi
Bentuk (normal), hiperemia Bentuk

(normal),

(-)

hiperemia (-)

Mukosa hiperemis (-),

Mukosa hiperemis (-),

sekret(-), Massa (-)

sekret (+), Massa (+)

Meatus nasi media

putih abu-abu
Konka nasi inferior
Edema (-), mukosa hiperemi Edema (-), mukosa
(-)
Septum nasi
Palpasi

hiperemi (-)

Deviasi (-), benda asing (-), Deviasi (-), benda asing(-),


perdarahan (-), ulkus (-)
sinus Nyeri tekan (-)

maksila dan frontal


Transiluminasi

Suram (-)

perdarahan (-), ulkus (-)


Nyeri tekan (+)
Suram (+)

Pemeriksaan Tenggorokan

Mukosa Bukal
Lidah
Uvula
Palatum mole
Faring
Tonsila palatina

berwarna merah muda, hiperemia (-)


Normal
Normal
Ulkus (-), hiperemi (-)
Mukosa hiperemi (-), membrane (-), granul (+)
Hiperemia (-), ukuran T2-T2, Kripte melebar (-), detritus (-)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Foto rontgen Waters

Hasil bacaan : Sinusitis Maksilaris Sinistra

RENCANA TERAPI

Pro polipektomi dextra


Pro Irigasi sinus maksilaris
Cefixim 2x200 mg selama 10 hari
Demacolin 3x1 selama masih ada gejala/keluhan

RENCANA PEMERIKSAAN

DL
Foto Thorax
SGOT/SGPT
PTT/APTT
Gula darah
BT/CT

KIE

Pasien dianjurkan untuk bed rest, agar kondisi tubuh dapat prima, sehingga proses
penyembuhan penyakit dapat cepat berjalan.

Diet seimbang dan tingkatkan konsumsi makanan tinggi vitamin

Kompres air hangat pada wajah untuk meringankan gejala jika muncul keluhan nyeri

Antibiotik yang diberikan diminum sampai habis.

Hindari factor pencetus seperti debu dengan mengunakan masker

PROGNOSIS
Dubia ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI DAN FISIOLOGI 7
Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian bagiannya dari atas ke bawah :
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis pars
allaris. Kerja otot otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit. Batas
atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks sampai apeks
(puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang
dibatasi oleh :
-

Superior : os frontal, os nasal, os maksila

Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor
dan kartilago alaris minor

Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi
fleksibel. Perdarahan :
1. A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A.
Oftalmika, cabang dari a. Karotis interna).
2. A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris interna,
cabang dari A. Karotis interna)
3. A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
Persarafan :
1. Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
2. Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)
Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang
membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini berhubungan

dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media. Batas
batas kavum nasi :
Posterior

: berhubungan dengan nasofaring

Atap

: os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale

dan sebagian os vomer


Lantai

: merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal,

bentuknya konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian ini
dipisahnkan dengan kavum oris oleh palatum durum.
Medial

: septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra

dan sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit, jaringan
subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang terdiri dari kartilago ini
disebut sebagai septum pars membranosa = kolumna = kolumela.
Lateral

: dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os

etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.


Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang
etmoid. Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan
di atas dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang
berhubungan dengan sinis sfenoid. Kadang kadang konka nasalis suprema dan
meatus nasi suprema terletak di bagian ini.
Perdarahan :
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina yang
merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang merupakan
cabang dari A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa
yang berjalan bersama sama arteri.

Persarafan :
1. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N.
Etmoidalis anterior
2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum
masuk melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor
menjadi N. Sfenopalatinus.

Gambar 1. Anatomi Hidung 10


Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar
rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai
silia dan diantaranya terdapat sel sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara
mukosanya lebih tebal dan kadang kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa.
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh
palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah
nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri
dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan
pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan
hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang
berlebihan, radang, sekret kental dan obat obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia
(pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel,
yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna
coklat kekuningan.

Fisiologi hidung
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi
konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran
udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui
koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan
tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang
membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara
yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,
sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu
udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut
lendir dan partikel partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks
bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut
lysozime.
4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius
pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.

Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau
bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung
akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara
sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana
rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk
aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
Anatomi Sinus Paranasal
Manusia memiliki sekitar 12 rongga di sepanjang atap dan bagian lateral kavum nasi.
Sinus sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah, dan diberi nama sesuai
dengan tulang tersebut, yaitu sinus maksilaris, sinus sfenoidalis, sinus frontalis, dan sinus
etmoidalis. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan yang mengalami modifikasi,
yang mampu mengkasilkan mukus, dan bersilia. Sekret yang dihasilkan disalurkan ke dalam
kavum nasi. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara.1
Secara embrionik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai dari fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan frontal. Sinus
maksila dan sinus etmoid sudah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari
sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus
sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian superior rongga hidung. Sinussinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.2

Gambar 2. Sinus Paranasal dan


Ostiumnya 9
1). Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus
ialah permukaan fasial os maksilla yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung,
dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan
palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara
ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.2
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah :2
a) Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar
(p1 dan p2), dan molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi
molar 3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga
infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis
b) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita
c) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya
tergantung dari gerak silia, lagipula drenase juga harus melalui infundibulum yang
sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan
akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila
dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.

Gambar 2. Sinus Maksilaris10


2). Sinus Frontal
Sinus frontal terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus, berasal
dari sel-sel resesus frontal atau dari sel- sel infundibulum etmoid. setelah lahir, sinus frontal
mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia
20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, dan dipisahkan oleh sekat yang
terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempuyai satu sinus frontal,
dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.2
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm, dan dalamnya 2cm.
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinusnya berlekuk-lekuk. Tidak adanya
gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan
adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa
serebri anterior, sehingga infeksi dan sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan
infundibulum etmoid.2

3). Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir- akhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya.
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi:2
1) Sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior
yang bermuara di meatus posterior.
2) Sinus posterior yang lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior
dari lamina basalis
Di bagian terdepat sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus
frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut pula
etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum,
tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal
dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan
sinusitis maksila.1,2
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa.
Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid
dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus
sfenoid.2
4). Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus
sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm
tingginya, dalam 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. volumenya bervariasi dari 5-7,5 ml. Saat sinus
berkembang, pembuluh darah dan nervus di bangian lateral os sfenoid akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.2
Batas-batasnya adalah sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus
kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah
posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.2

SINUSITIS MAKSILARIS

1) Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus parasanal. Umumnya disertai
atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah
selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh
infeksi bakteri.3
2) Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi, seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osteo-meatal
(KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada
sindroma Kartagener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik.3
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga
perlu dilakukan adenoidektomi untuk mengangkat sumbatan dan menyembuhkan
rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta
kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak
silia.3
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut adalah
streptococcus Pneumonia (30-50%). Hemophylus Influenzae (20-40%) dan Moraxella
Catarrhalis (4%). Pada anak, M.Catarrhalis lebih banyak ditemukan (20%). Pada sinusitis
kronik, faktor predisposisi lebih berperan, tetapi umumnya bakteri yang ada lebih condong ke
arah bakteri gram negatif dan anaerob.3

Faktor resiko yang berhubungan dangan patogenesis rinosinusitis 9

3) Patogenesis
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mokosiliar (mucociliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi
antimikrobial dan zat-zat yang bersifat sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman
yang masuk bersama udara pernafasan.3
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema,
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium
tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan
terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis nonbacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Bila kondisi ini
menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan
multiplikasi bakteri. Gangguan penyerapan dan aliran udara di dalam sinus juga
menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi oleh selaput permukaan
sinus akan menjadi lebih kental dan menjadi mudah untuk bakteri timbul dan berkembang
biak. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi
antibiotik.3,5
Jika terapi ini tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi
berlanjut terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa semakin membengkak
dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa
menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid, atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini
mungkin diperlukan tindakan operasi.3
4) Manifestasi Klinis

Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan
pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat
disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah
sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa
di tempat lain (reffered pain). Nyeri pada pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri di antara
atau di belakang kedua bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh
kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks,
oksipital, belakang bola mata, dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada
nyeri alih ke gigi dan telinga.3
Selain itu, gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise dan nyeri
kepala yang tak jelas biasanya reda dengan pemberian analgetika biasa seperti aspirin. Wajah
terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, seperti sewaktu
naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta
nyeri pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang
berbau busuk. Batuk inisiatif non-produktif seringkali ada. Transluminasi berkurang bila
sinus penuh cairan.3,8

5). Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasal dilakukan inspeksi dari
luar, palpasi, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, transluminasi, pemeriksaan radiologic
dan sinoskopi.2,3

a) Pemeriksaan Fisik
Pada Inspeksi, yang diperhatikan adalah adanya pembengkakan pada muka.
Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahmerahan mungkin menunjukkan sinusitis maksila akut. Pembengkakan di kelopak
mata atas mungkin menunjukkan sinusitis frontal akut. Sinusitis etmoid akut jarang

menyebabkan pembengkakan di luar, kevuali bila telah terbentuk abses.


Pada palpasi, didapatkan nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan
adanya sinus maksila. Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar frontal,

yaitu pada bagian medial atap orbita. Sinusitis etmoid menyebabkan rasa nyeri

tekan di daerah kantus media.


Transluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk
memeriksa sinus maksila dan sinus frontal. Bila pada pemeriksaan transluminasi
tampak gelap di daerah infraorbita, mungkin berarti antrum terisi oleh pus atau
mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum. Bila terdapat
kista yang besar di dalam sinus maksila, akan tampak terang pada pemeriksaan
transluminasi. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas
penggunaannya.
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-

endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda yang khas
adalah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal)
atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid) Pada rinosistis akut,
mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah
kantus medius.2,3
b) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos
posisi water, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus
besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas
udara-cairan (air-fluid level) atau penebalan mukosa. CT scan sinus merupakan gold
standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus,

adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya.
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil secret
dari meatus medius/superior, untuk mendapatkan secret yang tepat guna. Dan lebih

baik lagi bila diambil secret yang keluar dari pungsi sinus maksila.
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila
melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila
yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.3

Tabel Kriteria mayor dan minor diagnose rinosinusitis 9

Pada tahun 1997, American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery


(AAO-HNS), menerbitkan kriteria diagnosis berdasarkan gejala dan tanda sinonasal, yang
dibagi menjadi kriteria mayor dan minor. Terdapatnya 2 atau lebih tanda mayor, atau 1 mayor
dan 2 minor, maka dikatakan sugestif sinusitis.9
Kriteria diagnosis sinusitis

Mayor

Minor

Nyeri atau rasa tertekan pada wajah

Sakit kepala

Sekret nasal purulen

Batuk

Demam

Rasa lelah

Kongesti nasal

Halitosis

Obstruksi nasal

Nyeri gigi

Hiposmia atau anosmia

Nyeri atau rasa tertekan pada telinga

Diagnosis memerlukan dua atau lebih kriteria mayor atau satu kriteria mayor
dengan dua kriteria minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari.

6). Tatalaksana
Tujuan terapi sinusitis ialah 1) mempercepat penyembuhan 2) mencegah komplikasi
dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di
KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.3

Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial,
untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium
sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan
kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilinklavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selam 1014 hari meskipun gejala klinik sudah hilang.3
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan
anaerob. Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika perlukan seperti
analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau
pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat
menyebabkan sekret jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin
generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proesz displacement therapy juga merupakan terapi
tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita
kelainan alergi yang berat.3
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF / FESS) merupakan operasi terkini untuk
sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua
jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan
lebih ringan dan tindakan radikal.3
Indikasinya berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat,
sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel, polip ekstensif, adanya
komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.3
7). Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik.
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronik dengan
eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.3

Kelainan orbita

disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata


(orbita). Yang

paling sering ialah sinusitis etmoid kemudian

sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui


tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul

ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses


orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus
Kelainan

Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak

intrakranial.

dan trombosis sinus kavernosus

Osteomielitis

dan Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan

abses subperiostal.

pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul


fistula oroantral atau fistula pada pipi

Kelainan paru

seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus


paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis.
Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang
sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.

POLIP HIDUNG
A. Etiologi dan Faktor Predisposisi
Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang bertangkai,
berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan permukaan licin dan agak
bening karena mengandung banyak cairan. Polip nasi bukan merupakan penyakit
tersendiri tapi merupakan manifestasi klinik dari berbagai macam penyakit dan sering
dihubungkan dengan sinusitis, rhinitis alergi, fibrosis kistik dan asma. 6
Dulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi ialah adanya rinitis alergi atau penyakit
atopi, akan tetapi banyak penelitian yang mengemukakan berbagai teori dan para ahli
sampai saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui dengan
pasti. Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf
otonom, dan faktor predisposisi genetik. 4
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi alergi
pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum diketahui
dengan pasti tetapi ada keragu raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal
seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. 5
B. Patofisiologi
Menurut teori Bernstein, terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau
aliran udara yang berturbulensi, terutama di daerah sempit di kompleks ostiomeatal.

Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar
baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang
berakibat retensi air sehingga terbentuk polip.5
Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskular yang mengakibatkan dilepaskannya
sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan edema dan lama-kelamaan
menjadi polip.Bila proses tersebut berlanjut, mukosa yangg sembab makin membesar
menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai.5
C. Tanda dan gejala
Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung.
Sumbatan ini tidak hilang timbul dan makin lama semakin berat keluhannya. Pada
sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini
menyumbat sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan
keluhan nyeri kepala dan rinore. Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang
utama ialah bersin dan iritasi di hidung. 5
Secara makroskopik polip merupakan masa bertangkain dengan permukaan licin,
berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, agak bening, lobular, dapat
tunggal atau multipel dan tidak sensitif bila ditekan atau ditusuk tidak sakit. Warna polip
yang pucat tersebut disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran
darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau peradangan, warna polip bisa berubah
menjadi kemerahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuningan
karena banyaknya jaringan ikat.5
Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari konka hidung
yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaan antara polip dan konka polipoid
ialah 6 :
Polip :
-

Bertangkai

Mudah digerakkan

Konsistensi lunak

Tidak nyeri bila ditekan

Tidak mudah berdarah

Pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin) tidak mengecil.


Keluhan utama penderita polip hidung adalah hidung rasa tersumbat dari yang ringan

sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia dan anosmia. Mungkin

disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal.
Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernapas melalui mulut, suara sengau, halitosis,
gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Dapat menyebabkan gejala pada saluran
nafas bawah berupa batuk kronik dan

mengi, terutama penderita polip nasi dengan

asma. 5
D. Diagnosis
Diagnosis polip nasi dapat ditentukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjuang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan masa putih keabuan,
permukaan licin, bertangkai, dan tidak sensitif seperti gambaran polip hidung. Polip
hidung yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung nampak
mekar karena pelebaran batang hidung.5
Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997):5
Stadium 1 : polip masih terbatas di meatus medius.
Stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi

belum memenuhi rongga hidung.


Stadium 3 : polip yang masif.

Adanya fasilitas endoskop akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang baru.
Pada stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior
tetapi tampak dengan pemeriksaann nasoendoskopik. Pada kasus polip koana juga sering
dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila.Foto polos
sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan
penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat
pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi (CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat
dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan
anatomi, polip dan sumbatan pada kompleks ostiomeatal. CT scan terutama
diindikasikan pada polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada
komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah
endoskopi. 5
E. Terapi
Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid 6 :
7.

Oral, misalnya prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10 hari,


kemudian dosis diturunkan perlahan lahan (tappering off).

8.

Suntikan intrapolip, misalnya triamsinolon asetonid atau prednisolon 0,5 cc, tiap
5 7 hari sekali, sampai polipnya hilang.

9.

Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid, merupakan obat untuk


rinitis alergi, sering digunakan bersama atau sebagai lanjutan pengobatn
kortikosteroid per oral. Efek sistemik obat ini sangat kecil, sehingga lebih aman.
Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan ektraksi polip (polipektomi)

dengan menggunakan senar polip. Selain itu bila terdapat sinusitis, perlu dilakukan
drenase sinus. Oleh karena itu sebelum operasi polipektomi perlu dibuat foto sinus
paranasal untuk melihat adanya sinusitis yang menyertai polip ini atau tidak. Selain itu,
pada pasien polip dengan keluhan sakit kepala, nyeri di daerah sinus dan adanya
perdarahan pembuatan foto sinus paranasal tidak boleh dilupakan. Yang terbaik adalah
bila tersedia fasilitas endoskop maka dapat dilakukan tindakan Bedah Sinus Endoskopi
Fungsional (BSEF). 5,6

PEMBAHASAN
Mekanisme kasus
Adanya faktor predisposisi reaksi inflamasi mukosa hidung
Edema organ-organ yang membentuk kompleks osteomeatal
Mukosa yang berhadapan saling bertemu
Silia tidak dapat bergerak
Kondisi menetap
Inflamasi berlanjut
Hipoksia jaringan
Bakteri anaerob berkembang
Mukosa semakin membengkak
Perubahan mukosa kronik
Hipertrofi polipoid/pembentukan polip dan kista
Terganggunya patensi ostium-ostium sinus
Tekanan negatif di dalam rongga sinus

Transudasi

Sinusitis
Pasien pada kasus ini didiagnosis dengan sinusitis maksilaris dan polip nasi yang
ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik serta didukung dengan pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan hidung tersumbat serta riwayat pilek berulang
sejak satu tahun yang lalu. Pilek disertai pengeluaran sekret kental berwarna putih. Terkadang
pasien merasakan nyeri disekitar bagian hidung. Dari anamnesis diperoleh dua gejala mayor
dari gejala klinik sinusitis.
Pada pemeriksaan fisik sekret mukopurulen pada rongga hidung bagian kiri.
Didapatkan adanya massa berwarna putih keabuan, dapat digerakkan dan tidak terasa nyeri

dalam cavum nasi sinistra. Pada penekanan region maksilaris didapatkan nyeri tekan dan
pemeriksaan transiluminasi didapatkan suram pada maksilaris sinsitra. Pada pemeriksaan
penunjang foto Rontgen dengan posisi Waters didapatkan gambaran perselubungan pada
sinus maksilaris kiri.
Pasien sering terpapar oleh debu yang merupakan faktor resiko untuk terjadinya
infeksi saluran napas bagian atas, selain itu pasien juga memiliki riwayat sering bersin atau
pilek saat udara dingin dan jika terpapar debu yang dapat dikatakan pasien memiliki riwayat
rinitis alergi merupakan faktor resiko terjadinya polip hidung jika terjadinya berulang. Polip
hidung merupakan faktor resiko untuk terjadinya sinusitis pada pasien. Sinus maksilaris
merupakan sinus yang paling besar dan juga paling sering mengalami infeksi atau
peradangan.
Untuk rencana penatalaksanaan yang dilakukan pada penderita ini pada intinya adalah
untuk mengeluarkan sekret dari sinus dengan cara irigasi. Untuk menghilangkan agen
penyebab infeksi, diberikan antibiotik. Sinusitis maksilaris umumnya diterapi dengan
antibiotik spektrum luas seperti amoksisilin, ampisilin atau golongan sefalosforin. Dalam hal
ini dipilih cefixim sebagai antibiotik untuk mengeradikasi kuman penyebab, dengan alasan
antibiotik ini merupakan antibiotik spektrum luas, tingkat resistensi lebih rendah dibanding
golongan penisilin. Antibiotik diberikan selama 10 hari. Untuk mengurangi keluhan hidung
tersumbat serta nyeri dapat diberikan kombinasi dekongestan dan analgetik. Diberikan
Demacolin 3x1 jika gejala masih ada.
Untuk keluhan benjolan di rongga hidung sebelah kiri (polip), direncanakan untuk
dilakukan operasi pengangkatan polip (polipektomi) untuk mengurangi sumbatan yang
diakibat oleh massa tersebut. Sebelum dilakukan operasi, tetap diberikan pengobatan
simptomatik untuk mengurangi keluhan hidung tersumbat dan nyeri dirasakan oleh pasien.

DAFTAR PUSTAKA
1. Higler, P.,A.. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam : BOIES Buku Ajar
Penyakit THT Edisi Keenam. Jakarta: EGC. 1997.hal.173-190
2. Mangunkusumo, Endang., Damajanti Soetjipto. Sinus Paranasal. Dalam : Soepardi
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi
Keenam. Jakarta: FKUI. 2007.hal.145-149
3. Mangunkusumo, Endang., Damajanti Soetjipto. Sinusitis. Dalam : Soepardi, Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam.
Jakarta: FKUI. 2007.hal.150-153
4. Mangunkusumo, Endang., Wardani. Polip Hidung. Dalam : Soepardi, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta:
FKUI. 2007.hal.123-125
5. Darusman, Kianti Raisa. Polip Nasi. Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.
Jakarta. 2002 : p 4-19
6. Dewi, Merses Varia. Polip Nasi Pada Wanita Berusia 62 Tahun Dengan Riwayat
Sinusitis Maksilaris Dekstra. Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok,
RSUD Temanggung. Jawa Tengah. 2010.
7. Soetjipto, Damayanti., Wardani. Polip Hidung. Dalam : Soepardi, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta:
FKUI. 2007.hal.118-122
8. Higler, P.A. Penyakit Sinus Paranasal. Dalam : BIOES Buku Ajar Penyakit THT
Edisi Keenam. Jakarta: EGC.1997.hal.240-260
9. Lane, Andrew P., David W. Kennedy. Sinusitis dan poliposis. In : Ballenger
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 3th edition. Northwestern university.
Chicago. 2003. p.760-786
10. Dhingra P. Anatomy of Nose. in :Disease of Ear, Nose, and Throat 4th edition. India.
Elsevier. 2010. p 130-5,141,165.

Anda mungkin juga menyukai