Anda di halaman 1dari 22

Bab 4: Urtikaria dan Angioedema

Michihiro Hide, Shunsuke Takahagi, & Takaaki Hiragun

FAKTOR-FAKTOR LAIN YANG DAPAT MENGINDUKSI ATAU


MEMPERBURUK REAKSI URTIKARIA
Beberapa faktor diketahui mencetuskan atau memperburuk urtikaria, yang sebagian
besar memang telah ada. Faktor-faktor tersebut mungkin merupakan penyebab urtikaria
episodik atau akut namun bukan merupakan penyebab dasar urtikaria kronik (Tabel 41-
3). Faktor-faktor ini harus dievaluasi secara hati-hati dan bila ada, harus dihindari.

ACE, angiotensin-converting enzyme; OAINS, obat antiinflamasi non-steroid.

Aspirin dan Obat Antiinflamasi Non-steroid Lainnya


Aspirin dan NSAIDs lainnya, yang menghambat enzim siklooksigenase (COX)-1, dapat
menginduksi atau memperburuk wheals dan angioedema. Obat-obatan ini dapat juga
mencetuskan gejala respirasi (asma aspirin). Akan tetapi, perkembangan gejala kulit dan
respirasi tampaknya tidak bekaitan satu sama lain. Urtikaria yang diinduksi latihan fisik
dan bergantung makanan (food-dependent exercise-induced urticaria; FDEIA) dapat
diperburuk atau diinduksi dengan penggunaan aspirin atau NSAIDs ketika diberikan
dengan elemen diet yang menjadi penyebab bahkan tanpa disertai latihan fisik. NSAIDs
selektif COX-2 cenderung lebih aman dibandingkan aspirin atau inhibitor COX-1

1
lainnya yang relatif lebih poten. Akan tetapi, sensitivitas setiap pasien terhadap NSAIDs
tidak semerta-merta berkaitan dengan aktivitas inhibisi COX-1 dari obat-obatan
tersebut.

Serum Sickness
Beberapa hari hingga beberapa minggu setelah pemberian agen penyebab, yang bisa
saja tidak hanya serum heterolog, namun juga beberapa obat, urtikaria dapat terjadi
disertai dengan demam, limfadenopati, mialgia, atralgia, dan artritis. Gejala biasanya
sembuh dengan sendirinya dan bertahan selama 4 hingga 5 hari.

Produk Darah
Urtikaria dapat terjadi setelah pemberian produk darah. Biasanya merupakan hasil dari
pembentukan kompleks imun dan aktivasi komplemen. IgG teragregasi juga dapat
bertanggungjawab atas terjadinya reaksi urtika.

Media Kontras
Media kontras dapat menyebabkan reaksi alergi setelah pemberian melalui rute
intravena. Prevalensi reaksi alergi terhadap media kontras yodium (iodine contrast
media; ICM) diperkirakan mencapai 0,05% hingga 0,1% pada pasien yang menjalani
pemeriksaan radiologis dengan menggunakan ICM. Aplikasi pemberian ICM nonionik
dimerik dengan osmolalitas fisiologis yang lebih tinggi telah menurunkan jumlah
insidensi reaksi alergi onset dini dalam 1 jam, namun prevalensi reaksi hipersensitivitas
tipe lambat telah mengalami peningkatan dalam sepuluh tahun terakhir. Eritema dan
wheals dengan atau tanpa angioedema merupakan tanda yang paling umum dari reaksi
onset dini, namun pada reaksi onset lambat mungkin juga mencakup timbulnya ruam
makulopapular.
Sebagian besar reaksi berkaitan dengan mekanisme non-IgE, namun mekanisme
yang dimediasi IgE pun juga terbukti ikut terlibat yang dibuktikan dengan hasil
pemeriksaan kulit atau pemeriksaan aktivasi basofil pada beberapa kasus.

2
Aktivator Sel Mast dan Basofil Lainnya
Analgesik opiat, polimiksin B, curare, D-tubocurarine, dan vankomisin menginduksi
pelepasan histamin oleh sel mast atau basofil, khususnya ketika diberikan dalam dosis
yang tinggi, dan dapat menyebabkan urtikaria atau ruam kulit lainnya selama episode
pemberiannya. Di sisi lain, pemberian inhibitor ACE tidak menyebabkan pelepasan atau
produksi mediator oleh mereka sendiri namun menghambat degradasi dari bradikinin.
Tidak seperti sebagian besar jenis obat-obatan lain, agen-agen ini dapat menyebabkan
atau memperburuk angioedema setelah pemberian beberapa kali selama beberapa hari
atau lebih pasca pemberian. Obat-obatan ini berperan sebagai penyebab dasar dari
angioedema daripada suatu stimulus langsung (lihat Gambar 41-1).

FAKTOR RISIKO
Urtikaria dapat terjadi pada usia berapapun, dan tidak ada perbedaan prevalensi yang
telah dilaporkan berdasarkan ras atau kelompok etnik. Perempuan dua kali lebih banyak
dibandingkan laki-laki dengan CSU. CSU mungkin berkaitan dengan infeksi dan
penyakit autoimun, seperti penyakit tiroid dan penyakit kolagen (lihat bagian
“Komplikasi pada Presentasi Klinis”). Akan tetapi, prevalensi urtikaria pada pasien
dengan penyakit-penyakit ini cukup rendah, dan karenanya penyakit-penyakit tersebut
tidak secara umum dipikirkan sebagai faktor risiko. Analisis genetik pada populasi kulit
putih mengindikasikan adanya hubungan yang kuat antara HLA-DR4 dan pasien
dengan CSU dengan autoantibodi fungsional terhadap IgE atau FcεRI. Urtikaria
kolinergik sering kali dipersulit dengan adanya dermatitis atopik. Urtikaria yang
dimediasi oleh suatu mekanisme IgE, khususnya pada kasus-kasus yang disebabkan
oleh alergi lateks dan OAS, dapat berkaitan dengan diatesis atopik. Tenaga kesehatan,
individu dengan dermatitis atopik, dan pasien dengan riwayat spina bifida merupakan
kelompok dengan risiko yang lebih tinggi untuk mengalami alergi lateks dibandingkan
kelompok lainnya.

Diagnosis
Karakteristik urtikaria adalah sifat erupsi yang transien pada masing-masing pasien.
Karenanya, diagnosis urtikaria sendiri tidaklah sulit. Akan tetapi, diagnosis subtipe
urtikaria diperlukan untuk pemberian manajemen yang tepat pada setiap pasien.

3
Pemeriksaan laboratorium dan uji provokasi harus dilakukan berdasarkan arahan hasil
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mendetil. Pemeriksaan laboratorium secara
ekstensif hanya menambahkan sedikit informasi untuk menegakkan diagnosis.
Algoritma diagnostik secara keseluruhan yang direkomendasikan oleh pedoman EAACI
ditampilkan pada Gambar 41-5.

Gambar 41-5. Algoritma diagnosis urtikaria. AAE, angioedema didapat akibat


defisiensi inhibitor C1; ACE-Inh, inhibitor angiotensin-converting enzyme; AE,
angioedema; AID, penyakit autoinflamasi; HAE, angioedema herediter. (Dari Zuberbier
T, Aberer W, Asero R, dkk. The EAACI/GA(2) LEN/EDF/WAO Guideline for the
definition, classification, diagnosis, and management of urticaria: the 2013 revision
and update. Allergy. 2014;69:868-887, dengan izin Hak Cipta 2014 John Wiley &
Sons.)

4
ANAMNESIS
Anamnesis secara komprehensif dan lengkap sangat diperlukan untuk
menegakkan diagnosis dan memperjelas faktor-faktor penyebab dan faktor yang
memperburuk kondisinya. Karena temuan pemeriksaan klinis untuk urtikaria sangat
bervariasi dan bergantung pada subtipe urtikaria itu sendiri, merupakan hal yang paling
penting untuk mengerucutkan diagnosis klinis berdasarkan temuan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik sebelum melakukan pemeriksaan laboratorium. Serangan akut pada
aktivitas penyakit selama sore hingga dini hari tidak spesifik namun merupakan salah
satu karakteristik umum dari urtikaria spontan. Wheals pada urtikaria yang dapat
diinduksi biasanya tidak bertahan lebih dari 4 jam, kecuali pada kasus DPU. Pada
beberapa tipe urtikaria fisik, seperti demografisme lambat dan urtikaria pasca pajanan
dingin dengan onset lambat, wheals dapat terjadi beberapa jam setelah stimulus, namun
wheal tidak bertahan lama. Pemicu; faktor-faktor yang memperberat, bila ada; dan
bentuk, ukuran, dan durasi dari masing-masing wheals dapat membantu dalam
mendiagnosis subtipe urtikaria (lihat bagian “Temuan pada Kulit pada Presentasi
Klinis”). Vaskulitis urtikaria harus disingkirkan apabila wheals bertahan lebih dari 24
jam atau lebih, khususnya bila disertai dengan purpura. Angioedema yang dimediasi sel
mast (seperti, tipe yang tidak dimediasi bradikinin) biasanya tidak terjadi di daerah
laring. Angioedema yang dimediasi oleh bradikinin tidak menyertai timbulnya wheals
superfisialis.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tidak ada pemeriksaan laboratorium rutin yang diperlukan atau direkomendasikan
untuk urtikaria spontan akut. Apabila riwayat klinis pasien sangat mengarahkan pada
mekanisme alergi, uji tusuk kulit dan pengukuran kadar IgE spesifik antigen
direkomendasikan. Untuk CSU sendiri, pemeriksaan darah perifer lengkap, laju endap
darah, atau C-reactive protein (CRP) direkomendasikan. Untuk pemeriksaan lanjutan,
pemeriksaan diagnostik yang lebih luas seperti pemeriksaan untuk kemungkinan infeksi
Helicobacter pylori, alergi tipe I, autoantibodi, dan hormon tiroid dapat dilakukan.
Akan tetapi, penting untuk memperhatikan bahwa deteksi penyakit spesifik tidak selalu
mengarahkan pada perbaikan gejala urtikaria. Biomarker pada darah yang berpotensi
untuk dinilai pada CSU untuk membedakan pasien dan kontrol adalah D-dimer, CRP,

5
matrix metalloproteinase-9, mean platelet volume (MPV), faktor VIIa, fragmen
protrombin 1+2 (PF1+2), tumor necrosis factor (TNF), dehidroepiandrosteron sulfat,
dan vitamin D. Biomarker yang mencerminkan derajat keparahan penyakit pada CSU
adalah FDP, D-dimer, F1+2, CRP, Interleukin-6 (IL-6), dan MPV.
Beberapa faktor, penyakit, dan kondisi telah dilaporkan menjadi penyebab dasar
urtikaria. Akan tetapi, sebuah tinjauan sistematis terkait pemeriksaan laboratorium
untuk urtikaria kronik mengemukakan bahwa jumlah diagnosis yang diidentifikasi
bervariasi dari 1% hingga 84% dan tidak berkaitan dengan jumlah pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan. Oleh sebab itu, pemeriksaan secara ekstensif tidak
direkomendasikan untuk skrining rutin penyebab urtikaria kecuali bila diarahkan
dengan temuan pada riwayat klinis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan diagnostik yang
direkomendasikan yang sesuai dengan setiap subtipe urtikaria terangkum dalam Tabel
41-1.

DIAGNOSIS SUBTIPE URTIKARIA


Setelah melakukan serangkaian anamnesis dan inspeksi kulit secara lengkap,
pemeriksaan diagnostik berikut perlu dipertimbangkan berdasarkan perkiraan diagnosis
subtipe urtikaria.

Urtikaria Spontan
Diagnosis urtikaria spontan ditegakkan berdasarkan riwayat klinis dan inspeksi kulit.
Selain kemunculan bentuk karakteristik wheals yang berlangsung spontan, variasi
diurnal dan perjalanan klinis wheals yang bertahan lama dapat membantu menegakkan
diagnosisnya. Untuk urtikaria spontan akut, tidak ada pemeriksaan laboratorium yang
direkomendasikan, namun penyakit dan reaksi yang terdaftar pada Tabel 41-4 perlu
dibedakan. Adanya tanda-tanda dan gejala ekstrakutan dan erupsi yang bertahan lama,
khususnya bila disertai dengan adanya purpura atau perubahan epidermis, seperti kering
dan deskuamasi, merupakan tanda-tanda yang penting untuk penyakit-penyakit yang
berbeda atau yang rumit. Untuk erupsi yang demikian, pemeriksaan biopsi kulit
seharusnya dapat membantu untuk menegakkan diagnosis.
Adanya autoantibodi melawan IgE atau FeεRI harus dikonfirmasi dengan
pemeriksaan pelepasan histamin dengan menggunakan serum pasien dan basofil dari

6
donor yang sehat. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan spesifisitas autoantibodi
melawan IgE, FeεRI, dan derajat ketergantungannya terhadap atau kompetisi dengan
IgE untuk pelepasan histamin. Akan tetapi, pemeriksaan ini entah mengapa rumit dan
sulit untuk diterapkan dan memerlukan peralatan khusus, sehingga membatasi
penggunaannya. Pemeriksaan fase solid, seperti enzyme-linked immunosorbent assay,
relatif mudah dan bersifat kuantitatif namun tidak spesifik. Pilihan alternatif lain, reaksi
kulit yang dicetuskan oleh ASST telah digunakan secara luas untuk skrining karena
relatif sederhana dan sensitivitasnya yang tinggi. Pada ASST, serum autolog sebanyak
0,05 mL diinjeksikan secara intradermal pada permukaan volar lengan bawah bersama
dengan laruta normal salin dan histamin 10 mcg/mL sebagai kontrol positif dan negatif.

Data dari Zuberbier T, dkk. Allergi 2014;69:868-87; Bernstein JA, Lang DM, Khan
DA, dkk. The diagnosis dan management of acute and chronic urticaria: 2014 update. J
Allergy Clin Immunol. 2014;133(5):1270-1277; dan Hide M, dkk. Nihon Hifukagakkai
Zasshi 2011;121:1399-88.

Demografisme Simtomatik (Urtikaria Mekanik)


Untuk diagnosis dermografisme simtomatik, beberapa instrumen telah dikembangkan
dan digunakan untuk menentukan ambang batas setiap pasien. Lengan bawah lebih
cocok untuk pemeriksaan ini dibandingkan abdomen, punggung, atau area pretibia.
Hasilnya dianggap positif apabila pasien menunjukkan wheal dan melaporkan adanya

7
gatal di area provokasi sebesar 36 g/mm2 atau lebih rendah. Respons wheal tanpa gatal
terhadap provokasi pada 60 g/mm2 atau lebih tinggi mengindikasikan dermografisme
sederhana yang secara klinis kurang signifikan. Reaksi dari subtipe urtikaria ini dan
urtikaria lain yang dapat diinduksi, kecuali DPU, harus dievaluasi dalam 5-10 menit
setelah pemeriksaan.

Urtikaria Terkait Kontak dengan Suhu Dingin


Provokasi suhu dingin dilakukan dengan cara memberikan balok es yang dibungkus
atau air dingin selama 5 menit. Dengan cara ini, durasi ambang pemberian dingin dapat
ditentukan. Penggunaan elemen termoelektrik (TempTest) dapat dilakukan untuk
menentukan ambang temperatur. Pemeriksaan ini menginduksi pembentukan wheal
pada urtikaria kontak dingin namun tidak untuk urtikaria dingin sistemik, dimana pasien
mengalami pembentukan wheal yang tersebar luas sebagai respons terhadap
pendinginan temperatur internal tubuh atau terhadap angin yang dingin.
Urtikaria dingin sistemik harus dibedakan dari urtikaria kontak dingin karena
dapat menjadi manifestasi penyakit autoinflamasi (urtikaria dingin familial; lihat
Urtikaria Dingan pada bagian “Presentasi Klinis”).

Urtikaria Terkait Kontak dengan Suhu Panas


Provokasi urtikaria kontak suhu panas dilakukan dengan cara memberikan logam panas,
air panas, atau sebuah tabung yang diisi dengan air panas pada suhu 45oC pada kulit
permukaan volar lengan bawah. TempTest yang digunakan untuk pemeriksaan urtikaria
kontak dingin juga dapat digunakan untuk urikaria jenis ini. Urtikaria kolinergik, solar
urticaria, dan aquagenic urticaria, yang dapat juga berkaitan dengan suhu tinggi atau
air panas, harus dibedakan.

Solar Urticaria
Solar Urticaria (akibat pajanan sinar matahari) harus dibedakan dari erupsi polimorfik
akibat pajanan sinar. Uji provokasi untuk solar urticaria harus dilakukan pada kulit
bokong, namun bagian-bagian tubuh yang biasanya tertutup pakaian juga dapat
digunakan. Sumber cahaya dapat berupa sinar matahari atau proyektor dari jarak 10 cm

8
dengan atau tanpa filter atau suatu monokromator (ultraviolet [UV] A atau B, atau sinar
yang dapat dilihat).

Delayed Pressure Urticaria (Urtikaria Onset Lambat Akibat Tekanan)


Provokasi dapat dilakukan dengan cara menggantungkan beban sebanyak 7 kg pada
bahu selama 15 menit atau memberikan balok yang disokong dalam suatu kerangka
yang diberikan pada punggung, paha, atau lengan bawah. Tidak seperti pada urtikaria
yang dapat diinduksi lainnya, reaksi kulit seharusnya terjadi setelah suatu periode laten,
biasanya 2 hingga 4 jam pasca tekanan diberikan. Biopsi kulit menunjukkan suatu
infiltrat inflamasi dengan dominasi eosinofil namun tidak ada vaskulitis.

Urtikaria Vibrasi dan Angioedema


Lengan bawah ditahan pada suatu lempengan datar yang ditempatkan pada pengaduk
vortex yang bergetar dengan kecepatan antara 780 hingga 1380 rpm selama 10 menit.
Daerah penempatan getaran harus dinilai untuk kemungkinan timbulnya pembengkakan
sekitar 10 menit pasca pemeriksaan tersebut.

Aquagenic Urticaria
Provokasi dilakukan dengan menempelkan pakaian basah pada suhu tubuh selama 20
menit. Mengelap area pemeriksaan dengan larutan organik dan pemberian dengan
larutan salin daripada air kran dapat meningkatkan reaktivitas.

Urtikaria Kolinergik
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan uji provokasi yang sesuai untuk usia pasien
dan kondisi umum pasien (seperti, pada treadmill atau sepeda statis). Untuk
membedakannya dari anafilaksis yang diinduksi latihan fisik, suatu uji pemanasan pasif
harus dilakukan, dengan merekam suhu tubuh internal untuk mencapai peningkatan
1,0oC atau lebih. Pemeriksaan kulit dengan injeksi asetilkolin 0,1 mL pada dosis 100
mcg/mL secara intradermal dapat memperkuat diagnosis urtikaria kolinergik. Hasil uji
harus dianggap positif apabila lokasi uji menunjukkan adanya pembentukan wheal
satelit di sekitar area injeksi. Spesifisitas pemeriksaan ini tampaknya cukup tinggi,
namun sensitivitasnya hanya sekitar 30% hingga 50%.

9
Urtikaria Kontak
Untuk diagnosis urtikaria kontak, senyawa terduga diberikan dalam bentuk aslinya atau
sebagai suatu ekstrak pada area yang tampak normal pada sisi volar lengan bawah atau
pada punggung atas selama 15 hingga 20 menit. Apabila hasil uji ini negatif, senyawa
diberikan secara oklusif yang diikuti dengan uji tusuk. Untuk pasien-pasien dengan
riwayat gejala yang berat, pemeriksaan harus dimulai dengan melakukan pengenceran
senyawa tersebut sampai dirasakan cukup. Pemeriksaan in vitro juga dapat digunaan
untuk urtikaria kontak dari alergi Tipe I, seperti alergi lateks.

Vaskulitis Urtikaria
Erupsi menyerupai urtikaria yang bertahan selama lebih dari 24 jam harus dibedakan
dari vaskulitis urtikaria. Ciri klinis, seperti demam, malaise, artralgia, uveitis,
glomerulonefritis difusa, dan penyakit paru obstruktif dan restriktif dapat memberikan
infomasi diagnostik yang bermanfaat, namun pemeriksaan histologis dengan biopsi
kulit merupakan hal yang penting untuk konfirmasi diagnosis.

Angioedema
Diagnosis angioedema ditegakkan paling sering berdasarkan gambaran klinisnya yang
meliputi edema mukosa yang terlokalisasi atau kulit dalam yang tidak hilang dengan
penekanan (nonpitting) dan bertahan beberapa jam hingga beberapa hari. Jika
angioedema terjadi karena diinduksi oleh stimulus spesifik yang juga dikenal dapat
menginduksi wheals superfisial atau angioedema terjadi bersamaan dengan wheals,
kemungkinan besar hal tersebut terjadi karena dimediasi sel mast dan diklasifikasikan
sebagai suatu subtipe urtikaria. Jika angioedema terjadi secara spontan tanpa wheals,
mekanisme yang terjadi dapat dimediasi oleh bradikinin. Angioedema spontan yang
dimediasi sel mast dapat bersifat berat namun tidak letal, sementara angioedema
spontan yang dimediasi bradikinin dapat menjadi letal. Mekanisme produksi bradikinin
dan degradasi dengan molekul terkait digambarkan pada gambar 41-4.
Angioedema herediter (HAE)
Angioedema herediter digolongkan menjadi tiga subtipe berdasarkan kondisi C1-INH.
Pasien yang kekurangan protein C1-INH digolongkan menjadi tipe I, sementara pasien

10
yang kekurangan aktivitas C1-INH karena mutasi titik genetik digolongkan menjadi tipe
II. Pasien golongan tipe III sering disebut HAE dengan normal C1-INH, yang
merupakan subtipe paling jarang. Tipe III umumnya ditemukan pada perempuan, dan
dapat ditemukan suatu mutasi penambahan fungsi dari faktor XII pada beberapa pasien.
Baru-baru ini, mutasi genetik baru yaitu pada gen angiopoetin-1 dan gen plasminogen
diidentifikasi pada keluarga dengan HAE tipe III. Sementara kadar aktivitas C1-INH
dan C4 menurun pada HAE tipe I dan II, konsentrasi protein C1-INH ditemukan rendah
hanya pada HAE tipe I. Selama serangan HAE, penanda koagulasi seperti D-dimer,
FDP, dan PF1+2 dapat meningkat. Gejala prodromal, seperti eritema marginatum dapat
mendahului serangan HAE pada lebih dari 50% pasien.
Angioedema Didapat
Angioedema yang dimediasi bradikinin dapat terjadi baik karena konsumsi berlebihan
C1-INH yang disebabkan oleh penyakit mieloproliferatif maupun karena adanya
autoantibodi terhadap C1-INH. Pada kasus konsumsi berlebihan C1-INH, kadar C1q
menurun, begitu juga dengan kadar C1-INH dan C4.
Angioedema yang Diinduksi oleh Penghambat Enzim Pengubah Angiotensin
(Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor/ACE-I)
Enzim pengubah angiotensin (ACE) merupakan suatu dipeptidilkarboksipeptidase yang
mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II dan memecah bradikinin. Oleh karena
itu, penghambatnya, ACE inhibitor, yang sudah lama digunakan sebagai terapi
hipertensi, juga dapat menghambat degradasi bradikinin.

Sindrom Autoinflamasi
Penyakit autoinflamasi merupakan suatu kelompok beragam dari kondisi yang
diwariskan yang dikarakteristikkan dengan inflamasi sistemik tanpa infeksi dan disertai
dengan manifestasi spesifik organ. Dua diantaranya, sindrom schnitzler dan Cryopyrin
Associated Periodical Syndrome (CAPS), diketahui meliputi gejala menyerupai
urtikaria.
Sindrom Schnitzler
Sindrom schnitzler dikarakteristikkan dengan erupsi seperti urtikaria dan IgM
monoklonal atau mungkin gammopati IgG yang disertai dengan gejala sistemik seperti

11
demam dan nyeri tulang serta otot. Gambaran histologinya menyerupai suatu vaskulitis
urtikaria atau urtikaria neutrofilik.
Cryopyrin Associated Periodical Syndrome (CAPS)
Sindrom autoinflamasi dingin familial, Sindrom Muckle-Wells, dan sindrom neurologis
kulit artikular infantil kronis dapat menimbulkan erupsi yang menyerupai urtikaria.
Erupsi dapat diinduksi oleh paparan terhadap dingin namun juga dapat berkembang
secara spontan dan biasanya tidak menyebabkan gatal. Pasien dapat mengalami demam
periodik, atralgia, amiloidosis, dan ketulian saraf. Penyebab umum dan krusial dari
sindrom-sindrom ini telah diidentifikasi yaitu berupa mutasi penambahan fungsi dari
NLRP3 (CIASI), yang menyebabkkan produksi berlebihan dari IL-1β. Biopsi kulit
menunjukan infiltrasi sel yang didominasi neutrofil, namun analisis gen merupakan alat
penegak diagnosis yang definitif.

URTIKARIA DAN ANAFILAKSIS YANG DIINDUKSI OLEH OLAHRAGA


Olahraga dapat menginduksi urtikaria pada pasien dengan urtikaria kolinergik dan pada
pasien dengan anafilaksis yang diinduksi oleh olahraga. Beberapa pasien dapat
mengalami urtikaria dan anafilaksis tanpa pengaruh asupan makanan (Exercise-Induced
Anaphylaxis/EIA), namun beberapa pasien lain dapat mengalami gejala hanya saat
mereka olahraga setelah mengkonsumsi makanan tertentu (FDEIA). Demonstrasi IgE
reaktif terhadap alergen makanan spesifik pada serum dapat membantu tapi tidak cukup
untuk membuat diagnosis FDIEA. Adanya IgE anti-ω5-gliadine pada dewasa
merupakan penanda yang baik untuk FDEIA yang disebabkan oleh gandum baik secara
sensitivitas maupun spesifisitas. Suatu pemeriksaan tantangan olahraga umumnya
dilakukan berdasarkan protokol Bruce dan kolega. Sensitivitas pemeriksaan provokasi
untuk FDEIA dapat berkisar hingga 70%.

EVALUASI KONDISI PENYAKIT


Urtikaria dan kondisi yang mendasarinya pada pasien dengan urtikaria harus dievalusi
dengan spesifik dan komprehensif.

12
Keparahan Penyakit
Keparahan penyakit urtikaria yang terinduksi dapat dievaluasi berdasarkan ambang
batas untuk faktor elisitasinya. Untuk angioedema dan urtikaria spontan, skor
berdasarkan kuesioner dapat digunakan. Skor aktivitas urtikaria lebih dari 7 hari
berurutan (UAS7) merupakan suatu sistem skoring sederhana dan padu yang merekam
wheals dan gatal harian yang juga telah divalidasi pada perbandingan dengan
Dermatology Life Quality Index (DLQI). Aktivitas penyakit dari angioedema dapat
dievaluasi dengan rekaman edema selama 4 minggu yang meliputi frekuensi, durasi,
sensasi subyektif, dan disabilitas pasien (Angioedema Activity Score/AAS).
Untuk urtikaria spontan kronik, penanda koagulasi dan fibrinolisis seperti D-
dimer, FDP, PFI+2, dan CRP telah dilaporkan dapat menunjukan aktivitas dan
keparahan penyakit namun sensitivitasnya rendah. Kadar sitokin proinflamasi serum
seperti IL-6, TNF, dan IL-23, juga dapat menggambarkan aktivitas penyakit pada
pasien-pasien tertentu namun masih ada keraguan. Gambaran basopenia darah perifer
dan pelepasan histamin yang rendah dari basofil dapat berhubungan dengan aktivitas
penyakit, namun kegunaan penanda tersebut masih terbatas pada laboratorium
penelitian.

Kualitas Hidup
Urtikaria spontan kronik memiliki dampak yang tinggi pada kualitas hidup pasien
dibandingkan dengan kondisi dermatologis umum lain. Kualitas hidup pasien dengan
urtikaria superfisial dan pasien dengan angioedema dapat dievaluasi menggunakan the
Chronic Urticaria Quality of Life Questionaire (CU-Q2oL) dan Angioedema Quality of
Life Questionnaire (AE-QuL) masing-masing.

Status Kontrol
Alat yang telah disebutkan sebelumnya, UAS-7, AAS, CU-Q2oL, AE-QoL, bisa saja
tidak cukup untuk melingkupi kondisi angioedema dan urtikaria terinduksi. Beberapa
tahun terakhir, suatu metode evaluasi yang mudah dan komprehensip untuk semua jenis
angioedema dan urtikaria telah dikembangkan. Metode tersebut disebut Urticaria
Control Test (UCT) , dan dapat diaplikasikan pada semua jenis angioedema dan
urtikaria. Versi singkat dari UCT hanya menggunakan 4 pertanyaan retrospektif

13
mengenai kondisi pasien pada 4 minggu terakhir. Instrumen ini telah diterjemahkan dan
divalidasi pada banyak bahasa. AAS, AE-QoL, dan UCT saat ini tersedia pada beberapa
bahasa dari Moxie GmbH, Berlin, Jerman.

PATOLOGI
Gambaran patologi pada urtikaria terdiri atas edema pada dermis dan perivaskular serta
infiltrasi sel inflamasi interstisial. Sel inflamasi biasanya terdiri atas limfosit, eosinofil,
dan neutrofil. Umumnya, limfosit dominan pada area perivaskular, namun eosinofil dan
neutrol cenderung memiliki distribusi interstisial. Beberapa laporan menunjukan
peningkatan sel mast pada area perivaskular dan lesi interstisium namun tidak pada area
lain. Ada tidaknya basofil telah ditunjukan dengan antibodi spesifik. Derajat infiltasi sel
inflamasi beragam berdasarkan subtipe urtikaria, variasi individu, dan waktu dari onset
hingga munculnya wheals. Studi detail dari limfosit terinfiltasi menunjukan mereka
adalah sel Th1 dan Th2 atau Th0 karena mereka mengekspresikan IL-4, IL-5, dan
interferon (IFN)-γ. Neutrofil dan eosinofil berada pada kapiler dermal, dan hal ini
dianggap sebagai perubahan awal dari banyak penyakit inflamasi kulit termasuk
urtikaria. Infiltrasi neutrofil prominen terutama pada urtikaria akut dan urtikaria
olahraga. Urtikaria atau erupsi menyerupai urtikaria yang bertahan lebih dari satu hari
dan melibatkan infiltrasi neutrofil predominan tanpa vaskulitis yang tampak dapat
disebut utrikaria neutrofilik, dermatosis urtikaria neutrofilik, atau dermatosis neutrofilik
menyerupai urtikaria. Perubahan yang mirip dapat dilihat dari lesi kulit dari CAPS dan
sindrom Schnitzler. Eozinofil memerankan peran yang lebih penting dari yang
dipikirkan dengan pewarnaan hematoksilin eosin karena protein umum dasar eosinofil
ekstraseluler terdeposit pada bentol spontan. Infiltrat eosinofil moderat dapat
diobservasi pada DPU. Perubahan seluler ini berkorelasi dengan regulasi moderat dari
molekul adhesi endotel vaskular E-selektin, molekul 1 adhesi interseluler, dan molekul
1 adhesi vaskuler pada sel perivaskuler.
Urtikaria dengan bukti histologis vaskulitis (venulitis) didefinisikan sebagai
vaskulitis urtikaria. Akan tetapi, pada praktik klinis, cukup sulit untuk membedakan lesi
vaskulitis urtikaria dengan urtikaria spontan lain saat semua gambaran histopatologis
dari vaskulitis, termasuk kerusakan sel endotel, deposisi fibrin, leukositoklasis, dan
ekstravasasi eritrosit, tidak ditemukan pada spesimen kulit. Selain itu, perubahan

14
histologi yang berlanjut antara urtikaria dengan vaskulitis urtikaria ditemukan pada
beberapa pasien dengan gambaran histologis sedang. Beberapa penulis menyarankan
leukositoklasis atau deposisi fibrin dengan atau tanpa ekstravasisasi eritrosit cukup
untuk diagnosis pada kasus sulit.

Gambar 41-6. Gambaran histopatologis Urtikaria. A, edema pada dermis. B, infiltrasi


perivaskular yang terdiri atas limfosit dan eosinofil. C, urtikaria neutrofilik. D,
vaskulitis urtikaria. (Direproduksi dari Shindo H. Histopathology of urticaria
(Jinmashin No Byouri-Soshiki-Zou), dalam: Durue M, Hide M, ed. Hifuka Asset 16.
Tokyo, Jepang: Nakayama-Shoten; 2013:62-70).

PENCITRAAN
Pemeriksaan pencitraan seperti Ultrasound, computed tomography (CT), atau magnetic
resonance imaging (MRI) tidak diperlukan pada urtikaria biasa. Pada kasus edema yang
berkembang pada area faring dan laring atau saluran gastrointestinal, terutama yang
disebabkan oleh angioedema yang dimediasi bradikinin, uji pencitraan dapat berguna.
Pasien dengan HAE dapat mengalami pembengkakan episodik pada berbagai bagian
tubuh seperti wajah, leher, usus, genital, dan ekstrimitas. Obstruksi saluran napas yang
disebabkan oleh edema laring, orofaring, dan jaringan lunak prevertebral hingga dapat

15
menyebabkan kekurangan nafas memerlukan deteksi dengan pemeriksaan endoskopi,
radiograf, CT scan, dan MRI. Pasien juga dapat mengalami nyeri abdomen yang
disebabkan oleh pembengkakan saluran gastrointestinal. Pencitraan pada situasi tersebut
dapat berguna untuk mencegah intervensi operasi yang tidak perlu.

ALGORITMA DIAGNOSIS
Diagnosis urtikaria atau angioedema (atau keduanya) harus dibuat berdasarkan
observasi pada kulit dan anamnesis yang mendetil yang diikuti dengan pemeriksaan
klinis untuk mengkonfirmasi diagnosis dan mengevaluasi derajat keparahan penyakit.
Direkomendasikan untuk tidak melakukan pemeriksaan atau skrining yang berlebihan
tanpa adanya diagnosis klinis subtipe urtikaria. Algoritma yang direkomendasikan oleh
pedoman EAACI ditampilkan pada gambar 41-5.

Diagnosis Banding
Diagnosis urtikaria tidak sulit pada sebagian besar kasus apabila erupsi urtikaria muncul
secara tiba-tiba dan bersifat transien dikonfirmasi dengan riwayat pasien dan observasi
klinis. Penyakit-penyakit yang dapat menunjukkan manifestasi yang serupa dengan
urtikaria dan angioedema tercakup dalam Tabel 41-4. Penyakit yang mencakup wheals
atau angioedema harus dibedakan dengan adanya gejala non-urtikaria, yang sebagian
besar merupakan gejala ekstrakutan, seperti demam dan artralgia.

Perjalanan Klinis dan Prognosis


Sebuah studi menunjukkan bahwa sebagian besar pasien (85%) yang memiliki riwayat
urtikaria spontan akut dan memulai terapi dalam 1 minggu kemunculan onset penyakit
mengalami perbaikan segera. Akan tetapi, sekitar 7% pasien tetap mengalami gejala
lebih dari 1 tahun. Perpanjangan aktivitas penyakit cenderung ditemukan pada pasien
yang memerlukan terapi selain dengan pemberian antihistamin dosis standar. Studi-
studi lain, walaupun dilakukan dari pusat-pusat kesehatan terspesialisasi,
mengindikasikan bahwa sebagian besar pasien mengalami CSU lebih dari 1 tahun.
Selain itu, sejumlah besar pasien bahkan tampaknya mengalami gejala hingga lebih dari
5 tahun. Pada beberapa kasus yang jarang, urtikaria bahkan dapat bertahan hingga 50
tahun. Sebuah studi retrospektif dengan menggunakan metode Kaplan-Meier pada

16
pasien dengan CSU yang memeriksakan diri ke pusat kesehatan tingkat tersier
menunjukkan perkiraan laju perbaikan pada 12 bulan, 24 bulan dan 60 bulan masing-
masing mencapai 36,6%, 51,2%, dan 66,1%.
Akan tetapi, waktu perjalanan penyakit yang dilaporkan sangat bervariasi pada
berbagai studi. Laju remisi yang dilaporkan pada 1 tahun berkisar antara 20% hingga
80%. Di antara studi-studi ini, empat faktor tampaknya berkaitan dengan prognosis
yang berkepanjangan, yaitu, (1) derajat keparahan penyakit pada awal osnet, (2) adanya
angioedema, (3) kombinasi CSU dan urtikaria fisik, dan (4) autoreaktivitas (hasil uji
ASST positif). Sebuah studi retrospektif terbaru menunjukkan bahwa pasien dengan
CSU dan hasil ASST positif berespons lebih lambat terhadap terapi omalizumab
dibandingkan dengan mereka yang memiliki hasil ASST negatif.

TATALAKSANA
Intervensi
Tatalaksana urtikaria dan angioedema terdiri atas dua pendekatan dasar. Pertama adalah
identifikasi dan penanganan penyebab atau faktor yang memperburuk kondisi. Kedua
adalah penggunaan terapi antisimtomatik secara berkelanjutan dengan pengobatan.
Untuk urtikaria yang dapat diinduksi, penghindaran terhadap stimulus yang
menginduksi gejala merupakan hal yang penting, namun pada beberapa subtipe (solar
urticaria, urtikaria kontak panas, urtikaria kontak dingin, urtikaria kolinergik, dan
urtikaria yang diinduksi oleh alergi makanan tipe I), pajanan berulang terhadap stimulus
dengan intensitas yang rendah dapat mengurangi sensitivitas pasien (penguatan atau
toleransi). Faktor-faktor yang memperburuk, apabila dapat diaplikasikan pada kasus-
kasus individual, harus dihilangkan sebisa mungkin (lihat bagian “Etiologi dan
Patogenesis” dan Tabel 41-3). Algoritma terapi farmakologis yang direkomendasikan
oleh pedoman saat ini secara esensial sama untuk seluruh subtipe urtikaria kronik,
kecuali untuk angioedema yang dimediasi bradikinin. Pada banyak kasus, urtikaria yang
dimediasi sel mast , khususnya pada urtikaria spontan, gejala dapat dikontrol hingga
tingkatan yang dapat diterima tanpa identifikasi penyebab. Di sisi lain, antihistamin,
kortikosteroid, dan adrenalin semuanya tidak efektif untuk penatalaksanaan angioedema
yang dimediasi bradikinin.

17
PENGOBATAN
Tatalaksana perlu diberikan secara berkelanjutan dibandingkan hanya diberikan jika
keluhan muncul baik pada pasien urtikaria spontan maupun urtikaria terinduksi yang
mengalami keluhan setiap hari atau hampir setiap hari. Akan tetapi, jika keluhan hanya
muncul sesekali, pola pemberian pengobatan yang diberikan berbeda dari masing-
masing kasus. Untuk HAE, terdapat tiga tujuan tatalaksana yang perlu dipertimbangkan
berdasarkan keparahan dan frekuensi gejala: terapi sesuai permintaan untuk gejala yang
muncul, profilaksis jangka pendek, dan profilaksis jangka panjang.

Terapi Lini Pertama


Antihistamin generasi kedua yang bersifat nonsedasi masih menjadi terapi utama untuk
semua jenis urtikaria yang dimediasi sel mast. Secara umum, antihistamin generasi
pertama yang bersifat sedasi tidak lagi direkomendasikan. Meskipun obat tersebut
berguna untuk membantu tidur pada malam hari, namun diperkirakan masih membawa
efek sedasi di pagi hari dan dapat menyebabkan eksitasi paradoksal atau kemungkinan
epilepsi pada anak.

Terapi Lini Kedua


Untuk kasus sulit yang resisten terhadap dosis standar antihistamin, peningkatan dosis
antihistamin menjadi empat kali lipat direkomendasikan pada pedoman EAACI dan
parameter praktik oleh the American Academy of Allergy, Asthma and Immunology
(AAAAI) dan the American College of Allergy, Asthma and Immunology (ACAAI).
Banyak laporan yang menunjukan efikasi dari antihistamin dosis tinggi. Baru-baru ini,
sebuah studi meta-analisis yang menggunakan antihistamin dosis tinggi menunjukkan
perbaikan kontrol keluhan gatal yang signifikan namun tidak pada jumlah wheals.

Terapi Lini Ketiga dan Keempat


Untuk kasus dimana antihistamin dosis tinggi gagal mencapai perbaikan yang cukup,
beberapa terapi tambahan lain direkomendasikan. Pedoman yang dikeluarkan oleh the
British Society for Allergy and Clinical Immunology (BSACI) dan the American
consensus document merekomendasikan penambahan antileukotrien sebelum
penggunaan omalizumab dan siklosporin. Akan tetapi, pedoman EAACI yang

18
dikeluarkan pada tahun 2018 merekomendasikan penambahan omalizumab terlebih
dahulu sebagai terapi lini ketiga. Kortikosteroid sistemik direkomendasikan hanya
untuk digunakan pada keadaan yang terbatas, terutama untuk gejala berat pada urtikaria
akut dan penambahan gejala akut pada urtikaria spontan kronik. Perlu dicatat bahwa
penggunaan kortikosteroid terus menerus (lebih dari 10 hari) tidak direkomendasikan
karena risiko dari efek sampingnya.
Efikasi dan keamanan omalizumab, antibodi anti-IgE, untuk terapi urtikaria
sudah banyak diteliti dan diterima sebagai terapi urtikaria spontan kronik di berbagai
negara. Meta-analisis terbaru dari studi terkontrol dan terandominasi menunjukkan
bahwa dosis omalizumab 300 mg/bulan direkomendasikan untuk kasus urtikaria
spontan kronik yang sulit diobati tanpa memperhatikan kadar total IgE serum. Secara
teori, omalizumab menghambat IgE yang bersirkulasi dan secara terus menerus
menurunkan jumlah dari FcƐRI pada sel mast dan basofil. Meskipun perlu waktu 2
bulan atau lebih untuk omalizumab agar dapat menurunkan jumlah FcƐRI pada
permukaan sel, namun efek klinis omalizumab pada urtikaria spontan kronik dapat
terlihat dalam minggu pertama. Selain itu, omalizumab efektif untuk semua subtipe
urtikaria yang dimediasi sel mast, termasuk urtikaria tekanan lambat (Delayed Pressure
Urticaria/DPU) dan vaskulitis urtikaria, meskipun penggunaanya bersifat off label.
Banyak kemungkinan mekanisme yang dihipotesiskan, namun sejauh ini tidak ada yang
dapat menjelaskan secara penuh efeknya pada urtikaria.

19
Gambar 41-7. Algoritma penatalaksanaan urtikaria kronik yang direkomendasikan oleh
European Academi of Allergy and Clinical Immunology/Global Allergy and Asthma
European Network/European Dermatology Forum/World Allergy Organization (A) dan
untuk urtikaria kronik oleh American Academy of Allergy, Asthma and Immunology dan
American College of Allergy, Asthma and Immunology (B). OAINS, obat antiinflamasi
non-steroid. Gambar A, dari Zuberbier T, Aberer W, Asero R, dkk. The EAACI/GA(2)
LEN/EDF/WAO Guideline for the definition, classification, diagnosis, and management
of urticaria: the 2017 revision and update. Allergy. 2018;73:1393-1414, dengan izin.
Hak Cipta 2018 EAACI dan John Wiley and Sons. Gambar B, dari Bernstein JA, lang
DM, Khan DA, dkk. The diagnosis dan management of acute and chronic urticaria:
2014 update. J Allergy Clin Immunol. 2014;133(5):1270-1277, dengan izin. Hak Cipta
American Academy of Allergy, Asthma & Immunology).

Kasus Pengecualian dan Pengobatan Lain pada Tatalaksana Urtikaria


Pada banyak kasus DPU dan vaskulitis urtikaria, antihistamin tidak efektif. Steroid
sistemik atau agen immunosupresif lain atau agen modulasi dapat dipertimbangkan
untuk menekan gejala. Sebagai tambahan atau terapi alternatif, obat-obatan berikut ini
dapat digunakan dalam kombinasi dengan antihistamin untuk kasus refrakter:
penghambat histamin H2, dapson (diafenilsulfon, DDS), antifibrinolitik (asam
traneksamat atau asam Ɛ-aminokaproat) terutama untuk pasien dengan angioedema,
metotreksat, takrolimus, hidroksiklorokuin, terapi immuniglobin intravena,
plasmaferesis, dan sinar UVB pita sempit (narrow band UVB). Akan tetapi, bukti yang
menunjukkan penggunaan dari obat-obatan di atas masih lemah, dan laporannya bersifat
anekdot. Selain itu, banyak obat-obatan yang memiliki potensi untuk menimbulkan efek
samping serius. Paling penting, tidak ada terapi obat-obatan yang disebutkan di atas
terbukti untuk memodifikasi perjalanan alami dari urtikaria dalam hal mencapai
kesembuhan. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan keseimbangan antara
beban gejala dan terapinya.
Terapi HAE yang dimediasi bradikinin, sesuai yang direkomendasikan pada
beberapa konsensus dan pedoman, diilustrasikan pada gambar 41-4. Icatibant,
ecallantide, dan C1-INH rekombinan dan yang dimurnikan sudah digunakan untuk
serangan akut. C1-INH rekombinan dan yang dimurnikan, lanadelumab, dan BCX7653
sedang banyak digunakan dan sedang dalam perkembangan untuk dijadikan profilaksis.
Beberapa studi melaporkan icatibant memiliki efikasi yang baik untuk serangan akut
angioedema yang disebabkan oleh penghambat ACE, meskipun satu studi lainnya
menunjukkan hasil yang berlawanan.

20
Terapi pada Pasien Pediatrik
Prinsip terapi untuk pasien anak dengan urtikaria sama dengan terapi untuk pasien
dewasa. Dosis harus mengikuti rekomendasi yang relevan.

Terapi pada Wanita Hamil dan Menyusui


Penggunaan terapi sistemik apapun secara umum harus dihindari pada wanita hamil,
terutama pada trimester pertama. Selain itu, antihistamin dapat menembus plasenta. Di
lain pihak, tidak ada bukti yang dapat dipercaya bahwa pengobatan yang tercantum
pada algoritma pedoman EAACI bersifat teratogenik. Oleh karena itu, algoritma dan
prinsip pengobatan serupa dianjurkan baik untuk wanita hamil maupun wanita
menyusui dengan urtikaria. Di antara obat golongan antihistamin, klorfenamin sering
dipilih karena jejak keamanan dan ketersediannya. Pedoman terkini dari urtikaria
mendukung penggunaan cetirizine dan loratadine jika diinginkan setelah trimester
pertama kehamilan jika keuntungan dari antihistamin melebihi risiko apapun yang dapat
terjadi pada pasien.

KONSELING
Tidak ada metode konseling tertentu yang dikeluarkan untuk urtikaria, namun pasien
dengan urtikaria spontan kronik dapat memiliki gangguan substansial pada kualitas
hidupnya, sama seperti pasien penyakit jantung iskemik. Pasien dengan penyakit
herediter, seperti HAE dan sindrom autoinflamasi, harus ditawarkan konseling jika
diperlukan .

ALGORITMA TATALAKSANA
Algoritma tatalaksana yang direkomendasikan dalam pedoman EAACI dan the
American Consensus Document ditunjukkan pada gambar 41-7.

PENCEGAHAN DAN SKRINING


Tidak ada metode pengukuran untuk mencegah ataupun skrining untuk perkembangan
urtikaria. Di sisi lain, semua anggota keluarga dari pasien dengan HAE tipe I dan tipe II
yang lebih tua satu tahun direkomendasikan untuk menjalani skrining untuk diagnosis
HAE. Suatu kasus telah dilaporkan yang berupa anak laki-laki berusia 9 tahun yang

21
meninggal karena serangan pertama HAE. Diagnosis awal dan pengelolaan serangan
harus dapat menurunkan risiko.

22

Anda mungkin juga menyukai