Anda di halaman 1dari 78

MAKALAH PENATALAKSANAAN PERAWATAN

MUKOSA MULUT

OLEH :

Drg. Dian Larasati


NIP. 198303112011012015

PUSKESMAS KECAMATAN
KEBAYORAN BARU
JAKARTA SELATAN
2020

Page 1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penuaan adalah akumulasi perubahan waktu.Penuaan pada manusia adalah proses multi
dimensi termasuk perubahan fisik dan psikososial. Penurunan kesehatan oral seperti terbatasnya
fungsi kavitas oral pada penyakit oral, kerusakan jaringgan, dan nyeri selama menjalani aktivitas
sehari-hari.Lansiamemilikiresikoterbesarpadaperkembanganpenyakit oral setelahadanyakondisi
medical compromised atau penyakit sistemik dengan manifestasi oral. Perubahan oral pada lansia
bukanlah hasildari proses penuaan itu sendiri melainkan konsekuensi dari penyakit sistemik,
pharmacoterapi, ketidakmampuaan fungsi, dan penurunan kognitif (Al-Drees, 2010).

Kita perlu mengetahui perubahan diferensiasi yang berhubungan pada penuaan dari
perubahan tersebut disebabkan oleh penyakit. Pada lansia seringkali mengalami penyakit kronis, ini
membuat dokter mengalami kesulitan dalam membedakan gejala penyakit atau proses penuaan.
Adanya hubungan antara kesehatan mulut dan kesehatan tubuh. Terdapat tanda dari infeksi
penyakit periodontal.Infeksi periodontal bias menjadi serius dan tidak hanya berefek pada mulut
tapi berpotensi pada kesehatan seperti peningkatan penyebab penyakit yaitu jantung, stroke, dan
diabetes (ADA, 2006)

Plak adalah lapisan biofilm dengan bakteri gram negative dan endotoksin yang berkembang
pada gigi di margin gingiva, menyebabkan inflamasi gingiva (gingivitis).Karakter dari gingivitis yaitu
eritematus dan edema pada jaringan gingiva, sering kali berdarah ketika probing dan menggosok
gigi.Penyebab lain dari gingivitis adalah trauma dan tembakau. Walaupun pada lansia umumnya
mengalami gingivitis, namun penuaan bukan factor resiko pada gingivitis atau periodontitis
(Gonsalvesdkk., 2008).

Pada makalah ini, skenario yang akan dibahas yaitu seorang wanita, 85 tahun, mengeluhkan
benjolan pada gusi depan atas yang terasa sakit dan sering berdarah. Sudah 4 minggu pasien
memeriksakan pada dokter gigi dan diberi obat anti radang namun benjolan tersebut kambuhan
disertai bau tak sedap. Semenjak ditinggal suaminya 4 tahun yang lalu, kondisi kesehatan pasien
menurun. Adanya riwayat pneumonia setahun yang lalu, sering batuk, mengalami kaku sendi, dan
sekarang dalam perawatan dokter yang diberi beberapa jenis obatya itu bisoprolol, HCT, arthrien,
aspirin, dan ranitidine.Vital sign menunjukan tekanan darah 150/90 mmHg, respirasi 25x/menit, nadi

Page 2
96x/menit, suhu tubuh normal. Hasil pemeriksaan darah 2 bulan yang lalu menunjukan hasil yaitu
Hb 10g/dl, cholesterol total 300 mg/dl, kadar gula sesaat 250 m/dl. Tidak terdapat kelainan pada
ekstraoral.Pemeriksaan intraoral menunjukkan sebagian besar gigi mengalami perubahan warna,
karies servikal pada gigi anterior atas bawah, gigi tiruan sementara pada gigi posterior atas bawah,
OHI buruk, gingivitis menyeluruh dan deposit kalkulus.

Skenario ini menggambarkan kasus parulis terkait dengan perubahan fisiologis dan patologis
pada lansia. Doktergigi harus menyadari bahwa pengobatan pasien lansia dengan medical
compromised membutuhkan pendekatan tim interdisipliner.

B. Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah agar mahasiswa dapat memahami perubahan
anatomi dan fisiologi, definisi, klasifikasi, aspek klinis, prinsip diagnosis, penatalaksanaan dari parulis
terkait dengan medical compromised pada lansia.

C. Manfaat

Makalah ini diharapkan dapat memperluas pemahaman terhadap perubahan anatomi dan
fisiologi, definisi, klasifikasi, aspek klinis, prinsip diagnosis, penatalaksanaan dari jaringan periodontal
terkait dengan medical compromised pada lansia, serta memberikan informasi ilmiah khususnya bagi
ilmu kedokteran gigi dalam penanganan kasus secara holistik.

Page 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. GINGIVITIS
Inflamasi merupakan respon tubuh terhadap injuri selular.Inflamasi merupakan respon
protektif yang dirancang untuk membersihkan tubuh dari enyebab awal injuri dan
konsekuensi dari injuri tersebut.Injuri selular dapat terjadi karena trauma, cacat genetik, agen
fisik dan kimia, nekrosis jaringan, benda asing, serta reaksi kekebalan tubuh dan infeksi.
Inflamasi merupakan perubahan reaktif local yang melibatkan pelepasan zat antibakteri dari
sel-sel di dekatnya untuk mempertahankan host terhadap infeksi. Inflamasi dapat digunakan
untuk mengembalikan sendiri ke bentuk morfologi dan funsional normalnya.

Tabel I. Rational Fisiologis Tanda-tanda Kardinal Inflamasi


Tanda cardinal inflamasi Rasional Fisiologis
Rubor (Kemerahan) Peningkatan vaskularitas
Tumor (Pembengkakan) Eksudasi cairan
Kombinasi dari peningkatan aliran darah dan
Kalor (Panas)
pelepasan mediator inflamatori
Peregangan reseptor nyeri dan saraf oleh
Dolor (Sakit) eksudat inflamasi dan pelepasan mediator
kimia
Fungsiolesa (Hilangnya fungsi) Kombinasi dari efek-efek di atas
McMahon RFT, Sloan P. Essentials of pathology for dentistry, Edinburgh: Churchill
Livingstone; 2000, p. 26.

Ada 2 jenis inflamasi, yaitu akut dan kronis.Inflamasi akut ditandai dengan onset yang
cepat dan durasi pendek.Jenis inflamasi ini bermanifestasi dengan eksudasi cairan protein dan
plasma, serta emigrasi leukosit (terutama neutrophil).Inflamasi kronis berhubungan dengan
durasi dan manifestasi yang berkepanjangan yang ditandai secara histologis melalui adanya
limfosit dan makrofag serta menghasilkan fibrosis dan nekrosis jaringan.
Mediator inflamasi merupakan zat yang cenderung mengarahkan respon
inflamasi.Mediator inflamasi ini berasal dari protein plasma atau sel yang meliputi sel mast,
trombosit, neutrophil, dan monosit/makrofag.Mediator tersebut dipicu oleh produk bakteri
atau protein host. Mediator kimia mengikat reseptor spesifik pada sel target dan dapat
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan kemotaksis neutrophil, merangsang

Page 4
kontraksi otot polos, memiliki aktivitas enzimatik langsung, menyebabkan rasa sakit, atau
memediasi kerusakan oksidatif.

Inflamasi dan Kesehatan Oral


Proses inflamasi secara signifikan mempengaruhi periondonsium. Biofilm plak
melepaskan berbagai produk aktif biologis sebagai bakteri gram positif dan negative yang
menjajah permukaan gigi di sekitar margin dan interproksimal gingiva.Produk ini termasuk
endotoksin, sitokin, dan toksin protein. Molekul-molekul tersebut menembus epitel gingiva
dan memulai respon host yang akirnya menghasilkan gingivitis. Gingivitis kronis yang
berlangsung selama bertahun-tahun dapat memberikan dasar bagi perhatian yang lebih besar
kepada kesehatan sistemik dari kondisi periodontitis yang lebih mudah diobati.

Hubungan oral-Sistemik
 Pada penyakit kardiovaskuler : ditandai oleh adanya penumpukan plak inflamatori yang
dapat menyebabkan trombosis dan infark miokard pada akhirnya.
 Diabetes mellitus : terjadi peningkatan kadar mediator inflamasi dalam sullkus gingiva.
Salah satu contohnya adalah peningkatan TNF-α. Peningkatan kadar ini dapat
menyebabkan hilangnya tulang yang lebih besar dengan membunuh sel-sel perbaikkan
jaringan ikat atau tulang yang rusak dan dapat memperburuk control glikemik.
 Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan pneumonia : dikaitkan dengan kesehatan
mulut pasien yang buruk. Kemungkinan biofilm oral berfungsi sebagai reservoir infeksi
untuk bakteri respiratori. Bakteri di oral dapat dilepaskan ke dalam saliva dan
kemudian dihisap masuk ke dalam saluran napas bagan bawah sehingga menimbulkan
infeksi. Saran lain melalui intubasi.

Inflamasi gingiva : Pathways of systemic effects


Bakteri oral dan inflamasi gingiva dapat memengaruhi kondisi kesehatan sistemik
melalui 4 potensial pathways: bacteremia, diseminasi sistemik dari produk mediator
inflamatori local, provokasi respon autoimun, dan aspirasi atau ingesti konten oral kedalam
usus atau jalan napas. Bakteremia yang Low-grade tetapi persisten dapat menuntun bakteri
oral untuk mengagregat platelet melalui interaksi reseptor-ligand.Studi-studi menunjukkan
bahwa bacteremia menyebabkan perubahan hemodinamika signifikan, hipertensi pulmonary
akut, dan abnormalitas kardiak, termasuk ischemia.

Page 5
Beberapa mediator inflamatori dapat diukur peningkatannya di pembuluh darah purifier
pada subjek dengan penyakit periodontal, menunjukkan bahwa inflamasi periodontal selain
berkontribusi secara langsung sampai elevasi konsentrasi substansi-substansi terseut pada
pembuluh darah perifer. Plak dental dan/atau inflamasi periodontal dapat mempengaruhi
proses patogenik yang terjadi di permukaan mucosal di sebelah distal, contohnya, pada
traktus repiratori dan digesti. Enzim hidrolitik saliva, dijumpai mengalami kenaikan pada
pasien dengan periodontitis, dan mendukung adhesi bakteria patogenik pada permukaan oral,
sambil merubah pola kolonisasi di orofaringeal.Bakteri periodontopatik menstimulasi
periodontium untuk melepaskan sitokin proinflamatori, ketika diaspirasi atau ditelan,
perubahan permukaan mukosa yang mendukung adhesi bakteri patogenik dapat
menyebabkan penyakit-penyakit misalnya pneumonia atau ulkus gastrik.Sitokin yang
dilepaskan dari periodontal yang inflamasi dapat masuk ke traktus respiratori melalui saliva
yg diaspirasi, memicu rekrutment neutrophil selanjutnya, kerusakan epithelial, dan infeksi.
Plak dental mendorong terjadinya inflamasi periodontal, dengan terjadinya gingivitis
sebagai manifestasi initial pada prosesnya.Dengan intervensi yang tepat, proses ini dapat

Page 6
dihambat dan periondontium dapat kembali kepada keadaan yang sehat lagi. Periodontitis
biasa dirawat dengan cara menghilangkan etiologi (plak dental) dn mengembalikan jaringan
gingiva menjadi sehat kembali. Namun, pada beberapa kasus, penyakit periodontal menjadi
tidak terawat selama beberrapa tahun. Hal ini dimungkinkan, untuk respon host sistemik untu
berkontribusi pada proses penyakit yang dihasilkan yaitu penyakit kardiovaskuler dan stroke,
penyakit respiratorym dan efek samping dari kehamilan.

Penyakit infeksi yang menyerang jaringan pendukung gigi merupakan penyakit serius,
apabila tidak dilakukan perawatan yang tepat dapat mengakibatkan kehilangan gigi, hal ini
akan berdampak pada fungsi pengunyahan dan penampilan seseorang. Salah satu infeksi
jaringan pendukung gigi adalah gingivitis.
Gingivitis merupakan suatu kelainan pada jaringan periodontal yang sering
ditemukan pada masyarakat umum.Penderita tidak menyadari bahwa dirinya mempunyai
suatu kelainan pada gingivanya, disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang kesehatan
gigi dan mulut serta belum pernah dilaporkan kasus kematian akibat kelainan gingivitis.
. Penyakit pada jaringan periodontal diderita manusia hampir di seluruh dunia
dan mencapai 50% dari jumlah populasi dewasa. Menurut hasil survei kesehatan gigi dan
mulut di Jatim tahun 1995, penyakit periodontal terjadi pada 459 orang diantara 1000

Page 7
penduduk .Di Asia dan Afrika prevalensi dan intensitas penyakit periodontal terlihat lebih
tinggi daripada di Eropa, Amerika dan Australia.Di Indonesia penyakit periodontal
menduduki urutan ke dua utama yang masih merupakan masalah di masyarakat
(Wahyukundari, 2008).

a. Definisi
Gingivitis adalah peradangan gingiva, menyebabkan perdarahan disertai
pembengkakan, kemerahan, eksudat, perubahan kontur normal, gingivitis sering terjadi dan
bisa timbul kapan saja setelah timbulnya gigi, gingiva tampak merah.Peradangan pada gusi
dapat terjadi pada satu atau 2 gigi, tetapi juga dapat terjadi pada seluruh gigi. Gingiva
menjadi mudah berdarah karena rangsangan yang kecil seperti saat menyikat gigi, atau
bahkan tanpa rangsangan, pendarahan pada gusi dapat ter jadi kapan saja (Ubertalli,2008).
Gingivitis bersifat reversible yaitu jaringan gingiva dapat kembali normal apabila dilakukan
pembersihan plak dengan sikat gigi secara teratur (Nield, 2003).

b. Etiologi
Kelainan yang terjadi dalam rongga mulut disebabkan oleh ketidakseimbangan faktor-
faktor yaitu: host, agent, environment, psikoneuroimunologi. Penyebab gingivitis sangat
bervariasi, mikroorganisme dan produknya berperan sebagai pencetus awal gingivitis.
Gingivitis sering dijumpai karena akumulasi plak supra gingiva dan tepi gingiva, terdapat
hubungan bermakna skor plak dan skor gingivitis. Ada berbagai macam penyakit
gingiva,yang umunya adalah gingivitis yang berkaitan dengan pembentukan plak gigi.
Penyakit tersebut ditandai dengan adanya tanda inflamasi klinis tanpa adanya kerusakan
perlekatan jaringan(attachment loss). Dapat pula terjadi pada periodonsium yang mengalami
attachment loss namun sudah stabil dan tidak berprogresi.Gingivitis yang terjadi hanya
disebabkan plak merupakan hasil interaksi antara bakteri dalam plak dan jaringan serta sel-sel
inflamator inang. Interaksi tersebut dapat diperburuk oleh pengaruh factor-faktor
local,sistemik,medikasi, serta malnutrisi.
Penyakit gingival yang dimodifikasi oleh factor sistemik terjadi karena adanya
perubahan endoktrin yang berkaitan dengan masa puber, siklus menstruasi,kehamilan dan
diabetes mellitus(DM). keadaan ini dapat menjadi lebih berat karena respon yang buruk dari
inflamatori gingival terhadap plak gigi. Sering ditemukan pembesaran dan pendarahan
gingival, yang dapat disertai dengan gingiva yang membengkak dan lunak karena banyaknya
infiltrasi sel-sel darah. Penyakit gingivitis yang dimodifokasi oleh medifikasi prevalensinya

Page 8
meningkat karena peningkatan penggunaan obat-obatan anti-konvulsan yang diketahui
menginduksi pembesaran gingival seperti fenitoin, obat imunosupresif seperti siklosporin A,
dn calcium channel blockers seperti nifedipin, verapamil, diltiazem, dan sodium valproat.
Beratnya pembesran gingival sangat individual dan dipengaruhi oleh akumulasi plak yang
tidak terkontrol (Musaikan, 2002).
Lapisan plak pada gingiva menyebabkan gingivitis atau radang gingiva, umur plak
menentukan macam kuman dalam plak, sedangkan macam kumandalam plak menentukan
penyakit yang ditimbulkan oleh plak.Plak tua adalah plak yang umurnya tujuh hari
mengandung kuman coccus, filament, spiril dan spirochaeta.Plak tua ini menyebabkan
gingivitis (Be, 1987, anonim, 2009).
Menurut Sriyono et al (2005), faktor-faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya gingivitis adalah sebagai berikut :
 Faktor internal
Faktor internal yang bertanggung jawab atas terjadinya penyakit gingiva:
1. Lapisan karang gigi dan noda atau zat-zat pada gigi
2. Bahan makanan yang terkumpul pada pinggiran gingiva tidak dibersihkan
oleh air liur dan tidak dikeluarkan oleh sikat.
3. Gigi berjejal secara abnormal sehingga makanan yang tertinggal tidak
teridentifikasi, kadang-kadang terbentuk ruangan dikarenakan pembuangan
gigi.
4. Kebiasaan seperti menempatkan peniti, kancing, buah pinang dan kawat dalam
mulut. Bahan ini melukai gusi dan menyebabkan infeksi.
 Faktor eksternal
Makanan yang salah dan malnutrisi.Pada umumnya seseorang yang kurang gizi
memiliki kelemahan, gejala yang tidak diharap tersebut dikarenakan faktor sosial
ekonomi yang berperan sangat penting.Faktor-faktor yang berperan adalah latar
belakang pendidikan, pendapatan dan budaya.Golongan masyarakat berpendapatan
rendah tidak biasa melakukan pemeriksaan kesehatan yang bersifat umum.Diet
dengan hanya makan sayuran tanpa unsur serat di dalamnya juga biasa menjadi faktor
penambah.

c. Tanda dan Gejala

Page 9
Menurut Be Kien Nio (1987), gingivitis merupakan tahap awal dari penyakit
periodontal, gingivitis biasanya disertai dengan tanda-tanda sebagai berikut:
1. Gingiva biasanya berwarna merah muda menjadi merah tua sampai ungu karena
adanya vasodilatasi pembuluh darah sehingga terjadi suplay darah berlebihan pada
jaringan yang meradang.
2. Bila menggosok gigi biasanya pada bulu sikat ada noda darah oleh karena adanya
perdarahan pada gingiva di sekitar gigi.
3. Terjadinya perubahan bentuk gingiva karena adanya pembengkakan.
4. Timbulnya bau nafas yang tidak enak.
5. Pada peradangan gingiva yang lebih parah tampak adanya nanah di sekitar gigi
dan gingival

d. Treatment Planing
Menurut J.D. Manson dan B.M. Eley (1998), Mediresource clinical team (2010),
perawatan gingivitis terdiri dari tiga komponen yang dapat dilakukan bersamaan yaitu:
1. Interaksi kebersihan mulut
2. Menghilangkan plak dan calculus dengan scaling
3. Memperbaiki faktor-faktor retensi plak.
Ketiga macam perawatan ini saling berhubungan.Pembersihan plak dan calculus tidak
dapat dilakukan sebelum faktor-faktor retensi plak diperbaiki. Membuat mulut bebas plak
ternyata tidak memberikan manfaat bila tidak dilakukan upaya untuk mencegah rekurensi
deposit plak atau tidak diupayakan untuk memastikan pembersihan segera setelah deposit
ulang.

Acute Necrotizing Ulcerative Gingivitis (ANUG)


a. Definisi
Acute Necrotizing Ulcerative Gingivitis (ANUG) atau gingivitis ulseratif akut yang
ternekrotisasi merupakan suatu tipe gingivitis akut yang berhubungan dengan spesies-
spesies bakteri tertentu dan stress.Keadaan ini ditandai dengan timbulnya ulserasi yang
cepat dan terasa sakit pada tepi gingiva dan papila interdental. Penderita biasanya
memiliki bau mulut yang tidak sedap (halitosis) (Lewis &Lamey , 1998).

b. Etiologi dan Patogenesis

Page 10
Penyebab ANUG belum diketahui tetapi organisme anaerob terutama spirochaeta dan
spesise Fusobacterium umumnya terlibat. Pericoronitis, margin restorasi berlebih,
merokok, malnutrisi, kelelahan dan stress dianggap sebagai faktor predisposisi (Lewis
&Lamey , 1998).
c. Gambaran Klinis
ANUG ditandai oleh demam, limfadenopati, malaise, gusi merah, sakit mulut yang hebat,
hipersalivasi, dan bau mulut yang khas.Papila-papila interdental terdorong keluar,
berulserasi, dan tertutup dengan pseudomembran yang berwarna keabuabuan. Kadang-
kadang keadaan tersebut meluas ke permukaan mukosa mulut yang lain dan kambuh, jika
salah rawat. Lesi ulseratif dapat berkembang meluas dan melibatkan prosesus alveolaris
disertai kuestrasi dari gigi-geligi dan tulang (Langlais dkk.,1998).

Gambar. Gambaran klinis ANUG pada daerah palatum keras


d. Diagnosis
Diagnosis ditentukan secara klinis dengan melihat adanya lesi ulseratif pada mukosa
rongga mulut. Pada pemeriksaan tonsil, nodus limfe regional biasanya sedikit membesar,
akan tetapi kadang-kadang ditemukan limfadenopati yang mencolok pada anak-anak
(Langlais dkk., 1998).
e. Terapi dan Perawatan
Necrotizing ulcerative gingivitis (NUG) dikaitkan dengan akumulasi bakteri tertentu yang
terjadi pada individu dengan menurunkan resistance.1 tuan NUG biasanya merespon
dengan cepat terhadap pengurangan bakteri mulut dengan kombinasi kontrol plak secara
pribadi dan menghilangkan debris di tempat bersangkutan. Jika limfadenopati atau demam
menyertai gejala oral, pemberian antibiotik sistemik dapat diindikasikan.Penggunaan
bilasan kemoterapi oleh pasien mungkin bermanfaat selama pengobatan tahap
awal.Setelah peradangan akut dari lesi NUG teratasi, intervensi tambahan dapat
diindikasikan untuk mencegah kambuhnya penyakit atau untuk memperbaiki cacat yang

Page 11
dihasilkan jaringan lunak.Pengobatan lokal dilakukan dengan metronidazole secara
sistemik untuk 3-5 hari.Terdapat respon terhadap pemberian antibiotik sistemik dan local
debridement.Gejala menghilang bertahap diatas 3-4 minggu, tetapi sering rekuren. Dalam
jangka panjang, terapi kebersihan untuk mencegah kerusakan gingival yang lebih lanjut
harus dilakukan (American Academy of Pediatric Dentistry, 2004; Lewis &Lamey ,
1998).

Plaque Induced Gingivitis


a. Definisi
Sebuah penyakit periodontal yang melibatkan peradangan gingiva dalam menanggapi
bakteri yang berada pada margin. Plak diinduksi gingivitis adalah yang bentuknya paling
umum dari penyakit gingival lain. Studi menunjukkan bahwa jumlah plak yang
terakumulasi pada gigi individu dapat berbeda dari individu lain berdasarkan faktor tuan
rumah terkait seperti genetika. Perdarahan gingiva digunakan sebagai hasil utama untuk
menentukan keparahan peradangan (Trombelli dkk., 2006).
b. Etiologi
Patogen yang terkait dengan penyakit ini adalah streptokokus mutans dan Fusobacterium
dan Actinobacteria. Hal ini lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, karena laki-laki
memiliki lebih sedikit keinginan untuk kebersihan mulut, terutama di sekitar pubertas
sekitar usia 12-17. Ada juga komponen lain untuk penyakit yang disebut Non Plaque
Induced Gingivitis, ini bukan disebabkan oleh plak bakteri atau biofilm, tetapi dapat
terjadi akibat:
 Infeksi virus
 Infeksi jamur
 Reaksi alergi
 Teknik Trauma(Trombelli dkk., 2006)
c. Diagnosis
Beberapa faktor yang membantu untuk mendiagnosa Plak-Induced Gingivitis adalah:
 Peradangan ringan pada gusi akibat penumpukan plak
 Gusi merah atau bengkak
 Gusi yang mudah berdarah(Trombelli dkk., 2006)
d. Klasifikasi
Ada banyak klasifikasi plaque induced gingivitis:

Page 12
     1) Gingivitis hanya berhubungan dengan biofilm plak gigi
             a) Bukan faktor lokal dan memberikan kontribusi
             b) Dengan kontribusi faktor lokal
     2) Penyakit gingiva yang dimodifikasi oleh faktor-faktor sistemik
             a) Terkait dengan sistem endokrin
                     1) Gingivitis terkait pubertas
                     2) Gingivitis terkait siklus menstruasi
     3) Gingivitis terkait kehamilan
             a) Gingivitis
             b) granuloma piogenik
             c) Terkait dengan diskrasia darah
                     1) Gingivitis terkait Leukemia
                      2) Lainnya(Trombelli dkk., 2006)
e. Patogenesis
Menurut John Besford (1996) , proses terjadinya gingivitis di mulai dari :
1) Tahap pertama
Plak yang terdapat pada gigi di dekat gusi menyebabkan gusi menjadi merah
(lebih tua dari merah jambu), sedikit membengkak (membuat dan bercahaya , tidak
tipis dan berbintik seperti kulit jeruk), mudah berdarah ketika di sikat (karena
adanya luka kecil pada poket gusi) , tidak ada rasa sakit.
2) Tahap kedua
Setelah beberapa bulan atau beberapa tahun peradangan ini berlangsung.
Plak pada gigi dapat menyebabkan serabut paling atas antara tulang rahang dan akar
gigi membusuk , dan ini diikuti dengan hilangnya sebagian tulang rahang pada
tempat perlekatan . Poket gusi juga menjadi lebih dalam dengan penurunan tinggi
tulang rahang tersebut .Gusi tetap berwarna merah, bengkak dan mudah berdarah
ketika disikat.Tetapi tidak terasa sakit.
3) Tahap ketiga
Setelah beberapa tahun tanpa pembersihan plak yang baik, dapat terjadi
tahap ketiga. Saat ini akan lebih banyak lagi tulang rahang yang rusak dan gusi
semakin turun, meskipun tidak secepat kerusakan tulang. Poket gusi menjadi lebih
dalam ( lebih dari 6 mm), karena tulang hilang , gigi mulai terasa sakit goyang , dan
gigi depan kadang-kadang mulai bergerak dari posisi semula. Kemerahan ,

Page 13
pembengkakan , dan perdarahan masih tetap seperti sebelumnya, dan tetap tidak ada
rasa sakit.
4) Tahap terakhir
Tahap-tahap ini biasanya terjadi pada usia 40 tahun atau 50 tahun , tetapi
terkadang dapat lebih awal . setelah beberapa tahun lagi tetap tanpa pembersihan
plak yang baik dan perawatan gusi , tahap terakhir dapat dicapai . Sekarang
kebanyakan tulang sekitar gigi telah mengalami kerusakan sehingga beberapa gigi
menjadi sangat goyang , dan mulai sakit . Pada tahap ini merupakan suatu akibat
ginggivitis yang dibiarkan, sehingga ginggivitis terus berlanjut ketahap paling akut
yaitu periodontitis.
f. Perawatan
Terapi untuk individu dengan gingivitis kronis yang paling dasar mengarah pada
pengurangan jumlah bakteria oral dan deposit-deposit terkalsifikasi maupun deposit
nonkalsifikasi. Pada pasien dengan gingivitis kronis, tetapi tanpa adanya kalkulus yang
signifikan, perubahan morfologi gingiva, atau kondisi sistemik yang mempengaruhi
kesehatan rongga mulut, cukup diberikan terapi seperti plak control (American Academy
of Pediatric Dentistry, 2004).
Banyak pasien dengan gingivitis kronis memiliki kalkulus atau faktor lokal lain yang
berhubungan (misalnya, restorasi yang tidak sempurna) yang menganggu kebersihan
mulut personal dan kemampuan pasien untuk menghilangkan bacterial plaque. Hasil terapi
yang baik dapat diterima oleh pasien jika kontrol plak personal dilakukan sejalan dengan
penghilangan plak, kalkulus atau faktor lokal lain yang dilakukan oleh profesional, dalam
hal ini dokter gigi (American Academy of Pediatric Dentistry, 2004).
Penghilangan kalkulus dapat dilakukan dengan scaling dan root planing. Kesuksesan
instrumentasi dapat diketahui dengan melakukan evaluasi pada jaringan periodontal
selama perawatan berlangsung dan selama masa kontrol perawatan.Penggunaan
antibakterial topikal juga dapat membantu mengurangi jumlah bacterial plaque pada masa
pencegahan dan perawatan gingivitis pada beberapa pasien (American Academy of
Pediatric Dentistry, 2004).

B. OBAT-OBATAN PASIEN DAN MANISFESTASI DALAM RONGGA MULUT

Page 14
Obat dan Usia Lanjut
Pada usia lanjut, seseorang dapat memberikan respon yang berbeda dari orang dewasa
muda, dengan sering terjadi efek samping atau efek toksik obat. Oleh karena itu pemakaian
obat pada lansia memerlukan perhatian dan pertimbangan khusus.
Pemakaian obat pada lansia dapat menjadi masalah, antara lain karena:
1. Kelompok lansia mengkonsusmsi 25-30% total obat yang digunakan dipuskesmas
pelayanan masyarakat.
2. Praktek polifarmasi sering dijumpai pada lansia karena mereka sering menderita lebih
dari satu macam penyakit.
3. Penelitian epidemiologis menunjukan bahwa lansia sangat rentan terhadap resiko efek
samping obat (ESO). Resiko terjadinya ESO meningkat sesuai dengan meningkatnya
jumlah obat yang dikonsumsi.
Jika dosis yang biasa diberikan pada orang dewasa muda juga diberikan pada lansia,
sering terjadi respon berlebihan atau efek toksik serta berbagai efek samping. Hal-hal ini
disebabkan oleh berbagai faktor berikut:
1. Perubahan faktor kinetik obat. Hal ini terutama disebabkan hal-hal berikut.
 Fungsi ginjal berkurang (filtrasi glomeroli dan sekresi tubuli) pada usia 65
tahun, filtrasi glomeroli berkurang sebesar 30%
 Kapasitas metabolisme beberapa obat, karena berkuranganya kadar albumin
plasma (sehingga dapat meningkatkan kadar obat bebes dalam darah
2. Perubahan faktor-faktor farmakodinamik dapat berupa peningkatan sesitivitas
reseptor, terutama reseptor diotak (terhadap obat yang bekerja sentral), dan penurunan
mekanisme homeostatik, misalnya homeostatik kardiovaskuler (terhadap obat-obat
antihipertensi).
3. Adanya berbagai penyakit (terutama penyakit saluran cerna, penyakit kardiovaskuler,
penyakit hati dan penyakit ginjal).
(Staff Pengajar Departemen Farmakologi, 2008)
Bisoprolol
Bisoprolol merupakan bloker reseptor β-1 adrenergik utama (bersifat kardioselektif)
tanpa aktivitas stimulasi reseptor β-2 dan waktu paruh eliminasi plasma sekitar 10-12 jam
sehingga memungkinkan dosis sekali sehari.Dengan ciri tersebut Bisoprolol sebagai dapat β-
bloker dapat mengobati hipertensi dan angina pektoris.Bisoprolol mengurangi tekanan darah
pada pasien hipertensi pada posisi berdiri maupun berbaring.Hipertensi postural atau

Page 15
hipertensi yang disebabkan oleh ketidakseimbangan elektrolit tidak termasuk indikasi
Bisoprolol.Pada pasien dengan angina pektoris, Bisoprolol dapat mengurangi serangan dan
meningkatkan kapasitas kerja fisik sehari-hari.Pada dosis terapi, Bisoprolol lebih sedikit efek
konstriksinya pada pembuluh darah perifer dan bronkiol daripada golongan β-bloker yang
nonselektif.
Indikasi :
Hipertensi dan penyakit jantung koroner (angina pektoris).

Kontraindikasi:
 Gagal jantung akut atau selama episode dekomposisi gagal jantung yang memerlukan
terapi intravena inotropik.
 Syok kardiogenik
 Blok AV derajat 2 atau 3 (tanpa peacemaker)
 Sindrom sinus
 Blokade sinoatrial
 Bradikardia yang kurang dari 60 denyut / menit sebelum memulai pengobatan
 Hipotensi (tekanan darah sistolik kurang dari 100 mmHg)
 Asma bronkial parah atau penyakit paru obstruktif kronis yang parah
 Tahap akhir penyakit oklusif arteri periferal dan sindroma Raynaud
 Faeokromositoma yang tidak diobati
 Asidosis metabolic
 Hipersensitif terhadap Bisoprolol

Efek samping:
Dispnea, pusing, kardiomiopati, bradikardia, hipotensi, takikardia, kelelahan, infeksi virus,
pneumonia.

Glossodynia sering merupakan gejala dari gangguan rasa dan efek samping khas dari
pengobatan dengan beta blocker (Al-Shehri, 2002).Gejala perubahan rasa mungkin juga hasil
dari terapi radiasi dan obat-obatan, seperti beta-blockers dan angiotensin-converting enzyme
(ACE) inhibitor.Masalah rasa mungkin membutuhkan waktu berbulan-bulan atau bahkan
bertahun-tahun untuk sembuh (Lee dkk., 1998).Beta blocker biasanya melakukan hal ini
dengan langsung mempengaruhi reseptor rasa, dengan mengubah bagaimana impuls saraf

Page 16
mengirim dan menerima selera, atau dengan mengubah jumlah atau susunan kimiawi air liur
(Nelson, 1998).

HCT
Hydrochlorothiazide adalah diuretik thiazide (pil air) yang membantu mencegah tubuh dari
menyerap terlalu banyak garam, yang dapat menyebabkan retensi cairan.Hydrochlorothiazide
memperlakukan retensi cairan (edema) pada orang dengan gagal jantung kongestif, sirosis
hati, atau gangguan ginjal, atau edema dengan mengambil steroid atau estrogen.Obat ini juga
digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi (hipertensi).

Indikasi:
diuretik, edema, pengobatan tambahan/penunjang pada hipertensi

Kontraindikasi:
Anuria (tidak terbentuknya air seni oleh ginjal), bersamaan dengan terapi litium,
dekompensasi (kegagalan fungsi) ginjal.

Efek samping:
Gangguan metabolik, ketidakseimbangan elektrolit, anoreksia (kehilangan nafsu makan),
gangguan lambung-usus, sakit kepala, pusing, hipotensi postural, parestesia (gangguan
perasaan kulit seperti kesemutan), impotensi, penglihatan berwarna kuning, reaksi
hipersensitivitas.Pada rongga mulut, menurut Jamerson (2008), dapat menyebabkan mulut
kering.

Arthrifen
Kandungan:
Ibuprofen 200 mg, paracetamol 325 mg

Indikasi :
Meringankan nyeri pasca sakit gigi, sakit kepala, nyeri otot, nyeri pinggang, dismenore
primer, menurunkan demam.

Page 17
Kontraindikasi :
 Riwayat hipersensitifitas terhadap obat antiinflamasi non steroid
 Pasien yang mengalami asma, rinitis, urtikaria sesudah menggunakan asetosal atau
obat antiinflamasi non steroid lain
 Tukak peptik (tukak lambung dan tukak duodenal) berat dan aktif
 Hamil trimester terakhir

Efek samping :
 Mual, nyeri epigastrum, rasa terbakar pada ulu hati, pusing, gelisah, sakit kepala,
ruam, gatal, tinitus, edema.
 Jarang: diare konstipasi, pendarahan lambung
 Brosnkospasme, gangguan hati dan ginjal
 Penurunan ketajaman penglihatan, kesulitan membedakan warna
 Neutropenia, pansitopenia, leukopenia
 Menurut Van dkk., (1995), dapat menyebabkan mulut kering

Aspirin
Kerja obat mengahasilkan analgesia dan mengurangi inflamasi dan demam dengan
menghambat produksi prostaglandin, menurunkan agregasi trombosit.

Indikasi :
Penatalaksanaan gangguan inflamasi seperti artritis reumatoid, osteoartritis, pengobatan nyeri
ringan sampai sedang, pengobatan demam, profilaksis serangan iskemik transien (transient
ischemic attack (TIA)), profilaksis infark miokard.

Kontraindikasi :
Hipersensitivitas aspirin, tartrazin (pewarna kuning FDC) atau salisilat lainnya.

Efek samping :
Tinitus, kehilangan pendengaran, dispepsia, nyeri ulu hati, distress epigastrik, mual, muntah,
anoreksia, nyeri abdomen, perdarahan GI, hepatotoksisitas, anemia, hemolisis, edema paru
nonkardiogenik, reaksi alergi termasuk anafilaksis, edema laring, dan mulut kering.

Page 18
Ranitidine
Ranitidine adalah suatu histamin antagonis reseptor H2 yang menghambat kerja histamin
secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam lambung. Pada pemberian
i.m./i.v. kadar dalam serum yang diperlukan untuk menghambat 50% perangsangan sekresi
asam lambung adalah 36–94 mg/mL. Kadar tersebut bertahan selama 6–8 jam. Ranitidine
diabsorpsi 50% setelah pemberian oral.Konsentrasi puncak plasma dicapai 2–3 jam setelah
pemberian dosis 150 mg. Absorpsi tidak dipengaruhi secara nyata oleh makanan dan
antasida.Waktu paruh 2 ½–3 jam pada pemberian oral, Ranitidine diekskresi melalui urin.

Indikasi:
 Pengobatan jangka pendek tukak usus 12 jari aktif, tukak lambung aktif, mengurangi
gejala refluks esofagitis.
 Terapi pemeliharaan setelah penyembuhan tukak usus 12 jari, tukak lambung.
 Pengobatan keadaan hipersekresi patologis (misal : sindroma Zollinger Ellison dan
mastositosis sistemik).
 Ranitidine injeksi diindikasikan untuk pasien rawat inap di rumah sakit dengan
keadaan hipersekresi patologis atau ulkus 12 jari yang sulit diatasi atau sebagai
pengobatan alternatif jangka pendek pemberian oral pada pasien yang tidak bisa
diberi Ranitidine oral.

Kontraindikasi :
Penderita yang hipersensitif terhadap Ranitidine.

Efek samping:
 Sakit kepala
 Susunan saraf pusat, jarang terjadi : malaise, pusing, mengantuk, insomnia, vertigo,
agitasi, depresi, halusinasi.
 Kardiovaskular, jarang dilaporkan: aritmia seperti takikardia, bradikardia,
atrioventricular block, premature ventricular beats.
 Gastrointestinal : konstipasi, diare, mual, muntah, nyeri perut.
 Muskuloskeletal, jarang dilaporkan : artralgia dan mialgia.

Page 19
 Hematologik : leukopenia, granulositopenia, pansitopenia, trombositopenia (pada
beberapa penderita). Kasus jarang terjadi seperti agranulositopenia, trombositopenia,
anemia aplastik pernah dilaporkan.
 Lain-lain, kasus hipersensitivitas yang jarang (contoh : bronkospasme, demam,
eosinofilia), anafilaksis, edema angioneurotik, sedikit peningkatan kadar dalam
kreatinin serum.

C. PENUAAN DAN KONDISI SISTEMIK LANSIA (GERIATRIC)


Penuaan merupakan satu prose alami yang ditunjukkan dengan terjadinya perubahan
pada berbagai aspek fisiologis,psikologis dan sosial. Di Indonesia, lansia didefinisikan
sebagai umur kronologis 60 dan ke atas (Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010). Menurut
WHO, di hamper semua Negara maju, umur kronologis 65 merupakan umur untuk
mendefinisikan seorang lansia.
Penurunan sistem imun seiring dengan usia meningkatkan risiko untuk mendapatkan
penyakit kronis. Kedua-dua sistem imun innate dan adaptif dipengaruhi oleh efek penuaan;
Namun, sistem respon adaptif lebih dipengaruhi (Castelo-Branco dan Soveral, 2013).
Pada lansia, prevalensi kondisi sistemik meningkat dengan umur.Di amerika serikat,
penyakit sistemik yang paling sering ditemukan merupakan arthritis, hypertensi, penyakit
jantung, penyakit sinus, diabetes mellitus.Selain itu, impairment kronis yang paling sering
ditemukan dengan lansia termasuk gangguan pendengaran, gangguan visual, impairment
orthopedik dan gangguan pengucapan. Impairment sensori lain yang ditemukan adalah
disfungsi gustatory dan olfaktori, dan gangguan motorik seperti kesusahan dalam mastikasi,
pengucapan dan penelanan. Impairment kronis ini akan memberi dampak buruk kepada
kesehatan oral dan impair perawatan dental (Ship, 2009).
Prevalensi kolesterol plasma dan insidensi penyakit jantung meningkat seiring dengan
usia. Terdapat hipotesis yang mengatakan bahawa penurunan pada growth hormone (GH)
berlaku seiring dengan usia dan merupakan faktor pengembangan age-related
hypercholesterolemia karena GH menyumbang kepada metabolisme kolesterol. (Parini et al.,
1998).
Prevalensi diabetes dan tolerance glukosa yang impaired meningkat seiring dengan
umur. Lebih dari 50% penderita diabetes tipe 2 di Amerika syarikat berumur 60 dan lebih.
Hyperglycaemia akan menurunkan fungsi kognitif pada lansia, meningkatkan risiko

Page 20
mendapat katarak, hipertensi, neuropathy, nefropati, penyakit kardiovaskular, gingivitis,
periodontitis (Morley J.E., 1998)
Penelitian menunjukkan bahawa terdapat penurunan pada fungsi renal setelah usia 30-
40. Ditunjukkan bahawa terdapat penurunan creatinine clearance (Ccr) seiring dengan
usia.Penuaan meningkatkan Insidensi glomeruli sklerotik yang menurunkan fungsi renal
pada lansia (Otani dan Mune, 1998).
Proses penuaan cenderung memiliki berbagai penyebab yang multipel dan saling
berinteraksi, penyebab-penyebab ini kemungkinan berbeda dalam sel dan organ yang bersifat
pascamitosis (seperti sel saraf, jantung, serta otot skeletal bila dibandingkan dengan sel yang
bisa diperbaharui (seperti sel sumsum tulang, kulit dan gastrointestinal). Sebagai contoh
kerusakan akibat radikal bebas dapat lebih berbahaya bagi organ yang tidak mampu
mengadakan replikasi seperti sitem saraf dibanding dengan sumsum tulang yang mampu
terus-menerus bereplikasi, dan mekanisme untuk memperbaiki kerusakan tersebut
dipengaruhi oleh usia.

Prinsip-prinsip yang timbul pada Proses Penuaan.


1. Individu akan menjadi semakin berbeda ketika mereka menua sehingga akan
menyesatkan setiap stereotipe penuaan.
2. Penurunan mendadak dari setiap sistem atau fungsi selalu disebabkan oleh penyakit
dan bukan disebabkan oleh penuaan yang normal.
3. Proses penuaan yang normal dapat berkurang dengan modifikasi faktor resiko
(misalnya, peningkatan tekanan darah, merokok, gaya hidup kurang kerak).
4. Usia tua yang sehat, bukan merupakan suatu kaliamat yang kata-katanya saling
bertentangan(oxymoron).
Sebenarnya tanpa adanya penyakit, penurunan cadangan homeostatik tidak
menyebabkan gejala dan menimbulkan beberapa keterbatasan pada aktifitas hidup sehari-hari
tanpa tergantung usia (Isselbacher, K.J., 1999).

Keadaan Klinik Kesehatan Mulut Lansia


Perubahan rongga mulut pada lansia berdampak akibat adanya penyakit sebelumnya,
pengguaan dan kebiasaan.Aktivitas otot juga dapat menyebabkan kehilangan gigi secara
cepat.Bicara dapat terganggu akibat adanya kebulangan gigi.Xerostomia secara subjektif
enyebabkan adanya sensasi mulut kering yang perlu diberi perhatian khusus. Umur dan obat-
obatan merupakan faktor resiko yang signifikan terhadap terjadinya xerostomia, namun obat-

Page 21
obatan lebih mengambil peran didalamnya. Xerostomia merupakan keadaan yang sering
diderita oleh suatu populasi yang diakibatkan oleh penggunaan obat-obatan multipel. Onset
xeroatomia biasanya berasosiasi dengan gelaja lain pada rongga mulut, masalah makan,
komunikasi, dan interaksi sosial.
Saliva memiliki peran penting dalam kesehatan rongga mulut.Penurunan sekresi
saliva dapat meningkatkan potensial dari karies gigi dan menyebabkan masalah retensi dari
gigi tiruan. Komposisi saliva pada usia tua lebih sedikit sehingga dapat berefek xerostomia,
efek samping obat-obatan dapat secara signifikan memberikan efek negatif pada status
kesehatan rongga mulut dan kualitas hidup (Pathy, 2006).

(Isselbacher, K.J., 1999)

D. PASIEN DENGAN MEDICALLY COMPROMISED


Definisi medically compromised

Page 22
Pasien dengan kondisi medically compromised adalah seseorang dengan kondisi medis
ataupun perawatan medis yang rentan terhadap infeksi maupun komplikasi serius (Marsh &
Martin, 1999). Pasien dengan medically compromisedadalah seseorang yang mengidap satu
ataupun lebih penyakit dan sedang menjalani satu atau lebih medikasi sebagai perawatan
penyakitnya tersebut (Ganda, 2008). Aspek khusus yang perlu diperhatikan adalah efek obat
anestesi terhadap kondisi tersebut, potesi interaksi obat, serta kegawatdaruratan medis
(Coulthard, et al., 2003).

Berbagai kondisi yang termasuk dalam status medically compromised


Dhanuthai, et al (2009) mengklasifikasikan kondisi medically compromiseddalam 8
kategori yaitu: alergi, endocrine disorders, cardiovascular diseases, respiratory diseases,
hematological disorders, liver diseases, renal diseases, dan penyakit lainnya.
Disorder Contoh  Komplikasi Oral

Endokrin Diabetes melitus  Infeksi fungal

Kardiovaskuler Disfungsi mitral  Infeksi endocarditis


valve
Respirasi Asma  Rentan terhadap infeksi fungal

Neurologi Epilepsi  Hiperplasi gingiva dan penyakit


periodontal
Bleeding disorder Hemofili  Prolonged bleeding

Penyakit neoplasma Ca Oral  Karies dan mukositis

Infeksi kronis Tuberkulosis  Oral tuberculosis

Kelainan imunologi AIDS  Infeksi fungal

(Marsh & Martin,


1999)

Tanda, gejala, patofisiologi, patogenesis (Bricker et al., 1994)

Page 23
Sistem Respirasi
Kerusakan pada sistem respirasi meningkatkan resiko kematian seorang pasien dalam
praktek kedokteran gigi karena kemampuan pulmonari menurun, medikasi yang mereka
gunakan, interaksi obat, dan resiko transmisi penyakit.Pasien dengan respiratory disorder
dapat diidentifikasi melalui riwayat kesehatannya yaitu mengalami kesulitan bernapas, sering
terjadi infeksi saluran napas atas, kebiasaan merokok, dan tinggal di lingkungan yang iritan
terhadap sistem respirasi.Gejala-gejalanya adalah batuk, kesulitan bernapas (dypsnea),
sputum, batuk darah, napas berbunyi, dan nyeri dada.
Patogenitas dan patofisiologi:
 Penyakit saluran napas atas: infeksi dan sinusitis
 Penyakit saluran napas bawah: asma
 Penyakit pulmonar kronis obstruktif (COPD): bronkitis kronis, emfisema
 Penyakit paru-paru gramnulomatosa: tuberkulosis, sarkoidosis
 Penyakit lainnya: pneumokoniosis

Sistem Kardiovaskular
Pasien dengan penyakit kardiovaskuler biasanya menjalani medikasi multipel dan
memiliki penyakit serius lainnya seperti asma, osteoartritis, dan diabetes melitus.Tanda dan
gejalanya adalah bunyi detak jantung abnormal, dypsnea, orthopnea (dypsnea pada posisi
berbaring), jantung berdebar, detak jantung tidak teratur, sakit dada, nail-bed clubbing,
distensi vena jugularis, dan tekanan darah tinggi.
Patofisiologi:
 Endokarditis infektif dan kondisi-kondisi yang berhubungan: demam reumatik,
rheumatic heart disease, infeksi endocarditis
 Valvular heart disease
 Kelainan jantung bawaan
 Hipertensi
 Penyakit jantung iskemik: arterosklerosis koroner, angina pectoris, infark myocardial
 Cardiac Arrhythmias: bradikardi (denyut jantung lambat), takikardi (denyut jantung
cepat)
 Gagal jantung (Gagal jantung kongestif): transplantasi jantung

Sistem Gastrointestinal

Page 24
Penyakit-penyakit gastrointestinal merupakan hal yang menarik dalam praktek
kedokteran gigi karena kemiripan struktur antara mulut dan saluran gastrointestinal serta
kemiripan antara penyakit mukosa oral dan penyakit oral yang merupakan manifestasi
penyakit gastrointestinal. Tanda dan gejalanya adalah anoreksia, disfagia, nyeri abdominal,
diare, konstipasi, melena, steatorea, malaise, demam, jaundice, distensi abdominal, palmar
erythema, kontraktur Dupuytren, leukonisia, jari bengkak, pembengkakan nl. supraklavikular.
Patogenitas dan patofisiologi: xerostomia, sialorrhea, penyakit GI atas, esophageal
disorder, hipersekresi kelenjar ludah, hiposekresi kelenjar ludah, penyakit GI bawah,
malabsorbsi, inflammatory bowel disease, poliposis intestinal, penyakit pankreas
(pankreasitis, fibrisis kistik), dan penyakit liver (hepatitis, sirosis hati).

Sistem Renal
Penyakit ginjal yang menurunkan fungsi normal ginjal secara reversibel maupun
ireversibel dapat berkembang menjadi berbagai manifestasi klinis seperti retensi sisa produk
metabolisme, akumulasi toksik dari obat-obatan, terganggunya keseimbangan asam-basa,
retensi cairan, dan abnormalitas tekanan darah.Disfungsi ginjal yang persisten seringkali
mengakibatkan perlunya dilakukan dialisis darah ataupun transplantasi ginjal.Tanda dan
gejalanya adalah anoreksia, nausea, vomiting, penurunan intelektual, letargi, somnolen, bau
mulut, neuropati, edema, hipertensi, penurunan berat badan, nyeri tulang, fraktur, pruritus,
hematuria, masalah pada buang air kecil, renal osteodystrophy rahang.
Patogenitas dan patofisiologi:
 sindrom nefritis
 sindrom nefrotik
 gagal ginjal akut/kronis.

Sistem Neural
Terlihat adanya kelainan pada kognitif, motorik dan psikososial.Kelainan ini seringnya
tidak terdiagnosis hingga beberapa bulan atau tahun.Setelah didiagnosis, masalah neurologi
ini biasanya dirawat secara farmakologis. Dokter gigi harus memahami penyakit-penyakit
neurologik dan hubungannya dengan perawatan dental karena pasien biasanya mengalami

Page 25
cognitive impaired, kurangnya kemampuan motoris, dan mengalami kesulitan untuk mengerti
rencana perawatan gigi yang kompleks.
Patogenitas dan patofisiologi: demensia (penyakit Alzheimer, retardasi mental),
serebral palsi, epilepsi, penyakit demyelinasi (multipel sklerosis), kelainan neurotransmiter
(parkinson/paralisis agitan), kelainan hubungan myoneural (myastenia gravis), penyakit
neuron motorik (sklerosis amyotrofi lateral), penyakit serebrovaskular, neuropati (bell’s
palsy/facial palsy, trigeminal neuralgia, neuralgia glosofaringeal, neuralgia sfenopalatina,
neuralgia postherpetik).Tanda dan gejala: penurunan intelektual, kehilangan memori,
neuropati, sakit kepala, pening, TIA, iritabilitas mental, konvulsi, gigi menyerpih atau luka
pada bibir atau lidah, tremor, muscle fatigue dan kelemahan, kehilangan fungsi motorik, dan
nyeri.

Sistem Hematologi
Penampakan oral dari penderita kelainan hematologi (seperti pembengkakan dan
pendarahan gingiva) sangat penting untuk diketahui oleh seorang dokter gigi karena
manifestasinya dapat merupakan indikasi awal dari sebuah malignasi penyakit
hematologik.Patogenitas dan patofisiologi: kelainan sel darah merah (anemia, polisitemia
vera), kelainan sel darah putih (neutropenia, leukemia, limfoma, multipel myeloma), kelainan
pendarahan (kelainan platelet, kelainan koagulasi bawaan, kelainan koagulasi dapatan).
Tanda dan gejala: takikardi, lemah, kelelahan, sakit kepala, glositis, angular cheilitis,
kedinginan, kesemutan, pembengkakan jari, goyah saat berjalan, nyeri abdominal, jaundice,
demam, limfadenotapi, berkeringat, nyeri pada tulang dan persendian, infeksi kambuhan,
pembengkakan gingiva, pendarahan spontan, menstruasi berat, perpanjangan waktu
pendarahan (setelah trauma ringan, operasi minor, maupun pencabutan gigi), adanya petekia
atau hematoma, kecenderungan memar.

Sistem Endokrin
Patogenitas dan patifisiologi: hipersekresi glandula pituitari (gigantisme dan
akromegali), hiposekresi glandula pituitari (dwarfisme), hipertiroidisme (tirotoksikosis),
hipotiroidisme, hiperparatiroidisme (hipersekresi), hiposekresi glandula paratiroid,
hiperadrenokortisme (hipersekresi gland adrenal menyebabkan Cushing’s syndrome),
hipoadrenalkortisme (hiposekresi gland adrenal menyebabkan penyakit Addison),
hipersekresi medula adrenal (pheochromocytoma), kelainan pankreas (diabetes melitus),
kehamilan, dan neoplasia.Tanda dan gejala: pembengkakan jaringan, nausea, vomiting,

Page 26
kelelahan, dullnes, letargi, somnolen, iritabilitas, neuropati, pruritus, polidipsi, poliuri,
hipertensi, penurunan berat badan, kenaikan berat badan, nyeri tulang, fraktur.

Penyakit Muskuloskeletal dan Jaringan Ikat


Pasien dengan penyakit muskuloskeletal dan jaringan ikat biasanya menjalani
medikasi tertentu bagi penyakitnya.Untuk memberikan perawatan gigi, seorang dokter gigi
harus mengenali keterbatasan fisik pasien, komplikasi dari penyakit tersebut, efek samping
yang tidak diinginkan dari obat-obatan yang digunakan dalam terapi serta manifestasi oral
yang mungkin muncul.Patogenitas dan patofisiologi: osteogenesis imperfekta (brittle bone
disease, tulang mudah patah), osteoporosis, osteomalasia, osteoartritis, rheumatoid arthritis,
seronegative spondyloarthropathies (spondilitis ankilosis, artritis psoriasis, sindrom Reiter),
gout, Paget disease, kelainan jaringan ikat (lupue erythematosis, sklerodema, Sjorgen’s
syndrome, poliarteritis nodosa, polimyositis dan dermotomyositis, sindrom Marfan, sindrom
Ehler-Danlos), penyakit otot (distrofi muskular, distrofi myotonik).
Tanda dan gejala: nyeri otot, lemah, parestesia, nyeri sendi, hipermobilitas sendi, kaku
sendi, deformitas sendi, nyeri tulang, pembengkakan tulang, fraktur, kiposis, skoliosis, nodus
Heberden, nodus Bouchard, elastisitas abnormal kulit, kulit pecah-pecah, nodula pada kulit,
mulut kering, dan terbatasnya pembukaan rahang.

Identifikasi
Kavitas oral pasien dengan kondisi medically compromisedditandai dengan adanya
perubahan pada mukosa oral, aliran saliva. Banyak infeksi pada pasien medik kompromais
meningkat sebagai akibat dari perawatan medisnya (Marsh & Martin, 1999).

E. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Hasil pemeriksaan laboratorium merupakan informasi yang berharga untuk
membedakan, mengkonfirmasikan diagnosis, menilai status klinik pasien, mengevaluasi
efektivitas terapi dan munculnya reaksi obat yang tidak diinginkan. Interprestasi hasil
pemeriksaan laboratoriun oleh apoteker bertujuan untuk:
 Menilai kesesuaian terapi. Misal: indikasi obat, ketepatan pemilihan obat,
kontraindikasi obat.

Page 27
 Menilai efektivitas terapi. Misal: efektivitas pemberian kalium diketahui melalui
kadar kalium dalam darah.
 Mendeteksi dan mencegah reaksi obat yang tidak dikehendaki. Misal: Penurunan
dosis ciprofloxacin hingga 50% pada kondisi klirens kreatin < 30ml/menit.
 Menilai kepatuhan penggunaan obat. Misal: Kepatuhan pasien dalam
menggunakan antidiabetik oral diketahui dari nilai HbA1c.
 Mencegah interprestasi yang salah terhadap hasil pemeriksaan.
Faktor yang mempengaruhi interprestasi data:
 Obat-obatan
 Suku
 Olah Raga
 Umur Pasien
 Jenis kelamin
 Kondisi fisik tubuh
 Kesalahan laboratorium
 Kesalahan sampling

Dalam melakukan uji laboratorium diperlukan bahan yang didapat melalui tindakan
invasif atau non invasif. Contoh bahan: darah lengkap (vena, arteri), plasma, serum, urine,
feses, sputum, keringat, saliva, sekresi saluran cerna, cairan vagina, cairan serebrospinal dan
jaringan.Hasil pemeriksaan laboratorium dapat dinyatakan sebagai angka kuantitatif,
kualitatif atau semi kuantitatif.Hasil kuantitatif berupa angka pasti atau rentang nilai, sebagai
contoh nilai hemoglobin pada wanita adalah 12-16g/dL.Hasil kuantitatif dinyatakan sebagai
nilai positif atau negatif tanpa menyebut derajat positif atau negatif tanpa menyebutkan angka
pasti. Misal 1+, 2+, 3+
Nilai kritis dari suatu hasil pemeriksaan laboratorium yang mengindikasikan
kelainan/gangguan yang mengancam jiwa, memerlukan perhatian atau tindakan.Nilai
abnormal suatu hasil pemeriksaan tidak selalu bermakna secara klinik.Sebaliknya, nilai
normal dapat dianggap tidak normal pada kondisi klinik tertentu.Oleh karena itu perlu
diperhatikan nilai rujukan sesuai kondisi khusus pasien.Kesalahan terkait hasil laboratorium
tergantung pada sensitifitas (kepekaan tes), spesifitas (kemampuan membedakan
penyakit/gangguan fungsi organ dan akurasi (ukuran ketepatan pemeriksaan).

Page 28
Pemeriksaan laboratorium dapat dikelompokkan sebagai pemeriksaan penapisan dan
pemeriksaan diagnostik.Pemeriksaan penapisan dimaksudkan untuk mendeteksi adanya suatu
penyakit sedini mungkin agar intervensi dapat dilakukan lebih efektif.Umumnya pemeriksaan
penapisan sederhana dan mempunyai kepekaan tinggi.Pemeriksaan diagnostik dilakukan
pada pasien yang memiliki gejala, tanda klinik, riwayat atau nilai pemeriksaan penapisan
yang abnormal.Pemeriksaan diagnostik cenderung lebih rumit dan spesifik untuk pasien
secara individu.

1. Hb(Hemoglobin)
Hemoglobin adalah molekul di dalam eritrosit (sel darah merah) dan bertugas untuk
mengangkut oksigen. Kualitas darah dan warna merah pada darah ditentukan oleh kadar
Hemoglobin.

Nilai normal Hb :
Wanita 12-16 gr/dL Pria 14-18 gr/dL
Anak 10-16 gr/dL Bayi baru lahir 12-24gr/dL

Penurunan Hb terjadi pada penderita anemia penyakit ginjal, dan pemberian cairan intra-
vena (misalnya infus) yang berlebihan.Selain itu dapat pula disebabkan oleh obat-obatan
tertentu seperti antibiotika, aspirin, antineoplastik (obat kanker), indometasin (obat
antiradang).Peningkatan Hb terjadi pada pasien dehidrasi, penyakit paru obstruktif menahun
(COPD), gagal jantung kongestif, dan luka bakar.Obat yang dapat meningkatkan Hb yaitu
metildopa (salah satu jenis obat darah tinggi) dan gentamicin (Obat untuk infeksi pada kulit).

2. Trombosit (Platelet)
Trombosit adalah komponen sel darah yang berfungsi dalam proses menghentikan
perdarahan dengan membentuk gumpalan. Penurunan sampai di bawah 100.000 permikroliter
(Mel) berpotensi terjadi perdarahan dan hambatan perm- bekuan darah.Jumlah normal pada
tubuh manusia adalah 200.000-400.000/Mel darah.Biasanya dikaitkan dengan penyakit
demam berdarah.

3. Hematokrit (HMT)
Hematokrit menunjukkan persentase zat padat (kadar sel darah merah, dan Iain-Iain)
dengan jumlah cairan darah. Semakin tinggi persentase HMT berarti konsentrasi darah makin

Page 29
kental.Hal ini terjadi karena adanya perembesan (kebocoran) cairan ke luar dari pembuluh
darah sementara jumlah zat padat tetap, maka darah menjadi lebih kental.

Nilai normal HMT :


Anak 33 -38% Pria dewasa 40 – 48 % Wanita dewasa 37 – 43 %

Penurunan HMT terjadi pada pasien yang mengalami kehilangan darah akut (kehilangan
darah secara mendadak, misal pada kecelakaan), anemia, leukemia, gagalginjal kronik,
mainutrisi, kekurangan vitamin B dan C, kehamilan, ulkuspeptikum (penyakit tukak
lambung).Peningkatan HMT terjadi pada dehidrasi, diare berat,eklampsia (komplikasi pada
kehamilan), efek pembedahan, dan luka bakar, dan Iain-Iain.

4. Leukosit (Sel Darah Putih)


Leukosit adalah sel darah putih yang diproduksi oleh jaringan hemopoetik yang berfungsi
untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit infeksi sebagai bagian dari sistem
kekebalan tubuh.
Nilai normal :
Bayi baru lahir 9000 -30.000 /mm3
Bayi/anak 9000 – 12.000/mm3
Dewasa 4000-10.000/mm3

Peningkatan jumlah leukosit (disebut Leukositosis) menunjukkan adanya proses infeksi


atau radang akut,misalnya pneumonia (radang paru-paru), meningitis (radang selaput otak),
apendiksitis (radang usus buntu), tuberculosis, tonsilitis, dan Iain-Iain. Selain itu juga dapat
disebabkan oleh obat-obatan misalnya aspirin, prokainamid, alopurinol, antibiotika terutama
ampicilin, eritromycin, kanamycin, streptomycin, dan lain-lain.Penurunan jumlah Leukosit
(disebut Leukopeni) dapat terjadi pada infeksi tertentu terutama virus, malaria, alkoholik, dan
Iain-Iain.Selain itu juga dapat disebabkan obat-obatan, terutama asetaminofen
(parasetamol),kemoterapi kanker, antidiabetika oral, antibiotika (penicillin, cephalosporin,
kloramfenikol), sulfonamide (obat anti infeksi terutama yang disebabkan oleh bakteri).

5. Hitung Jenis Leukosit (Diferential Count)


Hitung jenis leukosit adalah penghitungan jenis leukosit yang ada dalam darah
berdasarkan proporsi (%) tiap jenis leukosit dari seluruh jumlah leukosit.Hasil pemeriksaan

Page 30
ini dapat menggambarkan secara spesifik kejadian dan proses penyakit dalam tubuh, terutama
penyakit infeksi. Tipe leukosit yang dihitung ada 5 yaitu neutrofil, eosinofil, basofil, monosit,
dan limfosit.Salah satu jenis leukosit yang cukup besar, yaitu 2x besarnya eritrosit (se! darah
merah), dan mampu bergerak aktif dalam pembuluh darah maupun di luar pembuluh darah.
Neutrofil paling cepat bereaksi terhadap radang dan luka dibanding leukosit yang lain dan
merupakan pertahanan selama fase infeksi akut.Peningkatan jumlah neutrofil biasanya pada
kasus infeksi akut, radang, kerusakan jaringan, apendiksitis akut (radang usus buntu), dan
lain-lain.Penurunan jumlah neutrofil terdapat pada infeksi virus, leukemia, anemia defisiensi
besi, dan lain-lain.

6. Eosinofil
Eosinofil merupakan salah satu jenis leukosit yang terlibatdalam alergi dan infeksi
(terutama parasit) dalam tubuh, dan jumlahnya 1 – 2% dari seluruh jumlah leukosit. Nilai
normal dalam tubuh: 1 – 4%. Peningkatan eosinofil terdapat pada kejadian alergi, infeksi
parasit, kankertulang, otak, testis, dan ovarium.Penurunan eosinofil terdapat pada kejadian
shock, stres, dan luka bakar.

7. Basofil
Basofil adalah salah satu jenis leukosit yang jumlahnya 0,5 -1% dari seluruh jumlah
leukosit, dan terlibat dalam reaksi alergi jangka panjang seperti asma, alergi kulit, dan lain-
lain.Nilai normal dalam tubuh: o -1%. Peningkatan basofil terdapat pada proses inflamasi
(radang), leukemia, dan fase penyembuhan infeksi. Penurunan basofil terjadi pada penderita
stres, reaksi hipersensitivitas (alergi), dan kehamilan

8. Limfosit
Salah satu leukosit yang berperan dalam proses kekebalan dan pembentukan antibodi.
Nilai normal: 20 – 35% dari seluruh leukosit.Peningkatan limfosit terdapat pada leukemia
limpositik, infeksi virus, infeksi kronik, dan lain-lain.Penurunan limposit terjadi pada
penderita kanker, anemia aplastik, gagal injal, dan lain-lain.

9. Monosit
Monosit merupakan salah satu leukosit yang berinti besar dengan ukuran 2x lebih besar
dari eritrosit sel darah merah), terbesar dalam sirkulasi darah dan diproduksi di jaringan
limpatik. Nilai normal dalam tubuh: 2 – 8% dari jumlah seluruh leukosit.Peningkatan monosit

Page 31
terdapat pada infeksi virus,parasit (misalnya cacing), kanker, dan Iain-Iain. Penurunan
monosit terdapat pada leukemia limposit dan anemia aplastik.

10. Eritrosit
Sel darah merah atau eritrosit berasal dari Bahasa Yunani yaitu erythros berarti merah dan
kytos yang berarti selubung.Eritrosit adalah jenis se) darah yang paling banyak dan berfungsi
membawa oksigen ke jaringan tubuh.Sel darah merah aktif selama 120 hari sebelum akhirnya
dihancurkan. Pada orang yang tinggal di dataran tinggi yang memiliki kadar oksigen rendah
maka cenderung memiliki sel darah merah lebih banyak.
Nilai normal eritrosit :
Pria 4,6 – 6,2 jt/mm3 Wanita 4,2 – 5,4 jt/mm3

11. Masa Perdarahan


Pemeriksaan masa perdarahan ini ditujukan pada kadar trombosit, dilakukan dengan
adanya indikasi (tanda-tanda) riwayat mudahnya perdarahan dalam keluarga.

Nilai normal :
Metode Ivy 3-7 menit
Metode Duke 1-3 menit

Waktu perdarahan memanjang terjadi pada penderita trombositopeni (rendahnya kadar


trombosit hingga 50.000 mg/dl), ketidaknormalan fungsi trombosit, ketidaknormalan
pembuluh darah, penyakit hati tingkat berat, anemia aplastik, kekurangan faktor pembekuan
darah, dan leukemia. Selain itu perpanjangan waktu perdarahan juga dapat disebabkan oleh
obat misalnya salisilat (obat kulit untuk anti jamur), obat antikoagulan warfarin (anti
penggumpalan darah), dextran, dan lain-lain.

12. Masa Pembekuan


Merupakan pemeriksaan untuk melihat berapa lama diperlukan waktu untuk proses
pembekuan darah. Hal ini untuk memonitor penggunaan antikoagulan oral (obat-obatan anti
pembekuan darah). Jika masa pembekuan >2,5 kali nilai normal, maka potensial terjadi
perdarahan.Normalnya darah membeku dalam 4 – 8 menit (Metode Lee White).Penurunan
masa pembekuan terjadi pada penyakit infark miokard (serangan jantung), emboli pulmonal

Page 32
(penyakit paru-paru), penggunaan pil KB, vitamin K, digitalis (obat jantung), diuretik (obat
yang berfungsi mengeluarkan air, misal jika ada pembengkakan).Perpanjangan masa
pembekuan terjadi pada penderita penyakit hati, kekurangan faktor pembekuan darah,
leukemia, gagal jantung kongestif.

13. Laju Endap Darah (LED)


LED untuk mengukur kecepatan endap eritrosit (sel darah merah) dan menggambarkan
komposisi plasma serta perbandingannya antara eritrosit (sel darah merah) dan plasma.LED
dapat digunakan sebagai sarana pemantauan keberhasilan terapi, perjalanan penyakit,
terutama pada penyakit kronis seperti Arthritis Rheumatoid (rematik), dan TBC.Peningkatan
LED terjadi pada infeksi akut lokal atau sistemik (menyeluruh), trauma, kehamilan trimester
II dan III, infeksi kronis, kanker, operasi, luka bakar.Penurunan LED terjadi pada gagal
jantung kongestif, anemia sel sabit, kekurangan faktor pembekuan, dan angina pektoris
(serangan jantung).Selain itu penurunan LED juga dapat disebabkan oleh penggunaan obat
seperti aspirin, kortison, quinine, etambutol.

14. G6PD (Glukosa 6 Phosfat Dehidrogenase)


Merupakan pemeriksaan sejenis enzim dalam sel darah merah untuk melihat kerentanan
seseorang terhadap anemia hemolitika.Kekurangan G6PD merupakan kelainan genetik terkait
gen X yang dibawa kromosom wanita. Nilai normal dalam darah yaitu G6PD negatif
Penurunan G6PD terdapat pada anemia hemolitik, infeksi bakteri, infeksi virus,
diabetes asidosis.Peningkatan G6PD dapat juga terjadi karena obat-obatan seperti aspirin,
asam askorbat (vitamin C) vitamin K, asetanilid.

15. BMP (Bone Marrow Punction)


Pemeriksaan mikroskopis sumsum tulang untuk menilai sifat dan aktivitas
hemopoetiknya (pembentukan sel darah).Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada penderita
yang dicurigai menderita leukemia.Nilai normal rasio M-E (myeloid-eritrosit) atau
perbandingan antara leukosit berinti dengan eritrosit berinti yaitu 3 :1 atau 4 :1.

16. Hemosiderin/Feritin
Hemosiderin adalah cadangan zat besi dalam tubuh yang diperlukan untuk pembentukan
hemoglobin.Pemeriksaan ini ditujukan untuk mengetahui ada tidaknya kekurangan zat besi
dalam tubuh yang mengarah ke risiko menderita anemia.

Page 33
17. Pemeriksaan Alkohol dalam Plasma
Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya intoksikasi alkohol (keracunan alkohol) dan
dilakukan untuk kepentingan medis dan hukum. Peningkatan alkohol darah melebihi 100
mg/dl tergolong dalam intoksikasi alkohol sedang berat dan dapat terjadi pada peminum
alkohol kronis, sirosis hati, malnutrisi, kekurangan asam folat, pankreatitis akut (radang
pankreas), gastritis (radang lambung), dan hipo-glikemia (rendahnya kadar gula dalam
darah).

18. Pemeriksaan Toleransi Laktosa


Laktosa adalah gula sakarida yang banyak ditemukan dalam produk susu dan olahannya.
Laktosa oleh enzim usus akan diubah menjadi glukosa dan galaktosa. Penumpukan laktosa
dalam usus dapat terjadi karena kekurangan enzim laktase, sehingga menimbulkan diare,
kejang abdomen (kejang perut), dan flatus terus-menerus, hal ini disebut intoleransi
laktosa.dalam jumlah besar kemudian diperiksa kadar gula darah.Apabila nilai glukosa darah
sewaktu >20 mg/dl dari nilai gula darah puasa berarti laktosa diubah menjadi glukosa atau
toleransi laktosa, dan apabila glukosa sewaktu <20 berarti ini disebut sebagai intoleransi
laktosa.
Nilai normal :
dalam plasma < 0,5 mg/dl
dalam urin 12-40 mg/dl

19. LDH (Laktat Dehidrogenase)


Laktat dehidrogenase merupakan salah satu enzim yang melepas hidrogen, dan tersebar
luas pada jaringan terutama ginjal, rangka, hati, dan otot jantung.Peningkatan LDH
menandakan adanya kerusakan jaringan. LDH akan meningkat sampai puncaknya 24-48 jam
setelah infark miokard (serangan jantung) dan tetap normal 1-3 minggu kemudian. Nilai
normal: 80 – 240 U/L.

20. SGOT (Serum Glutamik OksoloasetiknTransaminase)


SGOT merupakan enzim transaminase, yang berada pada serum dan jaringan terutama
hati dan jantung.Pelepasan SGOT yang tinggi dalam serum menunjukkan adanya kerusakan
pada jaringan jantung dan hati.

Page 34
Nilai normal :
Pria s.d.37 U/L
Wanita s.d. 31 U/L

Peningkatan SGOT >5x normal menunjukkan adanya kerusakan sei-sel hati, infark
miokard (serangan jantung), pankreatitis akut (radang pankreas), dan lain-lain.

21. SGPT (Serum Glutamik Pyruvik Transaminase)


SGPT merupakan enzim transaminase yang dalam keadaan normal berada dalam jaringan
tubuh terutama hati.Peningkatan dalam serum darah menunjukkan adanya trauma atau
kerusakan hati.
Nilai normal :
Pria sampai dengan 42 U/L
Wanita sampai dengan 32 U/L

Peningkatan >20x normal terjadi pada hepatitis virus, hepatitis toksis.Peningkatan 3 – 10x
normal terjadi pada infeksi mond nuklear, hepatitis kronik aktif, infark miokard (serangan
jantung). Peningkatan 1 – 3X normal terjadi pada pankreatitis, sirosis empedu.

22. Asam Urat


Asam urat merupakan produk akhir metabolisme purin (bagian penting dari asam nukleat
pada DNA dan RNA).Purin terdapat dalam makanan antara lain: daging, jeroan, kacang-
kacangan, ragi, melinjo dan hasil olahannya. Pergantian purin dalam tubuh berlangsung terus-
menerus dan menghasilkan banyak asam urat walaupun tidak ada input makanan yang
mengandung asam urat.Asam urat sebagian besar diproduksi di hati dan diangkut ke ginjal.
Asupan purin normal melalui makanan akan menghasilkan 0,5 -1 gr/hari. Peningkatan asam
urat dalam serum dan urin bergantung pada fungsi ginjal, metabolisme purin, serta asupan
dari makanan. Asam urat dalam urin akan membentuk kristal/batu dalam saluran kencing.
Beberapa individu dengan kadar asam urat >8mg/dl sudah ada keluhan dan memerlukan
pengobatan.
Nilai normal :
Pria 3,4 – 8,5 mg/dl (darah)
Wanita 2,8 – 7,3 mg/dl (darah)
Anak 2,5 – 5,5 mg/dl (darah)
Lansia 3,5 – 8,5 mg/dl (darah)
Dewasa 250 – 750 mg/24 jam (urin)

Page 35
Peningkatan kadar asam urat terjadi pada alkoholik, leukemia, penyebaran kanker,
diabetes mellitus berat, gagal ginjal, gagal jantung kongestif, keracunan timah hitam,
malnutrisi, latihan yang berat. Selain itu juga dapat disebabkan oleh obat-obatan misalnya
asetaminofen, vitamin C,aspirin jangka panjang,diuretik.Penurunan asam urat terjadi pada
anemia kekurangan asam folat, luka bakar, kehamilan, dan lain-lain.Obat-obat yang dapat
menurunkan asam urat adalah allopurinol, probenesid, dan lain-lain.

23. Kreatinin
Kreatinin merupakan produk akhir metabolisme kreatin otot dan kreatin fosfat (protein)
diproduksi dalam hati.Ditemukan dalam otot rangka dan darah, dibuang melalui
urin.Peningkatan dalam serum tidak dipengaruhi oleh asupan makanan dan cairan.
Nilai normal dalam darah :
Pria 0,6 – 1,3 mg/dl
Wanita 0,5 – 0,9 mg/dl
Anak 0,4 -1,2 mg/dl
Bayi 0,7 -1,7 mg/dl
Bayi baru lahir 0,8 -1,4 mg/dl

Peningkatan kreatinin dalam darah menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal dan
penyusutan massa otot rangka. Hal ini dapat terjadi pada penderita gagal ginjal, kanker,
konsumsi daging sapi tinggi, serangan jantung. Obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar
kreatinin nyaitu vitamin C, antibiotik golongan sefalosporin,aminoglikosid, dan lain-lain.

24. BUN (Blood Urea Nitrogen)


BUN adalah produk akhir dari metabolisme protein yang dibuat oleh hati.Pada orang
normal, ureum dikeluarkan melalui urin.

Nilai normal :
Dewasa 5-25 mg/dl
Anak 5-20 mg/dl
Bayi 5-15 mg/dl
Rasio nitrogen urea dan kreatinin 12 :1 – 20 :1

Page 36
25. Pemeriksaan Trigliserida
Trigliserida merupakan senyawa asam lemak yang diproduksi dari karbohidrat dan
disimpan dalam bentuk lemak hewani.Trigliserida ini merupakan penyebab utama penyakit
penyumbatan arteri dibanding kolesterol.
Nilai normal :
Bayi 5-40 mg/dl
Anak 10-135 mg/dl
Dewasa muda s/d l50 mg/dl
Tua (>50 tahun) s/d 190 mg/dl

Penurunan kadartrigliserid serum dapatterjadi karena malnutrisi protein, kongenital


(kelainan sejak lahir). Obat-obatan yang dapat menurunkan trigliserida yaitu asam askorbat
(vitamin C), metformin (obata anti diabetik oral).Peningkatan kadar trigliserida terjadi pada
hipertensi (penyakit darah tinggi), sumbatan pembuluh darah otak,diabetes mellitus tak
terkontrol, diet tinggi karbohidrat, kehamilan. Dari golongan obat, yang dapat meningkatkan
trigliserida yakni pil KB terutama estrogen.

26. HDL
Kolestrol HDL disebut lemak yang baik karena bisa membersihkan dan mengangkut
timbunan lemak dari dinding pembuluh darah ke hati.Kolestrol HDL yang ideal harus lebih
tinggi dari 40 mg/dl untuk laki-laki, atau di atas 50 mg/dl untuk perempuan.Penyebab
kolestrol HDL yang rendah adalah kurang gerak badan, terlalu gemuk, serta kebiasaan
merokok.

27. LDL
LDL adalah pengangkut kolesterol dari liver ke sel-sel. Bila terlalu banyak LDL,
kolesterol akan menumpuk di dinding-dinding arteri dan menyebabkan sumbatan arteri
(aterosklerosis).
Kurang dari 100 Optimal
100-129 Mendekati optimal
130-159 Batas normal tertinggi
160-189 Tinggi
Lebih dari 190 Sangat tinggi

Page 37
28. Cholesterol total
Orang yang memiliki kadar kolesterol total 240 mg/dL atau lebih berisiko terkena
penyakit jantung koroner dua kali lipat mereka yang memiliki kadar kolesterol normal.

F. HIPERTENSI PADA LANSIA DAN MANIFESTASI


Dari banyak penelitian epidemiologi didapatkan bahwa dengan meningkatnya umur
hipertensi menjadi masalah pada lansia karena sering ditemukan pada lansia.Pada lansia
hipertensi menjadi faktor utama penyakit jantung dan penyakit jantung koroner. Lebih dari
separuh kematian di atas usia 60 tahun disebabkan oleh penyakit jantung dan
serebrovaskular. Secara nyata kematian akibat stroke dan morbiditas penyakitkardiovaskuler
menurun dengan pengobatan hipertensi.

Konsep dasar Hipertensi


Definisi Hipertensi
Menurut WHO, penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan sistolik lebih besar
atau sama dengan 160 mmHg dan atau tekanan diastolic sama atau lebih besar 95 mmHg
(Kodim Nasrin, 2003). Hipertensi adalah tekanan darah tinggi atau istilah kedokteran
menjelaskan hipertensi adalah suatu keadaan dimana terjadi gangguan pada mekanisme
pengaturan tekanan darah (Mansjoer,2000).

Etiologi
Hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar yaitu
(Lany Gunawan, 2001):
a. Hipertensi essensial ( hipertensi primer ) yaitu hipertensi yang tidak diketahui
penyebabnya,
b. Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang di sebabkan oleh penyakit lain.
Hipertensi primer terdapat pada lebih dari 90 % penderita hipertensi, sedangkan 10 %
sisanya disebabkan oleh hipertensi sekunder. Meskipun hipertensi primer belum diketahui
dengan pasti penyebabnya, data-data penelitian telah menemukan beberapa faktor yang
sering menyebabkan terjadinya hipertensi.Pada umunya hipertensi tidak mempunyai

Page 38
penyebab yang spesifik.Hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan cardiac output atau
peningkatan tekanan perifer.Namun ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
hipertensi:
a. Genetik: Respon nerologi terhadap stress atau kelainan eksresi atautransport Na.
b. Obesitas: terkait dengan level insulin yang tinggi yang mengakibatkantekanan darah
meningkat.
c. Stress Lingkungan.
d. Hilangnya Elastisitas jaringan and arterisklerosis pada orang tua sertapelabaran
pembuluh darah.

Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan – perubahan
pada:
a. Elastisitas dinding aorta menurun
b. Katub jantung menebal dan menjadi kaku
c. Kemampuan jantung memompa darah menurun. 1% setiap tahun sesudah berumur 20
tahun kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan menurunnya
kontraksi dan volumenya.
d. Kehilangan elastisitas pembuluh darah. Hal ini terjadi karena kurangnya efektifitas
pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
e. Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer. Meskipun hipertensi primer belum
diketahui dengan pasti penyebabnya, data-data penelitian telah menemukan beberapa
faktor yang sering menyebabkan terjadinya hipertensi.

Faktor tersebut adalah sebagai berikut:


a. Faktor keturunan. Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki
kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah
penderita hipertensi. Ciri perseorangan. Ciri perseorangan yang mempengaruhi
timbulnya hipertensi adalah: Umur (jika umur bertambah maka TD meningkat), Jenis
kelamin (laki-laki lebih tinggi dari perempuan), Ras (ras kulit hitam lebih banyak dari
kulit putih).
b. Kebiasaan hidup. Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi
adalah: Konsumsi garam yang tinggi (melebihi dari 30 gr), Kegemukan atau makan

Page 39
berlebihan, Stress, Merokok, Minum alkohol, Minum obat-obatan (ephedrine,
prednison, epineprin)

Sedangkan penyebab hipertensi sekunder adalah:


a. Ginjal: Glomerulonefritis, Pielonefritis, Nekrosis tubular akut, Tumor
b. Vascular: Aterosklerosis, Hiperplasia, Trombosis, Aneurisma, Emboli kolestrol,
Vaskulitis
c. Kelainan endokrin: DM, Hipertiroidisme, Hipotiroidisme
d. Saraf: Stroke, Ensepalitis, SGB
e. Obat – obatan: Kontrasepsi oral, Kortikosteroid

Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat
vasomotor, pada medulla diotak.Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang
berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia
simpatis di toraks dan abdomen.Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk
impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik
ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan
konstriksi pembuluh darah.
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhirespon pembuluh
darah terhadap rangsang vasokonstriksi.Individu dengan hipertensi sangat sensitive terhadap
norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.Pada
saat bersamaan dimana system saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons
rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas
vasokonstriksi.Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan
vasokonstriksi.Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat
memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah.Vasokonstriksi yang mengakibatkan
penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin.Rennin merangsang pembentukan
angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang
pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal.Hormon ini
menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume
intra vaskuler.Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi untuk
pertimbangan gerontology.

Page 40
Perubahan structural dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab
pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi
aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos
pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang
pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam
mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup),
mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer (Brunner &
Suddarth, 2002).

Manifestasi Klinis
Menurut Edward K Chung (1995), tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi:
a. Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan peningkatan tekanan
darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti
hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.
b. Gejala yang lazim Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi
meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan gejala
terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis.

Menurut Rokhaeni (2001), manifestasi klinis beberapa pasien yang menderita hipertensi
yaitu:
a. Mengeluh sakit kepala, pusing
b. Lemas, kelelahan
c. Sesak nafas
d. Gelisah
e. Mual muntah
f. Epistaksis
g. Kesadaran menurun

G. DM PADA LANSIA DAN MANIFESTASI


Diabetes melitus merupakan kelainan metabolisme yang kronis terjadi defisiensi insulin
atau retensi insulin, di tandai dengan tingginya keadaan glukosa darah (hiperglikemia) dan
glukosa dalam urine (glukosuria) atau merupakan sindroma klinis yang ditandai dengan
hiperglikemia kronik dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein sehubungan

Page 41
dengan kurangnya sekresi insulin secara absolut / relatif dan atau adanya gangguan fungsi
insulin.
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Sjaifoellah,1996). Diabetes mellitus
merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam
darah atau hiperglikemia (Respati,2006). Diabetes mellitus merupakan penyakit sistemis,
kronis, dan multifaktorial yang dicirikan dengan hiperglikemia dan hipoglikemia.

Klasifikasi
Diabetes Melitus Tipe I
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut baik melalui
proses imunologik maupun idiopatik. Karakteristik Diabetes Melitus tipe I:
 Mudah terjadi ketoasidosis
 Pengobatan harus dengan insulin
 Onset akut
 Biasanya kurus
 Biasanya terjadi pada umur yang masih muda
 Berhubungan dengan HLA-DR3 dan DR4
 Didapatkan antibodi sel islet
 10%nya ada riwayat diabetes pada keluarga

Diabetes Melitus Tipe II


Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif
sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin. Karakteristik
DM tipe II:
 Sukar terjadi ketoasidosis
 Pengobatan tidak harus dengan insulin
 Onset lambat
 Gemuk atau tidak gemuk
 Biasanya terjadi pada umur > 45 tahun

Page 42
 Tidak berhubungan dengan HLA
 Tidak ada antibodi sel islet
 30%nya ada riwayat diabetes pada keluarga
 ± 100% kembar identik terkena

Manifestasi Klinis
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada lansia umumnya
tidak ada.Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi,
dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia
urin.Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi
adekuat terhadap dehidrasi.Karena itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium
lanjut.Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi
degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf.
Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga
gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang
luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa
kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang
sukar sembuh dengan pengobatan lazim (Sjaifoellah,1996).Gejala-gejala akibat DM pada
usia lanjut yang sering ditemukan adalah:
a. Katarak                                   
b. Glaukoma
c. Retinopati
d. Gatal seluruh badan
e. Pruritus Vulvae
f. Infeksi bakteri kulit
g. Infeksi jamur di kulit
h. Dermatopati
i. Neuropati perifer
j. Neuropati visceral
k. Amiotropi
l. Ulkus Neurotropik
m. Penyakit ginjal
n. Penyakit pembuluh darah perifer

Page 43
o. Penyakit coroner
p. Penyakit pembuluh darah otak
q. Hipertensi

Manifestasi Pada Mulut


1. Xerostomia (Mulut Kering)
Diabetes yang tidak terkontrol menyebabkan penurunan aliran saliva (air liur),
sehingga mulut terasa kering.Saliva memiliki efek self-cleansing, di mana alirannya dapat
berfungsi sebagai pembilas sisa-sisa makanan dan kotoran dari dalam mulut. Jadi bila aliran
saliva menurun maka akan menyebabkan timbulnya rasa tak nyaman, lebih rentan untuk
terjadinya ulserasi (luka), lubang gigi, dan bisa menjadi ladang subur bagi bakteri untuk
tumbuh dan berkembang. Berdasarkan literatur yang saya dapatkan bahwa pada penderita
diabetes salah satu tandanya adalah Poliuria, dimana penderita banyak buang air kecil
sehingga cairan di dalam tubuh berkurang yang dapat mengakibatkan jumlah saliva
berkurang dan mulut terasa kering, sehingga disarankan pada penderita untuk mengkonsumsi
buah yang asam sehingga dapat merangsang kelenjar air liur untuk mengeluarkan air liur
(Shrimali,2011).
2. Gingivitis dan Periodontitis
Periodontitis ialah radang pada jaringan pendukung gigi (gusi dan tulang). Selain
merusak sel darah putih, komplikasi lain dari diabetes adalah menebalnya pembuluh darah
sehingga memperlambat aliran nutrisi dan produk sisa dari tubuh. Lambatnya aliran darah ini
menurunkan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi, Sedangkan periodontitis adalah
penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri.Dan hal ini menjadi lebih berat dikarenakan
infeksi bakteri pada penderita Diabetes lebih berat. (Shrimali,2011)
Ada banyak faktor yang menjadi pencetus atau yang memperberat periodontitis, di
antaranya akumulasi plak, kalkulus (karang gigi), dan faktor sistemik atau kondisi tubuh
secara umum. Rusaknya jaringan Periodontal membuat gusi tidak lagi melekat ke gigi, tulang
menjadi rusak, dan lama kelamaan gigi menjadi goyang. Angka kasus penyakit periodontal di
masyarakat cukup tinggi meski banyak yang tidak menyadarinya, dan penyakit ini merupakan
penyebab utama hilangnya gigi pada orang dewasa.Dari seluruh komplikasi Diabetes Melitus,
Periodontitis merupakan komplikasi nomor enam terbesar di antara berbagai macam penyakit
dan Diabetes Melitus adalah komplikasi nomor satu terbesar khusus di rongga mulut.Hampir
sekitar 80% pasien Diabetes Melitus gusinya bermasalah. Tanda-tanda periodontitis antara
lain pasien mengeluh gusinya mudah berdarah, warna gusi menjadi mengkilat, tekstur kulit

Page 44
jeruknya (stippling) hilang, kantong gusi menjadi dalam, dan ada kerusakan tulang di sekitar
gigi, pasien mengeluh giginya goyah sehingga mudah lepas. Hal tersebut diakibatkan
berkurangnya jumlah air liur, sehingga terjadi penumpukan sisa makanan yang melekat pada
permukaan gigi dan mengakibatkan gusi menjadi infeksi dan mudah berdarah.
1. Stomatitis Apthosa (Sariawan)
Meski sariawan biasa dialami oleh banyak orang, namun penyakit ini bisa menyebabkan
komplikasi parah jika dialami oleh penderita diabetes.Penderita Diabetes sangat rentan
terkena infeksi jamur dalam mulut dan lidah yang kemudian menimbulkan penyakit sejenis
sariawan. Sariawan ini disebabkan oleh jamur yang berkembang seiring naiknya tingkat gula
dalam darah dan air liur penderita diabetes (Albrecht,1992).

2. Rasa mulut terbakar


Penderita diabetes biasanya mengeluh tentang terasa terbakar atau mati rasa
padamulutnya.Biasanya, penderita diabetes juga dapat mengalami mati rasa pada bagian
wajah.
3. Oral thrush
Penderita diabetes yang sering mengkonsumsi antibiotik untuk memerangi infeksi sangat
rentan mengalami infeksi jamur pada mulut dan lidah. Apalagi penderita diabetes yang
merokok, risiko terjadinya infeksi jamur jauh lebih besar (Peters,1996).
Oral thrush atau oral candida adalah infeksi di dalam mulut yang disebabkan oleh jamur,
sejumlah kecil jamur candida ada di dalam mulut.Pada penderita Diabetes Melites kronis
dimana tubuh rentan terhadap infeksi sehingga sering menggunakan antibiotik dapat
mengganggu keseimbangan kuman di dalam mulut yang mengakibatkan jamur candida
berkembang tidak terkontrol sehingga menyebabkant thrush. Dari hasil pengamatan saya
selama berpraktik sebagai dokter gigi yang ditandai dengan adanya lapisan putih kekuningan
pada lidah, tonsil maupun kerongkongan(Peters,1996).
4. Dental Caries (Karies Gigi)
Diabetes Mellitus bisa merupakan faktor predisposisi bagi kenaikan terjadinya dan
jumlah dari karies. Keadaan tersebut diperkirakan karena pada diabetes aliran cairan darah
mengandung banyak glukosa yang berperan sebagai substrat kariogenik (Respati,2006).
Karies gigi dapat terjadi karena interaksi dari 4 faktor yaitu gigi, substrat , kuman dan
waktu. Pada penderita Diabetes Melitus telah diketahui bahwa jumlah air liur berkurang
sehingga makanan melekat pada permukaan gigi, dan bila yang melekat adalah makanan dari
golongan karbohidrat bercampur dengan kuman yang ada pada permukaan gigi dan tidak

Page 45
langsung dibersihkan dapat mengakibatkan keasaman didalam mulut menurun, sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya lubang atau caries gigi (Respati,2006).

Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin
dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati.
Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal.
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes menurut Sjaifoellah (1996):
1. Diet
Suatu perencanaan makanan yang terdiri dari 10% lemak, 15% Protein, 75%
Karbohidrat kompleks direkomendasikan untuk mencegah diabetes.Kandungan
rendah lemak dalam diet ini tidak hanya mencegah arterosklerosis, tetapi juga
meningkatkan aktivitas reseptor insulin.
2. Latihan
Latihan juga diperlukan untuk membantu mencegah diabetes.Pemeriksaan
sebelum latihan sebaiknya dilakukan untuk memastikan bahwa klien lansia secara
fisik mampu mengikuti program latihan kebugaran. Pengkajian pada tingkat aktivitas
klien yang terbaru dan pilihan gaya hidup dapat membantu menentukan jenis latihan
yang mungkin paling berhasil. Berjalan atau berenang, dua aktivitas dengan dampak
rendah, merupakan permulaan yang sangat baik untuk para pemula. Untuk lansia
dengan NIDDM, olahraga dapat secara langsung meningkatkan fungsi fisiologis
dengan mengurangi kadar glukosa darah, meningkatkan stamina dan kesejahteraan
emosional, dan meningkatkan sirkulasi, serta membantu menurunkan berat badan.
3. Pemantauan
Pada pasien dengan diabetes, kadar glukosa darah harus selalu diperiksa
secara rutin. Selain itu, perubahan berat badan lansia juga harus dipantau untuk
mengetahui terjadinya obesitas yang dapat meningkatkan resiko DM pada lansia.
4. Terapi (jika diperlukan)
Sulfoniluria adalah kelompok obat yang paling sering diresepkan dan efektif
hanya untuk penanganan NIDDM. Pemberian insulin juga dapat dilakukan untuk
mepertahankan kadar glukosa darah dalam parameter yang  telah ditentukan untuk
membatasi komplikasi penyakit yang membahayakan.
5. Pendidikan
 Diet yang harus dikomsumsi
Page 46
 Latihan
 Penggunaan insulin

H. PENYAKIT GINJAL PADA LANSIA DAN MANIFESTASI


Ginjal adalah organ berbentuk seperti kacang yang terletak tepat di bawah diafragma,
posterior ke organ perut lainnya. Ginjal berfungsi sebagai filter tubuh kita dan menyaring
limbah, metabolit toksik dan mineral berlebih dari darah, melalui urin. Gagal ginjal ditandai
dengan hilangnya fungsi penting, dan hasil akumulasi metabolit dalam darah. Akibatnya,
keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh akan terganggu, sehingga menciptakan
masalah kesehatan yang sangat parah.
Gagal ginjal dapat timbul karena trauma, gangguan autoimun, infeksi ginjal,
penyumbatan saluran kemih, dan penyakit ginjal lainnya.Gagal ginjal dikategorikan menjadi
akut atau kronis, tergantung pada laju perkembangan.Kehilangan fungsi ginjal dengan tiba-
tiba disebut gagal ginjal akut, sedangkan hilangnya fungsi ginjal secara bertahap disebut
gagal ginjal kronis. Gejala-gejala yang terjadi pada gagal ginjal akut dan kronis meliputi:
 Edema
Menurunnya fungsi ekskretoris menyebabkan retensi air dalam jaringan
tubuh, sehingga menimbulkan edema.Wajah, tangan, dan kaki membengkak
karena penumpukan cairan tersebut.
 Muntah dan diare
Akumulasi jumlah berlebihan limbah dalam darah, menyebabkan mual,
muntah, dan diare.Pada individu dengan gagal ginjal kronis, muntah umumnya
terjadi pada pagi hari, sedangkan mereka dengan gagal ginjal akut sering muntah
dalam jangka waktu 2-3 hari.
 Dehidrasi
Hilangnya cairan yang berlebihan melalui muntah dan diare, menyebabkan
dehidrasi dan haus berlebihan.
 Sesak napas
Ketidakmampuan untuk menyingkirkan kelebihan cairan dapat
menyebabkan akumulasi cairan di paru-paru, sehingga menyebabkan sesak napas.
 Tinja berdarah
Dalam kasus yang parah, gagal ginjal dapat menyebabkan perdarahan
lambung atau usus.Hal ini ditunjukkan dengan adanya darah dalam tinja.

Page 47
 Gejala neurologis dan neuromuskuler
Gagal ginjal menyebabkan peningkatan kadar fosfat darah yang
mempengaruhi fungsi saraf perifer serta fungsi neuromuskuler.
 Urin
Tergantung pada penyebab pasti dan fisiologis kelainan, baik penurunan
atau peningkatan output urin dan frekuensi yang terjadi.
Lanjut usia merupakan salah satu faktor resiko untuk disfungsi ginjal, karena
berkaitan dengan perubahan anatomi dan fungsional dalam ginjal. Dengan meningkatnya
usia, jumlah nefron pada ginjal menurun dan menyebabkan fungsi ginjal menurun. Namun,
alasan yang paling umum untuk gagal ginjal pada orang tua adalah penyempitan arteri ginjal
akibat penumpukan lemak pada lapisan dalam arteri. Gejala gagal ginjal sering disertai
dengan masalah yang berkaitan dengan kekebalan tubuh, meliputi:
a. Disfungsi sistem imun
b. Pikun
c. Delirium

Manifestasi gagal ginjal pada rongga mulut


Uremik Stomatitis
Stomatitis Uremia cukup jarang, hanya sering ditemui pada gagal ginjal kronik yang
tidak terdiagnosis atau tidak terobati. Kerak atau plak yang nyeri sebagian besar terdistribusi
di mukosa bukal, dasar atau dorsal lidah, dan pada dasar rongga mulut. Angka insidensinya
telah menurun seiring dengan tersedianya peralatan dialysis di banyak rumah sakit.
Mekanisme yang diterima yang melatarbelakangi timbulnya uremik stomatitis yaitu luka
pada mukosa dan iritasi kimia akibat senyawa amonia yang terbentuk dari hidrolisis urea oleh
urease saliva. Hal ini terjadi bila konsentrasi urea intraoral melebihi 30 mmol/L. Diatesis
hemoragik yang berasal dari inhibisi agregasi platelet dapat juga berperan dalam terjadinya
hemoragik lokal, yang menyebabkan turunnya viabilitas dan vitalitas jaringan yang terkena,
yang akhirnya menyebabkan infeksi bakteri.
Terdapat 2 jenis uremik stomatitis, pada tipe I, terdapat eritema lokal atau general di
mukosa mulut, dan eksudat pseudomembran tebal abu-abu yang tidak berdarah/ulserasi bila
diambil. Gejala lain dapat berupa nyeri, rasa terbakar, xerostomia, halitosis, perdarahan
gingiva, dysgeusia, atau infeksi candida. Pada tipe II, dapat terjadi ulserasi bila
pseudomembran tersebut diambil. Tipe ini dapat mengindikasikan bentuk stomatitis yang

Page 48
lebih parah, infeksi sekunder, anemia atau gangguan hematologik sistemik yang mendasari
ayn disebabkan oleh gagal ginjal. Secara histologik, kedua tipe uremik stomatitis tersebut
menunjukkan proses inflamtorik yang berat, dengan infiltrasi berat lekosit pmn dan nekrosis
mukosa mulut. Kolonisasi bakteri yan sering ditemukan adalah Fusobacterium, spirochaeta,
atau candida.

I. PNEUMONIA DAN MANIFESTASI DALAM RONGGA MULUT


Penyakit pneumonia dikaitkan dengan kesehatan mulut pasien yang
buruk.Kemungkinan biofilm oral berfungsi sebagai reservoir infeksi untuk bakteri
respiratori.Bakteri di oral dapat dilepaskan ke dalam saliva dan kemudian dihisap masuk ke
dalam saluran napas bagan bawah sehingga menimbulkan infeksi.Caralain melalui intubasi.
Menurut Kolltveit dkk.,(2000), mikroorganisme dapat menginfeksi saluran respirasi bawah
dengan empat rute yang mungkin: 1. aspirasi dari orofaringeal 2. inhalasi dari infektif aerosol
3. penyebaran dari infeksi yang berdekatan 4. Penyebaran secara hematogen dari
ekstrapulmonal.
Bakteri pneumonia sering diakibatkan oleh akibat aspirasi dari orofaringeal, kegagalan
dari host defence mechanisms dan terjadi multiplikasi dari mikroorganisme, patogen yang
sering yaitu yang berasal dari permukaan rongga mulut dan mukosa faring, patogen biasanya
flora normal yang timbul lebih banyak akibat penggunaan antibiotik. Patogen respirasi yang
potensial (PRPs) misalnya Streptococcus pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, dan
Haemophilusinfluenzae yang dapat berkolonisasi di orofaring dan teraspirasi ke saluran
bawah pernafasan, bakteri lainnya A. actinomycetemcomitans dan anaerob
misalnyaP. gingivalis dan Fusobacterium species juga dapat mengakibatkan pneumonia
(Kolltveit dkk., 2000).Bakteri periodontopatik juga dapat menstimulasi periodontium untuk
melepaskan sitokin proinflamatori, ketika diaspirasi atau ditelan, perubahan permukaan
mukosa yang mendukung adhesi bakteri patogenik dapat menyebabkan pneumonia.

J. KARIES SERVICAL
Pengertian Karies
Karies adalah kerusakan setempat yang progresif dari struktur jaringan karies gigi dan
merupakan penyebab paling umum dari penyakit pulpa.Kini telah disepakati bahwa karies
hanya terjadi jik ada bakteri tertentu di permukaan gigi.Produk metabolism bakteri ini.Yakni
asam organik dan enzim proteolitik, menyebabkan rusaknya email dan dentin.Metabolit
bakteri yang berdifusi dari lesi ke pulpa mampu menimbulkan respon imun dan reaksi

Page 49
inflamasi. Pada akhirnya terlibatnya dentin yang sangat luas akan menyebabkan infeksi
bakteri pada pulpa, terutama setelah karies tersebut memajankan pulpa (Walton, 2008).

Karies Servical
Karies servikal adalah kavitas berbentuk bulan sabit, bermula sebagai area putih agak
kasar yang kemudian berlubang. Karies ini hamper selalu berupa lubang terbuka.

Tampilan Klinis Karies Servikal


Adanya resesi margin gingival, oral hygiene yang buruk dan kehilangan perlekatan
jaringan periodontal akibat umur dapat menjadi factor penyebab dari karies servikal. Pada
populasi usia lanjut keadaan ini merupaan karakteristik yang banyak ditemukan. Penelitian
akhir-akhir ini menyebutkan karies servikal terjadi akibat buruknya managemen plak (plak
kontrol).
Saat margin gingival turun/resesi maka enamel-cementum junction akan terekspos.
Area ini merupakan daerah gigi yang paling irregular dan merupakan area yang baik untuk
retensi bakteri.Secara umum karies servikal banyak terbentuk pada area ini.
Lesi karies servikal ini juga terjadi akibat dari poket periodontal yang dalam, adanya
inflamasi gingival dan pembengakan pada margin gingival dapat secara bertahap
menyebabkan pengaruh lesi “hidden in the pocket”.

(Fejerskov, 2008)

K. DISKOLORISASI GIGI PADA LANSIA


Populasi geriatri merupakan populasi yang bertambah paling cepat relatif terhadap
populasi total yang membawa dampak besar dalam kesehatan sistemik dan rongga mulut

Page 50
(Ship, 2003).Perubahan pada gigi geligi pada proses penuaan berkaitan dengan proses
fisiologis normal, dan proses patologis akibata tekanan fungsional dan lingkungan. Gigi
geligi mengalami diskolorisasi menjadi lebih gelap dan kehilangan email akibat atrisi, abrasi
dan erosi. Secara umum ruang pulpa menyempit dan sensitivitas berkurang karena adanya
deposisi dentin sekunder.Resesi gingiva, hilangnya perlekatan periodontal dan tulang alveolar
merupakan perubahan jaringan periodontal yang umum ditemukan pada lansia.Degenerasi
tulang elveolar menyebabkan gigi geligi tampak lebih panjang daripada sebelumnya.Resesi
gingiva yang terjadi secara signifikan tidak diikuti oleh peningkatan kedalaman poket
periodontal.Massa tulang, baik pada tulang alveolar dan sendi rahang menurun pada lansia
akibat menurunnya asupan kalsium dan hilangnya mineral tulang.Perubahan terkait penuaan
tersebut tidak sampai terlepasnya gigi pada lansia dengan kesehatan mulut baik (Ship, 2003).
Gigi dapat mengalami perubahan warna menjadi abu-abu, kuning atau cokelat
kehitaman dikarenakan banyak faktor, baik faktor dari luar tubuh (ekstrinsik) maupun dari
dalam tubuh (intrinsik).Penyebab umum diskolorasi ekstrinsik ini adalah kopi, teh, pewarna
makanan buatan, anggur, berri, mengunyah tembakau, ataupun rokok yang meninggalkan tar
berwarna kecokelatan pada gigi yang terjadi secara perlahan dalam jangka waktu yang
panjang.Sedangkan diskolorasi intrinsik, terjadi pada saat pembentukan struktur gigi.Contoh
ekstrem adalah pemakai obat antibiotik tetrasiklin yang dikonsumsi semasa pertumbuhan gigi
pada anak-anak berumur di bawah delapan tahun atau semasa dalam kandungan ibunya. Bila
terkena obat ini selama proses pembentukan struktur gigi, maka akan menyebabkan gigi
berubah warna menjadi cokelat sampai abu-abu pada seluruh struktur gigi. Tergantung
seberapa parah efek yang terjadi akibat dari tetrasiklin tersebut.
Diskolorasi gigi dapat pula disebabkan intake fluoride yang melebihi batas aman, kadar
fluoride yang diperbolehkan adalah 800-1.000 ppm. Gigi nonvital atau gigi mati akibat
trauma, misalnya pernah jatuh atau terkena benda keras dapat menyebabkan gigi menjadi
kehitaman.Hal ini disebabkan darah yang keluar dari pembuluh darah pulpa teroksidasi,
kemudian masuk ke saluran-saluran sangat kecil pada gigi yang disebut tubuli dentalis dan
akhirnya terjadi perubahan warna pada gigi.

L. JENIS-JENIS BENJOLAN DI GUSI


Benjolan yang terjadi pada gingiva biasanya terjadi karena beberapa hal, berikut ini
adalah beberapa jenis benjolan yang sering terjadi di gingiva:
1. Perikoronitis

Page 51
Merupakan benjolan yang mucul di bagianmahkota gigi yang erupsi atau suatu
impaksi. Hal ini umumnya terjadi karena berkaitan dengan gigi molar # yang sedang
erupsi
2. Granuloma sel raksasa perifer
Benjolan ini berkaitan dengan iritasi atau trauma yang diawali dengan
pembengkakan yang keras serta mempunyai permukaan yang licin dan berwarna
merah muda sampai ungu tua.Ukuran benjkol ini sekitar 1mm – 1cm dan mucul pada
rahang gingiva, di bagian anterior gigi molar. Benjolan ini biasanya mucul pada
wanita usia 10-40 tahun.
3. Granuloma Piogenik
Benjolan ini berkembang pada orang yang memiliki oral hygiene buruk dan
biasanya benjolan ini muncul tanpa disertai gejala. Benjolan ini akan mengeluarkan
darah yang cukup banyak apabila tersentuh sedikit saja. Benjolan ini sangat erat
kaitannya dengan hormone pada wanita.
4. Fistula
Inflamasi yang timbul pada gingiva yang biasanya terjadi karena infeksi dari
gigi yang karies. Ukuran benjolan ini biasnaya berukuran cm dan terkadang bisa
mengeluarkan nanah dan darah.
5. Abses
Abses merupakan suatu penyakit infeksi yang ditandai oleh adanya lobang
yang berisi nanah (pus) dalam jaringan yang sakit. Dental abses artinya abses yang
terbentuk didalam jaringan periapikal atau periodontal karena infeksi gigi atau
perluasan dari ganggren pulpa. Abses yang terbentuk merusak jaringan periapikal,
tulang alveolus, tulang rahang terus menembus kulit pipi dan membentuk fistel
Abses gingival merupakan suatu nanah yang terjadi pada gusi (gingiva).
Terjadi karena faktor iritasi, seperti plak, kalkulus, invasi bakteri, impaksi makanan
atau trauma jaringan. Terkadang pula akibat gigi yang akan tumbuh.

PATOFISIOLOGI
Abses gingiva sebenarnya adalah komplikasi daripada karies gigi. Bisa juga
disebabkan oleh trauma gigi (misalnya apabila gigi patah atau hancur).
Email yang terbuka menyebabkan masuknya bakteri yang akan menginfeksi
bagian tengah (pulpa) gigi. Infeksi ini menjalar hingga ke akar gigi dan tulang yang
menyokong gigi.

Page 52
Infeksi menyebabkan terjadinya pengumpulan nanah (terdiri dari jaringan
tubuh yang mati, bakteri yang telah mati atau masih hidup dan sel darah putih) dan
pembengkakan jaringan dalam gigi. Ini menyebabkan sakit gigi. Jika struktur akar
gigi mati, sakit gigi mungkin hilang, tetapi infeksi ini akan meluas terus menerus
sehingga menjalar ke jaringan yang lain.

ETIOLOGI
Abses gingiva terjadi ketika terinfeksi bakteri dan menyebar ke rongga mulut
atau dalam gigi, Penyebabnya adalah bakteri yang merupakan flora normal dalam
mulut. Yaitu bakteri coccus aerob gram positif, dan coccus anaerob gram seperti
fusobacteria, Streptococcus sp dan bakteri lainnya. Bakteri terdapat dalam plak yang
berisi sisa makanan dan kombinasi dengan air liur. Bakteri-gakteri tersebut dapat
menyebabkan karies dentis, gingivitis, dan periodontitis. Jika mencapai jaringan yang
lebih dalam melalui nekrosis pulpa dan pocket periodontal dalam, maka akan terjadi
infeksi odontogen.
Abses gingiva ini terjadi akibat adanya faktor iritasi seperti plak, kalkulus,
karies dentis, invasi bakteri (Staphylococcus aureus, Streptococcus, Haemophilis
influenzae), inpaksi makanan atau trauma jaringan. Keadaan ini dapat menyebabkan
kerusakan tulang alveolar sehingga terjadi gigi goyang.

Gingival abses selalu terjadi akibat hasil dari :


 Penanganan gigi yang yang menciptakan periodontal pocket secara kebetulan,
 Penggunaan antibiotik yang  tidak diperlakukan untuk periodontitis, yang dapat
menyembunyikan suatu abses, dan
 Kerusakan pada gusi, walaupun tidak terdapat periodontitis.

MANIFESTASI KLINIK
Gejala utama abses gingiva adalah nyeri pada gigi yang terinfeksi, yang dapat
berdenyut dan keras. Pada umumnya nyeri dengan tiba-tiba, dan secara berangsur-
angsur bertambah buruk dalam beberapa jam dan beberapa hari. Dapat juga
ditemukan nyeri menjalar sampai ketelinga, turun ke rahang dan leher pada sisi gigi
yang sakit.

Page 53
Gejala-gejala umum dari abses gingiva adalah :
 Gigi terasa sensitif kepada air sejuk atau panas.
 Rasa pahit di dalam mulut.
 Nafas berbau busuk.
 Kelenjar leher bengkak.
 Bagian rahang bengkak.
 Suhu badan meningkat tinggi dan kadang-kadang menggigil
 Denyut nadi cepat atau takikardi
 Nafsu makan menurun sehingga tubuh menjadi lemas (malaise)
 Bila otot-otot perkunyahan terkena maka akan terjadi trismus
 Sukar tidur dan tidak mampu membersihkan mulut
 Pemeriksaan laboratorium terlihat adanya leukositosis

PENATALAKSANAAN
Satu-satunya cara untuk menyembuhkan abses gingiva adalah mengikuti
perawatan gigi. Dokter gigi akan mengobati abses dengan menggunakan prosedur
perawatan abses gigi dalam beberapa kasus, pembedahan, atau kedua-duanya.
A. Farmakoterapi
1. Analgesik 
Abses gingiva sangat nyeri, tetapi dapat digunakan obat penghilang sakit
(analgesik). Perlu diketahui bahwa obat penghilang sakit tidak bisa
menyembuhkan abses gingiva. Analgesik ini biasanya digunakan untuk
penundaan perawatan abses gigi.
Ikuti petunjuk di bawah tentang cara pemakaian analgesics dengan aman :
 Jangan berikan ibuprofen pada penderita asma, atau pasien yang
mempunyai ulcer gastric.
 Ibuprofen dan paracetamol keduanya tersedia dalam bentuk sirup untuk
anak-anak.
 Aspirin tidak  cocok untuk anak-anak di bawah umur 16 tahun.
 Untuk ibu hamil dan menyusui dapat digunakan paracetamol
 Jika nyeri hebat. boleh menentukan analgesics yang lebih kuat, seperti
codeine fosfat.
2. Antibiotics 

Page 54
Antibiotik untuk abses gingiva digunakan untuk mencegah penyebaran infeksi,
dan dapat dipakai bersama analgesik (painkiller).  Antibiotik seperti
amoxicillin atau metronidazole dapat digunakan jika:
 wajah bengkak, ini menunjukkan infeksi atau peradangan menyebar ke
area sekelilingnya.
 terlihat tanda-tanda dari infeksi berat, seperti demam atau pembengkakan
kelenjar.
 Daya tahan tubuh menurun, seperti orang yang telah di khemotherapi, atau
seperti infeksi HIV positif,
 Peningkatan faktor resiko seperti diabetes millitus, dan resiko
endocarditis.

B. Dental procedures
Langkah utama yang paling penting dalam penatalaksanaan abses gingiva
adalah insisi absesnya, dan didrainase pus yang berisi bakteri. Prosedur ini pada
umumnya dilakukan apabila sudah di anaestesi lokal terlebih dahulu, sehingga area
yang sakit akan mati rasa.  Setelah mengeluarkan (pus), secara menyeluruh
membersihkan periodontal pocket dan dilanjutkan dengan scaling.

D. Surgery
Dalam beberapa kasus, infeksi abses gingiva dapat terulang bahkan setelah
prosedur pembedahan. Berikut adalah penatalaksanaan berdasarkan stadium
terjadinya abses :

Stadium periostal dan sub periostal 


Dilakukan trepanasi untuk mengeluarkan pus dan gas gangren yang terbentuk,
kemudian diberikan obat-obatan antibiotika, anti inflamasi, antipiretika, analgesika
dan roboransia. Dengan cara ini diharapkan abses tidak meluas dan  dapat sembuh

Stadium serosa 

Page 55
Dianjurkan untuk kumur-kumur air garam hangat kuku dan kompres panas, supaya
abses masuk kearah rongga mulut

Stadium submukosa dan subkutan 


Dilakukan insisi dan dimasukkan kain gaas steril atau rubber-dam sebagai drainase,
kemudian diberikan obat-obatan antibiotika, antiinflamasi, antipiretika,
analgesika dan roboransia. Pencabutan gigi yang terlibat (menjadi penyebab abses)
biasanya dilakukan sesudah pembengkakan sembuh dan keadaan umum penderita
membaik. Dalam keadaan abses yang akut tidak boleh dilakukan pencabutan gigi
karena manipulasi ekstraksi yang dilakukan dapat menyebarkan radang sehingga
mungkin terjadi osteomyelitis.

KOMPLIKASI
 Gigi tercabut.
 Infeksi kejaringan lunak (selulitis fasial, angina Ludwig).
 Infeksi kejaringan tulang (osteomielitis mandibula atau maksila).
 Infeksi ke bagian tubuh lain menyebabkan abses serebral, endokarditis,
pneumonia, dll.
 Dapat terjadi sepsis

PENCEGAHAN
Untuk mencegah terjadinya abses gingiva :
 Sikat gigi dengan cara yang benar dan gunakan pasta gigi yang nyaman untuk
kesehatan gigi dan gusi.
 Periksakan gigi rutin tiap 6 bulan sekali ke dokter gigi.
 Kurangi makanan yang manis dan kering.

Bila sudah terjadi abses gingiva, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
membatasi nyeri dan tekanan pada abses gingiva, meliputi:
 Hindari makanan dan minuman yang terlalu dingin atau terlalu panas,
 Makan makanan lunak,
 Makan dengan menggunakan sisi yang berlawanan dari abses, dan
 penggunaan sikat gigi yang lembut dan serat halus seperti sutra di sekitar gigi
yang sakit.

Page 56
 Minum obat pereda sakit bila perlu dan jangan menggigit pada gigi yang sakitt.
 Berkumur air garam hangat sehabis makan untuk membersihkan bagian
tersebut.
 Segera periksa ke dokter gigi

PROGNOSIS
Prognosis dari abses gingiva adalah baik terutama apabila diterapi dengan
segera menggunakan antibiotika yang sesuai. Apabila menjadi bentuk kronik, akan
lebih sukar diterapi dan menimbulkan komplikasi yang lebih buruk dan
kemungkinan amputasi lebih besar.

BAB III

Page 57
PETA KONSEP

Page 58
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Kasus

Seorang wanita 65 tahun mengeluhkan benjolan pada gusi depan atas yang terasa sakit
dan sering berdarah. Benjolan tersebut muncul kambuhan, dan akhir-akhir ini disertai bau
tidak sedap. Empat minggu sebelumnya telah diperiksakan ke dokter gigi dan mendapat obat
anti radang namun belum membaik. Sejak ditinggal suaminya yang meninggal empat tahun
yang lalu kesehatannya mulai menurun, sering batuk dan mengalami kaku sendi. Kurang
lebih satu tahun yang lalu dinyatakan pneumonia. Sekarang masih dalam perawatan dokter
dan minum beberapa jenis obat antara lain; bisoprolol, HCT, arthrifen, aspirin dan ranitidine.
Tanda vital menunjukkan tekanan darah 150/90 mmHg, respirasi 25x/menit, nadi 96x/menit,
suhu dalam batas normal. Hasil pemeriksaan darah dua bulan yang lalu menunjukkan hasil
yaitu Hb 10g/dl, KED 35mm/jam, Creatinin 0,25 mg/dl, HDL 40 mg/dl, LDL 210 mg/dl,
trigliserida 200mg/dl, cholesterol total 300 mg/dl, kadar gula sesaat 250 mg/dl. Pemeriksaan
Ekstra oral tidak menunjukkan kelainan nyata. Pemeriksaan Intraoral tampak sebagian besar
gigi mengalami perubahan warna, terdapat karies servikal terutama pada gigi-geligi anterior
atas dan bawah. Pasien memakai gigi tiruan posterior lepasan atas dan bawah. Higiene mulut
kurang baik, tampak gingivitis menyeluruh dan deposit kalkulus yang nyata.

B. Pemeriksaan
1. Keadaan umum
 Tek. Darah : 150/90 mmHg
 Respirasi : 25x/menit
 Nadi : 96x/menit
 Suhu : normal

2. Pemeriksaan Subyektif
 CC : Pasien mengeluhkan benjolan pada gusi depan atas yg terasa sakit
dan sering berdarah.
 PI : Benjolan muncul kambuhan dan akhir-akhir ini disertai bau tidak sedap.
 PDH : Empat minggu sebelumnya diperiksakan ke drg dan diberi obat
radang, namun belum membaik.

Page 59
 MH : Sejak ditinggal suaminya, kesehatannya mulai menurun, sering batuk,
dan mengalami kaku sendi. Setahun yang lalu dinyatakan menderita pneumonia.
Sekarang masih dalam perawatan dokter dan minum beberapa jenis obat, yaitu:
bisoprolol, HCT, arthrifen, aspirin, dan ranitidine. Dua bulan yang lalu dilakukan
pemeriksaan darah.
 SH : Ditinggal suaminya yang meninggal 4 tahun lalu.

3. Pemeriksaan Obyektif
a. Pemeriksaan Ekstra oral
 Tidak menunjukkan kelainan nyata
b. Pemeriksaan Intraoral:
 Tampak sebagian besar gigi mengalami perubahan warna,
 Terdapat karies servikal terutama pd gigi-geligi anterior atas dan bawah.
 Pasien memakai gigi tiruan post lepasan atas dan bawah.
 Higiene mulut kurang baik,
 Tampak gingivitis menyeluruh dan deposit kalkulus yang nyata.

4. Hasil pemeriksaan darah 2 bulan yang lalu


 Hb : 10 g/dL
Hb normal pada seorang wanita berkisar antara 12-16 gr/dL. Hasil
pemeriksaan menunjukkan terdapat penurunan nilai Hb pada pasien. Penurunan
Hb terjadi pada penderita anemia, penyakit ginjal, dan pemberian cairan intra-
vena (misalnya infus) yang berlebihan. Selain itu dapat pula disebabkan oleh
obat-obatan tertentu seperti antibiotika, aspirin, antineoplastik (obat kanker),
indometasin (obat antiradang).
 KED : 35 mm/jam
KED (Kecepatan Enap Darah) pada wanita > 50 tahun  adalah kurang
dari  30 mm/jam. KED untuk mengukur kecepatan endap eritrosit (sel darah
merah) dan menggambarkan komposisi plasma serta perbandingannya antara
eritrosit (sel darah merah) dan plasma. KED dapat digunakan sebagai sarana
pemantauan keberhasilan terapi, perjalanan penyakit, terutama pada penyakit
kronis seperti Arthritis Rheumatoid (rematik), dan TBC. Pada hasil pemeriksaan,
nilai KED pasien meningkat diatas normal. Peningkatan KED dapat terjadi pada

Page 60
infeksi akut lokal atau sistemik (menyeluruh), trauma, kehamilan trimester II dan
III, infeksi kronis, kanker, operasi, luka bakar.
 Kreatinin : 0,25 mg/dl
Kreatinin adalah hasil buangan dari pencernaan protein. Tingkatnya dalam
darah menunjukkan fungsi ginjal. Dokter menggunakan tingkat kreatinin sebagai
pertanda langsung mengenai baik-buruknya kerja ginjal dalam mengeluarkan
produk buangan dari tubuh. Pada awal sakit ginjal atau kalau kerusakan ginjal
belum mencapai lebih dari 75% pemeriksaan kadar kreatinin atau BUN masih
dalam batas normal.
 HDL : 40mg/dl
Kolestrol HDL yang ideal harus lebih tinggi dari 40 mg/dl untuk laki-laki,
atau di atas 50 mg/dl untuk perempuan. Pada pasien ini terdapat nilai HDL yang
lebih rendah. Penyebab kolestrol HDL yang rendah adalah kurang gerak badan,
terlalu gemuk, serta kebiasaan merokok. Secara umum, konsentrasi HDL di
bawah 40 mg/dL dianggap sebagai faktor risiko utama terkena penyakit jantung
koroner.
 LDL : 210 mg/dl
Kadar kolesterol LDL di bawah 100mg/dl dianggap ideal. Kadar LDL
100-129 mg/dL mendekati optimal. Kadar ambang batas adalah 130-159 mg/dL.
Kadar tinggi LDL adalah 160-189 mg/dL. Pasien memiliki kadar LDL lebih dari
190 mg/dL sehingga kadar kolesterolnya dianggap sangat tinggi. Bila terlalu
banyak LDL, kolesterol akan menumpuk di dinding-dinding arteri dan
menyebabkan sumbatan arteri (aterosklerosis).
 Trigliserida : 200mg/dl
The Adult Treatment Panel III of the National Cholesterol Education
Program kemudian mengusulkan 4 strata rasio plasma trigliserida dengan
konteks risiko penyakit kardiovaskular:
 normal (< 1.7 mmol/L)
 batas atas (1.7–2.3 mmol/L)
 tinggi (2.3–5.6 mmol/L)
 sangat tinggi (> 5.6 mmol/L)
Peningkatan plasma trigliserida memberikan kontribusi terhadap
peningkatan risiko kardiovaskular.

Page 61
 Kolesterol total : 300 mg/dl
Kadar kolesterol pada pasien melebihi dari normal. Orang yang memiliki
kadar kolesterol total 240 mg/dL atau lebih berisiko terkena penyakit jantung
koroner dua kali lipat dibanding mereka yang memiliki kadar kolesterol normal.
 Kadar gula sesaat : 250 mg/dl
Nilai normal kadar gula darah 2 jam setelah makan dewasa adalah < 140
mg/dl/2 jam. Pemeriksaan glukosa darah tanpa persiapan persetujuan untuk
meihat kadar gula darah sesaat tanpa puasa dan tanpa pertimbangan waktu setelah
makan. Dilakukan untuk penjajagan awal pada penderita yang diduga DM
sebelum dilakukan pemeriksaan yang sungguh-sungguh dipersiapkan misalnya
nucther, setelah makan dan toleransi.

C. Diagnosis

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dijabarkan di atas, maka terdapat 3 manifestasi


penting terkait benjolan yang dikeluhkan pasien tersebut. Poin penting tersebut adalah;
a. Benjolan pada gusi depan atas terasa sakit, sering berdarah, muncul kambuhan dan
akhir-akhir ini disertai bau tidak sedap
b. Pasien menderita pneumonia dan beberapa penyakit sistemik lain, serta menggunakan
obat-obatan yang mampu memperparah kondisi oralnya.
c. Pasien geriatri sehingga membutuhkan perawatan yang lebih kompleks.

Informasi gejala terkait anamnesis memberikan diagnosis yang menunjukkan ciri


yang khusus yakni: Parulis with Medically Compromised Condition.
Parulis (Abses gingiva)
Abses merupakan suatu penyakit infeksi yang ditandai oleh adanya lobang
yang berisi nanah (pus) dalam jaringan yang sakit. Dental abses artinya abses yang
terbentuk didalam jaringan periapikal atau periodontal karena infeksi gigi atau
perluasan dari ganggren pulpa. Abses yang terbentuk merusak jaringan periapikal,
tulang alveolus, tulang rahang terus menembus kulit pipi dan membentuk fistel
Parulis atau abses gingiva merupakan suatu pus yang terjadi pada gingiva.
Terjadi karena faktor iritasi, seperti plak, kalkulus, invasi bakteri, impaksi makanan
atau trauma jaringan. Terkadang pula akibat gigi yang akan tumbuh.

Page 62
PATOFISIOLOGI
Abses gingiva sebenarnya adalah komplikasi daripada karies gigi. Bisa juga
disebabkan oleh trauma gigi (misalnya apabila gigi patah atau hancur).
Email yang terbuka menyebabkan masuknya bakteri yang akan menginfeksi
bagian tengah (pulpa) gigi. Infeksi ini menjalar hingga ke akar gigi dan tulang yang
menyokong gigi.
Infeksi menyebabkan terjadinya pengumpulan nanah (terdiri dari jaringan
tubuh yang mati, bakteri yang telah mati atau masih hidup dan sel darah putih) dan
pembengkakan jaringan dalam gigi. Ini menyebabkan sakit gigi. Jika struktur akar
gigi mati, sakit gigi mungkin hilang, tetapi infeksi ini akan meluas terus menerus
sehingga menjalar ke jaringan yang lain.

ETIOLOGI
Abses gingiva terjadi ketika terinfeksi bakteri dan menyebar ke rongga mulut
atau dalam gigi, Penyebabnya adalah bakteri yang merupakan flora normal dalam
mulut. Yaitu bakteri coccus aerob gram positif, dan coccus anaerob gram seperti
fusobacteria, Streptococcus sp dan bakteri lainnya. Bakteri terdapat dalam plak yang
berisi sisa makanan dan kombinasi dengan air liur. Bakteri-gakteri tersebut dapat
menyebabkan karies dentis, gingivitis, dan periodontitis. Jika mencapai jaringan yang
lebih dalam melalui nekrosis pulpa dan pocket periodontal dalam, maka akan terjadi
infeksi odontogen.
Abses gingiva ini terjadi akibat adanya faktor iritasi seperti plak, kalkulus,
karies dentis, invasi bakteri (Staphylococcus aureus, Streptococcus, Haemophilis
influenzae), inpaksi makanan atau trauma jaringan. Keadaan ini dapat menyebabkan
kerusakan tulang alveolar sehingga terjadi gigi goyang.
Gingival abses selalu terjadi akibat hasil dari :
 Penanganan gigi yang yang menciptakan periodontal pocket secara kebetulan,
 Penggunaan antibiotik yang  tidak diperlakukan untuk periodontitis, yang dapat
menyembunyikan suatu abses, dan
 Kerusakan pada gusi, walaupun tidak terdapat periodontitis.

MANIFESTASI KLINIK
Gejala utama abses gingiva adalah nyeri pada gigi yang terinfeksi, yang dapat
berdenyut dan keras. Pada umumnya nyeri dengan tiba-tiba, dan secara berangsur-

Page 63
angsur bertambah buruk dalam beberapa jam dan beberapa hari. Dapat juga
ditemukan nyeri menjalar sampai ketelinga, turun ke rahang dan leher pada sisi gigi
yang sakit.
Gejala-gejala umum dari abses gingiva adalah :
 Gigi terasa sensitif kepada air sejuk atau panas.
 Rasa pahit di dalam mulut.
 Nafas berbau busuk.
 Kelenjar leher bengkak.
 Bagian rahang bengkak.
 Suhu badan meningkat tinggi dan kadang-kadang menggigil
 Denyut nadi cepat atau takikardi
 Nafsu makan menurun sehingga tubuh menjadi lemas (malaise)
 Bila otot-otot perkunyahan terkena maka akan terjadi trismus
 Sukar tidur dan tidak mampu membersihkan mulut
 Pemeriksaan laboratorium terlihat adanya leukositosis

D. Alur Perawatan

1. Pengklasifikasian ASA dan ORA Berdasarkan (Bricker dkk., 2002)


Klasifikasi ASA
Sistem klasifikasi yang diadopsi dari American Society of Anesthesiologist (ASA)
adalah suatu sistem pengklasifikasian kesehatan pasien untuk mengetahui bagaimana
kondisi kesehatan pasien mentoleransi prosedur perawatan dental atau perawatan
medis.
American Society of Anesthesiologist (ASA) Risk Physical Status Classification
ASA Physical Status Systemic Condition Office Modification
Classification
I No overt systemic condition Routine office care
II Mild to moderate systemic Minor modifications, stress
condition(s) with significant reduction
risk factors(s), medically
stable
III Severe systemic condition(s) Medical consultation,
that limits physical activity, modified office care, stress

Page 64
medically fragile but not reduction
debilitating
IV Debilitating systemic Medical consultation,
condition(s) that immobilized hospital care, strict
and is a constant threat to modifications
life
V Moribound patient not Emergency care only in a
expected to live 24 hours hospital.

 Berdasarkan klasifikasi ASA, pasien termasuk kedalam ASA III, karena pasien memiliki kondisi
sistemik pada tingkatan severe seperti misalnya menderita hipertensi, diabetes, serta
hiperkolesterolemia. Pasien memerlukan konsultasi medis pada bagian spesialis imu penyakit
dalam, perawatan modifikasi, serta pengurangan tingkat stress.
(Bricker dkk., 2002)

Klasifikasi ORA
untuk memudahkan pengambilan keputusan dalam pemilihan treatment untuk
pasien, digunakan klasifikasi Oral Risk Assessment (ORA). Penggunaan sistem
pengklasifikasian ini akan mempermudah dokter untuk menentukan treatment sesuai
dengan kondisi kesehatan pasien dan dapat menghindari risiko yang mungkin bisa
terjadi.
Oral Risk Assesment (ORA)
Type I Treatment includes diagnostic and
preventive dental procedures unlikely to
stimulate an adverse reaction. Clinical and
radiographic examination, preliminary
impressions, and data collection procedures.
Type II Treatment includes routine dental
procedures that pose minimal risk for
stimulating an adverse reaction. This
includes (phase I care) simple operative
dentistry with the administration of a local
anesthetic, standard root canal therapy with
or without the administration of a local

Page 65
anesthetic, simple orthodontia, procedures
minimally hemorrhagic (e.g., scaling and
polishing, overhang removal), and
emergency care.
Type III Treatment includes dental procedures that
impose a moderate risk for stimulating an
adverse reaction or dental outcome. This
includes invasive and moderately
hemorrhagic procedures (simple tooth
extraction) and lengthy appointment (lasting
1 to 2 hours) that involve phase II complex
reconstructive dentistry, orthodontia,
periodontics, or endodontic. Also included
are procedures that require the
administration of oral or intravenous drugs
(anxiolytic agents, antibiotics, or several
carpules of local anesthetic for pain control).
Type IV Treatment includes dental procedures that
impose a significant risk of stimulating an
adverse reaction. Include hemorrhagic
procedures (multiple extractions,
mucoperiosteal flap surgery, and surgical
endodontics), procedures lasting longer than
2 hours, orofacial infection with facial
swelling, pain is that is difficult to control
and requiresconscious sedation or
intravenous anxiolytic therapy, and
emergency care that is likely to physically or
emotionally stress the patient (i.e., infection,
bleeding, craniofacial trauma).
Type V Treatment includes dental procedures that
impose a high risk of adverse reaction, such
as treatment of severe orofacial infection,
deep sedation procedures, extensive surgical

Page 66
procedures, and procedures requiring
general anesthesia.

 Berdasarkan klasifikasi ORA, pasien digolongkan ke dalam ORA III dikarenakan perawatan yang
dipilih untuk menangani pasien adalah scaling namun pengobatan membutuhkan obat-obatan
terlebih dahulu untuk mengontrol kondisi sistemik pada pasien.
(Bricker dkk., 2002)
Keterkaitan antara ASA dan ORA
Oral Risk Assesment (ORA)
ORA I ORA II ORA III ORA IV ORA V
American Society of Anesthesiologist (ASA)

ASA I Routine Routine Routine Routine Strict Precaution


Precaution Precaution Precaution Precaution
ASA II Routine Modifications in Modifications Strict Strict precaution
Precaution dental treatment in dental precaution and and medical
treatment medical consultaion
consultaion
ASA III Routine Modifications in Modifications Strict hospitalization
Precaution dental treatment in dental precaution and protocol and
and medical treatment and medical medical
consultation medical consultaion consultation
consultation
ASA IV Modifications in Strict precaution/ Contraindicate Until condition contraindicated
dental treatment hospitalization d improves,
and medical protocol and hospital
consultation medical environment,
consultation Medical
consultation,

(Bricker dkk., 2002)

2. Rencana Perawatan
a. Melakukan Konsultasi/merujuk pasien ke bagian ilmu spesialis penyakit dalam
 Sebelum melakukan perawatan gigi, sebagi seorang dokter gigi kita perlu
merujuk/mengkonsultasikan masalah sistemik pasien pada dokter spesialis penyakit
dalam. Pada kasus, hasil pemeriksaan menunjukan bahwa pasien memiliki riwayat
cardiovascular disease (hipertensi), diabetes, dan hypercholesterolemia.

Page 67
 Sebelum melakukan tindakan dental , pastikan bahwa tekanan darah pasien dalam
batas normal/wajar dalam artian menghindari kondisi hipertensi pada saat ingin
melakukan tindakan dental. Apabila pasien memiliki hipertensi, pasien terlebih
dahulu dapat diberikan premedikasi untuk menurunkan tekanan darahnya (misalnya
pemberian ace inhibitor), pemberian motivasi agak tidak stress dan cemas. kondisi
hipertensi yang dilakukan pada tindakan dental dapat berisiko terhadap keselamatan
pasien. Pemberian obat-obatan antihipertensi yang bekerja pada sistem saraf pusat
dapat menyebabkan mulut pasien menjadi kering sehingga bisa diintruksikan kepada
pasien agar menjaga oral hygiene tetap baik karena kondisi mulut kering dapat
menurunkan self cleansing pada rongga mulut. Pada kasus, tekanan darah pasien
pada saat ini sebesar 150/90, hal ini menunjukan tekanan darah pasien termasuk
tekanan darah tinggi sehingga perlu dilakukan premedikasi untuk mengontrol
tekanan darahnya bila ingin dilakukan perawatan dental. Pada pemilihan anestesi
untuk pasien hipertensi sebaiknya menghindari anestesi yang mengandung
adrenalin.obat-obatan anti hipertensi golongan diuretic dapat menyebabkan
ortostastik hipotensi. Ortostatik hipotensi adalah suatu kondisi turunnya tekanan
darah secara tiba-tiba dikarenakan perubahan posisi pasien dari posisi supine ke
posisi upright. Dalam kasus ini pasien mengkonsumsi HCT. Sebaiknya, ketika akan
dilakukan perawatan dental penggunaan HCT yang merupakan obat golongan
diuretic dihentikan terlebih dahulu untuk meghindari risiko ortostatik hipotensi.
Penggunaan obat-obatan antihipertensi untuk sementara dapat digunakan obat-
obatan golongan lain.
(Chandra dkk., 2007)
 Kondisi kolesterol tinggi yang dialami pasien sebaiknya dikontrol juga dengan baik.
Seperti yang dijelaskan pada kasus, pasien memiliki riwayat cardiovascular disease.
Kondisi hiperkolesterol yang dibarengi dengan penyakit kardiovaskular salah
satunya darah tinggi dapat menyebabkan efek berbahaya pada pasien. Tingkat
kolesterol yang tinggi dapat menyebabkan kondisi aterosklerosis. Aterosklerosis
terjadi jika terjadi penumpukan plak atau timbunan lemak pada dinding-dinding
arteri. Selang beberapa waktu, plak dapat menumpuk, mengeras dan mempersempit
arteri, dan menghambat aliran darah ke jantung. Penyumbatan dalam satu arteri
koroner atau lebih dapat menimbulkan serangan jantung secara tiba-tiba.
Penyebabnya karena jantung meminta oksigen melebihi yang tersedia sehingga

Page 68
memicu serangan jantung. Mengapa? Apabila otot jantung tidak menerima oksigen
untuk waktu yang cukup lama, jaringan di sekitarnya dapat rusak. Tidak seperti
jaringan yang lain, otot jantung tidak mengalami regenerasi. Semakin lama
serangannya, semakin banyak kerusakan pada jantung dan semakin besar
kemungkinan meninggal. Jadi, sebaiknya pasien perlu terus dikontrol kadar
kolesterolnya di dalam tubuh.
(Majalahkesehatan.com)
 Diabetes mellitus (DM) bukan merupakan kontraindikasi untuk setiap tindakan
perawatan kedokteran gigi, misalnya tindakan operatif seperti pencabutan gigi,
kuretase pada poket dan sebagainya. Hal ini tidak masalah bagi dokter gigi apabila
penderita di bawah pengawasan dokter ahli sehingga keadaanya terkontrol. Untuk
setiap tindakan operatif ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan yaitu faktor
sebelum dan setelah tindakan operatif. Faktor sebelum operatif antara lain keadaan
umum penderita, kadar gula darah dan urin penderita, anastetikum yang akan
digunakan serta tindakan asepsis. Tindakan yang perlu dilakukan setelah tindakan
operatif adalah pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya infeksi, juga keadaan
umum serta kadar gula darah dan urin. Anastetikum yang digunakan untuk
tindakan operatif (bila dibutuhkan tindakan operatif) harus aman, tidak boleh
meninggikan kadar gula dalam darah. Pemakaian adrenalin sebagai lokal anastesi
masih dapat diterima karena kadarnya tidak terlalu besar walaupun adrenalin dapat
meninggikan kadar gula dalam darah. Procain sebagai anastesi lokal sangat
dianjurkan. Sebelum tindakan operatif sebaiknya penderita diberi suatu antibiotik
untuk mencegah infeksi (antibiotik profilaksis, juga pemberian vitamin C dan B
kompleks, dapat membantu memepercepat proses penyembuhan serta mengurangi
kemungkinan terjadinya infeksi setelah perawatan. Kultur bakteri perlu dilakukan
untuk kasus-kasus infeksi oral akut. Jika terjadi respon yang kurang baik dari
pemberian antibiotik yang pertama, dokter gigi dapat memebrikan lagi antibiotik
yang lebih efektif berdasarkan uji kepekaan bakteri pada pasien. Tindakan
perawatan gigi penderita tergantung pada pengetahuan dokter gigi tentang keadaan
penyakit tersebut. Jika pasien telah didiagnosis dan dikontrol dengan adekuat,
maka tidak ada masalah sepanjang dokter gigi benar-benar mempertimbangkan
hal-hal yang dapat menghilangkan komplikasi (Tarigan, 2003). Hal-hal yang perlu
diperhatikan pada perawatan gigi pasien DM adalah (Tarigan, 2003) :

Page 69
(1)   Hal-hal tentang keadaan kesehatan pasien DM harus didiskusikan dengan
dokter yang merawatnya.
(2)   Semua infeksi rongga mulut harus dirawat dengan segera dengan antibiotik
yang tepat.
(3)   Kesehatan rongga mulut yang baik harus dipertahankan, sehingga iritasi lokal
akan hilang secara teratur, pembentukan kalkulus berkurang dan sangat diharapkan
gingivitis dan penyakit periodontal dapat dicegah.

b. KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi)


Ada beberapa alasan yang perlu diberitahukan pada pasien mengenai langkah atau
tindakan pengobatan dan akibatnya
Pemberian informasi kepada pasien dapat memberikan pengetahuan mengenai obat
yang semestinya diminum dan akibatnya jika tidak diminum. Informasi membuat pasien
dapat bekerja sama saat mengatasi penyakitnya. Pasien akan mengikuti semua petunjuk
bila ia mengerti dan memahami petunjuk itu. Pada kasus ini, seorang dokter harus
memberikan pengertian kepada pasien mengenai kondisi sistemik yang dialami pasien
sehingga terlebih dahulu diperlukan tindakan premedikasi. Jika pasien telah diberi
pengertian mengenai risiko atau dampak dari kondisi sistemik yang tidak terkontrol
sehingga pasien mau mengikuti aturan proses dari premedikasi.
Tingkatan pengobatan tergantung dari diagnosis yang ada pada pasien. Informasi
yang realistis, penjelasan yang tepat mengenai prosedur pengobatan akan mampu
mengurangi kecemasan dan ketakutan pasien apabila dibandingkan dengan pemberian
informs yang buruk atau malah tidak diberikan informasi sama sekali. Pada kasus ini,
dokter menjelaskan perawatan yang akan dilakukan kepada pasien. Kemudian, pasien
diinstruksikan agar tetap bisa menjaga kebersihan mulut dengan baik sehingga tidak akan
memperburuk kondisi rongga mulut pasien. Pemberian informasi kepada pasien juga
disertai dengan edukasi bagaimana cara menjaga rongga mulut dengan baik, menjaga
pola hidup sehat, menghindari segala faktor-faktor yang kemungkinan akan
memperburuk kondisi sistemik dari pasien.
(Soetjiningih dkk., 2007)

c. Perawatan Parulis with Medically Compromised Condition.


Satu-satunya cara untuk menyembuhkan parulis atau abses gingiva adalah
mengikuti perawatan gigi. Dokter gigi harus mengobati abses dengan menggunakan

Page 70
prosedur perawatan abses gigi dalam beberapa kasus, pembedahan, atau kedua-
duanya.
A. Farmakoterapi
1. Analgesik 
Abses gingiva sangat nyeri, tetapi dapat digunakan obat penghilang sakit
(analgesik). Perlu diketahui bahwa obat penghilang sakit tidak bisa
menyembuhkan abses gingiva. Analgesik ini biasanya digunakan untuk
penundaan perawatan abses gigi.
Ikuti petunjuk di bawah tentang cara pemakaian analgesics dengan aman :
 Jangan berikan ibuprofen pada penderita asma, atau pasien yang
mempunyai ulcer gastric.
 Ibuprofen dan paracetamol keduanya tersedia dalam bentuk sirup untuk
anak-anak.
 Aspirin tidak  cocok untuk anak-anak di bawah umur 16 tahun.
 Untuk ibu hamil dan menyusui dapat digunakan paracetamol
 Jika nyeri hebat. boleh menentukan analgesics yang lebih kuat, seperti
codeine fosfat.
2. Antibiotics 
Antibiotik untuk abses gingiva digunakan untuk mencegah penyebaran infeksi,
dan dapat dipakai bersama analgesik (painkiller).  Antibiotik seperti
amoxicillin atau metronidazole dapat digunakan jika:
 wajah bengkak, ini menunjukkan infeksi atau peradangan menyebar ke
area sekelilingnya.
 terlihat tanda-tanda dari infeksi berat, seperti demam atau pembengkakan
kelenjar.
 Daya tahan tubuh menurun, seperti orang yang telah di khemotherapi, atau
seperti infeksi HIV positif,
 Peningkatan faktor resiko seperti diabetes millitus, dan resiko
endocarditis.

B. Dental procedures
Langkah utama yang paling penting dalam penatalaksanaan abses gingiva
adalah insisi absesnya, dan didrainase pus yang berisi bakteri. Prosedur ini pada
umumnya dilakukan apabila sudah di anaestesi lokal terlebih dahulu, sehingga area

Page 71
yang sakit akan mati rasa.  Setelah mengeluarkan (pus), secara menyeluruh
membersihkan periodontal pocket dan dilanjutkan dengan scaling.

C. Surgery
Dalam beberapa kasus, infeksi abses gingiva dapat terulang bahkan setelah
prosedur pembedahan. Berikut adalah penatalaksanaan berdasarkan stadium
terjadinya abses :

Stadium periostal dan sub periostal 


Dilakukan trepanasi untuk mengeluarkan pus dan gas gangren yang terbentuk,
kemudian diberikan obat-obatan antibiotika, anti inflamasi, antipiretika, analgesika
dan roboransia. Dengan cara ini diharapkan abses tidak meluas dan  dapat sembuh

Stadium serosa 
Dianjurkan untuk kumur-kumur air garam hangat kuku dan kompres panas, supaya
abses masuk kearah rongga mulut

Stadium submukosa dan subkutan 


Dilakukan insisi dan dimasukkan kain gaas steril atau rubber-dam sebagai drainase,
kemudian diberikan obat-obatan antibiotika, antiinflamasi, antipiretika,
analgesika dan roboransia. Pencabutan gigi yang terlibat (menjadi penyebab abses)
biasanya dilakukan sesudah pembengkakan sembuh dan keadaan umum penderita
membaik. Dalam keadaan abses yang akut tidak boleh dilakukan pencabutan gigi
karena manipulasi ekstraksi yang dilakukan dapat menyebarkan radang sehingga
mungkin terjadi osteomyelitis.

KOMPLIKASI
 Gigi tercabut.
 Infeksi kejaringan lunak (selulitis fasial, angina Ludwig).
 Infeksi kejaringan tulang (osteomielitis mandibula atau maksila).
 Infeksi ke bagian tubuh lain menyebabkan abses serebral, endokarditis,
pneumonia, dll.
 Dapat terjadi sepsis

3. Evaluasi hasil Perawatan

Page 72
Kesuksesan hasil perawatan dpat dilihat ketika pasien melakukan kontrol (Fase
maintanance).
(American Academy of Periodontology, 2004)

BAB V
KESIMPULAN

Page 73
Sebagian besar penyakit sistemik bermanifestasi di rongga mulut. Penyakit
yang terdapat di rongga mulut tidak hanya memiliki etiologi dari dalam rongga mulut
tetapi juga dari kondisi sistemik tubuh. Beberapa kondisi sistemik dapat memperparah
penyakit yang terdapat di rongga mulut.
Kondisi stress merupakan salah satu hal yang dapat menyebabkan penurunan
kondisi sistemik. Selain stress, proses penuaan fisiologis juga menyebabkan
perubahan kondisi sistemik. Perubahan kondisi sistemik memiliki manifestasi di
rongga mulut. Oleh karena itu, penting untuk melakukan pemeriksaan secara
menyeluruh dalam menentukan diagnosis penyakit rongga mulut.

DAFTAR PUSTAKA

ADA, 2006, Health Mouth, Health Body, JADA vol.137

Page 74
Albrecht M, Banoczy J, Dinya E, Tamas IRG. Occurrence of Oral leukoplakia and lichen
planus in diabetes mellitus. J oral Pathol Med 1992;21;364-6.

Al-Drees, A.M., 2010, Oral and Perioral PPhysiological Changes with Ageing, PODJ, Vol.
30 (1)

Al-Shehri, A. 2002. Taste Disturbance Because Of Drug Therapy Or Systemic Diseases. The
Internet Journal of Otorhinolaryngology.2002 Volume 2 Number 1.

American Academy of Pediatric Dentistry, 2004, Treatment of Plaque-induced Gingivitis,


Chronic Periodontitis, and Other Clinical Condition, Chicago, pp. 351-360.

Anonim, 2009, Gingivitis, Periodontitis, Available at (online):


http://www.totalkesehatananda.com/Gingivitis 1htlm (9 Nov 2009)

Arif, Mansjoer, dkk., 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta : FKUI

Besford,J., 1996. Mengenal Gigi Anda, Petunjuk Bagi Orang Tua, Jakarta.

Bricker SL, P Langlais, and C S Miller. 1994. Oral Diagnosis, Oral Medicine, and Treatment
Planning. Malvern: Lea & Febige

Bricker SL, P Langlais, and C S Miller. 1994. Oral Diagnosis, Oral Medicine, and Treatment
Planning. Malvern: Lea & Febige

Brunner, L dan Suddarth, D. 2002.Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah (H. Kuncara, A.
Hartono, M. Ester, Y. Asih, Terjemahan).(Ed.8) Vol 1.Jakarta : EGC

Castelo-Branco C., Soveral I., 2013, The immune system and aging: a review , Gynecol
Endocrinol.

Chandra, S., Chandra, S., Chandra, G., dan Kamala, R., 2007, Oral Medicine, New Delhi,
Jaypee Brothers Medical Publishers, 154-6.

Coulthard P, K Horner, P Sloan, and E Theaker. 2003. Master Dentistry, Vol 1. Edinburgh:
Churchill Livingstone

Darmojo, Boedhi,et al.2000.Beberapa masalah penyakit pada Usia Lanjut. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI

Deglin, Judith Hopfer., Vallerand, April Hazard., 1996, Pedoman Obat Untuk Perawat edisi
4, EGC, Jakarta

Dhanuthai K, K Sappayatosok, P Bijaphala, S Kulvit, T Sereerat.Prevalence of medically


compromised conditions in dental patients.Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2009 Jun
1;14 (6):E287-91.

Edward K. Chang. 2005. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler. Jakarta : EGC

Page 75
Fejerskov, O., and Kidd E. 2008. Dental Caries: The Disease and its Clinical Management
Second Edition. USA: Blackwell Publishing Company.

Ganda KM. 2008. Dentist’s Guide to Medical Conditions and Complications. Ames: Wiley-
Blackwell

Gonsalves, W.C., Wrightson, A.S., Henry, R.G., 2008, Common Oral Conditions in
Older Persons, Am Dam Physician, 78(7): 845-852

Gurenlian, J. R., 2006, Inflammation: The Relationship Between Oral Health and Systemic
Disease, Journal of Special supplemental issue by Colgate.

Hughes J. Use of laboratory test data: process guide and referance for pharmacists. 2004.
Pharmaceutical Society of Australia.

Isselbacher, K.J., 1999, Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam (terj).,


Jakarta: EGC

Jamerson, K., 2008. Benazepril plus Amlodipine or Hydrochlorothiazide for Hypertension in


High-Risk Patients.NEJM,  359:2417-2428

Kolltveit, Tronstad L, Olsen I. 2000, Systemic diseases caused by oral infection. Clinical
Microbiology Reviews Oct; 547-58.

Langlais, R.P., Miller, C.S., 1998, Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut yang Lazim,
Jakarta : Hipokrates, p. 24

Lany, Gunawan. 2001. Hipertensi Tekanana Darah Tinggi. Jakarta : Kanisius

Lee, B.C; Hwang, S.H; Rison, R; Chang, G.Y. 1998. Central Pathway of Taste: Clinical and
MRI Study. Eur Neurol, 1998, 39:200-203

Lewis, M.A.O., Lamey,P.J., 1998, Tinjauan klinis penyakit mulut. Jakarta: Widya Medika,
pp.48-9

Lueckenotte. 1997. Pengkajian Gerontologi edisi 2.EGC: Jakarta

Manson J.D., dan Eley B.M., 1993, Buku Ajar Periodonti. Edisi kedua, Jakarta,
Hipokrates,.45,
(http://majalahkesehatan.com/arti-hasil-tes-kolesterol-darah-anda/)

Marsh P,MV Martin. 1999. Oral Microbiology, 4th edition. London: Wright.

MediResource Clinical Team. 2010. Gingivitis. Available at (online):


http://jdr.sagepub.com/content/66/5/989.abstract

MediResource Clinical Team. 2010. Gingivitis. Available at (online):


http://jdr.sagepub.com/content/66/5/989.abstract (diakses tanggal 20 November 2013

Page 76
Meloto, C. B., Rizzatti-Barbosa, C. M., Gomes, S. G. F., Custodio, W., 2008, Dental practice
implications of systemic diseases affecting the elderly: a literature review, Braz J
Oral Sci, Vol. 7 – Number 27.

Morley J.E., The Elderly Type 2 Diabetic Patient : Special Considerations, John Wilye &
Sons; 15(4)s41-46

Musaikan, W.S., 2002, Gambaran Gingivitis pada Ibu Hamil di Puskesmas Kecamatan
Semampir tahun 2002. J. Majalah Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Edisi Khusus
Temu Ilmiah Nasional III ISSN 0852-9027, Surabaya.

Nasrin, Kodim. 2003. Hipertensi : Yang Besar yang Diabaikan Edisi 3. Jakarta : EGC

Nelson, G.M. 1998. Biology of taste buds and the clinical problem of taste loss. The
Anatomical Record (New Anat.), 1998, 3:70-8

Nield, 2003, DE Foundation of Periodontitis for Dental Hygienist, Philadelpia: Lippincott,


Williams and Wilkins.

Otani H., Mune M., 1998, Kidney disease in aging, AGE, 21(3):105-108

Panagakos, F., dan Scannapieco, F., 2011, Gingival Diseases – Their Aetiology, Prevention,
and Treatment, Intech Europe, Croatia, pp. 155 – 168.

Parini P., Angelin B., Rudling M., 1998 Cholesterol and Lipoprotein metabolism in Aging
American Heart Association

Pathy, M.S.J., Sinclair, A.L., Morley, J.E., 2006, Principles and Practice of Geriatric
Medicine Fourth Edition Vol. 1, USA: John Wiley & Saint Louis Ltd.

Peters Rb, Bahn AR, Barens G. Candida albicans in the oral cavities of diabetics. J Debntal
Res 1996;45;771-7.

Respati, Titi Nindya.Iwanda.Hubungan diabetes mellitus dengan karies gigi .Semarang;


UNDIP,2006

Rokhaeni. 2001. Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler Edisi 1. Bidang Pendidikan dan
Pelatihan Pusat Kesehatan Jantung dan Pembuluh Darah Nasional “Harapan Kita”

Ross WF, Salisbury PL. Uremic stomatitis associated with undiagnosed renal failure.Gen
Dent 1994; 9/10:410-412.

Schuurs HB. Patologi gigi-geligi, kelainan-kelainan jaringan keras gigi. Yogyakarta; UGM,
1992; 135-152.

Ship, J. A. 2003.Diabates and Oral Health. The Journal of the American Dental Association :
134, 4-10

Ship J.A., 2009, Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology – Geriatrics, sixth edition,
Mc Grawhill, United States

Page 77
Shrimali L, Astekar M, Sowmya GV. Research ArticleCorrelation of Oral Manifestations in
Controlled and Uncontrolled Diabetes Mellitus. International Journl of Oral and
Maxillofacial Pathology 2011;2(4):24-27

Sjaifoellah Noer. Buku ajar penyakit dalam Jilid I. Edisi ke-3.Jakarta : FKUI, 1996 : 571 -
622.

Soetjiningsih., Sukardi, E., Kandera, W., Parwati, T., Astawa, P., dan Marheni, A., 2007,
Modul Komunikasi Pasien-Dokter:Suatu Pendekatan Holistik, Jakarta, EGC, 64.

Sriyono, Widayanti N., 2005, Pengantar Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan. Cetakan ke 1
p.34, Yogyakarta Medika, Fakultas Kedokteran Gigi, UGM.

Staff Pengajar Departemen Farmakologi, 2008, Kumpulan Kuliah Farmakologi, Fakultas


Kedokteran Universitas Sriwijaya ed. 2, Jakarta: EGC

Tarigan, R.N., 2009, Tantangan dalam perawatan oral lichen planus pada pasien diabetes
melitus, Ind.J. Dent. 16(1):8-17.

Trombelli., L., Scapoli, C., Calura, G., & Tatakis,  D., 2006, Time as a factor in the
identification of subjects with different  susceptibility to plaque-induced
gingivitis. Journal Of Clinical  Periodontology, 33(5): 324-328. 

Ubertalli, J.T. 2008. Gingivitis, Available at (online):


http://www.merck.com/mmpe/sec08/ch095c.htm (diakses tanggal 20 November 2013)

Tarigan, R.N., 2009, Tantangan dalam perawatan oral lichen planus pada pasien diabetes
melitus, Ind.J. Dent. 16(1):8-17.

Wahyukundari, M.H., 2008, Perbedaan Kadar Matix Metalloproteinase-8 Setelah Scaling


dan Pemberian Tetrasiklin pada Penderita Periodontitis Kronis. Departemen
Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya-Indonesia.
Walton, Richard E., 2008. Prinsip & Prakter Ilmu Endodontik. Jakarta: EGC

Page 78

Anda mungkin juga menyukai